Anda di halaman 1dari 17

REFERAT

REAKSI ANAFILAKTIK

Disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik


SMF Ilmu Kesehatan Anak
RSD dr. Soebandi Jember

Disusun oleh:
Annisa Kinanti Asti
NIM 112011101016

Dokter Pembimbing:
dr. H. Ahmad Nuri, Sp.A
dr. Gebyar Tri Baskara, Sp.A
dr. Ramzy Syamlan, Sp.A
dr. Saraswati, Sp.A
dr. Lukman Oktadianto, Sp.A

SMF/LAB ILMU KESEHATAN ANAK


RSD DR. SOEBANDI JEMBER
2015

i
DAFTAR ISI

Halaman Judul....................................................................................................i
Daftar Isi............................................................................................................ 1
BAB 1. PENDAHULUAN................................................................................2
BAB 2. PEMBAHASAN...................................................................................3
2.1 DEFINISI.............................................................................................3
2.2 KLASIFIKASI.....................................................................................3
2.3 EPIDEMIOLOGI.................................................................................4
2.4 ETIOLOGI...........................................................................................5
2.5 PATOFISIOLOGI................................................................................6
2.5.1 Reaksi Hipersensitivitas Tipe I (Tipe Cepat) ...........................6
2.5.2 Mekanisme Reaksi Anafilaktik................................................10
2.5.3 Mediator Anafilaksis................................................................12
2.6 FAKTOR RISIKO...............................................................................14
2.7 MANIFESTASI KLINIS............................... .....................................15
2.8 DIAGNOSIS........................................................................................18
2.8.1 Penegakkan diagnosis................................................................18
2.8.2 Pemeriksaan Penunjang.............................................................21
2.9 DIAGNOSIS BANDING.....................................................................23
2.10 PENATALAKSANAAN...................................................................25
2.10.1 Alur Penatalaksanaan anafilaksis akut.....................................25
2.10.2 Obat-obatan pada reaksi anafilaksis.........................................28
2.10.3 Observasi..................................................................................30
2.11 PROGNOSIS......................................................................................31
2. 12 PENCEGAHAN....................................................................................22
BAB 3. PENUTUP.................................................................................................33
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................36

1
BAB 1. PENDAHULUAN

Insidensi anafilaksis secara pasti belum diketahui, sebagian besar


disebabkan oleh belum jelasnya definisi dari sindrom itu sendiri. Anafilaksis yang
fatal relatif jarang, pada individu yang benar-benar mengalami anafilaksis, hampir
1% terjadi kematian. Bentuk yang lebih ringan lebih sering terjadi. Insidensi
anafilaksis di Amerika Serikat per tahun diperkirakan 30 kasus per 100.000 orang
per tahun (81.000 kasus per tahun). Suatu survey di Australia menyebutkan 0,59%
dari anak-anak berusia 3-17 tahun mengalami sedikitnya satu kejadian anafilaksis
(Sampson, 2004).
Suatu penelitian epidemiologi menyebutkan anafilaksis sekarang lebih
sering terjadi pada komunitas daripada di pusat kesehatan. Angka kejadiannya
meningkat pada individu dengan status sosioekonomi baik. Insiden tertinggi
terjadi pada anak-anak dan remaja. Sampai usia 15 tahun, predileksinya adalah
pada laki-laki, namun setelah usia 15 tahun, predileksinya pada wanita. Terdapat
kecenderungan perbedaan faktor pencetus pada kelompok usia yang berbeda-
beda, sebagai contoh, anafilaksis fatal yang dicetuskan oleh makanan puncaknya
terjadi pada remaja dan dewasa muda, sedangkan anafilaksis fatal yang dicetuskan
oleh sengatan serangga, zat-zat yang digunakan untuk diagnostik, dan obat-obatan
terjadi terutama pada usia pertengahan dan dewasa lanjut (Sampson, 2004).

2
BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI
Secara harafiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan
phylaxis yang berarti perlindungan. Dalam hal ini respons imun yang seharusnya
melindungi (prophylaxis) justru merusak jaringan, dengan kata lain kebalikan dari
pada melindungi (anti-phylaxis atau anaphylaxis) (Doorland)
Anafilaksis alergi adalah suatu respon klinis hipersensitivitas tipe akut,
berat, dan menyerang berbagai macam organ. Reaksi hipersensitivitas ini
merupakan suatu reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi hipersensitivitas tipe I),
yaitu reaksi antara antigen spesifik dan antibodi spesifik (IgE) yang terikat pada
sel mast. Sel mast dan Basofil akan mengeluarkan mediator yang mempunyai efek
farmakologik terhadap berbagai macam organ (PAPDI)
Selain itu dikenal pula istilah reaksi anafilaksis non alergi (reaksi
anafilaktoid) yang secara klinis sama dengan anafilaksis alergi, akan tetapi tidak
disebabkan oleh interaksi antara antigen dan antibodi. Reaksi anafilaksis nonalergi
disebabkan oleh zat yang bekerja langsung pada sel mast dan basofil sehingga
menyebabkan terlepaskan mediator (PAPDI)
Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai
oleh Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan curah
jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat. Hal ini disebabkan oleh adanya
suatu reaksi antigen-antibodi yang timbul segera setelah suatu antigen yang
sensitif masuk dalam sirkulasi

2.3 EPIDEMIOLOGI
Insidensi pasien anafilaksis di unit gawat darurat diperkirakan 1 hingga 4
per 1000 pasien (0,1% to 0,4%), hanya 1 hingga 3 yang mengetahui pencetus
reaksi anafilaktik. Makanan adalah pencetus paling utama, dilanmjutkan dengan

3
sengatan dan obat-obatan. Makanan misalnya kacang, ikan, susu, telur, dan
makanan laut adalah produk makanan yang menimbulkan reaksi fatal.
Prevalens alergi susu sapi sekitar 2-7,5% dan reaksi alergi terhadap susu
sapi masih mungkin terjadi pada 0,5% pada bayi yang mendapat ASI eksklusif.
Sebagian besar reaksi alergi susu sapi diperantarai oleh IgE dengan prevalensi
1.5%, Gejala yang timbul sebagian besar adalah gejala klinis yang ringan sampai
sedang, hanya sedikit (0.1-1%) yang bermanifestasi klinis berat (IDAI, 2010).

2.4 ETIOLOGI
Penyebab anafilaksis sangat beragam, diantaranya adalah antibiotik,
ekstrak alergen, serum kuda, zat diagnostik, bisa (venom), produk darah,
anastetikum lokal, makanan, enzim, hormon, dan lain-lain. Antibiotik dapat
berupa penisilin dan derivatnya, basitrasin, neomisin, tetrasiklin, streptomisin,
sulfonamid, dan lain-lain. Ekstrak alergen biasanya berupa rumput-rumputan atau
jamur, atau serum ATS, ADS, dan anti bisa ular (Rachman dkk, 2007).
Beberapa bahan yang sering dipergunakan untuk prosedur diagnosis dan
dapat menimbulkan anafilaksis misalnya adalah zat radioopakm bromsulfalein,
benzilpenisilol-polilisin. Demikian pula dengan anastetikum lokal seperti prokain
atau lidokain. Bisa yang dapat menimbulkan anafilaksis misalnya bisa ular,
ssemut, dan sengatan lebah. Darah lengkap atau produk darah seperti
gamaglobulin dan kriopresipitat dapat pula menyebabkan anafilaksis. Makanan
yang telah dikenal sebagi penyebab anafilaksis seperti misalnya susu sapi, kerang,
kacang-kacangan, ikan, telur, dan udang (Rachman dkk, 2007).
Reaksi anafilaksis terjadi ketika sistem imun tubuh berekasi dengan
antigen yang dianggap sebagai penyerang atau benda asing oleh tubuh. Sel darah
putih kemudian memproduksi antibodi dalm hal ini adalah IgE yang bersirkulasi
pada peredaran darah dan bereaksi dengan benda asing yang masuk. Perlekatan
antigen-antobodi ini merangsang pelepasan mediator-mediator seperti histamin
dan menyebabkan berbagai reaksi dan gejala pada berbagai organ dan jaringan
(Mustafa, 2013).

4
2.6 FAKTOR RISIKO
Sedangkan faktor-faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko
anafilaksis antara lain:
a) Atopi
Pada studi berbasis populasi di Olmsted County, 53% dari pasien
anafilaksis memiliki riwayat penyakit atopi. Penelitian lain menunjukkan bahwa
atopi merupakan faktor risiko untukreaksi anfilaksis terhadap makanan, reaksi
anafilaksis yang diinduksi olehlatihan fisik, anafilaksis idiopatik, reaksi terhadap
radiokontras, dan reaksi terhadap latex. Sementara, hal ini tidak didapati pada
reaksi terhadap penisilin dan gigitan serangga.
b) Cara dan waktu pemberian
Berpengaruh terhadap terjadinya reaksi anafilaksis. Pemberian secara oral
lebih sedikit kemungkinannya menimbulkan reaksi dan kalaupun ada biasanya
tidak berat, meskipun reaksi fatal dapat terjadi pada seseorang yang memang
alergi setelahmenelan makanan. Selain itu, semakin lama interval pajanan pertama
dan kedua, semakin kecil kemungkinan reaksi anafilaksis akan muncul kembali.
Hal ini berhubungan dengan katabolisme dan penurunan sintesis dari IgE spesifik
seiring waktu.
c) Asma
Merupakan faktor risiko yang fatal berakibat fatal. Lebih dari 90%
kematian karena anafilaksis makanan terjadi pada pasien asma (Longecker, 2008).

2.7 MANIFESTASI KLINIS


Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Gejala klinisnya dapat
berupa reaksi lokal dan sistemik. Reaksi lokal terdiri dari urtikaria dan
angioedema pada daerah yang kontak dengan antigen. Reaksi lokal dapat berat
tetapi jarang sekali fatal. Reaksi sistemik terjadi pada organ target seperti traktus
respiratorius, sistem kardiovaskular, traktus gastrointestinalis, dan kulit. Reaksi ini
biasanya terjadi dalam waktu 30 menit sesudah kontak dengan penyebab
(Mustafa, 2013).

5
Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen dan dapat
terjadi pada satu atau lebih organ target, antara lain kardiovaskuler, respirasi,
gastrointestinal, kulit, mata, susunan saraf pusat dan sistem saluran kencing, dan
sistem yang lain. Keluhan yang sering dijumpai pada fase permulaan ialah rasa
takut, perih dalam mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan kesemutan pada
tungkai, sesak, serak, mual, pusing, lemas dan sakit perut (Longecker, 2008).
  Pada mata terdapat hiperemi konjungtiva, edema, sekret mata yang
berlebihan. Pada rhinitis alergi dapat dijumpai allergic shiners, yaitu daerah di
bawah palpebra inferior yang menjadi gelap dan bengkak. Pada kulit terdapat
eritema, edema, gatal, urtikaria, kulit terasa hangat atau dingin, lembab/basah, dan
diaphoresis (Mustafa, 2013).
Pada sistem respirasi terjadi hiperventilasi, aliran darah paru menurun,
penurunan saturasi oksigen, peningkatan tekanan pulmonal, gagal nafas, dan
penurunan volume tidal. Obstruksi saluran napas yang komplit adalah penyebab
kematian paling sering pada anafilaksis. Bunyi napas mengi terjadi apabila saluran
napas bawah terganggu karena bronkospasme atau edema mukosa (Mustafa,
2013).
Keadaan bingung dan gelisah diikuti pula oleh penurunan kesadaran
sampai terjadi koma merupakan gangguan pada susunan saraf pusat. Pada sistem
kardiovaskular terjadi hipotensi, takikardia, pucat, keringat dingin, tanda-tanda
iskemia otot jantung (angina), kebocoran endotel yang menyebabkan terjadinya
edema, disertai pula dengan aritmia. Sementara pada ginjal, terjadi hipoperfusi
ginjal yang mengakibatkan penurunan pengeluaran urine (oligouri atau anuri)
akibat penurunan GFR, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya gagal ginjal
akut (Sampson, 2006).
Hipoperfusi pada sistem hepatobilier mengakibatkan terjadinya nekrosis
sel sentral, peningkatan kadar enzim hati, dan koagulopati. Gejala yang timbul
pada sistem gastrointestinal merupakan akibat dari edema intestinal akut dan
spasme otot polos, berupa nyeri abdomen, mual-muntah atau diare (Sampson,
2006).

6
Depresi sumsum tulang yang menyebabkan terjadinya koagulopati,
gangguan fungsi trombosit, dan DIC dapat terjadi pada sistem hematologi.
Sementara gangguan pada system neuroendokrin dan metabolik, terjadi supresi
kelenjar adrenal, resistensi insulin, disfungsi tiroid, dan perubahan status mental.
Pada keadaan syok terjadi perubahan metabolisme dari aerob menjadi anaerob
sehingga terjadi peningkatan asam laktat dan piruvat. Secara histologis terjadi
keretakan antar sel, sel membengkak, disfungsi mitokondria, serta kebocoran sel.
(Sampson, 2006).
Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi berat, tetapi
kadang-kadang langsung berat. Berdasarkan derajat keluhan sistemik, anafilaksis
juga dibagi dalam derajat ringan, sedang, dan berat.

a) Reaksi sistemik ringan


Gejala awal reaksi sistemik ringan adalah rasa gatal dan panas di bagian
perifer tubuh, biasanya disertai perasaan penuh dalam mulut dan tenggorokan.
Gejala permulaan ini dapat disertai dengan hidung tersumbat dan pembengkakan
peri orbita. Dapat juga disertai rasa gatal pada membran mukosa, keluarnya air
mata, dan bersin. Gejala ini biasanya timbul dalam 2 jam sesudah kontak dengan
antigen. Lamanya gejala bergantung pada pengobatan, umumnya berjalan 1-2 hari
atau lebih pada kasus kronik.
b) Reaksi sistemik sedang
Reaksi sistemik sedang mencakup semua gejala dan tanda yang ditemukan
pada reaksi sistemik ringan ditambah dengan bronkospasme dan atau edema jalan
napas, dispnu, batuk, dan mengi. Dapat juga terjadi angioedema, urtikaria umum,
mual, dan muntah. Biasanya penderita mengeluh gatal menyeluruh, merasa panas,
dan gelisah. Masa awitan dan lamanya reaksi sistemik sedang hampir sama
dengan reaksi sistemik ringan.
c) Reaksi sistemik berat
Masa awitan biasanya pendek, timbul mendadak dengan tanda dan gejala seperti
reaksi sistemik ringan dan reaksis sistemik sedang, kemudian dengan cepat dalam
beberapa menit (kadang tanpa gejala permulaan) timbul bronkospasme hebat dan

7
edema laring disertai serak, stridor, dispnu beratm sianosism dan kadangkala
terjadi henti napas. Edema faring gastrointestinal dan hipermotilitas menyebabkan
disfagia, kejang perut hebat, diare, dan muntah. Kejang umum dapat terjadi, dapat
disebabkan oleh rangsangan sistem saraf pusat atau karena hipoksia. Kolaps
kardiovaskular menyebabkan hipotensi, aritmia jantung, syok, dan koma.
Rangkaian peristiwa yang menyebabkan gagal nafas dan kolaps
kardiovaskular sering sangat cepat dan mungkin merupakan gejala obyektif
pertama pada anafilaksis. Beratnya reaksi berhubungan langsung dengan cepatnya
masa awitan. Reaksi fatal umumnya terjadi pada orang dewasa, Pada anak
penyebab kematian paling sering adalah edema laring (Rachman, 2007).

2.8 DIAGNOSIS
2.8.1 Penegakkan diagnosis
Diagnosis anafilaksis ditegakkan secara klinis. Perlu dicari riwayat
penggunaan obat, makanan, gigitan binatang, atau transfusi. Pada beberapa
keadaan dapat timbul keraguan terhadap penyebab lain sehingga perlu dipikirkan
diagnosis banding. Pada reaksi sitemik ringan dan sedang diagnosis bandingnya
adalah diagnosis banding urtikaria dan angioedema.
Pada pasien dengan reaksi anafilaksis biasanya dijumpai keluhan 2 organ
atau lebih setelah terpapar dengan alergen tertentu. Untuk membantu menegakkan
diagnosis maka World Allergy Organization telah membuat suatu kriteria.
Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit
hingga beberapajam) dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau kedua-duanya
(misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan,
pembengkakan bibir, lidah, uvula), dan salah satu dari respiratory compromise
(misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing , penurunan PEF,
hipoksemia) dan penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan
disfungsi organ sasaran (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia).
Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak
setelah terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit

8
hingga beberapa jam), yaitu keterlibatan jaringan mukosa kulit (misalnya bintik-
bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir-
lidah-uvula); Respiratory compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme,
stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia); penurunan tekanan darah atau
gejala yang berkaitan (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia); dan gejala
gastrointestinal yang persisten (misalnya nyeri abdominal, kram, muntah).
Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar pada
alergen yang diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok anafilaktik).
Pada bayi dan anak-anak, tekanan darah sistolik yang rendah (spesifik umur) atau
penurunan darah sistolik lebih dari 30%
2.8.2 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium jarang diperlukan untuk membantu menentukan
diagnosis pada reaksi anafilaktik karena reaksi anafilaksis umumnya didiagnosis
secara klinis, namun jika diperlukan penegasan diagnosis terutama pada sindrom
yang berulang atau untuk mengeliminasi kelainan lainnya, maka pemeriksaan
penunjang ini menjadi salah satu indikasi. Hitung eosinofil darah tepi dapat
normal atau meningkat, demikian halnya dengan IgE total sering kali
menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan lain yang lebih bermakna yaitu IgE
spesifik dengan RAST (radioimmunosorbent test) atau ELISA (Enzym Linked
Immunosorbent Assay test ), namun memerlukan biaya yang mahal (Mustafa,
2013).
 Untuk membedakan reaksi anafilaktik alergi dan non alergi dapat
dilakukan hitung eosinofil perifer maupun nasal dan pemeriksaan konsentrasi
tryptase serum, apabila konsentrasinya > 10 mg/ml menunjukkan adanya aktivasi
dari sel mast. Untuk alergi yang diperantarai IgE, dilakukan pemeriksaan IgE total
serum. Untuk alergen protein (inhalan/makanan) dan obat perlu dilakukan uji
tusuk kulit, sedangkan untuk alergi obat juga dapat menggunakan 1 tetes larutan
obat : 1000 cc Na Cl disertai kontrol positif dan negatif. Pengujian intradermal
menggunakan 0,02 ml larutan obat dibanding 1000 cc Na Cl disertai kontrol
positif dan negatif (Rachman, 2007).

9
Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit untuk mencari alergen
penyebab yaitu dengan uji cukit (prick test), uji gores (scratch test), dan uji
intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (skin end-point
titration/ SET). Pemeriksaan lainnya antara lain analisa gas darah, elektrolit, dan
gula darah, tes fungsi hati, tes fungsi ginjal, feses lengkap, elektrokardiografi,
rontgen thorak, dan lain-lain (Ewan, 1998).
Pendekatan diagnosis untuk alergi susu sapi tipe IgE–mediated adalah
dengan melihat gejala klinis dan dilakukan uji IgE spesifik (uji tusuk kulit atau uji
Radio Allergo Sorbent Test /RAST). Jika hasil positif maka dilakukan eliminasi
(penghindaran) makanan yang --mengandung protein susu sapi. Jika hasil negatif
maka dapat diberikan kembali makanan yang mengandung --protein susu sapi.
Untuk diagnosis pasti dapat dilakukan uji eliminasi dan provokasi.
a) Uji tusuk kulit (Skin prick test )
Pasien tidak boleh mengkonsumsi antihistamin minimal 3 hari untuk
antihistamin generasi 1 dan minimal 1 minggu untuk antihistamin generasi 2. Uji
tusuk kulit dilakukan di volar lengan bawah atau bagian punggung (jika
didapatkan lesi kulit luas di lengan bawah atau lengan terlalu kecil). Batasan usia
terendah untuk uji tusuk kulit adalah 4 bulan. Bila uji kulit positif, kemungkinan
alergi susu sapi sebesar < 50% (nilai duga positif < 50%), sedangkan bila uji kulit
negatif berarti alergi susu sapi yang diperantarai IgE dapat disingkirkan karena
nilai duga negatif sebesar > 95%.
b) IgE RAST (Radio Allergo Sorbent Test)
Uji IgE RAST positif mempunyai korelasi yang baik dengan uji kulit,
tidak didapatkan perbedaan bermakna sensitivitas dan spesifitas antara uji tusuk
kulit dengan uji IgE RAST. Uji ini dilakukan apabila uji tusuk kulit tidak dapat
dilakukan antara lain karena --adanya lesi adanya lesi kulit yang luas di daerah
pemeriksaan dan bila penderita tidak bisa lepas minum obat antihistamin. Bila
hasil pemeriksaan kadar serum IgE spesifik untuk susu sapi > 5 kIU/L pada --anak
usia ≤ 2 tahun atau > 15 kIU/L pada anak usia > 2 tahun maka hasil ini
mempunyai nilai duga positif 53%, nilai duga negatif 95%, sensitivitas 57%, dan
spesifisitas 94%.

10
c) Uji eliminasi dan provokasi
Double Blind Placebo Controlled Food Challenge (DBPCFC) merupakan
uji baku emas untuk menegakkan diagnosis alergi makanan. Uji ini dilakukan
berdasarkan riwayat alergi makanan, dan hasil positif uji tusuk kulit atau uji
RAST. Uji ini memerlukan waktu dan biaya. Jika gejala alergi menghilang setelah
dilakukan iet eliminasi selama 2-4 minggu, maka dilanjutkan dengan uji
provokasi yaitu memberikan formula dengan bahan dasar susu sapi. Uji provokasi
dilakukan di bawah pengawasan dokter dan dilakukan di rumah sakit dengan
fasilitas resusitasi yang lengkap. Uji tusuk kulit dan uji RAST negatif akan
mengurangi reaksi akut berat pada saat uji provokasi.
Uji provokasi dinyatakan positif jika gejala alergi susu sapi muncul
kembali, maka diagnosis alergi susu sapi bisa ditegakkan. Uji provokasi
dinyatakan negatif bila tidak timbul gejala alergi susu sapi pada saat uji provokasi
dan satu minggu kemudian, maka bayi tersebut diperbolehkan minum formula
susu sapi. Meskipun demikian, orang tua dianjurkan untuk tetap mengawasi
kemungkinan terjadinya reaksi tipe lambat yang bisa terjadi beberapa hari setelah
uji provokasi.

2.10 PENATALAKSANAAN
a) 2.11 PROGNOSIS
Penanganan yang cepat, tepat, dan sesuai dengan prinsip
kegawatdaruratan, reaksi anafilaksis jarang menyebabkan kematian. Namun reaksi
anafilaksis tersebut dapat kambuh kembali akibat paparan antigen spesifik yang
sama. Maka dari itu perlu dilakukan observasi setelah terjadinya serangan
anafilaksis untuk mengantisipasi kerusakan sistem organ yang lebih luas lagi.
 Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis dari reaksi
anafilaksis yang akan menentukan tingkat keparahan dari reaksi tersebut, yaitu
umur, tipe alergen, atopi, penyakit kardiovaskular, penyakit paru obstruktif kronis,
asma, keseimbangan asam basa dan elektrolit, obat-obatan yang dikonsumsi
seperti β-blocker dan ACE Inhibitor, serta interval waktu dari mulai terpajan oleh
alergen sampai penanganan reaksi anafilaksis dengan injeksi adrenalin.

11
2. 12 PENCEGAHAN
Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penetalaksanaan syok
anafilaktik terutama yang disebabkan oleh obat-obatan. Melakukan anamnesis
riwayat alergi penderita dengan cermat akan sangat membantu menentukan
etiologi dan faktor risiko anafilaksis. Individu yang mempunyai riwayat penyakit
asma dan orang yang mempunyai riwayat alergi terhadap banyak obat,
mempunyai resiko lebih tinggi terhadap kemungkinan terjadinya syok anafilaktik.
Melakukan skin test bila perlu juga penting, namun perlu diperhatian
bahwa tes kulit negatif pada umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian
obat-obat tersebut, tetapi tidak berarti pasti penderita tidak akan mengalami reaksi
anafilaksis. Orang dengan tes kulit negatif dan mempunyai riwayat alergi positif
mempunyai kemungkinan reaksi sebesar 1-3% dibandingkan dengan
kemungkinan terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit positif.
Dalam pemberian obat juga harus berhati-hati, encerkan obat bila
pemberian dengan jalur subkutan, intradermal, intramuskular, ataupun intravena
dan observasi selama pemberian. Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi
yang kuat dan tepat. Hindari obat-obat yang sering menyebabkan syok anafilaktik.
Catat obat penderita pada status yang menyebabkan alergi. Jelaskan kepada
penderita supaya menghindari makanan atau obat yang menyebabkan alergi. Hal
yang paling utama adalah harus selalu tersedia obat penawar untuk mengantisipasi
reaksi anfilaksis serta adanya alat-alat bantu resusitasi kegawatan (Mulkus et al,
2013).

12
BAB III PENUTUP

Anafilaksis alergi adalah suatu respon klinis hipersensitivitas tipe akut,


berat, dan menyerang berbagai macam organ. Reaksi hipersensitivitas ini
merupakan suatu reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi hipersensitivitas tipe I),
yaitu reaksi antara antigen spesifik dan antibodi spesifik (IgE) yang terikat pada
sel mast. Sel mast dan Basofil akan mengeluarkan mediator yang mempunyai efek
farmakologik terhadap berbagai macam organ. Berdasarkan etiologinya, reaksi
anafilaksis terbagi meenjadi tiga yaitu anafilaksis alergi, anafilaksis non alergi, dan
anafilaksis idiopatik.
Meskipun gejala klinis dan tanda klinis dapat mengarah ke sistem organ,
namun manifestasi kutaneus misalnya urtikaria, pruritus, angioedema, dan
kemerahan muncul pada kebanyakan anak (80-90%) dengan anafilaksis. Pada
gejala yang lebih berat, gangguan nafas muncul sekitar 60-70% pada anak. Gejala
kardiovaskular lebih sedikit terjadi, yaitu sekitar 10-30% dengan gejala anafilaktik
anak misalnya pusimg, hipotensi, hingga sinkop
Penyebab anafilaksis sangat beragam, diantaranya adalah antibiotik,
ekstrak alergen, serum kuda, zat diagnostik, bisa (venom), produk darah,
anastetikum lokal, makanan, enzim, hormon, dan lain-lain. Ekstrak alergen
biasanya berupa rumput-rumputan atau jamur, atau serum ATS, ADS, dan anti
bisa ular
Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi dan aktivasi.
Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E
sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil.
Sedangkan fase aktivasi merupakan waktu selama terjadinya pemaparan ulang
dengan antigen yang sama sampai timbulnya gejala
Diagnosis anafilaksis ditegakkan secara klinis. Perlu dicari riwayat
penggunaan obat, makanan, gigitan binatang, atau transfusi. Pada beberapa
keadaan dapat timbul keraguan terhadap penyebab lain sehingga perlu dipikirkan

13
diagnosis banding. Pada reaksi sitemik ringan dan sedang diagnosis bandingnya
adalah diagnosis banding urtikaria dan angioedema.
Pemeriksaan laboratorium jarang diperlukan. Hitung eosinofil darah tepi
dapat normal atau meningkat, demikian halnya dengan IgE total sering kali
menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan lain yang lebih bermakna yaitu IgE
spesifik dengan RAST (radioimmunosorbent test). Pemeriksaan secara invivo
dengan uji kulit untuk mencari alergen penyebab yaitu dengan uji cukit (prick
test), uji gores (scratch test), dan uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau
berseri (skin end-point titration/ SET).
Beberapa kondisi yang menyerupai reaksi anafilaksis dan syok anafilaktik
adalah reaksi vasovagal, infark miokard akut, reaksi hipoglikemik, reaksi histeris,
Carsinoid syndrome, Chinese restaurant syndrome, asma bronkiale, dan rhinitis
alergika.
Jika terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan alergen baik
peroral maupun parenteral, maka tindakan pertama yang paling penting dilakukan
adalah mengidentifikasi dan menghentikan kontak dengan alergen yang diduga
menyebabkan reaksi anafilaksis. Segera baringkan penderita pada alas yang keras
dan kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik
vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah
Tindakan selanjutnya adalah penilaian airway, breathing, dan circulation dari
tahapan resusitasi jantung paru untuk memberikan kebutuhan bantuan hidup
dasar.
Untuk mengatasi syok pada anak dapat diberikan cairan NaCl fisiologis
atau Ringer Laktat sebanyak 20 ml/kgBB secepatnya sampai syok teratasi,.
Larutan adrenalin (epinefrin) sebanyak 0,01 mg/kgBB, maksium 0,3 mg (larutan
1:1000) diberikan secara intramuskular atau subkutan pada lengan atas atau paha.
Bila anafilaksis terjadi karena suntikan, berikan suntikan adrenalin kedua 0,1-0,3
ml (larutan 1:1000) secara subkutan pada daerah suntikan untuk mengurangi
absorbsi antigen. Dosis adrenalin pertama dapat diulangi dengan jarak waktu 5
menit bila diperlukan. Kalau terdapat syok atau kolaps vaskular atau tidka
bersepon dengan medikasi intramuskular, dapat diberikan adrenalin 0,01-0,05

14
mg/kgBB(larutan1:10.000) secara intravena dengan kecepatan lambat (1-2 menit)
serta dapat diulang dalam 5-10 menit
Difenhidramin dapat diberikan secara intravena (kecepatan lambat 5-10
menit), intramuskular atau oral (1-2 mg/kgBB) sampai maksimum 50 mg sebagai
dosis tunggal, tergantung beratnya reaksi. Apabila bronkospasme menetap,
diberikan aminofilin intravena 4-7 mg/kgBB yang dilarutkan dalam cairan
intravena (dekstrosa 5%) dengan jumlah paling sedikit sama. Campuran ini
diberikan intravena secara lambat (15-20 menit). Tergantung dari tingkat
bronkospasme, aminofilin dapat diteruskan melalui infus dengan kecepatan 0,2-
1,2 mg/kgBB atau 4-5 mg/kgBB intravena selama 20-30 menit setiap 6 jam. Bila
cairan intravena saja tidak dapat mengontrol tekanan darah, berikan metaraminol
bitartrat (Aramine) 0,01 mg/kgBB (maksimum 5 mg) sebagai suntikan tunggal
secara lambat dnegan memonitor aritmia jantung, bila terjadi aritmia jantung,
pengobatan dihentikan segera. Kortikosteroid tidak banyak membantu pada tata
laksana akut anafilaksis
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis dari reaksi
anafilaksis yang akan menentukan tingkat keparahan dari reaksi tersebut, yaitu
umur, tipe alergen, atopi, penyakit kardiovaskular, penyakit paru obstruktif kronis,
asma, keseimbangan asam basa dan elektrolit, obat-obatan serta interval waktu
dari mulai terpajan oleh alergen sampai penanganan reaksi anafilaksis dengan
injeksi adrenalin.

15
DAFTAR PUSTAKA

Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Perioperative and Critical Care
Medicine. In: Belval B, Lebowitz H. Morgan & Mikhail’s Clinical
Anesthesiology. 5th edition. United States: McGraw-Hill; 2013. p. 1217-22.

Cheng, A. Emergency treatment of anaphylaxis in infants and children: Pediatric


Child Health. Vancouver. 2011; Jan 16(1): 35-40

Mustafa, SS. Anaphylaxis. April 8, 2013. Available at:


http://emedicine.medscape.com/article/135065-overview . Accessed on October
18, 2013.

Sampson HA, et al. Clinical Immunology and Allergy. Margaret and Fremantle
Hospitals, Western Australia; 2006.

Sampson HA, Leung DY. Anaphylaxis. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM,
Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatric. Edisi ke-18.Philadelphia:
WB Saunders Co; 2004. h. 983-5.

Simons FER, Camargo Jr CA. Anaphylaxis: Rapid recognition and Treatment. In:
Bochner BS. August 8, 2013. Available at:
http://www.uptodate.com/contents/anaphylaxis-rapid-recognition-and-treatment .
Accessed on October 19, 2013

16

Anda mungkin juga menyukai