KAJIAN PUSTAKA
1.1.1 Definisi
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat kosongnya cadangan besi
tubuh (depleted iron store) sehingga penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang, yang pada
akhirnya pembentukan hemoglobin berkurang. Kelainan ini ditandai oleh anemia hipokromik
mikrositer, besi serum menurun, TIBC (Total Iron Binding Capacity) meningkat, saturasi
transferin menurun, feritin serum menurun, pengecatan besi sumsum tulang negatif dan
1.1.2 Epidemiologi
dunia menderita anemia dengan kelompok yang paling tinggi prevalensinya adalah ibu hamil,
usia lanjut dan diikuti oleh bayi dan anak usia dua tahun, anak usia pra sekolah, anak usia
sekolah dan wanita tidak hamil. Pada jumlah absolut anemia terjadi pada 1,62 miliar orang di
seluruh dunia dengan komposisi 293 juta anak usia balita, 56 juta ibu hamil dan 468 juta
wanita yang tidak hamil. Setengah dari kejadian anemia di seluruh dunia merupakan anemia
defisiensi besi. WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2004 ADB telah menyebabkan
273.000 kematian dimana 45% terjadi di Asia Tenggara, 31% di Afrika, 9% di Mediterania
timur, 7% di Amerika, 4% di area Pasifik Barat dan 3% di Eropa dengan 97% dari kejadian
ini ditemukan pada negara dengan tingkat pendapatan rendah sampai menengah. Akibat ADB
terjadi penurunan produktivitas kerja yang berakibat menurunnya pendapatan negara dengan
rerata pada 10 negara berkembang sebesar $16,78 per kapita atau 4% dari pendapatan negara
secara kasar.
Di Indonesia berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007,
menunjukkan prevalensi anemia pada ibu hamil 59%, anak-anak 70,1%, wanita usia subur
(WUS) 59,9% dan laki-laki dewasa sebesar 33,4%. Untuk prevalensi ADB di Indonesia
belum ada data yang pasti. Martoatmojo et al. memperkirakan ADB pada laki-laki 16 – 50%
dan 25 – 84% pada perempuan tidak hamil. Pada pensiunan pegawai negeri di Bali
didapatkan prevalensi anemia 36% dengan 61% disebabkan oleh karena defisiensi besi
(Martoatmojo, et al. 1973). Survei pada suatu desa di bali didapatkan angka prevalens ADB
sebesar 27% (Bakta, 2015). Sebuah studi yang dilakukan oleh Suega et al. tahun 2002 yang
khususnya meneliti prevalensi ADB pada wanita hamil di Bali menemukan sebesar 46,2%
Menurut Bakta (2006) proses absorbsi besi dibagi menjadi tiga fase, yaitu:
a. Fase Luminal
Besi dalam makanan terdapat dalam dua bentuk, yaitu besi heme dan besi non-heme.
Besi heme terdapat dalam daging dan ikan, tingkat absorbsi dan bioavailabilitasnya
tinggi. Besi non-heme berasal dari sumber nabati, tingkat absorbsi dan
ikatannya dengan senyawa lain) karena pengaruh asam lambung. Kemudian terjadi
reduksi dari besi bentuk feri (Fe3+) ke fero (Fe2+) yang dapat diserap di duodenum.
b. Fase Mukosal
Penyerapan besi terjadi terutama melalui mukosa duodenum dan jejunum proksimal.
Penyerapan terjadi secara aktif melalui proses yang sangat kompleks dan terkendali.
Besi heme dipertahankan dalam keadaan terlarut oleh pengaruh asam lambung. Pada
brush border dari sel absorptif (teletak pada puncak vili usus, disebut sebagai apical
cell), besi feri direduksi menjadi besi fero oleh enzim ferireduktase (Gambar 2.2),
mungkin dimediasi oleh protein duodenal cytochrome b-like (DCYTB). Transpor
melalui membran difasilitasi oleh divalent metal transporter (DMT 1). Setelah besi
masuk dalam sitoplasma, sebagian disimpan dalam bentuk feritin, sebagian diloloskan
melalui basolateral transporter ke dalam kapiler usus. Pada proses ini terjadi konversi
dari feri ke fero oleh enzim ferooksidase (antara lain oleh hephaestin). Kemudian besi
bentuk feri diikat oleh apotransferin dalam kapiler usus. Sementara besi non-heme di
lumen usus akan berikatan dengan apotransferin membentuk kompleks transferin besi
yang kemudian akan masuk ke dalam sel mukosa dibantu oleh DMT 1. Besi non-
heme akan dilepaskan dan apotransferin akan kembali ke dalam lumen usus
(Zulaicha, 2009).
c. Fase Korporeal Besi setelah diserap melewati bagian basal epitel usus, memasuki
kapiler usus. Kemudian dalam darah diikat oleh apotransferin menjadi transferin. Satu
molekul transferin dapat mengikat maksimal dua molekul besi. Besi yang terikat pada
Kompleks Fe2-Tf-Tfr akan terlokalisir pada suatu cekungan yang dilapisi oleh klatrin
kembali.
Besi yang berada dalam sitoplasma sebagian disimpan dalam bentuk feritin
pembentukan heme. Protoporfirin adalah suatu tetrapirol dimana keempat cincin pirol
ini diikat oleh 4 gugusan metan hingga terbentuk suatu rantai protoporfirin. Empat
dari enam posisi ordinal fero menjadi chelating kepada protoporfirin oleh enzim heme
protoporfirin yang mengandung satu atom besi fero ditengahnya (Murray, 2003).
oleh hampir semua organisme baik mikroba, tanaman, hewan maupun manusia. Fungsi besi
didalam tubuh adalah sebagai katalisator untuk oksigenasi, hidroksilasi dan proses
metabolisme penting lainnya. Selain itu besi juga penting sebagai kofaktor enzim-enzim pada
respirasi mitokondrial. Proliferasi dan aktifasi dari sel T, sel B dan sel NK juga memerlukan
besi. Dalam keadaan normal seorang laki dewasa mempunyai kandungan besi 50 mg/kgBB
Tubuh mendapatkan masukan besi berasal dari makanan dalam usus. Proses absorpsi
besi paling banyak terjadi pada duodenum dan jejunum proksimal. Membran apikal enterosit
di duodenum berperan untuk transport besi dari lumen intestinal ke dalam sel enterosit
dimana molekul transporter yang terpenting adalah Divalent Metal Transporter 1 (DMT1)
Setelah diabsoprsi di duodenum, besi akan beredar di sirkulasi dalam bentuk transferin
menuju sistem portal dari hepar yang merupakan tempat penyimpan besi yang utama. Sel
hepatosit akan mengikat besi melalui Transferrin Receptor 1 (TfR1) yang klasik namun
sebagian besar melalui TfR2 yang tersedia dalam jumlah lebih besar (Flemmig dan Sly,
Tempat utama penggunaan besi adalah sumsum tulang dimana besi diikat oleh TfR
pada sel prekursor eritrosit dan digunakan untuk sintesis heme. Besi pada heme selanjutnya
akan didaur ulang melalui proses tertangkapnya eritrosit yang sudah tua pada makrofag
sistem retikuloendotelial. Besi dalam makrofag dapat tersimpan di makrofag sebagai feritin
atau dilepaskan ke plasma yang kemudian akan terikat transferin dan beredar di plasma untuk
digunakan kembali. Hati dan sistem retikuloendotelial merupakan tempat utama penggunaan
eksfoliasi dari epitel yang mengandung besi di kripta usus, traktus urinarius, rambut dan kulit
dan dalam jumlahnya yang samapun setiap harinya diserap. Karena tubuh tidak mempunyai
mekanisme spesifik dalam mengekskresi besi maka keseimbangan besi dalam tubuh dijaga
oleh regulator proses absorpsi besi di duodenum (Sharp, 2007 ; Gisbert, 2009).
Seluruh proses ini terjadi melalui sirkulasi yang tertutup dimana jumlah yang diserap
dan jumlah yang diekskresi bersifat tetap. Besi yang diserap usus setiap hari berkisar antara
1-2 mg, ekskresi besi terjadi dalam jumlah yang sama melalui eksfoliasi epitel (Bakta, 2006 ;
1.1.4 Patogenesis
menurun. Jika cadangan besi menurun maka keadaan ini disebut iron depleted state atau
negative iron balance. Keadaan ini ditandai oleh penurunan kadar serum feritin, peningkatan
absorpsi besi dalam usus serta pengecatan besi dalam sumsum tulang negatif (Bakta, 2015).
Apabila kekurangan besi berlanjut maka cadangan besi menjadi kosong sama sekali,
erythropoiesis. Pada fase ini kelainan pertama yang dijumpai ialah peningkatan kadar free
protophorphyrin atau zinc protophorphyrin dalam eritrosit. Saturasi transferin menurun dan
TIBC meningkat. Akhir-akhir ini parameter yang sangat spesifik ialah peningkatan reseptor
Kondisi kekurangan besi yang terus berkepanjangan akan menyebabkan jumlah besi
menurun terus dan eritropoesis akan semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai
menurun sehingga timbullah anemia hipokromik mikrositer yang disebut sebagai anemia
defisiensi besi. Pada saat ini juga terjadi kekurangan besi pada epitel serta pada beberapa
enzim yang dapat menimbulkan kelainan pada kuku, epitel mulut dan faring serta berbagai
gejala lainnya. Perjalanan patogenesis defisiensi besi dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
1.1.5 Etiologi
Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh karena rendahnya asupan besi,
2. Faktor nutrisi, yaitu akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan (asupan yang
3. Kebutuhan besi meningkat, seperti pada prematuritas, anak dalam masa pertumbuhan, dan
kehamilan.
4. Gangguan absorbsi besi, seperti pada gastrektomi dan kolitis kronik, atau dikonsumsi
bersama kandungan fosfat (sayuran), tanin (teh dan kopi), polyphenol (coklat, teh, dan kopi),
Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia (anemic syndrome)
dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin kurang dari 7-8 g/dl.
Gejala ini berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, serta
telinga mendenging. Pada pemeriksaan fisik dijumpai pasien yang pucat, terutama
pada konjungtiva dan jaringan di bawah kuku (Bakta, 2006). Pada umumnya sudah
disepakati bahwa bila kadar hemoglobin < 7 gr/dl maka gejala-gejala dan tanda-tanda
Gejala yang khas dijumpai pada defisiensi besi, tetapi tidak dijumpai pada
b. Atrofi papil lidah, yaitu permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap
1.1.7 Pemeriksaan
Menurut Guillermo dan Arguelles pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain:
A. Pemeriksaan Laboratorium
1. Hemoglobin (Hb)
kekurangan zat besi semakin parah, dan pada saat anemia mulai berkembang.
MCH adalah berat hemoglobin rata-rata dalam satu sel darah merah.
Dihitung dengan membagi hemoglobin dengan angka sel darah merah. Nilai
normal 27-31 pg, mikrositik hipokrom < 27 pg dan makrositik > 31 pg.
menggunakan pembesaran 100 kali dengan memperhatikan ukuran, bentuk inti, sitoplasma
sel darah merah. Dengan menggunakan flowcytometry hapusan darah dapat dilihat pada
Luas distribusi sel darah merah adalah parameter sel darah merah yang masih relatif
baru, dipakai secara kombinasi dengan parameter lainnya untuk membuat klasifikasi anemia.
RDW merupakan variasi dalam ukuran sel merah untuk mendeteksi tingkat anisositosis yang
tidak kentara. Kenaikan nilai RDW merupakan manifestasi hematologi paling awal dari
kekurangan zat besi, serta lebih peka dari besi serum, jenuh transferin, ataupun serum feritin.
MCV rendah bersama dengan naiknya RDW adalah pertanda meyakinkan dari kekurangan
zat besi, dan apabila disertai dengan eritrosit protoporphirin dianggap menjadi diagnostik.
Nilai normal 15 %.
tetes darah dan pengalaman tekniknya tidak terlalu dibutuhkan. EP naik pada tahap lanjut
kekurangan besi eritropoesis, naik secara perlahan setelah serangan kekurangan besi terjadi.
Keuntungan EP adalah stabilitasnya dalam individu, sedangkan besi serum dan jenuh
transferin rentan terhadap variasi individu yang luas. EP secara luas dipakai dalam survei
Besi serum peka terhadap kekurangan zat besi ringan, serta menurun setelah cadangan besi
habis sebelum tingkat hemoglobin jatuh. Keterbatasan besi serum karena variasi diurnal yang
luas dan spesitifitasnya yang kurang. Besi serum yang rendah ditemukan setelah kehilangan
darah maupun donor, pada kehamilan, infeksi kronis, syok, pireksia, rhematoid artritis, dan
malignansi. Besi serum dipakai kombinasi dengan parameter lain, dan bukan ukuran mutlak
Transferin adalah protein tranport besi dan diukur bersama -sama dengan besi serum.
Serum transferin dapat meningkat pada kekurangan besi dan dapat menurun secara keliru
Jenuh transferin adalah rasio besi serum dengan kemampuan mengikat besi,
merupakan indikator yang paling akurat dari suplai besi ke sumsum tulang.
Penurunan jenuh transferin dibawah 10% merupakan indeks kekurangan suplai besi yang
meyakinkan terhadap perkembangan eritrosit. Jenuh transferin dapat menurun pada penyakit
peradangan. Jenuh transferin umumnya dipakai pada studi populasi yang disertai dengan
indikator status besi lainnya. Tingkat jenuh transferin yang menurun dan serum feritin sering
Jenuh transferin dapat diukur dengan perhitungan rasio besi serum dengan kemampuan
mengikat besi total (TIBC), yaitu jumlah besi yang bisa diikat secara khusus oleh plasma.
9. Serum Feritin
Serum feritin adalah suatu parameter yang terpercaya dan sensitif untuk menentukan
cadangan besi orang sehat. Serum feritin secara luas dipakai dalam praktek klinik dan
pengamatan populasi. Serum feritin < 12 ug/l sangat spesifik untuk kekurangan zat besi, yang
berarti kehabisan semua cadangan besi, sehingga dapat dianggap sebagai diagnostik untuk
Rendahnya serum feritin menunjukan serangan awal kekurangan zat besi, tetapi tidak
menunjukkan beratnya kekurangan zat besi karena variabilitasnya sangat tinggi. Penafsiran
yang benar dari serum feritin terletak pada pemakaian range referensi yang tepat dan spesifik
untuk usiadan jenis kelamin. Konsentrasi serum feritin cenderung lebih rendah pada wanita
dari pria, yang menunjukan cadangan besi lebih rendah pada wanita. Serum feritin pria
meningkat pada dekade kedua, dan tetap stabil atau naik secara lambat sampai usia 65 tahun.
Pada wanita tetap saja rendah sampai usia 45 tahun, dan mulai meningkat sampai sama
seperti pria yang berusia 60-70 tahun, keadaan ini mencerminkan penghentian mensturasi dan
melahirkan anak. Pada wanita hamil serum feritin jatuh secara dramatis dibawah 20 ug/l
selama trimester II dan III bahkan pada wanita yang mendapatkan suplemen zat besi.
Serum feritin adalah reaktan fase akut, dapat juga meningkat pada inflamasi kronis,
infeksi, keganasan, penyakit hati, alkohol. Serum feritin diukur dengan mudah memakai
(Elisa).
B. Pemeriksaan Sumsum Tulang
Masih dianggap sebagai standar emas untuk penilaian cadangan besi, walaupun
menilai jumlah hemosiderin dalam sel-sel retikulum. Tanda karakteristik dari kekurangan zat
pemeriksa, jumlah struma sumsum yang memadai dan teknik yang dipergunakan. Pengujian
sumsum tulang adalah suatu teknik invasif, sehingga sedikit dipakai untuk mengevaluasi
pemberian suplementasi besi agar dapat memenuhi kebutuhan besi tubuh sekaligus mengisi
cadangan besi yang kosong. Pemberian preparat besi dapat dilakukan secara oral maupun
parenteral. Pada umumnya preparat oral yang lebih sering diberikan sampai dengan kadar
hemoglobin normal kemudian dilanjutkan sampai 6 bulan untuk mengisi cadangan besi
tubuh. Besi parenteral dapat diberikan dengan indikasi adanya intoleransi dengan pemberian
obat, kepatuhan berobat rendah, adanya kondisi kolitis ulseratif, gangguan absorpsi besi di
saluran cerna, kondisi anemia defisiensi besi yang berat, pasien dengan hemodialisis, dan
kondisi defisiensi besi fungsional karena penggunaan eritropoetin yang berulang (Bakta,
2015).
Terapi lain dengan memberikan diet tinggi protein, pemberian vitamin C untuk meningkatkan
absorpsi besi dan mengatasi penyakit dasar. Transfusi darah hanya diberikan pada kondisi
adanya penyakit jantung anemik dengan ancaman payah jantung, anemia yang sangat
simptomatik misalnya anemia dengan gejala pusing yang sangat mencolok, penderita
memerlukan peningkatan kadar hemoglobin yang cepat seperti pada kehamilan trimester
Berdasarkan modifikasi kriteria Kerlin diagnosis ADB dapat ditegakkan pula dengan
adanya kenaikan kadar hemoglobin sebesar 1-2 g/dL setelah mendapatkan terapi besi dan hal
ini dapat menjadi indikator keberhasilan terapi pada ADB (Bakta, 2015). Respons terhadap
terapi sebenarnya dapat dinilai sejak minggu pertama ditandai dengan peningkatan retikulosit
namun kadar retikulosit akan menurun sehingga tidak dapat dijadikan sebagai prediktor awal
(Santen, et.al, 2014 ; Parodi, et.al 2015). Parameter yang lain seperti hematokrit, MCV dan
MCH juga mengalami peningkatan setelah mendapatkan terapi tetapi lebih lambat sehingga
tidak dapat dipakai sebagai indikator keberhasilan terapi (Afzal, et.al 2009)
1.1.9 Prognosis
Prognosis anemia defisiensi besi umumnya baik. ADB merupakan satu gejala
yang mudah diobati dengan hasil yang sangat baik. Namun prognosis ADB yang baik dan
seperti neoplasia. Demikian pula prognosis dapat diubah oleh suatu kondisi penyerta