Anda di halaman 1dari 43

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teoretis

1. Konsep Tidur

a. Definisi Tidur

Tidur adalah kebutuhan dasar yang diperlukan oleh

manusia. Setiap manusia memerlukan kebutuhan tidur yang

cukup supaya tubuh dapat menjalankan fungsinya secara

normal. Ketika tidur, tubuh melakukan proses pemulihan untuk

memulihkan stamina tubuh sehingga berada pada kondisi yang

optimal (Sarfriyanda, Karim, & Dewi, 2015).

Menurut penelitian (Cheng & Sekartini, 2012) Tidur

merupakan hal yang penting bagi seseorang karena ketika tidur

terjadi peningkatan aktivitas susunan saraf pusat tertentu yang

dapat memberikan efek fisiologis untuk tubuh. Tidur adalah

proses fisiologis yang berputar dan bergantian, dengan periode

jaga yang lebih lama. Siklus tidur-bangun memengaruhi dan

mengatur fungsi fisiologis dan respon perilaku irama

sirkandian (Potter & Perry, 2011)

Berdasarkan uraian penjelasan definisi tidur maka dapat

disimpulkan bahwa tidur merupakan suatu keadaan tidak sadar

dimana persepsi dan reaksi individu terhadap lingkungan

menurun atau hilang, dan dapat disadarkan atau dibangunkan


kembali dengan rangsangan yang cukup serta kebutuhan setiap

manusia untuk tetap mengoptimalkan kondisi tubuh meskipun

kebutuhan tidur setiap orang berbeda-beda.

b. Fisiologi Tidur

Menurut Hidayat, 2008 dalam (Kasiati & Rasmalawati,

2016) kegiatan tidur telah diatur dan dikontrol oleh dua sistem

pada batang otak, yaitu : Reticular Activating System (RAS) dan

Bulbar Synchronizing Region (BSR). RAS di bagian atas

batang otak diyakini memiliki sel-sel khusus yang dapat

mempertahankan kewaspadaan dan kesadaran, memberi

stimulus visual, pendengaran, nyeri, dan sensori raba serta

emosi dan proses berfikir. Ketika sadar, RAS melepaskan

katekolamin, sedangkan saat tidur terjadi pelepasan serum

serotonin dari BSR.

Kegiatan berulang (siklus) tidur yang terjadi selama sehari

merupakan kegiatan yang disebut irama sirkandian. Bioritma

adalah irama yang terdapat dalam kehidupan. Salah satu

manifestasi dari irama sirkandian yaitu tidur dan bangun yang

berlangsung selama 24 jam sesuai dengan kondisi terang dan

gelap atau irama siang dan malam. Menurut (Apriyani, 2012)

tubuh melakukan proses pemulihan untuk mengembalikan

stamina tubuh pada kondisi yang optimal. Namun dalam

kondisi normal, tanpa ada pengaruh factor eksternal waktu


(misalnya peringatan bangun tidur, jadwal waktu makan yang

ketat, perubahan pencahayaan gelap, dan sebagainya) irama

sirkandian dapat memanjang sampai dengan 25 jam (Potter &

Perry, 2011)

Irama sirkandian terlihat pada kegiatan sistem saraf otonom

yang terdiri dari 2 bagian yaitu sistem saraf simpatik dan sistem

saraf parasimpatik. Ketika siang hari akibat dari factor dalam

tubuh dan diluar tubuh, kegiatan saraf simpatik akan meningkat

sehingga tubuh memiliki kemampuan untuk siaga dalam

menjalani kehidupan. Namun hal ini bisa terjadi sebaliknya

apabila saraf parasimpatik terjadi mengalami penurunan

kegiatan. Ketika malam hari setelah kegelapan datang mulai

tidur tahap Non-REMS (Non- Rapid Eye Movement Sleep),

maka ketika parasimpatik akan meningkat sedangkan kegiatan

simpatik sedikit menurun atau tidak berubah. Kondisi ini

disebut trophotropic endophylactic. Ketika REMS (Rapid Eye

Movement Sleep) terjadi penurunan lebih lanjut dari saraf

simpatik dan kadang-kadang terdapat kejutan peningkatan saraf

simpatik, sedangkan saraf parasimpatik mengalami deaktifasi

(Mayuri, Ghifrani, Ardinia, & Setyaningsih, 2017).

Banyak macam hormone yang diproduksi oleh sel-sel di

hipofise dikeluarkan menurut irama sirkandian antara lain

melatonin, hormone pertumbuhan dan lain-lain. Ketika malam


hari terutama pada saat fase Non-REMS terjadi peningkatan

beberapa kali lipat pengeluaran hormone tersebut dibandingkan

ketika siang. Maka suhu tubuh menurun setelah mulai tidur

akibat pengaruh dari irama sirkandian dan factor-faktor yang

berkaitan dengan tidur. Sedangkan ketika bangun suhu akan

kembali meningkat (Jauhari, 2020). Menurut (Bathory &

Tomopoulos, 2017) suhu dan cahaya mempengaruhi irama

sirkandian. Pada suhu lebih dingin dan kurangnya cahaya

berakibat pada waktu tidur yang lebih lama.

Irama sirkandian diduga di dalam tubuh memiliki body

clock (lonceng tubuh) yang berfungsi mengatur irama tersebut.

Body clock ini ada hubungannya dengan adanya perubahan

pencahayaan di lingkungan sekitar. Mata merupakan satu-

satunya alat indera yang mampu menentukan adanya

perubahan pencahayaan, sehingga body clock yang ada pada

sistem saraf pusat (otak) ini memiliki jalur saraf dengan sistem

penglihatan (mata). Body clock diduga terletak dalam inti

suprakiasma hipotalamus. Menurut (Ambarwati, 2017) irama

sirkandia ini kestabilannya dijaga ketat terhadap perubahan dari

pola tidur yang normal, temperature tubuh yang normal dan

menjaga tekanan darah dan pola sekresi hormone. Body clock

dapat diprogram kembali (reset) menyesuaikan kondisi

lingkungan luar tubuh, terutama pencahayaan. Pengaturan


sirkandian saat tidur dan mekanisme terjaga dipacu oleh

suprachiasmatic nuclei (SCN) yang aktif pada siang hari dan

mengatur masuknya cahaya retina

c. Tahapan Tidur

Tidur terbagi menjadi dua fase, yaitu fase Non-REM dan

fase REM. Fase Non-REMS (Non-Rapid Eye Movement Sleep),

nama lain fase ini yaitu fase mimpi atau ada yang menyebut

sebagai tidur fase S. Pada saat perekaman otak, fase ini

menunjukkan adanya gelombang lambat yang disebut dengan

show wave sleep dan gerakan bola mata yang intensif dan cepat

tidak ada. Kegiatan otot menunjukkan penurunan saat

perekaman otot dibandingkan waktu bangun (Ambarwati,

2017).

1) Tidur gelombang lambat/ Non-Rapid eye movement

(NREM)

Tidur NREM merupakan tidur yang nyaman dan dalam.

Pada tidur NREM gelombang otak lebih lambat

dibandingkan dengan orang yang sadar atau tidak sedang

keadaan tidur. Tanda-tanda tidur NREM antara lain :

mimpi berkurang, keadaan istirahat, tekanan darah turun,

kecepatan pernapasan turun, metabolisme turun, dan

gerakan bola mata lambat. Tidur NREM memiliki empat

tahap sebagai berikut


a) Tahap I, tahap I ini merupakan tahap transisi

dimana peralihan seseorang dari sadar menjadi

tidur. Termasuk tingkat tidur paling ringan. Pada

tahap ini ditandai dengan seseorang cenderung

rileks, masih sadar dengan lingkungannya.

Seseorang yang tidur pada tahap I ini dapat

dibangunkan dengan mudah. Setelah terbangun

seseorang merasa seolah-olah baru saja bermimpi.

Kebanyakan orang mengalami tahap ini

berlangsung beberapa menit dan merupakan 5% dari

total tidur (Potter & Perry, 2011).

b) Tahap II, individu masuk pada tahap tidur nyenyak,

namun masih dapat bangun dengan mudah. Otot

mulai relaksasi. Normalnya, tahap ini berlangsung

selama 10-20 menit dan merupakan 50%-55% dari

total tidur dan fungsi tubuh terus lambat (Potter &

Perry, 2011).

c) Tahap III, awal dari tahap tidur nyenyak, relaksasi

otot menyeluruh dan individu cenderung sulit

dibangunkan. Tanda-tanda vital mengalami

penurunan tetapi teratur. Tahap ini berlangsung

selama 15-30 menit dan merupakan 10% dari totall

tidur (Potter & Perry, 2011).


d) Tahap IV, tahap ini merupakan tahap tidur dimana

seseorang berada dalam tahap tidur yang dalam atau

delta sleep. Seseorang akan sulit dibangunkan

sehingga membutuhkan rangsangan. Apabila

seseorang sudah tertidur, ia akan menghabiskan

sebagian besar dari malam di tahap ini. Terjadi

perubahan fisiologis, yakni : EEG gelombang otak

melemah, nadi dan pernapasan menurun,

metabolisme melambat, temperatus tubuh menurun.

Tahap ini merupakan 10 % dari total tidur dan

berlangsung sekitar 15-30 menit. Tidur sambil

berjalan dan enuresis (mengompol) kadang terjadi

pada tahap ini (Potter & Perry, 2011).

2) Tidur Rapid Eyes Movement (REM)

Tidur REM adalah tidur dalam kondisi aktif atau

paradoksial. Tidur REM ini ditandai dengan :

a) Kebanyakan kasus ditandai dengan mimpi aktif

yang terlihat nyata

b) Biasanya dimulai sekitar 90 menit setelah tidur

dimulai

c) Lebih sulit dibangunkan daripada ketika tidur

nyenyak gelombang lambat


d) Tonus otot selama tidur nyenyak sangat tertekan,

gelombang lambat, proyeksi spinal atas sistem

pengaktivasi retikularis

e) Frekuensi jantung dan pernapasan menjadi tidak

teratur

f) Kehilangan ketegangan massa otot

g) Mata cepat tertutup dan terbuka, nadi cepat dan

irregular, tekanan darah meningkat atau

berfluktuasi, sekresi gaster meningkat dan

metabolism meningkat

h) Durasi tidur REM meningkat dengan setiap siklus

dan rata-rata 20 menit (Potter & Perry, 2011).

Gejala-gejala yang terlihat ketika mengalami kehilangan

tidur REM yaitu cenderung hiperaktif, kurang dapat

mengendalikan diri dan emosi, nafsu makan bertambah,

bingun dan curiga (Asmadi, 2008) .

d. Siklus tidur

Pola tidur orang normal orang dewasa dimulai dengan

periode pratidur dimana orang tersebut hanya sadar dari kantuk

yang secara bertahap meningkat. Peride ini biasanya

berlangsung 10 hingga 30 menit. Tetapi jika seseorang

memiliki kesulitan untuk tertidur, hal itu akan berlangsung satu

jam atau lebih (Potter & Perry, 2011).


Setelah tidur, seseorang biasanya melewati empat sampai

lima siklus tidur lengkap dalam satu malam, masing- masing

terdiri dari empat tahap tidur NREM dan periode tidur REM.

Setiap siklus berlangsung sekitar 90-100 menit. Pola siklus

biasanya berkembang dari tahap I sampai tahap IV NREM,

diikuti oleh pembalikan dari tahap IV-III sampai II dan

berakhir dengan periode tidur REM. Seseorang biasanya

mencapai tidur REM sekitar 90 menit dalam siklus tidur. 75-

80% dari waktu tidur dihabiskan dalam tidur NREM (Potter &

Perry, 2011).

Dengan setiap siklus berturut-turut, tahap III dan IV

dipersingkat, dan periode REM diperpanjang. Tidur REM

berlangsung hingga 60 menit selama siklus tidur terakhir.

Tidak semua orang mempunyai kemajuan yang konsisten saat

melewati tahapan tidur. misalnya, tidur bergerak maju mundur

untuk interval pendek antara tahap NREM II, III, dan IV

sebelum memasuki tahap REM. Jumlah waktu yang dihabiskan

di setiap tahap bervariasi selama rentang hidup. Bayi baru lahir

dan anak-anak menghabiskan labih banyak waktu di tidur

nyenyak. Seiring penuaan, tidur menjadi lebih terfregmentasi

dan seseorang menghabiskan lebih banyak waktu dalam tahap

ringan. Perpindahan antara tahap tidur cenderung menyertai

gerakan tubuh. Perpindahan ke tidur ringan atau terjaga


cenderung tiba-tiba, sedangkan pergeseran ke tidur nyenyak

cenderung bertahap. Jumlah siklus tidur seseorang tergantung

jumlah waktu orang menghabiskan waktu tidur (Potter & Perry,

2011)

e. Fungsi dan Tujuan Tidur

Tujuan tidur masih belum jelas. Tidur berperan dalam

menjaga kondisi fisiologis dan psikologis. Tidur NREM

membantu perbaikan jaringan tubuh. Selama tidur NREM,

fungsi biologis lambat. Denyut jantung normal orang dewasa

sehat sepanjang hari rata-rata 70-80 denyut per menit atau

kurang juka seseorang berada dalam kondisi fisik yang sangat

baik. Namun, selama tidur denyut jantung turun sampai 60

denyut per menit atau kurang. Ini membuktikan bahwa selama

tidur jantung berdetak 10-20 kali lebih lambat dalam setiap

menit. Oleh karena itu, tidur nyenyak bermanfaat dalam

mempertahankan fungsi jantung. Fungsi biologis lainnya yang

menurun selama tidur adalah pernapasan, tekanan darah dan

otot (Potter & Perry, 2011).

Tubuh membutuhkan tidur secara rutin untuk memulihkan

proses biologis tubuh. Selama tidur, gelombang lambat dan

dalam (NREM tahap IV), tubuh melepaskan hormone

pertumbuhan manusia untuk perbaikan dan pembaruan sel

epitel dan sel-sel khusus seperti sel-sel otak. Sintesis protein


dan pembelahan sel untuk peremajaan jaringan seperti kulit,

tulang, mukosa lambung, atau otak terjadi selama istirahat dan

tidur. tidur NREM sangat penting bagi anak-anak yang

mengalami tahap IV tidur yang lebih lama (Potter & Perry,

2011).

Manfaat tidur dalam perilaku sering tidak diketahui sampai

seseorang mendapatkan masalah akibat kurangnya tidur.

hilangnya tidur REM menyebabkan perasaan bingung dan

curiga. Berbagai fungsi tubuh (misalnya suasana hati, performa

motorik, memori, dan keseimbangan) berubah saat kehilangan

tidur lama (Potter & Perry, 2011)

Durasi tidur yang pendek berdampak pada perubahan

signifikan di seluruh tubuh. Otak akan mengalami gangguan

kognitif, penurunan ingatan, perubahan kimia otak yang dapat

menyebabkan depresi. Terjadi gangguan sistem kekebalan

tubuh, peningkatan resiko obesitas, dan peningkatan resiko

penyakit jantung seperti stroke, hipertensi, dan lain-lain.

pancreas mengalami gangguan untuk menghasilkan hormone

insulin sehingga terjadi sesistensi insulin dan resiko diabeters

mellitus tipe 2 meningkat. Selain itu, sendi akan mudah

mengalami peradangan yang dapat menyebabkan aterosklerosis

dan radang sendi (Reza, Berawi, Karima, & Budiarto, 2019).

f. Macam-macam gangguan tidur


Menurut (Kasiati & Rasmalawati, 2016) gangguan tidur dibagi

menjadi 6 macam, yaitu :

1) Insomnia

Insomnia adalah ketidakmampuan seseorang dalam

memenuhi kebutuhan tidur, baik secara kualitas maupun

kuantitas. Penyebabnya bisa karena gangguan fisik atau

karena factor mental seperti perasaan gundah atau gelisah.

Prevalensi tingkat gangguan tidur pediatrik berkisar

antara 1 hingga 3% untuk gangguan tidur sleep apnea

hingga 20-30% untuk insomnia pediatric (Morsbach &

Meltzer, 2015) .

Menurut (Kasiati & Rasmalawati, 2016) ada tiga jenis

insomnia :

a) Insomnia inisial yaitu kesulitan untuk memulai tidur

b) Insomnia intermiten yaitu kesulitan untuk tetap

tertidur karena seringnya terjaga

c) Insomnia terinal yaitu bangun terlalu dini dan sulit

untuk kembali tertidur.

2) Parasomnia

Parasomnia adalah perilaku yang dapat mengganggu tidur

atau muncul saat seseorang tidur. beberapa turunan

parasomnia antara lain sering terjaga seperti tidur berjalan

dan night terror, gangguan transisi bangun-tidur seperti


mengigau, parasomnia yang terkait dengan tidur REM

seperti mimpi buruk dan bruksisme.

3) Hipersomnia

Hipersomnia adalah kebalikan dari insomnia, yaitu tidur

yang berlebihan terutama pada siang hari. Gangguan ini

dapat disebabkan oleh kondisi tertentu, seperti kerusakan

sistem saraf, gangguan pada hari atau ginjal, atau karena

gangguan metabolism seperti hipertiroidisme. Pada

kondisi tertentu, hipersomnia dapat digunakan sebagai

mekanisme koping untuk menghindari tanggungjawab

pada siang hari.

4) Narkolepsi

Narkolepsi adalah gelombang kantuk yang tak

tertahankan yang muncu secara tiba-tiba pada siang hari.

Gangguan ini juga disebut serangan tidur atau sleep

attack. Penyebab pastinya belum diketahui. Diduga

karena kerusakan genetik sistem saraf pusat yang

menyebabkan tidak terkendalinya periode tidur REM.

Pencegahan alternatifnya dengan mengonsumsi obat-

obatan seperti amfetamin atau metipenidase, hidroklorida,

atau dengan antidepresan seperti imipramin hidroksia.

5) Apnea data tidur atau mendengkur


Apnea saat tidur adalah kondisi terhentinya nafas secara

periodic pada saat tidur. kondisi ini banyak terjadi pada

orang yang sering merokok, sering terjaga dimalam hari,

insomnia, mengantuk berlebihan pada siang hari, sakit

kepala disiang hari, iritabilitas, atau mengalami

perubahan psikologis seperti hipertensi atau aritmia

jantung. Sedangkan mendengkur disebabkan karena

adanya rintangan atau gangguan pada aliran udara di

hidung dan di mulut saat tidur. biasanya disebabkan oleh

adenoid, amandel, atau mengendurnya otot di belakang

mulut.

6) Enuresia

Enuresia merupakan buang air kecil yang tidak disengaja

pada waktu tidur, atau biasa disebut ngompol. Enuresia

tersebut dibagi mnejadi dua jenis yaitu enuresia noktural

yang berarti mengompol di waktu tidur dan enuresia

diural yang berarti mengompol saat bangun dari tidur.

enuresia noktural umumnya merupakan gangguan pada

tidur NREM.

g. Kebutuhan tidur menurut usia

Menurut (Kemenkes RI, 2018) kebutuhan tidur seseorang

berbeda-beda, hal ini dipengaruhi oleh perbedaan usia

seseorang.
a) Usia 0-1 bulan

Bayi baru lahir hingga berusia 1 bulan umumnya

membutuhkan waktu tidur 14-18 jam setiap harinya

b) Usia 1-18 bulan

Bayi berusia 1-18 bulan umumnya membutuhkan waktu

tidur 12-14 jam termasuk tidur siang. Bayi membutuhkan

waktu tidur yang cukup karena dapat membuat tubuh dan

otak bayi berkembang dengan baik.

c) Usia 3-6 tahun

Usia anak pra sekolah membutuhkan waktu untuk tidur

selama 11-13 jam setiap harinya termasuk tidur siang.

Menurut penelitian anak yang berusia kurang dari 6 tahun

apabila mengalami kurang tidur akan beresiko obesitas.

d) Usia 6-12 tahun

Pada anak usia 3-6 tahun membutuhkan waktu tidur

selama 10 jam. Apabila anak kurang tidur, maka dapat

menyebabkan anak menjadi hiperaktif, sulit konsentrasi

dalam belajar, dan memiliki masalah perilaku di sekolah.

Menurut (Belísio, Louzada, & Azevedo, 2010) kebiasaan

siklus bangun dan tidur anak usia sekolah dipengaruhi

oleh factor social dan biologi. Factor social seperti

berbagi tempat tidur, berbagi ruang tidur, penggunaan


media, lingkungan keluarga dan jadwal sekolah

mempengaruhi rutinitas anak sekolah

National Sleep Foundation merekomendasikan durasi

untuk anak usia sekolah adalah 9 sampai dengan 11 jam.

Masalah dan gangguan tidur lazim terjadi pada anak usia

sekolah. Pada usia ini ada peningkatan kebutuhan waktu

mereka untuk sekolah seperti mengerjakan Pekerjaan

Rumah (PR), berolahraga, ekstrakurikuler, dan aktifitas

social. Disamping itu, anak usia sekolah menjadi lebih

tertarik terhadap TV, computer, media dan internet.

Mengkonsumsi makanan atau minuman yang

mengandung seperti produk kafein dapat mengakibatkan

sulit untuk jatuh tertidur, mimpi buruk dan gangguan

selama tidur (Pacheco, 2020).

Pada umumnya anak usia sekolah membutuhkan waktu

tidur 10 jam. Seorang anak yang tidak memilik waktu

istirahat yang cukup, dapat menyebabkan anak tersebut

menjadi hiperaktif, tidak konsentrasi belajar, dan

memiliki masalah perilaku di sekolah (Kemenkes RI,

2019)

e) Usia 12-18 tahun

Anak menjelang usia remaja membutuhkan tidur yang

sehat, umumnya kebutuhan eaktu tidurnya 8-9 jam dalam


sehari. Studi menunjukkan seorang remaja yang

mengalami kurang tidur bisa menyebabkan depresi, tidak

fokus dan mengalami penurunan di bidang akademik

f) Usia 18-40 tahun

Orang yang sudah memasuki usia dewasa membutuhkan

waktu tidur selama 7-8 jam setiap harinya. Disarankan

bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan tidurnya agar

terciptanya hidup yang sehat.

g) Lansia

Kebutuhan tidur lansia menurun daripada usia

sebelumnya, cukup 7 jam setiap harinya. Demikian juga

apabila usia lansia mencapai 60 tahun keatas maka

kebutuhan tidurnya cukup 6 jam per hari.

h. Factor- factor yang Mempengaruhi Kebutuhan Tidur

Menurut (Kasiati & Rasmalawati, 2016) banyak factor yang

mempengaruhi kualitas maupun kuantitas tidur, factor tersebut

antara lain :

1) Penyakit

Penyakit dapat menyebabkan nyeri atau distress fisik

yang dapat menyebabkan gangguan tidur. Sakit dapat

mempengaruhi kebutuhan tidur seseorang. Banyak

penyakit yang mengganggu kebutuhan tidur seseorang,

misalnya penyakit yang disebabkan oleh infeksi, dan ada


banyak juga penyakit yang menjadikan seseorang kurang

atau bahkan tidak bisa tidur, misalnya nyeri setelah

operasi. Seseorang yang sakit membutuhkan waktu tidur

yang lebih banyak daripada orang yang sehat, selain itu

siklus bangun-tidur selama sakit juga dapat mengalami

gangguan.

2) Lingkungan

Factor lingkungan dapat mempengaruhi proses tidur,

seperti membantu sekaligus menghambat proses tidur itu

sendiri. Contohnya temperature ruangan yang tidak

nyaman atau ventilasi yang buruk dapat mempengaruhi

tidur seseorang. Akan tetapi, individu akan beradaptasi

dan tidak lagi terpengaruh dengan kondisi tersebut.

Misalnya pada anak stressor yang diterima anak selama

dirawat dapat berupa lingkungan rumah sakit yang asing,

rasa nyeri dan penyakit yang anak alami serta

pemeriksaan medis di rumah sakit sehingga stress pada

anak dapat menyebabkan gangguan tidur, penurunan

nafsu makan dan gangguan perkembangan yang dapat

menunda proses penyembuhan penyakit (Kapti, Putri, &

Ahsan, 2015).

3) Latihan dan Kelelahan


Kondisi tubuh yang lelah dapat mempengaruhi pola tidur

seseorang. Semakin lelah seseorang, semakin pendek

siklus tidur REM yang dilaluinya. Setelah beristirahat

biasanya siklus REM akan kembali memanjang.

4) Gaya Hidup

Individu yang sering berganti jam kerja harus mengatur

aktivitasnya agar bisa tidur pada waktu yang tepat.

Berbagai kebiasaan dan perilaku pada anak seperti sering

menonton televisi atau menonton disaat akan tidur. Pada

anak-anak, interaksi social dan karakteristik temperamen

individu memegang peran penting dalam kualitas tidur

(Owens et al., 2020). Menurut (Abdurrab, Hablaini,

Lestari, & Niriyah, 2020) seseorang yang tidak dapat

mengontrol atau mengurangi waktu penggunaan gadget

dapat mengakibatkan kebutuhan tidurnya terganggu.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh (Corbafo, 2019)

menunnjukkan kualitas tidur anak pengguna gadget di

salah satu SD Kota Semarang sebagian besar kategori

baik sejumlah 62 responden (70,5%). Kualitas tidur anak

ditinjau dari lama tidur sebagian besar lebih dari 7 jam

(62,5%), litensi tidur sebagian besar kurang dari 15 menit

(34,1%), frekuensi terbangun sebagian besar sekali

seminggu (69,3%), ditinjau dari kedalaman tidur sebagian


besar sangat baik (59,1%), dan ditinjau dari kepulasan

tidur sebagian besar lebih dari 85% sejumlah 77

responden (87,5%).

5) Stress

Emosional Ansietas dan depresi sering menyebabkan

kualitas tidur seseorang terganggu. Kondisi ini dapat

meningkatkan kadar norepinfrin darah melalui stimulasi

system saraf simpatis. Sehingga menyebabkan

berkurangnya siklus tidur NREM, tahap IV dan tidur

REM serta seringnya terjaga saat tidur.

6) Stimulant dan Alkohol

Pada beberapa minuman yang mengandung kafein

apabila dikonsumsi atau diminum dapat mengakibatkan

kualitas tidur seseorang terganggu. Selain itu minuman

alcohol yang berlebihan juga menyebabkan tidur

seseorang terganggu. Apabila pengaruh alcohol dalam

tubuh seseorang telah hilang, seseorang bisa mengalami

mimpi buruk.

7) Status Gizi atau Diet

Penurunan berat badan dikaitkan denganpenurunan waktu

tidur dan seringnya terjadi di malam hari. Sebaliknya,

penambahan berat badan dikaitkan dengan peningkatan

total tidur dan sedikitnya periode terjaga di malam hari.


Nutrisi dan tidur terdapat hubungan yang saling

memengaruhi. Beberapa nutrisi yang dikaitkan

mempengaruhi tidur adalah makronutien berupa

karohidrat dan protein. Asupan karbohidrat dan protein

dihubungkan dengan kondisi status gizi yang kemudian

juga banyak diduga berhubungan dengan gangguan tidur

seseorang. Mikronutrien dikatakan banya berperan

terhadap tidur karena efek pada sistem neurobiologik

seperti vitamin B, besi, kalsium, dan magnesium. Zat-zat

gizi tersebut dikaitkan dapat member efek promotif pada

tidur dan asupan yang tidak adekuat dapat menyebabkan

gangguan tidur (Sarrafi-zadeh et al., 2012).

8) Merokok

Nikotin yang terkandung dalam rokok memiliki efek

stimulasi pada tubuh. Sehingga kebanyakan perokok

kesulitan untuk tidur dan mudah terbangun di malam hari.

9) Medikasi

Obat-obatan tertentu dapat mempengaruhi kualitas tidur

seseorang. Seseorang akan mengalami gangguan tidur

apabila mengkonsumsi obat-obatan tertentu. Hipnoti

dapat mengganggu tahap III dan IV tidur NREM,

metabloker dapat menyebabkan insomnia dan mimpi

buruk, sedangkan narkotik (misalnya : meperidin


hidroklorida dan mofrin) diketahui dapat menekan tidur

REM dan menyebabkan seringnya terjaga di malam hari.

10) Motivasi

Seseorang yang memiliki keinginan untuk tetap terjaga

akan tidak merasakan kelelahan. Dan sebaliknya, apabila

seseorang bosan atau merasa tidak memiliki motivasi

untuk terjaga kebanyakan akan mudah untuk

mendatangkan kantuk.

Berdasarkan penelitian (Wicaksono, Yusuf, & Widyawati,

2012) setiap factor yang mempengaruhi atau mengganggu

kualitas tidur seseorang akan dapat diatasi sehingga dapat

mengurangi kesulitan tidur seseorang. Seperti factor stress

dapat diatasi dengan pengaturan koping dengan tepat, apabila

seseorang mengalami kelelahan dapat diatasi dengan istirahat

yang cukup, masalah lingkunga dapat diatasi dengan

merenovasi kondisi ruangan tidur menjadi senyaman mungkin,

untuk masalah diet dapat diatasi dengan mengatur pola makan

dan gaya hidur yang baik seperti rutin berolahraga, untuk

masalah obat dapat diatasi dengan tidak mengkonsumsi obat

atau membatasi pengguanaan obat yang mengakibatkan

seseorang mengalami gangguan tidur, untuk masalah penyakit

dapat diatasi dengan meminimalkan efek dari penyakit tersebut


dan masalah gaya hidup dapat diatasi dengan merubah gaya

hidup tersebut menjadi lebih baik .

2. Status Gizi

a. Definisi status gizi

Nutritional status (status gizi), adalah keadaan yang

diakibatkan oleh keseimbangan antara asupan zat gizi dari

makanan dengan kebutuhan zat gizi yang diperlukan untuk

metabolism tubuh. Setiap individu membutuhkan asupan zat

gizi yang berbeda antarindividu, hal ini tergantung pada usia

orang tersebut, jenis kelamin, aktivitas tubuh dalam sehari,

berat badan, dan lainnya (Harjatmo, Par’i, & Wiyono, 2017)

Menurut penelitian (Angkat, 2018) status gizi adalah

keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan

pengguanaan zat gizi. Status gizi memberikan gambaran

tentang keadaan keseimbangan antara asupan dan kebutuhan

zat gizi oleh tubuh yang dapat dilihat melalui pertumbuhan

fisik, ukuran tubuh, dan antropometri.

Berdasarkan uraian pengertian diatas dapat disimpulkan

bahwa status gizi merupakan gambaran keadaan tubuh

seseorang yang terjadi akibat makanan atau zat-zat dikonsumsi

setiap hari.

b. Masalah Gizi pada Anak


Saat ini Indonesi memiliki tiga masalah gizi (tripel burden)

yaitu stunting, wasting, dan obesitas serta kekurangan zat gizi

mikro seperti anemia (Kemenkes RI, 2020).

1) Stunting (gizi kurang)

Menurut (WHO, 2019) stunting didefinisikan sebagai

gangguan tumbuh kembang yang dialami anak yang

diakibatkan oleh gizi buruk, infeksi berulang, dan

stimulasi psikososial yang tidak memadai. Anak-anak

disebut sebagai terhambat apabila tinggi badan anak

terhadap usia lebih dari dua deviasi standar di bawah

median Standar Pertumbuhan Anak WHO.

Masalah gizi kurang masih tersebar luas di negara-negara

berkembang, termasuk Indonesia. Pada sisi lain, masalah

gizi lebih yang merupakan masalah gizi di negara maju

mulai terlihat di negara-negara berkembang. Berdasarkan

hasil Riset Kesehatan Dasar, kondisi gizi anak telah

menunjukkan perbaikan. Pada masalah stunting terjadi

penurunan prevalensi pada anak balita dari 37,21% di

tahun 2013 menjadi 30,79% tahun 2018. Demikian juga

apabila dibandingkan dengan data prevalensi stunting

pada balita tahun 20116 yaitu 33,60% (Kemenkes RI,

2020)

2) Wasting
Wasting atau kurus merupakan proses penurunan berat

badan yang baru dan parah, yang sering dikaitkan dengan

kelaparan akut dan atau penyakit parah. Namun, wasting

juga bisa disebabkan oleh kondisi yang tidak

menguntungkan (WHO, 2020)

3) Obesitas

Kegemukan atau obesitas merupakan akumulasi lemak

yang tidak normal atau berlebihan yang dapat

mengganggu kesehatan.

Menurut hasil penelitian (Simarmata, 2017) dari 249 (100%)

responden, 1 anak (0,4%) masuk dalam kategori gizi buruk, 44

anak (17,7%) masuk kategori gizi kurang, 129 anak (51,8%)

masuk dalam kategori normal, 34 anak (13,7%) masuk kategori

overweight, dan 41 anak (16,5%) masuk kategori obesitas.

c. Factor yang Mempengaruhi Status Gizi

Menurut penelitian (Bertalina, 2013) factor yang

mempengaruhi status gizi anak berdasarkan TB/U yaitu

pengetahuan ibu mengenai gizi yang baik untuk anak, asupan

energy, dan asupan protein.

Penyebab masalah gizi kurang menunjukkan bahwa

buruknya status gizi anak adalah pendidikan ibu; akses ibu

terhadap informasi, khususnya gizi dan kesehatan; pengetahuan

gizi ibu, kebiasaan makan anak dan pendapatan (pengeluaran


total); pengetahuan gizi ibu, perilaku gizi ibu, lingkungan fisik,

kebiasaan makan anak, keadaan social ekonomi, khususnya

pendapatan; serta pengetahuan gizi ibu, peran ibu sebagai “gate

keeper” dalam menjaga konsumsi dan status gizi di

rumahtangga (Riyadi, Martianto, Hastuti, Damayanthi, &

Murtilaksono, 2011)

Menurut (Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2009)

pengukuran factor ekologi diperlukan untuk mengetahui

penyebab malnutrisi di suatu masyarakat sebagai dasar untuk

melakukan program intervensi gizi. Beberapa factor ekologi :

1) Factor Sosial Ekonomi

Banyak factor social ekonomi yang sukar untuk dinilai

secara kuantitatif, khususnya pendapatan dan kepemilikan

(barang berharga, tanah, ternak) karena masyarakat

enggan untuk membicarakan kepada orang yang tidak

dikenal, termasuk ketakutan akan pajak dan perampokan.

Tingkat pendidikan juga termasuk dalam factor ini.

Tingkat pendidikan berhubungan dengan status gizi

karena dengan meningkatnya pendidikan kemungkinan

akan meningkatkan pendapatan sehingga dapat

meningkatkan daya beli makanan.

2) Factor yang berhubungan dengan makanan


a) Availability / ketersediaan

b) Accessibility/ jangkauan terhadap makanan

c) Preparation/ persiapan

d) Consumption/ konsumsi

e) Utilization/ penggunaan zat gizi

f) Adequacy/ kecukupan

3) Faktor kesehatan

Aspek kesehatan yang berpengaruh besar terhadap status

gizi masyarakat adalah sebagai berikut.

a) Kontribusi infeksi

Infeksi dapat menyebabkan kurangnya nafsu makan

sehingga menyebabkan asupan makanan menjadi

rendah yang akhirnya menyebabkan kurang gizi.

b) Sanitasi lingkungan

Lingkungan yang buruk seperti air minum tidak

bersih, tidak adanya saluran penampungan air

limbah, tidak menggunakan kloset yang baik, juga

kepadatan penduduk yang tinggi dapat

menyebabkan penyebaran kuman penyakit.

c) Pelayanan kesehatan

Data-data yang diperlukan sehubungan dengan

pelayanan kesehatan seperti ada tidaknya

puskesmas, RS beserta jumlah, program kesehatan


seperti imunisasi, keluarga berencana, pengenalan

oralit, trining-trining yang melibatkan masyarakat

diperlukan dalam survey yang berhubungan dengan

gizi.

4) Factor demografi

Factor demografi seperti peningkatan jumlah penduduk,

tingkat urbanisasi, jumlah anggota keluarga, jarak

kelahiran dipertimbangkan sebagai factor yang juga

berpengaruh terhadap status gizi masyarakat sehingga

digunakansebagai denominator pada CNL equation.

5) Factor Politik dan kebijakan

Politik yang tidak stabil khususnya peperangan atau

lainnya akan berdampak pula terhadap status gizi

masyarakat. Perbaikan status gizi masyarakat sangat

tergantung pada kebijakan pada kebijakan pemerintah

seperti kebijakan ekspor-impor, kebijakan harga,

kebijakan yang berhubungan dengan gizi dan kesehatan,

kebijakan pertanian.

6) Faktor Budaya

Budaya berperan dalam status gizi masyarakat karena ada

beberapa kepercayaan, seperti tabu mengonsumsi

makanan tertentu oleh kelompok umur tertentu yang

sebenarnya makanan tersebut justru bergizi dan


dibutuhkan oleh kelompok umur tersebut. Seperti ibu

hamil yang tabu mengonsumsi ikan.

7) Factor Geografi dan iklim

Geografi dan iklim berhubungan dengan jenis tumbuhan

yang dapat hidup sehingga berhubungan dengan produksi

makanan.

d. Penilian Status Gizi

Status gizi dapat dilihat dengan melakukan pengukuran,

kemudian hasil pengukuran dibandingkan dengan standar

pengukuran yang digunakan. Sedangkan peran penilaian status

gizi itu sendiri bertujuan untuk mengetahui atau melihat ada

tidaknya masalah status gizi. Penilaian status gizi penting

karena dapat menyebabkan masalah yang besar apabila tidak

dilakukan pengukuran sejak dini dan berhubungan dengan

masalah gizi. Maka dengan diketahuinya status gizi seseorang,

dapat memperbaiki tingkat kesehatan masyarakat.

Menurut (Mardalena, 2017) Penilaian status gizi adalah

interpretasi dari data yang didapatkan dengan mengguanakan

berbagai metode untuk mengidentifikasi populasi atau individu

yang beresiko atau dengan status gizi buruk.

Dalam ilmu gizi, ada dua metode penilaian status gizi yaitu.

1) Penilaian status gizi secara langsung

a) Antropometri
Antropometri berarti adalah ukuran tubuh manusia.

Pengukuran menggunakan metode ini dilakukan

karena manusia mengalami pertumbuhan dan

perkembangan. Pertumbuhan mencakup perubahan

besar, jumlah, ukuran, dan fungsi sel, jaringan,

organ tingkat individu yang diukur dengan ukuran

panjang, berat, umur tulang dan keseimbangan

metabolic. Sedangkan perkembangan adalah

bertambahnya kemampuan dalam struktur dan

fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang

teratur dan dapat diramalkan. Pertumbuhan dan

perkembangan dipengaruhi oleh factor internal

(genetic) dan factor eksternal/ lingkungan.

Metode antropometri digunakan untuk melihat

ketidakseimbangan asupan protein dan energy

(karbohidrat dan lemak). Metode ini memiliki

keunggulan, dimana alat yang digunakan mudah,

dapat dilakukan berulang-ulang dan objektif. Siapa

saja bisa dilatih mengukur, relative murah, hasilnya

mudah disimpulkan, secara ilmiah diakui

kebenarannya, sederhana, aman, bisa sempel besar,

tepat, akurat, dapat menggambarkan riwayat gizi

masa lalu, bisa untuk skrining dan mengevaluasi


status gizi. Selain keunggulan, ada juga

kelemahannya antara lain : tidak sensitive dan

spesifik mengukur suatu zat gizi, bisa dipengaruhi

factor diluar gizi misalnya penyakit, bisa terjadi

kesalahan pengukuran.

Antropometri sebagai indicator status gizi

dapat dilakukan dengan mengukur beberapa

parameter. Parameter ini terdiri dari :

1. Umur, yaitu bulan penuh untuk anak 0-2 tahun

dan tahun penuh > 2 tahun dihitung dari hari

lahir.

2. Berat badan menggunakan timbangan yang

sesuai dan cara yang tepat.

3. Tinggi badan diukur pada posisi lurus dengan

cara yang tepat.

4. Lingkar lengan atas dapat menggunakan pita

LILA atau meteran.

5. Lingkar Kepala

6. Lingkar Dada

7. Jaringan Lunak (lemak sub cutan) diukur

menggunakan alat khusus.

Parameter sebagai ukuran tunggal belum bisa

digunakan untuk menilai status gizi, maka harus


dikombinasikan. Kombinasi beberapa parameter itu

disebut dengan Indeks Antropometri yang terdiri

dari :

1. Berat badan menurut umur (BB/U)

2. Tinggi badan menurut umur (TB/U)

3. Berat badan menurut tinggi badan (BB/TB)

4. Lingkar lengan ataas menurut umur (LLA/U)

5. Indeks Massa Tubuh (IMT), dll.

b) Pemeriksaan Klinis

Pemeriksaan Klinis sebagai salah satu metode

penilaian status gizi secara langsung. Secara umum

pemeriksaan ini terdiri dari dua bagian yaitu riwayat

medis/ riwayat kesehatan merupakan catatan

mengenai perkembangan penyakit. Yang kedua

yaitu pemeriksaan fisik, pemeriksaaan fisik

dilakukan dari kepala sampai ujung kaki untuk

melihat tanda-tanda dan gejala adanya masalah gizi.

1. Riwayat medis

Dalam riwayat medis, perawat mencatat

semua kejadian yang berhubungan dengan

gejala yang timbul pada penderita beserta

fakto-faktor yang mempengaruhi. Catatan

tersebut meliputi identitas penderita secara


lengkap, riwayat kesehatan saat ini, riwayat

kesehatan masa lalu yang berkaitan dengan

penyakit saat ini, riwayat kesehatan keluarga

yang berkaitan, data lingkungan fisik dan

social budaya yang berhubungan dengan gizi,

data-data tambahan yang diperlukan misalnya

adalah riwayat alergi terhadap makanan, jenis

diet dan pengobatan yang sedang atau pernah

dijalani penderita, dll. Data- data tersebut

dapat dikumpulkan melalui wawancara

dengan penderita dan keluarga.

2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik dapat dilakukan melalui

teknik inspeksi atau pemeriksaan pandang,

palpasi atau periksa raba, perkusi atau periksa

ketuk dan auskultasi atau pemeriksaan

menggunakan stetoskop. Semua perubahan

pada rambut, kulit, mata, mulut, lidah, gigi,

kelenjar tiroid, dll.

Seperti pada metode penilaian gizi yang lain,

pemeriksaan klinis juga memiliki kekurangan dan

kelebihan. Adapun kelebihan atau keunggulannya

adalah relative murah, tidak memerlukan tenaga


khusus cukup paramedic terlatih, sederhana, cepat,

dan mudah diinterpretasikan, dan peralatan

sederhana. Sedangkan kelemahannya adalah

beberapa gejala klinis tidak mudah dideteksi,

kadang tidak spesifik, adanya gejala klinis yang

bersifat multiple, gejala dapat terjadi saat permulaan

atau tahap akan sembuh dari penyakit, adanya

variasi dalam gejala klinis.

c) Biokimia

Pemeriksaan status gizi menggunakan biokimia,

terdiri dari :

1. Penilaian status besi dengan pemeriksaan

Hemoglobin (Hb), Hematokrit, Besi serum,

Ferritin serum, saturasi transferin, free

rytrocites protophoprin, unsaturated iron-

binding capacity serum.

2. Penilaian status protein dapat dilakukan

dengan melakukan pemeriksaan fraksi protein

yaitu Albumin, Globulin, dan Fibrinogen.

3. Penilaian status vitamin tergantung dari

vitamin yang ingin diketahui.

4. Penilaian status mineral, misalnya iodium

dinilai dengan memeriksa kadar yodium


dalam urine dan kadar hormone TSH

(Thyroid Stimulating Hormone). Zink atau

seng dinilai dengan pemeriksaan urine, atau

kandungannya dalam plasma.

Adapun hasil pemeriksaan biokimia setiap zat gizi

tersebut dibandingkan dengan nilai normalnya

masing-masing sehingga bila dibawah nilai normal

berarti terdapat kekurangan. Namun sebaliknya bila

diatas nilai normal bisa jadi karena kelebihan gizi

tertentu.

d) Biofisik

Pemeriksaan status gizi dengan biofisik adalah

pemeriksaan yang melihat dari kemampuan fungsi

jaringan dan perubahan struktur. Tes kemampuan

fungsi jaringan meliputi kemampun kerja dan

energy ekspenditure serta adaptasi sikap. Tes

perubahan struktur dapat dilihat secara klinis

(misalnya pengerasan kuku, pertumbuhan rambut,

dll) atau non klinis (misalnya radiologi).

Penilaian secara biofisik dapat dilakukan dengan

tiga cara yaitu uji radiologi, tes fungsi fisik

(misalnya tes adaptasi pada ruang gelap), dan

sitologi (misalnya pada KEP dengan melikat noda


pada epitel dari mukosa oral). Penilaian biofisik ini

memerlukan biaya yang besar.

2) Penilaian status gizi tidak langsung

a) Survey konsumsi makanan

Survei ini digunakan dalam menentukan status gizi

perorangan atau kelompok. Survei konsumsi

makanan dimaksudkan untuk mengetahui kebiasaan

makan atau gambaran tingkat kecukupan bahan

makanan dan zat gizi pada tingkat kelompok, rumah

tangga, dan perorangan serta factor-faktor yang

memengaruhinya. Berdasarkan jenis data yang

diperoleh, pengukuran konsumsi makanan

menghasilkan dua jenis data yaitu kualitatif yang

melengkapi frekuensi makanan, dietary history,

metode telepon, dan daftar makanan, dan data

kuantitatif yang mencangkup metode recall 24 jam,

perkiraan makanan, penimbangan makanan, food

account, metode inventaris dan pencatatan.

b) Pengukuran Faktor Ekologi

Factor ekologi yang berhubungan dengan malnutrisi

ada enam kelompok, yaitu keadaan infeksi,

konsumsi makanan, pengaruh budaya, social


ekonomi, produksi pangan, serta kesehatan dan

pendidikan.

c) Statistic Vital

Untuk mengetahui gambaran keadaan gizi di suatu

wilayah, seseorang dapat membaca dengan cara

menganalisi statistic kesehatan. Dengan

menggunakan statistic kesehatan, seseorang dapat

melihat indicator tidak langsung pengukuran status

gizi masyarakat. Beberapa statistic yang

berhubungan dengan keadaan kesehatan dan gizi

antara lain angka kesakitan, angka kematian,

pelayanan kesehatan, dan penyakit infeksi yang

berhubungan dengan gizi.

e. Kebutuhan gizi anak

Menurut (Mardalena, 2017) Setiap hari, asupan makanan anak

harus mengandung 10-15% kalori, 20-35% lemak, dan sisanya

karbohidrat. Setiap kg berat badan anak memerlukanasupan

energy sebanyak 100 kkal. Asupan lemak juga perlu

ditingkatkan karena struktur utama pembentuk otak adalah

lemak. Lemak tersebut dapat diperoleh dari minyak dan

margarine. Berikut kebutuhan gizi anak berdasarkan usia.

1) Anak usia TK
Pada usia ini, anak sudah bisa memilih makanan yang

disukainya. Maka pola asuh yang harus dibangun

orangtua adalah menanamkan kebiasaan makan dengan

gizi yang baik sejak dini.

2) Anak usia 7-9 tahun

Pada masa ini anak semakin pandai menentukan makanan

yang disukainya karena sudah mengenal lingkungan.

Akan tetapi perlu diperhatikan polanya, dimana mereka

biasanya memiliki kecenderungan lebih menyukai

jajanan. Peran orang tua harus lebih maksimal. Arahkan

anak supaya tidak salah memilih makanan karena

pengaruh lingkungan sekitar.

3) Anak usia 10-12 tahun

Kebutuhan sudah dibagi dalam jenis kelaminnya. Pada

umumnya anak laki-laki lebih banyak melakukan

aktivitas fisik, sehingga kebutuhan energinya pun lebih

banyak dibandingkan anak perempuan. Akan tetapi

sebagian kecil anak perempuan di usia ini juga sudah ada

yang mengalami menstruasi, sehingga anak akan lebih

banyak membutuhkan protein, dan zat besi. Pada masa ini

anak perlu ditekankan mengenai pentingnya sarapan pagi

supaya konsentrasi belajar tidak terganggu.


B. Kerangka Teoretis

Faktor Internal Faktor Eksternal

1. Faktor Fisiologis 1. Lingkungan

a. Penyakit a. Stimulant dan

b. Latihan dan Kelelahan Alkohol

c. Status Gizi atau Diet b. Merokok

2. Faktor Psikologis c. Medikasi

a. Gaya Hidup

b. Stress

c. Motivasi

Gangguan Tidur

Gambar Kerangka Teori

(Kasiati & Rasmalawati, 2016), (Sarrafi-zadeh et al., 2012).

C. Kerangka Konsep/ Kerangka Berpikir

Variabel Independen Variabel Dependen

Status Gizi Gangguan Tidur


Variabel Pemicu

Faktor Internal

1. Factor Fisiologis

2. Factor Psikologis

Faktor Eksternal

1. Factor Lingkungan

Keterangan :

: variabel yang diteliti

: variabel yang tidak diteliti

D. Hipotesis

1. Hipotesis Null (Ho) :

Tidak terdapat hubungan antara status gizi dengan gangguan tidur

anak usia 6-12 tahun di Desa Kenteng Kabupaten Semarang

2. Hipotesis Alternatif (Ha) :

Terdapat hubungan antara status gizi dengan gangguan tidur anak

usia 6-12 tahun di Desa Kenteng Kabupaten Semarang


DAFTAR PUSTAKA

Abdurrab, J. K., Hablaini, S., Lestari, R. F., & Niriyah, S. (2020). HUBUNGAN
PENGGUNAAN GADGET DENGAN KUANTITAS DAN KUALITAS TIDUR
PADA ANAK SEKOLAH ( KELAS IV DAN V ) DI SD NEGERI 182 KOTA
PEKANBARU. 4(1), 26–37.
Ambarwati, R. (2017). SLEEP , THE CIRCADIAN RHYTHMS AND
METABOLISM. X(1), 42–46.
Angkat, A. H. (2018). ORIGINAL ARTICLE PENYAKIT INFEKSI DAN
PRAKTEK PEMBERIAN MP-ASI TERHADAP KEJADIAN. 1(1), 52–58.
Apriyani, H. (2012). FAKTOR- FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN TIDUR PASIEN POST
OPERASI DI RSD HM RYACUDU KOTABUMI. III(1), 10–16.
Asmadi. (2008). Konsep dasar keperawatan. Jakarta: EGC.
Bathory, E., & Tomopoulos, S. (2017). Sleep Regulation, Physiology and
Development, Sleep Duration and Patterns, and Sleep Hygiene in Infants,
Toddlers, and Preschool-Age Children. Current Problems in Pediatric and
Adolescent Health Care, 47(2), 29–42.
https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.cppeds.2016.12.001
Belísio, A. S., Louzada, F. M., & Azevedo, C. V. M. De. (2010). Influence of
social factors on the sleep-wake cycle in children. 3(2).
Bertalina. (2013). FAKTOR–FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
STATUS GIZI ANAK USIA SEKOLAH (6-12 TAHUN). IX(1), 5–12.
Cheng, W., & Sekartini, R. (2012). Hubungan Status Gizi, Asupan Besi, dan
Magnesium dengan Gangguan Tidur Anak Usia 5-7 Tahun di Kampung
Melayu, Jakarta Timur. 433, 7–12.
Corbafo, F. T. D. (2019). GAMBARAN KUALITAS TIDUR ANAK USIA
SEKOLAH PENGGUNA GADGET DI SD NEGERI BANYUMANIK 01
KOTA SEMARANG. 35.
Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia. (2009). GIZI DAN KESEHATAN MASYARAKAT.
Jakarta.
Harjatmo, T. P., Par’i, H. M., & Wiyono, S. (2017). PENILAIAN STATUS GIZI.
Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Jauhari. (2020). PEMENUHAN KEBUTUHAN ISTIRAHAT TIDUR SERTA
DAMPAKNYA TERHADAP KESEHATAN PADA ANAK USIA DINI. 3(2),
89–96.
Kapti, R. E., Putri, S. A., & Ahsan. (2015). PENGARUH TERAPI SLEEP
HYGIENE TERHADAP GANGGUAN TIDUR PADA ANAK USIA
SEKOLAH YANG MENJALANI HOSPITALISASI. JURNAL
KEPERAWATAN, 6, 1–5.
Kasiati, & Rasmalawati, N. W. D. (2016). KEBUTUHAN DASAR MANUSIA I.
Jakarta: Kemenkes RI.
Kemenkes RI. (2018). Kebutuhan Tidur sesuai Usia. Retrieved from Kementerian
Kesehatan RI website: http://www.p2ptm.kemkes.go.id/infographic-
p2ptm/obesitas/page/18/kebutuhan-tidur-sesuai-usia
Kemenkes RI. (2019). Kebutuhan Tidur Sesuai Usia. Retrieved October 25, 2020,
from https://promkes.kemkes.go.id/wp-
content/uploads/pdf/publikasi_materi_promosi/Informasi CERDIK/6.
Istirahat Cukup_285x285mm.pdf
Kemenkes RI. (2020). KEMENKES TINGKATKAN STATUS GIZI
MASYARAKAT. Retrieved from Kementerian Kesehatan RI website:
https://www.kemkes.go.id/article/view/19081600004/kemenkes-tingkatkan-
status-gizi-masyarakat.html
Mardalena, I. (2017). Dasar-dasar Ilmu Gizi dalam Keperawatan. Yogyakarta:
PUSTAKA BARU PRESS.
Mayuri, N. S., Ghifrani, S., Ardinia, H. N., & Setyaningsih, R. D. (2017).
STRATEGI TIDUR SEHAT SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN TERHADAP
HIPERTENSI DINI. 1(2), 74–80.
Morsbach, S., & Meltzer, L. J. (2015). Addressing sleep in pediatric primary care :
A review of the literature. Sleep Medicine Reviews, (January), 1–9.
https://doi.org/10.1016/j.smrv.2015.01.004
Owens, J., Maxim, R., Mcguinn, M., Nobile, C., Msall, M., Alario, A., &
Objective, A. (2020). Television-viewing Habits and Sleep Disturbance in
School Children. (September 1999).
Pacheco, D. (2020). Children and Sleep. Retrieved October 25, 2020, from
https://www.sleepfoundation.org/children-and-sleep
Potter, P. A., & Perry, A. G. (2011). Fundamentals Of Nursing Edisi 7 Jilid 3 (7th
ed.). Elsevier.
Reza, R. R., Berawi, K., Karima, N., & Budiarto, A. (2019). Fungsi Tidur dalam
Manajemen Kesehatan. 8, 247–253.
Riyadi, H., Martianto, D., Hastuti, D., Damayanthi, E., & Murtilaksono, K.
(2011). FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI STATUS GIZI ANAK
BALITA DI KABUPATEN TIMOR TENGAH UTARA , PROVINSI NUSA.
6(1), 66–73.
Sarfriyanda, J., Karim, D., & Dewi, A. P. (2015). HUBUNGAN ANTARA
KUALITAS TIDUR DAN KUANTITAS TIDUR DENGAN PRESTASI
BELAJAR MAHASISWA. 2(2).
Sarrafi-zadeh, S., Dharwadkar, S., Singh, R. B., Meester, F. De, Wilczynska, A.,
Wilson, D. W., & Begum, K. (2012). Nutritional Modulators of Sleep
Disorders. 1–14.
Simarmata, I. Y. S. (2017). Hubungan Status Gizi dan Gangguan Tidur pada
Anak Sekolah Dasar di Kecamatan Tikala Manado. 5–10.
WHO. (2019). Stunting in a nutshell. Retrieved November 1, 2020, from
https://www.who.int/nutrition/healthygrowthproj_stunted_videos/en/
WHO. (2020). Global Database on Child Growth and Malnutrition. Retrieved
November 1, 2020, from
https://www.who.int/nutgrowthdb/about/introduction/en/index2.html
Wicaksono, D. W., Yusuf, A., & Widyawati, I. Y. (2012). ANALISIS FAKTOR
DOMINAN YANG BERHUBUNGAN DNGAN KUALITAS TIDUR
MAHASISWA FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA.
46–58.

Anda mungkin juga menyukai