Anda di halaman 1dari 19

UNIVERSITAS PAKUAN

FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL

BAHAN AJAR
Semester Ganjil 2020/2021

STRUKTUR BETON BERTULANG I


4. LENTUR PADA BALOK PERSEGI

Titik Penta Artiningsih


4. LENTUR PADA BALOK PENAMPANG PERSEGI

4.1. PENDAHULUAN
Balok dapat didefinisikan sebagai salah satu dari elemen struktur portal dengan bentang
yang arahnya horisontal, sedangkan portal merupakan kerangka utama dari struktur
bangunan, khususnya bangunan gedung. Portal digambarkan dalam bentuk garis horisontal
– disebut balok – dan garis vertikal – disebut kolom – yang saling bertemu pada titik buhul.

Bila beban bekerja pada elemen struktur, baik beban hidup dan beban mati gravitasi, beban
angin horisontal, beban gempa, atau beban akibat susut dan suhu, maka struktur tersebut
akan mengalami lentur, geser, maupun torsi, dan terjadi perubahan elemen struktur.
Lenturan yang terjadi merupakan perubahan regangan yang diakibatkan oleh tegangan
lentur karena beban luar. Bila beban ditingkatkan, maka balok akan menahan penambahan
regangan dan lendutan sehingga akhirnya terjadi retak-retak lentur di sepanjang bentang
balok. Bila penambahan beban dilanjutkan sehingga mencapai batas kapasitas elemen
struktur tersebut, maka terjadi keruntuhan struktur itu. Keadaan ini disebut keadaan batas
kegagalan lentur. Oleh karena itu perencana harus merencanakan penampang balok yang
mempunyai kekuatan melebihi beban kerja dan mempunyai faktor keamanan yang cukup,
sehingga tidak terjadi retak yang berlebihan.

Balok beton bertulang dalam menerima beban, baik beban hidup dan beban mati gravitasi,
beban angin horisontal, beban gempa, atau beban akibat susut dan suhu, maka struktur
tersebut akan mengalami lentur, dan terjadi perubahan elemen struktur. Lenturan yang
terjadi merupakan perubahan regangan yang diakibatkan oleh tegangan lentur karena
beban luar. Bila beban ditingkatkan, maka balok akan menahan penambahan regangan dan
lendutan sehingga akhirnya terjadi retak-retak lentur di sepanjang bentang balok. Bila
penambahan beban dilanjutkan sehingga mencapai batas kapasitas elemen struktur
tersebut, maka terjadi keruntuhan struktur itu.

Jika balok menahan momen lentur cukup besar, maka serat-serat pada balok bagian atas
akan mengalami tegangan tekan dan pada serat-serat balok bagian bawah mengalami
tegangan tarik. Untuk serat-serat balok bagian atas yang mengalami tegangan tekan,
tegangan ini ditahan oleh beton, sedangkan untuk serat-serat balok yang mengalami
tegangan tarik akan ditahan oleh baja tulangan, karena kuat tarik beton diabaikan.

Pada perencanaan penampang beton bertulang sangat dihindari terjadinya keruntuhan


tekan (over-reinforced) karena sistem ini bersifat getas dan dapat berakibat runtuhnya
balok secara mendadak. Keruntuhan yang ideal adalah keruntuhan seimbang, tetapi sulit
dan tidak pernah dapat dicapai. Karena itu, pilihan terbaik pada sistem perencanaan beton
bertulang adalah tercapainya keruntuhan tarik (under-reinforced). Untuk mencegah
terjadinya keruntuhan getas, atau untuk mencapai keruntuhan daktil, regangan yang lebih
besar dari y pada tulangan tarik terluar harus disyaratkan dalam desain. Untuk
mencapainya, rasio/perbandingan luas tulangan terhadap luas penampang maksimum
harus ditetapkan. Akan tetapi rasio tulangan minimum juga harus dipertahankan, agar
elemen beton bertulang tidak berperilaku seperti beton tanpa tulangan.

Penampang balok beton dapat bertulangan tunggal, yaitu diberi tulangan baja hanya pada
sisi tertarik, atau dapat bertulangan ganda, yaitu diberi tulangan pada sisi tekan (disebut
tulangan tekan) maupun sisi tarik (disebut tulangan tarik). Dalam praktek, sistem tulangan
tunggal hampir tidak pernah dimanfaatkan untuk balok, karena pemasangan batang
tulangan tambahan di daerah tekan, memberikan banyak keuntungan, yaitu meningkatkan
momen ketahanan penampang, meningkatkan daktilitas penampang, mengurangi defleksi
jangka panjang, dapat menerima kemungkinan adanya momen yang berubah arah, misalnya
beban gempa, serta memudahkan pelaksanaan pengecoran.

Kegiatan perhitungan elemen struktur beton bertulang yang menerima beban lentur,
meliputi analisis dan desain. Analisis dilakukan untuk mengetahui kemampuan balok dalam
menerima beban, sedangkan desain untuk menetapkan dimensi penampang dan
penulangannya berdasarkan beban yang diterima. Langkah-langkah analisis

4.2. PERKEMBANGAN METODE PERENCANAAN


4.2.1. Tata Cara Perhitungan
Secara umum terdapat dua konsep desain dalam perencanaan konstruksi beton bertulang,
yaitu Metode Desain Tegangan Kerja (Allowable Stress Design, ASD), atau lebih dikenal
dengan Metode Elastis, dan Metode Desain Tegangan Ultimit (Ultimate Stress Design, USD)
atau lebih dikenal dengan Metode LRFD (Load and Resistance Factor Design, Desain Faktor
Beban dan Ketahanan)

Sampai akhir tahun 80-an, hampir semua bangunan gedung di Indonesia didesain dengan
metode desain tegangan kerja. Tetapi sejak awal tahun 1990 penggunaan Metode LRFD
menjadi lebih populer dibandingkan dengan Metode ASD.

4.2.2. Standar Perencanaan Indonesia


Dalam perkembangannya, peraturan beton di Indonesia telah mengalami beberapa kali
perubahan. Hal ini disebabkan adanya kemajuan teknologi dalam bidang material dan
pelaksanaan, serta pengaruh peraturan beton negara lain.

Peraturan beton yang pernah berlaku di Indonesia adalah sebagai berikut:


1. Peraturan Beton Bertulang untuk Indonesia 1995 (PBI 1955), merupakan terjemahan
dari GBVI (Gewapend Beton Voorschriften in Indonesia, 1935)
2. Peraturan Beton Bertulang Indonesia 1971 NI-2 (PBI 1971)
3. SK SNI T-15-1991-03 Tata Cara Penghitungan Struktur Beton untuk Bangunan Gedung,
mengacu pada ACI 318M-83 Building Code Requirements for Reinforced Concrete
4. SNI-03-2487-2002 Tata Cara Perhitungan Struktur Beton untuk Bangunan Gedung
5. SNI 2847:2013 Persyaratan Beton Struktural untuk Bangunan Gedung, mengacu pada
ACI 318M-11 Building Code Requirements for Structural Concrete.
6. SNI 2847:2019 Persyaratan Beton Struktural untuk Bangunan Gedung dan Penjelasan,
mengadopsi secara modifikasi dari Building Code Requirements for Structural Concrete
(ACI 318M-14) and Commentary (ACI 318RM-14)

4.3. PERENCANAAN BATAS


4.3.1. Kondisi Batas
Dalam perencanaan elemen beton bertulang, ada beberapa kondisi batas yang dapat
dijadikan constraint, yaitu:
1. Kondisi batas ultimit, yang dapat disebabkan oleh beberapa faktor berikut:
a. hilangnya keseimbangan lokal atau global
b. rupture, yaitu hilangnya ketahanan lentur dan geser elemen-elemen struktur
c. keruntuhan progresif akibat adanya keruntuhan lokal pada daerah sekitarnya
d. pembentukan sendi plastis
e. ketidak-stabilan struktur
2. Kondisi batas kemampu-layanan, yang menyangkut berkurangnya fungsi struktur, dapat
berupa:
a. defleksi yang berlebihan pada kondisi layan
b. lebar retak yang berlebih
c. vibrasi yang mengganggu
3. Kondisi batas khusus, yang menyengkut kerusakan/keruntuhan akibat beban non-
normal, dapat berupa:
a. keruntuhan pada kondisi gempa ekstrim
b. kebakaran, ledakan, atau tabrakan kendaraan
c. korosi, atau jenis kerusakan lainnya akibat lingkungan

Perencanaan yang memperhatikan kondisi-kondisi batas di atas disebut perencanaan batas.


Konsep perencanaan batas ini digunakan sebagai prinsip dasar peraturan beton di
Indonesia (SNI 03-2847-2002).

4.3.2. Asumsi Dasar


Menurut Tata Cara Perhitungan Struktur Beton untuk Bangunan Gedung (SNI 03-2847-
2002), pada perencanaan beton bertulang yang berkaitan dengan lentur diberlakukan
beberapa asumsi sebagai berikut:
1. Distribusi regangan diasumsikan linier. Asumsi ini berdasarkan hipotesis Bernoulli yang
menyatakan bahwa bidang penampang rata sebelum terjadi lenturan dan tetap rata
setelah terjadi lenturan, serta tetap berkedudukan tegak lurus pada sumbu netral balok
(pasal 12.2.2. SNI 2847-2002)
2. Tidak terjadi slip antara beton dan baja tulangan (sebelum beton retak atau sebelum
batang tulangan baja leleh, regangan pada batang tulangan baja sama dengan regangan
beton di sekelilingnya) (pasal 12.2.2. SNI 2847-2002)
3. Beton diasumsikan runtuh pada saat regangan tekannya mencapai regangan batas tekan
(pasal 12.2.3. SNI 2847-2002)
4. Tegangan pada beton dan baja tulangan dapat dihitung dari regangan dengan
menggunakan hubungan antara tegangan – regangan beton dan baja (pasal 12.2.4. SNI
2847-2002)
5. Beton lemah terhadap tarik. Oleh karena itu daerah tarik beton diabaikan pada analisis
dan perencanaan lentur. Sedangkan tulangan tarik dianggap menahan gaya tarik total
yang terjadi (pasal 12.2.5. SNI 2847-2002)
6. Hubungan tegangan – regangan beton dapat diasumsikan persegi, trapesium, parabola,
atau lainnya (pasal 12.2.6. SNI 2847-2002)

4.4. PEMBEBANAN PADA STRUKTUR


Beban yang bekerja pada struktur dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) bagian, yaitu:
1. beban mati (dead-load),
2. beban hidup (live-load), dan
3. beban lingkungan akibat pengaruh alam:
a. beban banjir
b. beban hujan
c. beban salju
d. beban angin
e. beban gempa

4.4.1. Beban Mati


Beban mati merupakan beban tetap baik besar maupun posisinya yang bekerja selama masa
layan struktur. Bagian utama dari beban mati merupakan berat sendiri dari elemen struktur
itu sendiri. Menurut SNI 1727-2013, beban mati adalah berat seluruh bahan konstruksi
bangunan gedung terpasang, termasuk dinding, lantai, atap, plafon, tangga, dinding partisi
tetap, finishing, klading gedung, dan komponen arsitektural dan struktural lainnya serta
peralatan layan terpasang lain, termasuk berat keran.

Beban mati terdiri dari:


1. berat bahan dan konstruksi yang sebenarnya,
2. berat peralatan layan tetap yang digunakan dalam gedung, seperti: plambing,
mekanikal-elektrikal, dan pemanas, ventilasi, serta sistem pengondisian udara

4.4.3. Beban Hidup


Beban hidup berupa beban yang tidak tetap, seperti beban yang bekerja pada bangunan
hunian. Menurut SNI 1727-2013, beban hidup adalah beban yang diakibatkan oleh
pengguna dan penghuni bangunan gedung atau struktur lain yang tidak termasuk beban
konstruksi dan beban lingkungan.

Beban hidup yang diatur dalam SNI 1727 dan SNI 2847 antara lain:
 beban hidup terpusat
 beban kendaraan
 beban kran (crane)
 beban pada sistem pegangan tangga, pagar pembatas, pembatas kendaraan
 pengaruh impak/kejut
 pengaruh getaran (seperti mesin dan tangga berjalan)
4.4.4. Beban Lingkungan
Beban lingkungan yang bekerja pada sistem struktur merupakan efek dari alam. Angin, air
hujan perubahan temperatur, gempa, penurunan tanah (settlement), banjir, dan tekanan air
tanah merupakan jenis beban lingkungan yang harus diperhitungkan bekerja pada sistem
struktur. Beban-beban lingkungan ini besarnya tergantung lokasi bangunan. Bangunan yang
terletak di daerah pantai akan menerima beban angin lebih besar; bangunan yang berada di
daerah rawan gempa menerima pengaruh gaya gempa lebih besar; bangunan di daerah
banjir, akan menerima beban hidrostatis, hidrodinamis, dan beban gelombang akibat banjir
dan aliran banjir, serta beban impak akibat benturan benda-benda yang dipindahkan oleh
banjir. Beban angin diatur tersendiri dalam SNI 1727 pasal 26 s/d pasal 30, sedangkan
beban gempa diatur dalam SNI 1726: 2019

4.5. BEBAN RENCANA


Beban dan kombinasi beban yang dipertimbangkan dalam desain harus sesuai dengan Pasal
5 SNI 2847: 2019. Ketentuan dalam Pasal 5 SNI 2847 didasarkan pada SNI 1726 dan SNI
1727. Suatu elemen struktur harus direncanakan mempunyai kapasitas kekuatan (kuar
rencana) yang sama dengan atau lebih besar daripada berbagai kombinasi pembebanan
yang bekerja (kuat perlu) pada struktur tersebut.

Beberapa istilah yang biasanya digunakan dalam perencanaan struktur adalah:


 Kuat nominal (N) merupakan kekuatan teoritis maksimum dari struktur atau elemen
struktur
 Kuat rencana (R) suatu komponen struktur sehubungan dengan perilaku lenturnya,
geser, torsi dan aksial, harus diambil sebagai kuat nominal dikalikan dengan factor
reduksi kekuatan (Ø) yang lebih kecil dari 1 (satu)
 Kuat perlu (U) merupakan kekuatan struktur atau elemen struktur yang diperlukan
untuk menahan beban terfaktor dengan berbagai kombinasi efek/faktor beban.

4.5.1. Faktor Beban dan Kombinasi Pembebanan


Tahanan rencana harus melebihi beban terfaktor (jumlah dari beban-beban kerja dikalikan
faktor beban, dinamakan sebagai kombinasi pembebanan).

Menurut SNI 2847-2013 pasal 11.2, jenis-jenis kombinasi pembebanan untuk kuat perlu
pada perencanaan struktur beton bertulang adalah:
1. U = 1,4 D 4.01.
2. U = 1,2 D + 1,6 L + 0,5 (Lr atau R) 4.02.
3. U = 1,2 D + 1,6 (L atau R) + (1,0 L atau 0,5 W) 4.03.
4. U = 1,2 D + 1,0 W + 1,0 L + 0,5 (Lr atau R) 4.04.
5. U = 1,2 D + 1,0 E + 1,0 L 4.05.
6. U = 0,9 D + 1,0 W 4.06.
7. U = 0,9 D + 1,0 E 4.07.

dimana
D : beban mati akibat berat konstruksi yang bersifat tetap, termasuk finishing, seperti
dinding, lantai, atap, plafon, partisi tetap, tangga, dan peralatan layan tetap
L : beban hidup yang ditimbulkan oleh penggunaan gedung, termasuk kejut, tetapi
tidak termasuk beban lingkungan seperti angin, hujan, dan lain
Lr : beban hidup di atap yang ditimbulkan selama perawatan oleh pekerja, peralatan,
dan material, atau selama penggunaan biasa oleh orang dan benda bergerak
R : beban hujan, tidak termasuk yang diakibatkan genangan air
W : beban angin
E : beban gempa, ditetapkan berdasarkan SNI 1726:2019

4.5.2. Faktor Reduksi Kekuatan (Faktor Tahanan)


Faktor reduksi kekuatan (Ø) digunakan untuk memberikan konsep keamanan lapis kedua
dalam menentukan kuat rencana. Pemakaian faktor reduksi dimaksudkan untuk
memperhitungkan kemungkinan penyimpangan terhadap kekuatan bahan, pengerjaan,
ketidak-tepatan ukuran, pengendalian dan pengawasan pelaksanaan, yang meskipun
masing-masing faktor mungkin masih dalam toleransi persyaratan tetapi kombinasinya
memberikan kapasitas lebih rendah. Dengan demikian, apabila faktor reduksi dikalikan
dengan kuat ideal teoritis berarti sudah termasuk memperhitungkan tingkat daktilitas,
kepentingan, serta tingkat ketepatan ukuran suatu komponen struktur sedemikian hingga
kekuatannya dapat ditentukan.

SNI 2847: 2013 memberikan Faktor Reduksi Kekuatan untuk berbagai mekanisme, yaitu:
1. penampang terkendali tarik 0,90
2. penampang terkendali tekan:
 komponen struktur dengan tulangan spiral 0,75
 komponen struktur bertulang lainnya 0,65
3. geser dan torsi 0,75
4. tumpuan pada beton pengikat 0,65
5. daerah angkur pasca tarik 0,85

Contoh 4.1:
Suatu struktur pelat lantai dengan tebal 10 mm, dipikul balok beton dimensi 350x500 mm
sepanjang 6 m dan jarak antar balok adalah sebesar 4 m (as ke as). Beban mati pelat lantai
sebesar 25 kN/m3 dan beban hidup 4 kN/m2. Hitung beban terfaktor yang harus dipikul oleh
balok tersebut sesuai kombinasi pembebanan LRFD (SNI 03-2847-2002)

Jawab:
Tiap balok harus memikul berat sendiri ditambah beban dari pelat selebar 4 m
𝐷 = (0,35𝑥0,50 + 4𝑥0,10) 𝑥 25 = 14,375 𝑘𝑁/𝑚
𝐿 = 4𝑥4 = 16 𝑘𝑁/𝑚
Karena hanya ada beban mati dan beban hidup, maka hanya perlu diperiksa terhadap
kombinasi pembebanan:
𝑈 = 1,4 𝐷 = 1,4 (14,375) = 𝟐𝟎, 𝟏𝟐𝟓 𝑘𝑁/𝑚
𝑈 = 1,2 𝐷 + 1,6 𝐿 + 0,5 (𝐴 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑅)
= 1,2 (14,375) + 1,6 (16) + 0,5 (0) = 𝟒𝟐, 𝟖𝟓𝟎 𝑘𝑁/𝑚

Jadi beban terfaktor yang menentukan adalah sebesar 42,850 kN/m


Contoh 4.2:
Sebuah kolom dari suatu struktur bangunan gedung, memikul beban-beban aksial sebagai
berikut: beban mati 85 ton, beban hidup dari atap 25 ton, beban hidup dari lantai bangunan
110 ton, beban angin + 35 ton, beban gempa + 30 ton. Hitunglah beban desain kolom sesuai
LRFD!

Jawab:
Beban-beban yang harus dipikul oleh profil:
𝐷 = 85 𝑡𝑜𝑛
𝐿 = 110 𝑡𝑜𝑛
𝐿𝑟 = 25 𝑡𝑜𝑛
𝑊 = 35 𝑡𝑜𝑛
𝐸 = 30 𝑡𝑜𝑛

Kombinasi pembebanan:
𝑈 = 1,4 𝐷 = 1,4 (85) = 𝟏𝟏𝟗 𝑡𝑜𝑛
𝑈 = 1,2 𝐷 + 1,6 𝐿 + 0,5 (𝐿𝑟 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑅)
= 1,2 (85) + 1,6 (110) + 0,5 (25) = 𝟐𝟗𝟎, 𝟓 𝑡𝑜𝑛
𝑈 = 1,2 𝐷 + 1,6 (𝐿 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑅) + (1,0 𝐿 𝑎𝑡𝑎𝑢 0,5 𝑊)
= 1,2 (85) + 1,6 (110) + 1,0 (110) = 𝟑𝟖𝟖 𝑡𝑜𝑛
𝑈 = 1,2 𝐷 + 1,0 𝑊 + 1,0 𝐿 + 0,5 (𝐿𝑟 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑅)
= 1,2 (85) + 1,60 (35) + 1,0 (110) + 0,5 (25) = 𝟐𝟓𝟗, 𝟓 𝒕𝒐𝒏
𝑈 = 1,2 𝐷 + 1,0 𝐿 ± 1,0 𝐸
= 1,2 (85) + 1,0 (110) ± 1,0 (30) = 𝟐𝟒𝟐 𝑡𝑜𝑛
𝑈 = 0,9 𝐷 + 1,0 𝑊 = 0,9 (85) + 1,0 (35) = 𝟏𝟏𝟏, 𝟓 𝑡𝑜𝑛
𝑈 = 0,9 𝐷 + 1,0 𝐸 = 0,9 (85) + 1,0 (30) = 𝟏𝟎𝟔, 𝟓 𝑡𝑜𝑛

Jadi beban terfaktor yang dipikul kolom adalah sebesar 388 ton
4.6. BALOK LENTUR
4.6.1. Dasar Perhitungan Lentur
Jika balok menahan momen lentur cukup besar, maka serat-serat pada balok bagian atas
akan mengalami tegangan tekan dan pada serat-serat balok bagian bawah mengalami
tegangan tarik. Untuk serat-serat balok bagian atas yang mengalami tegangan tekan,
tegangan ini ditahan oleh beton, sedangkan untuk serat-serat balok yang mengalami
tegangan tarik akan ditahan oleh baja tulangan, karena kuat tarik beton diabaikan.

c = 0,003 0,85fc’ 0,85fc’

C C
c a=1c

d
a
h (d  )
2

T = Asfy T
y

(a) (b) (c) (d)


Gambar 4.1. Distribusi tegangan dan regangan penampang balok
a. irisan penampang, b. diagram regangan, c. diagram tegangan, d. blok tegangan ekivalen

Pada Gambar 4.1, d adalah tinggi efektif penampang yang diukur dari serat tekan terluar ke
centroid tulangan. Kuat lentur nominal penampang diasumsikan tercapai pada saat
regangan pada serat tekan terluar mencapai regangan batas beton, yaitu c = 0,003. Pada
saat hal ini tercapai, regangan tarik pada baja tulangan dapat mencapai nilai yang lebih besar
atau lebih kecil dari y, tergantung pada proporsi tulangan terhadap luas penampang beton.

Perilaku tegangan-regangan beton bertulang memperlihatkan sifat non-linier pada tegang


> 0,3fc’. Oleh karena itu distribusi aktual tegangan tekan dalam suatu penampang berbentuk
parabola, seperti ditunjukkan dalam Gambar 4.1.c. Dibutuhkan waktu untuk menganalisis
volume blok tegangan tekan bentuk parabolis, oleh karena itu digunakan blok tegangan
tekan ekivalen, yang diusulkan oleh Whitney (1942). SNI Beton mengijinkan penggunaan
distribusi tegangan tekan persegi ekivalen untuk perhitungan kuat ultimit penampang. Blok
tegangan tekan tersebut didefinisikan sebagai berikut:
1. tegangan tekan merata sebesar 0,85fc’ diasumsikan bekerja di sepanjang zona tekan
ekivalen, dan memiliki kedalaman a = 1c dari serat tekan terluar
2. jarak c ditentukan dari posisi serat tekan terluar ke sumbu netral, diukur tegak lurus
terhadap sumbu netral tersebut
3. nilai 1 diambil sebagai berikut:
 untuk fc’ < 30 MPa, 1 = 0,85
 untuk fc’ > 55 MPa, 1 = 0,65
 untuk 30 < fc’ < 55 MPa, 1 = 0,85 – 0,008 (fc’ – 30)
Pada perencanaan beton bertulang, diusahakan kekuatan beton dan baja dimanfaatkan
sebaik-baiknya. Untuk beton, karena sangat kuat menahan beban tekan, maka kuat tekan
beton dimanfaatkan hingga mencapai batas regangan tekan maksimum, yaitu 0,003.
Sedangkan untuk baja tulangan tarik yang tertanam di dalam beton, dapat dimanfaatkan
kekuatan tariknya hingga mencapai nilai tegangan tarik lelehnya.

Suatu keadaan pembebanan terhadap lentur murni adalah bila penampang hanya dibebani
momen lentur, maka terdapat keadaan keseimbangan dalam berupa H=0 (Gambar 4.1),
sehingga gaya tekan C sama dengan gaya tarik T:
1. Gaya tekan beton dapat diperhitungkan dari hubungan tegangan – regangan beton,
seperti Gambar 4.1.d. karena gaya merupakan hasil kali antara tegangan dan luas
penampangnya, maka berdasarkan blok tegangan tekan ekivalen dapat dihitung besar
gaya tekan beton C sebagai berikut:
C  0,85 f c ' b a 4.08.
2. Gaya tarik baja tulangan dapat dihitung dengan cara membuat perkalian antara luas
penampang baja tulangan dan tegangan lelehnya, sebagai berikut:
T  As f y 4.09.

Karena balok dalam keadaan setimbang, maka gaya tekan beton akan sama dengan gaya
tarik baja tulangan, sebagai berikut:
H=0
C T 4.10.
sehingga 0,85 f c ' b a  As f y 4.11.
As f y
atau tinggi blok tegangan tekan a 4.12.
0,85 f c ' b
dan a  1 c 4.13.
dimana b : lebar penampang balok
d : tinggi efektif balok dihitung dari daerah tekan paling atas
terhadap titik berat tulangan tarik
h : tinggi total balok
As : luas tulangan tarik
c : regangan tekan beton pada permukaan tekan atas
s : regangan tarik baja
fc' : kekuatan tekan beton
fy : kekuatan leleh tarik baja
c : tinggi garis netral dihitung dari permukaan tekan atas
a : tinggi blok tegangan ekivalen
1 : koefisien yang digunakan sehingga blok persegi ekivalen
dengan blok parabola tekan; nilai ini tergantung mutu beton
 : rasio tulangan tarik
a
jd : lengan momen = (d  )
2
Momen tahanan penampang, yaitu kekuatan nominal Mn dapat dihitung sebagai berikut:
a
M n  T jd  ( As f y ) jd  ( As f y ) (d  ) , atau 4.14.
2
a
M n  C jd  (0,85 f c ' b a) jd  (0,85 f c ' b a) (d  ) 4.15.
2
a
dimana lengan momen jd  d  4.16.
2
a a
atau ( As f y ) (d  )  (0,85 f c ' b a) (d  ) 4.17.
2 2
A
dan rasio luas tulangan tekan dengan luas penampang beton   s 4.18.
bd

Dengan mensubstitusikan persamaan (4.18) pada (4.12) maka didapat:


As f y  bd fy  d fy
a   4.19.
(0,85 f c ' ) b (0,85 f c ' ) b 0,85 f c '
 fy
jika  4.20.
fc '
d
maka a   4.21.
0,85

Persamaan (4.11) disubstitusikan pada persamaan (4.15), didapat:


 d  d 
M n  0,85 f c ' b     d    4.22.
 0,85 f c '   2 (0,85) 
M n  b d 2 f c ' (1  0,59 ) 4.23.
 f y 
jika R  f c '  (1  0,59  )  f y 1  0,59  4.24.
 f c 
'
maka M n  b d 2 R 4.25.

4.6.2. Regangan Tekan Beton


Pada perencanaan beton bertulang, regangan tekan beton c’ dibatasi sampai regangan retak
cu’ sebesar 0,003. Nilai regangan c’ dapat ditentukan berdasarkan diagram distribusi
regangan pada Gambar 4.1.b, sebagai berikut:
c ' y
 4.26.
c d c
c
atau  c '  y 4.27.
d c
jika persamaan 4.13 disubstitusi ke persamaan 4.27, maka
a
c ' y 4.28.
1d  a
4.7. KERUNTUHAN LENTUR DAN SISTEM PERENCANAAN
4.7.1. Jenis Keruntuhan Lentur
Kegagalan pada balok lentur dapat terjadi dengan beberapa cara, tergantung pada sifat-sifat
penampang balok, dan dibedakan menjadi tiga jenis kegagalan, yaitu:
1. kegagalan yang didahului dengan hancurnya beton, menyebabkan keruntuhan tekan
(brittle failure)
2. kegagalan yang didahului dengan lelehnya tulangan baja terjadi bersamaan dengan
hancurnya beton, menyebabkan terjadinya keruntuhan seimbang (balance failure)
3. kegagalan yang didahului dengan lelehnya tulangan baja, menyebabkan keruntuhan
tarik (ductile failure)

Tergantung pada tipe kegagalannya, analisis keadaan regangan di dalam tulangan tarik
menjadi faktor penentu ukuran daktilitas elemen beton. Oleh karena itu, persentasi tulangan
tarik akan menentukan besaran regangan, dan apakah kegagalan terjadi diawali oleh
lelehnya baja atau diawali oleh kehancuran beton. Jika kegagalan oleh lelehnya tulangan dan
kehancuran serat-serat tekan terluar beton secara serempak, dinamai kegagalan seimbang.
Dalam kasus ini, regangan batas tulangan tarik y tercapai pada saat yang sama dengan
tercapainya regangan batas beton c.

0,003
A

c
a sumbu netral kondisi seimbang

3 1 2
s
y
y

Gambar 4.2. Distribusi regangan potongan penampang balok

4.7.2. Keruntuhan Tekan (Compression Failure atau Brittle Failure)


Keruntuhan terjadi diawali dengan hancurnya beton, yaitu regangan beton sudah
melampaui regangan batas c’ > cu’ = 0,003, sedangkan regangan leleh baja y belum tercapai
(s < y), seperti terlihat pada garis Ab2 Gambar 4.2. Oleh karena itu tegangan baja fs lebih
rendah dari kekuatan lelehnya fy. Keadaan ini terjadi pada penampang dengan rasio
tulangan yang besar, disebut over-reinforced.
Karena beton memiliki sifat yang kuat menahan beban tekan tetapi getas, maka keruntuhan
beton seperti ini disebut keruntuhan tekan atau keruntuhan getas (brittle failure). Balok
yang mengalami keruntuhan getas, pada saat beton mulai hancur baja tetapi tulangan belum
leleh, sehingga lendutan pada balok relatif tetap. Tetapi bila beban diperbesar, maka baja
tulangan akan leleh dan terjadi keruntuhan secara mendadak tanpa ada peringatan, yaitu
melalui lendutan yang besar. Keadaan demikian sangat berbahaya bagi kehidupan manusia,
sehingga sistem perencanaan beton bertulang yang dapat mengakibatkan over-reinforced
tidak diperbolehkan.

4.7.3. Keruntuhan Seimbang (Balance Failure)


Keruntuhan terjadi saat tulangan baja leleh bersamaan dengan beton mencapai kapasitas
regangan batas dan beton mulai hancur. Pada awal kehancuran, regangan beton mencapai
c’ = cu’ = 0,003 mm/mm, sedangkan regangan tarik baja sama dengan regangan leleh s = y
= fy/Es. Distribusi regangan seimbang mengikuti garis Aa1 pada Gambar 4.2 potongan
penampang balok. Balok yang mengalami keruntuhan seperti ini terjadi pada penampang
beton dengan rasio tulangan seimbang/balance, dengan notasi b.

Karena beton dan baja mengalami kerusakan pada saat yang sama, maka kekuatan beton
dan baja tulangan dapat dimanfaatkan sepenuhnya, sehingga penggunaan material beton
dan baja menjadi hemat. Keadaan demikian merupakan sistem perencanaan yang ideal,
tetapi sulit dicapai karena dipengaruhi beberapa faktor, misalnya ketidaktepatan mutu baja
dengan mutu rencana, ketidaktepatan mutu beton dalam pelaksanaan pembuatan
campuran dengan mutu rencana, maupun kekurangtelitian pada perencanaan hitungan
akibat adanya pembulatan-pembulatan.

4.7.4. Keruntuhan Tarik (Tension Failure atau Ductile Failure)


Keruntuhan terjadi diawali dengan lelehnya tulangan baja sebelum beton hancur. Berarti
regangan tarik baja tulangan telah mencapai leleh tetapi regangan tekan beton belum
mencapai regangan batas, atau dapat dikatakan s = y tetapi c’ < cu’ = 0,003, seperti terlihat
pada garis Ac3 Gambar 4.2. Keadaan ini terjadi pada penampang dengan rasio tulangan yang
kecil, disebut under-reinforced.

Karena kerusakan lebih dahulu terjadi pada baja tulangan yang menahan beban tarik,
sedangkan baja bersifat liat, maka keruntuhan beton seperti ini disebut keruntuhan liat
(ductile failure).

Balok yang mengalami keruntuhan liat, pada saat baja tulangan mulai leleh beton belum
hancur, sehingga dapat terjadi lendutan pada balok. Tetapi bila beban diperbesar, maka
lendutan balok semakin besar dan akhirnya terjadi keruntuhan. Keadaan demikian sangat
menguntungkan bagi kehidupan manusia karena ada peringatan tentang lendutan berlebih
sebelum runtuh, sehingga sistem perencanaan beton bertulang under-reinforced lebih aman
dan dianjurkan.
4.7.5. Sistem Perencanaan
Pada perencanaan penampang beton bertulang sangat dihindari terjadinya keruntuhan
tekan (over-reinforced) karena sistem ini bersifat getas dan dapat berakibat runtuhnya
balok secara mendadak. Keruntuhan yang ideal adalah keruntuhan seimbang, tetapi sulit
dan tidak pernah dapat dicapai. Karena itu, pilihan terbaik pada sistem perencanaan beton
bertulang adalah tercapainya keruntuhan tarik (under-reinforced).

Dalam upaya untuk mencegah terjadinya keruntuhan getas, atau untuk mencapai
keruntuhan daktil, regangan yang lebih besar dari y pada tulangan tarik terluar harus
disyaratkan dalam desain. Untuk mencapainya, rasio/perbandingan luas tulangan terhadap
luas penampang maksimum harus ditetapkan. Akan tetapi rasio tulangan minimum juga
harus dipertahankan, agar elemen beton bertulang tidak berperilaku seperti beton tanpa
tulangan.
0,003

c
b
sumbu netral kondisi seimbang
d

y

Gambar 4.3. Distribusi regangan penampang balok pada keadaan seimbang

cb c 0,003
  4.29.
d c   y f
0,003  y
Es
fy
dimana regangan batas tulangan  y  4.30.
Es
dan modulus elastisitas tulangan baja Es = 200.000 MPa,
0,003 600
maka cb  d d 4.31.
 fy  600  f y
 0,003  
 200 .000 

Bila persamaan (4.11) dalam keadaan seimbang, maka


0,85 f 'c b ab  Asb f y dan ab  1 c
Asb 0,85 f c ' ab
atau b   4.32.
bd fy d
Dengan mensubstitusikan persamaan (4.31) ke dalam persamaan (4.32), didapat rasio
tulangan pada keadaan seimbang sebesar:
f ' 600
b  0,851 c 4.33.
f y 600  f y
dimana nilai koefisien 1 sesuai peraturan SNI 2847-2002, ditentukan sebagai berikut:
- untuk 0 < fc' < 30 MPa, maka nilai 1 = 0,85
- untuk 30 MPa < fc' < 60 MPa, nilai 1 = 0,85 – 0,008 (fc’ – 30) 4.34.
- untuk fc' > 60 MPa, maka nilai 1 = 0,65

Untuk menjamin balok mengalami keruntuhan daktil, dimana penampang under-reinforced


tercapai, maka SNI 2847-2002 mensyaratkan batas tulangan:
 maks  0,75 b          
fc ' 1,4
 min  , dan tidak lebih kecil dari  min       
4 fy fy

4.8. BALOK PERSEGI TERLENTUR BERTULANGAN TUNGGAL


4.8.1. Analisis Balok Bertulangan Tunggal
Untuk menganalisis balok persegi terlentur bertulangan tunggal dapat dilakukan mengikuti
langkah-langkah berikut:
1. Perhatikan hal-hal yang diketahui, misalnya dimensi penampang balok (b, h, d), panjang
bentang (L), penulangan (As), mutu beton (fc’), maupun mutu tulangan baja (fy)
2. Tentukan yang akan dihitung, misalnya kekuatan nominal penampang balok Mnk
A
3. Hitung rasio penulangan yang tersedia,   s
bd
4. Bandingkan rasio penulangan yang tersedia terhadap rasio penulangan minimum yang
fc ' 1,4
disyaratkan, yaitu  min  dan tidak boleh lebih kecil dari  min  atau
4 fy fy
fc ' 1,4
As min  bd  bd . Bila rasio tulangan yang tersedia lebih besar dari rasio
4 fy fy
tulangan minimum, maka perhitungan dapat dilanjutkan. Tetapi bila terjadi sebaliknya,
maka penampang tersebut tidak memenuhi persyaratan. Oleh karena itu rasio tulangan
sebaiknya diperbesar, dengan menggunakan As minimum yang dihasilkan
5. Bila syarat tulangan minimum terpenuhi, maka kontrol persyaratan tulangan terhadap
rasio tulangan maksimum yang diijinkan, yaitu dengan menghitung terlebih dahulu nilai
0,85 f c ' 1 600
rasio tulangan pada keadaan seimbang b  . Bila ternyata rasio
fy 600  f y
tulangan yang tersedia lebih besar dari rasio tulangan maksimum  maks  0,75 b , maka
penampang balok mengalami keruntuhan getas, atau penampang over-reinforced. Oleh
karena itu sebaiknya penampang balok diperbesar, atau jumlah tulangan diperkecil.
Tetapi bila sebaliknya yang terjadi, maka perhitungan dilanjutkan.
As f y
6. Hitung tinggi blok tegangan ekivalen a  ,
0,85 f c ' b
7. Kemudian dapat dihitung kekuatan nominal balok M nk  As f y d  0,5a 
8. Bandingkan Mnk terhadap Mnd. Bila Mnk > Mnd, artinya penampang kuat menerima beban
yang direncanakan. Tetapi bila Mnk < Mnd, maka penampang perlu didesain ulang

Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada diagram alir yang digambarkan pada Gambar 4.4.

dimensi penampang (b, d), penulangan


As, mutu beton fc’, mutu baja fy

As

bd

f c ' 1,4
 min  
4 fy fy

tidak tidak memenuhi, perbesar As


 > min atau gunakan As minimum
ya

fc'

fc'< 30 MPa 30 < fc'< 60 fc'> 60 MPa

1 = 0,85 1 = 0,85 – 0,008 (fc’ – 30) 1 = 0,65

0,85 f c ' 1 600


b 
fy 600  f y

 maks  0,75 b

tidak memenuhi, perbesar tidak


penampang atau perkecil As    maks
ya

As f y
tinggi blok tegangan tekan, a 
0,85 f c ' b

momen nominal kapasitas, M nk  As f y d  0,5a 

Gambar 4.4. Diagram alir analisis balok persegi terlentur bertulangan tunggal
Contoh 4.3:
Penampang balok beton dengan dimensi lebar 300 mm dan tinggi 500 mm, dibuat
menggunakan beton mutu 20 MPa, diberi baja tulangan tarik BJTD-40 sebanyak 8D22 yang
disusun dalam 2 lapis. Hitung momen desainnya.

Penyelesaian:
Luas tulangan 8D22, As = 3041 mm2
Mutu beton fc’ = 20 MPa < 30 MPa, sehingga 1 = 0,85
Mutu baja BJTD40, fy = 400 MPa

 Tinggi efektif penampang d = 500 – 40 – 10 – 22 – ½ x 25 = 415,5 mm

 Kontrol rasio tulangan:


As 3041
Rasio tulangan aktual    = 0,0244
bd 300 x 415,5
fc ' 20
Rasio tulangan minimum  min   = 0,0028
4 f y 4 x 400
1,4 1,4
 min   = 0,0035, sehingga digunakan min = 0,0035
f y 400
0,85 f c ' 1 600
Rasio tulangan seimbang b  = 0,0217
fy 600  f y
Rasio tulangan maksimum  maks  0,75 b = 0,0163
diperolehmin > maks, artinya penampang over-reinforced, perkecil As

 Kontrol regangan baja tulangan:


Es  c 2 x10 5 x0,003
m  = 41,52
0,85 f c ' 1 0,85 x 20 x0,85
m = 41,52 x 0,0233 = 0,967
m  m 
2

ku    m    = 0,612
2  2 
a = 1kud = 0,85 x 0,612 x 435 = 226,287 mm
c =kud = 0,612 x 435 = 266,22 mm
 d c  435  266,22 
s  c   0,003  =0,0019
 c   266,22 
fy 400
y   = 0,002, baja belum leleh, sehingga digunakan fs
Es 200000
fs = s x Es = 0,0019 x 200000 = 380 MPa
 Momen nominal kapasitas penampang:
M nk  As f s d  0,5a  = 3041x380x(435 – 0,5x226,29) = 371.929.201 Nmm = 371,93 kNm

 Momen batas kapasitas penampang Muk = Mn = 0,9 x 371,93 = 334,74 kNm

Contoh 4.4:
Balok beton sepanjang 9 meter, dengan dimensi penampang lebar balok b = 500 mm, tinggi
h = 1150 mm, dan tinggi efektif d = 1075 mm, yang dibuat menggunakan beton mutu 20 MPa
dan baja tulangan tarik BJTD-30. Balok menerima beban mati 32 kN/m (tidak termasuk
berat sendiri) dan beban hidup 52 kN/m. Hitung momen desainnya bila digunakan tulangan
tarik:
a. As = 6D32
b. As = 6D36

Penyelesaian:
 Beban terfaktor qU:
berat sendiri: 0,5 x 1,15 x 24 kN/m3 = 13,80 kN/m
beban mati, qD = 13,80 + 32 = 45,80 kN/m
beban hidup qL = 52 kN/m
beban terfaktor qU = 1,2 qD + 1,6 qL = 138,16 kN/m

 Momen terfaktor rencana (berdasarkan beban luar):


qu L2 138,16 x92
M ud   = 1398,87 kNm
8 8
M 1398,87
M nd  ud  = 1554,30 kNm
 0,90

a. As = 6D32 = 4825,5 mm2


As f y 4825,5 x300
 Tinggi blok tegangan tekan, a   = 170,31 mm
0,85 f c ' b 0,85 x 20 x500

 Kapasitas penampang:
M nk  As f y d  0,5a  = 4825,5 x 300 x (1075 – 0,5 x 170,31) x 10-6 = 1432,845 kNm
Muk = Mn = 0,9 x 1432,845 = 1289,56 kNm
Mud > Muk, artinya penampang tidak kuat menerima beban rencana

b. As = 6D36 = 6107,2 mm2


As f y 6107 ,2 x300
 Tinggi blok tegangan tekan, a   = 215,55 mm
0,85 f c ' b 0,85 x 20 x500
 Kapasitas penampang:
M nk  As f y d  0,5a  = 6107,2 x 300 x (1075 – 0,5 x 215,55) x 10-6 = 1772,11 kNm
Muk = Mn = 0,9 x 1772,11 = 1594,90 kNm
Mud < Muk, artinya penampang kuat menerima beban rencana

 Kontrol tulangan:
fc ' 20
Rasio tulangan minimum  min   = 0,0037
4 f y 4 x300
1,4 1,4
 min   = 0,0047
f y 300
sehingga digunakan min = 0,0047
0,85 f c ' 1 600
Rasio tulangan seimbang b  = 0,0321
fy 600  f y
Rasio tulangan maksimum  maks  0,75 b = 0,0241
As 6107 ,2
Rasio tulangan aktual,    = 0,0114
bd 500 x1075
diperolehmin < maks, artinya terjadi jenis keruntuhan tarik

Anda mungkin juga menyukai