Anda di halaman 1dari 31

Definisi (Syeila A.

N 20204881028)

Sirosis hati merupakan tahap akhir proses difus fibrosis hati progresif yang
ditandaioleh distorsi arsitektur hati dan pembentukan nodul regenerative.
Morfologi didapatkan fibrosis difus, nodul, regeneratif, perubahan arsitektur
lobular dan pembentukan hubungan vascular intrahepatic antara pembuluh darah
hati aferen dan eferen[1].

Epidemiologi (Syeila A. N 20204881028)

Sirosis menjadi penyebab kematian utama kesembilan di Amerika Serikat dan


bertanggung jawab dalam 1,2% seluruh kematian di negara tersebur. Pada dekade
ke-4 dan ke-5 kehidupan mereka banyak yang meninggal karena sirosis. Setiap
tahunnya terdapat 2000 kasus kematian yang disebabkan gagal hati fulminan. Dari
beberapa laporan Rumah Sakit Umum Pemerintah di Indonesia, berdasarkan
diagnosis klinik yang dirawat di bangsal penyakit dalam berkisar 3,6%-8,4% di
Jawa dan Sumatra, di Sulawesi dan Kalimantan dibawah 1%. Secara keseluruhan
rata-rata prevalensi sirosis sebesar 3,5% dari seluruh pasien yang dirawat di
bangsal penyakit dalam atau rata-rata 47,4% dari seluruh pasien yang dirawat.
Perbandingan pria:wanita rata-rata adalah 2,1:1 dan usia rata-rata 44 tahun,
rentang usia 13-88 tahun[1].

Klasifikasi (Syeila A. N 20204881028)

Diklasifikasikan berdasarkan morfologi :

1. Sirosis mikronoduler

Nodul uniform, diameter < 3mm, disebabkan konsumsi alkohol,


hemokromatosis, obstruksi bilier, obstruksi vena hepatica.

2. Sirosis makronoduler

Nodul bervariasi dengan diameter > 3mm, disebabkan hepatitis kronik


B, hepatitis kronik C, sirosis bilier primer
3. Sirosis campuran

Kombinasi antara sirosis mikronoduler dan sirosis makronoduler[2].

Etiologi (Yuriansyah D. R 20204881031)

Secara konvensional, sirosis hepatis dapat diklasifikasikan sebagai


makronodular (besar nodul lebih dari 3 mm), mikronodular (besar nodul kurang
dari 3 mm), atau campuran mikro dan makronodular. Selain itu juga
diklasifikasikan berdasarkan etiologi dan morfologis[1].

Sebagian besar jenis sirosis diklasifikasikan secara etiologis dan


morfologis menjadi alkoholik, kriptogenik dan post hepatitis (postnekrotik),
biliaris, kardiak, dan metabolik,keturunan, dan terkait obat[1].

Di negara barat, penyebab sirosis yang utama adalah alkoholik, sedangkan


di Indonesia terutama akibat infeksi virus hepatitis B maupun C. Berdasarkan
hasil penelitian di Indonesia, disebutkan bahwa virus hepatitis B menyebabkan
sirosis sebesar 40-50%, dan virus hepatitis C 30-40%, sedangkan 10-20%
penyebabnya tidak diketahui dan termasuk kelompok virus bukan B dan C (non
B-non C). Alkohol sebagai penyebab sirosis di Indonesia diduga frekuensinya
sangat kecil walaupun belum terdapat data yang menunjukkan hal tersebut[1].
Tabel 1 Sebab – sebab sirosis dan atau penyakit kronik[1]

Penyakit Infeksi
Bruselosis
Ekinokokus
Skistosomaiasis
Toksoplasmosis
Hepatits Virus (A,B,C,D, sitomegalovirus)
Penyakit Keturunan dan Metabolik
Definisi α1-antitripsin
Sindrom Fanconi
Galaktosemia
Penyakit Gaucher
Penyakit simpanan glikogen
Hemokromatosis
Intoleransi fluktosa herediter
Tirosinemia herediter
Penyakit Wilson
Obat dan Toksin
Alkohol amiodaron
Arsenic
Obstruksi bilier
Penyakit perlemkan hati non-alkoholik
Sirosis bilier primer
Kolangitis sclerosis primer
Penyebab lain atau tidak terbukti
Penyakit usus inflamasi kronik
Fibrosis kistik
Pintas jejunoileal
sarkadosis

Faktor Risiko (Yuriansyah D. R 20204881031)

1. Jenis Kelamin
Dalam sebuah studi mengatakan, bahwa laki – laki memiliki faktor
risiko independent yang kuat untuk terjadi sirosis. Namun, beberaa
penelitian menunjukan bahwa risiko lanjut bahwa wanita lebih tinggi
daripada pria[3].
2. Usia
Didapatkan usia menjadi faktor risiko terjadinya sirosis. Pasien
dengan umur >60 tahun memiliki risiko besar termasuk penyakit bawaan
seperti hipertensi, obesitas, diabetes militus dan hiperlipidemia. Namun
hubungan antara usia dan terjadinya sirosis mungkin saja terkait dengan
Riwayat penyakit daripada usia itu sendiri[3].
3. Genetik
Faktor genetik dipercaya berkontribusi 30-50% dengan risiko
prevalensi tinggi seperti obesitas, diabetes militus, penyakit
kardiovaskular, dan sirosi[3].
4. Metabolik
Beberapa penelitian menunjukan bahwa diabetes adalah faktor
perkembangan metabolik terkuat. Penyakit metabolic lainnya seperti
hipertensi, obesitas dan hipertensi juga ikut dalam faktor risiko tinggi
metabolik[3].

Patogenesis dan patofisiologi sirosis hepatis

Muhammad afif 20204881019

Sirosis hepatis merupakan salah satu penyakit kronis ditandai dengan timbulnya
jaringan fibrosa yang menggantikan jaringan hati normal dan akhirnya
mengganggu struktur dan fungsi hati[4]. Penyakit tersebut umumnya diidentikkan
dengan alkoholisme yang termasuk dalam faktor risiko utama namun dapat juga
disebabkan virus hepatitis, reaksi toksis terhadap obat atau bahan kimi, obstruksi
[5]
empedu dan Non-alcoholic Faatty Liver Disease (NAFLD) . Menurut Smeltzer
(2010), sirosis hepatis terbagi menjadi:

1. Sirosis alkoholik: terdapat jaringan parut yang mengelili daerah porta.


Sirosis tipe ini merupakan kejadian sirosis paling umum karena
diakibatkan oleh konsumsi alkohol secara terus menerus.
2. Postnecrotic sirosis: berikaitan dengan penyakit hepatitis dimana terjadi
penyebaran jaringan parut akibat virus hepatitis
3. Sirosis empedu: terjadi jaringan parut disekitar saluran-saluran empedu.
Kondisi ini terjadi akibat obtruksi pada saluran empedu dan infeksi.
Kejadian sirosis empedu lebih jarang terjadi dibandingkan dengan 2
kejadian sirosis yang lain[4]

Fibrosis dimulai dengan aktivasi sel stelata. Aktivasi ini melibatkan banyak
faktor termasuk peradangan sel hati, sel kupffer, sel endotel, trombosit, berbagai
sitokin, dan mRNa. Saat peradangan sel kupffer akan menghancurkan hepatosit
dan mengaktivasi sel stelata. Akibatnya muncullah pembentukan jaringan fibrosis.
Setelah pembentukan jaringan fibrosis maka sturktur hati akan terganggu dan
akhirnya mengganggu fungsi hati. Bagian yang paling sensitif adalah bagian
pembuluh darah. Pembuluh darah menjadi tertutup dan akhirnya sel hari akan
mati. Respon terhadap kerusakan ini adalah terjadi proses peradangan. Peradangan
akan membersihkan jaringan yang mati disertai dengan regenerasi sel hati [6,8].

Walaupun sel hati bisa beregenerasi dengan baik namun penunjang lain seperti
pembuluh darah memiliki regenerasi yang terbatas. Selain itu efek samping dari
peradangan adalah terbentuknya jaringan parut. Hasilnya dari proses ini adalah
hilangnya struktur asinus yang normal serta adanya jaringan parut. Proses
kerusakan biasanya tidak banyak sisa-sisa jaringan yang tersisa namun karena
proses kerusakan yang lama atau kronik, maka sisa kerusakan terutama jaringan
parut semakin banyak. Dan karena ada aktivasi sel stelata, pembentukan jaringan
parut pada kondisi peradangan kronis bisa lebih cepat sehingga fibrosis yang
terjadi berlangsung dalam skala yang luas [6]

Pada tahap awal pembentukan jaringan parut atau fibrosis diimbangi dengan
degradasi protein ini. Progresivitas dimana proses degradasi akan dikalahkan oleh
pembentukan jaringan parut akan terjadi apabila proses deposisi jaringan parut
menjadi lebih domian. Matriks metaloproteinase mengontrol proses deposisi dan
degradasi jaringan parut tersebut. Regulator enzim matriks metaloproteinase ini
berupa tissue inhibitors of metalloproteinase (TIMP). Sel stelata yang teraktivasi
oleh sitokin seperti transforming growth factor (TGF- β) dan tumor nekrosis
factor (TNF-α) akan menghambat regulator enzim ini dan lebih mempromosikan
pembentukan jaringan parut yaitu matix ekstraselular (ECM) [6,8]

Berbeda dari kapiler di tempat lain, sinusoid dari kapiler hati tidak memiliki
membran basalis. Selain itu, sinusoid juga memiliki lubang atau fenestrae yang
bebsar (diameter 100-200 nm) yang memungkinkan keluar atau pasase molekul
besar. Hal ini berkaitan dengan fungsi hati untuk memproses berbagai macam
molekul besar misalnya VLDL atau kilomikron dari saluran cerna. Selain itu, sel
hati juga aktif memproduksi berbagai macam protein plasma berukuran besar.
Agar proses transportasi ini berlangsung lancar tentu harus ditunjang oleh struktur
kapiler sinusoid yang bisa mengakomodasi pertukaran zat dengan besar molekul
yang besar [6].

Pada keadaan sirosis hati, terjadi deposisi kolagen di celah Disse. Hal ini akan
menyempitkan fenestrae dari sunusoid sehingga mengganggu aliran plasma ke
hepatosit dan sebaliknya. Proses ini dinamakan kapilerisasi dari sinusoid. Hal ini
akan berdampak pada gangguan fungsi hati dan terganggunya tekanan darah di
sistem vena porta sehingga menyebabkan hipertensi portal. Hipertensi portal ini
penting dalam patofisiologi berbagai komplikasi dari sirosis hati [6,8].

(Angga Dimas Mahendra, 20204881033)

Tedapat dua kelompok besar dampak atau yang berperngaruh terhadap


patofisiologi sirosis hepatis. Pertama adalah hipertensi portal dan kedua adalah
insufisiensi atau gagal hati. Konsekuensi langsung dari hipertensi portal dan
kondisi hiperdinamik adalah terjadinya asites dan varises esofagus. Selain itu,
pada asites juga dapat terjadi komplikasi infeksi yang disebut spontaneous
bacterial peritonitis (SBP). Terjadinya SBP ditambah adanya kondisi
hiperdinamik akan semakin mengurangi perfusi ke ginjal sehingga menyebabkan
gagal ginjal fungsional yang disebut hepatorenal syndrome (HRS) [7,8].

Kelompok komplikasi yang kedua adalah gangguan metabolisme akibat fungsi


hati yang menurun. Jaundice atau ikterus terjadi sebagai akibat ketidakmampuan
hati mengeluarkan bilirubin. Ensefalopati disebabkan baik oleh insufisiensi hati
maupun hipertensi portal. Kemampuan tubuh yang berkurang dalam mengolah
hormon pada wanita menyebabkan hipogonadisme seperti oligomenorrhea,
amenorrhea, dan steril. Kemampuan hati dalam memproduksi berbagai macam
protein juga menurun. Akibatnya adalah adanya hipoalbumin dan sebagai
kompensasi, kadar globulin meningkat. Hal ini menyebabkan rasio albumin
globulin terbalik (<1,0). Fungsi hati dalam produksi faktor koagulasi khususnya
yang terlibat dalam jalur intrinsik juga berkurang. Defisiensi faktor pembekuan ini
menyebabkan pemanjangan PT dan koagulaopati [7].

Terbentuknya kolateral esofagus terjadi ketika gradien tekanan vena hepatika


mencapai 10-12 mmHg. Selain adanya tekanan ini, terjadinya sirkulasi
hiperdinamik juga turut menyumbang akan terbentuknya varises esofagus.
Dilatasi dan peningaktan tekanan yang terus menerus bisa menimbulkan pecahnya
varises dan terjadinya perdarahan saluran cerna yang bisa berakibat fatal[7].

Postnecrotic sirosis Sirosis alkoholik Sirosis empedu

Virus hepatitis Konsumsi alkohol Obstruksi pada


saluran empedu

Peradangan sel kupffer, hepatosit dan


endotel

Sitokin seperti TGF- β dan TNF-α

Aktivasi stellate

Menghasilkan Ekstraseluler Matrix (ECM)

Pembentukan fibrosis

Peradangan terus menerus

Nekrosis sel hepatosit

Deposit jaringan fibrosis dan


terbentuknya nodul

Sinusoid berubah bentuk dan menjadi


sempit

Kapilarisasi terganggu
dan pertukaran
terganggu

Perdarahan saluran
cerna Material didarah tidak dimetabolisme
dan menghambat material yang
Pecahnya varises diproduksi hati ke darah
esofagus

Varises esofagus Hipertensi portal Fungsi


hepatoselular
terganggu
Perubahan vascular Perubahan fungsi
hepar metabolism hati

Hipertensi portal Adanya disfungi


hati, albumin
menurun
Endotel di kapiler Vaskularisasi dari
splanik bereaksi ileum melalui vena
Tekanan onkotik
dengan melepaskan porta hepatika
menurun
NO

Cairan merembes
Vasodilatasi kapiler Tekanan kapiler ke instertitial
splanknik splenik meningkat

Kongesti Penumpukan cairan Asites


kapiler
splanknik
Translokasi bakteri Peritonitis bacterial
ke pembuluh darah spontan
Merusak epitel
atau peritoneum
usus

Meningkatkan Lumen tipis, rupture, engan


aliran darah tekanan aliran darah yang tinggi
kolateral

Vena daerah gaster Vena daerah Vena cutaneus Vena


esopaghus umbilicalis splenica

Varises gaster Varises esopagus Caput medusa Splenomegali

Ruptur varises

Perdarahan varises
massive

Darah menjadi Bakteri memecah protein Memperparah


nutrisi bakteri menjadi amonia ensefalopati hepatikus
Asites, cairan berpusat pada
abdomen

Jumlah volume intravaskuler


berkurang

Perfusi ke berbagai organ

Ginjal

Ischemia

Fungsi ginjal menurun

Hepato Renal Syndrome

Gambar Patogenesis dan Patofisiologi

Diagnosis Banding Sirosis Hepatis Delfia Savitri (20204881010)

Tabel 2. Diagnosi Banding Sirosis Hepatis

Tanda Gejala Sirosis Hepatitis B Hepatitis C Perlemakan Hati


Hepatis Non Alkoholik
Nyeri perut √ √ √ √
kanan atas
Malaise √Berat √ √ √
Anoreksia √ √ √
BB √ √ √
Mual muntah √ √ √
Mialgia √ √
Ikterik √ √ √
Spider nevi √ √
Splenomegaly √ √
Hepatomegaly Belum tentu √ √
Ascites √ √
Caput medusa √
Palmar eritema √
White nail
Ginekomastia
SGOT normal/
SGPT normal/
Bilirubin
Protrombin Memanjang Memanjang Memanjang

Pemeriksaan Biopsi Serologi Serologi Biopsy


penunjang lain HBsAg dan HCV-RNA
IgM anti HBc

A. Hepatitis B
Masa inkubasi virus hepatitis B adalah 1-4 bulan kemudian pasien akan
masuk masa prodromal, dengan gejala berupa malaise, anoreksia, mual. Muntah,
myalgia dan mudah lelah. Pasien dapat mengalami perubahan rasa pada indra
pengecap dan perubahan sensasi bau-bauan. Sebagian pasien dapat mengalami
nyeri abdomen kuadran kanan atas. Gejala ini umumnya terjadi 1-2 minggu
sebelum terjadi icterus. Sekitar 70% pasien mengalami hepatitis sub klinis atau
hepatitis anikterik dan hanya 30% pasien mengalami icterus[9].
Gejala klinis dan icterus biasanya hilang setelah 1-3 bulan, tetapi sebagian
pasien dapat mengalami demam dengan suhu yang tidak terlalu tinggi,icterus, dan
hepatomegaly ringan. Splenomegaly dapat dijumpai pada 5-15% kasus. Selain itu,
eritema atau spider nevi dapat dijumpai meskipun jarang. Pada hepatitis B akut,
HBsAg muncul di serum dalam 2-10 minggu setelah paparan virus, sebelum onest
gejala dan peningkatan ALT dan akan menghilang dalam waktu 4-6 bulan[9].
Pada pemeriksaan juga akan didapatkan bilirubin yang meningkat 40-40.000
U/L saat icterus, protrombin time memanjang, serum albumin menurun, dan
gangguan system saraf pusat, dalam hal ini pasien diindikasikan untuk rawat
inap[14].
Adanya HBsAg yang persisten lebih dari 6 bulan menunjukkan bahwa pasien
menderita infeksi hepatitis B kronik. Gambaran klinis pasien Hepatitis B Kronik
sangat bervariasi. Pada banyak kasus tidak didapatkan keluhan maupun gejala dan
pemeriksaan tes faal hati hasilnya normal. Pada sebagian lagi didapatakan
hepatomegaly atau splenomegaly atau tanda-tanda penyakit hati kronis lainnya,
seperti eritema palmaris dan spider nevi, serta pemeriksaan pada pemeriksaan
laboratorium sering didapatkan kenaikann konsentrasI ALT walaupun hal itu
tidak selalu didapatkan[10].
Pada hepatitis B kronik asimtomatis dapat dilakukan pemeriksaan biopsy
hepar untuk deteksi inflamasi akut, nekrosis, dan fibrosis yang mungkin akan
berlanjut menjadi sirosis[14].

B. Hepatitis C
Infeksi virus hepatitis C pertama kali ditemukan pada akhir tahun 1980an.
Sama seperti virus hepatitis lainnya, gejala akut yang ditimbulkan oleh HCV sulit
dibedakan dengan virus hepatitis lainnya . sebagian besar kasus asimptomatik.
Gejala-gejala dilaporkan terjadi pada 15% kasus. Masa inkubasi hepatitis C
umumnya 6-8 minggu dengan gejala yang ditunjukkan berupa malaise, jaundice
dialami sekitar 20-40% pasien. Peningkatan kadar SGPT terjadi hamper disemua
pasien. Pada masa ini HCV RNA pasien akan positif dan meningkat hingga
munculnya jaundice. Beberapa gejala lain diantaranya fatigue, tidak napsu makan,
mual, dan nyeri abdomen kuadran kanan atas[13].
Diagnosis hepatitis C itu sendiri bergantung pada positifnya hasil
pemeriksaan Anti-HCV atau pemeriksaan HCV-RNA yang biasanya terdeteksi
lebih awal sebelum munculnya antibody anti-HCV. Bila HCV-RNA bertahan
lebih dari 6 bulan maka infeksi hepatitis C dinyatakan sebagai infeksi kronis.
Infeksi akan menjadi kronik pada 70-90% kasus dan sering kali tidak
memunculkan gejala apapun walaupun proses kerusakan hati berjalan terus,.
Sekitar 15-20% kasus hepatitis C akan menjadi sirosis hati. Kerusakan hati akibat
infeksi kronik tidak dapat tergambar pada pemeriksaaan fisik maupun laboratoris
kecuali jika sudah menjadi sirosis hati. Progresifitas hepatitis kronik menjadi
sirosis hati dipengaruhi beberapa factor risiko yaitu: asupan alcohol, ko-infeksi
dengan virus hepatitis B atau HIV, jenis kelamin laki-laki dan usia tua[11].
C. Perlemakan Hati non Alkoholik
Perlemakan hati non alkoholik merupakan kondisi yang disadari dpaat
berkembang menjadi penyakit hati lanjut. Sebagian besar pasien dengan
perlemakan hati non-alkoholik tidak menunjukkan gejala maupun tanda-tanda
adanya penyakit hati. Namun, beberapa pasien mengeluh rasa lemah, malaise,
keluhan tidak enak dan rasa tidak nyaman di perut kuadran kanan atas. Pada
kebanyakan pasien hepatomegaly merupakan satu-satunya kelainan fisik yang
ditemukan. Peningkatan ringan sampai sedang SGOT dan SGPT merupakan
kelainan hasil pemeriksaan yang paling sering didapatkan pada pasien-pasien
dengan perlemakan hati non alkoholik. Beberapa pasien datang dengan kadar
enzim hati yang normal. Keadaan hipoalbuminemia, waktu protrombin yang
memanjang, dan hiperbilirubinemia biasanya ditemukan pada pasien yang sudah
mengalami sirosis hepatis. Dikatakan sebagai perlemakan hati apabila kandungan
lemak di hati melebihi 5% dari seluruh berat hati. Karena pengukuran berat hati
sangat sulit dilakukan maka diagnosis dibuat berdasarkan analisis specimen
biopsy jaringan hati, yaitu ditemukannnya minimal 5-10% sel lemak dari
keseluruhan hepatosit[12].

Penegakan Diagnosis Sirosis Hepatis (Nyimas Salsabila RIZ, 20204881022)

Anamnesis

Anamnesis bertujuan untuk mengetahui gejala dan tingkat keparahan yang


dirasakan pasien sesuai atau tidak dengan manifestasi klinis sirosis hepatis[16].

 Identitas Pasien
 Keluhan utama: Nyeri pada abdomen, sesak napas, gangguan BAB dan
BAK.
 Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien sirosis hepatis memiliki keluhan lemah/letih, anoreksia (nafsu
makan menurun), nausea (mual), berat badan menurun, mengeluh perut
semakin membesar, perdarahan pada gusi, inkontinensia urin, konstipasi,
dan sesak napas.
 Riwayat Konsumsi:
Pasien sirosis hepatis umumnya memiliki riwayat konsumsi alkohol dan
rokok dalam jangka waktu yang lama.
 Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien menderita hepatitis kronis atau gagal jantung.
 Riwayat Penyakit Keluarga:
Adanya keluarga yang menderita penyakit sirosis hepatis atau hepatitis[16].

Pemeriksaan Fisik

 Mata: Konjungtiva tampak anemis, sklera ikterik.


 Mulut: Pada pasien sirosis hepatis biasanya memiliki bau napas yang khas
diakibatkan oleh peningkatan konsentrasi dimetil sulfide akibat pintasan
porto sistemik yang berat. Bibir akan tampak pucat[15].
 Thorax:
Jantung
Inspeksi: Pergerakan apeks kordis tidak terlihat
Palpasi: Apeks kordis tidak teraba.
Perkusi: Tidak terdapat pembesaran jantung.
Auskultasi: Normal, tidak terdapat suara jantung ketiga[15].
Paru-paru
Inspeksi: Pasien tampak menggunakan otot bantu pernapasan.
Palpasi: Vocal fremitus normal antara kiri dan kanan.
Perkusi: Mayoritas pada pasien sirosis hepar resonance, namun bila
terdapat efusi pleura bunyinya redup.
Auskultasi: Vesikuler[15].
 Abdomen
Inspeksi: Umbilikus menonjol, tampak asites.
Palpasi: Hepar penderita akan mudah teraba dan terasa keras. Penderita
merasakan nyeri tumpul dirasakan pada epigastrium atau kuadran kanan
atas.
Perkusi: Shifting dullness
Auskultasi: Bising usus hiperaktif[15].

 Kulit: Fungsi hati yang terganggu mengakibatkan bilirubin tidak


terkonjugasi sehingga kulit tampak ikterik, turgor kulit buruk[15].

Pemeriksaan Penunjang (Ayu Nur Walydah S, 20204881009)


Sirosis hati merupakan kelanjutan dari kerusakan hati kronik yang
perjalanan penyakitnya membutuhkan waktu. Perubahan histopatologi yang mula-
mula adalah proses fibrosis yang difus dengan diikuti pembentukan nodul-nodul
regenerasi yang mempunyai bentuk dan fungsi abnormal. Penderita sirosis hepatis
biasanya disertai komplikasi hipertensi portal dan kegagalan fungsi parenkim hati.
Gambaran histopatologi dari sirosis hati memiliki karakteristik utama yaitu
distorsi arsitektur hepar, jaringan parut sebagai akibat dari peningkatan deposisi
jaringan fibrosa dan kolagen, dan nodula regeneratif akibat nekrosis sel-sel hati
yang dikelilingi jaringan parut. Nodula-nodula regeneratif ini dapat kecil
(mikronodular) atau besar (makronodular). Pada stadium kompensasi sempurna
sulit menegakkan diagnosis sirosis hati. Pada proses lanjutan dari kompensasi
sempurna mungkin bisa ditegakkan diagnosis dengan bantuan pemeriksaan klinis
yang cermat, laboratorium biokimia/serologi, dan pemeriksaan penunjang lain.
Pada saat ini penegakan diagnosis sirosis hati terdiri atas pemeriksaan fisik,
laboratorium, dan USG. Pada kasus tertentu diperlukan pemeriksaan biopsi hati
atau peritoneoskopi karena sulit membedakan hepatitis kronik aktif yang berat
dengan sirosis hati dini. Diagnosis pasti sirosis hati ditegakkan dengan biopsi hati.
Pada stadium dekompensata diagnosis kadang kala tidak sulit ditegakkan karena
gejala dan tanda-tanda klinis sudah tampak dengan adanya komplikasi [23].

1. Biopsi hati (Gold Standart)


Biopsi hati banyak digunakan pada pasien dengan dugaan sirosis hati yang
tidak diketahui etiologi untuk memastikan diagnosis dan memperluas
kemungkinan penyebabnya (misalnya menunjukkan distribusi fibrosis di
hati). Ini juga tetap menjadi kunci dalam kasus dugaan ACLD terkait non-
alkoholik steatohepatitis (NASH) dan penyakit hati kronis kolestatik dan
autoimun yang datanya terkait dengan akurasi diagnostik dari metode non-
invasif masih langka. Biopsi hati dapat dilakukan dari perkutan atau rute
transjugular.
Biopsi hati perkutan dilakukan melalui ruang interkostal kanan di bawah
kendali ultrasonografi, aktif anestesi lokal, menggunakan Menghini core-
aspiration atau Tru-cut jarum otomatis 16-gauge. Sebelum prosedur,
koagulasi parameter harus diperiksa (termasuk jumlah trombosit dan waktu
protrombin / rasio normalisasi internasional). Kontraindikasi untuk biopsi hati
perkutan termasuk koagulopati parah, saluran empedu dilatasi, sepsis, asites,
kecurigaan lesi vaskular, hydatid penyakit atau pasien tidak kooperatif. Bila
kontraindikasi (terutama koagulopati dan asites) dengan biopsy perkutan,
maka dapat diatasi dengan menggunakan pendekatan transjugular [22].

Indikasi utama untuk melakukan biopsi hati:

Percutaneous liver biopsy Transjugular liver biopsy


Penyakit hati difus dengan berbagai Perlunya pengukuran paralel gradien
etiologic tekanan vena hati (HVPG)
Tes hati abnormal dari asalnya tidak Kontraindikasi akses perkutan
diketahui (perhatikan bahwa dilatasi pohon bilier
Non-alcoholic fatty liver disease merupakan kontraindikasi untuk biopsi
Autoimmune hepatitis hati)
Focal lesions
Kecurigaan terhadap hepatitis
alkoholik berat

Gagal hati akut dengan etiologi yang


tidak diketahui

Kecurigaan hipertensi portal non-


sirosis

Tes hati abnormal pada pasien


hematologis

Kualitas biopsi hati ditentukan oleh panjang, lebar, fragmentasi dan


jumlah saluran portal lengkap. Ukuran sampel kecil mungkin tidak memadai
untuk menentukan stadium fibrosis, terutama pada patologi di mana kerusakan
histologis tidak seragam didistribusikan dan sirosis dapat tidak terdeteksi pada
satu bagian dalam 10% -30% kasus . Untuk disarankan bahwa "lebih besar
lebih[22].

Indikasi biopsi hati juga berbeda antar panduan internasional yang


dikeluarkan saat ini. Panduan dari European Association for the Study of the
Liver (EASL) menyatakan bahwa biopsy diperlukan pada lesi dengan ukuran 1-2
cm. Sedangkan panduan dari American Association for the Study of the Liver
Diseases (AASLD) merekomendasikan tidak dilakukan biopsi pada lesi berukuran
lebih dari 1 cm selama ditemukan hasil yang konkordan pada setidaknya 2
modalitas pencitraan yang berbeda. Dengan adanya perbedaan ini, faktor
individual dan pengalaman seorang klinisi harus menjadi pertimbangan dalam
pengambilan keputusan perlunya biopsi hati.

Biopsi hati masih merupakan baku emas dan berperan penting dalam
penanganan penyakit hati difus dan nodul hati. Biopsi hati memiliki peran baik
dalam menentukan diagnosis awal, penentuan terapi, monitor terapi, hingga
menilai prognosis pasien. Apabila memang direncanakan untuk dilakukan biopsi
hati, maka harus dipertimbangkan juga risiko komplikasi dan keuntungan yang
didapat dari prosedur ini [18].

Pasien harus diberikan edukasi, untuk tidak mengkonsumsi aspirin dan


obat antiinflamasi nonsteroid untuk 7-10 hari sebelum biopsi untuk
meminimalkan risiko terjadinya perdarahan [17].

Tabel Macam-Macam Grading Sirosis

Gambar Staging Sirosis


Gambar Makroskopi Sirosis Hepar

Gambar Mikroskopi Sirosis Hepar

Gambaran patologis sirosis termasuk nodul regenerasi yang dipisahkan oleh


septa fibrosa dan hilangnya arsitektur lobular normal dalam nodul yang
menyebabkan penurunan aliran darah hati. Kemacetan limpa menyebabkan
hipersplenisme dan peningkatan sekuestrasi trombosit. Dua jenis sirosis
dijelaskan berdasarkan penyebab yang mendasari (a) di mana sirosis nodular
mikro regenerasi ukuran nodul kurang dari 3 mm sering disebabkan oleh alcohol
atau penyakit saluran empedu. (b) Nodular makro sirosis di mana nodul ukuran
variabel terbentuk dan asini normal terlihat di dalam nodul yang lebih besar
sering dikaitkan dengan hepatitis virus kronis [20].
2. Pemeriksaan Laboratorium Darah
Pada pemeriksaan laboratorium dapat diperiksa tes fungsi hati yang meliputi
aminotransferase, alkali fosfatase, gamma glutamil transpeptidase, bilirubin,
albumin, dan waktu protombin. Nilai aspartat aminotransferase (AST) atau serum
glutamil oksaloasetat transaminase (SGOT) dan alanin aminotransferase (ALT)
atau serum glutamil piruvat transaminase (SGPT) dapat menunjukan peningkatan.
AST biasanya lebih meningkat dibandingkan dengan ALT, namun bila nilai
transaminase normal tetap tidak menyingkirkan kecurigaan adanya sirosis. Alkali
fosfatase mengalami peningkatan kurang dari 2 sampai 3 kali batas normal atas.
Konsentrasi yang tinggi bisa ditemukan pada pasien kolangitis sklerosis primer
dan sirosis bilier primer. Gammaglutamil transpeptidase (GGT) juga mengalami
peningkatan, dengan konsentrasi yang tinggi ditemukan pada penyakit hati
alkoholik kronik. Konsentrasi bilirubin dapat normal pada sirosis hati
kompensata, tetapi bisa meningkat pada sirosis hati yang lanjut. Konsentrasi
albumin, yang sintesisnya terjadi di jaringan parenkim hati, akan mengalami
penurunan sesuai dengan derajat perburukan sirosis. Sementara itu, konsentrasi
globulin akan cenderung meningkat yang merupakan akibat sekunder dari
pintasan antigen bakteri dari sistem porta ke jaringan limfoid yang selanjutnya
akan menginduksi produksi imunoglobulin. Pemeriksaan waktu protrombin akan
memanjang karena penurunan produksi faktor pembekuan pada hati yang
berkorelasi dengan derajat kerusakan jaringan hati. Konsentrasi natrium serum
akan menurun terutama pada sirosis dengan ascites, dimana hal ini dikaitkan
dengan ketidakmampuan ekskresi air bebas. Selain dari pemeriksaan fungsi hati,
pada pemeriksaan hematologi juga biasanya akan ditemukan kelainan seperti
anemia, dengan berbagai macam penyebab, dan gambaran apusan darah yang
bervariasi, baik anemia normokrom normositer, hipokrom mikrositer, maupun
hipokrom makrositer. Sirosis hepatis dapat terjadi anemia, trombositopeni,
leukopeni terjadi akibat splenomegali kongestif berkaitan dengan hipertensi porta
sehingga terjadi hipersplenisme. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk dapat
menilai tingkatan terjadinya kerusakan hati tanpa prosedur yang invasif, seperti
fibrosis score, AST/ALT rasio dan Child- Pugh score. Fibrosis skor adalah suatu
skoring yang bersifat non-invasif yang penilaianya diambil dari beberapa hasil test
laboratorium dan data pasien yang digunakan untuk mengestimasi tingkatan
terjadinya fibrosis pada hati. Perhitungan fibrosis skor menggunakan enam
variabel yaitu usia, BMI (body mass index), hiperglikemi, rasio AST dan ALT,
trombosit, dan albumin. Hasil perhitungan NAFLD fibrosis skor dibagi menjadi
tiga tingkatan yakni low cutoff (<-1,455), indeterminate (-1,455-0,676), high
cutoff (>0,676). Low cutoff adalah skor dimana pasien diprediksi negatif fibrosis
hati dan high cutoff adalah tingkatan skor pasien dengan prediksi terdapat fibrosis
hati sedangkan pasien dengan fibrosis skor indeterminate dikelompokan menjadi
pasien dengan fibrosis yang meragukan atau belum dapat diprediksi [23].

3.Endoscopy

Pemeriksaan endoskopi dengan menggunakan esophagogastro- duodenoscopy


(EGD) untuk menegakkan diagnosa dari varises esophagus dan varises gaster
sangat direkomendasikan ketika diagnosis sirosis hepatis dibuat. Melalui
pemeriksaan ini, dapat diketahui tingkat keparahan atau grading dari varises yang
terjadi serta ada tidaknya red sign dari varises, selain itu dapat juga mendeteksi
lokasi perdarahan spesifik pada saluran cerna bagian atas. Di samping untuk
menegakkan diagnosis, EGD juga dapat digunakan sebagai manajemen
perdarahan varises akut yaitu dengan skleroterapi atau endoscopic variceal
ligation (EVL) [23].

Endoskopi saluran pencernaan bagian atas adalah metode standar emas


untuk mendiagnosis adanya varises gastroesofagus dan mengidentifikasi tanda-
tanda risiko perdarahan [21].

4. Imaging

Terdapat beberapa pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan pada penderita


sirosis hati.

a. USG
Pemeriksaan dengan menggunakan ultrasonografi (USG) sudah secara
rutin digunakan pada kasus sirosis karena pemeriksaanya noninvasif dan
mudah digunakan. Penelitian dari Khan (2010) menyimpulkan bahwa
gambaran nodulus pada USG hati adalah metode diagnostik yang cukup
akurat dalam mendiagnosa pasien sirosis. Gambaran USG yang dinilai
meliputi sudut hati, permukaan hati, ukuran, homogenitas, dan adanya massa.
Pada gambaran USG sirosis hati dapat ditemukan ekoparenkim hati yang
kasar dan hiperkoik, permukaan hati sangat ireguler karena fibrosis. Ukuran
kedua lobus hati mengecil. Terlihat tanda sekunder berupa asites,
splenomegali dan adanya pelebaran vena lienalis dan vena porta [23].
b. CT-Scan dan MRI
CT dan (MRI) umumnya tidak begitu baik untuk dipakai alat penunjang
diagnostic sirosis. Karena Ct-scan dan MRI tidak dapat menunjukkan
perubahan morfologi awal sirosis, tetapi mereka dapat menunjukkan secara
akurat nodularitas dan atrofi lobar dan perubahan hipertrofik, asites dan
varises. MRI baiknya dipakai untuk membedakan antara regenerasi atau
displastik nodul dan karsinoma hepatoseluler, serta menentukan apakah lesi
telah berubah bentuk dan ukuran. Pencitraan fase CT portal dapat digunakan
untuk penilaian patensi vena portal, meskipun volume aliran dan arah tidak
dapat ditentukan secara akurat. Meski jarang digunakan, resonansi magnetic
angiografi (MRA) dapat menilai portal perubahan hipertensi termasuk
volume aliran darah, serta portal vena thrombosis [19].

Gambar Ct-scan
Menunjukkan hepatosplenomegali dan pembesaran pembuluh darah kolateral di
bawah dinding perut anterior (dengan panah) karena
hipertensi portal .
Gambar Ct-scan
Menunjukkan dilatasi penyakit hati.

Gambar Tanda-tanda yang Sering Muncul pada Radiologi Sirosis Hepar


Pemeriksaan Penunjang Diagnostik Sirosis Hepar
Gambar Pro dan Kontra dalam Pemeriksaan Penunjang Sirosis Hepar

Terapi sirosis hepatis (Ayuni Nur R. 20204881035)

Edukasi dan promosi kesehatan pada sirosis hepatis dapat dilakukan dengan
edukasi mengenai gaya hidup, skrining, serta pemberian antibiotik profilaksis
untuk mencegah infeksi.

a. Edukasi mengenai gaya hidup mencakup diet yang baik


b. Menghentikan konsumsi alkohol dan rokok
c. Perubahan gaya hidup dengan diet yang berfungsi mengurangi berat badan
dan mencegah diabetes dapat membantu dalam mengurangi risiko terjadinya
sirosis.
d. Nutrisi pada Sirosis Hati
Nutrisi adalah faktor penting dalam tatalaksana sirosis. Hati berperan
penting dalam metabolisme energi. Salah satunya adalah menjaga kadar
glukosa darah dengan neoglukogenesis. Saat keadaan sirosis tentu proses ini
menjadi terganggu. Efek yang paling jelas adalah ketidakmampuan penderita
sirosis pada keadaan puasa atau kelaparan. Hal ini tentu akan berpengaruh
pada perubahan status atau kondisi gizi dari penderita sirosis.
Selain itu, produksi berbagai macam protein juga terganggu. Salah satu
protein yang penting adalah albumin. Albumin banyak berperan dalam
transportasi berbagai macam zat di dalam tubuh. Penurunan kadar albumin
juga mengancam kondisi metabolisme dan gizi penderita sirosis.
Dari paparan di atas, jelas bahwa penderita sirosis terancam kondisi malnutrisi
energi maupun protein. Faktanya, dari data di Indonesia, 54-88% penderita
sirosis hati mengalami malnutrisi. Semakin berat kondisi sirosis yang dialami,
semakin berat pula malnutrisi yang terjadi. Padahal, malnutrisi pada sirosis
meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas. Semakin berat malnutrisi,
semakin tinggi pula kejadian ensefalopati hepatikum, infeksi, perdarahan
variseal, maupun asites refrakter.

Transplantasi Hati
Indikasi utama transplantasi hati adalah end-stage liver disease (ESLD)
berat yang bersifat ireversibel. Waktu seseorang dapat mendapatkan donor hati
dalam suatu daftar antrian ditentukan oleh sistem skoring model for end-stage
liver disease (MELD) dan pediatric end-stage liver disease (PELD).
Sebelumnya, pertimbangan untuk transplantasi hati dilakukan berdasarkan
skor Child-Pugh. Akan tetapi, saat ini, transplantasi hepar didasarkan pada Model
for End-Stage Liver Disease (MELD). MELD dihitung berdasarkan serum
bilirubin, serum kreatinin, dan INR berdasarkan rumus berikut:
MELD = 3.78 x ln [serum bilirubin (mg/dL)] + 11.2 x ln [INR] + 9.57 x ln [serum
kreatinin (mg/dL)] + 6.43

MELD memiliki interpretasi sebagai berikut:

 >40: mortalitas 71.3%

 30-39: mortalitas 52.6%

 20-29: mortalitas 19.6%

 10-19: mortalitas 6.0%

 <9: mortalitas 1.9%

Mortalitas yang dimaksud adalah mortalitas dalam 3 bulan. Hasil perhitungan


MELD sudah tidak dapat digunakan setelah 48 jam. Pada pasien dengan dialisis
sebanyak 2x, kreatinin adalah 4 mg/dL. Transplantasi hepar diutamakan pada
pasien dengan skor MELD >15 atau di bawah 15 dengan adanya komplikasi.

Secara umum, ESLD dengan bermacam komplikasi berikut dapat menjadi


indikasi untuk dilakukannya transplantasi hati:
 Perdarahan varises berulang
 Asites tidak dapat membaik
 Peritonitis bakterial spontan
 Ensfalopati refrakter
 Ikterus berat
 Eksaserbasi disfungsi sintetik
 Penurunan kondisi pasien secara cepat
 Gagal hati fulminan

Penatalaksanaan Sirosis Hepatis (Satriya Manggala L. 20204881023)

1. Pasien dalam keadaan kompensasi hepar yang baik

Cukup dilakukan kontrol yang teratur, istirahat yang cukup, susunan diet
tinggi kalori tinggi protein, lemak secukupnya[27].
2. Pasien sirosis dengan penyebab yang diketahui seperti : a. Alkohol dan obat-
obatan dianjurkan menghentikan penggunaannya. Alkohol akan mengurangi
pemasukan protein ke dalam tubuh. Dengan diet tinggi kalori (300 kalori),
kandungan protein makanan sekitar 70-90 gr sehari untuk menghambat
perkembangan kolagenik dapat dilakukan dengan pemberian D penicilamine dan
Cochicine[27].

3. Terapi Antiviral Hepatitis B pada penderita Sirosis Hepar

Pemberian antiviral analog nukelosida (lamivudin, adefovir, entecavir, dan


tenofovir) direkomendasikan untuk pasien hepatitis B kronik yang telah
mengalami sirosis karena dapat meningkatkan SVR dan serokonversi HBeAg,
selain itu pemberian antiviral dapat meringankan fibrosis, memperbaiki prognosis
dan dapat mencegah terjadinya HCC (Hepatocellular carcinoma)[28].

SVR ini berhubungan dengan kesembuhan dan kecil sekali kemungkinan virus
untuk muncul kembali (relaps). Jika SVR tercapai, akan kita jumpai nilai
transaminase (SGOT/SGPT) yang normal serta perbaikan atau hilangnya
nekroinflaamsi dan fibrosis pada penderita yang belum mencapai tahap sirosis[28].

4. Terapi terhadap komplikasi yang timbul

a. Asites

Tirah baring dan diawali diet rendah garam, konsumsi garam sebanyak 5,2
gram/ hari. Diet rendah garam dikombinasi dengan obat-obatan diuretik. Awalnya
dengan pemberian spironolakton dengan dosis 100-200 mg sekali sehari. Respons
diuretik bisa dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5 kg/ hari, tanpa adanya
edema kaki atau 1 kg/ hari dengan adanya edema kaki. Bilamana pemberian
spironolakton tidak adekuat bisa dikombinasi dengan furosemid dengan dosis 20-
40 mg/ hari. Pemberian furosemid bisa ditambah dosisnya bila tidak ada respons,
maksimal dosisnya 160 mg/ hari. Parasentesis dilakukan bila asites sangat besar.
Pengeluaran asites bisa hingga 4-6 liter dan dilindungi dengan pemberian
albumin[31].

b. Perdarahan varises esofagus (hematemesis, hematemesis dengan melena atau


melena saja)
1) Lakukan aspirasi cairan lambung yang berisi darah untuk mengetahui apakah
perdarahan sudah berhenti atau masih berlangsung.

2) Bila perdarahan banyak, tekanan sistolik dibawah 100 mmHg, nadi diatas 100
x/menit atau Hb dibawah 99% dilakukan pemberian IVFD dengan pemberian
dextrose/ salin dan tranfusi darah secukupnya.

3) Diberikan vasopresin 2 amp 0,1 gr dalam 500cc D5% atau normal salin
pemberian selama 4 jam dapat diulang 3 kali[32].

Bila perdarahan banyak, tekanan sistolik di bawah 100 mmHg, nadi di atas
100x/ menit atau Hb di bawah 9 g% dilakukan pemberian IVFD dekstrosa atau
salin dan tranfusi darah secukupnya. Diberikan vasopresin 2 amp 0,1 g dalam 500
cc cairan D 5% atau salin. Untuk mencegah rebleeding dopat diberikan cbat
penyekat reseptor beta (beta bloker) secara oral[32].

c. Ensefalopati Hepatikum

1) Dilakukan koreksi faktor pencetus seperti pemberian KCL pada hipokalemia.

2) Mengurangi pemasukan protein makanan dengan memberi diet sesuai.

3) Aspirasi cairan lambung bagi pasien yang mengalami perdarahan pada varises.

4) Pemberian antibiotik campisilin/ sefalosporin pada keadaan infeksi sistemik.

5) Transplantasi hati[29].

d. Peritonitis bakterial spontan

Peritonitis bakterial spontan biasa dijumpai pada pasien sirosis alkoholik dengan
asites. Terapi diberikan antibiotik pilihan seperti cefotaksim 2 g/8 jam i.v,
amoksisilin atau golongan aminoglikosida. Untuk ensefalopati dilakukan koreksi
faktor pencetus seperti pemberian KCl pada hipokalemia, mengurangi pemasukan
protein makanan, aspirasi cairan lambung bagi pasien yang mengalami perdarahan
pada varises, pemberian neomisin per oral untuk strerilisasi usus dan pemberian
antibiotik pada keadaan infeksi sistemik[29].

1. Komplikasi (Farah Lutfia N. 20204881012)


Morbiditas dan mortalitas sirosis tinggi akibat komplikasinya. Kualitas hidup
pasien sirosis dapat diperbaiki dengan pencegahan dan penanganan
komplikasinya. Komplikasi yang sering terjadi antara lain[32]:

1. Asites atau edema

Pada sirosis hati yang lanjut, terjadi retensi cairan akibat akumulasi
garam. Retensi cairan paling sering terjadi di daerah kaki akibat proses
gravitasi, dan dalam rongga perut akibat hipertensi portal. Asites dan edema
juga dapat disebabkan oleh hypoalbuminemia karena produksi albumin yang
terganggu dalam hati [33].

2. Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP)

Cairan dalam perut (ascites) adalah tempat yang sempurna unruk


bakteri-bakteri berkembang. Secara normal, rongga perut mengandung suatu
jumlah yang sangat kecil cairan yang mampu melawan infeksi dengan baik,
dan bakteri-bakteri yng masuk ke perut (biasanya dari usus) dibunuh atau
menemukan jalan mereka ke dalam vena portal dan ke hati dimana mereka
dibunuh. Pada sirosis, cairan yang mengumpul dalam perut tidak mampu
melawan infeksi secara normal. Sebagai tambahan lebih banyak bakteri
menemukan jalannya dari usus ke dalam ascites. Oleh karena itu infeksi
didalam perut dan ascites disebut Spontaneous Bacterial Peritonitis. Biasanya
pasien ini tanpa gejala, namun dapat timbul demam dan nyeri abdomen [33].

3. Sindrom hepatorenal

Gangguan fungsi ginjal disebabkan oleh perubahan aliran darah ke


dalam ginjal. Pasin dengan hipertensi portal dan sirosis hepatis terkompensasi
terjadi gangguan pengisian arteri menyebabkan penurunan volume darah arteri
dan menyebabkan aktivasi sistem vasokonstriktor. Namun sirkulasi
splanchnic masih terjadi penurunan resistensi vaskuler sistemik total. Apabila
penyakit hati makin berat, sistem vasodilator ginjal tidak dapat lagi mengatasi
aktivasi maksimal sehingga menyebabkan tidak terkontrolnya vasokonstriksi
renal. Dengan gambaran yang khas berupa oliguria, hiponatremi, kreatinin,
dan kadar Na yang rendah dalam urin [35].

4. Sindroma Hepatopulmoner
Meskipun jarang, pasien dengan sirosis yang lanjut, dapat
berkembang menjadi sindroma hepatopulmoner. Pasien-pasien ini
mengalami kesulitan bernapas akibat sejumlah hormone tertentu terlepas
pada sirosis yang lanjut karena fungsi paru yang abnormal. Masalah dasar
dalam adalah tidak tersedianya cukup aliran darah dari pembuluh darah
kecil dalam paru yang mengadakan kontak dengan alveoli dalam paru.
Aliran darah lewat paru mengalami pintasan sekitar alveoli, dan tidak
dapat mengambil cukup banyak oksigen dari udara dalam alveoli.
Akibatnya adalah pasien mengalami perasaan sesak napas atau napas
pendek, terutama pada saat melakukan aktivitas [33].
5. Perdarahan Gastrointestinal

Pada sirosis hati akan menghalangi jalannya darah yang akan kembali
ke jantung dari usus dan meningkatkan tekanan vena porta (hipertensi porta).
Ketika penekanan dalam vena porta akan meningkat, ia menyebabkan darah
mengalir di sekitar hati melalui vena-vena dengan tekanan yang lebih rendah
untuk mencapai jantung. Akibat peningkatan aliran darah dan tekanannya
mengakibatkan vena kerongkongan lebih bawah dan lambung bagian atas
mengembang. Semakin tinggi tekanan maka pasien dapat mengalami
pendarahan dari varices kerongkongan [33].

Varises esophagus yang terjadi pada suatu waktu mudah pecah,


sehingga timbul perdarahan yang massif. Sifat perdarahan yang ditimbulkan
adalah muntah darah atau hematemesis biasanya mendadak dan massif tanpa
didahului rasa nyeri di epigastrium. Darah yang keluar berwarna kehitam-
hitaman dan tidak akan membeku, karena sudah tercampur dengan asam
lambung. Setelah hematemesis selalu disusul dengan melena [33].

6. Karsinoma hepatoselular
Kemungkinan timbulnya karsinoma pada Sirosis Hepatis terutama
pada bentuk postnekrotik ialah karena adanya hiperplasi noduler yang akan
berubah menjadi adenomata multiple kemudian berubah menjadi karsinoma
yang multiple [32].

Prognosis (Farah Lutfia N. 20204881012)

Prognosis pasien sirosis tergantung ada tidaknya komplikasi akibat


sirosisnya. Pasien dengan sirosis kompensata mempunyai harapan hidup lebih
lama, bila tidak berkembang menjadi sirosis dekompensata. Diperkirakan harapan
hidup pasien sirosis kompensata sekitar 47% dalam waktu 10 tahun. Sebaliknya
pasien sirosis dekompensata hanya memiliki harapan hidup sekitar 16% dalam
waktu 5 tahun [33].

Indeks hati juga dapat dipakai sebagai petunjuk untuk menilai prognosis
pasien sirosis hati dengan hematemesis melena yang mendapat pengobatan secara
medik. Dari penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pasien dengan kegagalan
hati ringan (indeks hati 0-2) angka kematiannya 0-16%, sementara yang memiliki
kegagalan hati sedang sampai berat (indeks hati 3-8) angka kematiannya 18-40%
[33]
.

Tabel 1. Indeks Hati [29].

Parameter 0 1 2

Albumin (g%) > 3.6 3-3.5 <3

Bilirubin (mg%) <2 2-3 <3

Gangguan kesadaran - Minimal 0

Asites - Minimal 0

Interpretasi:

1. Gagal hati ringan :0-3


2. Gagal hati sedang: 4-6
3. Gagal hati berat : 7-10
Untuk pasien sirosis hati yang direncanakan untuk tindakan bedah,
penilaian prognosis pasien dinilai menggunakan skor Child Turcotte Pough
(CTP). Sementara untuk pasien yang akan dilakukan transplantasi penilaian
prognosis dilakukan menggunakan skor MELD (Model for End-stage L iver
Disease) atau PELD (Pediatric End-stage Liver Disease) [33].

Ringan Sedang Berat


Parameter 1 point 2 point 3 point
Bilirubin serum (mg/dl) <2 2-3 >3

Albumin serum (g/dl) >3-5 <3


Massa protrombin (detik) 0-4 4-6 >6
Asites - Terkontrol Tidak terkontrol
Ensefalopati - Minimal berat
Tabel 2. Klasifikasi Child Turcotte Pough (CTP) [34].

CTP Skor interpretasi:

1. 5-6 = kelas A
2. 7-9 = kelas B
3. 10-15 = kelas C

Tabel 3. Skor MELD atau PELD [34].

Model for End-stage Liver Disease (MELD) atau Pediatric End-stage Liver
Disease (PELD)

MELD Score: 3,8*log [bilirubin] + 11.2*log [NR] + 9,6 [creatinine] + 6,4

MELD score rate: 6-40

Anda mungkin juga menyukai