N 20204881028)
Sirosis hati merupakan tahap akhir proses difus fibrosis hati progresif yang
ditandaioleh distorsi arsitektur hati dan pembentukan nodul regenerative.
Morfologi didapatkan fibrosis difus, nodul, regeneratif, perubahan arsitektur
lobular dan pembentukan hubungan vascular intrahepatic antara pembuluh darah
hati aferen dan eferen[1].
1. Sirosis mikronoduler
2. Sirosis makronoduler
Penyakit Infeksi
Bruselosis
Ekinokokus
Skistosomaiasis
Toksoplasmosis
Hepatits Virus (A,B,C,D, sitomegalovirus)
Penyakit Keturunan dan Metabolik
Definisi α1-antitripsin
Sindrom Fanconi
Galaktosemia
Penyakit Gaucher
Penyakit simpanan glikogen
Hemokromatosis
Intoleransi fluktosa herediter
Tirosinemia herediter
Penyakit Wilson
Obat dan Toksin
Alkohol amiodaron
Arsenic
Obstruksi bilier
Penyakit perlemkan hati non-alkoholik
Sirosis bilier primer
Kolangitis sclerosis primer
Penyebab lain atau tidak terbukti
Penyakit usus inflamasi kronik
Fibrosis kistik
Pintas jejunoileal
sarkadosis
1. Jenis Kelamin
Dalam sebuah studi mengatakan, bahwa laki – laki memiliki faktor
risiko independent yang kuat untuk terjadi sirosis. Namun, beberaa
penelitian menunjukan bahwa risiko lanjut bahwa wanita lebih tinggi
daripada pria[3].
2. Usia
Didapatkan usia menjadi faktor risiko terjadinya sirosis. Pasien
dengan umur >60 tahun memiliki risiko besar termasuk penyakit bawaan
seperti hipertensi, obesitas, diabetes militus dan hiperlipidemia. Namun
hubungan antara usia dan terjadinya sirosis mungkin saja terkait dengan
Riwayat penyakit daripada usia itu sendiri[3].
3. Genetik
Faktor genetik dipercaya berkontribusi 30-50% dengan risiko
prevalensi tinggi seperti obesitas, diabetes militus, penyakit
kardiovaskular, dan sirosi[3].
4. Metabolik
Beberapa penelitian menunjukan bahwa diabetes adalah faktor
perkembangan metabolik terkuat. Penyakit metabolic lainnya seperti
hipertensi, obesitas dan hipertensi juga ikut dalam faktor risiko tinggi
metabolik[3].
Sirosis hepatis merupakan salah satu penyakit kronis ditandai dengan timbulnya
jaringan fibrosa yang menggantikan jaringan hati normal dan akhirnya
mengganggu struktur dan fungsi hati[4]. Penyakit tersebut umumnya diidentikkan
dengan alkoholisme yang termasuk dalam faktor risiko utama namun dapat juga
disebabkan virus hepatitis, reaksi toksis terhadap obat atau bahan kimi, obstruksi
[5]
empedu dan Non-alcoholic Faatty Liver Disease (NAFLD) . Menurut Smeltzer
(2010), sirosis hepatis terbagi menjadi:
Fibrosis dimulai dengan aktivasi sel stelata. Aktivasi ini melibatkan banyak
faktor termasuk peradangan sel hati, sel kupffer, sel endotel, trombosit, berbagai
sitokin, dan mRNa. Saat peradangan sel kupffer akan menghancurkan hepatosit
dan mengaktivasi sel stelata. Akibatnya muncullah pembentukan jaringan fibrosis.
Setelah pembentukan jaringan fibrosis maka sturktur hati akan terganggu dan
akhirnya mengganggu fungsi hati. Bagian yang paling sensitif adalah bagian
pembuluh darah. Pembuluh darah menjadi tertutup dan akhirnya sel hari akan
mati. Respon terhadap kerusakan ini adalah terjadi proses peradangan. Peradangan
akan membersihkan jaringan yang mati disertai dengan regenerasi sel hati [6,8].
Walaupun sel hati bisa beregenerasi dengan baik namun penunjang lain seperti
pembuluh darah memiliki regenerasi yang terbatas. Selain itu efek samping dari
peradangan adalah terbentuknya jaringan parut. Hasilnya dari proses ini adalah
hilangnya struktur asinus yang normal serta adanya jaringan parut. Proses
kerusakan biasanya tidak banyak sisa-sisa jaringan yang tersisa namun karena
proses kerusakan yang lama atau kronik, maka sisa kerusakan terutama jaringan
parut semakin banyak. Dan karena ada aktivasi sel stelata, pembentukan jaringan
parut pada kondisi peradangan kronis bisa lebih cepat sehingga fibrosis yang
terjadi berlangsung dalam skala yang luas [6]
Pada tahap awal pembentukan jaringan parut atau fibrosis diimbangi dengan
degradasi protein ini. Progresivitas dimana proses degradasi akan dikalahkan oleh
pembentukan jaringan parut akan terjadi apabila proses deposisi jaringan parut
menjadi lebih domian. Matriks metaloproteinase mengontrol proses deposisi dan
degradasi jaringan parut tersebut. Regulator enzim matriks metaloproteinase ini
berupa tissue inhibitors of metalloproteinase (TIMP). Sel stelata yang teraktivasi
oleh sitokin seperti transforming growth factor (TGF- β) dan tumor nekrosis
factor (TNF-α) akan menghambat regulator enzim ini dan lebih mempromosikan
pembentukan jaringan parut yaitu matix ekstraselular (ECM) [6,8]
Berbeda dari kapiler di tempat lain, sinusoid dari kapiler hati tidak memiliki
membran basalis. Selain itu, sinusoid juga memiliki lubang atau fenestrae yang
bebsar (diameter 100-200 nm) yang memungkinkan keluar atau pasase molekul
besar. Hal ini berkaitan dengan fungsi hati untuk memproses berbagai macam
molekul besar misalnya VLDL atau kilomikron dari saluran cerna. Selain itu, sel
hati juga aktif memproduksi berbagai macam protein plasma berukuran besar.
Agar proses transportasi ini berlangsung lancar tentu harus ditunjang oleh struktur
kapiler sinusoid yang bisa mengakomodasi pertukaran zat dengan besar molekul
yang besar [6].
Pada keadaan sirosis hati, terjadi deposisi kolagen di celah Disse. Hal ini akan
menyempitkan fenestrae dari sunusoid sehingga mengganggu aliran plasma ke
hepatosit dan sebaliknya. Proses ini dinamakan kapilerisasi dari sinusoid. Hal ini
akan berdampak pada gangguan fungsi hati dan terganggunya tekanan darah di
sistem vena porta sehingga menyebabkan hipertensi portal. Hipertensi portal ini
penting dalam patofisiologi berbagai komplikasi dari sirosis hati [6,8].
Aktivasi stellate
Pembentukan fibrosis
Kapilarisasi terganggu
dan pertukaran
terganggu
Perdarahan saluran
cerna Material didarah tidak dimetabolisme
dan menghambat material yang
Pecahnya varises diproduksi hati ke darah
esofagus
Cairan merembes
Vasodilatasi kapiler Tekanan kapiler ke instertitial
splanknik splenik meningkat
Ruptur varises
Perdarahan varises
massive
Ginjal
Ischemia
A. Hepatitis B
Masa inkubasi virus hepatitis B adalah 1-4 bulan kemudian pasien akan
masuk masa prodromal, dengan gejala berupa malaise, anoreksia, mual. Muntah,
myalgia dan mudah lelah. Pasien dapat mengalami perubahan rasa pada indra
pengecap dan perubahan sensasi bau-bauan. Sebagian pasien dapat mengalami
nyeri abdomen kuadran kanan atas. Gejala ini umumnya terjadi 1-2 minggu
sebelum terjadi icterus. Sekitar 70% pasien mengalami hepatitis sub klinis atau
hepatitis anikterik dan hanya 30% pasien mengalami icterus[9].
Gejala klinis dan icterus biasanya hilang setelah 1-3 bulan, tetapi sebagian
pasien dapat mengalami demam dengan suhu yang tidak terlalu tinggi,icterus, dan
hepatomegaly ringan. Splenomegaly dapat dijumpai pada 5-15% kasus. Selain itu,
eritema atau spider nevi dapat dijumpai meskipun jarang. Pada hepatitis B akut,
HBsAg muncul di serum dalam 2-10 minggu setelah paparan virus, sebelum onest
gejala dan peningkatan ALT dan akan menghilang dalam waktu 4-6 bulan[9].
Pada pemeriksaan juga akan didapatkan bilirubin yang meningkat 40-40.000
U/L saat icterus, protrombin time memanjang, serum albumin menurun, dan
gangguan system saraf pusat, dalam hal ini pasien diindikasikan untuk rawat
inap[14].
Adanya HBsAg yang persisten lebih dari 6 bulan menunjukkan bahwa pasien
menderita infeksi hepatitis B kronik. Gambaran klinis pasien Hepatitis B Kronik
sangat bervariasi. Pada banyak kasus tidak didapatkan keluhan maupun gejala dan
pemeriksaan tes faal hati hasilnya normal. Pada sebagian lagi didapatakan
hepatomegaly atau splenomegaly atau tanda-tanda penyakit hati kronis lainnya,
seperti eritema palmaris dan spider nevi, serta pemeriksaan pada pemeriksaan
laboratorium sering didapatkan kenaikann konsentrasI ALT walaupun hal itu
tidak selalu didapatkan[10].
Pada hepatitis B kronik asimtomatis dapat dilakukan pemeriksaan biopsy
hepar untuk deteksi inflamasi akut, nekrosis, dan fibrosis yang mungkin akan
berlanjut menjadi sirosis[14].
B. Hepatitis C
Infeksi virus hepatitis C pertama kali ditemukan pada akhir tahun 1980an.
Sama seperti virus hepatitis lainnya, gejala akut yang ditimbulkan oleh HCV sulit
dibedakan dengan virus hepatitis lainnya . sebagian besar kasus asimptomatik.
Gejala-gejala dilaporkan terjadi pada 15% kasus. Masa inkubasi hepatitis C
umumnya 6-8 minggu dengan gejala yang ditunjukkan berupa malaise, jaundice
dialami sekitar 20-40% pasien. Peningkatan kadar SGPT terjadi hamper disemua
pasien. Pada masa ini HCV RNA pasien akan positif dan meningkat hingga
munculnya jaundice. Beberapa gejala lain diantaranya fatigue, tidak napsu makan,
mual, dan nyeri abdomen kuadran kanan atas[13].
Diagnosis hepatitis C itu sendiri bergantung pada positifnya hasil
pemeriksaan Anti-HCV atau pemeriksaan HCV-RNA yang biasanya terdeteksi
lebih awal sebelum munculnya antibody anti-HCV. Bila HCV-RNA bertahan
lebih dari 6 bulan maka infeksi hepatitis C dinyatakan sebagai infeksi kronis.
Infeksi akan menjadi kronik pada 70-90% kasus dan sering kali tidak
memunculkan gejala apapun walaupun proses kerusakan hati berjalan terus,.
Sekitar 15-20% kasus hepatitis C akan menjadi sirosis hati. Kerusakan hati akibat
infeksi kronik tidak dapat tergambar pada pemeriksaaan fisik maupun laboratoris
kecuali jika sudah menjadi sirosis hati. Progresifitas hepatitis kronik menjadi
sirosis hati dipengaruhi beberapa factor risiko yaitu: asupan alcohol, ko-infeksi
dengan virus hepatitis B atau HIV, jenis kelamin laki-laki dan usia tua[11].
C. Perlemakan Hati non Alkoholik
Perlemakan hati non alkoholik merupakan kondisi yang disadari dpaat
berkembang menjadi penyakit hati lanjut. Sebagian besar pasien dengan
perlemakan hati non-alkoholik tidak menunjukkan gejala maupun tanda-tanda
adanya penyakit hati. Namun, beberapa pasien mengeluh rasa lemah, malaise,
keluhan tidak enak dan rasa tidak nyaman di perut kuadran kanan atas. Pada
kebanyakan pasien hepatomegaly merupakan satu-satunya kelainan fisik yang
ditemukan. Peningkatan ringan sampai sedang SGOT dan SGPT merupakan
kelainan hasil pemeriksaan yang paling sering didapatkan pada pasien-pasien
dengan perlemakan hati non alkoholik. Beberapa pasien datang dengan kadar
enzim hati yang normal. Keadaan hipoalbuminemia, waktu protrombin yang
memanjang, dan hiperbilirubinemia biasanya ditemukan pada pasien yang sudah
mengalami sirosis hepatis. Dikatakan sebagai perlemakan hati apabila kandungan
lemak di hati melebihi 5% dari seluruh berat hati. Karena pengukuran berat hati
sangat sulit dilakukan maka diagnosis dibuat berdasarkan analisis specimen
biopsy jaringan hati, yaitu ditemukannnya minimal 5-10% sel lemak dari
keseluruhan hepatosit[12].
Anamnesis
Identitas Pasien
Keluhan utama: Nyeri pada abdomen, sesak napas, gangguan BAB dan
BAK.
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien sirosis hepatis memiliki keluhan lemah/letih, anoreksia (nafsu
makan menurun), nausea (mual), berat badan menurun, mengeluh perut
semakin membesar, perdarahan pada gusi, inkontinensia urin, konstipasi,
dan sesak napas.
Riwayat Konsumsi:
Pasien sirosis hepatis umumnya memiliki riwayat konsumsi alkohol dan
rokok dalam jangka waktu yang lama.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien menderita hepatitis kronis atau gagal jantung.
Riwayat Penyakit Keluarga:
Adanya keluarga yang menderita penyakit sirosis hepatis atau hepatitis[16].
Pemeriksaan Fisik
Biopsi hati masih merupakan baku emas dan berperan penting dalam
penanganan penyakit hati difus dan nodul hati. Biopsi hati memiliki peran baik
dalam menentukan diagnosis awal, penentuan terapi, monitor terapi, hingga
menilai prognosis pasien. Apabila memang direncanakan untuk dilakukan biopsi
hati, maka harus dipertimbangkan juga risiko komplikasi dan keuntungan yang
didapat dari prosedur ini [18].
3.Endoscopy
4. Imaging
a. USG
Pemeriksaan dengan menggunakan ultrasonografi (USG) sudah secara
rutin digunakan pada kasus sirosis karena pemeriksaanya noninvasif dan
mudah digunakan. Penelitian dari Khan (2010) menyimpulkan bahwa
gambaran nodulus pada USG hati adalah metode diagnostik yang cukup
akurat dalam mendiagnosa pasien sirosis. Gambaran USG yang dinilai
meliputi sudut hati, permukaan hati, ukuran, homogenitas, dan adanya massa.
Pada gambaran USG sirosis hati dapat ditemukan ekoparenkim hati yang
kasar dan hiperkoik, permukaan hati sangat ireguler karena fibrosis. Ukuran
kedua lobus hati mengecil. Terlihat tanda sekunder berupa asites,
splenomegali dan adanya pelebaran vena lienalis dan vena porta [23].
b. CT-Scan dan MRI
CT dan (MRI) umumnya tidak begitu baik untuk dipakai alat penunjang
diagnostic sirosis. Karena Ct-scan dan MRI tidak dapat menunjukkan
perubahan morfologi awal sirosis, tetapi mereka dapat menunjukkan secara
akurat nodularitas dan atrofi lobar dan perubahan hipertrofik, asites dan
varises. MRI baiknya dipakai untuk membedakan antara regenerasi atau
displastik nodul dan karsinoma hepatoseluler, serta menentukan apakah lesi
telah berubah bentuk dan ukuran. Pencitraan fase CT portal dapat digunakan
untuk penilaian patensi vena portal, meskipun volume aliran dan arah tidak
dapat ditentukan secara akurat. Meski jarang digunakan, resonansi magnetic
angiografi (MRA) dapat menilai portal perubahan hipertensi termasuk
volume aliran darah, serta portal vena thrombosis [19].
Gambar Ct-scan
Menunjukkan hepatosplenomegali dan pembesaran pembuluh darah kolateral di
bawah dinding perut anterior (dengan panah) karena
hipertensi portal .
Gambar Ct-scan
Menunjukkan dilatasi penyakit hati.
Edukasi dan promosi kesehatan pada sirosis hepatis dapat dilakukan dengan
edukasi mengenai gaya hidup, skrining, serta pemberian antibiotik profilaksis
untuk mencegah infeksi.
Transplantasi Hati
Indikasi utama transplantasi hati adalah end-stage liver disease (ESLD)
berat yang bersifat ireversibel. Waktu seseorang dapat mendapatkan donor hati
dalam suatu daftar antrian ditentukan oleh sistem skoring model for end-stage
liver disease (MELD) dan pediatric end-stage liver disease (PELD).
Sebelumnya, pertimbangan untuk transplantasi hati dilakukan berdasarkan
skor Child-Pugh. Akan tetapi, saat ini, transplantasi hepar didasarkan pada Model
for End-Stage Liver Disease (MELD). MELD dihitung berdasarkan serum
bilirubin, serum kreatinin, dan INR berdasarkan rumus berikut:
MELD = 3.78 x ln [serum bilirubin (mg/dL)] + 11.2 x ln [INR] + 9.57 x ln [serum
kreatinin (mg/dL)] + 6.43
Cukup dilakukan kontrol yang teratur, istirahat yang cukup, susunan diet
tinggi kalori tinggi protein, lemak secukupnya[27].
2. Pasien sirosis dengan penyebab yang diketahui seperti : a. Alkohol dan obat-
obatan dianjurkan menghentikan penggunaannya. Alkohol akan mengurangi
pemasukan protein ke dalam tubuh. Dengan diet tinggi kalori (300 kalori),
kandungan protein makanan sekitar 70-90 gr sehari untuk menghambat
perkembangan kolagenik dapat dilakukan dengan pemberian D penicilamine dan
Cochicine[27].
SVR ini berhubungan dengan kesembuhan dan kecil sekali kemungkinan virus
untuk muncul kembali (relaps). Jika SVR tercapai, akan kita jumpai nilai
transaminase (SGOT/SGPT) yang normal serta perbaikan atau hilangnya
nekroinflaamsi dan fibrosis pada penderita yang belum mencapai tahap sirosis[28].
a. Asites
Tirah baring dan diawali diet rendah garam, konsumsi garam sebanyak 5,2
gram/ hari. Diet rendah garam dikombinasi dengan obat-obatan diuretik. Awalnya
dengan pemberian spironolakton dengan dosis 100-200 mg sekali sehari. Respons
diuretik bisa dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5 kg/ hari, tanpa adanya
edema kaki atau 1 kg/ hari dengan adanya edema kaki. Bilamana pemberian
spironolakton tidak adekuat bisa dikombinasi dengan furosemid dengan dosis 20-
40 mg/ hari. Pemberian furosemid bisa ditambah dosisnya bila tidak ada respons,
maksimal dosisnya 160 mg/ hari. Parasentesis dilakukan bila asites sangat besar.
Pengeluaran asites bisa hingga 4-6 liter dan dilindungi dengan pemberian
albumin[31].
2) Bila perdarahan banyak, tekanan sistolik dibawah 100 mmHg, nadi diatas 100
x/menit atau Hb dibawah 99% dilakukan pemberian IVFD dengan pemberian
dextrose/ salin dan tranfusi darah secukupnya.
3) Diberikan vasopresin 2 amp 0,1 gr dalam 500cc D5% atau normal salin
pemberian selama 4 jam dapat diulang 3 kali[32].
Bila perdarahan banyak, tekanan sistolik di bawah 100 mmHg, nadi di atas
100x/ menit atau Hb di bawah 9 g% dilakukan pemberian IVFD dekstrosa atau
salin dan tranfusi darah secukupnya. Diberikan vasopresin 2 amp 0,1 g dalam 500
cc cairan D 5% atau salin. Untuk mencegah rebleeding dopat diberikan cbat
penyekat reseptor beta (beta bloker) secara oral[32].
c. Ensefalopati Hepatikum
3) Aspirasi cairan lambung bagi pasien yang mengalami perdarahan pada varises.
5) Transplantasi hati[29].
Peritonitis bakterial spontan biasa dijumpai pada pasien sirosis alkoholik dengan
asites. Terapi diberikan antibiotik pilihan seperti cefotaksim 2 g/8 jam i.v,
amoksisilin atau golongan aminoglikosida. Untuk ensefalopati dilakukan koreksi
faktor pencetus seperti pemberian KCl pada hipokalemia, mengurangi pemasukan
protein makanan, aspirasi cairan lambung bagi pasien yang mengalami perdarahan
pada varises, pemberian neomisin per oral untuk strerilisasi usus dan pemberian
antibiotik pada keadaan infeksi sistemik[29].
Pada sirosis hati yang lanjut, terjadi retensi cairan akibat akumulasi
garam. Retensi cairan paling sering terjadi di daerah kaki akibat proses
gravitasi, dan dalam rongga perut akibat hipertensi portal. Asites dan edema
juga dapat disebabkan oleh hypoalbuminemia karena produksi albumin yang
terganggu dalam hati [33].
3. Sindrom hepatorenal
4. Sindroma Hepatopulmoner
Meskipun jarang, pasien dengan sirosis yang lanjut, dapat
berkembang menjadi sindroma hepatopulmoner. Pasien-pasien ini
mengalami kesulitan bernapas akibat sejumlah hormone tertentu terlepas
pada sirosis yang lanjut karena fungsi paru yang abnormal. Masalah dasar
dalam adalah tidak tersedianya cukup aliran darah dari pembuluh darah
kecil dalam paru yang mengadakan kontak dengan alveoli dalam paru.
Aliran darah lewat paru mengalami pintasan sekitar alveoli, dan tidak
dapat mengambil cukup banyak oksigen dari udara dalam alveoli.
Akibatnya adalah pasien mengalami perasaan sesak napas atau napas
pendek, terutama pada saat melakukan aktivitas [33].
5. Perdarahan Gastrointestinal
Pada sirosis hati akan menghalangi jalannya darah yang akan kembali
ke jantung dari usus dan meningkatkan tekanan vena porta (hipertensi porta).
Ketika penekanan dalam vena porta akan meningkat, ia menyebabkan darah
mengalir di sekitar hati melalui vena-vena dengan tekanan yang lebih rendah
untuk mencapai jantung. Akibat peningkatan aliran darah dan tekanannya
mengakibatkan vena kerongkongan lebih bawah dan lambung bagian atas
mengembang. Semakin tinggi tekanan maka pasien dapat mengalami
pendarahan dari varices kerongkongan [33].
6. Karsinoma hepatoselular
Kemungkinan timbulnya karsinoma pada Sirosis Hepatis terutama
pada bentuk postnekrotik ialah karena adanya hiperplasi noduler yang akan
berubah menjadi adenomata multiple kemudian berubah menjadi karsinoma
yang multiple [32].
Indeks hati juga dapat dipakai sebagai petunjuk untuk menilai prognosis
pasien sirosis hati dengan hematemesis melena yang mendapat pengobatan secara
medik. Dari penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pasien dengan kegagalan
hati ringan (indeks hati 0-2) angka kematiannya 0-16%, sementara yang memiliki
kegagalan hati sedang sampai berat (indeks hati 3-8) angka kematiannya 18-40%
[33]
.
Parameter 0 1 2
Asites - Minimal 0
Interpretasi:
1. 5-6 = kelas A
2. 7-9 = kelas B
3. 10-15 = kelas C
Model for End-stage Liver Disease (MELD) atau Pediatric End-stage Liver
Disease (PELD)