Anda di halaman 1dari 57

MAKALAH KESELAMATAN KESEHATAN KERJA DAN KESELAMATAN

PASIEN DALAM KEPERAWATAN

“KONSEP PENCEGAHAN PENULARAN”

Dosen Pembimbing :

Aria Aulia, S.Kep.Ns.M.Kep

Disusun Oleh :

1. Sarah Maulida Rahmah (131611133006)


2. Nabila Hanin Lubnatsary (131611133011)
3. Indah Latifa (131611133016)
4. Desi Choiriyani (131611133021)
5. Verantika Setya Putri (131611133026)
6. Ni Putu Neni Indriyani (131611133031)
7. Elin Nur Annisa (131611133037)
8. Novia Tri Handika (131611133042)
9. Fitrianti Umayroh Mahardika (131611133047)

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN NERS

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS AIRLANGGA

NOVEMBER, 2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan
rahmat serta taufik dan hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan tugas makalah
Keselamatan Kesehatan Kerja Dan Keselamatan Pasien Dalam Keperawatan yang berjudul
“Konsep Pencegahan Penularan”

Ucapan terimakasih kami haturkan kepada dosen pembimbing mata kuliah


Keselamatan Kesehatan Kerja Dan Keselamatan Pasien Dalam Keperawatan, Ibu Aria Aulia,
S.Kep.Ns.M.Kep yang telah membimbing kami selama perkuliahan Keperawatan Medikal
Bedah hingga dapat menyelesaikan tugas makalah ini.

Dengan demikian, kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembacanya.
Makalah ini masih jauh dari kata sempuna, untuk itu kritik dan saran dari pembaca sangat
kami butuhkan guna perbaikan dan penyempurnaan makalah berikutnya. Atas kontribusi
tersebut, kami ucapkan terimakasih.

Surabaya, 2 November 2017

Penyusun,

Kelompok 5

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………... i

DAFTAR ISI………………………………………………………………………..ii

BAB 1 : PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang………………………………………………………….1


1.2 Rumusan Masalah………………………………………………………2
1.3 Tujuan…………………………………………………………………..2

BAB 2 : TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Menular……………………………………………………….3


2.2 Jenis-Jenis Penyakit Menular
2.2.1 Tuberculosis………………………………………………...3
2.2.1.1 Cara Penularan……………………………………...4
2.2.1.2 Pencegahan………………………………………… 6
2.2.1.3 Terapi jika Pasien Terjadi Penularan Infeksi…….… 6
2.2.1.4 Prosedur Perawatan di Ruang Isolasi……………… 9
2.2.2 HIV AIDS………………………………………………...... 9
2.2.2.1 Cara Penularan………………………………...…… 11
2.2.2.2 Pencegahan………………………………………… 13
2.2.2.3 Terapi jika Pasien Terjadi Penularan Infeksi………. 15
2.2.2.4 Prosedur Perawatan di Ruang Isolasi……………….16
2.2.3 Hepatitis B………………………………………………..... 18
2.2.3.1 Cara Penularan…………………………………….. 19
2.2.3.2 Pencegahan………………………………………… 21

2.2.3.3 Terapi jika Pasien Terjadi Penularan Infeksi………. 22


2.2.3.4 Prosedur Perawatan di Ruang Isolasi……………….22

2.2.4 Difteri……………………………………………………….27
2.2.4.1 Cara Penularan……………………………………... 27
2.2.4.2 Pencegahan………………………………………… 28

ii
2.2.4.3 Terapi jika Pasien Terjadi Penularan Infeksi………. 28
2.2.5 Flu Burung (H5N1)…………………………………............29
2.2.5.1 Cara Penularan……………………………………... 29
2.2.5.2 Derajat Penyakit…………………………………….31
2.2.5.3 Kasus Suspek Flu Burung (H5N1)………………… 32
2.2.5.4 Pencegahan………………………………………… 34

2.2.5.5 Terapi jika Pasien Terjadi Penularan Infeksi………. 35


2.2.5.6 Prosedur Perawatan di Ruang Isolasi……………….38
2.2.6 SARS……………………………………………………..... 39
2.2.6.1 Cara Penularan……………………………………... 40
2.2.6.2 Pencegahan………………………………………… 42

2.2.6.3 Terapi jika Pasien Terjadi Penularan Infeksi………. 42


2.2.7 Cytomegalovirus…………………………………………… 43
2.2.7.1 Cara Penularan……………………………………... 45
2.2.7.2 Pencegahan………………………………………… 46

2.2.7.3 Terapi jika Pasien Terjadi Penularan Infeksi………. 47


BAB 3 : PENUTUP

3.1 Kesimpulan……………………………………………………………,, 49

3.2 Saran…………………………………………………………………… 50

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………… 51

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pencegahan adalah mengambil tindakan terlebih dahulu sebelum kejadian. Dalam


mengambil langkah-langkah pencegahan, haruslah didasarkan pada data atau keterangan
yang bersumber dari hasil analisis dari epidemiologi. Pencegahan penularan penyakit
berkembang secara terus menerus dan pencegahan tidak hanya ditujukan pada penyakit
infeksi saja, tetapi pencegahan penyakit non-infeksi.

Usaha pencegahan penularan penyakit secara umum dikenal berbagai strategi


pelaksanaan yang tergantung pada jenis, sasaran serta tingkat pencegahan. Dalam strategi
penerapan ilmu kesehatan masyarakat dengan prinsip tingkat pencegahan seperti tersebut di
atas, sasaran kegiatan diutamakan pada peningkatan derajat kesehatan individu dan
masyarakat, perlindungan terhadap ancaman dan gangguan kesehatan, penanganan dan
pengurangan gangguan serta masalah kesehatan, serta usaha rehabilisasi lingkungan.

Tujuan pencegahan penularan penyakit adalah menghalangi perkembangan


penularan penyakit dan kesakitan sebelum sempat berlanjut. Sehingga diharapkan upaya
pencegahan penyakit ini mampu menyelesaikan masalah kesehatan di masyarakat dan
menghasilkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

1
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa yang dimaksud dengan penyakit menular?
1.2.2 Apa saja jenis-jenis penyakit menular?
1.2.3 Bagaimana cara penularan tanda pasien terjadi penularan infeksi?
1.2.4 Bagaimana cara pencegahan penularan penyakit yang menular?
1.3 Tujuan
1.3.1 Menjelaskan yang dimaksud dengan penyakit menular
1.3.2 Menjelaskan jenis-jenis penyakit menular
1.3.3 Menjelaskan cara penularan tanda pasien terjadi penularan infeksi
1.3.4 Menjelaskan cara pencegahan penularan penyakit yang meular

2
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Menular

Penyakit menular dapat didefinisikan sebagai sebuah penyakit yang dapat


ditularkan (berpindah dari orang satu ke orang yang lain, baik secara langsung maupun
perantara). Penyakit menular ini ditandai dengan adanya agent atau penyebab penyakit yang
hidup dan dapat berpindah serta menyerang host atau inang (penderita). Dalam medis,
penyakit menular atau penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh sebuah agen
biologi (seperti virus, bakteria atau parasit), bukan disebabkan faktor fisik (seperti luka
bakar) atau kimia (seperti keracunan).

Penyakit menular umumnya bersifat akut (mendadak) dan menyerang semua


lapisan masyarakat. Penyakit jenis ini diprioritaskan mengingat sifat menularnya yang bisa
menyebabkan wabah dan menimbulkan kerugian yang besar. Penyakit menular merupakan
hasil perpaduan berbagai faktor yang saling mempengaruhi (Widoyono, 2011: 3). Penyebab
(agent) penyakit menular adalah unsur biologis yang bervariasi mulai dari partikel virus yang
paling sederhana sampai organisme yang paling kompleks yang dapat menyebabkan penyakit
pada manusia (Noor, 1997: 39). Dimana proses agent penyakit dalam menyebabkan penyakit
pada manusia memerlukan berbagai cara penularan khusus serta adanya sumber penularan
penyakit.

2.2 Jenis-jenis Penyakit Menular


2.2.1 Tuberculosis

Tuberculosis dalah penyakit menular langsung yang di sebabkan oleh kuman TB


(Mycobacterium Tuberkulosis). Tuberkulosis paru (TB paru) adalah penyakit infeksius
yang terutama menyerang penyakit parenkim paru (90%). Nama Tuberkulosis berasal
dari tuberkel yang berarti tonjolan kecil dan keras terbentuk waktu system kekebalan
menurun dan bakteri membentuk system kekebalan untuk melindungi bakteri dalam paru.
TB paru dapat menular melalui udara, waktu seseorang dengan TB aktif pada paru batuk,

3
bersin, atau bicara. Bakteri ini memiliki sifat khusus yaitu tahan terhadap sifat asam.(Dep
Kes RI :2001:7)

2.2.1.1 Cara Penularan


1) Kuman Tuberkulosis keluar melalui udara saat penderita TB batuk, bersin,
berbicara, berteriak, atau bernyanyi. Percik renik ini berukuran 1-5 mikron
dan dapat bertahan diudara selama beberapa jam.
2) Kuman M TB terhirup oleh orang lain melalui saluran pernapasan menuju
paru-paru dan dapat menyebar pada bagian tubuh lainnya. Percik renik
yang mengandung M TB dan akhirnya sampai di alveoli.
3) Di dalam tubuh kuman TB di bawa oleh daya tahan tubuh. Umumnya
respon imun terbentuk 2-10 minggu setelah infeksi. Sejumlah kuman tetap
dorman bertahun-tahun yang disebut infeksi laten.
4) Jika daya tahan tubuh sedang dalam keadaan lemah maka orang tersebut
dapat terinfeksi kuman TB. Namun jika daya tahan tubuh kuat, orang
tersebut tetap akan sehat.

Kemungkinan seseorang terinfeksi TB di pengaruhi oleh beberapa factor


seperti konsentrasi percik renik di udara dan jumlah kuman yang terhirup,
ventilasi udara, serta lamanya pajanan. Makin dekat dengan sumber infeksi dan
makin lama waktu pajanan (dalam hari atau minggu) akan meningkatkan risiko
seseorang terinfeksi.

1. Keadaan TB Paru yang Dapat Meningkatkan Risiko Penularan


a. Batuk produktif
b. BTA positif
c. Kavitas
d. Tidak menerapkan etika batuk (tidak menutup hidung atau mulut saat
batuk dan bersin)
e. Tidak mendapat OAT
f. Dilakukan tindakan intervensi ( induksi sputum,bronkoskopi, suction)

Laringitis TB adalah jenis TB lain yang meningkatkan risiko penularan

4
2. Faktor yang Mempengaruhi Penularan Tuberkulosis
a. Frekuensi kontak langsung
b. Lama kontak
c. Kontak dengan pasien yang belum terdiagnosis dan belum diobati
d. Ventilasi yang tidak memadai
e. Status bakteriologis sumber penular
3. Risiko Tinggi Tertular Tuberculosis
1) Kurangnya pengetahuan tentang perilaku sehat khusus untuk penderita
TBC dan kelompok risiko untuk mencegah penularan pada orang lain
2) Belum adanya pembinaan pada kelompok resiko tertular penyakit TBC
dari Dinas Kesehatan setempat.
3) Kurang adanya pengetahuan tentang pengadaan dan penyediaan nemu
TKTP yang sefektif dan efisien untuk meningkatkan daya tahan tubuh
penderita TBC dan kelompok risiko
4) Perlunya keterampilan batuk efektif dan postural drainase serta cara
pembuangan dahak pada penderita TBC dengan dukungan support system
keluarga untuk mencegah keparahan dan penularan TBC di keluarga
Risiko penularan TB di masyarakat dapat diturunkan dengan PPI TB,
diagnosis dini dan pengobatan secepatnya.
4. Gejala Terinfeksi Tuberculosis
1) Kehilangan napsu makan
2) Penurunan berat badan
3) Secret berdarah
4) Demam lebih dari satu bulan
5) Sesak napas dan nyeri dada
6) Berkeringat yang berlebihan pada malam hari tanpa disertai aktifitas
7) Badan mudah letih, lemah dan lesu
8) Batuk berdahak lebih dari 2-3 minggu, gejala lain seperti batuk darah.

5
2.2.1.2 Pencegahan

Pada prinsipnya upaya pencegahan dilakukan dan pemberantasan tuberculosis


dijalankan dengan usaha-usaha diantaranya (Indan Entjang, 2000) :

1) Pendidikan kesehatan kepada masyarakat tentang penyakit TBC,


bahayanya, cara penularannya
2) Pencegahan dengan vaksinasi B.C.G pada anak-anak umur 0-14 tahun,
chemoprophylactic dengan I.N.H pada keluarga, penderita, atau orang-
orang yang pernah kontak dengan penderita
3) Menghilangkan sumber penularan dengan mencari dan mengobati semua
penderita dalam masyarakat

Adapun upaya-upaya pencegahan menurut WHO yaitu :

1) Pencahayaan rumah yang baik


2) Menutup mulut saat batuk
3) Tidak meludah di sembarang tempat
4) Menjaga kebersihan lingkungan dan alat makan
Adapun tambahan untuk upaya pencegahan lain yang telah di sebutkan
adalah:
1) Promosi kesehatan tentang perilaku sehat pada penderita TBC
2) Pembuangan dahak penderita
3) Mengajarkan batuk efektif
4) Pembuatan larutan desinfektan dan pemeriksaan BTA untuk mendeteksi
angka kejadian TBC
2.2.1.3 Terapi Jika Pasien Terjadi Penularan Infeksi

Salah satu penentu keberhasilan penatalaksanaan terapi tuberculosis yaitu


kepatuhan pasien terhadap terapi. Ketidak patuhan berobat akan menyababkan
kegagalan dan kekambuhan, sehingga muncul resistensi dan penularan penyakit terus
menerus.

6
Pengobatan TB paru perlu diperhatikan karena tingkat kegagalan lebih tinggi
dari pada keberhasilan pengobatan, hal ini dikarenakan kurangnya pengetahuan
keluarga klien TB paru terutama PMO tentang pengobatan TB paru secara teratur dan
mengingat pengobatan TB Paru yang cukup lama memungkinkan terjadi kegagalan
pengobatan (Depkes RI, 2002). Obat anti tuberculosis (OAT) diminum selama 6
bulan secara teratur dengan 5 macam jenis obat, maka diperlukan pengawasan
minuman obat secara langsung untuk menjamin keteraturan minum obat yang disebut
PMO (pengawas minum obat) untuk menghindari putus pengobatan (Droup out) pada
klien TB paru (depkes,RI 2002). Pengetahuan (knowledge) seseorang tentang
kesehatan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk perilaku
seseorang tentang kesehatan, dimana pengetahuan dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya pendidikan dan umur (Monks, FJ,2002). Dalam hal ini petugas kesehatan
perlu meningkatakan pengetahuan keluarga tentang PMO dengan cara penyuluhan-
penyuluhan pada masyarakat tentang peran dan tugas dari PMO, maka kepatuhan
minum obat pada klien TB Paru dan tugas dari PMO, maka kepatuhan minum obat
pada klien TB Paru dapat ditingkatkan dan kesembuhan dapat dicapai secara optimal
(nova 2004)

Terapi atau Pengobatan penderita TB dimaksudkan untuk :

1) menyembuhkan penderita sampai sembuh,


2) mencegah kematian,
3) mencegah kekambuhan, dan
4) menurunkan tingkat penularan.

Sesuai dengan sifat kuman TB, untuk memperoleh efektifitas pengobatan,


maka prinsip-prinsip yang dipakai adalah :

a. Menghindari penggunaan monoterapi. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) diberikan


dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis
tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Hal ini untuk mencegah timbulnya
kekebalan terhadap OAT.

7
b. Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, pengobatan
dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment)
oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

Tahap Intensif

1) Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan obat.
2) Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita
menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
3) Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam
2 bulan.

Tahap Lanjutan

1) Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama
2) Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister (dormant) sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan

Penggunaan Obat Anti TB yang dipakai dalam pengobatan TB adalah antibotik


dan anti infeksi sintetis untuk membunuh kuman Mycobacterium. Aktifitas obat TB
didasarkan atas tiga mekanisme, yaitu aktifitas membunuh bakteri, aktifitas sterilisasi,
dan mencegah resistensi. Obat yang umum dipakai adalah Isoniazid, Etambutol,
Rifampisin, Pirazinamid, dan Streptomisin. Kelompok obat ini disebut sebagai obat
primer. Isoniazid adalah obat TB yang paling poten dalam hal membunuh bakteri
dibandingkan dengan rifampisin dan streptomisin. Rifampisin dan pirazinamid paling
poten dalam mekanisme sterilisasi. Sedangkan obat lain yang juga pernah dipakai
adalah Natrium Para Amino Salisilat, Kapreomisin, Sikloserin, Etionamid,
Kanamisin, Rifapentin dan Rifabutin. Natrium Para Amino Salisilat, Kapreomisin,
Sikloserin, Etionamid, dan Kanamisin umumnya mempunyai efek yang lebih toksik,
kurang efektif, dan dipakai jika obat primer sudah resisten. Sedangkan Rifapentin dan

8
Rifabutin digunakan sebagai alternatif untuk Rifamisin dalam pengobatan kombinasi
anti TB.

2.2.1.4 Prosedur Perawatan di Ruang Isolasi


Ditujukan bagi penderita TBC paru dengan BTA positif atau gambaran
radiologisnya menunjukkan TBC aktif. Spesifikasi kamar yang diperlukan adalah
kamar khusus dengan ventilasi khusus dan pintu tertutup. Sebagai tambahan terhadap
hal-hal pokok yang dibutuhkan masker khusus tipe respirasi dibutuhkan bagi mereka
yang masuk ke ruangan perawatan, lab jas diperlukan untuk mencegah kontaminasi
pada pakaian dan sarung tangan atidak diperlukan.

2.2.2 HIV AIDS

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang


sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah
satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih
tersebut terutama limfosit yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang
berada di permukaan sel limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia
menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan
dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh manusia. Pada orang dengan sistem
kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500. Sedangkan pada orang
dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang yang terinfeksi HIV) nilai
CD4 semakin lama akan semakin menurun (bahkan pada beberapa kasus bisa sampai nol)
(KPA, 2007c). HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup
dalam sel atau media hidup. Seorang pengidap HIV lambat laun akan jatuh ke dalam
kondisi AIDS, apalagi tanpa pengobatan. Umumnya keadaan AIDS ini ditandai dengan
adanya berbagai infeksi baik akibat virus, bakteri, parasit maupun jamur. Keadaan infeksi
ini yang dikenal dengan infeksi oportunistik (Zein, 2006).

Virus HIV diklasifikasikan ke dalam golongan lentivirus atau retroviridae. Virus


ini secara material genetik adalah virus RNA yang tergantung pada enzim reverse
transcriptase untuk dapat menginfeksi sel mamalia, termasuk manusia, dan menimbulkan
kelainan patologi secara lambat. Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2.

9
Masing-masing grup mempunyai lagi berbagai subtipe, dan masing-masing subtipe
secara evolusi yang cepat mengalami mutasi. Diantara kedua grup tersebut, yang paling
banyak menimbulkan kelainan dan lebih ganas di seluruh dunia adalah grup HIV-1 (Zein,
2006)

AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, yang berarti
kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan
infeksi virus HIV. Tubuh manusia mempunyai kekebalan untuk melindungi diri dari
serangan luar seperti kuman, virus, dan penyakit. AIDS melemahkan atau merusak sistem
pertahanan tubuh ini, sehingga akhirnya berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain
(Yatim, 2006).

1. Epidemiologi

Kasus pertama AIDS di Indonesia dilaporkan dari Bali pada bulan April tahun 1987.
Penderitanya adalah seorang wisatawan Belanda yang meninggal di RSUP Sanglah
akibat infeksi sekunder pada paru-parunya. Sampai dengan akhir tahun 1990,
peningkatan kasus HIV/AIDS menjadi dua kali lipat (Muninjaya, 1998).

Sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat peningkatan tajam akibat penggunaaan
narkotika suntik. Fakta yang mengkhawatirkan adalah pengguna narkotika ini sebagian
besar adalah remaja dan dewasa muda yang merupakan kelompok usia produktif. Pada
akhir Maret 2005 tercatat 6789 kasus HIV/AIDS yang dilaporkan (Djauzi dan Djoerban,
2007).

Sampai akhir Desember 2008, jumlah kasus sudah mencapai 16.110 kasus AIDS dan
6.554 kasus HIV. Sedangkan jumlah kematian akibat AIDS yang tercatat sudah mencapai
3.362 orang. Dari seluruh penderita AIDS tersebut, 12.061 penderita adalah laki-laki
dengan penyebaran tertinggi melalui hubungan seks (Depkes RI, 2008).

10
2.2.2.1 Cara Penularan

HIV berada terutama dalam cairan tubuh manusia. Cairan yang berpotensial
mengandung HIV adalah darah, cairan sperma, cairan vagina dan air susu ibu (KPA,
2007c). Penularan HIV dapat terjadi melalui berbagai cara, yaitu : kontak seksual,
kontak dengan darah atau sekret yang infeksius, ibu ke anak selama masa kehamilan,
persalinan dan pemberian ASI (Air Susu Ibu). (Zein, 2006)

1) Seksual
Penularan melalui hubungan heteroseksual adalah yang paling
dominan dari semua cara penularan. Penularan melalui hubungan seksual
dapat terjadi selama senggama laki-laki dengan perempuan atau laki-laki
dengan laki-laki. Senggama berarti kontak seksual dengan penetrasi
vaginal, anal (anus), oral (mulut) antara dua individu. Resiko tertinggi
adalah penetrasi vaginal atau anal yang tak terlindung dari individu yang
terinfeksi HIV.
2) Melalui transfusi darah atau produk darah yang sudah tercemar dengan
virus HIV.
3) Melalui transfusi darah atau produk darah yang sudah tercemar dengan
virus HIV.
4) Melalui silet atau pisau, pencukur jenggot secara bergantian hendaknya
dihindarkan karena dapat menularkan virus HIV kecuali benda-benda
tersebut disterilkan sepenuhnya sebelum digunakan.
5) Melalui transplantasi organ pengidap HIV
6) Penularan dari ibu ke anak
Kebanyakan infeksi HIV pada anak didapat dari ibunya saat ia dikandung,
dilahirkan dan sesudah lahir melalui ASI.
7) Penularan HIV melalui pekerjaan: Pekerja kesehatan dan petugas
laboratorium.

11
1. Gejala Klinis
Menurut KPA (2007) gejala klinis terdiri dari 2 gejala yaitu gejala mayor
(umum terjadi) dan gejala minor (tidak umum terjadi):
1) Gejala mayor :
a. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
c. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
d. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis
e. Demensia/ HIV ensefalopati
2) Gejala minor :
a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan
b. Dermatitis generalisata
c. Adanya herpes zoster multisegmental dan herpes zoster berulang
d. Kandidias orofaringeal
e. Herpes simpleks kronis progresif
f. Limfadenopati generalisata
g. Retinitis virus Sitomegalo
Menurut Mayo Foundation for Medical Education and Research
(MFMER) (2008), gejala klinis dari HIV/AIDS dibagi atas beberapa fase.
1) Fase awal
Pada awal infeksi, mungkin tidak akan ditemukan gejala dan tanda-
tanda infeksi. Tapi kadang-kadang ditemukan gejala mirip flu seperti
demam, sakit kepala, sakit tenggorokan, ruam dan pembengkakan kelenjar
getah bening. Walaupun tidak mempunyai gejala infeksi, penderita
HIV/AIDS dapat menularkan virus kepada orang lain.
2) Fase lanjut
Penderita akan tetap bebas dari gejala infeksi selama 8 atau 9 tahun
atau lebih. Tetapi seiring dengan perkembangan virus dan penghancuran
sel imun tubuh, penderita HIV/AIDS akan mulai memperlihatkan gejala
yang kronis seperti pembesaran kelenjar getah bening (sering merupakan

12
gejala yang khas), diare, berat badan menurun, demam, batuk dan
pernafasan pendek.
3) Fase akhir
Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih
setelah terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut
akan berakhir pada penyakit yang disebut AIDS.
2.2.2.2 Pencegahan

Menurut Muninjaya (1998), tiga cara untuk pencegahan HIV/AIDS adalah


Puasa (P) seks (abstinensia), artinya tidak (menunda) melakukan hubungan seks,
Setia (S) pada pasangan seks yang sah (be faithful/fidelity), artinya tidak berganti-
ganti pasangan seks, dan penggunaan Kondom (K) pada setiap melakukan hubungan
seks yang beresiko tertular virus AIDS atau penyakit menular seksual (PMS) lainnya.
Ketiga cara tersebut sering disingkat dengan PSK. Bagi mereka yang belum
melakukan hubungan seks (remaja) perlu diberikan pendidikan. Selain itu, paket
informasi AIDS untuk remaja juga perlu dilengkapi informasi untuk meningkatkan
kewaspadaaan remaja akan berbagai bentuk rangsangan dan rayuan yang datang dari
lingkungan remaja sendiri (Muninjaya, 1998).

Mencegah lebih baik daripada mengobati karena kita tidak dapat melakukan
tindakan yang langsung kepada si penderita AIDS karena tidak adanya obat-obatan
atau vaksin yang memungkinkan penyembuhan AIDS. Oleh karena itu kita perlu
melakukan pencegahan sejak awal sebelum terinfeksi. Informasi yang benar tentang
AIDS sangat dibutuhkan agar masyarakat tidak mendapat berita yang salah agar
penderita tidak dibebani dengan perilaku yang tidak masuk akal (Anita, 2000).
Peranan pendidikan kesehatan adalah melakukan intervensi faktor perilaku sehingga
perilaku individu, masyarakat maupun kelompok sesuai dengan nilai-nilai kesehatan.
Pengetahuan kesehatan akan berpengaruh kepada perilaku sebagai hasil jangka
menengah (intermediate impact) dari pendidikan kesehatan. Kemudian perilaku
kesehatan akan berpengaruh pada peningkatan indikator kesehatan masyarakat
sebagai keluaran (outcome) pendidikan kesehatan. (Notoadmodjo, 2007)

13
Paket komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang masalah AIDS adalah
salah satu cara yang perlu terus dikembangkan secara spesifik di Indonesia khususnya
kelompok masyarakat ini. Namun dalam pelaksanaannya masih belum konsisten
(Muninjaya, 1998).

Upaya penanggulangan HIV/AIDS lewat jalur pendidikan mempunyai arti


yang sangat strategis karena besarnya populasi remaja di jalur sekolah dan secara
politis kelompok ini adalah aset dan penerus bangsa. Salah satu kelompok sasaran
remaja yang paling mudah dijangkau adalah remaja di lingkungan sekolah (closed
community) (Muninjaya, 1998).

Keimanan dan ketaqwaan yang lemah serta tertekannya jiwa menyebabkan


remaja berusaha untuk melarikan diri dari kenyataan hidup dan ingin diterima dalam
lingkungan atau kelompok tertentu. Oleh karena itu diperlukan peningkatan keimanan
dan ketaqwaan melalui ajaran-ajaran agama. (BNN, 2009) .

Cara-cara mengurangi resiko penularan AIDS antara lain melalui seks aman
yaitu dengan melakukan hubungan seks tanpa melakukan penetrasi penis ke dalam
vagina, anus, ataupun mulut. Bila air mani tidak masuk ke dalam tubuh pasangan
seksual maka resiko penularan akan berkurang. Apabila ingin melakukan senggama
dengan penetrasi maka seks yang aman adalah dengan menggunakan alat pelindung
berupa kondom (Yatim, 2006).

Hindari berganti-ganti pasangan dimana semakin banyak jumlah kontak


seksual seseorang, lebih mungkin terjadinya infeksi. Hindari sexual intercourse dan
lakukan outercourse dimana tidak melakukan penetrasi. Jenis-jenis outercourse
termaksuk masase, saling rangkul, raba, dan saling bersentuhan tubuh tanpa kontak
vaginal, anal, atau oral (Hutapea, 1995). Bagi pengguna obat-obat terlarang dengan
memakai suntik, resiko penularan akan meningkat. Oleh karena itu perlu mendapat
pengetahuan mengenai beberapa tindakan pencegahan. Pusat rehabilitasi obat dapat
dimanfaatkan untuk menghentikan penggunaan obat tersebut.

Bagi petugas kesehatan, alat-alat yang dianjurkan untuk digunakan sebagai


pencegah antara lain sarung tangan, baju pelindung, jas laboratorium, pelindung

14
muka atau masker, dan pelindung mata. Pilihan alat tersebut sesuai dengan kebutuhan
aktivitas pekerjaan yang dilakukan tenaga kesehatan (Lyons, 1997).

Bagi seorang ibu yang terinfeksi AIDS bisa menularkan virus tersebut kepada
bayinya ketika masih dalam kandungan, melahirkan atau menyusui. ASI juga dapat
menularkan HIV, tetapi bila wanita sudah terinfeksi HIV pada saat mengandung
maka ada kemungkinan si bayi lahir sudah terinfeksi HIV. Maka dianjurkan agar
seorang ibu tetap menyusui anaknya sekalipun HIV +. Bayi yang tidak diberi ASI
beresiko lebih besar tertular penyakit lain atau menjadi kurang gizi (Yatim, 2006).
Bila ibu yang menderita HIV tersebut mendapat pengobatan selama hamil maka dapat
mengurangi penularan kepada bayinya sebesar 2/3 daripada yang tidak mendapat
pengobatan (MFMER, 2008).

2.2.2.3 Terapi Jika Pasien Terjadi Penularan Infeksi


1. Pengobatan

Pemberian anti retroviral (ARV) telah menyebabkan kondisi kesehatan para


penderita menjadi jauh lebih baik. Infeksi penyakit oportunistik lain yang berat
dapat disembuhkan. Penekanan terhadap replikasi virus menyebabkan penurunan
produksi sitokin dan protein virus yang dapat menstimulasi pertumbuhan. Obat
ARV terdiri dari beberapa golongan seperti nucleoside reverse transkriptase
inhibitor, nucleotide reverse transcriptase inhibitor, non nucleotide reverse
transcriptase inhibitor dan inhibitor protease. Obat-obat ini hanya berperan dalam
menghambat replikasi virus tetapi tidak bisa menghilangkan virus yang telah
berkembang (Djauzi dan Djoerban,2006).

Vaksin terhadap HIV dapat diberikan pada individu yang tidak terinfeksi
untuk mencegah baik infeksi maupun penyakit. Dipertimbangkan pula
kemungkinan pemberian vaksin HIV terapeutik, dimana seseorang yang terinfeksi
HIV akan diberi pengobatan untuk mendorong respon imun anti HIV,
menurunkan jumlah sel-sel yang terinfeksi virus, atau menunda onset AIDS.
Namun perkembangan vaksin sulit karena HIV cepat bermutasi, tidak diekspresi
pada semua sel yang terinfeksi dan tidak tersingkirkan secara sempurna oleh
respon imun inang setelah infeksi primer (Brooks, 2005).

15
2.2.2.4 Prosedur Perawatan di Ruang Isolasi
1. Sebelum membawa pasien
Pakaikan masker medis/bedah pada pasien jika ada dan yang dapat ditolerir
pasien
2. Sebelum kontak dengan pasien
a. Gunakan masker medis/bedah
b. Mencuci tangan
c. Gunakan pelindung mata, jubah dan sarung tangan bila ada resiko terkena
cipratan lendir dari pasien.
d. Cucilah dan sterilkan tubuh/peralatan diantara pasien.
e. Gantilah sarung tangan (jika bisa) dan cucilah tangan pasien.
3. Persiapan ruangan
a. Batasi akses keluar-masuk dan perhatikan rambu-rambu kendali infeksi
b. Sediakan perlengkapan khusus pasien jika ada
c. Pastikan jarak kurang dari 1 meter (3.3 kaki) antara pasien dan area
pengunjung.
d. Pastikan dipatuhinya tata-tertib setempat dalam penggantian linen dan
kebersihan ruangan.
4. Hal-hal yang harus dilakukan sebelum keluar dari ruang isolasi
a. Lepaskan peralatan pelindung personal (sarung tangan, jubah, masker, dan
pelindung mata)
b. Buanglah barang-barang yang memang harus dibuang sesuai dengan
peraturan setempat
c. Mencuci tangan
d. Mencuci dan mensterilkan peralatan untuk pasien dan perlengkapan
pribadi pasien yang dikenakan pasien.
e. Buanglah sampah yang terkontaminasi virus sesuai peraturan tentang
sampah klinis.
5. Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk pasien suspect (positif infeksius)
a. Beritahukan instruksi dan materi untuk pasien/petugas terkait mengenai
pernapasan higienis/etika batuk atau bersin.

16
b. Beritahukan peraturan di ruang karantina, kendali infeksi dan pembatasan
kontak social
c. Catat alamat dan nomor telepon pasien.
6. Setelah meninggalkan pasien
a. Buanglah atau bersihkan peralatan khusus untuk pasien sesuai peraturan
setempat
b. Gantilah dan cucilah linen tanpa mengucek
c. Bersihkan ruangan sesuai peraturan setempat
d. Buanglah sampah yang terkontaminasi virus sesuai aturan tentang sampah
klinik
7. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam ruang isolasi
a. Sedapat mungkin diciptakan untuk memfasilitasi kewaspadaan standar.
b. Cuci tangan saat tangan tampak kotor, alkohol hand rub perlu disediakan
ditempat yang mudah diraih. Wastafel perlu diadakan 1 buah tiap 6 tempat
tidur pasien, sedang ruang high care 1 wastafel tiap 1 tempat tidur.
c. Jarak antar tempat tidur diupayakan cukup agar perawat tidak menyentuh
2 tempat tidur dalam waktu yang sama, Ideal 2,5m. Penurunan jarak
menjadi 1,9m menyebabkan peningkatan transfer MRSA 3,15 kali, gaun
dapat membantu, terutama pada penempatan pasien yang padat.
8. Pencegahan transmisi melalui udara/airborne
Ruang dengan kamar mandi terpisah menurunkan transmisi. Perawatan
ruang dengan tekanan negatif atau positif sulit dan tidak menunjukkan efektif
untuk pencegahan transmisi TBC dibanding kamar isolasi dengan pintu
tertutup. Ruang terpisah dengan anteroom yang berventilasi menurunkan
udara untuk bergerak antara ruang pasien dan koridor. Perawatannya lebih
mudah tetapi nilai bangunan lebih mahal. Dapat digunakan kohorting isolasi
yaitu menempatkan beberapa pasien dengan diagnosis sama didalam 1
ruangan.Sangat sulit mencegah transmisi airborne dalam ruangan dengan
ventilasi turbulen (aerosol yang larut) karena banyak partikel yang dilepaskan
pasien TB saat batuk atau bersin.

17
9. Penempatan pasien
Penempatan pasien seharusnya sesuai temuan klinis sambil menunggu
hasil kultur laboratorium. Pertimbangan pada saat penempatan pasien :
a. Kamar terpisah bila dimungkinkan kontaminasi luas terhadap lingkungan,
misal: luka lebar dengan cairan keluar, diare, perdarahan tidak terkontrol.
b. Kamar terpisah dengan pintu tertutup diwaspadai transmisi melalui udara
ke kontak, misal: luka dengan infeksi kuman gram positif.
c. Kamar terpisah dengan ventilasi dibuang keluar, misal: TBC.
d. Kamar terpisah dengan udara terkunci bila diwaspadai transmisi airborne
luas, misal: varicella
e. Kamar terpisah bila pasien kurang mampu menjaga kebersihan
(anak,gangguan mental).
f. Bila kamar terpisah tidak memungkinkan dapat kohorting.Bila pasien
terinfeksi dicampur dg non infeksi maka pasien,petugas dan pengunjung
menjaga kewaspadaan untuk mencegah transmisi infeksi .
g. Penggunaan kamar terpisah untuk mencegah penjalaran infeksi bukan
satu-satunya penyelesaian. Barrier nursing bila dijalankan maka transmisi
akan berhenti. Penelitian di ICU dengan 6 tempat tidur selama 3 tahun
pada 56 pasien masuk tidak terdiagnosis MRSA (Methicillin-Resistant
Staphylococcus Aureus) dapat menyebabkan 80 orang terinfeksi.
2.2.3 Hepatitis B

Hepatitis dapat didefenisikan sebagaisuatu proses nekroinflamatorik yang


mengenaisel-sel hati. Prosesnya sendiri dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti oleh
virus, bahan kimia, obat-obatan dan lain-lain. Saat ini vrus yang mengakibatkan hepatitis
diketahui ada tujuh macam yaitu virus hepatitis A,B, C, D, E, G dan yang terakhir TT.
Hepatitis B adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh Virus Hepatitis B (VHB),
suatu anggota famili Hepadnavirus yang dapat menyebabkan peradangan hati akut atau
menahun yang pada sebagian kecil kasus dapat berlanjut menjadi sirosis hati atau kanker
hati. Infeksi (VHB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang besar dan serius,
karena selain manifestasinya sebagai penyakit VHB akut beserta komplikasinya, lebih
penting ialah dalam bentuk sebagai pengidap HbsAg kronik, yang dapat merupakan

18
sumber penularan bagi lingkungan. Setiap tahun jumlah pengidap semakin bertambah,
karena reservoir pengidap VHB yang cukup besar merupakan wadah penularan yang
terus-menerus untuk sekitarnya.

1. Epidemiologi

Infeksi VHB tersebar di seluruh dunia dan menyebar dari individu yang mengidap
infeksi kepada individu lain serta dapat menyebarkan adanya “reservoir” berupa pengidap
kronik (“chronic reservoir”) yang jumlahnya lebih dari 280 juta orang. Dalam populasi
manusia banyak terdapat carrier Hepatitis B, diperkirakan melebihi 200 juta di seluruh
dunia. Prevalensi infeksi VHB berbeda-beda dari satu tempat dengan tempat yang lain.
Prevalensi terendah didapatkan di Amerika Utara dan Eropa Barat di mana infeksi
tersebut didapatkan pada 0,1-0,5 % penduduk, di Asia Tenggara dan Afrika Sub-Sahara
5-20 % penduduk mengidap infeksi virus ini. Prevalensi infeksi VHB tertinggi terdapat di
pulau Rapa di Samudera Atlantik di mana 50 % dari penduduk jadi pengidap. Komisi
Hepatitis WHO membagi prevalensi infeksi virus B menjadi 3 kelompok yaitu prevalensi
rendah, prevalensi sedang, dan tinggi.

2.2.3.1 Cara Penularan

Cara penularan VHB dapat terjadi melalui kontak personal yang erat dan
dengan jalan seksual. Hubungan seksual yang promiskus mempunyai risiko tinggi
khususnya pria homoseksual. Antigen permukaan Hepatitis B ditemukan secara
berulang-ulang dalam darah dan berbagai cairan tubuh lainnya. Adanya antigen
dalam urine, empedu, feses, keringat, dan air mata juga telah dilaporkan tetapi belum
dipastikan. Penularan dengan cara ini disebut juga cara penularan non-parenteral.

Cara penularan VHB di daerah tropik sama dengan cara penularan yang
terjadi di bagian dunia lainnya, tetapi faktor-faktor tambahan mempunyai arti penting.
Faktor tambahan tersebut termasuk tatto tradisional dan perlukaan kulit, pengaliran
darah, sirkulasi ritual dengan alat yang tidak steril, dan gigitan berulang oleh vektor
arthropoda pengisap darah. Cara penularan ini dikenal sebagai cara penularan
parenteral. Hasil penelitian mengenai peranan serangga penggigit dalam penyebaran
VHB masih merupakan pertentangan. Antigen permukaan Hepatitis B dapat dideteksi

19
pada beberapa spesies nyamuk dan kutu yang ditangkap di daerah liar atau yang
secara eksperimen di beri makan darah yang terinfeksi, tetapi tidak terdapat bukti
yang meyakinkan mengenai replikasi virus dalam tubuh serangga.

Sebelumnya Infeksi VHB diduga hanya dapat ditularkan dengan pemindahan


serum yang infeksius oleh karena itu penyakit ini pernah dinamakan hepatitis serum.
Kemudian ternyata infeksi VHB dapat ditularkan dengan berbagai cara, baik parental
maupun nonparental. Di daerah dengan prevalensi infeksi VHB tinggi, cara penularan
nonparental lebih penting dibandingkan dengan cara penularan parental.

1. Pola Penularan

Infeksi VHB dapat ditularkan dengan berbagai cara, tetapi ada 2 macam pola
penularan yang penting, yaitu pola penularan vertikal dan pola penularan horizontal.
Pola penularan horizontal adalah penularan dari seseorang pengidap kepada individu
lain, pola ini dapat terjadi melalui dua jalur, yaitu:

1) Penularan melalui kulit. infeksi VHB melalui kulit dapat terjadi melalui dua
cara, yaitu dengan ditembusnya kulit oleh tusukan jarum atau alat lain yang
tercemar bahan infektif, atau melalui kontak antara bahan yang infektif
dengan kulit yang sudah mengalami perubahan/lesi.
2) Penularan melalui mukosa. yaitu melalui mulut, mata, hidung, saluran
makanan bagian bawah, dan alat kelamin.

Pola penularan vertikal, yaitu dari ibu hamil yang mengidap infeksi VHB kepada
bayi ya ng dilahirkan. Dapat terjadi pada saat di dalam rahim (intrauterin), pada
saat persalinan (intrapartum) dan pascapersalinan (postpartum).

2. Kelompok Populasi dengan Risiko Tinggi

Beberapa kelompok individu yang mempunyai risiko tinggi untuk mendapat


penularan infeksi VHB adalah:

1) Penghuni institusi yang bersifat tertutup seperti penjara.


2) Pecandu Narkotika (terutama yang menggunakan jarum suntik).

20
3) Staf dan penderita unit dialis, petugas kesehatan yang sering berhubungan
dengan darah atau produk yang berasal dari darah.
4) Penderita yang sering mendapat transfuse darah.
5) Individu yang sering berganti pasangan baik heteroseksual maupun
homoseksual.
6) Suami/istri atau anggota keluarga penderita infeksi VHB kronik.
7) Bayi yang dilahirkan oleh ibu dengan HbsAg positif.
8) Individu yang tinggal di daerah dengan prevalensi infeksi VHB tinggi.
9) Populasi dari golongan sosial ekonomi rendah yang tinggal di daerah
overcrowded dan hygiene kurang walaupun prevalensi VHB rendah.
2.2.3.2 Pencegahan

Ada tiga macam cara pencegahan infeksi VHB yang terpenting, yaitu :

1. Perbaikan higiene dan sanitasi.


Program pencegahan infeksi VHB perinatal sangat sulit dilaksanakan di
negara-negara sedang berkembang, karena hanya sebagian kecil ibu-ibu yang
memeriksakan diri serta melahirkan di rumah sakit. Karena itu terdapat
kecenderungan untuk melakukan imunisasi VHB pada semua bayi baru lahir
sebagai bagian dari immunisasi EPI (Expanded Program Immunization).
Selain itu perbaikan hygiene dan sanitasi akan mengurangi penularan infeksi
VHB horizontal.
2. Pencegahan penularan parenteral.
Pencegahan penularan parenteral yang terpenting adalah penapisan HbsAg
pada darah pratransfusi, sterilisasi alat ke dokteran secara virusidal, dan
prinsip penggunaan satu alat steril untuk satu orang pada tindakan parental.
3. Imunisasi.
Untuk mencegah terjadinya infeksi pada individu setelah terjadi kontak
dengan VHB, diberikan gabungan imunisasi aktif menggunakan vaksin dan
imunisasi pasif menggunakan HBIG (postexposure immunization). Secara
khusus program imunisasi Hepatitis B bertujuan:

21
a. Mencegah infeksi Hepatitis pada bayi, penularan vertikal akan
melahirkan bayi yang menjadi pengidap dan merupakan sumber
penularan (Robinson dkk, 1984), bayi-bayi tersebut akan menderita
circhosis dan hepatoma di kemudian hari.
b. Mencegah infeksi VHB, apabila sudah tertular dan menjadi pengidap
Hepatitis B maka upaya pencegahan akan sia-sia. Dengan demikian
pencegahan harus diarahkan terhadap bayi yang baru lahir.
2.2.3.3 Terapi Jika Pasien Terjadi Penularan Infeksi

Beberapa metode terapi sudah dicobakan untuk mengatasi infeksi virus


hepatitis B. Seperti dengan pemberian interferon, antiviral atau dengan imunisasi
pasif. Banyak obat anti-virus yang telah dicoba untuk mengobati Hepatitis B tapi
belum ada yang memuaskan. Pada waktu ini yang dianggap paling baik hasilnya
adalah interferon dan lamivudin.

1. Interferon diberikan secara intensif, 3 kaIi seminggu. Minimal 4-6 bulan


lamanya. Hasi1nya masih kurang memuaskan, hanya 40-50 % berhasil.
Efek sampingnya mengganggu dan harganya sangat mahal. Ada jenis
interferon kerja panjang yaitu Peggylated Interferon yang diberikan cukup
lx seminggu (obat ini diperkirakan masuk ke Indonesia tahun 2002).
2. Lamivudin diberikan per oral, efek sampingnya sedikit. Diberikan
bersama dengan interferon atau tersendiri.
2.2.3.4 Prosedur Perawatan di Ruang Isolasi
1. Syarat-syarat Ruang Isolasi
1) Pencahayaan
Menurut KepMenKes 1204/Menkes/SK/X/2004, intensitas
cahaya untuk ruang isolasi adalah 0,1 ± 0,5 lux dengan warna cahaya
biru.Selain itu ruang isolasi harus mendapat paparan sinar matahari yang
cukup.

22
2) Pengaturan sirkulasi udara
Pengaturan sirkulasi udara ruang isolasi pada dasarnya menggunakan
prinsip tekanan yaitu tekanan bergerak dari tekanan tinggi ke tekanan
rendah. Berdasarkan tekanannya ruang isolasi dibedakan atas :
a. Ruang Isolasi Bertekanan Negatif
Pada ruang isolasi bertekanan negatif udara di dalam ruang
isolasi lebih rendah dibandingkan udara luar. Hal ini
mengakibatkan tidak akan ada udara yang keluar dari ruangan
isolasi sehingga udara luar tidak terkontaminasi oleh udara dari ruang
isolasi. Ruang isolasi bertekanan negatif ini digunakan untuk
penyakit- penyakit menular khususnya yang menular melalui
udara sehingga kuman-kuman penyakit tidak akan
mengkontaminasi udara luar. Untuk metode pembuangan udara atau
sirkulasi udara digunakan sistem sterilisasi dengan HEPA.
b. Ruang Isolasi Bertekanan Positif
Pada ruang isolasi bertekanan positif udara di dalam ruang isolasi
lebih tinggi dibandingkan udara luar sehingga mennyebabkan terjadi
perpindahan udara dari dalam ke luar ruang isolasi. Hal ini
mengakibatkan tidak akan ada udara luar yang masuk ke ruangan
isolasi sehingga udara ruang isolasi tidak terkontaminasi oleh udara
luar. Ruang isolasi bertekanan positif ini digunakan untuk penyakit-
penyakit immuno deficiency seperti HIV AIDS atau pasien-pasien
transplantasi sum sum tulang. Untuk memperoleh udara di ruang
isolasi sehingga menghasilkan tekanan positif di ruang isolasi
digunakan udara luar yang sebelumnya telah disterilisasi terlebih
dahulu.
c. Pengelolaan Limbah
Pada prinsipnya pengelolaan limbah pada ruang isolasi sama
dengan pengelolaan limbah medis infeksius yang umumnya terdiri
dari identifikasi, pemisahan, labeling, packing, penyimpanan,
pengangkutan.

23
2. Prinsip Isolasi
Ruang Perawatan isolasi terdiri dari :
1) Ruang ganti umum
2) Ruang bersih dalam
3) Stasi perawat
4) Ruang rawat pasien
5) Ruang dekontaminasi
6) Kamar mandi petugas

Prinsip kewaspadaan  airborne harus diterapkan di setiap ruang perawatan


isolasi yaitu:

a) Ruang rawat harus dipantau agar tetap dalam tekanan negatif  dibanding
tekanan di koridor.
b) Pergantian sirkulasi udara 6-12 kali perjam.
c) Udara harus dibuang keluar,  atau diresirkulasi dengan  menggunakan
filter HEPA (High-Efficiency Particulate Air).
d) Setiap pasien harus dirawat di ruang rawat tersendiri. Jika ruangan
tersendiri tidak tersedia, kelompokkan kasus yang telah dikonfirmasi
secara terpisah di dalam ruangan atau bangsal dengan beberapa tempat
tidur dari kasus yang belum dikonfirmasi atau sedang didiagnosis
(kohorting). Bila ditempatkan dalam satu ruangan, jarak antar tempat tidur
harus lebih dari 2 meter dan diantara tempat tidur harus ditempatkan
penghalang fisik seperti tirai atau sekat.
e) Pada saat petugas atau orang lain berada di ruang rawat, pasien harus
memakai masker bedah  (surgical mask) atau  masker N95 (bila mungkin).
f) Ganti masker setiap 4-6 jam dan buang di tempat sampah infeksius.
g) Pasien tidak boleh membuang ludah atau dahak di lantai gunakan
penampung dahak/ludah tertutup sekali pakai (disposable)
3. Universal Precaution yang di Terapkan di Ruang Isolasi
Kewaspadaan Universal yaitu tindakan pengendalian infeksi yang
dilakukan oleh seluruh tenaga kesehatan untuk mengurangi resiko penyebaran

24
infeksi dan didasarkan pada prinsip bahwa darah dan cairan tubuh dapat
berpotensi menularkan penyakit, baik berasaldari pasien maupun petugas
kesehatan (Nursalam, 2007). Secara garis besar, standard kewaspadaan
universal di ruang isolasi antara lain :
1) Cuci tangan.
2) Pakai sarung tangan saat menyentuh cairan tubuh, kulit tak utuh dan
membranmukosa.
3) Pakai masker, pelindung mata, gaun jika darah atau cairan tubuh
mungkinmemercik.
4) Tutup luka dan lecet dengan plester tahan air.
5) Tangani jarum dan benda tajam dengan aman.
6) Buang jarum dan benda tajam dalam kotak tahan tusukan dan tahan air.
7) Proses instrumen dengan benar.
8) Lakukan pengelolaan limbah dengan benar.
9) Bersihkan tumpahan darah dan cairan tubuh lain segera dan dengan
seksama.
10) Buang sampah terkontaminasi dengan aman.
11) Lakukan pengelolaan alat kesehatan untuk mencegah infeksi dalam
kondisi sterildan siap pakai dengan cara dekontaminasi, pencucian alat,
dan desinfeksi dansterilisasi.
4. Prosedur Perawatan di Ruang Isolasi
1) Persiapan sarana
Baju operasi yang bersih, rapi (tidak robek) dan sesuai ukuran
badan. Sepatu bot karet yang bersih, rapih (tidak robek) dan sesuai ukuran
kaki. Sepasang sarung tangan DTT (Desinfeksi Tingkat Tinggi) atau steril
ukuran pergelangan dan sepasang sarung bersih ukuran lengan yang sesuai
dengan ukuran tangan. Sebuah gaun luar dan apron DTT dan penutup
kepala yang bersih. Masker N95 dan kaca mata pelindung Lemari
berkunci tempat menyimpan pakaian dan barang – barang pribadi.
2) Langkah awal saat masuk ke ruang perawatan isolasi
Lakukan hal sebagai berikut:

25
a. Lepaskan cincin, jam atau gelang
b. Lepaskan pakaian luar
c. Kenakan baju operasi sebagai lapisan pertama pakaian
d. Lipat pakaian luar dan simpan dengan perhiasan dan barang-barang
pribadi lainnya di dalam lemari berkunci yang telah disediakan.
3) Mencuci tangan
4) Kenakan sepasang sarung tangan sebatas pergelangan tangan
5) Kenakan gaun luar/jas operasi
6) Kenakan sepasang sarung tangan sebatas lengan
7) Kenakan masker
8) Kenakan masker bedah
9) Kenakan celemek plastik/apron
10) Kenakan penutup kepala
11) Kenakan alat pelindung mata (goggles / kacamata)
12) Kenakan sepatu boot karet
5. Pemindahan Pasien yang Dirawat Diruang Isolasi
1) Beritahukan ruangan dimana pasien dipindahkan
2) Pasien harus dipakaiakn masker dan gaun ketika keluar dari ruang rawat
menuju ruang rawat yang baru
3) Petugas kesehatan yang terlibat harus menggunakan APD yang sesuai
4) Jika pasien dipindahkan dari fasilitas pelayanan kesehatan maka semua
permukaan yang kontak dengan pasien harus dibersihkan
5) Jika pasien menggunakan ambulan, maka sesudahnya ambulan tersebut
harus dibersihkan dengan disinfektan seperti alcohol 70% atau larutan
klorin 0,5 %.
6. Pemulangan Pasien
1) Bila dipulangkan sebelum masa isolasi berakhir, pasien yang dicurigai
terkena penyakiut menular melalui udara / airborne harus diisolasi didalam
rumah selama pasien tersebut mengalami gejala sampai batas waktu
penularan atau sampai diagnosis alternative dibuat atau hasil uji diagnose
menunjukkan bahwa pasien tidak terinfeksi dengan penyakit tersebut.

26
2) Sebelum pemulangan pasien, pasien dan keluarganya harus diajarkan
tentang tindakan pencegahan yang perlu dilakukan , sesuai dengan cara
penularan penyakit menular yang diderita pasien.
Pembersihan dan disinfeksi ruangan yang benar perlu dilakukan setelah
pemulangan pasien.

2.2.4 Difteri

Difteri merupakan salah satu penyakit menular yang bersumber dari


Corynebacterium dipheriae. Difteri merupakan penyakit infeksi akut dengan gambaran
klinis berupa inflamasi sekitar fokal infeksi dan gambaran sistemik yang dihubungkan
dengan penyebaran dan efek toksin difteri. Penyakit ini biasanya menyerang saluran
napas atas, namun beberapa kasus juga ditemukan di kulit dan organ lain. Difteri
umumnya menyebabkan sakit tenggorokan, demam, kelenjar bengkak, dan lemas. Dalam
tahap lanjut, difteri bisa menyebabkan kerusakan pada jantung, ginjal dan system saraf.
Kondisi seperti itu pada akhirnya bisa berakibat sangat fatal dan berujung kematian.

2.2.4.1 Cara Penularan

Manusia merupakan reservoir tunggal dan sumber penularan utama


Corynebacterium diphtheria. Kuman yang infektif ditularkan melalui tetesan air liur
akibat batuk, bersin, dan berbicara atau melalui alat-alat atau pakaian dan melalui
makanan atau minuman yang terkontaminasi (Nelson,2004). Kuman ini cukup
resisten terhadap udara panas, dingin, kering, dan tahan hidup pada debu dan muntah
selama 6 bulan. Dapat mati pada suhu 60˚C selama lebih 10 menit. Dengan
menggunakan desinfektan dapat dengan mudah membunuh bakteri ini. Bakteri ini
dapat terdispersi dengan debu. Sinar matahari langsung dapat membunuh bakteri
difteri selama beberapa jam (Frobisher,1978). Karakteristik individu dan faktor social
ekonomi merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya penularan
difteri. Seorang penderita difteri dapat menularkan penyakit sejak hari pertama sakit
sampai 4 minggu atau sampai tidak ditemukan lagi bakteri pada lesi yang ada.
Seorang pembawa (carier) kuman dapat menularkan penyakit sampai 6 bulan.

27
2.2.4.2 Pencegahan

Penyakit difteri ini juga merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi (PD3I). Sebelum era vaksinasi, toksin yang dihasilkan oleh kuman ini
sering menyebabkan penyakit yang serius, bahkan dapat menimbulkan kematian.
Tapis sejak vaksin difteri ditemukan dan imunisasi terhadap difteri digalakkan,
jumlah kasus penyakit dan kematian akibat toksin difteri menurun dengan drastis.
Pada cakupan imunisasi difteri di suatu daerah yang rendah akan berdampak pada
suatu keadaan wabah difteri di wilayah tersebut, sementara pada cakupan yang cukup
baik akan jarang dijumpai penyakit difteri. Berkurangnya penyakit difteri akibat
program imunisasi bukan berarti jenis bakteri tersebut tidak ada sama sekali atau
hilanh pada tubuh seseorang, akan tetapi seseorang yang terinfeksi, bakteri C.
diphtheria tetap dapat berkolonisasi walaupun orang tersebut telah di imunisasi.
Bahkan orang tersebut berpotensi dapat menjadi carrier dan menjadi sumber
penularan penyakit difteri dan berdampak pada kejadian luar biasa di suatu daerah.

2.2.4.3 Terapi Jika Pasien Terjadi Penularan Infeksi

Diagnosis difteri dibuat secara klinis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan


fisik tanpa memperhatikan hasil kultur. Penderita difteri secara rutin diterapi dengan
Penisilin Prolakain. Alternatif untuk terapi tersebut adalah Eritromisin. Antibiotika
tambahan diberikan pada infeksi tumpangan. Jumlah Anti Diphtheria Serum yang
diberikan tergantung derajat keparahan difteri sesuai protocol. Difteri ringan bila
menderita difteri nasal, konjugtiva atau kulit dan mendapat ADS 20.000 IU. Difteri
sedang bila menderita difteri tonsil, atau faring dan mendapat ADS 40.000-60.000,
difteri berat bila mendapat difteri, bullneck,pseudomembran meluas, dan mendapat
ADS 100.000 IU. Pemberian ADS dilakukan segera ketika diagnosis difteri dibuat.
Terapi tambahan lain tergantung dari komplikasi yang terjadi. Status imunisasi
dikatakan vaccinatedbila pernah mendapatkan imunisasi difteri setidaknya 1 kali, bila
tidak pernah sama sekali dikelompokan dalam unvaccinated.

28
2.2.5 Flu Burung (H5N1)

Flu Burung (Avian Influenza, AI) adalah infeksi yang disebabkan oleh virus
influenza A subtipe H5N1 (H=hemaglutinin; N=neuraminidase) yang pada umumnya
menyerang unggas (burung dan ayam). Pada buku ini yang dibahas adalah Flu Burung
(H5N1) yang disebabkan oleh virus influenza A subtipe H5N1 pada manusia. Menurut
para ahli penularan H5N1 dapat berubah menjadi penularan antar manusia bila virus
mengalami perubahan genetik melalui mutasi atau percampuran materi genetik H5N1
dengan materi genetik influenza lainnya (re-assortment) membentuk subtipe baru yang
dapat menyebabkan terjadinya pandemi.

1. Etiologi

Virus influenza merupakan anggota keluarga Orthomyxoviridae, terdiri dari 3 tipe A,


B dan C. Virus influenza tipe A dapat menyebabkan Flu Burung (H5N1), yang dapat
menyerang manusia dan hewan, gejala ringan sampai berat, mudah menular dan dapat
menyebabkan pandemi. Virus influenza tipe B dapat menyerang manusia tetapi gejala
ringan sampai sedang. Pada permukaan virus terdapat 2 glikoprotein, yaitu hemaglutinin
(H) dan neuroaminidase (N) yang menentukan subtipe virus influenza A. Hingga saat ini
telah ditemukan H1 sampai H16 dan N1 sampai N9. Virus influenza tipe C mempunyai
gejala yang ringan dan jarang ditemukan pada manusia. Virus influenza A subtipe Flu
Burung (H5N1) mempunyai sifat sebagai berikut:

1) Dapat bertahan hidup di air sampai 4 hari pada suhu 220ºC dan lebih dari 30 hari
pada suhu 0 ºC
2) Di dalam tinja unggas dan dalam tubuh unggas sakit, dapat hidup lama, tetapi
mati pada pemanasan 600ºC selama 30 menit, 560ºC selama 3 jam dan
pemanasan 800ºC selama 1 menit
3) Mati dengan deterjen/sabun, desinfektan misalnya formalin, karbol, kaporit,
klorin dan cairan yang mengandung iodin atau alkohol 70%.
2.2.5.1 Cara Penularan
1) Melalui percikan (droplet transmission), merupakan cara penularan utama.
Percik respiratori berukuran besar (>5μm) yang dikeluarkan pada saat pasien
batuk/bersin/ bicara. Jangkauan percik ini <1m.

29
2) Melalui kontak (contact transmission), dapat terjadi secara langsung atau
tidak langsung.
3) Melalui udara (airborne transmission). Selain percik berukuran besar, pasien
juga menyebarkan percik renik (droplet nuclei) berukuran < 5 μm yang dapat
melayang jauh (airborne). Percik ini juga dapat timbul pada saat tindakan
yang merangsang timbulnya percik renik seperti berikut:
a. Intubasi endotracheal
b. Pemberian terapi dalam bentuk nebulizer atau aerosol. Terapi ini tidak
dianjurkan pada pasien Flu Burung (H5N1) jika kewaspadaan airborne
tidak dapat dijamin.
c. Bronkhoskopi
d. Pengisapan jalan napas (suction)
e. Trakheostomi
f. Fisioterapi dada
g. Aspirasi nasofaring
h. Ventilasi tekanan positif lewat masker sungkup (contoh: BiPAP, CPAP)
i. High Frequency Oscillatory Ventilation (Ventilasi Osilasi Frekuensi
Tinggi)
j. Manuver resusitasi
k. Eksisi jaringan paru postmortem.
1. Sumber Penularan

Penularan penyakit ini kepada manusia dapat melalui:

1) Binatang : Kontak langsung dengan unggas atau binatang lain yang sakit
atau produk unggas yang sakit.
2) Lingkungan : Udara atau peralatan yang tercemar virus tersebut baik
yang berasal dari tinja atau sekret unggas yang terserang Flu Burung
(H5N1).
3) Manusia : Penularan antar manusia sangat terbatas dan tidak efisien.
4) Makanan : Mengkonsumsi produk unggas mentah atau yang tidak
dimasak dengan sempurna di wilayah yang dicurigai atau dipastikan

30
terdapat hewan atau manusia yang terinfeksi H5N1 dalam satu bulan
terakhir.
2. Faktor Risiko Kelompok yang berisiko tinggi terinfeksi Flu Burung
(H5N1) adalah mereka yang:
1) Kontak erat (dalam jarak 1 meter), seperti merawat, melakukan tindakan
invasif, berbicara atau bersentuhan dengan pasien suspek, probabel atau
kasus H5N1 yang sudah terkonfirmasi.
2) Kontak langsung (misalnya memegang, menyembelih, mencabuti bulu,
memotong, mempersiapkan untuk konsumsi) dengan ternak ayam, unggas
liar, bangkai unggas. Kontak tidak langsung yaitu berada dalam
lingkungan yang tercemar oleh sekret atau kotoran unggas (pasar,
peternakan, tempat pemotongan unggas, pengepul unggas) di wilayah
yang terjangkit H5N1 dalam satu bulan terakhir. Unggas air (bebek, itik,
entok, angsa) merupakan carrier virus H5N1.
3) Mengkonsumsi produk unggas mentah atau yang tidak dimasak dengan
sempurna di wilayah yang dicurigai atau dipastikan terdapat hewan atau
manusia yang terinfeksi H5N1 dalam satu bulan terakhir.
4) Kontak erat dengan binatang lain (selain ternak unggas atau unggas liar),
misalnya kucing atau babi yang telah dikonfirmasi terinfeksi H5N1.
5) Memegang / menangani sampel hewan atau manusia yang dicurigai
mengandung virus H5N1 dalam suatu laboratorium atau tempat lainnya.
2.2.5.2 Derajat Penyakit

Pasien yang telah dikonfirmasi sebagai kasus Flu Burung (H5N1) dapat
dikategorikan menjadi:

a. Derajat 1 : Pasien tanpa pneumonia


b. Derajat 2 : Pasien dengan pneumonia tanpa gagal napas
c. Derajat 3 : Pasien dengan pneumonia dan gagal napas
d. Derajat 4 : Pasien dengan pneumonia dan ARDS atau dengan kegagalan
organ ganda (multiple organ failure).

31
2.2.5.3 Kasus Suspek Flu Burung (H5N1)

Seseorang yang menderita demam dengan suhu > 38o C disertai satu atau
lebih gejala di bawah ini:

a) Batuk
b) Sakit tenggorokan
c) Pilek
d) Sesak napas

Definisi kasus dari suspek H5N1 diatas dibagi 2 yaitu:

1. Seseorang dengan demam ≥ 380C dan ILI. dan disertai satu atau lebih pajanan di
bawah ini dalam 7 hari sebelum mulainya gejala:
1) Kontak erat (dalam jarak ± 1 meter), seperti merawat, berbicara atau
bersentuhan dengan pasien suspek, probabel atau kasus H5N1 yang sudah
terkonfirmasi
2) Terpajan (misalnya memegang, menyembelih, mencabuti bulu, memotong,
mempersiapkan untuk konsumsi) dengan ternak ayam, unggas liar, unggas air,
bangkai unggas atau terhadap lingkungan yang tercemar oleh kotoran unggas
itu dalam wilayah terjangkit dalam satu bulan terakhir.
3) Mengkonsumsi produk unggas mentah atau yang tidak dimasak dengan
sempurna dari wilayah yang dicurigai atau dipastikan terdapat hewan atau
manusia yang terkonfirmasi H5N1 dalam satu bulan terakhir.
4) Kontak erat dengan binatang lain (selain ternak unggas atau unggas liar),
misalnya kucing atau babi yang telah terkonfirmasi terinfeksi H5N1.
Memegang/ menangani sampel (hewan atau manusia) yang dicurigai
mengandung virus H5N1 dalam suatu laboratorium atau tempat lainnya.

32
2. Seseorang dengan demam ≥ 380C dan ILI dan disertai keadaan di bawah ini:
Leukopeni dan tampak gambaran pneumonia pada foto toraks.

dan disertai satu atau lebih dari pajanan di bawah ini dalam 7 hari sebelum
mulainya gejala foto toraks menggambarkan pneumonia yang cepat memburuk
pada serial foto.

1) Kontak erat (dalam jarak ± 1 meter), seperti merawat, berbicara atau


bersentuhan dengan pasien suspek, probabel atau kasus H5N1 yang sudah
konfirmasi.
2) Terpajan (misalnya memegang, menyembelih, mencabuti bulu, memotong,
mempersiapkan untuk konsumsi) dengan ternak ayam, unggas liar, bangkai
unggas atau berada di terhadap lingkungan yang tercemar oleh kotoran unggas
itu dalam wilayah di mana infeksi dengan H5N1 pada hewan atau manusia
telah dicurigai atau dikonfirmasi dalam bulan terakhir.
3) Mengkonsumsi produk unggas mentah atau yang tidak dimasak dengan
sempurna di wilayah yang dicurigai atau dipastikan terdapat hewan atau
manusia yang terinfeksi H5N1 dalam satu bulan terakhir.
4) Kontak erat dengan binatang lain (selain ternak unggas atau unggas liar),
misalnya kucing atau babi yang telah dikonfirmasi terinfeksi H5N1.

33
5) Memegang/ menangani sampel (hewan atau manusia) yang dicurigai
mengandung virus H5N1 dalam suatu laboratorium atau tempat lainnya.
6) Ditemukan leukopeni (nilai hitung leukosit di bawah nilai normal).
7) Ditemukan adanya titer antibodi terhadap H5 dengan pemeriksaan uji HI
menggunakan sel darah merah kuda atau uji ELISA untuk influenza A tanpa
subtipe.
8) Foto toraks menggambarkan pneumonia yang cepat memburuk pada serial
foto.
9) Seseorang yang mempunyai gejala ILI secara klinis dan radiologis yang cepat
mengalami perburukan meskipun riwayat kontak tidak jelas.
2.2.5.4 Pencegahan
1. Kewaspadaan Standard

Salah satu unsur Kewaspadaan Standar yang penting adalah


kebersihan tangan dengan cara mencuci tangan sebelum dan sesudah kontak
dengan pasien, sekret pasien maupun alat-alat yang tercemari sekret
pernapasan. Selain itu penerapan kebersihan saluran pernapasan dan etika
batuk dengan cara menutup hidung dan mulut saat batuk/bersin, penyediaan
tisue dan tempat sampah yang mudah dijangkau pasien, memberitahu pasien
untuk menggunakan tisue saat mengeluarkan sekret/riak dan membuangnya
ketempat sampah terdekat, mengenakan masker bedah pada pasien batuk dan
menempatkannya berjarak >1 meter dari orang lain. Kewaspadaan Standar
harus merupakan perilaku rutin, termasuk etiket batuk dan bersin.

2. Kewaspadaan Berdasarkan Transmisi


a. Kewaspadaan kontak: langsung / tidak langsung Petugas kesehatan harus
selalu menggunakan sarung tangan, masker dan gaun pelindung selama
kontak dengan pasien. Gunakan peralatan terpisah untuk setiap pasien,
seperti stetoskop, termometer (bila mungkin menggunakan pembungkus
plastik sekali pakai), tensimeter, dan lain-lain. Lakukan disinfeksi setiap
selesai pakai dengan cara menggunakan alkohol 70%.

34
b. Kewaspadaan Percikan /droplet Gunakan kacamata pelindung atau
pelindung muka, apabila berada pada jarak < 1 (satu) meter dari pasien.
Prinsip Kewaspadaan Berdasarkan Transmisi kontak dan percikan/
Droplet harus diterapkan di setiap ruang perawatan isolasi yaitu:
a) Ruang isolasi harus dipantau agar tetap dalam prinsip tekanan negatif
dibanding tekanan di koridor
b) Pergantian sirkulasi udara >/= 12 kali perjam
c) Udara harus dibuang keluar ke area bebas yang tidak terdapat banyak
orang, atau diresirkulasi dengan menggunakan filter HEPA (High-
Efficiency Particulate Air)

Setiap pasien harus dirawat di ruang rawat tersendiri. Pada keadaan


khusus (pasien anak yang perlu pendampingan) pendamping harus memakai APD
lengkap yaitu gaun, respirator N95, sarung tangan, dan melakukan kebersihan
tangan sama seperti petugas kesehatan. Selain itu pendamping diminta menanda
tangani informed consent atas kemungkinan risiko terkena infeksi. Pada saat
petugas atau orang lain berada diruang isolasi, pasien harus dipakaikan masker
bedah, pergantian masker setiap 4-6 jam dan setelah digunakan di buang di
tempat sampah infeksius. Pasien dilarang membuang ludah atau dahak di lantai
dan harus menggunakan penampung dahak/ludah tertutup yang tidak dipakai
ulang (disposable).

2.2.5.5 Terapi Jika Pasien Terjadi Penularan Infeksi


1. Penilaian Klinis

Perhatikan keadaan umum, kesadaran, tanda vital (tekanan darah, nadi,


frekuensi napas, suhu). Pantau saturasi oksigen dengan pulse oxymetry.

2. Pemeriksaan penunjang
Lakukan pemeriksaan penunjang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi
pasien.
3. Terapi definitif (antiviral)
4. Terapi suportif dan simptomatik

35
Terapi oksigen, terapi cairan, nutrisi adekuat dll Antipiretik pilihan
pertama adalah parasetamol. Salisilat tidak boleh diberikan pada anak < 18
tahun karena dapat menyebabkan Reye Syndrome, kelainan pada hati dan otak
yang ditandai dengan gejala neurologis (letargi, kejang, penurunan kesadaran
hingga koma) yang terjadi dengan cepat. Antipiretik golongan Non-Steroidal
Anti- Inflammatory Drugs (NSAID) termasuk ibuprofen tidak boleh diberikan
bila ada riwayat atau gejala perdarahan saluran cerna. Terapi psikologik untuk
mengatasi kecemasan pasien dan stigma.
1) Terapi lainnya :
a. Antibiotika
Selama pneumonia akibat kuman dari luar rumah sakit
(Pneumonia Komunitas) belum dapat disingkirkan, maka antibiotik
dapat diberikan. Pemilihan antibiotika secara empirik berdasarkan
dugaan kuman penyebab tersering sesuai dengan pola kuman dan
kepekaan setempat. Seperti kita ketahui jika terdapat pneumonia kita
harus mulai memberikan antibiotika dalam waktu kurang dari 4 jam.
Jika tidak ditemukan kuman pada kultur maka antibiotik harus
dihentikan.
Bila tidak tersedia dianjurkan sebagai berikut:
a) Amoksisilin merupakan pilihan pertama untuk antibiotik oral pada
anak < 5 tahun karena efektif melawan sebagian besar patogen
yang menyebabkan pneumonia pada anak, ditoleransi dengan baik,
dan murah. Alternatifnya adalah ko-amoksiklav, ceflacor,
eritromisin, claritromisin, dan azitromisin
b) Karena M. pneumoniae lebih prevalen pada anak yang lebih tua,
antibiotik golongan makrolide diberikan sebagai pilihan pertama
secara empiris pada anak > 5 tahun.
c) Makrolide diberikan jika M. pneumoniae atau C. pneumonia
dicurigai sebagai penyebab
d) Amoksisilin diberikan sebagai pilihan pertama jika sangat
mungkin disebabkan oleh S. pneumonia

36
e) Jika S. aureus dicurigai sebagai penyebab, diberikan makrolide
atau kombinasi flucloxacillin dengan amoksisilin
f) Antibiotik yang diberikan per oral adalah aman dan efektif untuk
anak dengan pneumonia
g) Antibiotik intravena diberikan pada pasien pneumonia yang tidak
dapat menerima obat per oral (misal karena muntah) atau termasuk
dalam derajat pneumonia berat
h) Antibiotik intravena yang dianjurkan adalah: co-amoxiclav,
cefuroxime, dan cefotaxime. Jika gejala klinis dan hasil kultur
mendukung S. pneumoniae sebagai penyebab, amoksisilin,
ampisilin, atau penisilin saja dapat diberikan
i) Pemberian antibiotik oral harus dipertimbangkan jika terdapat
perbaikan setelah mendapat antibiotik intravena. Apabila diduga
terjadi Hospital Acquired Pneumonia (HAP), maka antibiotik harus
disesuaikan dengan pola kuman dan uji kepekaan rumah sakit
setempat. Pemberian antibiotika sebagai profilaksis tidak
dianjurkan.
b. Steroid
Pemberian kortikosteroid secara rutin tidak dianjurkan karena
belum ada uji klinis, bahkan berpotensi merugikan yaitu dapat
memperpanjang masa replikasi virus dan meningkatkan risiko infeksi
oportunistik. Kortikosteroid diberikan pada syok yang tidak responsif
dengan terapi cairan dan obat golongan vasopressor . Pada keadaan
tersebut di atas, kortikosteroid dipertimbangkan untuk diberikan:
a) Dewasa: Hidrokortison 200-300 mg/hari atau padanannya
metilprednisolon 0,5 – 1 mg/kgBB/hr dibagi dalam 3 - 4 dosis
dalam 24 jam (dalam dosis terbagi setiap 8 - 6 jam).
b) Anak: Hidrokortison 2 mg/kgBB IV Atau padanannya
Dexamethason 0,5 mg/kg BB setiap 8 jam atau Metilprednisolon
1-2 mg/kgBB IV setiap 6 jam.

37
Catatan: Sebagai alternatif lain dapat diberikan dengan dosis awal
50 mg/kgBB/dosis, dan apabila diperlukan diulang dalam infus
drip selama 24 jam.
c. Immunomodulator
Hingga saat ini belum ada bukti klinis tentang manfaat
imunomodulator pada pasien Flu Burung (H5N1).
2.2.5.6 Prosedur Perawatan di Ruang Isolasi

Ruang Perawatan isolasi sedapat mungkin terdiri dari:

1) Ruang ganti
2) Ruang jaga perawat (Nurse station)
3) Ruang bersih dalam
4) Ante room : ruang antara untuk membuat jarak antara udara ruang isolasi
dengan nurse station dilengkapi dilengkapi sinar UV
5) Ruang rawat isolasi pasien
6) Ruang dekontaminasi
7) Kamar mandi petugas
Pintu masuk ruang isolasi harus berbeda dengan pintu keluar. Pintu setiap
ruangan harus selalu tertutup. Petugas ruang isolasi harus melepas baju luar
dan memakai baju operasi sebelum masuk Nurse station. Petugas mencuci
tangan sesuai pedoman sebelum mengenakan APD lengkap di Ruang Bersih
Dalam. Setelah dari Ruang Rawat Isolasi, petugas melepas APD di Ruang
Dekontaminasi dan mencuci tangan sesuai pedoman. Untuk mencegah
penyebaran virus Flu Burung (H5N1) di rumah sakit, semua pasien Flu
Burung (H5N1) mulai dari kasus suspek hingga kasus konfirmasi harus
dirawat di ruang isolasi dengan menerapkan isolasi ketat (strict barrier).
Petugas kamar isolasi harus dipantau suhu tubuh sebelum dan sesudah
kontak . Setiap kali masuk dan keluar ruang isolasi, petugas harus
mencatatkan waktunya pada lembaran khusus.
1. Standar Penggunaan Alat Perlindungan Diri (APD)

38
Langkah yang dilakukan sebelum masuk ke ruang rawat Isolasi dan saat
berada dalam ruang ganti. Lakukan hal sebagai berikut:
1) Lepaskan semua asesoris yang digunakan (seperti cincin, jam atau
gelang)
2) Lepaskan pakaian luar
3) Kenakan baju operasi sebagai lapisan pertama pakaian pelindung
4) Lipat pakaian luar dan simpan dengan perhiasan dan barang–barang
pribadi lainnya di dalam lemari berkunci yang telah disediakan.
2. Prosedur masuk ke Ruang Rawat Isolasi
Sebelum masuk ke Ruang Rawat Isolasi pasien, petugas harus memakai
APD lengkap di Ruang Bersih Dalam Langkah-langkah penggunaan APD :

1) Kenakan Respiratoir N 95
2) Kenakan penutup kepala
3) Kenakan alas kaki tertutup
4) Kenakan apron plastik Kenakan sepasang sarung tangan sebatas
pergelangan tangan
5) Kenakan gaun luar Kenakan sepasang sarung tangan sebatas siku
6) Kenakan kaca mata pelindung dan pelindung wajah (helm)

APD tetap dipakai selama di ruang perawatan isolasi. Siapkan peralatan


cadangan lengkap seperti kebutuhan di atas di ruang bersih dalam seperti:

a) Sarung tangan pendek dan panjang


b) Gaun apron atau apron plastic
c) Jas operasi, penutup kepala
d) Masker bedah, respirator N95
2.2.6 SARS

Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) atau sindroma pernafasan akut berat
adalah suatu infeksi saluran pernafasan bawah yang ditandai dengan kumpulan gejala
klinis demam di atas 38 C dengan satu atau lebih gangguan pernafasan berupa batuk
kering dan sesak nafas. SARS adalah sindrom pernafasan akut berat yang merupakan

39
penyakit infeksi pada jaringan paru manusia yang sampai saat ini belum diketahui pasti
penyebabnya (DepKes 2003).

Penyakit SARS berupa infeksi virus yang tergolong dalam genus coronavirus
(CoV). Coronavirus adalah virus yang berbentuk bulat dan berdiameter sekitar 100-120
nm yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia, mamalia, dan burung. Struktur
tubuh virus (virion) ini terdiri dari membran, selubung lipid
bilayer (envelope), glikoprotein yang menyerupai paku (spike), genom RNA positif, dan
protein nukleokapsid. Glikoprotein koronovirus dapat berikatan dengan glikoprotein
permukaan sel inang secara spesifik untuk memulai terjadinya infeksi. Koronavirus
diklasifikasikan menjadi tiga golongan utama, golongan 1 dan 2 menginfeksi mamalia,
mulai darikelelawar hingga manusia, sedangkan golongan 3 hanya ditemukan pada
spesies avian (burung).

2.2.6.1 Cara Penularan

Cara penularan SARS-CoV yang utama adalah melalui kontak dekat


misalnya, pada waktu merawat penderita, tinggal satu rumah dengan penderita atau
kontak langsung dengan secret, atau cairan tubuh (mata,hidung,mulut) dari penderita
suspect atau probable. Penyebaran utamanya diduga melalui percikan (droplets) dan
kemungkinan juga melalui pakaian dan alat 0 alat yang terkontaminasi atau secara
faecal-oral (Ibrahim dan Sudiro 2003). Selain itu berbagai prosedur aerosolisasi di
rumah sakit (nebulisasi, intubasi, suction, dan ventilasi) dapat meningkatkan resiko
penularan SARS oleh karena kontak secara tidak langsung melalui kontaminasi alat
yang digunakan, baik droplet maupun materi infeksius lain seperti partikel feses dan
urin (Chen dan Rumende 2006).

1. Tanda Pasien yang Tertular SARS


1) Gejala Klinis
Tampilan klinis penyakit ini secara relative konsisten untuk semua
penderita di semua negara yang terkena. Gejala prodromal berupa demam
tinggi mendadak, yang pada umumnya diikuti oleh sakit otot (mialgia),
menggigil, tidak ada nafsu makan, diare dan batuk kering (batuk
nonproduktif). Gejala lain seperti sakit kepala tidak jarang dijumpai. Pada

40
masa prodromal ini, beberapa penderita menunjukkan gejala pernapasan yang
ringan. Setelah 3-7 hari, suatu fase gangguan saluran pernapasan bagian
bawah mulai tampak dengan adanya batuk kering, non-produktif, dan sesak
napas (dyspnea), yang dapat diikuti dengan keadaan hipoksemia.

2) Gambaran Darah
Pada waktu permulaan penyakit, jumlah absolut limfosit seringkali
menurun. Secara keseluruhan, jumlah leukosit normal atau sedikit menurun.
Pada puncak kelainan yang mengenai paru, sekitar 50% dari penderita-
penderita menunjukkan adanya leukopenia dan trombositopenia (50.000-
150.000/mL). Fase respiratorik juga diikuti dengan peningkatan kadar kreatin
fosfokinase (sampai setinggi 3.000 IU/L) dan hepatik transaminase (2- 6 kali
lebih tinggi dari normal). Umumnya fungsi ginjal tetap normal.
3) Gambaran Radiologis
Gambaran radiologis paru pada fase prodromal dan masa perjalanan
penyakit mungkin tidak menunjukkan kelainan (normal). Namun, pada
sejumlah besar penderita, dijumpai kelainan gambaran radiologis paru yang
karakteristik seringkali terjadi pada 3-4 hari setelah timbulnya gejala penyakit.
Fase respiratorik ini disifati oleh adanya infiltrat interstisial lokal yang
kemudian berkembang menjadi infiltrat interstisial umum. Secara radiologis
tampak daerah-daerah paru yang berawan. Beberapa gambar radiologis dari
penderita SARS stadium lanjut juga memperlihatkan daerahdaerah paru yang
mengalami konsolidasi.
4) Prognosis
Setelah terjadinya perubahan di paru, maka perkembangan penderita SARS
dapat dibagi dalam 2 kelompok, yaitu:
b. Mayoritas penderita (80-90%) menunjukkan tanda-tanda perbaikan pada
hari ke- 6 atau 7
c. Pada sebagian kecil penderita, penyakitnya berkembang menjadi lebih
gawat dan penderita menunjukkan tanda-tanda sindrom gangguan paru

41
akut yang berat sehingga membutuhkan bantuan pernapasan mekanis.
Walaupun angka kematian pada kelompok kedua ini tinggi, tetapi ada
sejumlah penderita yang dapat bertahan dengan ventilator mekanis untuk
beberapa waktu yang lama. Kematian pada kelompok ini seringkali
berhubungan dengan adanya penyakitpenyakit lain yang diderita penderita
tersebut (faktorko-morbid). Umumnya, pada penderita-penderita yang
berusia di atas 40 tahun dengan penyakit lain, SARS lebih sering
berkembang menjadi penyakit yang berat.
2.2.6.2 Pencegahan

Pencegahan para penderita SARS biasanya dilakukan dengan perawatan


intensif di rumah sakit, terutama jika terjadi sesak napas. Penderita akan ditempatkan
di ruang isolasi agar tidak menyebarkan virus ke mana-mana. sampai saat ini belum
ada satu pun obat yang efektif dalam mengobati SARS.

1. Hindarilah bepergian atau naik kendaraan umum namun jika terpaksa maka
jangan menutup jendela atau pintu
2. Hindarilah tempat-tempat umum dan ramai khususnya di daerah dekat rumah
sakit, internet cafe, tempat-tempat nongkrong, bioskop, dan perpustakaan, jika
melakukannya maka pakailah masker dan cucilah tangan anda secara bersih dan
teratur.
3. Hindarilah mengunjungi pasien dan periksa ke dokter di rumah sakit khususnya
yang ada pasien SARSnya.
4. Sering seringlah cuci tangan dengan sabun dan jangan menyentuh mulut, hidung,
dan mata dengan tangan telanjang
5. Jagalah keseimbangan gizi dan hendalah berolahraga secara teratur untuk
meningkatkan sistem kekebalan tubuh
6. Anak-anak yang sistem kekebalan tubuhnya melemah harus memakai masker
sepanjang waktu untuk menhindari menyebarnya cairan tubuh seperti ludah/air
liur
7. Periksalah suhu badan secara teratur dan tetaplah hati-hati dengan kondisi
kesehatan Anda

42
2.2.6.3 Terapi Jika Pasien Terjadi Penularan Infeksi
1. Terapi supportif umum
Meningkatkan daya tahan tubuh berupa nutrisi yang adekuat, pemberian
multivitamin dan lain-lain.
2. Terapi oksigen
3. Humidifikasi dengan nebulizer
4. Fisioterapi dada
5. Pengaturan cairan
6. Pemberian kortokosteroid pada fase sepsis berat
7. Obat inotropic
8. Ventilasi mekanis
9. Drainase empyema
10. Bila terdapat gagal nafas, diberikan nutrisi dengan kalori cukup
11. Terapi antibiotik
Agen anti-bakteri secara rutin diresepkan untuk SARS karena menyajikan
fitur non-spesifik dan cepat tes laboratorium yang dapat diandalkan untuk
mendiagnosis SARS-cov virus dalam beberapa hari pertama infeksi belum
tersedia. Antibiotik empiris yang sesuai dengan demikian diperlukan untuk
menutupi terhadap pathogen pernafasan Common per nasional atau pedoman
pengobatan lokal bagi masyarakat- diperoleh atau nosokomial pneumonia.
Setelah mengesampingkan patogen lain, terapi antibiotik dapat ditarik. Selain
efek antibakteri mereka, beberapa antibiotik immunomodulatory dikenal
memiliki sifat, khususnya quinolones dan makrolid. Efeknya pada kursus
SARS adalah belum ditentukan. SARS dapat hadir dengan spektrum
keparahan penyakit. Sebagian kecil pasien dengan penyakit ringan pulih baik
bentuk khusus tanpa pengobatan atau terapi antibiotik saja.
1) Antibiotik :
a. Idealnya berdasarkan jenis kuman penyebab
b. Utama ditujukan pada S.pneumonia, H.Influensa dan S.Aureus
2.2.7 Cytomegalovirus

43
Cytomegalovirus (CMV) merupakan virus DNA yang tergolong dalam genus
virus Herpes. Virus yang spesifik menyerang manusia disebut sebagai human CMV dan
merupakan human herpesvirus 5, anggota famili dari 8 virus herpes manusia, subgrup
beta-herpes-virus. Penamaan Cytomegalo terkait pembesaran ukuran sel sampai dengan
dua kali lipat dari ukuran sel yang tidak terinfeksi. CMV merupakan parasit yang hidup
di dalam sel atau intrasel yang sepenuhnya tergantung pada sel inang untuk replikasi.
Replikasi virus tergantung dari kemampuan untuk menginfeksi sel inang yang
permissive, yakni suatu kondisi dimana sel tidak mampu melawan invasi dan replikasi
dari virus. CMV tidak menghasilkan endotoksin maupun eksotoksin.4 Struktur CMV
terdiri dari bagian tegument, capsid, dan envelope yang kaya akan lipid. Virus
mengandung genom DNA (deoxyribonucleic acid) untai ganda berukuran besar yang
mampu mengkode lebih dari 227 macam protein dengan 35 macam protein struktural dan
protein non struktural yang tidak jelas fungsinya.

CMV menginfeksi sel dengan cara terikat pada reseptor pada permukaan sel
inang, kemudian menembus membran sel, masuk ke dalam vakuole di sitoplasma, lalu
selubung virus terlepas, dan nucleocapsid cepat menuju nukleus sel inang. Ekspresi gen
immediate early (IE) spesifik RNA (ribonucleic acid) atau transkrip gen alfa (α) terjadi
segera setelah nukleus sel inang terinfeksi dan dapat dijumpai tanpa ada sintesis protein
virus de novo atau replikasi DNA virus. Ekspresi protein ini adalah esensial untuk
ekspresi gen virus berikutnya yaitu gen β yang menunjukkan transkripsi kedua dari RNA.
Beberapa enzim pada sel inang menentukan kemampuan replikasi dan perakitan dari
CMV.Replikasi virus dan nukleokapsid dibentuk dalam nukleus, dimana selubung virus
terdapat dalam sitoplasma. Setelah lepas dari sel, virus dapat ditemukan dalam urin, dan
terkadang dalam cairan tubuh, menyerap β2- mikroglobulin, suatu rantai sederhana dari
kelas I molekul antigen leukosit manusia (HLA). Substansi ini melindungi antigen virus
dan mencegah netralisasi oleh antibodi, sehingga meningkatkan infekstifitasya.

Infeksi CMV tersebar luas di seluruh dunia, terjadi secara endemik dan tidak
dipengaruhi oleh musim. Prevalensi CMV sangat bervariasi yakni antara 0,2-2,4% pada
negara yang berbeda.1,6 Pada populasi dengan sosial ekonomi yang baik ditemukan 60-
70% dewasa dengan hasil pemeriksaan laboratorium positif infeksi CMV. Angka ini

44
meningkat 10 kurang lebih 1% per tahun. Sedangkan pada negara berkembang atau sosial
ekonomi yang jelek maka populasi dengan infeksi CMV positif ditemukan lebih tinggi
yakni berkisar 80-90%. Di Indonesia belum didapatkan cukup data mengenai prevalensi
infeksi CMV pada populasi namun, ditemukan sebanyak 90% populasi umum dengan
seropositif CMV.1 CMV merupakan penyebab infeksi kongenital yang paling umum di
seluruh dunia terutama pada negara-negara berkembang.3,14 Infeksi CMV dapat berasal
dari urin, sekret orofaring, sekret servikal dan vaginal, semen, air susu ibu, air mata, dan
darah.15 Prevalensi infeksi CMV kongenital sangat bervariasi, ada yang melaporkan
sebesar 0,2-3% ada pula sebesar 0,7% sampai 4,1%. Di Amerika Serikat insidensi CMV
pada bayi sampai usia 6 bulan adalah 39-56%. Hal ini disebabkan pemberian ASI yang
kembali populer di kalangan ibu. Selain itu, penelitian lain mengemukakan bahwa
prevalensi CMV yakni 1-2% dari seluruh kehamilan.

Infeksi CMV seperti yang dilaporkan oleh Ogilvie terjadi pada 1 dari 3 kasus
wanita hamil. Infeksi dapat terjadi karena beberapa sebab diantaranya adalah reaktivasi
dan reinfeksi virus dimana seringkali bersifat asimptomatik dan menimbulkan gejala sisa
atau sequele yang lebih sedikit dibandingkan pada wanita yang mengalami infeksi
primer. Infeksi CMV primer terjadi pada 0,15-2,0% dari populasi wanita hamil dan
berisiko mengalami transmisi secara vertikal dari ibu ke fetus sebesar 30-40%. Saat ini,
faktor 11 resiko terjadinya reaktivasi ataupun reinfeksi pada wanita dengan seropositif
CMV belum diketahui secara jelas. Berdasarkan jumlah populasi pasien infeksi CMV
kongenital maka 10-15% merupakan infeksi yang simtomatik dimana lebih dari 30%
bersifat fatal. Infeksi yang asimptomatik terjadi pada 85-90% dan lebih dari 15% akan
mengalami sequele di kemudian hari.

2.2.7.1 Cara Penularan

Tidak ada vektor yang menjadi perantara Penularan transmisi atau penularan.
Transmisi dari satu individu ke individu lain dapat terjadi melalui berbagai cara.
Transmisi intrauterus terjadi karena virus yang beredar dalam sirkulasi (viremia) ibu
menular ke janin. Kejadian transmisi seperti ini dijumpai pada kurang lebih 0,5 – 1%
dari kasus yang mengalami reinfeksi atau rekuren.6Viremia pada ibu hamil dapat
menyebar melalui aliran darah (per hematogen), menembus plasenta, menuju ke fetus

45
baik pada infeksi primer eksogen maupun pada reaktivasi, infeksi rekuren endogen
yang mungkin akan menimbulkan risiko

Transmisi tersebut dapat terjadi setiap saat sepanjang kehamilan, namun


infeksi yang terjadi sampai 16 minggu pertama, akan menimbulkan penyakit yang
lebih berat. Transmisi perinatal terjadi karena sekresi melalui saluran genital atau air
susu ibu. Kira-kira 2% – 28% wanita hamil dengan CMV seropositif, melepaskan
CMV ke sekret serviks uteri dan vagina saat melahirkan, sehingga menyebabkan
kurang lebih 50% kejadian infeksi perinatal. Transmisi melalui air susu ibu dapat
terjadi, karena 9% - 88% wanita seropositif yang mengalami reaktivasi biasanya
melepaskan CMV ke ASI. Kurang lebih 50% - 60% bayi yang menyusu terinfeksi
asimtomatik, bila selama kehidupan fetus telah cukup memperoleh imunitas IgG
spesifik dari ibu melalui plasenta.8 Kondisi yang jelek mungkin dijumpai pada
neonatus yang lahir prematur atau dengan berat badan lahir rendah. Transmisi
postnatal dapat terjadi melalui saliva, mainan anak-anak misalnya karena
terkontaminasi dari vomitus. Transmisi juga dapat terjadi melalui kontak langsung
atau tidak langsung, kontak seksual, transfusi darah, transplantasi organ. Penyebaran
endogen di dalam diri individu dapat terjadi dari sel ke sel melalui desmosom yaitu
celah di antara 2 membran atau dinding sel yang berdekatan. Di samping itu, apabila
terdapat pelepasan virus dari sel terinfeksi, maka virus akan beredar dalam sirkulasi
(viremia), dan terjadi penyebaran per hematogen ke sel lain yang berjauhan, atau dari
satu organ ke organ lainnya.

2.2.7.2 Pencegahan

Belum didapatkan obat yang baik untuk mencegah terjadinya infeksi CMV
pada ibu dan janin yang dikandungnya.Tetapi dapat diusahakan beberapa cara sebagai
berikut:

1. Memberikan penerangan cara hidup yang higienis.


2. Bagi ibu, terutama yang melahirkan bayi prematur untuk berhati-hati
dalam memberikan ASI. Bayi prematur imunitasnya masih rendah.
3. Hati-hati pada transfusi darah harus dari donor sero-negatif.
4. Vaksinasi mempunyai harapan dimasa datang.

46
5. Ibu atau pengasuh hendaknya memelihara kebersihan perorangan,
mencuci tangan yang bersih bila kontak dengan air seni atau air ludah
bayi. Tisu pembersih dan pampers hendaknya dibuang. Kebiasaan tidak
minum dari gelas bekas orang lain sebaiknya tetap dipelihara.
6. Laporan dari satu penelitian menyabutkan bahwa 70% bayi yang tertular
virus sewaktu di dalam kandungan masih mengeluarkan virus melalui air
seni mereka sampai berusia 1-3 tahun.
7. Demikian juga pada perawat ibu hamil yang mungkin terinfeksi virus tetap
memelihara kesehatan perorangan dengan baik
8. Pemberian vaksi sitomegalo dapat memberikan perlindungan bagi yang
beresiko tertular virus.
9. Perawat bayi perlu diberi penyuluhan mengenai infeksi virus sitomegalo.
10. Perawat yang tidak sedang hamil, tidak selalu bisa menularkan virus pada
bayi yang diasuhnya.
11. Selama hamil, cuci tangan yang bersih dengan sabun dan air mengalir
setelah melakukan kontak dengan popok dan cairan sekresi mulut.
12. Ibu hamil yang mencurigakan tertular virus sitomegalo, sebaiknya
diperiksa dan perlu perhatian pada bayinya apakah juga sudah tertular
virus.
13. Periksaan dengan tes anti body terhadap virus sitomegalo.
14. Menemukan virus pada cairan serviks, bukan merupakan indikasi
melakukan operasi section caesar.
15. Menemukan virus pada ASI, juga bukan halangan untuk menyusui
bayinya, mengingat keuntungan menyusui, lebih utama dibanding
kerugian tertular virus sitomegalo.
16. Pemeriksaan skrening virus sitomegalo, juga tidak perlu dilakukan pada
anak-anak sekolah

2.2.7.3 Terapi Jika Pasien Terjadi Penularan Infeksi

Jika ada pasien yang terinfeksi virus CMV kita bisa memberi terapi obat,
obat-obat infeksi virus yaitu acyclovir, pencegahan gancyclovir, dapat diberikan

47
untuk infeksi CMV. Pemberian imunisasi dengan plasma hiperimun dan globulin
dikemukakan telah memberi beberapa keberhasilan untuk mencegah infeksi primer
dan dapat diberikan kepada penderita yang akan menjalani 31 cangkok organ. Namun
demikian, program imunisasi terhadap infeksi CMV, belum lazim dijalankan di
negeri kita. Pada pemberian transfusi darah, resipien dengan CMV negatif idealnya
harus mendapat darah dari donor dengan CMV negatif pula.2 Deteksi laboratorik
untuk infeksi CMV, idealnya dilakukan pada setiap donor maupun resipien yang akan
mendapat transfusi darah atau cangkok organ.

Apabila terdapat peningkatan kadar IgG anti- CMV pada pemeriksaan serial
yang dilakukan 2x dengan selang waktu 2-3 minggu,63 maka darah donor seharusnya
tidak diberikan kepada resipien mengingat dalam kondisi tersebut infeksi atau
reinfeksi masih berlangsung. Seorang calon ibu, hendaknya menunda untuk hamil
apabila secara laboratorik dinyatakan terinfeksi CMV primer akut. Bayi baru lahir
dari ibu yang menderita infeksi CMV, perlu dideteksi IgM anti-CMV untuk
mengetahui infeksi kongenital. Higiene dan sanitasi lingkungan perlu diperhatikan
untuk mencegah penularan atau penyebaran. Infeksi CMV tidak menimbulkan
keluhan apabila individu berada dalam kondisi kompetensi imun yang baik, oleh
karena itu pola hidup sehat dengan makan minum yang sehat dan bergizi, sangat
diperlukan agar sistem imun dapat bekerja dengan baik untuk meniadakan atau
membasmi CMV. Istirahat yang cukup juga sangat diperlukan, karena istirahat
termasuk ”pengobatan terbaik” untuk infeksi virus pada umumnya.

48
BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Penyakit menular dapat didefinisikan sebagai sebuah penyakit yang dapat
ditularkan (berpindah dari orang satu ke orang yang lain, baik secara langsung maupun
perantara). Penyakit menular ini ditandai dengan adanya agent atau penyebab penyakit
yang hidup dan dapat berpindah serta menyerang host atau inang (penderita). Penyakit
menular umumnya bersifat akut (mendadak) dan menyerang semua lapisan masyarakat.
Penyakit menular merupakan hasil perpaduan berbagai faktor yang saling mempengaruhi
(Widoyono, 2011: 3). Ada banyak macam penyakit menular seperti Tuberculosis, HIV
AIDS, Hepatitis B, Difteri, Flu Burung (H5N1), SARS, Cytomegalovirus.

Adapun upaya-upaya pencegahan penularan pada penyakit Tuberculosis menurut


WHO yaitu pencahayaan rumah yang baik, menutup mulut saat batuk, tidak meludah di
sembarang tempat, menjaga kebersihan lingkungan dan alat makan. Menurut Muninjaya
(1998), tiga cara untuk pencegahan HIV/AIDS adalah Puasa (P) seks (abstinensia),
artinya tidak (menunda) melakukan hubungan seks, Setia (S) pada pasangan seks yang
sah (be faithful/fidelity), artinya tidak berganti-ganti pasangan seks, dan penggunaan
Kondom (K) pada setiap melakukan hubungan seks yang beresiko tertular virus AIDS
atau penyakit menular seksual (PMS) lainnya. Ketiga cara tersebut sering disingkat
dengan PSK. Ada tiga macam cara pencegahan infeksi Virus Hepatitis B yang terpenting,
yaitu perbaikan hygiene dan sanitasi, pencegahan penularan parenteral, dan imunisasi.
Penyakit Difteri dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). pencegahan dan pengendalian
penularan penyakit Flu Burung (H5N1) dapat dilakukan dengan kewaspadaan standart

49
dan, kewaspadaan berdasarkan transmisi. Pencegahan para penderita SARS biasanya
dilakukan dengan perawatan intensif di rumah sakit, terutama jika terjadi sesak napas.
Penderita akan ditempatkan di ruang isolasi agar tidak menyebarkan virus ke mana-mana.
sampai saat ini belum ada satu pun obat yang efektif dalam mengobati SARS. Belum
didapatkan obat yang baik untuk mencegah terjadinya infeksi CMV pada ibu dan janin
yang dikandungnya. Tetapi dapat diusahakan beberapa cara sebagai berikut, memberikan
penerangan cara hidup yang higienis, bagi ibu, terutama yang melahirkan bayi prematur
untuk berhati-hati dalam memberikan ASI karena bayi prematur imunitasnya masih
rendah

3.2 Saran

Dengan adanya makalah ini diharapkan kepada para pembaca agar lebih
memahami tentang bagaimana penularan penyakit pada penyakit menular dan
mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan. Agar para pembaca lebih
mengerti cara pencegahan penyakit pada penyakit menular dan menyadari pentingnya
kesehatan untuk tubuh dan mewaspadai permasalahan-permasalahn yang berpengaruh
terhadap kesehatan.

50
DAFTAR PUSTAKA

Kemenkes, R. I. (2012). Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Tuberkulosis Di


Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Jakarta. Direktorat Bina Upaya Kesehatan.
Lusmilasari, L., Akhmadi, A., Rahayu, R. D., Rahmawati, J., Khartika, A., & Rukmana, S.
(2017). RELATIONSHIP OF ADHERENCE, SELF EFFICACY, SOCIAL SUPPORT,
QUALITY OF HEALTH CARE, AND PSYCHOLOGICAL RESPONSE OF PARENS
TOWARDS QUALITY OF LIFE OF CHILDREN WITH TUBERCULOSIS IN
YOGYAKARTA, INDONESIA. Belitung Nursing Journal, 3(1), 41-51.
Pardjono, P., Santoso, P., Krisnawati, D. I., Susilowati, E., Quyumi, E., & Setyowati, N. (2017).
PENGARUH DINAMIKA KELOMPOK SOSIAL TERHADAP ANGKA KEJADIAN
DAN PENYEMBUHAN PENYAKIT TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH
PUSKESMAS MOJOROTO. Jurnal Ilmu Kesehatan, 1(1).
Purnama, B. E. (2017). Pembuatan Animasi 3 Dimensi Penyuluhan Penyakit Tuberkulosis (TB)
Paru-Paru Pada Kecamatan Karang Tengah. Speed-Sentra Penelitian Engineering dan
Edukasi, 6(1).
Purwanto, N. H. (2017). Hubungan antara sikap dengan perilaku keluarga tentang pencegahan
penyakit menular tuberkulosis. Jurnal Keperawatan dan Kebidanan, 6(1).
Sari, I. D., Mubasyiroh, R., & Supardi, S. (2017). Hubungan Pengetahuan dan Sikap dengan
Kepatuhan Berobat pada Pasien TB Paru yang Rawat Jalan di Jakarta Tahun 2014. Media
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 26(4), 243-248.
Sukatmi, S., & Wonosasi, W. (2017). STUDI PENGETAHUAN PMO TENTANG PENGOBATAN DAN
PERAWATAN KLIEN TB PARU. Jurnal AKP, 4(2).

Wahyuni, N. S., & Verawati, M. (2017). ANALISIS PENYAKIT TUBERCULOSIS-HIV (TB-


HIV) DI KABUPATEN PONOROGO. Research Report, 7-15.
Nursalam, D. K., & Dian, N. (2007). Asuhan keperawatan pada pasien terinfeksi HIV. Jakarta:
Salemba Medika.

51
Maharani, R. (2014). Stigma dan Diskriminasi Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) pada
Pelayanan Kesehatan di Kota Pekanbaru Tahun 2014. Jurnal Kesehatan Komunitas, 2(5),
225-232.
Mohamad, R. W. (2015). Hubungan Perilaku Caring Perawat Dengan Kepuasan Pasien Isolasi
Di Ruang G4 Rsud Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo(Doctoral Dissertation,
Universitas Airlangga).
Cahyono, J. S. (2010). Vaksinasi, Cara Ampuh Cegah Penyakit Infeksi . Yogyakarta:
KANISIUS.
Puspitasari, D., & Supatmini, E. (2012). GAMBARAN KLINIS PENDERITA DIFTERI ANAK
DI RSUD Rr. SOETOMO . Jurnal Ners, 137 Vol:7 No.2.
Wulandari, U. N. (2013). ANALISIS MODEL MSEIR PADA PENYEBARAN PENYAKIT
DIFTERI. Skripsi, 4.
Ri, K. K. (2010). Pedoman Klinis Flu Burung (H5N1) di Rumah Sakit, Jakarta.
Rasmaliah. 2005. INFEKSI VIRUS HEPATITIS B DAN PENCEGAHANNYA. Staf Pengajar `
Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
K Hilman. (2010). Penatalaksanaan Hepatitis B Kronik. Fakultas Kedokteran Universitas
Kristen Maranatha
DMR Pasaribu. 2014. Patogenesis Virus Hepatitis B. Fakultas Kedokeran Universitas Kristen
Krida Wacana. Jakarta pusat

Panduan Ruang Isolasi di RSU Puri Raharja. 2015. Lampiran Keputusan Direktur Utama Rumah
Sakit Umum Puri Raharja. 138/SK.Dirut/RSPR/VIII/2015

Syah Putra Setiawan, Saswiyanti Enny, Nurhayati Sri Imas. 2011. Severe Acute Respiratory
Syndrome (SARS) sebagai Emerging Disease yang Sangat Infeksius.Bogor.PS Kesehatan
Masyarakat Veteriner Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Sari, W. P., Hapsari, M. M., & Hadi, P. (2014). Hubungan abnormalitas hasil CT-scan dengan
developmental delayed pada pasien suspek infeksi cytomegalovirus kongenital (Doctoral
dissertation, Faculty of Medicine Diponegoro University).

Suromo, M. A. (2007). Kewaspadaan Terhadap Infeksi Cytomegalovirus serta Kegunaan Deteksi


secara Laboratorik.

52
53

Anda mungkin juga menyukai