Anda di halaman 1dari 47

MAKALAH OBAT GANGGUAN SARAF

SAKIT KEPALA

Obat Gangguan Saraf - B

Kelompok 3

Anggota Kelompok:

Alfrina Irene 1606924202


Avira Tri Cahyani 1606874816
Dini Dyanti 1606831981
Dita Septianawanti 1606924335
Fatima Rahmanita 1606881336
Marco Mawira Salim 1606887112

Fakultas Farmasi

Universitas Indonesia
Depok

2018

KATA PENGANTAR

Puji serta syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkah dan
rahmat-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan makalah yang berjudul “Sakit
Kepala” dengan tepat waktu. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Obat
Gangguan Saraf.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Dr. Fadlina Chany Saputri, M.Si., Apt, selaku
dosen pengajar mata kuliah, atas bimbingan dan masukan beliau, sehingga makalah ini dapat
terselesaikan dengan baik. Selain itu, kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu dalam proses penyelesaian makalah ini, baik secara langsung maupun
tidak langsung.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak memiliki kekurangan. Oleh karena itu,
kami mengharapkan pembaca dapat memberikan saran dan kritik yang membangun kepada
kami. Kami juga berharap semoga makalah ini dapat berguna dan menambah wawasan bagi
penulis maupun pembaca.

Depok, Oktober 2018


DAFTAR ISI

Kata Pengantar...........................................................................................................................2

Daftar Isi.....................................................................................................................................3

Bab 1 Pendahuluan..................................................................................................................4

1.1 Latar Belakang........................................................................................................4


1.2 Rumusan Masalah...................................................................................................4
1.3 Tujuan......................................................................................................................5
1.4 Manfaat....................................................................................................................5

Bab 2 Pembahasan...................................................................................................................6

2.1 Definisi Sakit Kepala................................................................................................6

2.2 Klasifikasi Sakit Kepala............................................................................................6

2.2.1 Sakit Kepala Primer........................................................................................6

2.2.1.1 Migrain................................................................................................6

2.2.1.2 Tension Type Headache (TTH)

2.2.1.3 Trigeminal Autonomic Cephalgias (TACs)

2.2.2 Sakit Kepala Sekunder

2.3 Patofisiologi Sakit Kepala

2.3.1 Migrain

2.3.2 Cluster Headache

2.3.3 Tension Type Headache (TTH)

2.4 Terapi Sakit Kepala

2.4.1 Tujuan Terapi

2.4.2 Terapi Migrain


2.4.2.1 Terapi Non-Farmakologi

2.4.2.2 Terapi Farmakologi

2.4.3 Terapi Tension Type Headache

2.4.3.1 Terapi Farmakologi

2.4.4 Terapi Cluster Headache

2.5 Mekanisme Kerja Obat

Bab 3 Penutup

3.1 Kesimpulan

Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sakit kepala adalah rasa sakit atau tidak nyaman antara orbita dengan kepala yang berasal
dari sensitivitas terhadap rasa sakit. Sakit kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang
paling sering terjadi. Beberapa orang sering mengalami sakit kepala, sedangkan yang lainnya
hampir tidak pernah merasakan sakit kepala.

Sakit kepala menahun dan sakit kepala kambuhan bisa terasa sangat nyeri dan
mengganggu, tetapi jarang mencerminkan keadaan kesehatan yang amat serius. Tetapi suatu
perubahan dalam pola atau sumber sakit kepala (misalnya dari jarang menjadi sering,
sebelumnya ringan sekarang menjadi berat) bisa merupakan pertanda yang serius dan
memerlukan tindakan medis segera.

Salah satu jenis sakit kepala yang juga banyak ditemukan atau dirasakan orang adalah
sakit kepala sebelah atau migrain. Serangan sakit kepala migrain terasa lebih menyiksa dan
terkadang datang tiba-tiba. Penderita migrain akan merasakan nyeri dan berdenyut seperti
dipukuli atau ditarik dan biasanya disertai dengan gangguan saluran cerna seperti mual dan
muntah. Penderita pun cenderung menjadi lebih sensitif terhadap cahaya, suara dan bau-bauan.
Hal itu tentu sangat mengganggu dan bisa menghambat segala aktivitas penderita.

Pemberian obat kepada pasien yang mengalami sakit kepala harus dilakukan secara
bertahap dan dengan algoritme terapi yang sesuai. Terapi pengobatan sakit kepala perlu
dibedakan berdasarkan jenis dan tingkat keparahan sakit kepala sehingga tidak terjadi kesalahan
dalam pemberian obat dan sakit kepala dapat terobati dengan baik.

1.2 Rumusan Masalah

DY (30 Tahun) dengan riwayat sakit kepala yang selalu kambuh. Sakit kepala muncul
saat beraktivitas dan selalu diawali dengan gangguan visual dan diakhiri dengan muntah.

Rumusan masalah
1. Apa yang terjadi pada DY!
2. Sakit kepala seperti apa dengan keluhan diatas?
3. Jelaskan patofisiologi sakit kepala secara umum!
4. Jelaskan patofisiologi sakit kepala pasien diatas!
5. Golongan obat apa saja yang dapat digunakan untuk terapi sakit kepala?
6. Jelaskan mekanisme kerja dari golongan obat tersebut sehingga dapat digunakan untuk
terapi sakit kepala dan sebutkan contoh obat-obatnya!
7. Jelaskan efek yang tidak diinginkan dari terapi sakit kepala dan kemungkinan interaksi
yang terjadi diantara obat-obatan yang digunakan dalam terapi sakit kepala!

1.3 Tujuan
1. Mengetahui definisi sakit kepala
2. Mengetahui klasifikasi sakit kepala berserta penyebabnya
3. Mengetahui patofisiologi sakit kepala
4. Menegtahui golongan obat dan mekanismenya dalam terapi sakit kepala
5. Mengetahui algoritma terrapi dai sakit kepala
6. Mengetahui efek samping dan interaksi antara obat yang digunakan dlam terapi sakit
kepala

1.4 Manfaat
 Dapat mengetahui definisi sakit kepala
 Dapat mengetahui klasifikasi sakit kepala berserta penyebabnya
 Dapat mengetahui patofisiologi sakit kepala
 Dapat menegtahui golongan obat dan mekanismenya dalam terapi sakit kepala
 Dapat mengetahui algoritma terrapi dai sakit kepala
 Dapat mengetahui efek samping dan interaksi antara obat yang digunakan dlam terapi
sakit kepala
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Sakit Kepala


Sakit kepala atau cephalgia adalah sakit yang dirasakan di daerah kepala atau merupakan
suatu sensasi tidak nyaman yang dirasakan pada daerah kepala (Goadsby, 2002). Nyeri
kepala merupakan salah satu gangguan sistem saraf yang paling umum dialami oleh
masyarakat. Telah dilakukan penelitian sebelumnya bahwa dalam 1 tahun, 90% dari
populasi dunia mengalami paling sedikit 1 kali nyeri kepala. Menurut WHO, dalam banyak
kasus nyeri kepala dirasakan berulang kali oleh penderitanya sepanjang hidupnya.
Sakit kepala secara umum dapat digolongkan menjadi dua, yaitu sakit kepala primer dan
sekunder. Sakit kepala primer adalah sakit kepala merupakan diagnosis utama, bukan
disebabkan karena adanya penyakit lain dan yang tidak disertai adanya penyebab struktural
organik ataupun suatu penyakit yang mendasarinya. Sedangkan sakit kepala sekunder adalah
sakit kepala merupakan gejala ikutan karena adanya penyakit lain, seperti: sinus, hipertensi,
radang, premenstrual disorder, dan lain-lain. Selain itu terdapat golongang lain sakit kepala
yaitu painful cranial neuropathies and other facial pains dimana menggambarkan jenis sakit
kepala yang terjadi karena saraf di leher, kepala dan bagian atas meradang dan menjadi
sumber rasa sakit kepala ataupun nyeri wajah.
2.2 Klasifikasi Sakit Kepala
2.2.1 Sakit Kepala Primer
Pada sakit kepala primer, sakit kepala merupakan diagnosis utama, bukan
disebabkan karena adanya penyakit lain. Sakit kepala yang tidak disertai adanya
penyebab struktural organik ataupun suatu penyakit yang mendasarinya. Sakit kepala
primer tebagi lagi menjadi tiga jenis, yaitu migrain, Tension Type Headache (TTH),
dan Trigeminal Autonomic Cephalagias (TACs).
2.2.1.1 Migrain
Migrain adalah gangguan otak episodik dengan serangan sakit kepala yang
berhubungan dengan mual, muntah, dan hipersensitivitas terhadap cahaya,
suara, dan bau. Prevalensinya lebih banyakditemukan pada wanita, yaitu
18% dan 6% pada pria. Puncak prevalensi terdapat pada usia 20-40 tahun.
75%-80% penderita migrain memiliki riwayat keluarga mengidap
migrain/nyeri kepala. Migrain dapat dibagi menjadi emapt golongan, yaitu:

a. Migrain tanpa Aura


Sakit kepala berulang, berlangsung selama 4-72 jam. Memiliki ciri khas
sakit pada bagian unilateral tanpa disertai gejala aura. Berdenyut dengan
intensitas sedang hingga berat.
b. Migrain dengan Aura
Setidaknya 1 gejala aura muncul dan berlangsung selama 5-60 menit.
Aura akan disertai sakit kepala setelah 60 menit. Sakit pada bagian
unilateral
c. Migrain Kronis
Sakit kepala muncul 15 hari atau lebih dalam sebulan selama 3 bulan.
Setidaknya 8 hari dalam sebulan adalah migrain
d. Komplikasi Migrain.
2.2.1.2 Tension Type Headache (TTH)
Tension Type Headache (TTH) adalah sakit kepala yang terasa seperti
tekanan atau ketegangan di dalam dan disekitar kepala yang berasal dari
jaringan myofascial. Nyeri kepala yang terjadi karena tegang yang
menimbulkan nyeri akibat kontraksi menetap otot- otot kulit kepala, dahi, dan
leher yang disertai dengan vasokonstriksi ekstrakranium. Nyeri ditandai
dengan rasa kencang seperti pita di sekitar kepala dan nyeri tekan didaerah
oksipitoservikalis.
2.2.1.3 Trigeminal Autonomic Cephalagias (TACs).

2.2.2 Sakit Kepala Sekunder


Sakit kepala yang biasanya terjadi karena adanya suatu penyakit tertentu.
Merupakan gejala ikutan karena adanya kondisi atau penyakit lain. Sakit kepala
sekunder dapat diklasifikasikan secara spesifik menjadi:
a. Sakit Kepala Rebound
Disebabkan karena seringnya menggunakan obat pereda nyeri
b. Sakit Kepala Thunderclap
Menyababkan penderitanya mengalami sakit kepala yang parah, terjadi
secara tiba-tiba, dan dengan penyebab dasar berpotensi fatal seperti
pendarahan di otak.
c. Sakit Kepala Spinal
Disebabkan oleh kurangnya cairan serebrospinal setelah anestesi atau trauma

Selain itu, terdapat klasifikasi sakit kepala sekunder menurut Indonesian Health
Science (IHS), yaitu:

a. Sakit kepala karena adanya cedera pada bagian kepala dan/atau leher
b. Sakit kepala karena adanya gangguan pada pembuluh darah kranial atau
leher, seperti stroke.
c. Sakit kepala karena gangguan intracranial non-vaskular, seperti tumor dan
kanker
d. Sakit kepala karena substansi kimia atau obat-obatan
e. Sakit kepala karena infeksi, seperti flu, meningitis, HIV/AIDS, dll
f. Sakit kepala karena adanya gangguan pada tengkorak, leher, mata, telinga,
hidung, sinus, gigi, mulut, ataupun struktur wajah lain
g. Sakit kepala karena adanya gangguan homeostasis, seperti perubahan
lingkungan fisik
h. Sakit kepala karena adanya gangguan kejiwaan
2.3 Patofisiologi Sakit Kepala
2.3.1 Migrain
Etiologi dan patofisiologi mekanisme migrain tidak sepenuhnya dimengerti.
Menurut hipotesis vaskular dari Harold Wolff tahun 1938, aura migrain terjadi
dikarenakan vasokontriksi intraserebral arterial yang diikuti oleh vasodilatasi
ekstracranial reaktif dan rasa pusing. Meskipun studi aliran darah serebral tidak
mendukung hipotesis vaskular, fase aura migrain di asosiasi dengan kekurangan
peredaran darah serebral yang mulai di daerah occipital dan bergerak ke serebral
korteks dengan kelajuan 2-2 mm/min. Akan tetapi, sebagian besar clinical percara
bahwa ada simptom negatif dan positif dari aura migrain disebabkan oleh disfungsi
neuronal bukan iskemia.

Rasa sakit migrain dipercaya dihasilkan oleh aktivitas di sistem


trigeminovaskular, jaringan viscelar afferent fiber yang muncul dari ganglia trigeminal
dan terprojek peripherally untuk innverasi pembuluh darah ekstraserebral intrakranial
yang sensitif terhadap rasa sakit, durameter dan sinus vena besar. fiber tersebut juga
terprojek sentral, menghilangkan di trigeminal nucleus caudalis di batang otak dan
bagian atas cervical spinal cord, sehingga menyediakan pathway untuk transmisi
nociceptive dari pembuluh darah meningeal ke pusat tinggi CNS. Aktivasi dari sarah
sensosri trigeminal memicu pelepasan neuropeptida vasoaktif, termasuk CGRP
(calcitonin gene-related peptide), neurokinin A. dan substansi P, dari akson
perivaskular. Pelepasan neuropeptida berinterkasi dengan pembuluh darah dural untuk
mempromosikan vasodilatasi dan extravasation plasma dural, menyebabkan inflamasi
neurogenik. Konduksi ortodromik disepanjang fiber trigeminovaskular mentransmit
implus sakit ke trigeminal nukleus caudalis, dimana informasinya di bawa ke cortical
pain center. Input afferent yang kontinu dapat menyebabkan sensitisasi di central
sensori neuron, memproduksi kondisi hiperalgesik yang menrespon stimuli innocuous
sebelumnya dan menjada rasa sakit kepala.

Terdapat fase klinis serangan pada migrain, yaitu sebagai berikut:

a. Fase Prodromal
Sebanyak 50% pasien mengalami fase postdromal yang berkembang
pelan-pelan selama 24 jam sebelum serangan. Gejala pada fase ini adalah
kepala terasa ringan, irritable, depresi/euphoria, tidur berlebihan dan ingin
makan makanan tertentu seperti makanan manis.
b. Fase Aura
Gangguan penglihatan yang paling sering dikeluhkan pasien. Khas pasien
melihat seperti melihat kilatan lampu blits (photopsia) atau melihat garis zig
zag disekitar mata dan hilangnya sebagian penglihatan pada satu atau kedua
mata (scintillating scotoma). Gejala sensoris yang timbul berupa rasa
kesemutan atau tusukan jarum pada lengan, dysphasia. Fase ini berlangsung
antara 5 – 60 menit. Sebanyak 80% serangan migraine tidak disertai aura.

c. Fase Serangan
Nyeri kepala yang timbul terasa berdenyut dan berat. Biasanya hanya pada
salah satu sisi kepala tetapi dapat juga pada kedua sisi. Sering disertai mual
muntah tidak tahan cahaya (photofobia) atau suara (phonofobia). Nyeri kepala
sering memburuk saat bergerak dan pasien lebih senang istrahat ditempat yang
gelap dan ini sering berakhir antara 2 – 72 jam.
d. Fase Postdromal
Setelah nyeri kepala hilang. Saat ini nyeri kepala mulai mereda dan akan
berakhir dalam waktu 24 jam, pada fase ini pasien akan merasakan lelah,
irritable, konsentrasi menurun, nyeri pada ototnya.

2.3.2 Cluster Headache


Etiologi dan pathophysiologi mekanisme cluster headache tidak diketahui dengan
baik. Kondisi siklus dari penyakit ini mengimplikasi patogenesis disfungsi
hipothalamic dan mengakibatkan perubahan ritme circadian. Perubahan regulasi
hipotalamus di kortisol,prolaktin, testoteron, growth hormone, leuteinizing hormon,
endorphin, dan melatonin telah ditemukan saat durasi serangan cluster headache. Studi
neuroimaging yang dilakukan saat akut cluster headache mendemonstrasikan aktivasi
ipsilateral hypothalamic gray area, mengimplikasi talamus sebagai genetator cluster.
Aktivitas cranial autonomik yang signifikan terjadi ipsilateral terhadap rasa sakit,
melalui pathways yang diaktivasi selama migraine.

2.3.3 Tension Type Headache (TTH)


Meskipun tension-type merupakan tipe sakit kepala yang paling sering, namun
tidak banyak studi terhadap penyakit ini, dan memiliki pengetahuan yang terbatas
mengenai konsep patofisiologisnya. Beberapa peneliti menteorikan bahwa migrain dan
tension-type headache menunjukan keparahan sakit kepala yang kontinu dalam entitas
yang sama. Namun, belakangan ini, tension-type telah di akui sebagai penyakit yang
berbeda. Rasa sakit episodik tension-type diperkirakan berasal dari faktor myofascial
dan sensitisasi peripheral nociceptors. Mekanisme sentral juga terlibat. Stress mental,
stress motorik nonfisiologis, pengeluaran lokal myofascial irritan atau kombinasi dari
hal hal tersebut mungkin merupakan stimulus awal. Dilanjutkan olek aktivasi struktur
supraspinal pain perception, sakit kepala sebagian besar berhubungan dengan
modulasi sentral dari stimuli peripheal yang datang.

2.4 Terapi Sakit Kepala


2.4.1 Tujuan Terapi
Tujuan terapi adalah untuk mengontrol gejala dalam rangka meminimalisasi dampak
kelainan pada kehidupan dan gaya hidup pasien masing-masing.
2.4.2 Terapi Migrain
2.4.2.1 Terapi Non-Farmakologi
Terapi nonfarmakologis sakit kepala migrain akut terbatas tetapi dapat
mencakup aplikasi es ke kepala dan periode istirahat atau tidur, biasanya dalam
lingkungan gelap, tenang.
Manajemen pencegahan migrain harus dimulai dengan identifikasi dan
penghindaran faktor yang secara konsisten memicu serangan migrain. Pasien
dapat memperoleh manfaat dari kepatuhan terhadap program kesehatan yang
meliputi tidur teratur, olahraga, dan kebiasaan makan, berhenti merokok, dan
asupan kafein yang terbatas

2.4.2.2 Terapi Farmakologi


Manajemen farmakoterapi pada migrain dapat berupa terapi akut (mis.,
simtomatik atau abortif) atau preventif (mis., profilaksis). Terapi abortif atau
akut dapat bersifat migrain-spesific (misalnya, ergot dan triptans) atau
nonspesific (misalnya, analgesik, antiemetik, obat antiinflamasi nonsteroid
[nsaid], dan kortikosteroid)

Strategi terapi :

 Terapi abortif /akut dimulai pada saat terjadinya serangan


 Terapi profilaksis/preventif  diperlukan jika serangan terjadi lebih dari 2-3
kali sebulan, terapi simptomatik gagal atau menyebabkan efek samping
yang serius, jika sakit kepala parah atau rumit oleh tanda-tanda neurologis
yang serius
1) Terapi Abortif
a. Analgesik
Analgesik adalah suatu golongan obat yang digunakan untuk
mengurangi rasa sakit. Analgesik disebut juga sebagai pain reliever.
Analgesik dapat digunakan untuk mengobati sakit kepala ringan hingga
sedang (mild to moderate). Analgesik untuk pengobatan sakit kepala
dibagi menjadi dua kelompok, yaitu analgesik sederhana dan analgesik
kombinasi.
Golongan analgesik ini merupakan analgesik sentral yang bekerja
dengan memblok sinyal sakit pada otak, baik di hipotalamus, talamus dan
juga di korteks somatosensorik. Prosesnya adalah obat akan menginhibisi
enzim siklooksigenase dengan membloknya secara tidak langsung, yaitu
COX-1, COX-2 dan COX-3 yang berperan dalam sintesis prostaglandin
(PG). PG itu sendiri adalah senyawa lipid yang dapat menyebabkan
nyeri, sakit kepala dan peningkatan kepekaan nosiseptor. Dengan adanya
inhibisi enzim COX maka terjadi penurunan terhadap PGE-2 yang
berfungsi sebagai hiperalgesia dan secara otomatis menurunkan set point
hipotalamus untuk menurunkan suhu tubuh dan penurunan jalur inhibisi
serotonergik sehingga serotonin dapat dilepaskan dalam jumlah yang
banyak. Serotonin atau 5-Hydrotrytamine (5-HT) merupakan
neurotransmiter yang diproduksi oleh otak dan dilepaskan dari proses
penurunan serat sinaps di korda spinalis. 5-HT akan berikatan dengan
reseptor spesifiknya yaitu 5-HT3 yang berperan dalam emesis dan efek
antinosiseptiv sehingga dapat mengurangi jalur rangsangan dan persepsi
rasa sakit di otak.
Analgesik kombinasi merupakan obat analgesik yang merupakan
kombinasi dengan obat lain yang memiliki khasiat yang sama yaitu:
 Midrin : kombinasi dari asetaminofen, isometepten mukat dan
dikloralfenazon.
 Kombinasi asetaminofen, aspirin, dan kafein
 Kombinasi asetaminofen, ibuprofen, kafein
 Kombinasi aspirin dan asetaminofen

Obat ini dikombinasikan dengan butalbital (short acting barbiturate)


atau kodein (opioid). Penggunaan obat ini harus disertai dengan resep
dokter. Untuk pasien yang menggunakan barbiturat secara teratur harus
dievaluasi dan disediakan dengan terapi alternatif karena obat ini dapat
menyebabkan depresi sistem saraf pusat (SSP) dan kebingungan,
mempengaruhi kognisi dan dapat menyebabkan eksitasi paradoks. Juga
mengakibatkan penyalahgunaan dan masalah ketergantungan, sering
menyebabkan sakit kepala yang terlalu sering

Mirip dengan kombinasi barbiturat, analgesik opioid dalam


manajemen migrain yang gagal harus dibatasi atau dihindari sama sekali
karena kekhawatiran yang sama dengan penggunaan berlebihan.
Penggunaan analgesik narkotik yang sering dapat mengarah pada
ketergantungan dan sakit kepala yang melambung.

Contoh obat :
b. NSAID

NSAID merupakan obat yang efektif untuk mengobati serangan migren


ringan sampai sedang. NSAID mencegah inflamasi yang diperantarai oleh
saraf di sistem trigeminovaskular dengan cara menghambat sintesis
prostaglandin. Obat golongan ini pada umumnya memiliki sifat antiinflmasi,
analgesik, dan antipiretik.
Obat anti inflamasi non-steroid terbagi menjadi dua jenis berdasarkan waktu
paruhnya, yaitu Short Acting Non-Steroidal Anti-Inflammatory Drugs
(ibuprofen, diclofenac, ketoprofen, dan indomethacin) dan Long Acting Non-
Steroidal Anti Inflammatory Drugs (naproxen, meloxicam, danpiroxicam).
Mekanisme kerja dari obat AINS yaitu prostaglandin dihasilkan oleh
enzim cyclooxygenase (COX), baik COX 1 maupun 2. Prostaglandin yang
terbentuk akan menjadi promotor nyeri dan inflamasi. Oleh karena itu, AINS
berperan dalam penghambatan COX pada proses biosintesis prostaglandin.
OAINS memblok COX dan mengurangi prostaglandin dalam tubuh.
Contoh obat :

c. Ergot Alkaloid dan Derivatnya


Ergot alkaloid digunakan untuk serangan moderate sampai severe
migraine. Ergot alkaloid merupakan agonis reseptor 5-HT1 non-selektif,
dengan aksi konstriksi pembuluh darah intrakranial dan menghambat
perkembangan inflamasi neurogenik pada sistem trigeminovaskular, serta
konstriksi arteri dan vena. Ergot alkaloid ini juga mempunyai aktivitas
terhadap reseptor α-adrenergik, β-adrenergik, and dopaminergik.
Contoh obat :

d. Agonis Reseptor Serotonin (Triptans)


Mekanisme kerja yang mirip dengan ergot, namun triptat memiliki profil
reseptor agonis serotonin yang lebih selektif, bekerja pada reseptor 5-HT1B
dan 5-HT1D. dan kurangnya interaksi dengan reseptor adrenergik dan
dopaminergik. Ergotamin diindikasikan untuk serangan akut migrain yang
tidak responsif terhadap analgesik. Contoh obat pada golongan ini yaitu
sumatriptan (generasi pertama), dan generasi keduanya adalah zolmitriptan,
naratriptan, rizatriptan, almotriptan, frovatriptan, and eletriptan.
Contoh obat :
Tindakan pada reseptor ini, mekanismenya yang diusulkan terhadap
migrain adalah:
 vasokonstriksi pembuluh darah intrakranial; penghambatan pelepasan
neuropeptida vasoaktif
 memblokir transmisi sinyal rasa sakit
 mempengaruhi vasodilatasi plasma, ekstravasasi, dan peradangan
yang terjadi pada migrain
e. Antiemetik
Terapi antiemetik tambahan berguna untuk melawan mual dan muntah
yang menyertai sakit kepala migrain dan obat-obatan digunakan untuk
mengobati serangan akut (misalnya, ergotamine tartrate). Mekanisme
tindakan yang tepat untuk ini agen tidak diketahui.
Contoh obat :
Algoritma Terapi Abortif

• Migrain adalah sakit kepala di salah satu bagian (unilateral).


• Jika hasil diagnosis pasien berupa migrain, maka pasien harus diberikan
edukasi terlebih dahulu mengenai sakit kepala terkait penanganannya
dilakukan saat migrain muncul.
• Lalu kita mengukur tingkat keparahan sakit kepala pada pasien dan
menentukan penanganan yang terbaik, berupa terapi non farmakologi
maupun terapi farmakologi (abortif atau profilaksis).
• Jika sakit kepala disertai dengan muntah-muntah maka berikan antiemetik
berupa oral, suppositoria, nasal spray, maupun injeksi sebagai pre-
treatment.
• Jika sakit kepala masih tergolong ringan, dapat diberikan analgesik
sederhana atau obat golongan NSAID sebagai lini pertama.
• Jika belum memberikan efek maka diberikan kombinasi analgesik
(asetaminofen, aspirin, kafein). Jika pemberian kombinasi analgesik
tersebut juga belum memberkan efek, maka diberikan obat golongan
triptan.
• Jika triptan masih belum efektif, maka berikan obat golongan opioid yang
dikombinasikan dengan analgesik dan butorphanol nasal spray.
• Sedangkan jika sakit kepala sudah tergolong parah maka langsung
diberikan dihidroergotamin atau ergotamin tartrat. Bila masih belum
efektif maka diberikan juga kombinasi opioid dan analgesik serta
butorphanol nasal spray.

2) Terapi Profilaksis
Terapi profilaksis digunakan sebagai tambahan dari terapi akut namun bukan
termasuk terapi akut. Profilaksis digunakan diperlukan jika serangan terjadi lebih
dari 2-3 kali sebulan, terapi simptomatik gagal atau menyebabkan efek samping
yang serius, jika sakit kepala parah atau rumit oleh tanda-tanda neurologis yang
serius. Tidak ada kriteria jelas untuk memberikan preferensi pada satu obat
profilaksis kecuali jika ada komorbiditi atau kontraindikasi (termasuk risiko pada
kehamilan).
a. Antagonis β-Adrenergik
Antagonis β-Adrenergik adalah obat yang paling banyak
digunakan untuk profilaksis migrain. Propranolol, nadolol, timolol,
atenolol, dan metoprolol terbukti mengurangi frekuensi serangan sebesar
50% hingga 80% pasien. β-Blocker dengan aktivitas simpatomimetik
intrinsik ini tidak efektif untuk profilaksis migrain.
Mekanisme yang tepat dari tindakan antimigrain belum diketahui,
dapat meningkatkan ambang migrain dengan memodulasi neurotransmisi
adrenergik atau serotonergik di jalur kortikal atau subkortikal.
β-Blocker berguna pada pasien dengan kecemasan komorbiditas,
hipertensi, atau angina.
Contoh obat :

b. Antidepressan
Obat-obat antidepresan pada profilaksis migraine memiliki efek
menguntungkan yang tidak bergantung pada aktivitas antidepresan dan
mungkin terkait pada downregulation dari reseptor 5-HT2 pusat dan
reseptor adrenergic.
Beberapa jenis antidepresan antara lain Selective Serotonin
Reuptake Inhibitors (SSRI), Serotonin Norepinephrine Reuptake Inhibitor
(SNRI), Atypical Antidepressant, Tricyclic Antidepressants (TCA), dan
Monoamine Oxidase Inhibitors (MAOI).
Pada skema berikut digambarkan saraf terminal noradrenergic
(atas) dan serotogenik (bawah). SSRI, SNI, dan TCA meningkatkan
neurotransmitter noradrenergic atau serotogenik dengan memblok
norefinefrin atau transpoter serotogenik di terminal presinaps (NET,
SERT). MAOI menginhibisi katabolisme dari norefinefrin dan serotonin.
Beberapa anti depressan seperti trazodone dan obat lainnya
memiliki efek langsung pada reseptor serotogenik yang berkontribusi ke
efek klinis. Norefinefrn dan 5-HT juga meberikan efek ke neuron. Jika
menggunakan obat antidepressant terlalu lama maka akan muncul efek
adaptive.
Gambar . aksi kerja Obat Antidepressan
Contoh obat:
c. Antikonvulsan
Manfaatnya efek dari agen ini kemungkinan disebabkan oleh
beberapa mekanisme tindakan, termasuk peningkatan asam γ-
aminobutyric (GABA) - penghambatan mediasi, modulasi dari
neurotransmitter rangsang glutamat, dan penghambatan aktivitas saluran
ion natrium dan kalsium.
d. Methysergide
Merupakan alkaloid ergot semisintetik dan suatu antagonis
reseptor 5-HT2, akan tetapi aktivitas vasoconstrictor dan oxytoxicnya
lemah. Mekanisme kerja dari metisergid ini diduga menstabilisasi
neurotransmisi serotonergic pada sistem trigeminovaskular untuk
memblok perkembangan inflamasi neurogenic.
e. NSAID
NSAID digunakan untuk mencegah sakit kepala yang berulang
dalam pola yang dapat diprediksi, seperti migrain menstrual. Produksi
prostaglandin dapat meningkat pada wanita dengan migrain menstrual.
Mekanisme pencegahan NSAID ini  melibatkan penghambatan sintesis
prostaglandin.
Contoh obat

Algoritma Terapi Profilaksis


• Gejala profilaksis terdiri dari sakit kepala yang bisa diperediksikan
waktunya, hipertensi atau angina, depresi atau insomnia, kejang aatau
penyakit bipolar.
• Terapi profilaksis di berikan jika terapi pertama tidak memberikan
efek.
• Jika pasien sakit kepala pada saat menstruasi maka pasien diberikan
NSAID atau triptan, jika tidak memberikan efek maka diberikan
antagonis beta adrenergik, jika masih tidak berhasil maka diberikan
trisiklik anti depresan, jika tidak berhasil diganti dengan
antikonvulsan, jika masih tidak berhasil lakukan konsultasi kepada
dokter spesialis.
• Untuk hipertensi atau angina, depresi atau insomnia memiliki alur
yang mirip dengan sakit kepala akibat menstruasi.
• Sedangkan untuk kejang dan penyakit bipolar, diberikan obat
antikonvulsan, jika tidak berhasil diberikan obat antagonis beta
adrenergik, jika tidak memberikan efek dirujuk ke dokter spesialis.

2.4.3 TENSION-TYPE HEADACHES


a. Terapi Non-farmakologi
Dengan terapi psikofisiologi dan terapi fisik
Terapi psikofisiologi : terdiri dari konseling, manajemen stres, pelatihan relaksasi,
dan biofeedback. Pelatihan relaksasi dan pelatihan biofeedback (sendiri atau dalam
kombinasi) dapat menghasilkan pengurangan 50% dalam aktivitas sakit kepala.
Pilihan terapi fisik : heat or cold packs, ultrasound, stimulasi saraf listrik, peregangan,
olahraga, pijat, akupunktur.

b. Algoritma Terapi Abortif dan Profilaksis


• Sama seperti algoritma tipe sebelumnya bahwa , Algoritma terapi Tension-type
headache (TTH) didahului dengan menentukan apakah sakit kepala yang dialami
pasien termasuk kategori TTH atau bukan.
• Jika pasien mengalami sakit kepala jenis TTH dalam waktu yang belum terlalu
lama, maka di berikan pengobatan akut (Aspirin, NSAID, Midrin, dan
Acetaminophen).
• Jika terapinya sukses , maka hal selanjutnya adalah menentukan apakah pasien
tersebut perlu diberikan treatment profilaksis atau tidak. Jika tidak, maka terapi
dianggap selesai
• Jika perlu, maka diberikan Amitriptyline, TCA, Venfalaxine XR, dan Adjunctive
therapy.
• Kemudian kita lihat apakah treatment profilaksis tersebut berhasil atau tidak.
• Jika berhasil, maka kita lanjutkan terapi tersebut sedangkan jika tidak berhasil,
kita berikan treatment profilaksis yang lain.
• Sedangkan jika dari awal terapi tidak sukses, maka pasien langsung diberikan
tratment profilaksis namun selain obat Amitriptyline, TCA, Venfalaxine, dan
Adjunctive therapy).

2.4.4 CLUSTER HEADACHES


Algoritma Terapi Abortif dan Profilaksis
• Terlebih dahulu ditentukan apakah pasien termasuk pada gejala cluster atau
tidak, jika iya maka tentukan apakan gejala tersebut termasuk kedalam siklus
cluster.
• Jika pasien tidak termasuk dalam siklus tipe cluster, maka diberikan edukasi
serta konsultasi terlebih dahulu mengenai penyakit tersebut.
• Jika pasien termasuk dalah siklus cluster maka diberikan pengobatan akut
berupa oksigen, Sumatriptan SQ dan intranasal, Zolmatriptan intranasal, DHE,
pengobatan profilaksis lalu bridging treatment dan maintenance prophylaxis.
• Jika terapi sukses maka lanjutkan terapi tersebut, jika tidak lanjutkan dan
memodifikasi pengobatan akut dan profilaksisnya jika masih tidak
memberikan efek maka pasien harus dirujuk pada dokter spesialis.
2.5 Mekanisme Keja Obat
A. Triptan (Agonis Reseptor Serotonin)
Triptan atau agonis reseptor serotonin (5-HT1 reseptors) digunakan sebagai terapi
lini pertama untuk pasien migrain sedang hingga berat atau terapi penyelamatan ketika
pengobatan non-selektif tidak efektif. Generasi pertama dari triptan yaitu sumatriptan,
dan generasi keduanya yaitu zolmitriptan, naratriptan, rizatriptan, almotriptan,
frovatriptan, dan eletriptan yang merupakan agonis selektif reseptor 5-HT1B dan 5-HT1D.

Gambar . Struktur Kimia Beberapa Generasi Triptan

Triptan melegakan migrain dengan cara (1) normalisasi dilatasi arteri intrakranial;
(2) menghambat peripheral neuronal; dan (3) menghambat transmisi yang melalui
second-order neurons kompleks trigeminoservikal. Triptan juga mempunyai aktivitas
terhadap reseptor 5-HT1A, 5-HT1E, dan 5-HT1F.
Gambar . Tabel Famakokinetika dari beberapa jenis Triptan

Efek samping dari Triptan ini yaitu kesemutan, fatigue (kelelahan), dizziness
(pusing), flushing (kemerahan), warm sensations (rasa hangat), somnolent (mengantuk),
vasospasme arteri koroner, iskemia miokard sementara, dan aritmia vetrikular (jarang
terjadi). Kontraindikasi dari triptan yaitu penyakit iskemik jantung, hipertensi tidak
terkontrol, penyakit serebrovaskular, serta migrain hemiplegik dan basilar. Interaksi obat
triptan yaitu triptan tidak boleh diberikan dalam 24 jam bersamaan dengan derivat
ergotamin; pemberian sumatriptan, rizatriptan, dan zolmitriptan dalam 2 minggu
pengobatan dengan monoamine oxidase inhibitors (MAO inhibitor) tidak
direkomendasikan; pengobatan bersamaan dengan selective serotonin reuptake inhibitors
(SSRIs) atau serotonin-norepinephrine reuptake inhibitors (SNRIs) (misalnya duloxetine,
venlafaxine, dan sibutramine) dapat menyebabkan sindrom serotonin.

B. Antagonis Beta Adregenik


Beta blocker atau Antagonis Beta Adregenik digunakan kebanyakkan untuk
pengobatan preventif dari migrain. Beta blocker dilaporkan dapat mengurangi frekuensi
kejadian hingga 50% pada 60-80%. Beberapa contoh beta blocker yaitu Propanolol,
Nadolol, Timol, dan Metoprolol. Beta blocker terdiri dari beberapa jenis yaitu Generasi
Pertama Non Selektif, Generasi Kedua Beta 1 Selektif, Generasi Ketiga Non Selektif,
Generasi Ketiga Beta 1 Selektif. Beta blocker sendiri merupakan obat lini pertama pada
kasus hipertensi atau takikardia. Beta blocker dengan aktivitas intrinsik simpatomimetik
(seperti asebutolol, alprenolol, axprenolol, dan pindolol) tidak efektif untuk pencegahan
migrain.
Farmakodinamik dari beta blocker ini yaitu menghambat pengikatan norepinefrin
dan epinefrin dengan reseptornya. Hal ini menyebabkan efek simpatis normal terhambar
dan terjadi dilatasi pembuluh darah dan penurunan denyut jantung. Pada profilaksis
migrain, mekanisme kerja dari beta bloker sendiri belum terlalu dipahami.

Gambar . Tabel Famakokinetika dari beberapa jenis Beta Blockers


Gambar . Tabel data dosis pemakaian obat golongan Beta Blockers

Efek samping meliputi mengantuk, kelelahan, gangguan tidur,, gangguan memori,


depresi, disfungsi seksual, bradikardia, dan hipotensi. Beta Blocker harus digunakan
dengan hati-hati pada pasien dengan gagal jantung, penyakit vaskular perifer, gangguan
konduksi atrioventrikular, asma, depresi, dan diabetes.

C. Antidepresan
Dikarenakan salah satu penyebab sakit kepala adalah kekurangan kadar NE dan
serotonin, mekanisme kerja dari obat antidepresan secara garis besar adalah
meningkatkan serotonin dan NE dalam otak. adrenergic. Beberapa jenis antidepresan
antara lain Tricyclic Antidepressants (TCA), Selective Serotonin Reuptake Inhibitors
(SSRI), Serotonin Norepinephrine Reuptake Inhibitor (SNRI), Atypical Antidepressant,
dan Monoamine Oxidase Inhibitors (MAOI).
a. Tricyclic Antidepressants (TCA)
TCA memiliki mekanisme aksi inhibsi dari reuptake neurotransmitter dimana TCA
dan amoxapine (senyawa tetrasiklik) merupakan inhibitor poten dari reuptake
neuronal NE dan Serotonin kepada saraf terminal presinapsis dan memblok reseptor
serotonergic, α-adrenergik, histamin, dan muskarinik. Contoh obat dari TCA adalah
amitriptilin (AMT) yang juga adalah pengobatan profilaksis migraine yang paling
dipelajari.

Farmakokinetika untuk obat TCA


a) Absorpsi
TCA diabsoprsi denganbaik pada pemberian oral.
b) Distribusi
TCA bersifat lipofilik sehingga dapat terdistribusi secara luass dan mampu
berpenetrasi ke sistem saraf pusat.
c) Metabolisme
TCA dimetabolisme di hati melalui first pass effect sehingga bioavalibilitas
tidak konsisten dan rendah.
d) Ekskresi
TCA dieksresikan sebagai metabolit inaktif lewat ginjal.

Indikasi, Efek Samping, dan Kontraindikasi

TCA diindikasikan untuk mengobati moderate hingga severe depression, panic


disorder. Amitrptiline sendiri diindikasikan untuk migraine dan sindrom nyeri kronik.
Dosis amitrptilinie yaitu 25-150 mg sebelum tidur. Efek samping yang dihasilkan
oleh TCA yaitu penglihatannya kabur, xerostomia, retensi urin, sinus takikardia,
kosntipasi, dan perparahan angle-closure glaucoma, hipotensi orthostatic, pusingm
dan reflex takikardi. Kontraindikasi dari TCA yaitu pemberian bersama cisapride
dapat menyebabkan perpanjangan interval QT yang dapat menyebabkan peningkatan
risiko aritmia, pemberian bersama MAOI yang menyebabkan krisis hiperpiretik,
konvulsi parah, kematian.
b. Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRI)
SSRI memiliki mekanisme kerja berupa blok ambilan kembali serotonin pada
terminal presinaptik sehingga hasilnya berupa peningkatan dan perpanjangan
neurotransmisi dari serotonergik. Sebagai contoh untuk obat SSRI yaitu fluoxetine.
SSRI tidak seefektif obat preventif migraine konvensional lainnya, terutama TCA,
mereka dapat digunakan pada pasien dengan depresi komorbid ketika terapi
konvensional lain gagal. SSRI juga menormalisasi perubahan neurofisiologikal pada
pasien migraine. Fluoxetine menormalisasi VEP atau visual evoked potential,
kemungkinan dengan meningkatkan adanya 5-HT pada batang otak.

Farmakokinetika untuk SSRI yaitu


a) Absorpsi
SSRI diabsorpsi dengan baik pada pemberian orak dan peak level terlihat kira-
kira 2-8 jam. Makanan tidak memiliki efek besar pada absorpsi.
b) Distribusi
SSRI dimetabolisme oleh CYP2D6 dan merupaka inhibitor yang cukup poten
pada isoenzim ini.
c) Metabolisme
Waktu paruh SSRI sekitar 16-36 jam.
d) Ekskresi
e) Metabolit aktifnya memiliki waktu paruh yang cukup panjang sekitar 10 hari

Indikasi, Efek Samping, dan Kontraindikasi

SSRI diindikasikan untuk depresi mayor, anxiety, panik, premenstrual dysphoric


disorder, Obsessive-Compulsive Disorder, dan PTSD yang menggunakan sertraline
dan paroxetine. Dosis dari Fluoxetine sendiri yaitu 10-80 mg/hari. Efek samping dari
SSRI yaitu mual, penurunan libido dan fungsi seksual, insomnia, mengantuk, dan
anxiety. Kontraindikasinya yaitu penggunaan bersama MAOI, pimozide, atau
thioridazine. SSRI berbahaya apabila dikombinasikan dengan MAO inhibitor kaena
dapat meningkatkan serotonin yang menyebabkan sindrom serotonin dimana
gejalanya yaitu hipertermia, kekakuan otot, kejang, gangguan perilaku, dan gangguan
tanda vital.

c. Serotonin Norepinephrine Reuptake Inhibitor (SNRI)


SNRI memiliki mekanisme kerja menghambat reuptake serotonin dan
norepinefrin. SNRI digunakan untuk pasien yang tidak terobati oleh SSRI. Sebagai
contoh untuk obat SSRI yaitu venlafaxine dan duloxetine.

Gambar 1. Mekanisme kerja venlafaxine dan duloxetine

d. Monoamine Oxidase Inhibitors (MAOI)


Mekanisme kerja MAOI, seperti phenelzine yaitu membentuk kompleks stabil
dengan enzim, menyebabkan inaktivasi ireversibel. Hal ini menyebabkan peningkatan
penyimpanan dari NE, serotonin, dan dopamin dalam neuron dan selanjutnya difusi
dari neurotransmitter berlebih ke dalam ruang sinaptik.
Farmakokinetika MAOI yaitu
a) Absorpsi
MAOI diabsorpsi dengan baik pada pemberian oral.
b) Metabolisme
MAOI dimetabolisme secara ekstensif di hati.
c) Ekskresi
Ekskresi MAOI cepat dan melalui urin.

Indikasi, Efek Samping, dan Kontraindikasi

MAOI diindikasikan untuk pasien depresi yang tidak responsif atau alergi
terhadap TCA dan SSRI atau mengalami ansietas kuat, dan untuk atypical depression.
Dosis dari Phenelzine yaitu 15-60 mg/hari dengan dosis terbagi. Efek sampingnya
yaitu mengantukm hipotensi othostatic, penglihatan kabur, mulut kering, dan
konstipasi. Kontraindikasi dari MAOI ini yaitu gagal jantung kongestif, operasi
dengan anestesi umumnya saat atau dalam 10 hari dari terapi phenelzine sulfat yang
mengakibatkan peningkatan efek hipotensi, penyakit hati atau fungsi hati abnormal,
dan penyakit ginjal.
D. Antikonvulsan
Mekanisme kerja antikonvulsan adalah sebagai peningkat GABA - inhibisi yang
diperantarai, modulasi dari neurotransmitter glutamat rangsang, dan penghambatan
aktivitas kanal ion Na dan Ca. Sebagai contoh untuk obat antikonvulsan yaitu
gabapentin, topiramat, dan sodium divalproex.

E. Metisergid
Metisergid merupakan ergot semisintetik yang antagonis reseptor 5-HT2 poten.
Mekanisme kerja dari metisergid ini diduga menstabilisasi neurotransmisi
serotonergic pada sistem trigeminovaskular untuk memblok perkembangan inflamasi
neurogenik.
Metisergid diindikasikan untuk retroperitroneal, endokardial, dan komplikasi
pulmonary fibrotic, serta digunakan pada pasien sakit kepala refraktori yang tidak
merespons terhadap terapi preventif manapun. Dosis untuk metisergid yaitu 2-8
mg/hari dalam dosis terbagi dengan makanan. Efek samping yang dihasilkan oleh
metisergid yaitu mual, insomnia, mimpi buruk, halusinasi, dan keram otot, ataksia,
dan rasa terbakar pada dada. Kontraindikasi metisergid yaitu terhadap wanita hamil
karena menimbulkan distress fetal, pasien yang menderita penyakit vaskular perifer,
penyakit arteri koroner, hipertensi serta kegagalan fungsi hati atau renal.
F. Analgesik
Pengobatan yang paling umum digunakan untuk terapi akut sakit kepala salah satunya
adalah obat golongan analgesik. Obat golongan ini akan meningkatkan sensitifitas
dari saraf nosiseptor. Secara umum analgesic dibedakan menjadi :

Opioid

Analgesik
Analgesik antipiretik

Non-Opioid

NSAID
Analgesik antipiretik
 Acetaminophen
Acetaminophen merupakan analgesic sederhana yang umum digunakan untuk
pengobatan sakit kepala. Biasanya penggunaan acetaminophen dikombinasikan
dengan caffeine.
- Penggunaan terapi
 Dosis
325 – 1000 mg setiap 4 – 6 jam.
 Indikasi
Pengobatan nyeri ringan sampai sedang.
 Kontraindikasi
Pasien alergi terhadap obat AINS; penderita hepatitis, gangguan hati atau
ginjal, alkoholisme. Tidak boleh diberikan secara berulang kepada pasien anemia,
gangguan jantung, paru, dan ginjal.
- Farmakokinetika
 Absorbsi : cepat diabsorbsi pada saluran pencernaan
 Distribusi : -
 Metabolisme : menggalami First Pass Elimination (FPE) dalam hati. Membentuk
metabolit melalui proses glukoronidasi dan sulfatasi
 Ekskresi : diekskresikan melalui urin
- Efek Samping
Dalam dosis besar memungkinkan terjadinya depleted glutathione pada hati.
Interaksi antara NAPQI dan sulfihidril membentuk ikatan kovalen. Hepatic
necrosis, hepatotoksisitas.
NSAIDs
Mekanisme kerja golongan NSAIDs adalah menghambat kerja dari enzim
siklooksigenase (COX) baik COX-1 maupun COX-2. COX merupakan enzim yang
berperan penting dalam jalur metabolisme asam arakhidonat dan bertanggung jawab atas
biosintesis prostaglandin. Penghambatan pada COX-2 mengakibatkan adanya aksi
analgesik, antipiretik, dan anti-inflamasi sedangkan penghambatan pada COX-1
mengurangi efek samping pada saluran pencernaan.
Dalam terapi sakit kepala akut NSAIDs memiliki mekanisme mencegah proses
inflamasi pada system trigeminovaskular dengan cara menghambat sintesis
prostaglandin. Umumnya digunakan untuk pengobatan :
- Mild to moderate migraine
- Mild to moderate tension-type
Penggunaan NSAIDs dapat dikombinasikan dengan acetaminophen dan caffeine
atau dikenal dengan kombinasi miridin. Kombinasi tersebut menunjukan efek yang
konsisten dalam menghilangkan nyeri pada kondisi akut migraine. NSAIDs juga dapat
digunakan sebagai profilaksis dari sakit kepala periodic, seperti sakit kepala saat
menstruasi. Beberapa contoh obat golongan NSAIDs yang dapat digunakan dalam terapi
akut sakit kepala beserta penggunaan terapi dan farmakokinetikanya dijelaskan dibawah
ini
 Ibuprofen
Ibuprofen merupakan obat golongan AINS yang umum digunakan untuk
pengobatan sakit kepala.
- Penggunaan terapi
 Dosis
200 – 800 mg tiap 6 jam.
 Indikasi
Pengobatan nyeri ringan sampai sedang, demam.
 Kontraindikasi
Pasien Ulcer disease, Ibu hamil, Hipersensitifitas Ibuprofen atau NSAID lainnya
- Farmakokinetika
 Absorbsi : Mudah dicerna melalui saluran pencernaan
 Distribusi : 90-99% terikat di protein plasma
 Metabolisme : Terjadi di hati
 Ekskresi : Diekskresikan melalui urin dalam bentuk utuh dan metabolit inaktif
- Efek Samping
 Trombosit-openia
 Ruam
 Inflamasi saluran pencernaan
 Pandangan kabur
 Nyeri dada dan sesak
 Aspirin
- Penggunaan terapi
 Dosis
500 – 1000 mg tiap 4-6 jam.
 Indikasi
Pengobatan nyeri ringan sampai sedang, demam.
 Kontraindikasi
Pasien Ulcer disease, Ibu hamil, Anak dibawah 12 tahun dan anak sedang
disusui, Hemofilia
- Farmakokinetika
 Absorbsi : Di saluran cerna (lambung dan usus halus), Kadar puncak dalam
plasma tercapai dalam 1-2 jam
 Distribusi : 80-90% terikat dengan protein pasma
 Metabolisme :
- Aspirin dihidrolisis jadi asam salisilat di GIT dan sirkulasi darah
- Waktu paruh : 2-4,5 jam ( dosis terapetik); 18-36 jam (dosis berlebih)
- 80% asam salisilat pada dosis kecil dimetabolis di hepar
 Ekskresi : Melalui ginjal sebanyak 5,6-35,6%, Waktu paruh eliminasi 15-20
menit
- Efek Samping
 Gangguan pencernaan
 Gastric and duodenal ulcer
 GI bleeding
 Naproxen
- Penggunaan terapi
 Dosis
550 – 825 mg; 220 mg tiap 3 – 4 jam.
 Indikasi
Pengobatan nyeri ringan sampai sedang, demam.
 Kontraindikasi
Pasien yang mempunyai riwayat alergi dan masalah ginjal, Ibu hamil.
- Farmakokinetika
 Absorbsi : Mudah dicerna melalui saluran pencernaan
 Distribusi : Protein plasma mengikat sekitar 25%, Didistribusikan ke jaringan
tubuh melintasi plasenta dan memasuki ASI
 Metabolisme : Mengalami glukuronidasi (45-55%) dan sulfasi (30-35%) di hati
 Ekskresi : 80% diekskresikan via urin dan sekitar 3% diekskresikan dalam bentuk
utuh
- Efek Samping
 Sakit perut  Penglihatan kabur
 Diare  Telinga terasa berdengung
Analgesik Opioid
Obat golongan ini digunakan jika pengobatan dengan analgesic non-opioid
tidak menyembuhkan atau jika ada kontraindikasi dengan obat tersebut. Mekanisme
kerja obat golongan ini pada terapi sakit kepala yaitu menutup kanal ion Ca2+ pada
saraf prasinaps sehingga menghambat kalsium ke dalam sel sehingga mengurangi dan
menghambat pelepasan neurotransmitter (glutamat), asetilkolin, serotonin, dan
substansi P yang menyebabkan transmisi rangsang nyeri menjadi terhambat. Opioid
juga mendorong hiperpolarisasi neuron postsinaps dengan cara membuka kanal K+.
Salah satu contoh obat yang digunakan yaitu morfin.
 Morfin
- Penggunaan terapi
 Dosis
- Oral, sublingual, buccal: 5-30 mg (3-4 jam jika diperlukan)
- Tablet lepas lambat: Dosis max. 1600 mg oral/hari
- Intravena : 1-2,5 mg
 Indikasi
Menghilangkan rasa sakit pada pasien yang memerlukan analgesik opioid.
 Kontraindikasi
Pasien Hipersensitivitas, Depresi pernapasan, Asma bronkial, Kerusakan
gastrointestinal, Gagal jantung.
- Farmakokinetika
 Absorbsi : Mudah dicerna melalui saluran pencernaan. Bioavailabilitas 30%
 Distribusi : Vd = 1-6 L/kg
 Metabolisme :
- 90% di hati.
- Dikonversi ke bentuk dihidromorfin, normorfin, morfin-3-glukoronida, dan
morfin-6-glukoronida.
- Hampir semua dikonversi menjadi metabolit glukoronida, hanya 5% yang
dimetilasi.
 Ekskresi : 7-10% diekskresi melalui feses, Cl = 20-30 mL/menit.
- Efek Samping
 Mual dan muntah
 Konstipasi
 Depresi pernapasan
G. Ergotamine dan derivatnya
Ergotamine dan derivatnya merupakan terapi akut sakit kepala golongan
agonis serotonin (5HT1), yang akan meningkatkan level dari serotonin. Mekanisme
kerja golongan ergotamine dan derivatnya yaitu mengaktivasi reseptor non selektif
agonis 5-HT1 sehingga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah intracranial
atau menghambat pelepasan proinflamasi neurogenic pada sistem
trigeminovaskular. Golongan ini bekerja di vena dan arteri. Terdapat dua jenis
yaitu ergotamine tartat dan dihidroergotamin. Ergotamine tartat lebih poten pada
arteri dibandingkan dengan dihidroergotamin.
- Ergotamine tartat
Dapat diberikan melalui oral, sublingual, dan rektal. Pada pemberian oral
dan rektal untuk meningkatkan absorpsi dan potensi analgesic biasanya
dikombinasikan dengan caffeine.
- Dihidroergotamin :
Dapat diberikan secara intranasal, intramuscular, subkutan, dan intravena.
Dihidroergotamin relative lebih aman dan efektif dibandingkan dengan terapi
akut migraine yang lainnya.
Obat ergotamine dan derivatnya digunakan untuk pengobatan moderate to
severe migraine dan moderate to severe cluster (terapi akut dan pencegahan). Dosis
yang digunakan untuk terapi pencegahan yaitu 2 mg/hari, baik dikombinasikan
maupun tidak dengan verapamil memiliki kerja efektif mencegah sakit kepala.
 Dosis
- Oral, sublingual, buccal: 5-30 mg (3-4 jam jika diperlukan)
- Tablet lepas lambat: Dosis max. 1600 mg oral/hari
- Intravena : 1-2,5 mg
 Kontraindikasi
Pasien dengan gagal ginjal dan hati, penyakit pada pembuluh darah
perifer dan serebral, hipertensi tak terkontrol, sepsis, dan pada wanita hamil.
Dihidroergotamin tidak menyebabkan nyeri kepala, tetapi dosis yang
digunakan untuk ergotamine tartrat harus dipantau untuk mencegah berbagai
komplikasi.
 Interaksi obat
- Alkaloid ergot tidak boleh digunakan dalam 24 jam apabila sedang
mengonsumsi triptan dan obat lain yang menyebabkan vasokonstriksi.
- Terjadi vasospasme parah seiring terapi dengan ergotamine dan protease
inhibitor. Hal ini terjadi karena efek inhibisi oleh inhibitor protease pada
isoenzim sitokrom P450 3A4 (CYP3A4) dan meningkatnya kadar
ergotamin dalam darah.
 Efek Samping
 Mual dan muntah, oleh karena itu penggunaan sebaiknya dibersamai
dengan golongan antiemetic
 Abdominal pain
 Lemas, kelelahan
 Kesemutan
 Nyeri otot
 Diare
 Sesak.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Sakit kepala atau cephalgia adalah sakit yang dirasakan di daerah kepala atau
merupakan suatu sensasi tidak nyaman yang dirasakan pada daerah kepala (Goadsby, 2002).
Sakit kepala dibagi menjadi sakit kepala primer dan sekunder. Sakit kepala primer terbagi
menjadi migrain, Tension type headache, dan cluster headache. Sedangkan sakit kepala
sekunder merupakan sakit kepala yang terjadi akibat penyakit tertentu seperti sakit kepala
thunderclap dan sakit kepala spinal. Patofisiologi mingrain terjadi dikarenakan aktivitas
sistem trigeminovaskular. Dimana aktivasi tersebut memicu pelepasan neuropeptida vasoaktif
seperti CGRP,neurokinin A, dan substansi P, dari akson perivaskular. Kenaikan serotonin
diduga sebagai penyebab aktivasi sistem trigeminovaskular. Pelepasan neuropeptida
berinterkasi dengan pembuluh darah dural untuk mempromosikan vasodilatasi dan
extravasation plasma dural, menyebabkan inflamasi neurogenik. Sedangka untuk Cluster dan
tension type headache masih belum diketahui secara pasti patofisiologisnya.

Strategi terapi dibagi menjadi terapi abortif (akut) dan terapi profilaksis (preventif).
Terapi abortif dimulasi saat terjadi serangan. Contoh obat terapi abortif adalah analgesik yang
berperah menghambat COX sehinga mengurangi sintesis prostaglandin. Selain itu ada triptan
sebagai agonis reseptor serotonin selektif dan ergot sebagai agonis reseptor 5-HTI non-
selektif. Untuk terapi profilaksis dapat digunakan NSAID untuk menangani migrain yang
disebabkan haid.

DAFTAR PUSTAKA

1. Dipiro.JT., 2009, Pharmacoterapy Handbook 7th edition, Mc Graw Hill, New York
2. Katzung, B. G., Masters, S. B., & Trevor, A. J. (2012). Basic & clinical
pharmacology (12th ed.). New York ; New Delhi: TataMcGraw-Hill education.
3. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2740949/ diakses pada 7 oktober
2018
4. Whalen, Karen. Lippincott Illustrated Reviews, Pharmacology.

Anda mungkin juga menyukai