Anda di halaman 1dari 5

Memahami dan menguasai konteks hukum zakat berdasarkan

undang-undang Republik Indonesia tentang pengelolaan zakat.

1. Menganalisis konteks sosial-historis dibentuknya undang-


undang Republik Indonesia tentang pengelolaan zakat
2. Menganalisi Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan zakat

1. Konteks sosial-historis dibentuknya undang-undang


Republik Indonesia tentang pengelolaan zakat
2. Point-point penting Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011
tentang Pengelolaan Zakat

1
URAIAN MATERI

A. Konteks Sosial-Historis Undang-undang Republik Indonesia tentang


Pengelolaan Zakat
Penting mempelajari konteks sosial historis terkait pembentukan Undang-
undang Pengelolaan Zakat Nomor 23 tahun 2011. Konteks ini akan membantu situasi
dan kondisi eksternal yang tidak tercantum di dalam teks undang-undang itu sendiri.
Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat resmi diundangkan
dan masuk dalam Lembaran Negara Republik Indonesia bernomor 115 setelah
ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 25 November
2011. Ini momen sejarah yang menandai Indonesia masuk dalam fase berikutnya.
Yang penting diketahui adalah UU RI No. 23 Tahun 2011 menggantikan UU RI
No. 28 Tahun 1999. Pengelolaan zakat pun memiliki sistem pengaturan dan tata kelola
yang berbeda dari sebelumnya. Secara umum dapat dikatakan bahwa struktur Undang-
Undang RI No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat terdiri dari 11 bab dengan
47 pasal. Bahkan, untuk mengantisipasi segala bentuk penyelewengan kekuasaan
dan wewenang, UU RI No. 23 Tahun 2011 mencantumkan juga ketententuan pidana
dan ketentuan peralihan. Dengan adanya ketentuan pidana maka setiap tindak
penyelewengan dana zakat dapat dikenakan hukuman pidana.
Terbitnya UU RI No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat sangat positif
karena negara dan pemerintah mengharapkan maksimalisasi pendayagunaan dan hasil
guna pengelolaan zakat, infaq, dan sedekah di Indonesia. Harapan ini berlandaskan
pada pemikiran bahwa pengelolaan zakat pada saat menggunakan payung hukum UU
RI No. 38 Tahun 1999 dirasakan kurang optimal. Tentu nanti kita akan dilihat aspek-
aspek yang dinilai kurang optimal tersebut. Salah satu aspek yang dinilai kurang
optimal adalah UU RI No. 38 Tahun 1999 kurang mampu menjawab permasalahan
zakat di tanah air. Pasal-pasal yang termaktub di dalamnya sudah tidak sesuai dengan
perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga butuh pembaharuan. UU
RI No. 23 Tahun 2011 adalah bentuk revisi pada aspek-aspek tertentu dan tetap
memberlakukan pasal-pasal yang dirasa masih relevan.
Secara kronologis dapat dikatakan bahwa hari Senin, 28 Maret 2011 adalah
tonggak sejarah luar biasa. Rapat Kerja antar Komisi VIII DPR RI dengan Pemerintah
menghasilkan pembahasan rancangan undang-undang tentang pengelolaan zakat,
infaq, dan sedekah. Hari dan tanggal ini sudah disepakati bersama pada masa persi-
dangan III tahun sidang 2010-2011. Selain itu, masa persidangan III ini juga menge-
sahkan panitia kerja (Panja) RUU tentang pengelolaan zakat, infaq, dan sedekah.
Hal yang perlu diketahui adalah pembahasan RUU melalui rapat dengar
pendapat (RDP) Panja Komisi VIII DPR RI dengan pemerintah dilakukan sebanyak 7
(tujuh) kali. Dengan kata lain, ini betul-betul kerja keras pemerintah dalam menggodok
aturan hukum negara yang menyangkut persoalan penting dalam agama. Sebab,
sekalipun zakat adalah rukun Islam, tetapi posisi dan perannya sangat urgen bagi

2
kehidupan bangsa dan negara. Pembahasan RUU juga dilakukan melalui Rapat
Konsinyering sebanyak 2 (dua) kali, terhitung mulai tanggal 28 Maret 2011 sampai 17
Oktober 2011.
Pada Rapat Konsiyering yang dilakukan di hari Jumat, 18 Juni 2011 pukul 21.00,
subtansi RUU tentang pengelolaan zakat, infaq, dan sedekah dicermati dengan betul
dan sangat serius. Panja Komisi VIII DPR RI dan Panja Pemerintah bersepakat untuk
mengubah judul RUU tentang Pengelolaan Zakat, Infaq, dan Sedekah menjadi
Racangan Undang-Undang tentang Pengelolaan Zakat.
Sedangkan judul Pengaturan Pengelolaan Zakat, Infaq, dan Sedekah dan Dana
Sosial Keagamaan Lainnya disepakati untuk diatur sebagai norma tambahan (extra
norms). Hal itu kemudian terlihat sebagaimana dalam rumusan RUU tentang
Pengelolaan Zakat Pasal 28 ayat (1), (2), (3). Kerja maraton dari Panja VIII DPR RI
dan Panja Pemerintah menghasilkan keputusan yang luar biasa. Undang-undang yang
baru berhasil diterbitkan.
Gedung Nusantara I DPR seakan menjadi saksi bisu berlangsungnya Rapat Kerja
Komisi VIII DPR dengan Pemerintah, yang terdiri dari Menteri Agama, Menteri
Keuangan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Rapat ini yang bertujuan untuk meengambil Keputusan Tingkat I terhadap RUU
tentang Pengeloaan Zakat dipimpin Ketua Komisi VIII, Abdul Kadir Karding. Orang-
orang inilah yang menjadi saksi sejarah terbentuknya undang-undang baru pengelola-
an zakat bernomor 23 tahun 2011 yang kita pakai sampai saat ini.
Pada waktu itu, RUU tentang Pengelolaan Zakat ini yang diajukan ke Sidang
Paripurna Dewan berdasarkan persetujuan dari seluruh fraksi yang ada di Komisi
VIII saat Pengambilan Keputusan Tingkat I terhadap RUU tentang Pengelolaan
Zakat. Komisi VIII menjadi ruang dimana juru bicara dari tiap-tiap fraksi partai politik
mengutarakan pandangan mereka. Undang-undang baru bertahun 2011 ini adalah
rumusan pemikiran partai politik yang utusannya berada di Komisi VIII.
Salah satu juru bicara fraksi Partai Demokrat yang bisa dikutip di sini adalah
Nany Sulistyani Herawati. Tanpa mengecilkan kontribusi dan peran partai lain, Nany
Sulistyani Herawati mengusulkan hendaknya pendekatan dalam pengelolaan zakat
sebaiknya lebih difokuskan pada perspektif pemberdayaan dan bersifat jangka panjang
dibanding bersifat santunan dan sementara. Pernyataan ini dapat diartikan sebagai
kritik atas UU RI Nomor 38 Tahun 1999 yang dinilai lebih mengedepankan spirit
santunan. Sebaliknya, undang-undang baru tahun 2011 lebih mengarah pada produkti-
vitas pengelolaan dana zakat.

B. Point-point Penting Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2011 tentang


Pengelolaan Zakat
Dengan terbitnya UU RI Nomor 23 Tahun 2011 ini, tentu ada poin-poin penting
yang membuatnya berbeda dari undang-undang sebelumnya yang bernomor 38 Tahun
1999 tentang Pengelolaan Zakat. Berikut ini poin penting perubahan yang ada

3
1. Tujuan yang Berorientasi Penanggulangan Kemiskinan
Penting dicermati bahwa UU RI No. 23 Tahun 2011 lebih berorientasi pada
peningkatan kesejahteraan dan penanggulangan kemiskinan. Hal itu terlihat dari Pasal
3 tentang Pengelolaan zakat bertujuan: a) meningkatkan efektivitas dan efisiensi
pelayanan dalam pengelolaan zakat; dan b) meningkatkan manfaat zakat untuk
mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan.
Adapun tujuan UU RI No. 38 Tahun 1999 Pasal 5 tentang Pengelolaan Zakat
adalah:
a. Meningkatnya pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan
tuntunan agama;
b. Meningkatnya fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan
kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial, dan
c. Meningkatnya hasil guna dan daya guna zakat.
Kalimat “penanggulangan kemiskinan” hanya ada pada UU RI Tahun 2011 dan
tidak ada pada UU RI Tahun 1999. Walaupun pada UU lama dan baru sama-sama
mencantumkan kalimat “mewujudkan kesejahteraan sosial”. Penanggulangan kemis-
kinan ini sangat membuka peluang kreativitas pengelolaan dan pemanfaatan dana
zakat.
2. Manajemen yang Lebih Tertata
Dalam UU RI Tahun 2011 terdapat pendetailan sistem kerja. Misalnya, pada
Bagian Kedua Bab Keanggotaan Pasal 8, 9, 10, dan 11 terdapat ungkapan tentang
rekrutmen anggota BAZNAS secara profesional demi mencari para pengelola yang
kompeten. Selain itu, pada Bagian Keempat Bab Lembaga Amil Zakat (LAZ) Pasal
17 ada aturan bahwa untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan,
pendistribusian, dan pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk LAZ.
Manajemen yang lebih tertata rapi semacam ini tidak terdapat dapat UU RI Tahun
1999.

3. Pendayagunaan yang Lebih Produktif


Konsep pendayagunaan dana zakat yang lebih produktif terdapat pada undang-
undang baru. Undang-undang baru tahun 2011 Bagian Ketiga bab Pendayagunaan
Pasal 27 berbunyi:
a. Zakat dapat didayagunakan untuk usaha produktif dalam rangka penanganan fakir
miskin dan peningkatan kualitas umat;
b. Pendayagunaan zakat untuk usaha produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan apabila kebutuhan dasar mustahik telah terpenuhi;
c. Ketentuan lebih lanjut mengenai pendayagunaan zakat untuk usaha produktif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Coba bandingkan dengan undang-undang lama tahun 1999 Bab V Pendayagu-
naan Zakat Pasal 16 yang berbunyi:

4
a. Hasil pengumpulan zakat didayagunakan untuk mustahiq sesuai dengan ketentuan
agama;
b. Pendayagunaan hasil pengumpulan zakat berdasarkan skala prioritas kebutuhan
mustahiq dan dapat dimanfaatkan untuk usaha yang produktif;
c. Persyaratan dan prosedur pendayagunaan hasil pengumpulan zakat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan keputusan menteri
Dari sini kita dapat melihat bahwa undang-undang tahun 2011 lebih produktif dan
visioner dibanding undang-undang tahun 1999
4. Keterlibatan Aktif Masyarakat dalam Pengawasan Pengelolaan oleh
Lembaga
Ini penting dipahami bahwa undang-undang baru tahun 2011 lebih memungkin-
kan masyarakat untuk pro aktif dalam mengontrol pengelolaan dan pendayagunaan
dana zakat. Hal itu dijamin dalam Bab VI Peran Serta Masyarakat Pasal 35 ayat 1 yang
berbunyi, “Masyarakat dapat berperan serta dalam pembinaan dan pengawasan
terhadap BAZNAS dan LAZ”. Dalam undang-undang lama tahun 1999, keterlibatan
masyarakat untuk ikut kontrol tidak tersalurkan.

Anda mungkin juga menyukai