Anda di halaman 1dari 10

I.

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang


Wilayah pesisir memiliki nilai strategis karena merupakan wilayah peralihan
antara ekosistem darat dan laut, serta memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa
lingkungan yang sangat kaya. Kekayaan sumberdaya tersebut menimbulkan daya
tarik berbagai pihak untuk memanfaatkan sumberdayanya dan berbagai instansi untuk
meregulasi pemanfaatannya. Kekayaan sumberdaya pesisir di Indonesia meliputi
pulau-pulau besar dan kecil sekitar 17.500 pulau, yang dikelilingi ekosistem pesisir
tropis, seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun, berikut sumberdaya
hayati dan non-hayati yang terkandung di dalamnya. Akan tetapi kekayaan
sumberdaya pesisir tersebut mulai mengalami kerusakan. Sejak awal tahun 1990-an
phenomena degradasi biogeofisik sumberdaya pesisir semakin berkembang dan
meluas. Laju kerusakan sumberdaya pesisir telah mencapai tingkat yang
mengkhawatirkan, terutama pada ekosistem mangrove.
Ekosistem mangrove memiliki peranan yang sangat penting bagi lingkungan
pesisir, baik dari segi fisik, ekologis, dan ekonominya. Oleh karena nilai sosial
ekonominya, maka ekosistem mangrove banyak dimanfaatkan dan dikonversi untuk
berbagai keperluan (DKP 2007). Menurut Tarigan (2008) Perairan Indonesia dengan
garis pantai lebih dari 80.000 km mempunyai hutan mangrove sangat luas yaitu 4,2
juta ha. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia dan hidup
serta tumbuh berkembang pada lokasi-lokasi yang mempunyai hubungan pengaruh
pasang air (pasang surut) yang merembes pada aliran sungai yang terdapat di
sepanjang pesisir pantai.
Mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan yang penting di
wilayah pesisir. Selain mempunyai fungsi ekologis penting sebagai penyedia nutrien
bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan bagi bermacam biota, penahan
abrasi, penahan angin, tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut, dan lain
sebagainya, hutan mangrove juga mempunyai fungsi ekonomis seperti penyedia kayu,
daun-daunan sebagai bahan baku obat obatan, dan lain-lain. Mengingat nilai
ekonomis pantai dan hutan mangrove yang tidak sedikit, maka kawasan ini menjadi
sasaran berbagai aktivitas yang bersifat eksploitatif (IUCN 2007).
Oleh karena itu, perlu diadakan konservasi agar pemanfaatan berlebihan
terhadap hutan mangrove dapat diatasi. Perlu adanya pengelolaan secara bertanggung
jawab serta adanya hubungan timbal balik antar pemerintah dan masyarakat dalam
mengelola potensi mangrove secara bersama . Hal ini bertujuan untuk menjaga
kelestarian keanekaragaman jenis mangrove dan keseimbangan ekosistem perairan.
I.2. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini, yaitu :
1. Mengetahui potensi yang bisa dikembangkan dari hutan mangrove.
2. Mengetahui pengelolaan hutan mangrove secara bertanggung jawab.
I.3. Manfaat
Adapun manfaat dari makalah ini, yaitu :
1. Menambah khazanah pengetahuan mengenai potensi dan pengelolaan hutan
mangrove di wilayah pesisir.
2. Sebagai acuan dalam penelitian selanjutnya.
II. PEMBAHASAN

II.1. Potensi Pengembangan Hutan Mangrove


Pertumbuhan penduduk yang pesat dengan 60% penduduknya yang
menempati wilayah pesisir menyebabkan tekanan terhadap ekosistem mangrove
semakin meningkat. Dengan semakin meningkatnya tuntutan untuk mendayagunakan
sumberdaya mangrove menyebabkan semakin tingginya potensi kerusakan
lingkungan laut disekitar mereka ditambah dengan tingginya minat ekonomis yang
melingkupi, jadilah masalah kerusakan pesisir dan lautan negeri ini makin menuju ke
arah yang tidak terkendali.   Degradasi hutan mangrove yang semakin meningkat
membutuhkan penanganan yang sesegera mungkin untuk dilaksananakan agar potensi
daerah pesisir tetap bisa semakin meningkat. Secara garis besar ada dua hal pokok
yang menjadi penyebab kerusakan hutan mangrove yaitu :
1. faktor manusia, faktor ini merupakan faktor yang paling dominan penyebab
kerusakan hutan mangrove dalam hal pemanfaatn lahan yang berlebihan;
2. faktor alam, seperti banjir, kekeringan, hama, terjangan gelombang tsunami dan
lain-lain.
Beberapa faktor yang mendorong semakin meluasnya kerusakan hutan
mangrove yang disebabkan oleh manusia diataranya :
1. Faktor sosial ekonomi.
Meningkatnya pertumbuhan penduduk dan laju pembangunan di wilayah
pesisir menyebabkan timbulnya ketidakseimbangan antara permintaan kebutuhan
hidup dengan ketersediaan sumberdaya pesisir yang ada. Adanya keinginan untuk
membuat pertambakan dengan lahan yang terbuka dengan harapan ekonomis yang
menguntungkan karena mudah dan murah. Adanya konversi hutan mangrove untuk
kawasan pemukiman, kawasan industri, pelabuhan, hotel dan lain-lain yang lebih
memberikan keuntungan sesaat yang besar untuk para pemodal. Sebagai contoh,
disepanjang pantai utara Jawa hampir semua hutan mangrove telah habis dirombak
menjadi kawasan pemukiman, perhotelan, tambak, dan sawah yang berorientasi pada
ekosistem daratan.
2. Faktor kurangnya pengetahuan masyarakat akan berbagai fungsi hutan mangrove.
Rendahnya  pengetahuan masyarakat di kawasan pesisir akan fungi ekosistem
mangrove berakibat exploitasi terhadap tegakan mangrove menjadi semakin tidak
terkendali.  Hal tersebut diperparah dengan kurangnya penyuluhan dan pelatihan
yang mengikutsertakan masyarakat persisir tentang fungsi dan manfaat ekosistem
mangrove.
3. Faktor kelembagaan dan pengaturan hukum kawasan pesisir dan lautan. Sering
terjadi tumpang tindih, konflik dan ketidakjelasan kewenangan instansi sektoral
dan daerah. Hal tersebut menyebabkan simpang siur tanggung jawab dan prosedur
perizinan yang tidak jelas untuk kegiatan pembangunan pesisir dan lautan.
Contohnya seperti pembukaan lahan kawasan pesisir, penambangan pasir laut,
penangkapan ikan dan pengambilan terumbu karang dan lain-lain. Akibatnya
semakin meningkatnya kerusakan ekosistem kawasan pesisir dan lautan khususnya
kawasan hutan mangove.
4. Faktor keterbatasan informasi kawasan pesisir.
Terbatasnya  keberadaan data dan informasi serta ilmu pengetahuan teknologi
yang berkaitan dengan tipologi ekosistem pesisir, keaneka ragaman hayati,
lingkungan sosial budaya, peluang ekonomi dan peran serta keluarga, sumber daya
hutan mangrove yang terbatas sehingga belum dapat mendukung penataan ruang
kawasan pesisir, pembinaan dan pemanfaatan secara lestari, perlindungan kawasan
serta rehabilitasinya.
Ada beberapa manfaat penting hutan mangrove diantaranya adalah: kayunya
dapat dipakai sebagai kayu bakar, arang, dan beberapa jenis pohon mangrove
mempunyai kualitas kayu yang baik se-hingga dapat digunakan sebagai bahan untuk
perumahan dan kontruksi kayu, daunnya dapat digunakan sebagai makan-an hewan
ternak serta buahnya sebagian ada yang dapat dimakan (Supriharyono, 2000).
II.2. Pengelolaan Hutan Mangrove
Dalam perspektif hukum pengelolaan hutan mangrove harus dilakukan secara
berkala dan konsisten antara Pemerintah beserta seluruh komponen masyarakat. Pada
saat ini stigma pengelolaan dalam perspektif hukum tersebut masih belum
sepenuhnya efektif dijalankan oleh pemerintah maupun masyarakat. hal ini
dipengaruhi oleh aparat penegak hukum yang sejauh ini kurang memberikan
kontribusi pengawasan dan pengendalian terhadap pengelolaan kawasan hutan
mangrove di wilayah pesisir serta kurangnya kesadaran dari masyarakat akan
pentingnya hutan mangrove terhadap kelestarian lingkungan perairan di pesisir pantai
selain itu, tingkat kepatuhan masyrakt terhadap Undang-Undang yang berlaku
sangatlah kurang.
Hal tersebut terindikasi dari inefektivitas UU No. 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang yang disebabkan oleh benturan kepentingan antara pemerintah dan
masyarakat seperti yang terjadi pada lokasi tata ruang keberadaan Pos Pengawas
Hutan Bakau (PPHB) yang ada di wilayah pesisir, dimana lokasi tersebut telah
dirancang sedemikian rupa oleh pemerintah berada disuatu tempat yang jauh dari
kawasan hutan mangrove dan menyebabkan ketidak optimalan aparatur pemerintah
dalam melakukan pengawasan. Kendala yang sama juga dialami dalam penerapan
UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau
terkecil, dimana ketentuan mengenai sanksi denda terhadap pengrusakan hutan
mangrove sesuai pasal 35 dan 73 Undang-Undang tersebut masih disesuaikan oleh
pemerintah daerah berdasarkan tingakat kemampuan ekonomi masyarakat sehingga
perlu ada revisi terhadap nominal jumlah sanksi denda yang dikenakan. Dalam hal
penegakan Peraturan Daerah yang terkait dalam hal ini juga masih ditemui
inkonsistensi terhadap pelaksanaannya. Bahkan di Surabaya terjadi tarik ulur
terhadap pasal-pasal yang terkait dengan keberadaan mangrove yang sempat
membuat heboh masyarakat di tahun 2012.
Pengelolaan hutan mangrove dalam perspektif sosial masyarakat pesisir
sejauh ini sudah cukup efektif. Dengan dijalankannya program P4R (perencanaan,
pemanfaatan, pengawasan, pengendalian, dan rehabilitasi) Hal ini terbukti terhadap
lingkungan dengan melihat fungsi hutan mangrove sebagai pelindung pantai dari
abrasi air laut serta sebagai habitat beberapa jenis ikan, sangatlah berpengaruh
terhadap tingkat produktivitas biota laut termasuk kepiting dan kerang yang mana
organisme ini mempunyai nilai ekonomi yang sangat menjanjikan bagi masyarakat
setempat untuk menambah penghasilan. Hal tersebut tidak menutup kemungkinan
bahwa secara tidak langsung keberadaan hutan mangrove di pesisir telah memberikan
lapangan usaha baru pada sebagian masyarakat setempat.
Dalam kerangka pengelolaan dan pelestarian mangrove, terdapat dua konsep
utama yang dapat diterapkan. Kedua konsep tersebut pada dasarnya memberikan
legitimasi dan pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan
perlindungan agar dapat tetap lestari. Kedua konsep tersebut adalah perlindungan
hutan mangrove dan rehabilitasi hutan mangrove. Salah satu cara yang dapat
dilakukan dalam rangka perlindungan terhadap keberadaan hutan mangrove adalah
dengan menunjuk suatu kawasan hutan mangrove untuk dijadikan kawasan
konservasi, dan sebagai bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai.
Pentingnya pengelolaan hutan mangrove dalam menunjang ekonomi
masyarakat pesisir dewasa ini menjadi sebuah perhatian khusus. Hal tersebut
dikarenakan oleh fungsi dan peran hutan mangrove yang beraneka ragam antara lain
sebagai tempat pengembangbiakkan ikan dan udang serta dengan perlindungan dan
pengamanan pantai. Vegetasi ini berperan begitu besar dalam menjaga keberlanjutan
dan keseimbangan ekosistem pantai dan pesisir
Saat ini dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan ekosistem
mangrove partisipatif yang melibatkan masyarakat. Ide ini dikembangkan atas dasar
pemikiran bahwa masyarakat pesisir yang relatif miskin harus dilibatkan dalam
pengelolaan mangrove dengan cara diberdayakan, baik kemampuannya (ilmu)
maupun ekonominya.Pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove yang
dikembangkan adalah pola partisipatif meliputi : komponen yang diawasi, sosialisasi
dan transparansi kebijakan, institusi formal yang mengawasi, para pihak yang terlibat
dalam pengawasan, mekanisme pengawasan, serta insentif dan sanksi.
Berdasarkan uraian diatas hendaknya perlu diperhatikan sejauh mana tingkat
efektifitas pengelolaan terhadap hutan mangrove bagi kelestarian lingkungan. Dalam
hal ini sinergitas tujuan dari kebijakan dengan pelaksanaannya hanya dapat terealisir
dengan baik apabila semua komponen pemerintah daerah, masyrakat, dan parapihak
terkait mampu untuk:
1. Meningkatkan peran aktif dan kinerja dalam pemanfaatan dan pelestarian atas
sumber daya hutan mangrove serta memiliki kesadaran terhadap hukum yang berlaku
baik formal maupun non formal.
2. Memberdayakan masyarakat melalui upaya sosialisasi yang intensif akan manfaat
hutan mangrove serta melakukan upaya diversifikasi produk olahan olahan biji
mangrove menjadi makanan tertentu perlu segera dilaksanakan, sehingga diharapkan
dapat menciptakan peluang ekonomi dan pola prilaku masyarakat yang berwawasan
lingkungan.
3. Meningkatkan pengawasan, pengendalian dan pengamanan terhadap pengelolaan
hutan mangrove yang dilakukan secara kolektif dan terpadu.
4. Khusus bagi Pemerintah Daerah seharusnya dapat memberikan kontribusi atas
pengaduan sarana dan prasarana guna menunjang kelancaran upaya pengawasan dan
pengendalian kawasan perairan serta lebih meningkatkan koordinasi dengan Dinas-
dinas terkait (DKP, Dinas Pariwisata, Disperhutbun, dan Dinas Kepolisian) sehingga
diharapkan upaya pengawasan dan pengendalian tersebut dapat berjalan secara
efektif.
III. KESIMPULAN DAN SARAN

III.1. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang diperoleh dari pembahasan, yaitu:
1. Hutan mangrove mempunyai manfaat yang besar dan sangat potensial untuk
meningkatkan taraf ekonomi masyarakat pesisir.
2. Keberadaan hutan mangrove semakin menipis baik karena ulah manusia
maupun alam.
3. Pengelolaan hutan mangrove dan wilayah pesisir sangat kompleks sangat
dibutuhkan kesadaran akan tanggungjawab bersama
III.2. Saran
Adapun saran yang ingin penulis sampaikan yaitu sebaiknya upaya
penanganan sesegera mungkin agar kelestariannya tetap terjaga untuk generasi
sekarang dan yang akan datang. Dengan semakin meningkatnya upaya reklamasi
hutan mangrove baik yang dilakukan oleh masyarakat, pemerintah, LSM maupun
stakeholder yang lain dan dengan pelibatan masyarakat pesisir dari mulai
perencanaan, pelaksanaan dan pemeliharaan diharapkan akan diperoleh tingkat
keberhasilan yang lebih tinggi.
DAFTAR PUSTAKA

Supriharyono. (2000). Pelestarian dan pengelolaan sumber daya alam di wilayah pesisir
tropis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Saprudin dan Halidah. 2012. Potensi Dan Nilai Manfaat Jasa Lingkungan Hutan
Mangrove Di Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan (Direct Use Value And
Potencies Of Mangrove Forest In Sinjai Regency South Sulawesi). Jurnal
penelitian hutan dan konservasi alam Vol. 9 No. 3 : 213-219, 2012.
Datunsolang, A. 2016. Model Pengelolaan Wilayah Pesisir Dalam Rangka
Pelestarian Hutan Mangrove. Indonesian Journal of Environmental Education
and Management, Volume 1 Nomor 2 Juli 2016.

Anda mungkin juga menyukai