Anda di halaman 1dari 9

I.

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang


Pengembangan suatu wilayah merupakan upaya memanfaatkan potensi lokal
yang ada supaya kehidupan masyarakat menjadi lebih baik. Pengembangan wilayah
berkelanjutan merupakan bagian dari pembangunan berkelanjutan dan perencanaan
wilayah yang memperhatikan kerangka ekonomi, lingkungan, sosial dan
kelembagaan (Bertrand et al, 2005; Harris, 2000 dan Searlock et al, 2000). Aspek
kelembagaan sebagai bagian penting yang menghasilkan kebijakan pembangunan
wilayah berkelanjutan. Salah satu upaya pengembangan wilayah berkelanjutan dapat
dilakukan melalui pengembangan potensi pariwisata di suatu wilayah (Akil, 2002)
dalam (Atmoko., 2008).
Perkembangan pariwisata Indonesia dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (2012) melaporkan bahwa
jumlah wisatawan nusantara (wisnus) pada Tahun 2007 berjumlah 115.335.000 orang
dengan total pengeluaran Rp.108,96 triliun. Sejak Tahun 2007-2010 jumlah wisnus
mengalami peningkatan rata-rata sebesar 2% dengan total pengeluaran rata-rata
11.4% setiap tahunnya. Sementara itu jumlah kunjungan wisatawan mancanegara
(wisman) sebanyak 5,1 juta pada Tahun 2001 meningkat menjadi 6,2 juta pada tahun
2008, atau meningkat sebesar 21,5%. Penerimaan devisa meningkat dari USD 5,4
miliar pada Tahun 2001 menjadi USD 7,3 miliar pada Tahun 2008, atau meningkat
sebesar 35,89%. Dalam kurun waktu Tahun 2001- 2008 telah terjadi peningkatan
kunjungan wisman rata-rata sebesar 4,4% per tahun, dengan penerimaan devisa rata-
rata sebesar 12,56 persen per tahun. Peningkatan yang terjadi menjadikan sektor
pariwisata sebagai penyumbang terbesar devisa negara urutan ke-6 pada Tahun 2006,
naik ke urutan ke-5 Tahun 2007 dan pada Tahun 2008 naik ke peringkat 4
(Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2010).
Kawasan konservasi baik kawasan pelestarian alam maupun kawasan suaka
alam atau kawasan hutan lindung, merupakan destinasi yang diminati oleh wisatawan
ekotour, karena memiliki keanekaragaman flora dan fauna, fenomena alam yang

1
indah, objek budaya dan sejarah serta kehidupan masyarakat lokal yang unik.
Keseluruhan objek daya tarik wisata ini merupakan sumberdaya yang memiliki nilai
ekonomi yang tinggi sekaligus sebagai sarana pendidikan dan pelestarian lingkungan.
Pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungannya serta kepedulian pada masyarakat
sekitar pada kawasan-kawasan konservasi sejalan dengan visi pengembangan
ekowisata yaitu konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya serta
pemberdayaan masyarakat lokal (Fandelli, 2000).
Pentingnya pariwisata sebagai sarana untuk mendukung konservasi
lingkungan yang sesuai dengan kondisi dimana wisatawan saat ini cukup peka
terhadap masalah lingkungan, maka konsep-konsep pariwisata dikembangkan
sehingga timbul inovasi-inovasi baru dalam kepariwisataan. Salah satu konsep
pariwisata yang sedang marak adalah ekowisata, dengan berbagai teknik pengelolaan
seperti pengelolaan sumber daya pesisir yang berbasiskan masyarakat yang
dilaksanakan secara terpadu, dimana dalam konsep pengelolaan ini melibatkan
seluruh stakeholder yang kemudian menetapkan prioritas-prioritas. Dengan
berpedoman tujuan utama, yaitu tercapainya pembangunan yang berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan (Thahiry., 2017).
Oleh karena itu, sangatlah menarik bila mengkaji segala aspek pengembangan
ekowisata mengenai rencana tata ruang ekowisata di suatu kawasan serta daerah
ekowisata yang dihubungkan dalam RT/RW.
I.2. Tujuan
Adapun tujuan dibuatnya makalah ini, yaitu untuk mengetahui rencana tata
ruang ekowisata di suatu kawasan, dan mengetahui daerah ekowisata yang
dihubungkan dalam RT/RW.
I.3. Manfaat
Adapun manfaat yang didapat dari makalah ini, yaitu dapat menambah
khazanah pengetahuan mengenai rencana tata ruang ekowisata di suatu kawasan, dan
mengetahui daerah ekowisata yang dihubungkan dalam RT/RW serta sebagai acuan
untuk penelitian lanjutan.

2
II. PEMBAHASAN

II.1. Pengertian dan Asas Tata Ruang


Tata ruang adalah wujud struktural ruang dan pola ruang disusun secara
nasional, regional, dan local. Secara nasional disebut Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional, yang dijabarkan kedalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, dan
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tersebut perlu dijabarkan ke dalam Rencana
Tata Ruang Wilayah Kota (RTRWK).
Adapun yang dimaksud dengan wujud struktural pemanfaatan ruang adalah
susunan unsur – unsur pembentuk zona lingkungan alam, lingkungan sosial,
lingkungan buatan yang secara hirarkis berhubungan satu dengan yang lainnya.3
Sedangkan yang dimaksud dengan pola pemanfaatan ruang meliputi pola lokasi,
sebaran permukiman, tempat kerja, industry, pertanian, serta pola penggunaan tanah
perkotaan dan pedesaan, di mana tata ruang tersebut adalah tata ruang yang
direncanakan, sedangkan tata ruang yang tidak direncanakan adalah tata ruang yang
terbentuk secara alami, seperti aliran sungai, gua, gunung dan lain – lain.
Berdasarkan Undang – Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang khususnya Pasal 2, dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia,
penataan ruang diselenggarakan berdasarkan asas :
a. Keterpaduan
Keterpaduan adalah penataan ruang diselenggarakan dengan mengintegrasikan
berbagai kepentingan yang bersifat lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas pemangku
kepentingan. Pemangku kepentingan, antara lain, adalah Pemerintah, Pemerintah
daerah dan Masyarakat.
b. Keserasian, keselarasan, dan keseimbangan
Keserasian, keselarasan, dan keseimbangan adalah penataan ruang diselenggarakan
dengan mewujudkan keserasian antara struktur ruang dan pola ruang, keselarasan
antara kehidupan manusia dan lingkungannya, keseimbangan pertumbuhan dan
perkembangan antar daerah serta antara kawasan perkotaan dan kawasan pedesaan.

3
c. Keberlanjutan
Keberlanjutan adalah penataan ruang diselenggarakan dengan menjamin kelestarian
dan kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan dengan
memperhatikan kepentingan generasi mendatang.
d. keberdayagunaan dan keberhasilgunaan
Keberdayagunaan dan keberhasilgunaan adalah penataan ruang diselenggarakan
dengan mengoptimalkan manfaat ruang dan sumber daya yang tergantung
didalamnya serta menjamin terwujudnya tata ruang yang berkualitas.
e. Keterbukaan
Keterbukaan adalah penataan ruang diselenggarakan dengan memberikan akses yang
seluas – luasnya kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi yang berkaitan
dengan penataan ruang.
f. Kebersamaan dan kemitraan;
Kebersamaan dan kemitraan adalah penataan ruang diselenggarakan dengan
melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
g. Pelindungan kepentingan umum;
Pelindungan kepentingan umum adalah penataan ruang diselenggarakan dengan
mengutamakan kepentingan masyarakat.
h. Kepastian hukum dan keadilan;
Kepastian hukum dan keadilan adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan
berlandaskan hukum atau ketentuan peraturan Perundang – undangan dan bahwa
penataan ruang dilaksanakan dengan mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat
serta melindungi hak dan kewajiban semua pihak secara adil dengan jaminan
kepastian hukum.
i. Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah penyelenggaraan penataan ruang dapat dipertanggungjawabkan
baik prosesnya, pembiayaannya, maupun hasilnya.

4
II.2. Rencana Tata Ruang Daerah Ekowisata
Pengembangan kegiatan ekowisata harus memperhatikan aspek penataan
ruang yang terkandung dalam pengembangan wilayah. Hal tersebut dapat dilakukan
dengan penyesuaian rencana pengembangan kegiatan ekowisata dengan rencana tata
ruang wilayah suatu daerah. Dalam rencana pengembangan wilayah, aspek yang
dikembangkan tidak hanya aspek fisik saja tetapi juga aspek sumber daya manusia
dan sosial budaya setempat. Hubungan antara pengembangan wilayah dan pariwisata
antara lain (Akil, 2002):
1. penataan ruang dilakukan dengan pendekatan yang terpadu dan terkoordinasi,
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (pendekatan pengembangan
ekosistem) untuk mendukung kegiatan ekowisata.
2. Peningkatan keterkaitan fungsi pengembangan kegiatan pariwisata yang baik
dengan sektor lainnya untuk memberikan nilai efisiensi yang tinggi dan
percepatan pertumbuhan ekonomi wilayah.
3. Pengembangan pariwisata dikaitkan dengan pengembangan ekonomi nasional,
wilayah, dan lokal.
4. Pengembangan pariwisata melibatkan seluruh stakeholder dan sektor lainnya,
perlibatan peran masyarakat dari sektor hulu (memberikan kegiatan produksi yang
ekstraktif) sampai dengan kegiatan hilir (kegiatan produksi jasa).
5. Pemanfaatan rencana pengembangan wilayah dalam mendukung pengembangan
parwisata, khususnya dalam arahan alokasi pemanfaatan ruang. Kawasan lindung
dapat dioptimalkan juga sebagai kawasan yang memberikan dukungan bagi
kegiatan pengembangan pariwisata (forest tourism) dan kawasan budi daya
memberikan alokasi-alokasi ruang untuk pengembangan pariwisata.
6. Pengembangan dukungan sarana-prasarana transportasi secara terpadu intermoda
dan terkait dengan struktur pengembangan wilayah.
7. Adanya Rencana Induk Pengembangan Pariwisata suatu daerah.
Penerapan unsur penataan ruang dalam ekowisata dapat dilakukan dengan
melakukan zoning dan clustering dalam kawasan ekowisata. Zoning merupakan salah
satu manajemen spasial dalam pengelolaan ekowisata. Inskeep (1988) dalam Page

5
dan Dowling (2002) mengatakan bahwa konsentrasi atraksi wisata dan fasilitas-
fasilitasnya pada suatu area berakibat pada efisiensi penyediaan infrastruktur,
memberikan kemudahan akses terhadap fasilitas dan aktivitas berwisata bagi
wisatawan, mendorong perencanaan yang terintegrasi dan mengurangi penyebaran
dampak negatif ke area yang lain. Pendapat ahli yang lain juga mengatakan bahwa
penerapan zoning dan clustering berdampak positif terhadap: berkurangnya dampak
terhadap penyedia jasa dan lingkungan sekitar akibat kemudahan akses bagi
ekowisatawan; efisiensi penyediaan infrastruktur seperti jaringan air bersih dan
pengolahan sampah; kontrol dan peningkatan kualitas lingkungan, dll. Setiap zona
dalam suatu kawasan ekowisata mempunyai fungsi yang berbeda, sesuai dengan tata
guna lahannya.
Strategi lain yang dapat digunakan adalah pengaturan tata guna lahan sebagai
kelanjutan dari zoning. Pengaturan guna lahan sangat penting dilakukan untuk
keberlanjutan kegiatan ekowisata, tidak hanya bagi pengembangan ekowisatanya
sendiri melainkan juga sebagai alat kontrol pembangunan lain yang berpengaruh
terhadap keberlanjutan ekowisata.
Alasan mengapa aspek ruang perlu diperhatikan dalam pengembangan Ekowisata,
diantaranya :
1. Perencanaan ekonomi seringkali bersifat tak Terbatas.
2. Setiap aktivitas selalu membutuhkan ruang baik dalam konsep sebagai titik
maupun sebagai luasan.
3. Pemanfaatan ruang untuk lebih dari satu jenis Pemanfaatan menimbulkan benturan
kepentingan.
4. Dampak pemanfaatan sumberdaya akan berganda ketika terdapat lebih dari satu
jenis pemanfaatan pada sumberdaya yang sama.
5. Perlu sinkronisasi pemanfaatan ruang Untuk menghindari atau meminimalkan
Dampak negatif.
5. Karakteristik ekowisata : meminimalkan dampak terhadap ekosistem untuk
Mendukung kelestarian sumberdaya.

6
6. Kelestarian sumberdaya merupakan jaminan keberlanjutan pengembangan
ekowisata.
7. Dalam pengembangan sektor wisata, perlu dukungan sektor lain : prasarana (air,
Energi, transportasi), industri, pemukiman.
8. Perlu harmonisasi pemanfaatan ruang.

II.2.1. Unsur Tata Ruang Untuk Pengembangan Ekowisata


1. Struktur ruang dan pola ruang : jaringan transportasi, komunikasi, infrastruktur
wisata dan kesesuaian peruntukan pemanfaatan ruang.
2. Tujuan Wisata.
3. Kesesuaian lokasi.
2.2.2. Ketentuan Membangun Ekowisata
1. Kepastian peruntukan ruang wilayah (pola ruang).
2. Kapasitas infrastuktur untuk pengembangan (struktur ruang), terutama air tawar.
3. Konflik kepentingan antar pemanfaatan wilayah pesisir/perairan (ekowisata,
budidaya, penangkapan, konservasi).
4. Dampak pada sumberdaya alam.

7
III. PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang diperoleh dari makalah ini, yaitu:
1. Pola pemanfaatan ruang meliputi pola lokasi, sebaran permukiman, tempat
kerja, industry, pertanian, serta pola penggunaan tanah perkotaan dan
pedesaan, di mana tata ruang tersebut adalah tata ruang yang direncanakan
2. Pengembangan kegiatan ekowisata harus memperhatikan aspek penataan
ruang yang terkandung dalam pengembangan wilayah. Hal ini bertujuann agar
kita dapat melihat seberapa besar resiko dan peluang dikembangkan kegiatan
ekowisata.
3. Penerapan unsur penataan ruang dalam ekowisata dapat dilakukan dengan
melakukan zoning dan clustering dalam kawasan ekowisata.
3.2. Saran
Adapun saran yang disampaikan oleh penulis yaitu untuk membangun
ekowisata di suatu lokasi perlu dilakukan rencana tata ruang dengan
mempertimbangkan letak topografi dan kenyamanan para wisatawan ekotourisme.
Selain itu penting untuk kita melibatkan RT/RW dengan lokasi ekowisata dalam hal
dukungan penuh masyarakat dengan pengembangan ekowisata.

8
DAFTAR PUSTAKA

Atmoko, D. Wisnu. 2008. Studi Prospek Pengembangan Ekowisata Pada Kawasan


Sekitar Kars Gombong Selatan Dalam Mendukung Keberlanjutan Wilayah.
Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Semarang.
Fandeli, C. (2000). Pengusahaan ekowisata. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM.
Flamin dan asnaryati.2013. Potensi Ekowisata Dan Strategi Pengembangan Tahura
Nipa-Nipa, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara (ecotourism potential and
strategy development of tahura nipa-nipa, Kendari city, southeast sulawesi).
Jurnal penelitian kehutanan wallacea Vol. 2 no. 2, juni 2013 : 154- 168.
Juniarso ridwan dan achmad sodik. 2013. Hukum Tata Ruang, Nuansa. bandung,
h.26.
Thahiry, Z. M. 2017. Studi Kesesuaian Lahan Pengembangan Ekowisata Kawasan
Suaka Margasatwa Mangrove Mampie Desa Galeso Kabupaten Polewali
Mandar. Skripsi. UIN Alauddin Makassar.

Anda mungkin juga menyukai