Anda di halaman 1dari 12

 Nilai-nilai Etika dalam Pancasila

Etika membantu manusia menunjukkan nilai-nilai untuk membulatkan hati


dalam mengambil keputusan tentang tindakan apa yang perlu dilakukan
dan mengapa perlu dilakukan. Pancasila adalah etika bagi bangsa
Indonesia dalam bermasyarakat dan bernegara. Nilai-nilai etika yang
terkandung dalam Pancasila tertuang dalam berbagai tatanan berikut ini:

1. Tatanan bermasyarakat, nilai-nilai dasarnya seperti tidak boleh ada


eksploitasi sesame manusia, berperikemanusiaan dan berkeadilan
sosisal.
2. Tatanan bernegara, dengan nilai dasar merdeka, berdaulat,bersatu,
adil dan makmur.
3. Tatanan kerjasama antar negara atau tatanan luar negeri, dengan
nilai tertib dunia, kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial.
4. Tatanan pemerintah daerah, dengan nilai permusyawaratan
mengakui asal usul keistimewaan daerah.
5. Tatana hidup beragama, kebebasan beribadah sesuai dengan
agamanya masing-masing
6. Tatanan bela negara, hak dan kewajiban warga negara untuk
membela negara
7. Tatanan pendidikan,mencerdaskan kehidupan bangsa
8. Tatanan berserikat,berkumpul dan menyatakan pendapat
9. Tatanan hokum dan keikutsertaan dalam pemerintahan
10. Tatanan kesejahteraan sosial dengan nilai dasar kemakmuran
masyarakat

Pancasila Sebagai Sistem Etika


Nilai, norma, dan moral adalah konsep-konsep yang saling berkaitan.
Dalam hubungannya dengan Pancasila, maka ketiganya akan memberikan
suatu pemahaman yang saling melengkapi sebagai sistem etika.
Pancasila sebagai sistem filsafat pada dasarnya merupakan sebuah nilai
yang menjadi sumber dari segala penjabaran norma baik norma hukum,
norma moral maupun norma kenegaraan lain. Disamping itu, pemikiran
yang bersifat kritis, rasional, mendasar, sistematis, dan komprehensif. Oleh
sebab itu, pemikiran filsafat adalah nilai-nilai masyarakat, bangsa dan
negara maka diwujudkan pada norma-norma yang menjadi pedoman. Hal
tersebut meliputi:
 Norma Moral
Yang berhubungan dengan tingkah laku manusia yang dapat diukur dari
sudut pandang baik maupun buruk, sopan maupun tidak sopan, susila atau
tidak susila.

 Norma Hukum
Suatu sistem peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam suatu
tempat dan waktu tertentu dalam pengertian ini peratran hukum. Dalam
pengertian itulah Pancasila berkedudukan sebagai sumber dari segala
sumber hukum.

 Etika dalam Kehidupan Kenegaraan dan Hukum


Manusia dalam kehidupannya tidak lepas dari manusia lain, manusia perlu
hidup berkelompok (zoon politicon), dalam kehidupan berkelompok
tersebut manusia mengikatkan dirinya apada suatu organisasi yaitu
negara. Berorganisai merupakan kerja sama berdasarkan suatu
pembagian kerja yang tetap, untuk mengatur kehidupan masyarakat
bernegara, etika menjadi kesepakatan hidup dan menjadi pedoman dalam
kehidupan bernegara,
Bangsa Indonesia memilih bentuk negara Republik, yang dimana
mengutamakan kepentingan umum, Untuk mengatur hubungan antar
lembaga-lembaga negara dalam menentukan gerak kenegaraan akan
muncul pemerintahan.
 
Pada umumnya, kegiatan kenegaraan kaitannya dengan hasil perjanjian
masyarakat (Hukum), orang beranggapan bahwa kegiatan kenegaraan
meliputi : (1) Membentuk hokum atau kewenangan legislative, (2)
Menerapkan hokum atau kewenangan legislative dan (3) Menegakkan
hokum atau kewenangan yudikatif. Oleh karena itu, analisis kenegaraaan
tidak dapat dipisahkan dari analisis tata hokum.
Sebagai pola hidup berkelompok dalam organisasi negara maka pada
umumnya konstitusi memuat :

1. Hal-hal yang dianggap fundamental dalam berorganisasi, seperti


kepala negara dan warga negara
2. Hal-hal yang dianggap penting dalam hidup berkelompok oleh suatu
bangsa,missal soal pekerjaan yang layak dan soal pendidikan
3. Hal-hal yang dicita-citakan.

Etika dalam kehidupan kenegaraan dan hukum tidak lepas dari analisis
fungsi-fungsi kenegaraan, sistem kenegaraan, hak dan kewajiban warga
negara dan ppenduduk yang kesemuanya di atur dalam etika kenegaraan
dan etika tata hokum sebuah negara.

 Evaluasi Kritis Penerapan Etika dalam


Kehidupan Bernegara
Dalam kaitannya dengan nilai dan norma, terdapat dua macam etika yaitu
etika deskriptif dan etika normatif. Etika deskriptif berusaha meneropong
secara kritis dan rasional sikap dan pola perilaku manusia dan apa yang
dikejar oleh manusia dalam hidupnya, Etika deskriptif berbicara mengenai
kenyataan penghayatan nilai, tanpa menilai, dalam suatu masyarakat,
tentang sikap orang dalam menghadapi hidup dan tentang kondisi-kondisi
yang memungkinkan manusia bertindak secara etis.
 
Etika normatif ialah etika yang berusaha menetapkan berbagai sikap dan
pola perilaku ideal yang seharusnya dimiliki/dijalankan oleh manusia, dan
tindakan apa yang seharusnya di ambil. Etika normatif berbicara mengenai
norma-norma yang menuntun tingkah laku manusia serta member
penilaian dan himbuan kepada manusia untuk bertindak sebagaimana
seharusnya berdasarkan norma-norma.
Dengan etika deskristif, manusia disodori fakta sebagai dasar untuk
mengambil keputusan tentang sikap dan perilaku yang akan di ambil dan
dengan etika normative manusia diberi norma sebagai alat penilai atau
dasar dan kerangka tindakan yang akan diputuskan. Kaitan dengan
penerapan etika dalam kehidupan kenegaraan, kajiannya tidak lepas dari
sedikitnya empat kelompok masalah kenegaraan, yaitu tata organisasi,
tata  jabatan, tata hukum dan tata nilai yang dicita-citakan oleh negara.
 
Tata organisasi suatu negara dapat dilihat dari bentuk negara dan bentuk
pemrintahan, bentuk negara merupakan penjelmaan dari pada organisasi
negara secara nyata di masyarakat. Tata jabatan muncul karena adanya
anggapan bahwa di dalam organisasi negara , yang tetap adala jabatannya
sedangkan perilakunya dapat berubah-ubah.
 
Tata hokum terkait dengan kehidupan ketatanegaraan karena negara
adalah status hokum suaty legal society hasil perjanjian masyarakat,
analisis tata hokum akan meliputi hukum dasar, fungsi-fungsi kenegaraan,
hak dan kewajiban warga negara dan yang lainnya. Tata nilai berkaitan
dengan hal-hal yang ideal atau yang dicita-citakan.

Fungsi Pancasila Sebagai Etika Politik


 Fungsi etika bagi kehidupan kenegaraan adalah alat untuk
mengatur tertib hidup kenegaraan, memberikan pedoman yang
merupakan batas gerak hak dan wewenang kenegaraan,
menampakkan kesadaran kemanusiaan dalam bermasyarakat dan
bernegara, mempelajari dan menjadikan objek tingkah laku manusia
dalam hidup kenegaraan, member landasan fleksibilitas bergerak
yang bersumber dari pengalaman.

 Fungsi etika politik dalam masyarakat terbatas pada penyediaan


alat-alat teoritis untuk mempertanyakan serta menjelaskan legitimasi
politik secara bertanggung jawab. Jadi, tidak berdasarkan emosi,
prasangka dan apriori, melainkan secara rasional objektif dan
argumentative. Etika politik tidak langsung mencampuri politik
praktis. Tugas etika politik membantu agar pembahasan masalah-
masalah idiologis dapat dijalankan secara obyektif.

Upaya untuk ber-Etika Politik Pancasila


 
Sudah jelas bahwa untuk ber-etika Politik Pancasila, pemahaman istilah
“politik” harus dari seginya yang ilmiah, bukan dari seginya yang non-
ilmiah. Jadi “politik” di sini harus diartikan dalam konteks filsafat politik
Pancasila, yaitu seperangkat keyakinan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara yang dibela dan diperjuangkan oleh para penganutnya, dalam
hal ini manusia manusia Pancasila yang sedang berusaha dan berjuang
menyelenggarakan suatu kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara yang berdasarkan Pancasila.
Dalam rangka upaya untuk ber-Etika Politik Pancasila, dua hal yang harus
dipenuhi, yaitu:

 Sikap ilmiah, kejujuran ilmiah, hasrat ilmiah, dan suasana ilmiah


 Pemahaman isi tulisan-tulisan ilmiah mengenai Pancasila, baik
sebagai filsafat maupun sebagai ilmu khusus

 
Karena pemahaman istilah “politik” untuk ber-Etika Pancasila harus dari
seginya yang ilmiah, bukan yang non-ilmiah, maka untuk dapat memiliki
kemampuan ber-Etika politik Pancasila orang dituntut memiliki sikap ilmiah,
kejujuran ilmiah, hasrat ilmiah dan mampu menjaga dan
menyelenggarakan suasana ilmiah. Sikap ilmiah meliputi:

1. Mengosongkan diri sendiri, yakni membebaskan diri dari segala


prasangka, baik atau pun buruk
2. Mengobjektifkan diri sendiri, adalah bersikap seperti apa adanya,
mengatakan sesuatu yang baik bukan karena cinta atau simpatinya,
dan mengatakan sesuatu yang buruk bukan karena benci atau tidak
senangnya.

Contoh Pancasila Sebagai Etika Politik


Contoh kasusnya adalah “bagaimana berkampanye sesuai dengan etika
Pancasila?”, maka jawabannya ada bermacam-macam, tetapi pada
prinsipnya:

 Berkampanyelah secara tidak bertentangan dengan nilai-nilai


kemanusiaan, misalnya jangan menggangu keamanan orang lain,
jangan merugikan orang lain, hubungan dengan sesama manusia
harus dijaga agar tetap baik, jangan sampai bentrok dengan masa
partai lain. Langkah ini didasarkan pada sila ke-3
 Peraturan berkampanye harus ditaati karena menaati peraturan
berarti menaati diri kita semua. Langkah ini didasarkan pada sila ke-
4

 Pemilu dan khususnya berkampanye itu tujuan akhirnya adalah demi


kesejahteraan dan kemakmuran hidup kita bersama, usahakan
jangan sampai menghambat usaha-usaha menuju kemakmuran
bersama. Langkah ini didasarkan pada sila ke-5
 

 Ketahuilah bahwa semua perbuatan tidak baik yang berdalihkan


Pemilu atau berkampanye selalu tidak lepas dari pengamatan Tuhan
Yang Maha Kuasa. Langkah ini didasarkan pada sila ke-1

 
Inti masalah politik tidak hanya terbatas pada masalah kekuasaan. Tetapi
politik adalah masalah seperangkat keyakinan dalam bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara, yang dibela dan diperjuangkan oleh para
penganutnya, yaitu manusia-manusia Pancasila yang sedang berusaha
dan berjuang untuk menyelenggarakan suatu kehidupan bermasyarakat,
berbagsa, dan bernegara yang berdasarkan Pancasila.
 
Itu tadi adalah pengertian “politik” yang ilmiah. Di samping itu ada
pengertian “politik” yang non-ilmiah, yang prinsip perjuangannya adalah
demi kemenangan dalam kekuasaan, masalah nilai kemanusiaan tidaklah
penting, kalau perlu “tujuan menghalalkan cara”. Nilai-nilai Pancasila juga
tidak selalu dianut, kalau perlu berbuat dan bertindak yang bertentangan
dengan Pancasila, bahkan mungkin pula tersembunyi keinginan/ kehendak
untuk mengganti Pancasila dengan dasar negara yang lain.
 
Jelas ini tidak lah ilmiah, karena tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepada Pancasila. Sejarah telah menunjukkan bahwa perilaku atau
perbuatan politik yang demikian ini tidak akan dan tidak mungkin
mendatangkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dilihat dari
segi “politik” dalam pengertiannya yang ilmiah ini betapa banyak politisi kita
yang nampaknya “bermasalah”.
 
Kalau kita perhatikan panggung politik dunia, keakhiran kekuasaan
Presiden Sadam Husein yang bisa dinilai tragis dengan berbagai nestapa
dibaliknya itu pasti bukan cita-cita Sadam Husein sendiri. Demikian pula
keakhiran presiden Soekarno dan presiden Suharto yang bisa dinilai “tidak
nyaman” dengan berbagai masalah di baliknya itu pasti juga bukan cita-cita
beliau.
 
Semua ini menunjukkan bahwa merealisasikan filsafat Politik secara
benar yang dibuktikan dengan tetap berpegang pada etika politik
dalam pengertiannya yang ilmiah itu sungguh tidak mudah, dan oleh
karenanya harus selalu diupayakan. Kalau tidak diupayakan dengan
sungguh-sungguh, maka hambatan, kesukaran, dan godaan-godaan akan
selalu membelokkan para politisi dan orang pada umumnya untuk
menjalankan “politik” dalam pengertiannya yang tidak ilmiah, yang tidak
dapat dipertanggungjawabkan kepada Filsafat Politik Pancasila.

Makna Nilai-Nilai Pancasila Dalam Etika


Berpolitik
Pancasila sebagai dasar falsafah bangsa dan Negara yang merupakan
satu kesatuan nilai yang tidak dapat dipisah-pisahkan dengan masing-
masing sila-silanya. Karena jika dilihat satu persatu dari masing-masing
sila itu dapat saja ditemukan dalam kehidupan berbangsa yang lainnya.
Namun, makna Pancasila terletak pada nilai-nilai dari masing-masing sila
sebagai satu kesatuan yang tidak bisa ditukar balikan letak dan
susunannya. Untuk memahami dan mendalami nilai-nilai Pancasila dalam
etika berpolitik itu semua terkandung dalam kelima sila Pancasila.

 Ketuhanan Yang Maha Esa


Ketuhanan berasal dari kata Tuhan, sang pencipta seluruh alam. Yang
Maha Esa berarti Maha Tunggal, tidak ada sekutu dalam zat-Nya, sifat-Nya
dan perbuatan-Nya. Atas keyakinan demikianlah, maka Negara Indonesia
berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa, dan Negara memberikan
jaminan sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya untuk beribadat
dan beragama. Bagi semua warga tanpa kecuali tidak boleh ada sikap dan
perbuatan yang anti Ketuhanan Yang Maha Esa dan anti keagamaan. Hal
ini diatur dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat 1 dan 2.

 Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab


Kemanusiaan berasal dari kata manusia, yaitu makhluk yang berbudaya
dan memiliki potensi pikir, rasa, karsa, dan cipta. Dengan akal nuraninya
manusia menyadari nilai-nilai dan norma-norma. Adil berarti wajar, yaitu
sepadan dan sesuai dengan hak dan kewajiban seseorang. Beradab kata
pokoknya adalah adab, sinonim dengan sopan, berbudi luhur dan susila.
Beradab artinya berbudi luhur, berkesopanan, dan bersusila.
 
Hakikatnya terkandung dalam pembukaan UUD 1945 alinea pertama:
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh
sebab itu, penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai
dengan prikemanusiaan dan prikeadilan …”. Selanjutnya dijabarkan dalam
batang tubuh UUD 1945.

 Persatuan Indonesia
Persatuan berasal dari kata satu, artinya utuh tidak terpecah-pecah.
Persatuan mengandung pengertian bersatunya bermacam-macam corak
yang berabeka ragam menjadi satu kebulatan. Sila Persatuan Indonesia ini
mencakup persatuan dalam arti ideologis, politik, ekonomi, social budaya,
dan hankam. Hal ini sesuai dengan pembukaan UUD 1945 alinea keempat,
yang berbunyi, “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu
pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia …”. Selanjutnya lihat
batang tubuh UUD 1945.
 

 Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat


Kebijaksanaan dalam
permusyarawatan/Perwakilan
Kata rakyat yang menjadi dasar Kerakyatan, yaitu sekelompok manusia
yang berdiam dalam satu wilayah tertentu. Sila ini bermaksud bahwa
Indonesia menganut system demokrasi, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Hal ini berarti bahwa kekuasaan tertinggi berada ditangan
rakyat. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan berarti bahwa rakyat dalam melaksanakan
tugas kekuasaannya ikut dalam pengambilan keputusan-keputusan.
 
Sebagaimana dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat,
yaitu, “… maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia, yang
berkedaulatan rakyat …”. Selanjutnya lihat dalam pokok pasal-pasal UUD
1945.
 

 Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia


Keadilan sosial berarti keadilan yang berlaku dalam masyarakat disegala
bidang kehidupan, baik materiil maupun spiritual. Seluruh rakyat berarti
semua warga Negara Indonesia baik yang tinggal didalam negeri maupun
yang di luar negeri. Hakikat keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia
dinyatakan dalam alinea kedua Pembukaan UUD 1945, yaitu “Dan
perjuangan kemerdekaan kebangsaan Indonesia … Negara Indonesia
yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”.
 
Selanjutnya dijabarkan dalam pasal-pasal UUD 1945. Pola pikir untuk
membangun kehidupan berpolitik yang murni dan jernih mutlak dilakukan
sesuai dengan kelima sila yang telah dijabarkan diatas.
Yang mana dalam berpolitik harus bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha
Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia,
Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
permusyarawatan/Perwakilan dan dengan penuh keadilan social bagi
seluruh rakyat Indonesia tampa pandang bulu.
 
Nilai-nilai Pancasila tersebut mutlak harus dimiliki oleh setiap penguasa
yang berkuasa mengatur pemerintahan, agar tidak menyebabkan berbagai
penyimpangan seperti yang sering terjadi dewasa ini. Seperti tindak pidana
korupsi, kolusi dan nepotisme, penyuapan, pembunuhan, terorisme, dan
penyalahgunaan narkotika sampai perselingkuhan dikalangan elit politik
yang menjadi momok masyarakat.

Lima Prinsip Dasar Etika Politik Pancasila


Pancasila sebagai etika politik maka mempunyai lima prinsip itu berikut ini
disusun menurut pengelompokan Pancasila, karena Pancasila memiliki
logika internal yang sesuai dengan tuntutan-tuntutan dasar etika politik
modern.

1. Pluralisme
Pluralisme adalah kesediaan untuk menerima pluralitas, artinya untuk
hidup dengan positif, damai, toleran, dan biasa/normal bersama warga
masyarakat yang berbeda pandangan hidup, agama, budaya, adat.
Pluralisme  mengimplikasikan pengakuan terhadap kebebasan beragama,
kebebasan berpikir, kebebasan mencari informasi, toleransi. Pluralisme
memerlukan kematangan kepribadian seseorang dan sekelompok orang.

2. Hak Asasi Manusia


Jaminan hak-hak asasi manusia adalah bukti Kemanusian yang adil dan
beradab. Karena hak-hak asasi manusia menyatakan bagaimana manusia
wajib diperlakukan dan wajib tidak diperlakukan. Jadi bagaimana manusia
harus diperlakukan agar sesuai dengan martabatnya sebagai manusia.
Karena itu, hak-hak asasi manusia adalah baik mutlak maupun kontekstual
dalam pengertian sebagai berikut.

 Mutlak karena manusia memilikinya bukan karena pemberian


Negara, masyarakat, melainkan karena pemberian Sang Pencipta .
 Kontekstual karena baru mempunyai fungsi dan karena itu mulai
disadari, diambang modernitas di mana manusia tidak lagi dilindungi
oleh adat/tradisi, dan seblaiknya diancam oleh Negara modern.

       3. Solidaritas Bangsa


Solidaritas bermakna manusia tidak hanya hidup demi diri sendiri,
melainkan juga demi orang lain, bahwa kita bersatu senasib
sepenanggungan. Manusia hanya hidup menurut harkatnya apabila tidak
hanya bagi dirinya sendiri, melainkan menyumbang sesuatu pada hidup
manusia-manusia lain.
 
Sosialitas manusia berkembang secara melingkar yaitu keluarga,
kampung, kelompok etnis, kelompok agama, kebangsaan, solidaritas
sebagai manusia.  Maka di sini termasuk rasa kebangsaan. Manusia
menjadi seimbang apabila semua lingkaran kesosialan itu dihayati dalam
kaitan dan keterbatasan masing-masing.
 

4. Demokrasi
Prinsip “kedaulatan rakyat” menyatakan bahwa tak ada manusia atau
sebuah elit atau sekelompok ideologi berhak untuk menentukan dan
memaksakan orang lain harus atau boleh hidup. Demokrasi berdasarkan
kesadaran bahwa mereka yang dipimpin berhak menentukan siapa yang
memimpin mereka dan kemana mereka mau dipimpin. Jadi demokrasi
memerlukan sebuah system penerjemah kehendak masyarakat ke dalam
tindakan politik.
Demokrasi hanya dapat berjalan baik atas dua dasar yaitu :

1. Pengakuan dan jaminan terhadap HAM; perlindungan terhadap HAM


menjadi prinsip mayoritas tidak menjadi kediktatoran mayoritas.
2. Kekuasaan dijalankan atas dasar, dan dalam ketaatan terhadap
hukum (Negara hukum demokratis). Maka kepastian hukum
merupakan unsur harkiki dalam demokrasi (karena mencegah
pemerintah yang sewenang-wenang).

5. Keadilan Sosial
Keadilan merupakan norma moral paling dasar dalam kehidupan
masyarakat. Moralitas masyarakat mulai dengan penolakan terhadap
ketidakadilan. Tuntutan keadilan sosial tidak boleh dipahami secara
ideologis, sebagai pelaksanaan ide-ide, ideologi-ideologi, agama-agama
tertentu, keadilan sosial tidak sama dengan sosialisme.
 
Keadilan sosial adalah keadilan yang terlaksana. Dalam kenyataan,
keadilan sosial diusahakan dengan membongkar ketidakadilan-
ketidakadilan yang ada dalam masyarakat. Ketidakadilan adalah
diskriminasi di semua bidang terhadap perempuan, semua diskriminasi
atas dasar ras, suku dan budaya.
 
Untuk itu tantangan etika politik paling serius di Indonesia sekarang adalah:

1. Kemiskinan, ketidakpedulian dan kekerasan sosial.


2. Ekstremisme ideologis yang anti pluralism, pertama-tama
ekstremisme agama dimana mereka yang merasa tahu kehendak
Tuhan merasa berhak juga memaksakan pendapat mereka pada
masyarakat.
3. Korupsi

Kesimpulan Pancasila Sebagai Etika Politik

 
Etika Politik Pancasila adalah cabang dari filsafat politik Pancasila yang
menilai baik dan buruknya perbuatan atau perilaku politik berdasarkan
Filsafat Politik Pancasila. Peran etika politik Pancasila sangat dibutuhkan
dalam menangani pelanggaran-pelanggaran etika politik di Indonesia,
karena etika politik pancasila mampu mendeteksi adanya gejala- gejala
awal dari pelanggaran terhadap filsafat politik pancasila.
 
Merealisasikan filsafat Politik secara benar yang dibuktikan dengan tetap
berpegang pada etika politik dalam pengertiannya yang ilmiah itu sungguh
tidak mudah, dan oleh karenanya harus selalu diupayakan.

DAFTAR PUSTAKA

Kaelan Ms.( 2004). Pendidikan Pancasila. Jakarta: Paradigma offset.

Acmat (2007). Pendidikan Kewarganegaraan. Jogyakarta: Paradigma.

Http:/Plityz. Blogs pot. Com/2010/Pancasila – Sebagai – Etika – Politik.html Diakses tanggal 22 maret 2012.

Http:/ www.scribd com/doc/2433447/Pancasila Sebagai Etika Poltik. HtmlDiakses tanggal 22 maret2012.

Http:/Khairunnisa Zhet. Blog Spot. Com/2011/06/ Pancasila Sebagai Etika       Poltik.html .Diakses tanggal 22 maret 2012

Wreksosuharjo, Sunarjo. 2005. Pancasila. Surakarta: UNS Press

Suseno, Franz Magnis. 2007. Etika Politik; Sebuah Keharusan. Yogyakarta: Makalah Kuliah Umum Prof. Frans Magnis Suseno

Anda mungkin juga menyukai