Anda di halaman 1dari 17

DAYA BEDA DAN TINGKAT KESUKARAN 

SOAL

Standar

DAYA BEDA

Menganalisis tingkat kesukaran soal artinya mengkaji soal- soal tes dari segi kesulitanya
sehingga dapat di peroleh soal-soal mana yang termasuk mudah ,sedang dan sukar. Sedangkan
menganalisis daya pembeda artinya mengkaji soal-soal tes dari segi kesanggupan tes tersebut
dalam kategori lemah atau rendah dan kategori kuat atau tinngi prestasinya (Wayan Nurkancana,
1983; 134).

A. Taraf kesukaran tes

Asumsi yang digunakan untuk memperoleh kwalitas yang baik, disamping memenuhi validitas
dan reliabilitas adalah daya keseimbangan dari tingkat kesulitan soal tersebut. Keseimbangan
yang dimaksutkan adalah adanya soal-soal yang termasuk mudah sedang dan sukar secara
porposional. Tingkat kesukaran soal dipandang dari kesanggupan atau kemampuan siswa dalam
menjawabnya, bukan dilihat dari segi guru dalam melakukan analisis pembuat soal.

Ada beberapa dasar pertimbangan dalam menentukan proporsi jumlah soal kategori mudah
sedang dan sukar.Pertimbangan pertama adalah adanya keseimbangan, yakni jumlah soal sama
untuk ke tiga kategori tersebut. dan ke dua proposi jumlah soal untuk ke tiga kategori tersebut
artinya sebagian besar soal berada dalam kategori sedang sebagian lagi termasuk kategori mudah
dan sukar dengan proporsi yang seimbang.

Perbandingan antara soal mudah sedang sukar bisa di buat 3-4-3. Artinya, 30% soal kategori
mudah 40% soal kategori sedang dan 30% lagi soal kategori sukar.

Di samping itu oleh karena suatu tes dimaksutkan untuk memisahkan antara murid-murid yang
betul-betul mempelajari suatu pelajaran dengan murid-murid yang tidak mempelajari pelajaran
itu, maka tes atau item yang baik adalah tes atau item yang betul-betul dapat memisahkan ke dua
golongan murid tadi. Jadi setiap item disamping harus mempunyai derajat  kesukaran tertentu,
juga harus mampu membedakan antara murid yang pandai dengan murid yang kurang pandai.
Setelah judgment dilakukan oleh guru kemudian soal tersebut di uji cobakan dan dianalisis
apakah judgment tersebut sesuai atau tidak. Cara melakukan analisis untuk menentukan tingkat
kesukaran soal adalah dengan menggunakan rumus sebagai berikut.

B
I=
N

Keterangan:

I   =Indeks kesulitan untuk setiap butir soal

B =Banyaknya siswa yang menjawab benar setiap butir soal

N =Banyaknya yang memberikan jawaban pada soal yang di maksudkan.

Kriteria yang digunakan makin kecil indeks yang di peroleh makin sulit soal tersebut. Sebaliknya
makin besar indeks yang diperoleh makin mudah soal tersebut.

Menurut keiteria yang sering di ikuti indeks kesukaran sering di klasifikasikan sebagai berikut :

 · Soal dengan  P  0 – 0,30 adalah soal kategori sukar.


 · Soal dengan P  0,31 – 0,70  adalah soal kategori sedang.
 · Soal dengan  P  0,71 – 1,00  adakah soal kategori mudah.

Contoh:

Guru SKI memberikan 10 pertanyaan piihan berganda denga komposisi 3 soal mudah , 4 soal
sedang , dan 3 soal sukar. Jika di lukiskan susunan soalnya adalah sebagai berikut :

No soal Abilitas yang Diukur Tingkat kesukaran soal


1 Pengetahuan Mudah

2 Aplikasi Sedang

3 Pemahaman Mudah
4 Analisis Sedang

5 Evaluasi Sukar

6 Sitesis Sukar

7 Pemahaman Mudah

8 Aplikasi Sedang

9 Analisis Sedang

10 Sitesis Sukar

Kemudian soal tersebut di berikan kepada 10 orang siswa dan tidak seorang pun yang tidak
mengisi seluruh pertanyaan tersebut. Setelah di periksa hasilnya adalah sebagai berikut.

No Banyakya siswaBanyaknya siswa yangIndeks Kategori


soal yang menjawabmenjawab (B) soal
B
(N)

N
1 20 18 0,9 Mudah

2 20 12 0,6 Sedang

3 20 10 0,5 Mudah

4 20 20 1,0 Seang

5 20 6 0,3 Sukar

6 20 4 0,2 Sukar

7 20 16 0,8 Mudah
8 20 11 0,55 Sedang

9 20 17 0,85 Sedang

10 20 5 0,25 Sukar

Dari sebaran di atas ternyata ada tiga soal yang meleset, yakni soal nomor 3 yang semula di
proyeksikan kedalam kategori mudah, setelah di coba ternyata termasuk kedalam kadegori
sedang.demikian,juga soal nomor 4 yang semula di proyeksikan sededang ternyata termasuk
kedalam kategori mudah . nomor 9 semula di kategorikan sedang ternyata termasuk kedalam
kategori mudah. Sedangkan tujuh soal yang lainya sesuai dengan proyeksi semula atas dasar
tersebut ketiga soal diatas harus diperbaiki kembali.

Soal no : 3 dinaikan dalam kategori sedang.

Soal no : 4 diturunkan dalam kategori mudah.

Soal no : 9 di turunkan kedalam kategori mudah.

B. Analisis Daya Pembeda

Salah satu tujuan analisis kuantitatif soal adalah untuk menentukan dapat tidaknya suatu soal
membedakan kelompok dalam aspek yang di ukur sesuai dengan perbedaan yang ada dlam
kelompok itu.

Indeks yang di gunakan dalam membedakan peserta tes yang berkemampuan tinggi dengan
peserta tes yang berkemampuan rendah adalah indeks daya pembeda.       Indeks ini
menunjukkan kesesuaian antara fungsi soal dengan fungsi tes secara keseluruhan. Dengan
demikian validitas soal ini sama dengan daya pembeda soal yaitu daya yang membedakan antara
peserta tes yang berkemampuan tinggi dengan peserta tes yang berkemampuan rendah.

1.    Hubungan antara tingkat kesukaran dan daya pembeda.


Tingkat kesukaran berpengaruh langsung pada daya pembeda soal. Jila setiap orang memilih
benar jawaban ( P = 1 ), atau jika setiap orang memiliki benar jawaban (P = 0) maka soal tidak
dapat digunakan untuk membedakan kemampuan peserta tes. oleh kaena itu soal yang baik
adalah soal yang memiliki daya pembeda antara peserta tes kelompok atas dan kelompok rendah.
Kelompok rendah memiliki tingkat kemampuam 0.50 dan akan diperoleh daya pembeda
kelompok atas maksimal 1.00.

2.    Daya pembeda soal pilihan ganda                   

Bagaimana menentukan daya pembeda soal pilihan ganda?Yang menunjukkan tingkat kesukaran
soal pilihan ganda. Daya pembeda di tentukan dengan melihat kelompok atas dan kelompok
bawah berdasarkam sekor total. perhatikan tabel berikut.

Skor
Nomor soal
No Peserta
Total
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Aan 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 8
1 0 0 0 1 0 0 0 1 0
1 1 1 1 0 1 1 1 0 0
2 Adi 3
1 1 1 1 1 1 1 1 0 0
1 0 1 0 1 0 0 0 1 0
3 Ana 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 7
1 0 0 0 1 0 0 0 1 0
1 1 1 1 0 1 1 0 0 0
4 Andi 8
1 0 0 1 1 0 0 0 1 0

5 Candra 4

6 dian 8

7 Risma 3
1 0 0 0 0 0 1 1 1 0

8 sasa 6

9 titik 4

10 uun 4
Untuk memudahkan perhitungan sekor yang terdapat pada tabel di urutkan dari peserta tes yang
memperoleh skor yang tinggi menuju peserta yang memperoleh sekor yang rendah. Perhatikan
tabel berikut:

Nomor soal
No Peserta Skor
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Aan 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 8
1 1 1 1 1 1 1 1 0 0
1 1 1 1 1 1 1 1 0 0
2 Dian 8
1 1 1 1 0 1 1 1 0 0
1 1 1 1 0 1 1 0 0 0
3 Andi 1 0 1 0 1 0 0 0 1 0 8
1 0 0 1 1 0 0 0 1 0
1 0 0 0 1 0 0 1 1 0
4 Ana 7
1 0 0 0 1 0 0 0 1 0

5 Sasa 6

6 Candra 4

7 Titik 4
1 0 0 0 1 0 0 0 1 0

8 Uun 4

9 Adi 3

10 Risma 3
Jumlah
10 5 6 6 8 5 5 5 5 0
jawaban benar
Jumlah peserta 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10
Kesukaran 0.00 0.50 0.60 0.60 0.80 0.50 0.50 0.50 0.5 1.00

Keterangan :

Skor Siswa kelompok atas 6 – 10

Skor Siswakelompok bawah 5 – 1

Berikut ini cara menghitung daya beda:


Nilai DB akan merentang antara nilai -1,00 hingga +1.00. dengan mengambil soal comtoh di atas
beberapa kondisi  soal dapat di jelaskan sebagai berikut:

contoh : soal nomor 2 semua siswa kelompok atas dapat menjawab benar dan semua siswa
kelompok bawah menjawab salah, maka DB akan + 1,00.  DB  dapat di tentukan besarnya
dengan rumus sebagi berikut : PT – PR

TB RB

T T

PT    =Proporsi siswa yang menjawab benar pada kelompok siswa yang mwmpunyai  kemampuan
tinggi

PR    =Proporsi siswa yang menjawab benar pada kelompok siswa yang mwmpunyai  kemampuan
rendah

TB    =Jumlah siswa yang menjawab benar pada kelompok siswa yang mempunyai kemampuan
tinggi

T    =Jumlah kelompok siswa yang mempunyai kemampuan tinggi.

RB   =Jumlah siswa yang menjawab benar pada kelompok siswa yang mempunyai kemampuan
rendah

R   =Jumlah kelompok siswa yang mempunyai kemampuan rendah.

Berikut adalah tabel kategori tingkat kesukaran dalam daya beda.

No soal Kelompok atas Kelompok bawah Daya Beda


1 1.00 1.00 0.00

2 1.00 0.00 1.00

3 1.00 0.10 0.90

4 1.00 0.10 0.90


5 0.30 0.60 -0.30

6 1.00 0.00 1.00

7 1.00 0.10 0.90

8 0.80 0.10 0.70

9 0.00 1.00 -1.00

10 0.00 0.00 0.00

Kembali pada tingkat kesukaran yang di tunjukkan pada tabel dapat kita lihat soal no 9
merupakan soal yang sukar bagi kelompok atas tetapi sangat mudah bagi kelompok bawah soal
no 10 merupakan soal yang sangat sukar baik bagi kelompok atas maupun kelompok bawah. 
soal nomor 2 dan nomor 6 merupakan soal yang sangat sukar dagi kelompok bawah tetapi relatif
mudah untuk kelompok atas. Perhitungan daya beda sangatlah sederhana dan menyajikan
informasi yang dapat membedakan masing – masing kelompok berdasarkan kemampuan mereka.
(engelhart, 1965) . soal nomor 1 dan nomor 10  tidak menujukkan perbedaan antar kelompok.
Tidak adanya perbedaan tingkat kesukaran pada soal nomor 1 dan nomor 10 yang juga
menujukkan bahwa soal tidak dapat menujukkan perbedaan antar kelompok. Soal no 5 dan no 9
mempunyai indeks dayabeda yang baik, tetapi terbalik. Tanda negatif  no 5 dan no 9 menujukkan
bahwa peserta tes yang kemampuanya tinggi tidak dapat menjawab soal dengan benar  , tetapi
peserta tes yang kemampuanya rendah menjawab dengan benar , data setatistik diatas
menunjukkan bahwa soal nomor 5 dan 9 merupakan soal yang tidak baik, data setatistik
menujukkan bahwa soal nomer 2,3,4,6,7 dan 8 merupakan soal yang baik ditinjau dari daya
pembeda.

3.    Daya pembeda soal uraian 

Bagaimana cara menentukan daya pembeda soal uraian? Lankah yang di lakukan untuk
menghitung daya pembeda sama seperti yang dilakukan pada soal pilihan ganda. Urutkan
seluruh peserta tes berdasarkan perolehan sekor total dari yang tinggi keperolehan sekor yang
rendah.

Dari contoh diatasdapat disimpulkan bahwa cara menghitung daya pembeda adalah dengan
menempuh langkah sebagai berikut :

1.Memeriksa  jawaban soal semua siswa peserta tes.

2.Membuat daftar peringkat atau urutan hasil tes berdasarkan sekor yang di capainya.

3.Menentukan jumlah siswa kelompok atas dan kelompok bawah.

4.Menghitung selisi tingkat kesukaran menjawab soal antara kelompok atas dan kelompok
bawah.

5.Membandingkan nilai selisih yang di peroleh.

6.Menentukan ada tidaknya daya pembeda pada setiap nomor soal dengan kriteria “memiliki
daya pembeda”.

TEKNIK ANALISIS BUTIR TES

PENDAHULUAN
Pada saat ini terdapat dua pengukuran yang berkembang dan banyak digunakan dalam
merancang dan menganalisis alat ukur atau tes. Pertama adalah Teori Tes Klasik yang
dikembangkan sejak tahun 1940 dan telah digunakan secara luas, sedang teori yang kedua adalah
Teori Respons Butir, yang berkembang setelah teknologi komputer berkembang. Teori yang ke
dua ini menggunakan lebih banyak asumsi dibandingkan dengan teori yang bertama, namun
dapat menyajikan informasi lebih banyak.
A. TEORI KLASIK ANALISIS BUTIR SOAL
Pengertian “klasik” pada Teori Klasik ini menunjukkan pada ukuran “waktu”. Teori Klasik
analisis butir merupakan teori analisis butir yang pertama kali dipergunakan. Meskipun terdapat
beberapa kelemahan dalam teori ini, namun dalam praktik pendidikan, teori ini masih banyak
dipergunakan, hal ini disebabkan teori klasik memiliki keunggulan pada kemudahan dalam
pemahaman konsep dan penggunaannya.
Menurut Teori Tes Klasik, skor tampak (X) terdiri dari skor sebenarnya / true score (T) dan skor
kesalahan / error (E), atau formulasi sederhananya adalah
X = T + E
Terdapat dua asumsi dasar yang digunakan pada teori Tes Klasik, yaitu tidak ada korelasi antara
skor yang sebenarnya dengan skor kesalahan, dan rerata kesalahan acak pengukuran sama
dengan 0 (nol). Berdasarkan asumsi tersebut kemudian dikembangkan sejumlah formula untuk
menghitung besarnya indeks kehandalan suatu butir tes. (Mardapi, 1998: 27)
Menurut teori Klasik, ada tiga parameter butir yang diestimasi yaitu tingkat kesukaran, daya
beda dan dugaan (guessing). Dengan ketiga parameter tersebut, maka menurut Teori Klasik
analisis butir soal dapat dilakukan dengan menghitung tingkat kesukaran, daya beda. Untuk soal
yang berbentuk pilihan ganda (multiple choice) dapat diteruskan dengan menghitung proporsi
respon testee terhadap option (pilihan) yang disediakan atau dengan istilah lain dengan
melakukan analisis terhadap berfungsi tidaknya distraktor / pengecoh.
1. Tingkat Kesukaran
Tingkat kesukaran suatu item (butir soal) dinyatakan dalam bentuk indeks kesukaran (diffculty
index) yang disimbulkan dengan huruf P (Aswar, 1996: 134) (Suryabrata, 1997: 12-15)
(Arikunto, 1995: 211-215) (Fernandes, 1984: 25-27) (Thoha, 1994: 145-146).
Indeks kesukaran merupakan rasio antara penjawab item dengan benar dan banyaknya penjawab
item (testee yang menjawab). Secara teoritik dikatakan bahwa P sebenarnya merupakan
probabilitas empirik untuk lulus item tertentu bagi sekelompok siswa tertentu. Indeks kesukaran
item tersebut dapat diformulasikan sebagai berikut:

Keterangan:
P = indeks kesukaran item
JSB = jumlah testee yang menjawab item dengan benar
JS = jumlah testee yang menjawab item.
Sebagai contoh, dari 100 siswa yang dikenai suatu tes, ternyata item nomor 1 dapat dijawab
benar oleh 65 orang di antara mereka, sedangkan selainnya 35 menjawab salah. Maka item
nomor 1 tersebut indeks kesukarannya (p) adalah 65 dibagi 100 = 0,65.
Indeks kesukaran item soal berkisar antara 0,00 hingga 1,00. Semakin mendekati angka 1,00
menunjukkan item soal tersebut semakin mudah. Dengan demikian nilai indeks kesukaran item
berlawanan arah dengan tingkat kesukaran, sehingga indeks tersebut lebih tepat dikatakan
sebagai indeks kemudahan dari pada indeks kesukaran. Namun sudah menjadi kesepakatan
(salah kaprah), meskipun nilai indeks berlawanan arah dengan tingkat kesukaran tetap dikenal
dengan istilah indeks kesukaran.

0,00 1,00
sukar / sulit mudah
Untuk menentukan taraf kesukaran yang ideal tergantung pada beberapa faktor, antara lain: sifat
hal yang diukur, interkorelasi antara item, tujuan khusus si perancang tes dan sesebagainya.
Apabila tujuab pengukuran itu adalah untuk pengukuran penguasaan (mastery testing), maka
indeks yang diinginkan adalah 1,00. Namun jika tujuan tes hendak menyeleksi secara ketat
terhadap sejumlah testee, maka diperlukan indeks kesukaran yang rendah (mendekati nol).
Namun demikian, mengingat pada umumnya tes juga bertujuan untuk mengetahui tingkat
perbedaan kemampuan (competence testing) testee, kebanyakan ahli berpendapat bahwa tes yang
terbaik adalah tes yang terdiri atas item-item soal yang mempunyai taraf kesukaran sedang
(cukup) dan rentang distribusi kesukarannya kecil, yakni item tes dengan indeks kesukaran
antara 0,30 sampai 0,70 (Mehren, 1973: 329) (Fernandes, 1984: 29) (Sudijono, 1996: 372).
Item soal yang terlalu sulit dengan indeks kesukaran terlalu rendah (mendekati 0,00) dan item
soal yang terlalu mudah dengan indeks kesukaran tinggi (mendekati 1,00) secara umum tidak
banyak memberikan kontribusi keefektifan suatu tes. Hal ini disebabkan butir soal tersebut tidak
memiliki kemampuan untuk membedakan testee yang berkemampuan tinggi dengan testee yang
berkemampuan rendah. Item soal yang terlalu mudah akan mampu dijawab benar oleh siswa
yang memiliki kemampuan tinggi dan rendah. Sebaliknya item soal yang terlalu sulit, kedua
kelompok testee menjawab salah. Dengan demikian daya diskrimansi item tersebut rendah atau
tidak baik.
Perlu diingat bahwa besarnya harga P yang dihitung merupakan indeks kesukaran item soal bagi
seluruh kelompok testee, buka indeks kesukaran bagi masing-masing testee secara individual.
Taraf kesukaran bagi masing-masing testee adalah berbeda-beda dan kita tidak tahu seberapa
sulit atau seberapa mudah suatu item soal bagi siswa. Harga P yang dihitung dalam kelompok
hanya merupakan rata-rata indeks kesukaran bagi seluruh siswa dalam kelompok itu. Apa yang
kita ketahui adalah apabila testee mampu menjawab benar suatu item soal berarti taraf kesukaran
item tersebut lebih rendah dari pada taraf kemampuannya dalam menjawab. Sebaliknya, apabila
testee salah menjawab suatu item soal berarti bahwa tingkat kemampuannya lebih rendah dari
pada taraf kesukaran item yang bersangkutan.
2. Daya Beda Item
Terdapat dua konsep “daya beda”, yang pertama adalah kemampuan suatu item soal dalam
membedakan antara siswa yang memiliki kemampuan tinggi / baik / good student dengan siswa
yang memiliki kemampuan rendah / poor student (Fernandes, 1984: 27). Sementara konsep yang
kedua, daya beda item adalah tingkat kesesuaian antara item soal dengan keseluruhan soal dalam
membedakan antara mereka yang tinggi kemampuannya dan mereka yang rendah
kemampuannya dalam hal yang diukur oleh tes yang bersangkutan. (Suryabrata, 1997: 100).
Kedua konsep tersebut didasarkan atas asumsi bahwa dalam suatu kelompok testee terdapat
Kelompok Tinggi dan Kelompok Rendah. Suatu item soal yang baik adalah item soal yang
hanya mampu dijawab benar oleh testee yang memang memiliki kemampuan (Kelompok
Tinggi). Kalau proporsi penjawab benar dari dua kelompok tersebut sama, berarti item soal
tersebut tidak mampu membedakan antara mereka yang berkemampuan tinggi dan mereka yang
kemampuan rendah. Apalagi bila suatu item soal ternyata justru dapat dijawab benar oleh
sebagian besar subyek Kelompok Rendah, sedangkan sebagian besar subyek Kelompok Tinggi
tidak banyak yang mampu menjawab dengan benar, maka hal itu menunjukkan bahwa item soal
tersebut menyesatkan karena daya diskriminasinya terbalik (minus).
Untuk menghitung Daya Beda antara testee Kelompok Tinggi dengan testee Kelompok Rendah,
pada konsep daya beda yang pertama menggunakan formula sebagai berikut:

Keterangan:
D = indeks diskriminasi item
BT = jumlah kelompok tinggi yang menjawab benar
JT = jumlah kelompok tinggi
BR = jumlah kelompok renah yang menjawab benar
JR = jumlah kelompok rendah.
Untuk penghitungan indeks daya beda terlebih dahulu testee dipisahkan ke dalam Kelompok
Tinggi dan Kelompok Rendah. Pembagian kelompok ini didasarkan atas hasil jawaban benar
oleh testee terhadap keseluruhan tes. Testee diurutkan dari yang jumlah jawaban benar tertinggi
hingga jumlah jawaban benar terendah. Apabila jumlah seluruh testee kurang dari 100,
pengelompokan dapat dilakukan dengan membagi seluruh testee menjadi dua (masing-masing
kelompok 50 % = 50 testee). Sedangkan jika testee berjumlah lebih dari 100, untuk memilih
Kelompok Atas dapat diambil 27 % testee teratas (rankingnya), dan untuk Kelompok Bawah
diambil 27 % testee terbawah (ranking dari bawah), masing-masing kelompok tersebut mewakili
Kelompok Atas dan Bawah.
Besarnya indeks diskriminasi item soal merentang antara -1,00 hingga 1,00. Klasifikasi tingkat
diskriminasi soal serta interpretasinya, menurut Suharsimi Arikunto (1995: 223) dengan sedikit
modofikasi dari penulis, adalah sebagai berikut:

Tabel.1 Indeks Daya Beda dan Interpretasinya

Indeks Daya Beda

Interpretasi
Negatif
Sangat jelek
0,00 – 0,20
Jelek (poor)
0,21 – 0.40
Cukup (satisfactory)
0,41 – 0,70
Baik (good)
0,71 – 1,00
Baik sekali (excellent)

Sementara itu, untuk menghitung daya beda butir soal pada konsep yang kedua, yakni kesesuaian
item dengan keseluruhan tes dalam membedakan antara mereka yang tinggi kemampuannya dan
mereka yang rendah kemampuannya, teknik yang dipergunakan adalah dengan menggunakan
teknik Korelasi Biserial dan teknik Korelasi Point Biserial. Rumus Korelasi Biserial yang
dipergunakan adalah sebagai berikut:
Keterangan:
Xb : rata-rata skor kriteria subyek yang menjawab benar
Xs : rata-rata skor kriteria subyek yang menjawab salah
St : simpangan baku skor kriteria semua subyek
P : proporsi subyek yang menjawab benar terhadap semua subyek
Y : Ordinat dalam kurve normal yang membagi menjadi P dan 1-P
Bagian esensial dalam rumus di atas adalah perbedaan antara kedua rata-rata dalam
perbandingan dengan simpangan baku. Makin besar perbedaan kedua rata-rata (Xb – Xs) itu
akan semakin tinggi korelasi biserial, dan berarti makin tinggi daya beda soal.
Teknik lain yang biasa digunakan untuk menghitung indeks diskriminasi adalah teknik Korelasi
Point-Biserial (biserial titik), yang formulasinya sebagai berikut:

Keterangan:
Xb = rata-rata skor kriteria yang menjawab benar
Xs = rata-rata skor kriteria yang menjawab salah
St = simpangan baku skor kriteria total
p = proporsi jawaban benar terhadap semua jawaban
q=1–p

Mana di antara kedua teknik tersebut yang hendak dipergunakan, tergantung kepada
pertimbangan yang mendasari pemilihan tersebut. Sementara ahli lebih menyukai r pbis karena
koefisen ini memberikan informasi yang lebih dari pada yang diberikan r bis. Nilai r pbis
terpengaruh oleh p yang harga maksimumnya akan diperoleh kalau p = 0,50. Ini berarti bahwa
koefisien ini cenderung mengutamakan soal-soal yang mempunyai taraf kesukaran rata-rata.
Dengan istilah lain korelasi Point-Biserial merupakan kombinasi antara hubungan soal dengan
kriteria serta taraf kesukaran. Sementara kelompok ahli lain lebih menyukai menggunakan
korelasi Biserial karena ingin memperlakukan korelasi antara soal dengan kriteria bebas dari
taraf kesukaran.
Hubungan antara Tingkat Kesukaran dan Daya Beda
Tingkat Daya Beda yang “tinggi” pada umumnya berada pada Tingkat Kesukaran “sedang” ke
atas. Sementara itu Tingkat Kesukaran yang “tinggi” tidak selalu menunjukkan Daya Beda yang
tinggi. Dapat terjadi Tingkat Kesukaran menunjukkan “baik” atau “cukup” sementara Daya
bedanya 0 (nol), jika proporsi jawaban benar Kelompok Atas (tinggi) sama dengan proporsi
jawaban benar Kelompok Rendah (bawah). Bahkan dapat terjadi Tingkat Kesukaran “baik” ,
sementara Daya Bedanya “negatif” (minus), jika ternyata proporsi jawaban benar Kelompok
Rendah lebih besar dari pada proporsi jawaban benar Kelompok Tinggi.
3. Berfungsi Tidaknya Distraktor / Pengecoh
Analisis butir ini, sebagaimana telah dikemukakan penulis di awal bagian ini, hanya berlaku
untuk soal berbentuk pilihan ganda (multiplr choice). Dalam soal bentuk ini alternatif jawaban
(option) yang disediakan (kadang 3, 4 atau 5 pilihan) satu di antaranya merupakan kunci jawaban
sedangkan yang lainnya merupakan distraktor.
Konsep dasar dalam analisis ini adalah bahwa distraktor yang baik adalah distraktor yang
mampu mengecoh testee untuk memilihnya, sehingga manakala tidak ada satu pun di antara
testee yang memilihnya, maka dapat dikatakan distraktor atau pengecoh tersebut tidak berfungsi.
Berapa ukuran suatu distraktor telah berfungsi. Menurut Suharsimi Arikunto (1995: 226) secara
umum suatu distraktor dikatakan telah berfungsi dengan baik manakala distraktor tersebut dipilih
minimal 5 % dari seluruh testee. Sementara Fernandes (1984: 29) mensyaratkan lebih kecil lagi,
yakni minimum 2 %.
Keterbatasan Teori Klasik Analisis Butir
Meskipun teori Klasik analisis butir soal telah banyak dipergunakan, namun ternyata memiliki
kelemahan. Kelemahan utama adalah bahwa hasil analisis tergantung pada kelompok peserta tes
(testee) dan kelompok soal yang diteskan (Hambleton, 1991: 2-3).
Suatu butir soal dapat memiliki indeks kesukaran tinggi (soal mudah) jika diujikan pada
sekelompok testee yang memiliki kemampuan tinggi. Sebaliknya butir soal tersebut akan
memiliki indeks kesukaran rendah (soal sulit) manakala diujikan pada sekelompok siswa / testee
yang memiliki kemampuan rendah.
Begitu juga dengan skor yang diperoleh testee akan tergantung pada tingkat kesukaran suatu
soal. Seorang siswa akan memiliki tingkat skor tinggi manakala kepadanya diberikan soal yang
mudah (indeks kesukaran tinggi). Sebaliknya siswa yang sama akan memiliki skor rendah
manakala kepadanya diberikan soal yang sulit (indeks kesukaran rendah).
B. TEORI RESPON BUTIR
Teori Respon Butir merupakan teori analisis butir soal yang berkembang setelah berkembangnya
teknologi komputer. Hal ini disebabkan dalam Teori Respon Butir memerlukan perhitungan yang
lebih rumit, sehingga akan menjadi kurang efisien dan praktis untuk dilakukan penghitungan
secara manual.
Teori Respon Butir memiliki tiga model, yaitu model satu parameter, dua parameter dan tiga
parameter (Hambleton & Swaminathan, 1991). Model satu parameter dikenal dengan Model
Rasch. Dalam model ini terdapat dua asumsi, yaitu:
1. Semua butir memiliki daya pembeda yang sama
2. Peluang menjawab butir benar bagi mereka yang memiliki kemampuan rendah sama dengan 0
(nol).
Dengan kata lain semua kurve karakteristik butir-butir model ini adalah sejajar atau mendekati
sejajar. Oleh karena itu parameter butir pada model Rasch adalah hanya tingkat kesulitan butir,
sedangkan parameter daya pembeda dianggap sama, dan dugaan pseudo dianggap sama dengan
nol.
Persamaan model satu parameter yang dikenal dengan model Rash dapat ditulis sebagai berikut:

Pi (q) adalah peluang menjawab benar butir I, D = 1,7 dan q adalah kemampuan, serta b adalah
tingkat kesukaran butir. Model dua parameter menggunakan asumsi bahwa peluang menjawab
benar bagi mereka yang memiliki kemampuan rendah adalah 0 (nol), sehingga hanya ada dua
parameter yang ditaksir, yaitu tingkat kesukaran dan daya pembeda. Pada tiga parameter tidak
menggunakan asumsi tentang parameter butir, sehingga tiga parameter butir, yaitu tingkat
kesukaran, daya pembeda dan faktor dugaan, ketiganya ditaksir besarnya.
Dilihat dari kesederhanaannya, model satu parameter tampak paling sederhana, namun
menggunakan asumsi yang lebih banyak. Sifat ini yang menjadi pertimbangan bagi Balitbang
depdikbud untuk menggunakan model satu parameter, yang dikenal dengan Model Rasch, dalam
mengembangkan jaringan pengujian di Indonesia.
Untuk model 2 parameter, parameter yang digunakan adalah taraf kesukaran butir bj dan daya
pembedaan butir aj. Model logistik Teori respon Butir dengan 2 parameter adalah sebagai
berikut:
Dalam model logistik untuk Teori Respon Butir dengan 3 parameter, dengan menambahkan
parameter cj yakni parameter kebetulan menjawab dengan benar ke dalam model logistik 2
parameter, sehingga diperoleh model logistik 3 parameter sebagai berikut:
Dengan model tiga parameter, maka tingkat kemungkinan tebakan tergantung pada jumlah
option yang disediakan. Jika option yang disediakan berjumlah 5 (lima), maka tingkat
kemungkinan menebak benar ( c ) secara teori untuk masing-masing butir adalah 0,20, dalam
prakteknya tidak mesti masing-masing option memiliki peluang yang sama. Dalam teori Respon
Butir parameter peluang tebakan butir soal yang baik berkisar antara 0 sampai dengan +0,35.
Harga parameter lebih dari 0,35 berarti soal tersebut harus diganti.
Sementara untuk analisis daya beda soal (a), Hambleton et al (1991) menjelaskan apabila suatu
butir soal memiliki daya pembeda bernilai negatif, berarti butir soal tersebut harus diganti atau
dibuang, sedangkan daya pembeda > +2 jarang terjadi. Sehingga daya beda yang berkisar antara
0 sampai dengan +2 menunjukkan bahwa butir soal tersebut dapat membedakan antara peserta
yang tinggi kemampuannya dengan yang rendah kemampuannya.
Kriteria untuk tingkat kesukaran (b), butir-butir soal yang memiliki nilai lebi dari +2 atau b > +2
adalah butir-butit soal yang dianggap terlalu sukar. (Hambleton, te al, 1991). Butir yang terlalu
sukar tidak dapat melakukan fungsi ukurnya dengan baik, karena peserta tes akan cenderung
menjawab dengan menggunakan tebakan. Harga parameter tingkat kesukaran yang baik berkisar
antara 0 sampai dengan +2. Butir soal yang memiliki harga parameter lebih kecil dari -2 adalah
butir soal yang terlalu mudah harus diganti. Butir soal yang memiliki harga parameter antara –2
sampai dengan 0 adalah butir soal yang harus direvisi.
Dibandingkan dengan teori Tes Klasik, teori Respon Butir memiliki kelemahan yakni pada
penghitungan yang kompleks serta membutuhkan ukuran cuplikan yang besar. Namun karena
penghitungan Teori respon Butir menggunakan paket program komputer, maka kelemahan
tersebut dapat diatasi.

Anda mungkin juga menyukai