TINJAUAN TEORITIS
Perawatan paliatif adalah kesehatan terpadu yang aktif dan menyeluruh dengan
pendekatan multidisiplin yang terintregrasi. Tujuannya untuk mengurangi penderitaan
pasien, memperpanjang umunya, meningkatkan kualitas hidupnya, juga memberikan
support kepada keluarganya. Meski pada pasien meninggal, sebelum meninggal
sudah siap secara psikologis dan spiritual.
Etik adalah kesepakatan tentang praktik moral, keyakinan, sistem nilai standar
perilaku individu dan atau kelompok tentang penilaian terhadap apa yang benar dan
apa yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, apa yang merupakan
kejahatan, apa yang dikehendaki dan apa yang ditolak.
3) Otonomi
7) Confidentality (kerahasiaaan)
Aturan dalam prinsip kerahasiaan ini adalah bahwa informasi tentang pasien
harus dijaga privasinya. Apa yang terdapat dalam dokumen catatan kesehatan
pasien hanya boleh dibaca dalam rangka pengobatan pasien. Tak ada satu
orang pun dapat memperoleh informasi tersebut kecuali diijinkan oleh pasien
dengan bukti pesetujuannya.
G. Hal – hal yang harus mendapat perhatian dalam hal etika perawatan
paliatif
1) Persetujuan tindakan terapi (informed consent)
Semua isi dalam bab ini menganggap pasien telah memberikan
persetujuan tindakan terapi. .Kegagalan untuk mendapatkan persetujuan
adalah risiko klaim malpraktik. Seorang dokter harus memberikan informasi
tentang risiko, keuntungan, dan alternatif untuk pengobatan tertentu dengan
cukup detil sehingga orang yang mampu dapat mengandalkan informasi
tersebut untuk mengambil keputusan. Perawatan paliatif memerlukan
perhatian khusus untuk persetujuan karena adanya taruhan emosional yang
tinggi, dan pasien sedang dalam kondisi.yang baik untuk mendengarkan.
Masih terdapat perdebatan etis yang serius di masyarakat tentang perawatan
paliatif pada penyampaian kebenaran pada akhir kéhidupan. 33 Praktisi
yang memilih untuk melindungi pasien dari fakta-fakta yang berat harus
meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu adalah keputusan yang matang dan
hati-hati.
2) Memberi harapan palsu
menyampaikan berita tersebut, dokter perlu mempertimbangkan keadaan
psikologis penderita. Namun pada prinsipnya dokter tidak berhak
menyembunyikan informasi yang perlu diketahui oleh penderita.
3) Tindakan diskriminatif
Prognosis yang buruk untuk penyakit penderita seringkali dijadikan
alasan untuk tidak memberikan pelayanan kesehatan yang baik pada
penderita. Seringkali, haI- hal yang sangat ’ mengganggu bagi penderita
kanker lanjut seperti rasa nyeri, tidak terlalu diperhatikan dan pengobatan
diberikan dari jarak jauh. Padahal, kehadiran tenaga kesehatan pada saat-
saat ini sangatlah diperlukan untuk rr‘wemberikan rasa aman bagi penderita.
4) Tidak resusitasi
Bila terjadi keadaan yang membutuhkan dokter untuk melakukan
resusitasi, seringkali halangannya adalah kehendak penderita agar dirinya
tidak diresusitasi. Dalam hal ini, sebaiknya masalah resusitasi tidak
diputuskan oleh dokter seorang, tetapi dibicarakan terlebih dahulu dengan
penderita dan keluarga.
5) Eutanasia aktif
Penyakit kanker stadium lanjut seringkali menyebabkan penderita
mengalami ketidaknyamanan yang amat sangat sehingga penderita menjadi
putus asa dan ingin mengakhiri hidupnya. Penderita akan meminta tenaga
kesehatan untuk mengakhiri hidupnya atau setidaknya mempercepat
kematian. Di Indonesia, eutanasia ini bertentangan dengan etika.
6) Mengakhiri dan menghentikan perawatan sebagai eutanasia pasif
Kapan dan bagaimana berhenti melakukan perawatan kuratif agresif
adalah isu etis yang vital. Pertanyaan etisnya adalah bagaimana untuk
mendefinisikan persyaratan yang siapa yang boleh membuat keputusan
untuk menghentikan perawatan dan kapan serta bagaimana keputusan itu
diambil.
7) Dokter memutuskan siapa yang kompeten untuk mengambil keputusan
Hanya pasien yang memiliki. kemampuan untuk mengambil
keputusanlah yang dapat memberikan persetujuan. Kemampuan untuk
mengambil keputusan didefinisikan sebagai "kemampuan individu untuk
memahami manfaat yang aignifikan, risiko, dan alternatif untuk diusulkan
kesehatan dan untuk membuat dan mengkomunikasikan keputusan
kesehatan". Dokter memiliki hak dan tanggung jawab untuk menentukan
apakah pasien memiliki kompetensi tersebut. Ini adalah kewajiban hukum
dari dokter dan kewajiban tugas kepada pasien.
Tenaga kesehatan seringkali merasa tidak tega untuk menyampaikan
fakta yang sebenarnya kepada penderita dan keluarga sehingga memberikan
harapan yang berlebihan, bahkan harapan palsu. Penderita dan keluarga
berhak untuk mengetahui apa yang terjadi pada dirinya. Akan tetapi, perlu
diingat bahwa dalam Dalam praktiknya, etika dan konsultasi kejiwaan dapat
membantu membentuk keputusan, dan terdapat peluang untuk diskusi
sensitif dengan anggota keluarga. Jika anggota keluarga tidak setuju,
mereka harus membawa keprihatinan mereka untuk disahkan oleh hakim
pengadilan.
8) Pasien yang kompetenlah yang berhak mengambil keputusan setelah
mendapat informasi yang cukup
Orang dewasa yang kompeten memiliki hak yang tak terbatas untuk
menolak perawatan medis dan untuk mengundurkan diri dari perawatan.
Pasien yang kompeten tidak harus sakit parah untuk menolak perawatan.
Keputusan tidak harus masuk akal bagi tim medis atau berada dalam
kepentingan terbaik pasien. Keluarga tidak harus setuju dan, kecuali pasien
masih kecil, bahkan tidak memiliki hak hukum untuk tahu. Dalam beberapa
yurisdiksi, terdapat istilah pengecualian untuk "dewasa remaja" sehingga
sejumlah anak di bawah umur bisa mengambil keputusan untuk diri mereka
sendiri. Kewajiban hukum dokter adalah untuk menginformasikan kepada
pasien secara penuh, memastikan bahwa konsekuensi dan risiko telah
dipahami, dan kemudian menghormati instruksi pasien atau merujuk pasien
ke dokter lain yang mau melakukan instruksi pasien.
9) Komgman ponderita dan warisan
Tanaga kesehatan seringkali kurang memperhatikan keinginan
pendants yang menghadapi kematian. Penderita seringkali ingun untuk
didampingi oleh keluarga dan penasehat agamanya don ngin dilaksanakan
upacara ritual sesuai dengan agamanya. Same halnya dengan keinginan
untuk menulis surat warisan hendaknya sedapat mungkin dipenuhi.
DAFTAR PUSTAKA