Anda di halaman 1dari 30

TUGAS REFERAT

STROKE

Dokter Pembimbing:

dr. Tutwuri Handayani. Sp,S, M.KES

Disusun Oleh :

Ghina Rasyidah

2016730041

KEPANITRAAN KLINIK STASE SARAF


RSUD R. SYAMSUDIN SH
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2020
Assalamualaikum wr.wb.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
hidayah-Nya laporan referat ini dapat diselesaikan. Pada kesempatan
ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. Tutwuri Handayani, Sp.S, M.Kes atas
kesediaan beliau sebagai pembimbing dalam penulisan laporan ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan laporan ini masih belum sempurna, baik dari segi
materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan laporan ini. Atas bantuan dan
segala dukungan dari berbagai pihak baik secara moral maupun spiritual, penulis ucapkan terima
kasih.

05 Agustus 2020

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

Stroke merupakan penyakit kegawatdaruratan neurologi yang bersifat akut dan salah satu
penyebab kecacatan dan kematian di beberapa negara di dunia. Pada tahun 2013, terdapat sekitar
25,7 juta kasus stroke dengan hamper separuh kasus (10,3 juta kasus) merupakan stroke pertama.
Sebanyak 6,5 juta pasien mengalami kematian dan 11,3 juta pasien mengalami kecacatan.

Di negara berkembang, secara umum angka kecacatan dan kematian stroke cukup tinggi
yakni 81% dan 75,2%. Di Idnoensia, stroke merupakan penyebab kematian tertinggi berdasarkan
data Riset Kesehatan Dasar tahun 2007, yaitu 15,4. Data Indonesia Stroke Registry tahun 2012-
2013 mendapatkan sebanyak 20,3% kematian pada 48 jam pertama pascastroke.

Kecacatan dapat berupa defisit neurologi yang berdampak pada gangguan emosional dan
sosial, tidak hanya bagi pasien namun juga bagi keluarganya. Hal ini diperberat dengan tingginya
serangan stroke berulang, jika faktor risiko stroke tidak teratasi dengan baik.
BAB II

PEMBAHASAN

1. DEFINISI

Stroke merupakan kumpulan gejala akibat gangguan fungsi otak akut baik fokal maupun
global yang mendadak, disebabkan oleh berkurang atau hilangnya aliran darah pada
parenkim otak, retina, atau medulla spinalis, yang dapat disebabkan oleh penyumbatan atau
pecahnya pembuluh darah arteri maupun vena yang dibuktikan dengan pemeriksaan
pencitraan otak dan/ atau patologi.

2. EPIDEMIOLOGI

Insidens stroke di Asia sangat bervariasi, antara lain Malaysia (67 per 100.000 penduduk)
dan Taiwan (330 per 100.000) penduduk. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)
Kementerian Kesehatan tahun 2013, prevalensi stroke di Indonesia meningkat dari 8,3%
pada tahun 2007 menjadi 12,1% pada tahun 2013. Terdapat perbedaan prevalensi di berbagai
provinsi dengan posisi tiga besar secara berurutan yakni Sulawesi Selatan (17,9%), DIY
(16,9%), dan Sulawesi Tengah (16,6%)

Prevalensi stroke meningkat seiring bertambahnya usia dengan puncaknya pada usia ≥ 75
tahun. Di Indonesia, prevalensi stroke tidak berbeda berdasarkan jenis kelamin. Namun di
jepang, insidens stroke pada jenis kelamin laki-laki dua kali lipat dari perempuan yakni
masing-masing 442 per 100.000 penduduk dan 212 per 100.000.

Presentase stroke iskemik lebih tinggi dibandingkan dengan stroke hemoragik. Laporan
American Heart Association (AHA) tahun 2016 mendapatkan stroke iskemik mencapai 87%
serta sisanya adalah perdarahan intraserebral dan subaraknoid. Hal ini sesuai dengan data
Stroke Registry tahun 012-2014 terhadp 5.411 pasien stroke di Indonesia, mayoritas adalah
stroke iskemik (67%). Demikian pula dari 384 pasien stroke yang menjalani rawat inap di
RSUPN Cipta Mangunkusumo (RSCM) pada tahun 2014, sebanyak 71,4% adalah stroke
iskemik.

Adapun angka kematian akibat stroke iskemik (11,3%) relative lebih kecil dibandingkan
stroke perdarahan (17,2%). Secara umum dari 61,9% pasien stroke iskemik yang dilakukan
pemeriksaan CT Scan di Indonesia didpatkan infark terbanyak pada sirkulasi anterior (27%),
diikuti infark lacunar (11,7%), dan infark pada sirkulasi posterior (4,2%).

3. KLASIFIKASI STROKE

Klasifikasi stroke terbagi menjadi dua berdasarkan patologi.

1) Berdasarkan patologi

Berdasarkan patologinya, stroke dibedakan menjadi stroke iskemik (sumbatan)


dan stroke hemoragik (perdarahan).

a. Stroke Hemoragik

Stroke hemoragik atau yang dikenal sebagai perdarahan intraserebral spontan


merupakan salah satu jenis patologi stroke yang diakibatkan pecahnya pembuluh
darah intraserebral. Pembuluh darah pecah dan kemudian melepaskan darah ke otak.
Setelah pecahnya arteri, pembuluh darah tidak mampu membawa darah dan oksigen
ke otak dan menyebabkan sel mati. Kondisi tersebut menimbulkan gejala neurologi
yang terjadi secara tiba-tiba dan seringkali diikuti gejala akibat efek desak ruang atau
peningkatan tekanan intrakraninial. Itu sebabnya angka kematian pada stroke
hemoragik menjadi lebih tinggi dibandingkan stroke iskemik.

b. Stroke Iskemik

Stroke akibat terjadi akibat penutupan aliran darah ke sebagian otak tertentu. Aliran darah ke
otak terhenti karena aterosklerosis (penumpukan kolesterol pada dinding pembuluh darah) atau
bekuan darah yang telah menyumbat di sepanjang jalur pembuluh darah arteri yang menuju ke
otak, maka terjadi serangkaian proses patologik pada daerah iskemik. Perubahan ini dimulai
dari tingkat seluler berupa perubahan fungsi dan struktur sel yang diikuti dengan kerusakan
fungsi dan integritas susunan sel, selanjutnya akan berakhir dengan kematian neuron. Dapat
berupa iskemia, emboli, spasme ataupun trombus pembuluh darah otak. Umumnya terjadi
setelah beristirahat cukup lama atau bangun tidur. Tidak terjadi perdarahan, kesadaran
umumnya baik dan terjadi proses edema otak oleh karena hipoksia jaringan otak. Hampir
sebagian besar pasien atau sebesar 83% mengalami stroke jenis ini.
Klasifikasi Oxford Community Stroke Project (OCSP) juga dikenal sebagai
Bamford, membaginya berdasarkan gejala awal dan episode stroke yaitu total
anterior circulation infarct (TACI), partial anterior circulation infarct (PACI),
lacunar infarct (LACI), dan posterior circulation infarct (POCI).

4. FAKTOR RISIKO

Secara umum, faktor risiko stroke terbagi menjadi dua, yaitu:

(1) Faktor risiko yang dapat dimodifikasi atau dilakukan tata laksana, antara lain
hipertensi, DM, merokok, obesitas, asam urat, dan hiperkolesterol
(2) Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi yaitu usia, jenis kelamin dan etnis.

Faktor risiko yang dapat dimodifikasi, antara lain :

A. Hipertensi

Hipertensi merupakan faktor risiko stroke tersering, sebanyak 60%


penyandang hipertensi akan mengalami stroke. Hipertensi dapat menimbulkan
stroke iskemik (50%) maupun stroke perdarahan (60%). Data menunjukkan
bahwa risiko stroke trombotik pada penyandang hipertensi sekitar 4,5 kali lebih
tinggi dibandingkan normotensi. Pada usia >65 tahun, penyandang hipertensi
memiliki risiko 1,5 kali lebih tinggi dibandingkan normotensi.
Patofisiologi hipertensi menyebabkan terjadinya perubahan pada
pembuluh darah. Perubahan dimulai dari penebalan tunika intima dan peningkatan
permeabilitas endotel oleh hipertensi lama, terutama pada arteri dengan ukuran
kecil, yaitu sekitar 300-500mm (cabang perforata). Proses akan berlanjut dengan
terbentuknya deposit lipid terutama kolesterol dan kolesterol oleat pada tunika
muskularis yang menyebabkan lumen pembuluh darah menyempit serta berkelok-
kelok.
Pada hipertensi kronik akan terbentuk nekrosis fibrinoid yang
menyebabkan kelemahan dan herniasi dinding arteriol, serta ruptur tunika intima,
sehingga terbentuk suatu mikroaneurisma yang disebut Charcot-Bouchard.
Kelainan ini terjadi terutama pada arteri yang berdiameter 100-300mm (arteriol).
Pengerasan dinding pembuluh darah dapat mengakibatkan gangguan
autoregulasi, berupa kesulitan untuk berkontraksi atau berdilatasi terhadap
perubahan tekanan darah sistemik. Jika terjadi penurunan tekanan darah sistemik
yang mendadak, tekanan perfusi otak menjadi tidak adekuat, sehinggga
menyebabkan iskemik jaringan otak. Sebaliknya, jika terjadi peningkatan tekanan
darah sistemik, maka akan terjadi peningkatan tekanan perfusi yang hebat yang
akan menyebabkan hiperemia, edema, dan perdarahan.
B. Diabetes Melitus
Sebanyak 10-30% penyandang DM dapat mengalami stroke, Suatu studi
terhadap 472 pasien stroke selama 10 tahun menunjukkan adanya riwayat DM
pada 10,6% laki-laki dan 7,9% perempuan.
Penelitian menunjukan adanya peranan hiperglikemi dalam proses
aterosklerosis, yaitu gangguan metabolisme berupa akumulasi sorbitol di dinding
pembuluh darah arteri. Hal ini mennyebabkan gangguan osmotik dan
bertambahnya kandungan air di dalam sel yang dapat mengakibatkan kurangnya
oksigenisasi.
Peranan genetik pada DM belum diketahui secara pasti. Dipikirkan
terdapat abnorrnalitas geknetik yang dihubungkan dengan abnormalitas seluler
secara intrinsik berupa pemendekan usia kehidupan (life span) sel dan
peningkatan proses pergantian (turnover) sel di dalam jaringan. Proses ini dapat
juga terjadi pada sel endotel dan sel otot polos dinding pembuluh darah.
Penyandang DM sering disertai dengan hiperlipidemia yang merupakan
faktor risiko terjadinya proses aterosklerosis. Pada penelitian oleh National
Cholesterol Education Program (NCEP), kurang lebih 40% penyandang DM
termasuk dalam kriteria hiperlipidemia serta 23% mengalami hipertrigliserida dan
kadar high density lipoprotein (HDL) yang rendah.
C. Merokok
Secara prospektif merokok dapat meningkatkan perburukan serangan
stroke sebesar 3,5 kali dan dihubungkan dengan banyaknya konsumsi rokok. Hal
ini dapat disebabkan oleh beberapa mekanisme. Pertama, akibat derivat rokok
yang sangat berbahaya, yakni nikotin. Nikotin diduga berpengaruh pada sistem
saraf simpatis dan proses trombotik. Dengan adanya nikotin, kerja sistem saraf
simpatis akan meningkat, termasuk jalur simpatis sistem kardiovaskular, sehingga
akan terjadi peningkatan tekanan darah, denyut jantung dan meningkatnya aliran
darah ke otak.
Pengaruh nikotin terhadap proses trombotik melalui enzim
siklooksigenase, yang menyebabkan penurunan produksi prostasiklin dan
tromboksan. hal itu mengakibatkan peningkatan agregasi trombosit dan
penyempitan lumen buluh darah, sehingga memudahkan terjadinya stroke
iskemik. Selain ituan merokok dalam waktu lama akan meningkatkan agregasi
trombosit, kadar fibrinogen, dan viskositas darah, serta menurunkan aliran darah
ke otak yang menyebabkan terjadinya stroke iskemik.
Karbondioksida juga dipikirkan memiliki pengaruh. Ikatan karbondioksida
di dalam darah 200 kali lebih tinggi dibandingkan oksigen, sehingga seolah olah
oksigen di dalam darah sedikit. Hal ini menyebabkan peningkatan produksi
eritrosit oleh tubuh, sehingga komposisi eritrosit plasma tinggi, yang terlihat
sebagai peningkatan nilai hematokrit yang disebut polisitemia sekunder.
D. Asam Urat
Salah satu penelitian di Jepang terhadap usia 50-79 tahun selama 8 tahun
menunjukkan hiperurisemia merupakan faktor risiko penting terjadinya stroke.
Penelitian kohort di Honolulu dengan rentang usia 55-64 tahun selama 23 tahun
memperlihatkan hubungan bermakna antara asam urat, kadar kolesterol, tekanan
darah sistolik, dan kadar trigliserida terhadap kejadian aterosklerosis berupa
penyakit jantung dan stroke. Kondisi hiperurisemia diduga merupakan salah satu
faktor yang dapat meningkatkan agregasi trombosit.
E. Dislipidemia
Meskipun tidak seberat yang dilaporkan sebagai penyebab penyakit
jantung, salah satu penelitian observasional menunjukan hubungan peningkatan
kadar lipid plasma dan kejadian stroke iskemik. Metaanalisis terhadap studi
kohort juga menyebutkan kekuatan hubungan antara hiperlipidemia dan stroke.
Komponen dislipidemia yang diduga berperan, yakni kadar HDL yang rendah dan
kadar Iow density lipoprotein (LDL) yang tinggi. Kedua hal tersebut
mempercepat aterosklerosis pembuluh darah koroner dan serebral.

Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi, yaitu Usia, Jenis kelamin, dan Ras/Suku
Bangsa.

A. Usia

Angka kejadian stroke meningkat seiring bertambahnya usia, yaitu 0,4% (usia 18
tahun), 2,4 % (usia 65-74 tahun), hingga 9,7% (usia 75 tahun atau lebih), sesuai dengan
studi Framingham yang berskala besar. Hal ini disebabkan oleh peningkatan terjadinya
aterosklerosis seiring peningkatan usia yang dihubungkan pula dengan faktor risiko
stroke lainnya, seperti atrial fibrilasi (atrialfibrillation/AF) dan hipertensi. AF dan
hipertensi sering dijumpai pada usia lanjut.
B. Jenis Kelamin
Laki-laki memiliki risiko stroke 1,25-2,5 kali lebih tinggi dibandingkan perempuan.
Namun, angka ini berbeda pada usia lanjut. Prevalensi stroke pada penduduk Amerika
perempuan (tahun 1999-2000) berusia 275 tahun lebih tinggi (84,9%) dibandingkan
laki-laki (70,7%).
Data pasien stroke di Indonesia juga menunjukkan rerata usia perempuan (60,4±13,8
tahun) lebih tua dibandingkan laki-laki (57,5 ±12,7 tahun). Hal ini dipikirkan
berhubungan dengan estrogen. Estrogen berperan dalam pencegahan plak aterosklerosis
seluruh pembuluh darah, termasuk pembuluh darah serebral. Dengan demikian
perempuan pada usia produktif memiliki proteksi terhadap kejadian penyakit vaskuler
dan aterosklerosis yang menyebabkan kejadian stroke lebir rendah dibandingkan lelaki.
Namun pada keadaan menopause dan menopause yang terjadi pada usia lanjut, produksi
estrogen menurun sehingga menurunkan efek proteksi tersebut.
C. Ras/Suku Bangsa
Berdasarkan ras, didapatkan ras kulit hitam Amerika mengalami risiko stroke lebih
tinggi dibandingkan kulit putih. Insidens stroke pada kulit hitam sebesar 246 per
100.000 penduduk dibandingkan 147 per 100.000 penduduk untuk kulit putih.
5. PATOGENESIS
1) Stroke Iskemik
Proses terjadinya stroke iskemik diawali dengan adanya sumbatan pembuluh
darah oleh thrombus atau emboli yang mengakibatkan sel otak mengalami gangguan
metabolisme karena tidak mendapat suplai darah, oksigen, dan energy. Trombus
terbentuk oleh adanya proses aterosklerosis pada arkus aorta, arteri karotis, maupun
pembuluh serebral. Proses ini diawali oleh cedera endotel dan inflamasi yang
mengakibatkan terbentuknya plak pada dinding pembuluh darah. Plak akan
berkembang semakin lama semakin tabal dan sklerotik. Trombosit kemudian akan
melekat pada plak serta melepaskan faktor-faktor yang menginisiasi kaskade
koagulasi dan pembentukan trombus.
Thrombus dapat lepas dan menjadi embolus atau tetap pada lokasi asal dan
menyebabkan oklusi dalam pembuluh darah tersebut. Emboli merupakan bagian
thrombus yang terlepas dan menyumbat pembuluh darah di bagian yang lebih distal.
Emboli ini sebagian besar berasal dari thrombus di jantung yang terbentuk pada
keadaan tertentu seperti atrial fibrilasi dan riwayat infark miokard. Bila proses ini
berlanjut akan menyebabkan iskemia jaaringan ota kyang menyebabkan kerusakan
yang bersifat sementara atau menjadi permanen yang disebut infrak.
Disekeliling area otak yang mengalami infark biasanya hanya mengalami
ganguan metabolisme yang bersifat sementara yang disebut daerah penumbra. Daerah
ini masih bisa diselamatkan jika dilakukan perbaikan aliran darah kembali (reperfusi)
segera, sehingga mencegah kerusakan yang lebih luas yang berarti mencegah
kecacatan dan kematian. Namun jika penumbra tidak dapat diselamatkan maka akan
menjadi daerah infark. Infark tersebut bukan saja disebabkan oleh sumbatan, tetapi
juga bat proses inflamasi, gangguan sawar darah Otak (SDO) atau (blood brain
barrier/BBB) zat neurotoksik akibat hipoksia, menurunnya aliran darah
mikrosirkulasi kolateral, dan tata laksana untuk reperfusi.
Pada daerah di sekitar penumbra, terdapat berbagai tingkatan kecepatan aliran
darah serebral atau cerebral blood flow (CBF) Aliran pada jaringan Otak normal
adalah 40-50cc/100g otak/menit, namun Pada daerah infark, tidak ada aliran sama
sekali (CBF OmL/100g otak/menit).
Pada daerah yang dekat dengan infark CBF adalah sekitar 10cc/100g otak/menit.
Daerah ini disebut juga dengan daerah ambang kematian sel (threshold of neuronal
death), oleh karena sel otak tidak dapat hidup bila CBF di bawah 5cc/100g
otak/menit.
Pada daerah yang lebih jauh dari infark di dapatkan CBF sekitar 20cc/100g
otak/menit Pada daerah ini aktivitas listrik neuronal terhenti dan struktur intrasel tidak
terintegrasi dengan baik. Sel di daerah tersebut memberikan kontribusi pada
terjadinya defisit neurologis, namun memberikan respons yang baik jika dilakukan
terapi optimal.
Bagian yang lebih luar mendapatkan CBF 30-40cc/100g otak/menit, yang disebut
dengan daerah oligemia. Bagian terluar adalah bagian otak yang normal. Bagian ini
mendapatkan CBF 40-50cc/100g otak/menit. Bila kondisi penumbra tidak ditolong
secepatnya maka tidak menutup kemungkinan daerah yang mendapat aliran darah
dengan kecepatan kurang tadi akan berubah menjadi daerah yang infark dan infark
yang terjadi akan semakin luas.
Pada daerah yang mengalami iskemia, terjadi penurunan kadar adenosine
triphosphate (ATP), sehingga terjadi kegagalan sel, pompa kalium dan natrium serta
peningkatan kadar laktat intraselular. Kegagalan pompa kalium dan natrium
menyebabkan depolarisasi dan peningkatan pelepasan neurotransmiter glutamat.
Depolarisasi meningkatkan kadar kalsium intraselular, sedangkan glutamat yang
dilepaskan akan berikatan dengan reseptor glutamat, yakni N-metil-D-aspartat
(NMDA) dan a-amino-3-hydroxy-5-methyl 4-isonazolipropionid-acid (AMPA), yang
selanjutnya akan menyebabkan masuknya kalsium intraselular. Dengan demikian, hal
tersebut semakin meningkatkan kadar kalsium intraselular. Kalsium intraselular
memicu terbentuknya radikal bebas, nitrit oksida (NO), inflamasi, dan kerusakan
DNA melalui jalur enzimatik seperti Ca 2+ ATPase, calsium-dependent
phospholipase, protease, endonuklease, dan kaspase yang keseluruhannya
berkontribusi terhadap kematian sel.
2) Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik umumnya didahului oleh kerusakan dinding pembuluh darah
kecil di otak akibat hipertensi. Penelitian membuktikan bahwa hipertensi kronik dapat
menyebabkan terbentuknya aneurisma pada pembuluh darah kecil di otak. Proses
turbulensi aliran darah mengakibatkan terbentuknya nekrosis fibroid, yaitu nekrosis
sel/jaringan dengan akumulasi matriks fibrin. Pada beberapa kasus, pecahnya
pembuluh darah tidak didahului oleh terbentuknya aneurisma, namun semata-mata
karena peningkatan tekanan darah yang mendadak.
Pada kondisi normal, otak mempunyai sistem autoregulasi pembuluh darah
serebral untuk mempertahankan aliran darah ke otak. Jika tekanan darah sistemik
meningkat, sistem ini bekerja melakukan vasokontriksi pembuluh darah serebral.
Sebaliknya, bila tekanan darah sistemik menurun, akan terjadi vasodilatasi pembuluh
darah serebral. Pada kasus hipertensi, tekanan darah meningkat cukup tinggi selama
berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya
hialinisasi pada dinding pembuluh darah, sehingga pembuluh darah akan kehilangan
elastisitasnya. Kondisi ini berbahaya karena pembuluh darah serebral tidak lagi bisa
menyesuaikan diri dengan fluktuasi tekanan darah sistemik, kenaikan tekanan darah
secara mendadak akan dapat menyebabkan pecahnya pembuluh darah.
Darah yang keluar akan terakumulasi dan membentuk bekuan darah (hematom) di
parenkim otak. Volume hematoma tersebut akan bertambah, sehingga memberikan
efek desak ruang, menekan parenkim otak, serta menyebabkan peningkatan TIK. Hal
ini akan memperburuk kondisi linis pasien, yang umumnya berlangsung dalam 24-48
jam onset, akibat perdarahan yang terus berlangsung dengan edema di seitarnya, serta
efek desak ruang hematom yang mengganggu metabolisme dan aliran darah.
Pada hematom yang besar, efek desak ruang menyebabkan pergeseran garis
tengah (midline shift) dan herniasi otak yang pada akhirnya mengakibatkan iskemia
dan perdarahan sekunder. Pergeseran tersebut juga dapat menekan sistem ventrikel
otak dan mengakibatkan hidrosefalus sekunder. Kondisi ini sering terjadi pada kasus
stroe hemorgaik akibat pecahnya pembuluh darah arteri serebri posterior dan anterior.
Keadaan tersebut akan semakin meningkatkan TIK dan meningkatkan tekanan vena
di sinus-sinus duramater.
Sebagai kompensasi untuk mempertahankan perfusi otak, tekanan arteri juga akan
meningkat. Dengan demikian, akan didapatkan peningkatan tekanan darah sistemik
pascastroke.

Gambar Stroke hemoragik dan stroke iskemik

6. MANIFESTASI KLINIS
A. Stroke Iskemik

Gejala gangguan fungsi otak pada stroke sangat tergantung pada daerah otak yang
terkena. Defisit neurologis yang ditimbulkannya dapat bersifat fokal maupun global,
yaitu:

- Kelumpuhan sesisi/kedua sisi, kelumpuhan satu ekstremitas, kelumpuhan otot-


otot penggerak bola mata, kelumpuhan otot-otot untuk proses menelan, bicara,
dan sebagainya
- Gangguan fungsi keseimbangan
- Gangguan fungsi penghidu
- Gangguan fungsi penglihatan
- Gangguan fungsi pendengaran
- Gangguan fungsi Somatik sensoris
- Gangguan fungsi kognitif, seperti : gangguan atensi, memori, bicara verbal,
gangguan mengerti pembicaraan, gangguan pengenalan ruang, dan sebagainya
- Gangguan global berupa gangguan kesadaran.

Pemeriksaan sederhana untuk mengenali gejala dan tanda stroke yang disusun oleh
Cincinnati menggunakan singkatan FAST, mencakup F yaitu facial droop (mulut
mencong/tidak simetris), A yaitu arm weakness (kelemahan pada tangan), S yaitu speech
difficulties (kesulitan bicara), serta T, yaitu time to seek medical help (waktu tiba di RS
secepat mungkin). FAST memiliki sensitivitas 85% dan spesifisitas 68% untuk
menegakkan stroke, serta reliabilitas yang baik pada dokter dan paramedis.
Tanda klinis stroke juga dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan fisik neurologi untuk
mengkonfirmasi kembali tanda dan gejala yang didapatkan berdasarkan anamnesis.
Pemeriksaan fisik yang utama meliputi penurunan kesadaran berdasarkan Skala Koma
Glasgow (SKG), kelumpuhan saraf kranial, kelemahan motorik, defisit sensorik gangguan
otonom, gangguan fungsi kognitif, dan lain-lain.
A. Stroke Hemoragik

Perjalanan klinis pasien stroke hemoragik dapat berkembang dari defisit


neurologis fokal hingga gejala peningkatan TIK berupa nyeri kepala, penurunan
kesadaran dan muntah, serta perburukan klinis defisit neurologis seiring dengan
perluasan lesi perdarahan yang memberikan efek desak ruang. Perkembangan ini
dapat berlangsung dalam periode menit, jam dan bahkan hari.
Beberapa gejala klinis stroke hemoragik antara lain nyeri kepala, penurunan
kesadaran, muntah, kejang, kaku kuduk serta gejala lain seperti aritmia jantung dan
edema paru. Nyeri kepala merupakan gejala yang paling sering dikeluhkan, berkaitan
dengan lokasi dan luasnya lesi perdarahan, yaitu pada stroke hemoragik di daerah
lobaris, serebelum dan lokasi yang berdekatan dengan struktur permukaan meningen.
Pada perdarahan kecil di parenkim otak yang tidak memiliki serabut nyeri, tidak
terdapat nyeri kepala saat fase awal perdarahan. Namun seiring perluasan hematom
yang menyebabkan peningkatan TIK dan efek desak ruang, keluhan nyeri baru
muncul yang biasanya disertai muntah dan penurunan kesadaran.
Penurunan kesadaran terjadi pada stroe hemoragik yang besar atau berlokasi di
batang otak. Hal ini disebabkan efek desak ruang dan peningkatan TIK, serta
keterlibatan struktur reticulating activating system (RAS) di batang otak. Muntah
juga akibat peningkatan TIK atau kerusakan lokal di ventrikel keempat, biasanya
pada perdarhan sirkulasi posterior. Kejang merupakan gejala yang dikaitkan dengan
lokasi perdarahan. Lokasi yang bersifat epileptogenik antara lain perdarahan lobar,
gray white matter junction di korteks serebri, dan putamen.
Gejala lain yang dapat terjadi adalah kaku kuduk, aritmia jantung, dan edema
paru. Kaku kuduk dapat terjadi pada perdarahan di talamus, kaudatus dan serebelum.
Aritmia jantung dan edema paru biasanya berhubungan dengan peningkatan TIK dan
pelepasan katekolamin.
7. DIAGNOSIS
Penegakkan diagnosis stroke dilakukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
umum dan neurologi, serta pemeriksaan penunjang. Hal yang terpenting adalah
menentukan tipe dari stroke, apakah stroke iskemik atau stroke hemoragik. Hal ini
berkaitan dnegan tatalaksana yang berbeda di antara keduanya sehingga kesalahan akan
mengakibatkan morbiditas bahkan mortalitas.
A. Anamnesis
Hal yang perlu ditanyakan kepada pasien meliputi identitas, kronologis
terjadinya keluhan, faktor risiko pada pasien maupun keluarga, dan kondisi sosial
ekonomi pasien.
Tanyakan apakah kelihan terjadi secara tiba-tiba, saat beraktivitas, atau saat
pasien baru bangun tidur.
Pada pasien stroke hemoragik, pasien umumnya berada dalam kondisi sedang
beraktivitas atau emosi yang tidak terkontrol. Durasi sejak serangan hingga
dibawa ke pusat kesehatan juga menentukan prognosis.
Keluhan yang dialami pasien juga dapat menuntun proses penegakan
diagnosis. Pasien dengan keluhan sakit kepala disertai muntah (tanpa mual) dan
penurunan kesadaran, umumnya mengarahkan kecurigaan kepada stroke
hemoragik dengan peningkatan TIK akibat efek desak ruang. Meskipun demikian,
pada stroke hemoragik dengan volume perdarahan kecil, gejala dapat menyerupai
stroke iskemik tanpa ditemukan tanda-tanda peningkatan TIK.
Tanyakan riwayat trauma kepala serta pola hidup (merokok, alcohol, obat-
obatan tertentu).
B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik harus dimulai dengan keadaan umum, kesadaran, dan tanda
vital. Pada stroke hemoragik, keadaan umum pasien bisa lebih buruk
dibandingkan dengan kasus stroke iskemik. Lalu, pemeriksaan kepala, mata,
telinga, hidung, dan tenggorokan (THT), dada (terutama jantung), abdomen, dan
ekstremitas. Pemeriksaan ekstremitas bertujuan terutama untuk mencari edema
tungkai akibat thrombosis vena dalam atau gagal jantung.
Pada pemeriksaan tekanan darah, perlu dibandingkan tekanan darah di
ekstremitas kiri dan kanan, serta bagian tubuh atas dan bawah dengan cara
menghitung rerata tekanan darah arteri (mean arterial blood pressure/MABP)
karena akan mempengaruhi tata laksana stroke.
Pola pernapasan merupakan hal penting yang harus diperhatikan karena dapat
menunjukkan lokasi perdarahan.
C. Pemeriksaan Neurologis Awal
Pemeriksaan neurologi awal penilaian tingkat kesadaran dengan
menggunakan GCS, dan dipantau secara berkala. Diikuti pemeriksaan reflex
batang otak yang meliputi reaksi pupil terhadap cahay (paling sering dilakukan),
reflex kornea dan reflex okulo sefalik.
Setelah itu dilakukan pemeriksaan nervus kranialis satu persatu serta motoric
untuk menilai trofi, tonus, dan kekuatan otot, dilanjutkan reflex fisiologis dan
reflex patologi.
Hasil pemeriksaan motoric dibandingkan kanan dan kiri serta atas dan bawah
guna menentukan luas dan lokasi lesi. Selanjutnya, pemeriksaan sensorik dan
otonom (terutama yang berkaitan dengan inkontinensia atau retensio urin).
Penggunaan sistem skor dapat bermanfaat bila tidak terdapat fasilitas
pencitraan otak yang dapat membedakan secara jelas patologi penyebab stroke.
Namun, sistem skor tidak dapat dipastikan pada patologi stroke yang terjadi. Hal
ini disebabkan akrena manifestasi klinis pada stroke hemoragik dengan volume
perdarahan kecil dapat menyerupai stroke iskemik. Demikian pula manifestasi
klinis stroke iskemik luas dengan peningkatan TIK mirip dengan stroke
hemoragik.
Sistem penskoran yang sering digunakan adalah skor stroke Siriraj, sistem ini
sering digunakan untuk membedakan stroke iskemik atau perdarahan.
Sistem Penskoran Stroke Siriraj :
(2,5 x kesadaran) + (2 x Vomitus)+ (2 x nyeri kepala) + (0,1 x tekanan
diastolic) – (3 x atheroma) – 12
Interpretasi :
Skor < 1 = stroke iskemik
Skor > 1 = perdarahan intraserebral
Skor 0 = meragukan
Tabel Skor Stroke Siriraj
Komponen Skor
Kesadaran Kompos Mentis 0
Somnolen 1
Stupor/Koma 2
Vomitus Tidak ada 0
Ada 1
Nyeri Kepala Tidak Ada 0
Ada 1
Ateroma Tidak ada memiliki skor 0 0
Ada DM, angina, atau penyakit pembuluh darah 1
Algoritma Gajah Mada
D. Pemeriksaan Penunjang
Kriteria diagnosis stroke iskemik adalah terdapat gejala defisit neurologis global
atau salah satu/
beberapa
defisit
neurologis
fokal yang terjadi
mendadak
dengan bukti
gambaran
pencitraan
otak (CT Scan
atau MRI).
Adapun
diagnosis
banding
yang paling sering yakni stroke hemoragik (bila belum dilakukan CT/MRI otak). Pada
stroke hemoragik, CT Scan menjadi pemeriksaan gold standart.

Gambaran CT Scan pada pasien dengan stroke hemoragik dan stroke


iskemik
Diperlakukan pemeriksaan penunjang untuk memastikan diagnosis serta untuk
mengeksplorasi faktor risiko dan etiologi stroke iskemik berupa:
a. EKG
b. CT Scan kepala non kontras, CT angiografi atau MRI dengan perfusi dan
difusi serta magnetic resonance angiogram (MRA)
c. Doppler Karotis dan vertebralis
d. Doppler transcranial (transcranial doppler/TCD)
e. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium di IGD yakni hematologi rutin, glukosa darah sewaktu,
dan fungsi ginjal (ureum, kreatinin). Selanjutnya diruang perawatan dilakukan
pemeriksaan rutin glukosa darah puasa dan 2 jam pascaprandial, HbA1C, profil lipid,
CRP, dan LED.
Pemeriksaan hemostasis, seperti APTT, PT, INR, enzim jantung, fungsi hati, tes
uji fungsi trombosit (uji resistensi aspirin dan klopidogrel), serta elektrolit dilakukan di
atas indikasi.
Pemeriksaan penunjang lain disesuaikan dengan indikasi (sebagian dapat
dilakukan di ruang rawat) meliputi:
a. Digital substraction angiography (DSA) serebral
b. MR difusi dan perfusi atau CT perfusi otak
c. Ekokardiografi
d. Rontgen Toraks
e. Saturasi oksigen dan analisis gas darah
f. Pungsi lumbal jika dicurigai ada perdarahan subaraknoid namun di CT Scan
tidak ditemukan ada perdarahan
g. EKG holter, jika dicurigai terdapat AF paroksismal
h. EEF, jika dicurigai ada kejang
i. Penapisan toksikologi
j. Pemeriksaan antikardiolipin dan antibody antinuclear jika dicurigai ada lupus
k. Pemeriksaan neurobehaviour

8. TATA LAKSANA STROKE


Tatalaksana stroke dapat dibagi menjadi tata laksana umum dan khusus. Tata
laksana umum bertujuan untuk menjaga dan mengoptimalkan metabolism otak meskipun
dalam keadaan patologis. Tata laksana khusus untuk mencegah terjadi perdarahan
berlanjut, mengontrol tekanan darah, identifikasi kondisi yang membutuhkan intervensi
bedah, serta melakukan diagnosis dan terapi terhadap penyebab perdarahan.
Tata Laksana Umum:
A. Stabilisasi Jalan Napas dan Pernapasan
Untuk mencapai tujuan tata laksana umum, hal utama adalah melihat serta
melakukan stabilisasi jalan dan saluran pernapasan untuk menghindari hipoksia.
Apabila terjadi gangguan ventilasi, dapat dilakukan pemasangan pipa endotrakeal
untuk emnjeaga patensi jalan napas.
Selain itu juga harus dipastikan kemampuan menelan pasien. Jika terjadi
gangguan menelan atau pasien dalam keadaan tidak sadar, perlu dilakukan
pemasangan pipa nasogastric untuk mencegah terjadinya aspirasi pemberian
makanan
B. Stabilisasi Hemodinamik
Keadaan hemodinamik pasien diharapkan tetap stabil dengan tidak
menurunkan tekanan perfusi serebral (cerebral perfusion pressure/CPP) hingga
menginduksi hipoksia. Untuk menjaga hemodinamik atau mengatasi keadaan
dehidrasi, sebaiknya diperhatikan hal berikut :
- Pemberian cairan kristaloid atau koloid IV, hindari cairan hipotonik seperti
glukosa
- Pemasangan central venous catheter (CVC) bila diperlukan, untuk memantau
kecukupan cairan serta sebagai sarana memasukkan cairan dan nutrisi dengan
target tekanan 5-12 mmHg
- Optimalisasi tekanan darah
- Pada pasien dengan defisit neurologis nyata, dianjurkan pemantauan berkala
status neurologis, nadi, tekanan darah, suhu tubuh dan saturasi oksigen dalam 72
jam.
C. Tata laksana peningkatan TIK
Merupakan tata laksana yang penting dengan memerhatikan hal-hal berikut:
- Pemantauan ketat terhadap pasien yang berisiko mengalami edema serebral
dengan memperhatikan perburukan gejala dan tanda klinis neurologis dalam 48
jam pertama serangan strok
- Monitor tekanana intracranial terutama pada pasien dengan perdarahan
intraventricular (dilakukan sebagai monitoring tekanan intracranial dan evakuasi
perdarahan intraventricular). Target terapi ada;ah TIK < 20mmHg dan CPP> 70
mmHg.
- Penatalaksanaan meliputi:
- Meninggikan posisi kepala 20-300
- Memposisikan pasien dengan menghindari penekanan vena jugulare
- Menghindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik
- Menghindari hipertermia
- Menjaga normovolemia
- Pemberian osmoterapi atas indikasi:
Manitol 0,25-0,50 gr/kgBB, selama >20 menit, diulangi setiap 4-6 jam dengan target
osmolaritas <310mOsm/L. osmolaritas sebaiknya diperiksa 2 kali dalam sehari selama
pemberian osmoterapi. Agen osmoterapi lain yang dapat digunakan adalah NaCl 3%. Jika
perlu, berikan furosemid dengan dosis inisial 1mg/ kgBB IV
- Intubasi untuk menjaga normoventilasi (pCO2 35-40mmHg). Hiperventilasi mungkin
diperlukan bila akan dilakukan tindakan operatif.
D. Pengendalian Suhu Tubuh
Peningkatan suhu 1 derajat C akan meningkatan energy 7%. Oleh karena itu,
setiap pasien stroke yang disertai febris harus diberikan antipiretik, yakin
Paracetamol 1000mg 3x baik peroral atau IV, kemudian dicari dan diatasi
penyebabnya.

E. Tata Laksana Cairan


- Pada umumnya kebutuhan cairan 30mL/kgBB/hari (parenteral maupun enteral)
- Pemberian cairan isotonis seperti NaCl 0,9%, ringer laktat, dan ringer asetat,
dengan tujuan menjaga euvolemi. Tekanan vena sentral di pertahankan 5-12
mmHg.
- Cairan yang hipotonik atau mengandung glukosa hendaklah di hindari, kecuali
pada keadaan poglikemia.

F. Nutrisi
- Nutrisi enteral paling lambat sudah harus diberikan dalam 48jam, nutrisi oral
hanya boleh diberikan seteh hasil tes fungsi menelan baik.
- Bila terdapat gangguan menelan atau kesadaran menurun makanan diberikan
melalui pipa nasogastrik.
- Pada keadaan akut kebutuhan kalori 25-30kkal/kg/hari dengan komposisi:
 Karbohidrat 30-40% dari total kalori.
 Lemak 20-35% (pada gangguan nafas dapatlebih tinggi 35-55%).
 Protein 20-30% (pada keadaan stres kebutuhan protein 1,4-2,0g /
kgBB/hari (pada gangguan fungsi ginjal < 0,8g/kgBB/hari).
- Apabila kemungkinan pemakaian pipa nasogastrik diperkirakan >6 minggu,
pertimbangkan untuk gastrostomi.
- Pada keadaan tertentu yaitu pemberian nutrisi enteral tidak memungkinkan,
dukungan nutrisi boleh diberikan secara parenteral.
A. Pencegahan dan Penanganan Komplikasi
- Mobilisasi dan penilaian dini untuk mencegah komplikasi subakut (aspirasi,
malnutrisi, pneumonia, DVT, emboli paru, dekubitus, komplikasi ortopedik, dan
kontraktur perlu dilakukan).

- Berikan antibiotik atas indikasi dan usahakan sesuai dengan tes kultur dan
sensitivitas kuman atau minimal terapi empiris sesuai dengan pola kuman
(AHA/ASA level A).

- Pencegahan dekubitus dengan mobilisasi terbatas dan/atau memakai kasur


antidekubitus.

- Pada pasien tertentu yang berisiko menderita DVT seperti pasien dengan
trombofilia, perlu diberikan heparin subkutan 5.0001U dua kali sehari atau 10.000
IU drip per24 jam, atau LMWH atau heparinoid. (AHA/ASA level A). Perlu
diperhatikan terjadinya risiko perdarahan sistemik dan perdarahan intraserebral.
Pada pasien yang tidak bisa menerima antikoagulan, untuk mencegah DVT pada
pasien imobilisasi direkomendasikan penggunaan stoking eksternal atau Aspirin
(AHA/ ASA level A dan B).

B. Penatalaksanaan medik lain


a) Pemantauan kadar glukosa darah diperlukan
 Hiperglikemia (kadar glukosa darah >180mg/dL) pada stroke akut
harus diatasi dengan titrasi insulin (AHA/ ASA kelas I, level C).
Target yang harus dicapai adalah normoglikemia.

 Hipoglikemia berat (<50mg/dL) harus diatasi dengan dekstrosa


40% IV atau infus glukosa 10-20%.
Penderita dengan stroke hemoragik disupratentorial seharusnya dirawat di unit stroke.
1. Koreksi Koagulopati
a. Melakukan pemeriksaan hemostasis, antara lain prothrombin time (PT), activated
partial thrombin time (APTT), international normalized ratio (INR) dan trombosit,
serta koreksi secepat mungkin jika didapatkan kelainan.
b. Pasien dengan defisiensi faktor koagulasi berat atau trombositopenia berat harus
diberikan factor replacement therapy atau trombosit (AHA/ ASA Kelas 1, Level C)
c. Pada pasien dengan peningkatan INR karena penggunaan antagonis vitamin K
(VKA), maka VKA harus dihentikan. Diberikan terapi untuk menggantikan factor
pembekuan yang bersifat vitamin K dependent dan memperbaiki INR, serta diberikan
vitamin K IV (AHA/ ASA kelas I, level C). Prothrombin complex concentrates (PCC)
memiliki efek samping lebih sedikit dan memperbaiki INR lebih cepat sedikit
dibandingkan fresh frozen plasma (FFP), sehingga lebih dianjurkan (AHA/ASA kelas
IIb, Level B).Rrecombinant factor VIIa (rFVIIa) tidak direkomendasikan (AHA/ASA
kelas III, level C).
d. Untuk pasien yang mengkonsumsi dabigatran, rivaroksaban, atau apiksaban, terapi
dengan factor eight inhibitor bypass activity (FEIBA), PCC, atau rFVIIa dapat
dipertimbangkan sesuai kondisi individual pasien. Karbon aktif dapat digunakan jika
dosis terakhir dabigatran, rivaroksaban, atau apiksaban diminum < 2 jam.
Hemodialisis dapat dipertimbangkan pada pasien yang diberikan (AHA/ASA kelas
IIb, level C) (rekomendasi baru).
e. Protamine sulfat dapat dipertimbangkan untuk reversal heparin pada perdarahan
intraserebral akut (AHA/ ASA level C)
f. Meskipun dapat membatasi ekspansi perdarahan pada pasien stroke hemoragik tanpa
gangguan koagulasi, rFVIIa meningkatkan resiko tromboemboli, sehingga tidak
direkomendasikan (AHA/ASA kelas III, level A)
2. Tekanan Darah
Pada stroke hemoragik akut (onset kurang <6 jam), penurunan tekanan darah
secara agresif dengan target TD sistolik <140 mmHg dalam waktu kurang dari 1 jam
aman untuk dilakukan dan lebih superior dibandingkan dengan target tD sistolik
<180mmHg. Untuk menurunkan tekanan darah, dapat diberikan nikardipin, labetalol,
atau esmolol maupun antihipertensi oral. Namun tidak ada antihipertensi yang
spesifik.
a. Pada tekanan darah antara 150 sampai dengan 220 mmHg dan tanpa adanya
kontraindikasi terapi penurunan tekanan darah akut, penurunan tD sistolik akut 140
mmHg, aman dilakukan (AHA/ASA kelas I level A), dan efektif memperbaiki
keluaran fungsional (AHA/ASA level B)
b. Pada tekanan darah sistolik lebih dari 220mmHg dapat dilakukan penurunan
tekanan darah yang agresif dengan antihipertensi IV disertai pemantauan tekanan
darah yang rutin (AHA/ASA kelas IIb, level C) (rekomendasi baru).
3. Mempertahankan Cerebral Perfusiion Presure (CPP)
Pasien stroke hemoragik harus mempunyai tekanan darah yang terkontrol tanpa
melakukan penurunan tekanan darah yang berlebihan. Usahakan TD sistolik
<160mmHg dan CPP dijaga >60-70mmHg. Hal ini dapat dicapai dengan menurunkan
TIK ke nilai normal dengan pemberian manitol atau operasi. Pada kasus diperlukan
pemberian vasopresor, bisa diberikan:
a. Phenylephrine 2-10ug/kg/menit
b. Dopamin 2-10ug/kg/menit
c. Norepinefrin dimulai dengan 0,05- 0,2ug/kg/menit dan dititrasi sampai efek yang
diinginkan.
4. Penatalaksanaan Bedah

Evakuasi rutin hematom dengan pembedahan seharusnya tidak dilakukan. Tidak


didapatkan bukti evakuasi hematom memperbaiki keluaran dan tidak didapatkan data
mengenai kraniektomi dekompressi memperbaiki keluaran setelah perdarahan
intrakranial (AHA/ ASA kelas IIb, level B). Kraniotomi yang sangat dini dapat disertai
peningkatan risiko perdarahan berulang (AHA/ASA kelas IIb, level B). Namun demikian,
tindakan bedah yang dilakukan lebih awal (early surgery) dapat bermanfaat pada pasien
dengan SKG 9-12. Pada prinsipnya, pengambilan keputusan tergantung lokasi dan ukuran
hematom dan status neurologis penderita.
Secara umum indikasi bedah pada perdarahan intraserebral sebagai berikut:
 Hematom serebelar dengan diameter >3cm yang disertai penekanan batang otak dan
atau hidrosefalus akibat obstruksi ventrikel seharusnya dilakukan dengan sesegara
mungkin (AHA/ ASA kelas I, level B).
 Pendarahan dengan kelainan strukur seperti aneurisma atau malformasi arteriovena
(MAV), (AHA/ASA kelas III-V, level C).
 Perdarahan lobaris dengan ukuran sedang-besar yang terletak dekat dengan korteks
(<1cm) pada pasien berusia <45 tahun dengan SKG 9-12, dapat dipertimbangkan
evakuasi hematom supratentorial dengan kraniotomi standar (AHA/ASA kelas Ilb,
level B)
 Evakuasi rutin hematom supratentorial dengan kraniotomi standar dalam 96 jam
tidak direkomendasikan (AHA/ASA kelas III, level A), kecuali pada hematom
lobaris 1cm dari korteks.

Indikasi lain menurut KEMENKES, yaitu :


a. Lesi dengan efek massa, edema atau berpotensi terjadi herniasi
b. Lesi dimana gejala (hemiparise/plegi/ aphasia) terjadi diakibatkan peningkatan
TIK
c. Volume hematoma sedang (10-30 cc), hematom luas (30-85cc) dengan GCS >8
d. Dijumpai tanda peningkatan TIK yang menetap meskipun telah diberikan terapi
e. Penurunan kesadaran secara cepat
f. Terjadi pada pasien usia muda <50 tahun
g. Onset kejadian stroke <24 jam

5. Pemberian Obat Antiepilepsi (OAE)


Pemberian OAE yang sesuai seharusnya selalu digunakan untuk terapi bangkitan
klinis pada pasien dengan stroke hemoragik (AHA/ASA kelas I, level B). Pemberian
profilaksis OAE tidak direkomendasikan. Pada pasien koma (SKG <8) termasuk
pada perdarahan profunda di supratentorial (intracerebral hemorrhage supratentorial
profunda) dapat dipertimbangkan elektroensefalografi (EEG) monitoring 24 jam.
6. Pencegahan Perdarahan Intraserebral Berulang
Tata laksana hipertensi non akut merupakan hal yang sangat penting untuk
menurunkan risiko perdarahan berulang (AHA/ ASA kelas I, level A). Kebiasaan
merokok, alkoholisme berat, dan penggunaan kokain merupakan faktor risiko
perdarahan intraserebral, sehingga direkomendasikan untuk menghentikan kebiasaan
tersebut (AHA/ASA kelas I, level B).
7. Rehabilitasi Medik
Selayaknya stroke iskemik, fisioterapi dan mobilisasi cepat sangat dianjurkan
pada mereka stabil secara klinis (AHA/ ASA kelas I, level C).
Tata Laksana Spesifik Stroke Iskemik
1. Trombolisis Intravena
Terapi ini menggunakan recombinant tissue plasminogen activator (rTPA) seperti alteplase
dapat diberikan pada stroke iskemik akut dengan onset <6 jam secara intravena dengan
mengikuti protokol serta kriteria inklusi dan eksklusi yang ditetapkan.
Dosis yang dianjurkan adalah 0,6-0,9 mg/kgBB. Di RSUPN Cipto Mangunkusumo yang
memiliki code Stroke sebagai acuan tatalaksana trombolisis IV, menggunakan dosis 0,6 mg
berdasarkan studi Japan Alteplase Clinical Trial (JACT 2006)
2. Terapi Neurointervensi/Endovaskular
Adalah terapi yang menggunakan kateterisasi untuk melenyapkan thrombus di pembuluh
darah dengan cara melisiskan thrombus secara langsung (trombolisis intraarterial) atau dengan
menarik thrombus yang menyumbat dengan alat khusus (trombektomi mekanik).
Hal ini bermula dari sejarah digunakannya trombolisis untuk melisiskan thrombus yang
mengobstruksi arteri dalam upaya mengembalikan perfusi. Hingga 2015, rTPA adalah satu-
satunya tatalaksana definitive pada pasien stroke dengan onset kurang dari 4,5 jam dan
menjadi tatalaksana tunggal yang terbukti efektif untuk stroke iskemik.
3. Terapi Antiagregasi Trombosit
Pemberian aspirin dosis awal 325 mg dalam 12 jam setelah onset stroke dianjurkan untuk
setiap stroke iskemik akut.
Aspirin diberikan sebagai terapi pencegahan sekunder, sehingga tidak boleh digunakan
sebagai pengganti tindakan intervensi yang bertujuan untuk revaskularisasi. Jika direncanakan
pemberian trombolisis, aspirin jangan diberikan. Tidak direkomendasikan penggunaan aspirin
sebagai terapi ajuvan dalam 24 jam setelah pemberian obat trombolitik.

2. KOMPLIKASI
Komplikasi pada stroke akut dapat berupa pneumonia, ISK, thrombosis vena dalam atau
deep vein thrombosis (DVT), decubitus, spastisitas dan nyeri, depresi, gangguan fungsi
kognitif, serta komplikasi metabolic lain seperti gangguan elektrolit.
BAB III

KESIMPULAN

 Stroke adalah suatu keadaan hilangnya sebagian atau seluruh fungsi neurologis (defisit
neurologik fokal atau global) yang terjadi secara mendadak, berlangsung lebih dari 24
jam atau menyebabkan kematian, yang semata-mata disebabkan oleh gangguan peredaran
darah otak karena berkurangnya suplai darah (stroke iskemik) atau pecahnya pembuluh
darah secara spontan (stroke perdarahan).
 Menurut etiologi berdasarkan patologi, stroke terbagi menjadi dua yaitu stroke iskemik
dan stroke hemoragik atau perdarahan.
 Tatalaksana umum pada stroke antara lain stabilisasi jalan napas dan pernapasan ,
stabilisasi hemodinamik/sirkulasi , pemeriksaan awal fisik umum, pengendalian
peninggian TIK, penanganan transformasi hemoragik, pengendalian kejang ,
pengendalian suhu tubuh.
DAFTAR PUSTAKA

Anindhita, T. dan Wiratman, W. 2017, Buku Ajar Neurologi, Departemen Neurologi FKUI:
Jakarta

Aprianda, Ratri. 2019. Infodatin STROKE DON’T BE THE ONE. KEMENKES:Jakarta

Anda mungkin juga menyukai