DIII KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
2021
PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN KOMPREHENSIF
1. Definisi
Benigne Prostat Hyperplasia (BPH) adalah suatu penyakit pembesaran atau
hipertrofi dari prostat. Kata-kata hipertrofi seringkali menimbulkan kontroversi di
kalangan klinik karena sering rincu dengan hiperplasia. Hipertrofi bermakna bahwa
dari segi (kualitas) terjadi pembesaran sel, namun tidak diikuti oleh jumlah
(kuantitas). Namun,hiperplasia merupakan pembesaran ukuran sel (kualitas) dan
diikuti oleh penambahan jumlah sel (kuantitas). BPH seringkali menyebabkan
gangguan dalam eliminasi urine karena pembesaran prostat yang cederung kearah
depan/ menekan vesika urinaria (Prabowo dan Andi, 2014).
Hiperplasia noduler ditemukan pada sekitar 20% laki-laki dengan usia 40 tahun,
meningkat 70% pada usia 60 tahun dan menjadi 90% pada usia 70 tahun. Pembesaran
ini bukan merupakan kanker prostat, karena konsep BPH dan karsinoma prostat
berbeda. Secara anatomis, sebanarnya kelenjar prostat merupakan kelenjar ejakulasi
yang membantu menyemprotkan sperma dari saluran (ductus). Pada waktu
melakukan ejakulasi, secara fisiologis prostat membesar untuk mencegah urine dari
vesika urinaria melewati uretra. Namun, pembesaran prostat yang terus menerus akan
berdampak pada obstruksi saluran kencing (meatus urinarius internus) (Mitchell,
2009 dalam Prabowo dan Andi, 2014).
2. Etiologi
Penyebab yang pasti dari benigne prostat hyperplasia sampai sekarang belum
diketahui secara pasti, namun ada 2 faktor yang mempengaruhi terjadinya benigne
prostat hyperplasia yaitu usia dan hormonal menjadi prediposisi terjadinya BPH. usia
lanjut. beberapa hipotesis menyebutkan bahwa benigna prostat hiperplasia sangat erat
kaitannya dengan:
1.Peningkatan Dihidrotestosteron (DHT)
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen akan menyebabkan epitel dan
stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasia.
2.Ketidak seimbangan estroge–testoteron Ketidak seimbangan ini terjadi karena
proses degeneratif. Pada proses penuaan, pada pria terjadi peningkatan hormon
estrogen dan penurunan hormon testosteron. Hal ini memicu terjadinya hiperplasia
stroma pada prostat.
3. Interaksi antar sel stroma dan sel epitel prostat Peningkatan kadar epidermal
gorwth factor atau fibroblas gorwth factor dan penurunan transforming gorwth factor
beta menyebabkan hiperplasia stroma dan epitel, sehingga akan terjadi BPH.
4.berkurangnya kematian sel Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan
lama hidup stroma dan epitel dari kelenjar prostat.
5.Teori stem sel
Sel stem yang meningkat akan mengakibatkan proliferasi sel transit dan memicu
terjadinya BPH
(Prabowo dan Andi, 2014)
3. Patofisiologi
Sejalan dengan pertambahan umur, kelenjar prostat akan mengalami hiperplasia,
jika prostat membesar akan meluas ke atas (bladder), di dalam mempersulit saluran
uretra prostatica dan menyumbat aliran urine. Keadaan ini dapat meningkatkan
tekanan intravesika. Sebagai kompensasi terhadap tekanan prostatika, maka otot
detrusor dan buli-buli berkontraksi lebih kuat untuk dapat memompa urine keluar.
Kontraksi yang terus-menerus menyebabkan perubahan anatomi dari buli-buli berupa:
hipertropi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sekula dan difertikel buli-
buli. Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan klien sebagai keluhan pada saluran
kencing bagian bawah atau Lower Urinary Symptom / LUTS. Pada fase awal dari
prostat hiperplasia, kompensasi oleh muskulus destrusor berhasil dalam sempurna.
Artinya pola dan kualitas dari miksi tidak berubah. Pada fase ini disebut sebagai
Prostat Hyperplasia Kompensata. Lama kelamaan kemampuan kompensasi menjadi
berkurang dan kualitas miksi berubah, kekuatan serta lamanya kontraksi dari
muskulus destrusor menjadi tidak adekuat sehingga tersisa urine di dalam buli-buli
saat proses miksi berakhir seringkali prostat hyperplasia menambah kompensasi
dengan meningkatkan tekanan intra abdominal (mengejan) sehingga timbulnya hernia
dan haemorhoid puncak dari kegagalan kompensasi adalah tidak berhasilnya
melakukan ekspulsi urine dan terjadinya retensi urine, keadaan ini disebut sebagai
Prostat Hyperplasia Dekompensata.Fase dekompensasi yang masih akut menimbulkn
rasa nyeri dan dalam beberapa hari menjadi kronis dan terjadilah inkontinensia urine
secara berkala akan mengalir sendiri tanpa dapat dikendalikan, sedangkan buli-buli
tetap penuh. Ini terjadi oleh karena buli-buli tidak sanggup menampung atau dilatasi
lagi. Puncak dari kegagalan kompensasi adalah ketidak mampuan otot detrusor
memompa urine dan menjadi retensi urine. Retensi urine yang kronis dapat
menimbulkan kemunduran dungsi ginjal (Jitowiyono dan Weni, 2010).
Penyakit BPH ini merupakan penyakit bedah, jika keluhan masih ringan, maka
observasi diperlukan dengan pengobatan simptomatis untuk mengevaluasi
perkembangan klien. Namun, jika telah terjadi obstruksi/ retensi urine, infeksi,
insufisiensi ginjal, maka harus dilakukan tindakan (Prabowo & Andi, 2014). Pada
klien dengan BPH salah satunya adalah TURP, setelah tindakan TUR.P dipasang
kateter threeway. Irigasi kandung kemih secara terus menerus dilakukan untuk
mencegah
pembekuan darah. Rasa nyeri dapat dikarenakan adanya pembekuan darah yang
banyak di kandung kencing, sumbatan kateter, berlubangnya kandung kencing akibat
operasi atau analgetik yang tidak adekuat (Wati, D. E. et.al. 2015).
4. Manifestasi klinis
Gejala klinis yang ditimbulkan oleh benigna prostat hyperplasia
disebut sebagai syndrome prostatisme. Syndroma prostatisme menurut
jitowiyono & weni (2010) dibagi menjadi dua yaitu:
1. Gejala obstruktif yaitu
a. Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali
disertai dengan mengejan yang disebabkan oleh karena otot
destrussor buli-buli memerlukan waktu beberapa lama
meningkatkan tekanan intervesikal guna mengatasi adanya
tekanan dalam uretra prostatika
b. Intermittency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang
disebabkan karena ketidakmampuan otot destrussor dalam
mempertahankan tekanan intravesika sampai berakhirnya
miksi.
c. Terminal dribbling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing
d. Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan caliber pancaran
destrussor memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan
di uretra.
e. Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa
belum puas
2. Gejala iritasi yaitu :
a. Urgency yaitu perasaana ingin buang air kecil yang sulit
ditahan
b. Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat
terjadi pada malam hari (nocturia) dan pada siang hari
c. Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing
5. Klasifikasi
Organisasi kesehatan dunia (WHO) menganjurkan klasifikasi untuk
menentukan berat gangguan miksi yang disebut WHO prostate
symptom score (PSS). Derajat ringan:skor 0-7, sedang:skor 8-19,
berat:skor 20-35 (sjamsu hidayat 2005) dibedakan menjadi 4 stadium :
a. Stadium 1
Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan
urine sampai habis
b. Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan
urine walaupun tidak sampai habis,masih tersisa kira-kira 60-
150cc. ada rasa tidak enak BAK atau dysuria dan menjadi nocturia
c. Stadium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150cc
d. Stadium IV
Retensi urine total,buli-buli penuh pasien tampak kesakitan,urine
menetes secara periodic (over flow inkontinen)
6. Farmakoterapi
Kategori Obat Nama Dosis, frekuensi Kerja Obat Kontra indikasi Efek samping
Generik
dan
Nama
Dagang
Penghambat alfa -Cardura Dosis awal: Meredakan -kepala pusing
(alpha-1 -tensidox -Immediate-release gejala -hipersensitivitas -kantuk
adrenergic = 1 mg perhari pembesaran terhadap obat -Tubuh lelah
blocker) -Extended- prostat jinak golongan -Penglihatan kabur
release=4 mg dan penghambat -hilang kesadaran
perhari setelah mengobati -gangguan -Jantung berdebar
sarapan hipertensi pencernaan -napas pendek
Tekanan darah -berkeringat
rendah
-Penyakit
jantung
-penyakit hati
Penyakit ginjal
Sumber: https://doktersehat.com/obat-doxazosin/
7. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
1. Urinalisis / Sedimen Urin
Sedimen urine diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau
inflamasi pada saluran kemih. Pemeriksaan kultur urin berguna untuk dalam mencari
jenis kuman yang menyebabkan infeksi dan sekaligus menentukan sensitifitas kuman
terhadap beberapa antimikroba yang diujikan dan dapat mengungkapkan adanya
leukosituria dan hematuria. Untuk itu pada kecurigaan adanya infeksi saluran kemih perlu
dilakukan pemeriksaan kultur urine, dan kalau terdapat kecurigaan adanya karsinoma
buli-buli perlu dilakukan pemeriksaan sitologi urine.
2. Pemeriksaan fungsi ginjal
Obstruksi intravesika akibat BPH menyebabkan gangguan pada traktus urinarius
bawah ataupun bagian atas. Dikatakan bahwa gagal ginjal akibat BPH terjadi sebanyak
0,3-30% dengan rata-rata 13,6%. Gagal ginjal menyebabkan resiko terjadinya komplikasi
pasca bedah (25%) lebih sering dibandingkan dengan tanpa disertai gagal ginjal (17%),
dan mortalitas menjadi enam kali lebih banyak. Oleh karena itu pemeriksaan faal ginjal
ini berguna sebagai petunjuk perlu tidaknya melakukan pemeriksaan pencitraan pada
saluran kemih bagian atas (Purnomo, 2014).
3. Pemeriksaan PSA (Prostate Specific Antigen)
PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specific tetapi bukan cancer
specific. Serum PSA dapat dipakai untuk meramalkan perjalanan penyakit dari BPH;
dalam hal ini jika kadar PSA tinggi berarti:
a. pertumbuhan volume prostat lebih cepat.
b. keluhan akibat BPH/laju pancaran urine lebih jelek.
c. lebih mudah terjadinya retensi urine akut.
Kadar PSA di dalam serum dapat mengalami peningkatan pada peradangan, setelah
manipulasi pada prostat (biopsy prostat atau TURP), pada retensi urine akut, kateterisasi,
keganasan prostat, dan usia yang makin tua. Rentang kadar PSA yang dianggap normal
berdasarkan usia adalah: a. 40-49 tahun : 0-2,5 ng/ml; b. 50-59 tahun: 0-3,5 ng/ml; c. 60-
69 tahun : 0-4,5 ng/ml; d. 70-79 tahun : 0-6,5 ng/ml.
Meskipun BPH bukan merupakan penyebab timbulnya karsinoma prostat, tetapi
kelompok usia BPH mempunyai resiko terjangkit karsinoma prostat. Pemeriksaan PSA
bersamaan dengan colok dubur lebih superior daripada pemeriksaan colok dubur saja
dalam mendeteksi adanya karsinoma prostat. Oleh karena itu pada usia ini pemeriksaan
PSA menjadi sangat penting guna mendeteksi kemungkinan adanya karsinoma prostat.
Sebagian besar guidelines yang disusun di berbagai negara merekomendasikan
pemeriksaan PSA sebagai salah satu pemeriksaan BPH (Ikatan Ahli Urologi Indonesia
(IAUI), 2015).
Pencitraan
1. Foto Polos Abdomen
Foto polos abdomen berguna untuk mencari adanya batu di saluran kemih, adanya
batu/kalkulosa prostat dan kadangkala dapat menunjukkan bayangan buli-buli yang
penuh terisi urin, yang merupakan tanda dari suatu retensi urin. Pemeriksaan
PIV(Pielografi Intravena) dapat menerangkan kemungkinan adanya: kelainan pada ginjal
maupun ureter berupa hidroureter atau hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar
prostat yang ditunjukkan oleh adanya indentasi prostat (pendesakan buli-buli oleh
kelenjar prostat) atau ureter di sebelah distal, dan penyulit yang terjadi pada buli-buli
yaitu adanya trabekulasi, divertikel, atau sakulasi buli-buli.
2. Pemeriksaan Ultrasonografi Transrektal (TRUS)
Pemeriksaan Lain
Pemeriksaan Derajat Obstruksi (IAUI,dalam,Purnomo, 2014);
1. Residual urin yaitu jumlah sisa urin setelah miksi yang dapat dihitung dengan
kateterisasi setelah miksi atau ditentukan dengan pemeriksaan USG setelah miksi.
Jumlah residual urine ini pada orang normal adalah 0,09-2,24 mL dengan rata-rata
0,53 mL. Tujuh puluh delapan persen pria normal mempunyai residual urine
kurang dari 5 mL dan semua pria normal mempunyai residu urine
tidak lebih dari 12 mL.
2. Pancaran urin atau flow rate dapat dihitung secara sederhana yaitu dengan
menghitung jumlah urin dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau
dengan alat uroflometri yang menyajikan gambaran grafik pancaran urin yang
meliputi lama waktu miksi, lama pancaran, waktu yang dibutuhkan untuk
mencapai pancaran maksimum, rerata pancaran, maksimum pancaran, dan
volume urin yang dikemihkan. Pemeriksaan yang lebih teliti lagi yaitu
urodinamika.
8. Penatalaksanaan Medis
Pemberian obat-obatan Antara lain alfa 1 m-blocker seperti: doxazosin,
prazosin tamsulosin dan terazosin.obat-obatan tersebut menyebabkan
pengenduran otot-otot pada kandung kemih sehingga penderita lebih
mudah berkemih.
Pembedahan
d. TURP urethral reseksi prostat (TUR atau TURP) prosedur
pembedahan yang dilakukan melalui endoskopi TUR dilaksankan bila
pembesaran terjadi pada lobus tengah yang langsung mengingkari
uretra.
e. Prostatektomo suprapubis adalah salah satu metode mengangkat
kelenjar prostat dari uretra melalui kandung kemih
f. Prostatektomi retropubik adalah insisi abdomen mendekati kelenjar
prostat,yaitu Antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki
kandung kemih
g. Insisi prostat trans urethral (TUIP) adalah prosedur pembedahan
dengan cara memasukan instrument melalui uretra.
h. Trans uretral needle ablation (TUNA) alat yang dimasukan melalui
uretra yang apabila posisi sudah diatur dapat mengeluarkan dua jarum
yang dapat menusuk adenoma dan mengalirkan panas sehuingga terjadi
koagulasi sepanjang jarum yang menancap di jaringan prostat
9. Komplikasi
a. Hipoksia
b. Penurunan aliran darah serebral
c. Embolisme serebral
d. Pneumonia aspirasi
e. ISK, Inkontinensia
f. Kontraktur
g. Tromboplebitis
h. Abrasi kornea
i. Dekubitus
j. Encephalitis
k. CHF
l. Distrimia, hidrosepalus,Vasospasme
10. Diet / Nutrisi
Makanana yang mengandung likopen(tomat,semangka,jambu
biji,jeruk bali
Kedelai
Makanan yang mengandung
selenium(ikan,unggas,telur,gandum)
11. Pengkajian Keperawatan
Data yang diperoleh haruslah mampu menggambarkan status kesehatan
klien maupun masalah utama yang dialami oleh klien. Dalam melakukan
pengkajian, diperlukan teknik khusus dari seorang perawat, terutama dalam
mengali data, yaitu dengan menggunakan komunikasi yang efektif dan teknik
teraupetik (Tarwoto & Wartonah, 2011).
1. Identitas
Identitas pasien benigne prostat hiperplasia meliputi: Nama, umur, jenis
kelamin, no rekam medis, dan laki-laki lebih banyak terkena apendisitis jika di
bandingkan perempuan.
2. Keluhan Utama
Pola eliminasi
Pola aktivitas
7. Pemeriksaan Fisik:
Sistem Urogenital
System Pencernaan
Masalah keperawatan:
1. Gangguan eliminasi urine
REFERENSI:
Arslantas D, Gokler ME, Unsal A, Baseskioglu B. 2017. Prevalence of lower urinary Tract
symptoms Among Individuals Aged 50 years and over and its Effect on the Quality Of
life in a semi-rural Area of western Turkey.LUTS: Lower Urinary Tract
Symtomps.9(1):5-9
Dermawan,D. (2012). Proses keperawatan penerapan konsep & kerangka kerja (1st ed).
Yogyakarta : Gosyen Publishing
Eko prabowo, Andi Eka Pranata. (2014). Buku ajar asuhan keperawatan system perkemihan:
pendekatan NANDA, NIC dan NOC. SEKRESI & EKSRESI