Anda di halaman 1dari 13

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang
telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “PENALARAN DALAM
KARANGAN”.

Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan bersumber
dari buku pegangan Bahasa Indonesia. Untuk itu kami menyampaikan banyak
terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan
makalah ini.

Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih


ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh
karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari
pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan


manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

Makassar, April 2017

Kelompok 4
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………...

DAFTAR ISI……………………………………………………………………….

BAB I

PENDAHULUAN………………………………………………………....

BAB II

PEMBAHASAN…………………………………………………................

BAB III

PENUTUP………………………………………………………………….

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Langkah awal yang harus dilakukan oleh seorang pengarang dalam
menyusun karangan adalah menyiapkan bahan-bahan atau fakta-fakta,
individu-individu, argumentasi-argumentasi, atau dugaan-dugaan (hipotesis)
bahan-bahan tersebut merupakan rangkaian penalaran yang logis.
penalran dalam buku tidak mungkin keliru. Terutama kalau baha-bahan
yang disediakan mengandung unsur-unsur yang keliru. penalaran yang keliru
cenderung membawa pada kesimpulan yang keliru atau salah. Oleh sebab itu
perlu diingatkan agar pengarang selalu berhati-hati dalam menalar.
Melalui bahan-bahan yang telah diselidiki validasinya yang terhindar dari
dorongan emosi yang berlebihan, serta sifat subjektif dan berprasangka maka
dalam proses penalaran kita dapat sampai pada kesimpulan yang mungkin
berupa asumsi, hipotesis, teori atau keputusan lainya.
Berdasarkan gambaran yang telah dikemukakan di atas maka penalaran
disini dibatasi sebagai proses pemikiran untuk memperoleh kesimpulan yang
logis berdasarkan atas avidensi yang relevan dengan demikian penalaran
terutama adalah proses penafsiran fakta aebagai dasar untuk menarik suatu
kesimpulan.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas yaitu :
1. Apakah yang dimaksud dengan fakta sebagai unsur penalaran?
2. Apakah yang dimaksud dengan proses penalaran?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan pembelajaran makalah ini yaitu :
1. Dapat menjelaskan dan memahami fakta sebagai unsur penalaran.
2. Dapat menjelaskan dan memahami proses penalaran.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Fakta Sebagai Unsur Penalaran
Fakta adalah apa yang ada, yang dapat dilihat, disaksikan dan dirasakan
sesuatu perbuatan yang dilakukan atau sesuatu peristiwa yang terjadi adalah
fakta. Fakta selalu benar karena menyatakan apa adanya tanpa perhitungan
orang tentangnya.
Proses penalaran sebenarnya adalah proses penapsiran fakta sebagai
dasar untuk menarik suatu kesimpulan. karena itu penalaran memerlukan
fakta-fakta sebagai unsur dasarnya.
1. Klasifikasi kata
Membuat kalsifikasi mengenai sejumlah fakta berarti memasukkan
atau menempatkan fakta-fakta dalam suatu hubungan logi berdasaekan
suatu sistem. Dengan klasifikasi kata yang ditempatkan dalam suatu
sistem kelas, sehingga dapat dikenali dengan hubungan secara horizontal
(hubungan kesamping) dan hubungan secara vertikal (hubungan keatas
dan kebawah).
Suatu klasifikasi akan berhenti, tidak dapat di teruskan lagi, jika
sudah sampai kepada individu yang tidak dapat merupakan spesis atau
jenis, individu tidak dapat diklasifikasi lebih lanjut meskipun dapat di
masukan kedalam suatu spesis. kita dapat mengatakan misalnya “Dani
adalah manusia’,tetapi tidak “Manusia adalah Dani’ karena dani adalah
individu dan bersifat unik.
2. Jenis Klasifikasi
Klasifikasi dapat di bedakan atas klasifikasi sederhana dan
klasifikasi kompleks. di dalam klasifikasi sederhana suatu hanya memiliki
du kelas bawahan berciri positif dan negatif. klasifikasi seperti itu di sebut
juga klasifikasi dikotomis (dichotocomous clasification dhicotomy)
misalnya mahluk berakal budi (manusia). tidak berakal budi (hewan).
Di dalam klasifikasi kompleks suatu kelas mencangkup lebih dari
kelas bawahan. dalam klasifikasi ini tidak boleh ada cara negatif artinya
suatu kelas di kelompokkan berdasarkan ada tidaknya suatu ciri
melainkan suatu ciri positif. misalnya, klasifikasi manusia berdasarkan
umumnya menghasilkan kelas bawahan

-bayi - anak-anak - remaja

3. Persyaratan Klasifikasi
Membuat klasifikasi harus memperhatikan peryaratan sebagai
berikut :
(1) Prinsip harus jelas
Prinsip ini merupakan dasra atau patokan untuk membuat
klasifikasi berupa ciri yang menonjol yang tumpang tindih,
misalnya klasifikasi kata atas kelas kata.
(2) Klasifikasi harus logis dan konsisten
Artinya prinsip-prinsip harus ditetapkan secara menyeluruh
kepada kelas bawahannya, misalnya pengelompokan kelas fakultas
salah satu perguruan tinggi atau universitas pada salah satu bidang
ilmunya, maka fakultas ekonomi harus dikelompokkan kedalam
fakultas Ilmu-ilmu sosial.
(3) Klasifikasi harus bersifat lengkap dan menyeluruh
Arltinya dasar pengelompokkan yang dipergunakan harus
dikenakan kepada semua anggota kelompoktanpa terkecuali.
Misalnya, jika suatu kelas terdiri dari 200 mahasiswa dan akan
diklasifikan berdasarkan umurnya, maka dasar tersebut harus
dikenakan kepda kedua rasus mahasiswa tadi. tidak boleh menjadi
150 mahasiswa di klasifikan berdasarkan umumnya, sedangkan 50
lagi diklasifikasikan berdasarkan jenis SLTA asalnya.
4. Guna Klasifikasi
Pada bagian terdahulu telah dikemukakan bahwa klasifikasi
menempatkan suatu fakta atau gejala. bagaimana hubungan secara
vertikal dan horizontal dengan fakta lain serta beberapa luas ruang
penalaran.
Selajutnya, klasifikasi juga diperlukan dalam mengembangkan topik
karangan, membuat kerangka karangan bahkan juga bahan-bahan untuk
mengembangkan karangan.
5. Pengamatan Fakta
Pengamatan ialah kegoatan yang dilakukan dengan menggunakan
alat-alat indera melihat, mendengar, membuai, meraba dan merasa
(mengecap) denngan mengamati fakta-fakta kita dapat berhitung,
mengukur, menaksir, memberikan ciri-ciri, serta mengklasifikasikannya.
Untuk melakukan pengamatan secara cermat kerao kali diperlukan
alat-alat bantu misalnya untuk melihat dengan lebih jelas atau mengukur
sacra lebih cermat.
6. Fakta dan Penilaian
Karangan pada dasarnya berisi pertanyaan-pertanyaan (statement).
membuat pertanyaan dalam karangan harus dibedakan antara fakta
avidensi dan penilaian, untuk menjaga akuratnya pernyataan dalam
karangan, maka antara fakta avidensi dengan penilaian harus dibedakan
penilaiannya.
Pada bagian terdahulu telah dijelaskan bahwa fakta adalah apa yang
ada, yang dapat dilihat, disaksikan atau dirasakan. Fakta itu nyata dan
selalu benar. Berbeda dengan penilaian. Penilaian menyatakan
kesimpulan, pertimbangan pendapat atau keyakinana tentang fakta. Jadi
penilaian bersifat menghakimi atau memvonis sedangkan fakta bebas
dari sifat itu.
Contoh :
“Anak itu mencuri mangga tetangganya” kalimat ini
menyatatakan fakta. “anak itu jahat kelakuannya”
merupakan fakta penilaian.
7. Evidensi dan Penilaian
Dalam suatu peristiwa atau kejaidaan terdapat bermacacam-macam
fakta.Apabila fakta-fakta yang dihubungkan satu sama lain denngan
metode tertentu untuk membuktikan sesuatu, itulah yang dinamakan
evidensi. Dengan demikian evidensi berusaha menyusun sejumlah fakta
secara logis untuk menghasilkan fakta yang lebih luas.
Pada evidensi fakta-fakta yang dimiliki bukanlah fakta-fakta yang
satu sama lainnya berdiri sendiri, melainkan justru bersatu dalam satu
fakta yang utuh. Rangkain fakta-fakta yang membentuk suatu peristiwa
atau kejadian. Itulah yang disebut kata yang utuh.
Contoh :
“Kita menyaksikan mobil yang rensek, tiang listrik yang
bengkok, dan kita tau bahwa mobil itu sebelumnya lari
dengan kecepatan 120 km/jam, serta kita ketahui bahwa
mobil itu kemudian mobil itu menabrak tiang listrik”.

Semua fakta itu telah diketahui, dan bahwa berlangsungnya


rangkaian fakta-fakta yang membentuk peristiwa itu kita saksikan,
sehingga evidensinya menjadi lebih jelas mobil itu rengse dan tiang
listrik itu bengkok karena keduanya berpadu dalam bentuka yang keras.
Itulah evidensi yang akan menjadi penilaian apa bila di katakan “mobil
itu ngebut sehingga menabrak tiang listrik”.

2. Proses Penalaran
1. Penalaran Induktif
Secara formal induksi dapat dibatasi sebagai proses penalaran untuk
sampai kesatu keputusan, prinsip atau sikap yang bersifat umum maupun
khususnya berdasarkan pengamatan atas hal-hal yang khusus. Atau
proses penalaran yang meneliti fenomena-fenomena secara individual
untuk sampai pada kesimpulan-kesimpulan umum (khusus ke umum).
Proses penalaran induksi dibedakan atas generasi, analogi, dan
hubungan kausal (sebab akibat).
1. Generalisasi
Generalisasi ialah proses penalaran berdasarkan pengamatan atau
sejumlah gejala dengan sifat-sifat tertentu untuk menarik kesimpulan
mengenai semua atau sebahagian dari gejala itu.
Generalisasi akan berbahaya bila kurang berhati-hati dalam
menarik kesimpulan. Kesimpulan yang diambil boleh jadi keliru atau
berlebihan. Untuk menghindari kekeliruan atau berlebihan dalam
menarik kesimpulan dan generalisasi harus berdasarkan harus
berdasarkan fakta-fakta, evidensi-evidensi yang representatif, akurat,
jelas, tapat dan logis.
Untuk menguji atau mengets kembali apakah penarikan
kesimpulan generalisasi yang diambil itu sudah tepat. logis, atau tidak
dapat di lakukan dengan jalan.
(1) Cukup memadaikan gejala-gejala khusus yang diambil sebagai
dasar penilaian kesimpulan? dalam hal ini berapakah jumlah yang
memadai itu? sampai sekarang tak pernah ada jawaban yang pasti.
Angka itu berada antara satu sampai dengan 100%. Pengamatan
terhadap semua gejala yang ada disebut sensus menghasilkan
kesimpulan induktif yang sempurna. Hal serupa itu selalu
mungkin diadakan sehingga terpaksa kita melakukan generalisasi
berdasarkan sebagian gejala yang diamati itu, perlu diperhatikan
dulu sifat keseluruhan atau bagian yang akan dikenai generalisasi
yang terlampau luas.
(2) Apakah gejala yang diamati cukup mewakili keseluruhan atau
bagian yang dikenal generalisasi?. Denga kata lain, apakah sampel
yang tepat dan tidak menyesatkan. sampel yang menyesatkan akan
menghasilkan kesimpulan yang mnyesatkan pula.
(3) Tidak adakah kekecualian dalam kesimpulan umum yang ditarik?
jika kekecualian terlampau banyak, maka tak mungkin diambil
generalisasi. jika kekecualian itu sedikit saja jumlahnya maka
perumusan kesimpulan harus dilakukan dengan hati-hati. Dalam
hal ini harus dihindari kata-kata seperti : cenderung, pada
umumnya, rata-rata, pada mayoritas kasusnya yang diamati atau
semacamnya.
2. Analogi
Analog biasanya berguna untuk memperbandingkan atau
memepersamakan aspek-aspek tertentu dari peristiwa atau hal. Kedua
hal itu memang tidak sejenis, tetapi keduanya memilii aspek-aspek
yang mirip.
Analogi yang dimaksudkan disini ialah analogi induktif artinya
suatu proses penalaran untuk menarik kesimpulan/inferensi tentang
kebenaran suatu gejala khsu berdasarkan kebenaran gejala khusu
lainnyayang dimiliki sifat0sifat esensial yang bersamaan. Dengan
demikian untuk mengemukakan analogi induktif yang perlu
diperhatikan adalah apakah persamaan yang dipakai sebagai dasar
kesimpulan benar-benar merupakan ciri-ciri esensial yang
berhubungan erat dengan kesimpulan yang dikemukakan.
3. Hubungan Sebab Akibat
Proses penalaran sebab akibat biasa juga disebut hubungan
kausal. Hubunga sebab akibat ini bertolak dari prinsip umum, bahwa
semua peristiwa yang terjadi pasti ada penyebabnya. Seorang philosop
yunani leucippus, menyatakan bahwa tiadak ada seuatupun yang
terjadi tanpa sebab, tiap hal mempunyai sebab,
Hubungan sebab akibat antar peristiwa dari sebab ke akibat dan
akinat sebab ke sebab, dan akibat ke akibat. Di bawah ini akan di
uraikan satu persatu.
(1) Penalaran dari sebab akibat dimulai dengan pengamatan terhadapa
sesuau yang diketahui. Berdasarkan pengamatan itu dapat ditarik
kesimpulan mengenai akibat yang mungkin ditimbulkan.
(2) Penalaran dari akibat ke sebab berpangkal dari suatu akibat yang
diketahui.
(3) Penalaran dari akibat ke akibat berpangkal dari suatu akibat dan
berdasarkan akibat tersebut langsung dipikirkan akibat lain tanpa
memikirkan sebab umum yang menimbulkan akibat itu.
Penentuan hubungan sebab akibat harus dilakukan dengan sangat
berhati-hati. Pengarang harus berhati – hati menentukan mana
yang sebab dan mana yang akibat. Kekeliruan dalam menunjuk
sebab atau akibat akan menghasilkan kesimpulan yang keliru pula.
Selain itu, perlu juga diperhatikan apakah secara lagika benar
sesuatu seba mengakibatkan sesuatu akibat? atau sebalikanya
akibat ini disebabkan oleh akibat itu. Dalam hal seperti ini harus
dilakukan melalui penelitian yang mungkin harus diulang pada
tempat atau waktu yang berbeda serta dilakukan secara
bersungguh-sungguh.
2. Penalran Deduktif
Penalaran deduktif berdasarkan atas prinsip hukum, teori, atau
putusan yang berlaku umum untuk suatu hal ataupun gejala. Berdasrkan
prinsip umum tersebut, kita menarik kesimpulan tentang sesuatu yang
khsus yang merupakan bagian dari hal atau gejala diatas. Dengan kata
lain, penalaran deduktif bergerak dari sesuatu yang umum kepada sesuatu
yang khusus. Metode penalaran deduktif ini merupakan generalisasi,
kesimpula-kesimpulan umum diperoleh dan generalisasi diterapkan
untuk meramalkan fenomena-fenomena khusus.
1. Silogisme
Silogisme merupakan satu cara penalaran yang formal. Penalaran
dalam bentuk silogisme sebenarnya jarang ditemukan / dilakukan
dalam kehidupan sehari-hari. kita lebih sering mengikuti polanya saja,
meskipun kadang-kadang secara tidak sadar. Tentang penalaran
silogisme umunya terdiri dari dua premis yang dihubung-hubungkan
satu sama lain untuk kemudian bergerak menuju kepada suatu
kesimpulan. Kalimat pertama berisi pernyataan mumu atau bisa
disebut premis mayor. Sedangkan kalimat kedua berisi pernyataan
khusus dan terbatas, yang disebut premis minor.

2. Entimen
Dalam praktek percakapan ataupun karangan biasanya kita tidak
secara formal dan kaku memulai silogisme. Kita tidak menyebutkan
premis mayor, premis minor dan konklusinya secara persis
sebagaiman susunan silogisme. Biasanya kita memakai metode
penalaran deduktif secara spontan tanpa harus menyatakan secara
lengkap susuna yang formal. Ynag diperlukan adalah hasil penalaran.
Bentuk ini dinamakan entimen.
Penalaran entimen, meskipun tidak memakai bentuk silogime
yang formal, namun kebenaran kesimpulan yang ditarik dapat di uji
kembali dengan menggunakan cara silogisme.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Fakta adalah apa yang ada, yang dapat di lihat disaksikan dan
dirasakan sesuatu perbuatan yang di lakukan atau sesuatu peristiwa yang
terjadi adalah fakta. Fakta selalu benar karena menyatakan apa adanya
tanpa perhitungan orang tentanya.
Proses penalaran sebenarnya adalah proses penapsiran fakta sebagai dasar
untuk menarik sesuatu kesimpulan.
B. Saran
Penyusun berharap mahasiswa dapat mengetahui dengan baik
terkait dengan materi penalaran dalam karagan, kemudian dosen
matakuliah juga dapat memberikan informasi lebih yang terkait dengan
judul makalah.

DAFTAR PUSTAKA
Mokhtar, Hj. Masrurah, 2016. Bahasa Indonesia. Makassar; Kretakupa
Print.

Anda mungkin juga menyukai