Lailatul Qadar
Lailatul Qadar
Lailatul Qadar atau dikenal dengan malam kemuliaan, semua umat mengetahui bahwa malam itu
lebih baik dari seribu bulan dan penuh dengan kesejahteraan sampai terbit fajar. Dinamakan Lailatul
Qadar karena malam itu merupakan malam penentuan segala sesuatu dan penentuan segala hukum.
Diriwayatkan dari Imam Ibnu Abbas,ra., bahwa Allah SWT menentukan segala sesuatu pada tahun itu
yang berupa hujan, rizki, kehidupan dan kematian sampai pada Lailatul Qadar di tahun berikutnya.
Ayat itu seperti halnya firman Allah SWT: ‘Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh
hikmah.’ (QS 044 : 4) Imam Hasan al-Bashri.ra., berpendapat bahwa Lailatul Qadar terjadi pada
malam ke tujuh belas. Pendapat yang diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik,ra., mengatakan
bahwa Lailatul Qadar terjadi pada malam ke sembilan belas. Imam Muhamad bin Ishaq,ra.,
berpendapat bahwa Lailatul Qadar terjadi pada malam ke dua puluh satu. Riwayat yang bersumber
dari sahabat Ibnu Abbas,ra., mengatakan pada malam dua puluh tiga. Sahabat Ibnu Mas’ud,ra.,
berpendapat pada malam dua puluh empat. Sahabat Abu Dzar al-Ghiffari,ra., berpendapat pada
malam dua puluh lima. Sedangkan sahabat Ubay bin Ka’ab,ra., dan sekelompok sahabat berpendapat
bahwa Lailalatul Qadar terjadi pada malam dua puluh tujuh. Sementara sebagian yang lain
berpendapat pada malam dua puluh sembilan.
Seorang salik melantunkan sebuah syair : 'Sungguh Laila lebih mulia dari Majnun, karena dia
menyembunyikan cintanya kepada Tuhan, sedangkan Majnun memberitakan kepada setiap orang.
Seperti Lailatul Qadar yang mengungguli seribu bulan dan sembunyi dibulan Ramadhon.'
Sebagaimana shalat yang telah ditetapkan waktu-waktunya, Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya)
berkata bahwa : 'Bila shalat adalah sebuah niat yang suci, mesucikan badan dari najis yang sugro,
yang didalamnya ada gerakan lahiriyah, doa-doa, puji-pujian, dan shalawat, maka para perjalan
pada hakikatnya melakukan shalat terus menerus disepanjang terjaganya, karena mereka pun dalam
keadaan bersuci terus menerus dan melakukan dzikir-dzikir, wirid-wirid dan shalawat serta doa-
doa.'Oleh karenanya para pejalan tidak terlalu perduli kapan terjadinya malam lailatul qadar, baginya
setiap hari adalah malam turunnya lailatul qadar, karenanya, kesehariannya diisi dengan mengerjakan
pekerjaan tarekat yang diperoleh dari syaiknya, ada wirid-wirid disiang hari dan ada dzikir-dzikir
dimalam hari serta shalat sunat, baik itu shalat sunat taubat, shalat sunat mutlak dan shalat sunat
tahajjud. Tidak dipedulikan apakah itu malam minggu, malam Jum’at atau malam-malam lain, atau
apakah itu dibulan Ramadhon atau dibulan-bulan lain. Selama hayat masih dikandung badan disiplin
(riyadhah) dan pertempuran melawan hawa nafsu (mujahadah) tidak akan pernah berhenti. Sehingga,
bila para ulama berbeda pendapat tentang waktu turunnya malam lailatul qadar, para perjalan telah
siap menyongsongnya kapan pun malam yang diberkahi itu turun, malam kemuliaan yang lebih baik
dari seribu bulan itu tiba. Karena para pejalan mempunyai keyakinan bahwa Allah SWT merahasiakan
asma-Nya yang paling mulia agar para hamba mengagungkan semua asma Allah SWT. Allah SWT
merahasiakan shalat wustha agar para hamba selalu mengerjakan dan menjaga semua shalat. Allah
SWT merahasiakan pengabulan dan pengampunan taubat seorang hamba agar para hamba itu selalu
bertaubat kepada Allah SWT. Allah SWT juga merahasiakan kematian manusia agar mereka selalu
menyiapkan bekal untuk menghadapi kematian. Demikian juga Allah merahasiakan malam Lailatul
Qadar agar para hamba Allah SWT memuliakan dan mengagungkan semua malam di bulan Ramadhan.
Pastilah kemulian dan keagungan itu hanya ditujukan kepada pelaku ibadah yang tangguh, artinya
kepada orang-orang yang telah menyiapkan cawan keruhaniannya sejak bulan ramadhon tahun
sebelumnya hingga saat ini, agar pada malam yang diberkahi itu mereka dikukuhkan sebagai hamba
yang mempunyai kedudukan yang mulia di sisi Tuhannya.
Dalam buku itu Rumi menyebut tiga tahap perkembangan jiwa manusia
untuk mencapai pemahaman hakikat Tuhan.
Tahap kedua adalah fase asketik, yakni orang yang menemph hidup
sederhana (zuhud) dan bertekad menyembah hanya Tuhan. Ia menolak
hal-hal duniawi dan melihat “akhir” jaman. Ia berbuat untuk menuai
ganjaran surga. Ia berangkat dari posisi orang ketiga dalam hubungannya
dengan Tuhan dan menjadikan Tuhan sebagai “Anda” atau orang kedua
dan “saya menyembah-Mu”. Ia menempatkan dirinya sebagai orang lain
terhadap Allah. Ia masih belum menjangkau sejatinya tauhid.
Tahap ketiga dicapai melalui kesadaran bahwa semua hal, termasuk ego
subyektifnya adalah determinasi semu dari Realitas Tunggal, yakni Allah
sendiri. Orang harus membuang egonya untuk menyatu dengan Tuhan.
Bagi orang yang mencapai tingkat ini Allah menjadi “mata, telinga dan
tangan, masing-masing untuk melihat, mendengar dan memegang.”
Manusia yang dapat mencapai tahap ini adalah para nabi, wali, atau
manusia pilihan Allah. Rumi menyatakan, orang bisa mencapai tataran ini
bukan sebagai hadiah “taken for granted” atas usaha kerasnya sendiri
untuk berbuat kebaikan, melainkan karena “hadiah sesuka” Tuhan atau
semata berkat rahmat Allah. Tuhan memilih sendiri siapa yang
dikehendaki Nya. Atas perkenan atau “seneng parenge Gusti
Allah”. Manusia hanya bisa berusaha, tapi Tuhan yang menentukan
hasilnya. Allah tidak bisa didikte. Apalagi, disogok dengan apa pun. Wallau
alam bissawab.
Parni Hadi
Inisiator, Pendiri, Ketua Pembina Dompet Dhuafa