Anda di halaman 1dari 13

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perilaku manusia yang saat ini cenderung lebih melakukan hal-hal
yang lebih santai dan cenderung terkesan malas ternyata akan berdampak
buruk pada kesehatan. Umumnyaa saat ini remaja lebih suka bersantai
lama di depan computer ataupun di depan televise dari pada harus berdiri
ataupun berjalan. Gaya hidup “kurang gerak “ tersebut berpontensi
menimbulkan pembekuan darah yang berjalan sampai vena kaki dan
berakhir di dalam paru-paru. Sebuah studi terbaru di inggris, mengatakan
pembekuan darah (emboli) dalam paru-paru siap mendatangi orang yang
terlalu sering duduk dalam kesehariaanya.
Berdasarkan riset baru orang yang menghabiskan lebih banyak
waktu mereka duduk saat tiba di rumah bsa lebih cenderung berpontensi
mengalami pembekuan darah mematikan dalam paru-paru dari pada
mereka yang lebih aktif. Studi itu merupakan yang pertama menunjukan
bahwa gaya hidup duduk berjam-jam bisa menyebabkan emboli paru.
Pembekuan darah berjalan sampai dalam vena kaki dan pada akhirnya
masuk paru-paru. Gejalanya termaksud nyeri dada, sesak nafas dan batuk-
batuk.
Emboli paru (EP) merupakan kondisi akibat tersumbatnya arteri
paru, yang dapat menyebabkan kematian pada semua usia. Peyakit ini
sering ditemukan dan sering di sebabkan oleh satu atau lebih bekuan darah
dari bagian tubuh lain dan tersangkut di paru-paru ; sering berasal dari
vena dalam di ekstremitas bawah, rongga perut, dan terkadang ekstremitas
atas atau jantung kanan
Emboli paru banyak terjadi akibat lepasnya suatu thrombosis yang
berasal dari pembuluh darah vena di kaki. Thrombus terbentuk dari
beberapa elemen sel dan fibrin yang kadang-kadang berisi protein plasma
seperti plasminogen. Terdapat tiga factor yang memegan peranan
timbulnya thrombus yaitu :
1. Perubahan permukaan endotel pembuluh darah
2. Perubahan pada aliran darah dan
3. Perubahan pada konstitusi darah
Jika terjadi keruakan pada trombosit maka akan di lepaskan suatu
zat tromboplastin. Zat inilah yang merangsang proses pembentukan
beku darah (trombus). Tromboplastin akan mengubah protombin yang
terdapat dalam darah menjadi thrombin, bereaksi dengan fibrinogen
menjadi fibrin
B. Rumusan Masalah
1. Bagimana konsep medis Emboli Paru ?
2. Bagaimana konsep keperawatan Emboli Paru ?
C. Tujuan
Adapun tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk mengetahui
bagaimana konsep medis dan konsep keperawatan emboli paru.
BAB II

KONSEP MEDIS

A. Definisi
Emboli paru-paru merupakan oklusi atau penyumbatan bagian
pembuluh darah paru-paru oleh embolosusu [ CITATION Som07 \l 2057 ].
Emboli paru adalah kondisi akibat tersumbatnya arteri paru yang
dapat menyebabkan kematian pada semua usia [CITATION Les10 \l
2057 ]
B. Etiologi

Hamper semua emboli paru berawal dari thrombus (gumpalan),


yang kebanyakan berasal dari vena tibialis dalam, femoralis, popliteal,
atau iliak. Sumber embolus lain adalah tumor, udara, lemak, sum-sum
tulang, cairan amnion, thrombus septic, dan vegetasi pada katup
jantung yang terjadi pada endocarditis.

Operasi besar seperti prosedur besar di panggul, lutut,


abdomen, dan pelvis memberikan resiko terciptanya thrombus pada
klien karena berkurangnya aliran darah melalui panggul. Berpergian
dalam situasi yang sesak untuk waktu yang lama atau duduk untuk
waktu yang lama juga berhubungan dengan stasis dan penggumpalan
darah. Tindakan pencegahan sangat penting seperti mobilisasi awal,
latihan kaki yang sering, stoking tekanan sekuensial, dan profilaksis
antikoagulan [ CITATION Bla14 \l 2057 ]

C. Patofisiologi
Pada tahun 1856 rudolf Virchow membuat sebuah postulat
yang menyatakan bahwa terdapat tiga factor yang dapat
menyebabkan terjadinya keadaan koagulasi intravaskuler, yaitu
1. Trauma lokal pada dinding pembuluh darah, sehingga terjadi
kerusakan endotel vaskular. Biasanya di sebabkan oleh
thrombophlebitis sebelumnya, pada trauma, ataupun tindakan
pembedahan.
2. Keadaan hiperkoagulobilitas darah yang disebabkan oleh
berbagai pengobatan, seperti : kontrasepsi oral, terapi hormone,
terapi steroid, keganasan, sindrom nefrotik, thrombositopenia
akibat protein C, protein S, anthitrombin III, dan keadaan DIC.
3. Keadaan stasis vena, biasanya di sebabkan karena imobilisasi
atau tirah baring yang berkepanjangan, katup vena yang tidak
kompeten akibat proses thromboemboli sebelumnya, efek
samping anestesi, gagal jantung kongestif dan cor pulmonale.
Emboli akan meningkatkan resistensi dan tekanan pada
arteri pulmonalis yang kemudian akan melepaskan senyawa-
senyawa vasokontriktor, agregasi platelet, dan sel serta hipoksemia
kemudian akan menimbulkan hipertensi arteri pulmonal, sehingga
tekanan ventrikel kanan meningkat. Selanjutnya dilatasi dan
difungsi ventrikel kanan akan meyebabkan penekanan septum
intraventrikuler ke sisi kiri dan regurgitasi katup trikuspidalis. Hal
ini dapat mengganggu proses pengisian ventrikel. Dengan
berkurangnya proses pengisian ventrikel liri, maka curah jantun
sistemik akan meurung dan mengurangi perfusi coroner yang dapat
menyebabkan shok kardiogenetik. Apabila tidak di tangani dengan
dengan cepat, maka dapat menyebabkan sirkulasi dan kematian.
Pada pasien yang berhasil melewati episode emboli akut,
terjadi aktivasi pada sistem simpatetik. Stimulasi inotropik dan
kronotropik meningkatkan tekanan arteri pulmonal yang dapat
membantu untuk mengembalikan aliran darah pulmonal dan
memperbaiki pengisian ventrikel kiri, sehingga tekanan darah
sistemik menjadi stabil kembali. Tetapi kompensasi inotropik dan
kronotropik ini tidak mampu untuk mempertahankan fungsi
ventrikel kanan untuk jangka waktu panjang. Sehingga akan terjadi
peningkatan kebutuhan oksigen pada otot miokardial ventrikel
kanan disertai dengan penurunan gradien perfusi koroner ventrikel
kanan. Akibatnya, iskemia dan kegagalan fungsi ventrikel kanan
terjadi.
Jika tidak ada penyakit kardioemboli sebelumnya, obstruksi
kurang dari 20% hanya akan menyebabkan gangguan
hemodinamik minimal dengan gejala klinis tidak spesifik. Ketika
obstruksi mencapai 30-40%, maka akan terjadi kenaikan tekanan
ventrikel kanan, tetapi curah jantung sistemik masih dapat
dipertahankan dengan adanya kompensasi inotropik dan
kronotropik yang meningkatkan denyut jantung dan kontraktilitas
miokard. Ketika obstruksi melebihi 50-60% dari arteri pulmonalis,
maka kompensasi akan mulai mengalami kegagalan.
Curah jantung berkurang dan tekanan atrium kanan akan
meningkat sehingga menimbulkan kegagalan hemodinamik yang
nyata. Sedangkan insufisiensi pernapasan pada emboli paru
disebabkan akibat rendahnya curah jantung sehingga terjadi
desaturasi darah vena yang memasuki peredaran darah
pulmonal.
Ketidakseimbangan ventilasi-perfusi akan menimbulkan
gejala sesak napas dan hipoksemia. Pada emboli paru yang
letaknya lebih ke distal, gangguan hemodinamik mungkin tidak
ditemukan. Tetapi gejala hemoptisis, pleuritis, dan efusi pleura
ringan dapat ditemukan akibat pecahnya pembuluh darah di sekitar
alveolar [CITATION Oct15 \l 2057 ]
D. Tanda dan gejala
1. Gejala PE sering tidak spesifik dan dapat meniru kondisi lain,
termaksud pluritis, infark miokard dan serangan panic. Pasien
mungkin mengalami gejala yang tidak jelas yang mengganggu
selama bermingu-minggu sebelum mendatangi ruang emergensi.
2. Dispnea dan takipnea kemungkinan hemoptisis.
3. Nyeri dada pleuritis (luasnya dengan onset mendadak).
4. Takikardi.
5. Kecemasan, ketakutan, gelisah .
6. Pleural friction kadang-kadang di dapat saat auskultasi.
7. Tanda dan gejala klinis dari thrombosis vena dalam.
[ CITATION Kur18 \l 2057 ].

E. Pemeriksaan diagnosis
1. Rontgen dada anterior-posterior dan lateral tidak begitu
sensitive untuk PE namun dapat mengesampikan kondisi lain
seperti pneumothoraks.
2. Gas darah arteri penentuan umumnya menunjukan hipoksemia.
3. Pengukuran D-dimer meningkatkan 500 ng/Ml.
4. CT scan helical (spiral)
5. Magnetic resonance imaging atau magnetic resonance
angiograpy.
6. 12/lead EKG untuk mengensampikan miokard infark akut.
7. Panel dasar koagulasi.
[ CITATION Kur18 \l 2057 ].
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Arway
a. Kaji dan pertahankan jalan nafas
b. Lakukan head tilt chin lift jika perlu
c. Gunakan alat bantu untuk jalan nafas jika perlu
d. Pertimbangkan untuk merujuk ke ahli anastesi untuk di
lakukan intubasi jika tidak dapat mempertahankan jalan
nafas
2. Breating
a. Kaji saturasi oksigen dengan menggunakan pulse oximeter
untuk mempertahankan saturasi > 92%
b. Berikan oksigen dengan aliran tinggi melalui non re-breath
mask
c. Pertimbangkan untuk mendapatkan pernapasan dengan
menggunakan bag valve mas ventilation
d. Lakukan pemeriksaan gas darah arteri untuk mengkaji
PaO2 dan PaCo2
e. Kaji jumlah pernapasan
f. Lakukan pemeriksaan sytem pernapasan
g. Dengarkan adanya bunyi pleura
h. Lakukan pemerikaan foto thorak
3. Circulation
a. Kaji heart rate dan ritme kemungkinan terdengar suara
gallop
b. Kaji peningkatan JVP
c. Catat tekanan darah
d. Pemeriksaan EKG mungkin menunjukan :
Sinus tachikardi
Adanya S1, Q3, T3
Righ bundle branch block (RBBB)
Righ axis deviation (RAD)
Pulmonale
e. Lakukan IV akses
f. Lakukan pemeriksaan darah lengkap
g. Jika ada kemungkinan PE berikan heparin
4. Disability
a. Kaji tingkat kesadaran dengan menggunakan AVPU
b. Penurunan kesadaran menunjukan tanda awal pasien masuk
kondisi ekstrim dan membutuhkan pertolongan medis
segera dan membutuhkan perawatan ICU
5. Exposure
a. Selalu mengkaji dengan menggunakan test kemungkinan
PE
b. Jika pasien stabil lakukan pemeriksaan riwayat kesehatan
dan pemeriksaan fisik lainya.
c. Jangan lupa pemeriksaan u tuk tanda DVT

6. Riwayat adanya factor resiko seperti kondisi-kondisi yang


mengarah kepada :
a) iperkogulabilitas darah, contoh polisitemia, dehidrasi, kanker,
penggunaan kontrasepsi oral dan anemia sel sabit.
b) edera pada endothelium veba, contoh fraktur tulang panjang,
penyalagunaan obat IV, beda ortopedik, fungsi vena kaki.
c) Aliran vena statis, contoh imbolisasi, luka bakar luas, varises
vena, tromboplebitis vena dalam gagal jantung. Fibrilasi
atrium, dan kegemukan
7. Pemeriksaan fisik berfokus pada pengkajian system pernapasan
(apendiks A) dan system kardiovaskuler (apendis G) dapat
menunjukan :
a) Nyeri dada yang berat pada saat inspirasi, kulit yang lembab
hangat atau lembab dingin tergantung derajat dari
hipoksemia.
b) Terjadi sesak nafas yang tiba-tiba di sertai dengan takipnea
c) Takikardi ( frekuensi nadi lebih dari 100 kali/menit).
d) Demam ringan
e) Tekanan darah turung lebih dan normal
f) Rales, ronki pada kasus emboli paru yang luas
g) Batuk produktif di sertai becak darah, atau sputum
kemerahan atau batuk tidak produktif
h) Sianosis (jika terjadi penyumbatan total pada arteri
pulmonal).
i) Distensi vena jugularis pada saat posisi duduk

8. Pemeriksaan diagnostic
a) JDL menunjukan lekositosis
b) Gas darah arteri (GDA) menunjukan hipoksemia (PaO2
kurang dari 80 mmHg) dan alkalosis respiratori (PaO2,
kurang dari 35mmHg dan pH lebih tinggi dari 7,45) Alkalosis
respiratori dapat di sebabkan oleh hiperventilasi.
c) Waktu protombri (PT) dan waktu tromboplastin parsial
(PTT), mungkin rendah jika terjadi pembekuan darah dan
muknin normal jika di sebabkan oleh emboli udara atau
emboli lemak
d) Enzim-enzim jantung (CPK, LDH, AST,) harus di lakukan
untuk mencegah terjadinya infark miokard
e) Skaning paru-paru (skening fentilasi dan perfusi) untuk
mengetahui area yang mengalami hipoperfusi
f) Angiogram paru-paru memberikan gambarang yang paling
tajam dari kejadian emboli paru. Walaupun dilakukanya tidak
rutin, angiogram dapat membuktikan suatu kesimpulan dan
bila di rencaanakan suatu tindakan di vena kava. Tindakan ini
di laksanaka sama seperti melaksanakan kateter jantung
kanan.
9. Kaji responemosional terhadap kondisi tersebut.

B. Diagnosa
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi trakeo
bronghial oleh bekuan darah, secret banyak, pendarahan aktif
2. Gangguan pertukarang gas berhubungan dengan
ketidakseimbangan fentilasi-perfusi
3. Gangguan ferpusi jaringan berhubungan dengan penghentian
aliran darah arteri dan vena.

C. Intervensi
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi trakeo
bronghial oleh benkuan darah seckret, banyak pendarahan aktiv
a) Observasi dan dokumentasikan ekspansi dada bilateral pada
pasien yang terpasang monitor
b) Hubungkan dan dokumentasikan semua data hasil
pengkajian (mis, sensori, suara nafas, pola pernapasan, nilai
GDA, sputum, dan efek obat pada pasien)
c) Ajarkan kepada pasien dan keluarga tentang teknik relaksasi
untuk memperbaiki pola pernapasan, uraikan teknik.
d) Konsultasi dengan ahli terapi pernapasan untuk memastikan
keadekuatan fungsi ventilator mekanis.

2. Gangguan prtukarang gas berhubungan dengan


ketidakseimbangan fentilasi-perfusi
a) Kaji suara paru; frekuensi nafas, kedalaman, dan usaha
nafas; dan produksi sputum sebagai indicator keefektifan
penggunaan alat penunjang.
b) Jelaskan kepada pasien sebelum memulai pelaksanaan
prosedur, untuk menurunkan ansietas dan meningkatkan
rasa kendali.
c) Ajarkan kepada pasien bagaimana menggunakan inhaler
yang di anjurkan, sesuai dengan kebutuhan.
d) Berikan obat yang di resepkan (mis, natrium, biokarbonat)
untuk mempertahankan keseimbangan asam-basa

3. Gangguan ferfusi jaringan berhubungan dengan penghentian


alirandarah arteri dan vena
a) Kaji ulkus statis dn gejala selulitis (yaitu nyeri, kemerahan,
dan pembekakan ekstremitas)
b) Ajarkan manfaat latihan fisik pada sirklasi perifer.
c) Pantau hasil lab yang berkaitan dengan rentensi cairan (mis,
peningkatan berat jenis, peningkatan BUN, penurunan
kematokrit, dan peningkatan kadar osmolalitas urin).
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Emboli paru-paru merupakan oklusi atau penyumbatan bagian pembuluh
darah paru-paru oleh embolosusu. Emboli paru di sebabkan oleh
imbolisai,umur, penyakit jantung, trauma, obesitas, kehamilan dan nifas,
obat-obatan, penyakit hematologic dan penyakit metabolisme.

B. Saran
Sebagai seorang perawat harus mampu mengetahui apa itu emboli paru
agar perawat mampu memberikan asuhan keperawatan dengan tepat dan
benar.
DAFTAR PUSTAKA

Black , J., & Hawks, J. (2014). Keperawatan Medikal Bedah manajemen klinis
untuk hasil yang di harapkan . Singapore : Salemba Medika .

Kurniati , A., Trisyani, Y., & Theresia , S. (2018). Keperawatan Gawat Darurat
dan Bencana Sheehy. Singapore : Elsevier.

Lesmana , V. P. (2010). Emboli Paru. Bagian Penyakit Dalam, 512.

Nur Rosyid , A., & S.Suawandi, M. (2014). Peran Pecitraan Dalam Diagnosa
Emboli Paru. Tinjauan Kepustakaan Depatermen dan Ilmu Kedokteran
Nuklir, 5-8.

Octaviani, F., & Kurniawan , A. (2015). Emboli Paru. Universitas Pelita


Harapan, 314.

Somantri , I. (2007). Asuhan Keperawatan pada pasien dengan Gangguan Sistem


Pernapasan . Jakarta : Salemba Merdeka.

Anda mungkin juga menyukai