Anda di halaman 1dari 41

LONGCASE

RINOSINUSITIS
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
di Bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok
RSUD Panembahan Senopati Bantul

Disusun oleh:
Galuh Shafira Savitri
20204010055

Diajukan kepada:
dr. Agung Raharjo, Sp. THT-KL.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROK
RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL
2021

1
LEMBAR PENGESAHAN

RINOSINUSITIS
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
di Bagian Ilmu Telinga Hidung Tenggorok
RSUD Panembahan Senopati Bantul

Disusun oleh :

Galuh Shafira Savitri


20204010055

Telah disetujui dan dipresentasikan pada tanggal 21 Agustus 2021

Pembimbing

dr. Agung Raharjo, Sp. THT-KL

2
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh.

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT atas segala nikmat, petunjuk

dan kemudahan yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan

makalah longcase ini yang diberi judul Rinosinusitis. Shalawat serta salam untuk junjungan

kita Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan para pengikutnya.

Makalah longcase ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mengikuti

ujian akhir di bagian Ilmu Telinga, Hidung dan Tenggorok. Penulis menyadari makalah

longcase ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga kritik dan saran sangat penulis harapkan.

Dalam kesempatan yang sangat baik ini perkenankanlah penulis mengucapkan penghargaan

dan terimakasih kepada:

1. Allah SWT yang telah memberikan segala nikmat yang tidak terhingga sehingga

mampu menyelesaikan makalah longcase ini dengan baik

2. dr. Agung Raharjo, Sp.THT-KL selaku dokter pembimbing dalam menyelesaikan

makalah longcase ini

3. Teman-teman ko-asistensi seperjuangan di RSUD Panembahan Senopati Bantul.

Wassalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh.

Bantul, 18 Agustus 2021

Penulis

3
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................... 2


KATA PENGANTAR ............................................................................................. 3
BAB I ....................................................................................................................... 5
PENDAHULUAN ...................................................................................................5
BAB II...................................................................................................................... 5
STATUS PASIEN ...................................................................................................5
I. IDENTITAS PASIEN .................................................................................. 5
II. ANAMNESIS .............................................................................................. 5
III. PEMERIKSAAN FISIK .............................................................................. 8
IV. DIAGNOSA KLINIS................................................................................. 14
BAB III .................................................................................................................. 16
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ 16
A. Anatomi dan Fisiologi Sistem Penghidu.................................................... 16
B. Definisi Rinosinusitis………………………………………………….....20

C. Epidemiologi Rinosinusitis ........................................................................ 20


D. Etiologi Rinosinusitis ................................................................................. 20
E. Patofisiologi Rinosinusitis ......................................................................... 21
F. Gejala Rinosinusitis ................................................................................... 20
G. Klasifikasi Rinosinusitis ............................................................................ 23
H. Diagnosis Rinosinusitis.............................................................................. 25
I. Diagnosis Banding ..................................................................................... 30
J. Penatalaksanaan Rinosinusitis ................................................................... 32
K. Komplikasi Rinosinusitis…………………...…………………………….36

L. Kriteria Rujukan………………………………………………………….36

BAB IV .................................................................................................................. 38
PEMBAHASAN .................................................................................................... 38
BAB V ................................................................................................................... 40
KESIMPULAN ...................................................................................................... 40
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 41

4
BAB I
PENDAHULUAN

Rhinosinusitis adalah penyakit akibat perdangan pada mukosa sinus paranasal dan

rongga hidung (Panduan Praktik Klinis di Faskes Primer IDI, 2014). Sinusitis merupakan

penyakit yang sering ditemukan ditemukan dalam praktek dokter sehari-hari, bahkan dianggap

sebagai salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di seluruh dunia. Sinusitis

didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal yang umumnya disertai atau dipicu

oleh rhinitis sehingga sering disebut rhinosinusitis. Penyebab utamanya ialah selesma (common

cold) yang merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri (Endang

dan Damajanti, 2012).

Bila mengenai beberapa sinus disebut mutlisinusitis, sedangkan bila mengenai semua

sinus paranasal disebut pansinusitis. Yang paling sering terkena adalah sinus etmoid dan

maksila, sedangkan sinus frontal lebih jarang dan sinus sfenoid lebih jarang lagi. Sinus maksila

disebut juga antrum Highmore, letaknya dekat akar gigi rahang atas, maka infeksi gigi mudah

menyebar ke sinus, disebut ssinusitis dentogen. Sinusitis dapat menjadi berbahaya karena

menyebabkan komplikasi ke orbita dan intracranial, serta menyebabkan peningkatan serangan

asma yang sulit diobati (Endang dan Damajanti, 2012).

Dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama harus memiliki keterampilan

yang memadai untuk mendiagnosi, menatalaksana, dan mencegah berulangnya rhinosinusitis.

Tatalaksana rhinosinusitis yang efektif dari dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat

pertama dapat meningkatkan kualitas hidup pasien secara signifikan, menurunkan biaya

pengobatan, serta mengurangi durasi frekuensi absen kerja (Panduan Praktik Klinis di Faskes

Primer IDI, 2014).

5
BAB II
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. D
Usia : 16 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jalan KH Dahlan 37 Bantul
Status Pekerjaan : Pelajar
Pendidikan Terakhir : SMA
Agama : Islam
Suku : Jawa
Bangsa : Indonesia
Tanggal pemeriksaan : 18 Agustus 2021
No. RM : 43-80-69

II. ANAMNESIS
Dilakukan autoanamnesis dengan pasien tanggal 18 Agustus 2021.

Keluhan Utama
Kurang bisa mencium bau

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke Poli THT RSUD Panembahan Senopati Bantul pada 18

Agustus 2021 dengan keluhan kurang bisa mencium bau sejak ± 3 minggu yang lalu

(mulai 19 Juli 2021). Pasien mengatakan awalnya hendak menggunakan minyak kayu

putih tetapi tidak mencium baunya sama sekali, keluhan tidak membaik. Keluhan lain

berupa batuk (+) kering, pilek (+), pusing di kepala bagian belakang (+), demam (-),

sesak nafas (-), hidung tersumbat (-), meler (-), mimisan (-). Keluhan pada telinga dan

tenggorok disangkal

Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat keluhan serupa (-)

6
- Riwayat parotitis dan faringitis akut pada tahun 2011
- Riwayat nyeri telinga pada tahun 2014
- Riwayat tonsilitis pada tahun 2015
- Riwayat terinfeksi Dengue Fever pada tahun 2016
- Riwayat astenopia pada tahun 2018
- Riwayat berobat di poli paru (+) pada tanggal 14 Agustus 2021 dengan
keluhan kurang bisa mencium bau, pusing di kepala bagian belakang (+), dan
nyeri dada (+) sebelah kiri
- Riwayat demam (+) mulai 21 Juli 2021, berlangsung selama 3 hari dengan
suhu tertinggi mencapai 38oC
- Riwayat batuk (+) kering ± selama 3 bulan, pilek (+) keluar ingus jernih, nyeri
tenggorokan (-), nyeri menelan (-)
- Riwayat kontak dengan pasien COVID-19 (+), swab antigen negatif pada
tanggal 13 Agustus 2021
- Riwayat maag (-)
- Riwayat alergi (-)

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga


- Riwayat keluhan yang serupa (-)
- Riwayat alergi (-)
- Riwayat maag (-)

Riwayat Personal Sosial dan Lingkungan


Pasien adalah seorang pelajar kelas 2 SMA di Pondok Pesantren. Riwayat

sering mengonsumsi makanan pedas (+), minuman dingin (+), merokok (-),

penyalahgunaan obat (-), serta penggunaan alkohol (-). Teman satu kamar di pondok

dengan pasien ada yang positif COVID-19 dan kontak erat dengan pasien

Anamnesis Sistem
- Sistem serebrospinal : nyeri kepala bagian belakang (+), demam (-),
mual (-)
- Sistem respiratorius : kurang bisa mencium bau (+), batuk (+)

7
kering, keluar cairan dari hidung (+), hidung
tersumbat (-)
- Sistem kardiovaskuler : nyeri dada (-), sesak (-), sianosis (-)
- Sistem gastrointestinal : tidak ada keluhan
- Sistem genitalia : tidak ada keluhan
- Sistem muskuloskeletal : kelemahan anggota gerak (-)
- Sistem integumentum : tidak ada keluhan

III. PEMERIKSAAN FISIK


STATUS GENERALIS
1. Keadaan Umum
- Keadaan umum : baik
- Kesadaran : compos mentis
2. Tanda-tanda Vital
- Tekanan darah : 138/81 mmHg
- Nadi : 98 x/ menit
- Napas : 20 x/ menit
- Suhu : 36,2°C
- VAS nyeri :0
3. Kepala
- Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
- Hidung : simetris, deviasi septum nasi (-), konka hiperemis (-),
edema (-), meatus sekret (-), massa (-)
- Telinga : simetris, nyeri tekan aurikula (-/-), otorrhea (-/-)
- Mulut : bibir lembab, mukosa bukal lembab, tonsil T1-T1
- Sinus frontalis : nyeri tekan (-)
- Sinus maksillaris : nyeri tekan (-)
4. Leher
Kelenjar Getah bening : teraba membesar (-/-)
5. Thoraks
a. Jantung
- Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
- Palpasi : iktus kordis teraba di SIC V 1 jari medial garis

8
midklavikula sinistra
- Perkusi : Batas kanan atas jantung di SIC II garis parasternal dekstra
Batas kiri atas jantung di SIC II garis parasternal sinistra
Batas kanan bawah jantung di SIC IV midklavikula sinistra
Batas kiri bawah jantung di SIC V midklavikula sinistra
- Auskultasi : bunyi jantung S1-S2 reguler
a. Paru-paru
- Inspeksi : simetris saat inspirasi dan ekspirasi, retraksi intrakostal
dan substernal (-)
- Palpasi : vokal fremitus simetris kanan dan kiri
- Perkusi : sonor (+/+)
- Auskultasi : vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
6. Abdomen
- Inspeksi : supel, warna kulit normal
- Auskultasi : peristaltik (+)
- Perkusi : timpani (+)
- Palpasi : supel (+), nyeri tekan (-)
7. Ekstremitas
Akral hangat, nadi kuat, capillary refill time <2 detik, edema (-)

STATUS LOKALIS

1. Telinga

Pars Flacid

D S
Proc. AD AS
Brevis
malleus

Umbo

Pars Tensa

Cone of Light

9
Bagian Telinga Telinga Kanan Telinga Kiri

Deformitas (-), Deformitas (-),


Aurikula hiperemis (-), edema (-) hiperemis (-),
edema (-)

Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-),


Preaurikula nyeri tekan tragus (-) nyeri tekan tragus (-)

Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-),


Retroaurikula nyeri tekan (-) nyeri tekan (-)

Serumen (+), hiperemis (-), Serumen (+), hiperemis (-),


Meatus akustikus eksternus edema (-) edema (-)

Retraksi (-), bulging (-), Retraksi (-), bulging (-),


Membran timpani perforasi (-), cone of light perforasi (-), cone of light
(+) arah jam 5 (+) arah jam 7

Kesan: Pemeriksaan telinga dalam batas normal

Pemeriksaan Fungsi Telinga Telinga Kanan Telinga Kiri

Pendengaran

Rinne (+) (+)

Weber Tidak ada lateralisasi

Schwabach Sama dengan pemeriksa Sama dengan pemeriksa

Audiometri Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Tuba

Valsava Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Toynbee Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Kesan : Tidak didapatkan kelainan

10
2. Hidung dan Paranasal

D S
Rhinoskopi Anterior

Concha nasimedius
Concha nasimedius

Concha nasi inferior


Concha nasi inferior

Sekret
Septum nasi

Pemeriksaan Hidung Kanan Kiri

1. Hidung Luar Bentuk dalam batas normal, Bentuk dalam batas


hiperemis (-), normal, hiperemis (-),
nyeri tekan (-), nyeri tekan (-),
deformitas (-) deformitas (-)

2. Sinus Paranasalis Sinus maksilaris: Nyeri ketok (-), nyeri tekan (-)
Sinus frontalis: Nyeri ketok (-), nyeri tekan (-)

3. Rhinoskopi Anterior
Vestibulum nasi Hiperemis (-) Hiperemis (-)

Bentuk normal, Bentuk normal, hiperemis


Cavum nasi hiperemis (-), edema (-) (-), edema (-)

Konka inferior: Konka inferior:


mukosa hiperemis (+), mukosa hiperemis (+)
Konkha nasi edema (-), edema (-)
Konka media: mukosa Konka media: mukosa
hiperemis (+), edema (-) hiperemis (+), edema (-)

Mukosa hiperemis (-), Mukosa hiperemis (-),


Meatus nasi sekret mukopurulen (-) sekret mukopurulen (-)

Licin, deviasi (-), Licin, deviasi (-),


Septum nasi perdarahan (-) perdarahan (-)

4. Transluminasi
Sinus frontalis Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Sinus maksilaris Tidak dilakukan Tidak dilakukan
5. Pemeriksaan Fungsi - Aroma kopi (-) - Aroma kopi (-)
Penghidu tidak tercium tidak tercium

11
- Aroma tembakau - Aroma tembakau
(+) tercium, (+) tercium,
jawaban salah jawaban salah
- Aroma jeruk (+) - Aroma jeruk (+)
tercium, jawaban tercium, jawaban
salah salah
Kesan:
• Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior didapatkan kelainan yaitu
hiperemis pada konka inferior dan media pada hidung kanan dan kiri
• Pada pemeriksaan fungsi penghidu didapatkan kelainan

6. Pemeriksaan Mukosa Hiperemis (-) Hiperemis (-)


Rhinoskopi
Sekret Tidak ada Tidak ada
Posterior
Choana Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Fossa Rossenmuller Tidak diperiksa Tidak diperiksa
Massa/ tumor Tidak ada Tidak ada
Muara tuba eustachius Tidak diperiksa Tidak diperiksa

S
D

Kesan : Pada pemeriksaan rhinoskopi posterior tidak didapatkan kelainan

12
3. Tenggorok

BAGIAN KETERANGAN

Mukosa Merah muda

Lidah Atrofi papil (-)

Gigi Caries gigi (-), gusi hiperemis (-)

Uvula Ukuran dan bentuk normal, merah muda, di


tengah

Pilar Merah muda, simetris

Tonsil:

• Mukosa Tenang
• Ukuran T1/T1
• Kripta Tidak melebar
• Detritus (-/-)
Faring

• Mukosa Hiperemis (-), Edema (-)


• Post nasal drip (-)

13
Laring

• Epiglotis Tidak tampak


• Subglotis Tidak tampak
• Ventrikular obliterasi Tidak tampak
• Kartilago arytenoid Tidak tampak
• Aritenoid Tidak tampak
• Plika vocalis Tidak tampak
• Plika vestibularis Tidak tampak
• Trakea Tidak tampak
• Kamisura posterior Tidak tampak

Gambar
1. Epiglotis
2. Corniculate tubercle
3. Aryepiglottic fold
4. Ventricular folds
5. Vocal folds
6. Glottis
7. Trachea

• Kartilago arytenoid Tidak tampak


• Karilago aryepiglotika Tidak tampak
• Rima glotis Tidak tampak
• Trakea Tidak tampak

Kesan: Pada pemeriksaan status lokalis tenggorok didapatkan hasil dalam batas
normal

IV. DIAGNOSA KLINIS


Observasi anosmia suspect rinosinusitis akut
V. DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
• Rinosinusitis kronis
• Rinitis vasomotor
• Bronkitis akut
VI. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
Foto polos posisi Waters (PA lateral), CT Scan sinus

14
VII. RENCANA TERAPI

a. Non Medikamentosa

1. Memberikan edukasi kepada pasien terkait dengan kondisi yang

saat ini dialami

2. Memberikan edukasi untuk mengurangi konsumsi makanan pedas

dan minuman dingin

3. Meminta pasien untuk mencium empat jenis odoran yang berbeda

(minyak kayu putih, kopi, madu, bawang putih) setiap pagi dan

malam hari selama 4-6 bulan

4. Meminta pasien periksa kembali apabila kondisi belum membaik

5. Merujuk pasien ke Dokter Spesialis THT-KL

b. Medikamentosa

Diberikan sesuai dengan penyebab dari keluhan yang dirasakan pasien saat

ini, yaitu:

R/ Metilprednisolone tab 16 mg No X

S 2 dd 1 tab

R/ Codein tab 10 mg No X

S 2 dd 1 tab

15
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Sistem Penghidu

Bagian dari fungsi penghidu yang terlibat adalah neuroepitel olfaktorius, bulbus

olfaktorius dan korteks olfaktorius.

1. Neuroepitel Olfaktorius

Neuroepitel olfaktorius terdapat di atap rongga hidung, yaitu di konka superior,

septum bagian superior, konka media bagian superior atau di dasar lempeng

kribriformis. Neuroepitel olfaktorius merupakan epitel kolumnar berlapis semu

yang berwarna kecoklatan, warna ini disebabkan pigmen granul coklat pada

sitoplasma kompleks golgi. Regio neuroepitel olfaktorius (gambar 1).

Sel di neuroepitel olfaktorius ini terdiri dari sel pendukung yang merupakan

reseptor olfaktorius. Terdapat 10-20 juta sel reseptor olfaktorius. Pada ujung dari

masing-masing dendrit terdapat olfactory rod dan diujungnya terdapat silia. Silia ini

menonjol pada permukaan mukus. Sel lain yang terdapat di neuroepitel olfaktorius ini

adalah sel penunjang atau sel sustentakuler. Sel ini berfungsi sebagai pembatas antara

sel reseptor, mengatur komposisi ion lokal mukus dan melindungi epitel olfaktorius

16
dari kerusakan akibat benda asing. Mukus dihasilkan oleh kelenjar Bowman’s yang

terdapat pada bagian basal sel olfaktoris. Membran mukus dari neuroepitel olfaktorius

(gambar 2).

Melalui proses inhalasi udara, odoran sampai di area olfaktorius, kemudian

bersatu dengan mukus yang terdapat di neuroepitel olfaktorius dan berikatan dengan

reseptor protein G yang terdapat pada silia. Ikatan protein G dengan reseptor olfaktorius

(G protein coupled receptors) akan mengaktifkan enzim adenylyl cyclase yang

merubah adenosine triphosphate (ATP) menjadi cyclic adenosine monophosphate

(cAMP) yang merupakan second messenger. Hal ini akan menyebabkan aktivasi sel

dengan terbukanya pintu ion yang menyebabkan masuknya natrium (Na+) dan kalsium

(Ca2+) ke dalam sel sehingga terjadi depolarisasi dan penjalaran impuls ke bulbus

olfaktorius. Aktivasi reseptor sel olfaktorius (gambar 3).

17
2. Bulbus Olfaktorius

Bulbus olfaktorius berada di dasar fossa anterior dari lobus frontal. Bundel akson

saraf penghidu (fila) berjalan dari rongga hidung dari lempeng kribriformis

diteruskan ke bulbus olfaktorius. Dalam masing-masing fila terdapat 50 sampai

200 akson reseptor penghidu pada usia muda, dan jumlah akan berkurang dengan

bertambahnya usia. Akson dari sel reseptor yang masuk akan bersinap dengan

dendrit dari neuron kedua dalam gromerulus. Perjalanan impuls di bulbus

olfaktorius (Gambar 4).

3. Korteks Olfaktorius

Terdapat 3 komponen korteks olfaktorius, yaitu pada korteks frontal merupakan

pusat persepsi terhadap penghidu. Pada area hipotalamus dan amygdala merupakan

pusat emosional terhadap odoran, dan area enthorinal merupakan pusat memori

dari odoran. Korteks olfaktorius (gambar 5).

18
Saraf yang berperan dalam sistem penghidu adalah nervus olfaktorius (N I).

Filamen saraf mengandung jutaan akson dari jutaan sel-sel reseptor. Satu jenis

odoran mempunyai satu reseptor tertentu, dengan adanya nervus olfaktorius kita

bisa mencium odoran seperti strawberi, apel dan bermacam odoran lain. Saraf lain

yang terdapat di hidung adalah saraf somatosensori trigeminus (N V). Letak saraf

ini tersebar diseluruh mukosa hidung dan kerjanya dipengaruhi rangsangan kimia

maupun nonkimia. Kerja saraf trigeminus tidak sebagai indera penghidu tapi

menyebabkan seseorang dapat merasakan stimuli iritasi, rasa terbakar, rasa dingin,

rasa geli dan dapat mendeteksi bau yang tajam dari amoniak atau beberapa jenis

asam. Ada anggapan bahwa nervus olfaktorius dan nervus trigeminus berinteraksi

secara fisiologis. Saraf lain yang terdapat dihidung yaitu sistem saraf terminal (N

O) dan organ vomeronasal (VMO). Sistem saraf terminal merupakan pleksus saraf

ganglion yang banyak terdapat di mukosa sebelum melintas ke lempeng

kribriformis. Fungsi saraf terminal pada manusia belum diketahui pasti. Organ

rudimeter vomeronasal disebut juga organ Jacobson‟s. Pada manusia saraf ini tidak

berfungsi dan tidak ada hubungan antara organ ini dengan otak. Pada pengujian

elektrofisiologik, tidak ditemukan adanya gelombang pada organ ini (Huriyati dan

Nelvia, 2014).

19
B. Definisi Rinosinusitis

Rinosinusitis adalah suatu kondisi peradangan yang melibatkan hidung dan sinus

paranasal. Secara klinis, rinosimusitis merupakan keadaan yang terjadi sebagai manifestasi

adanya peradangan yang mengenai mukosa rongga hidung dan sinus paranasal dengan

terjadinya pembentukan cairan atau adanya kerusakan pada tulang di bawahnya (Husni,

2017).

C. Epidemiologi Rinosinusitis

Prevalensi rinosinusitis di Indonesia cukup tinggi, dapat dilihat dari data Departemen

Kesehatan Republik Indonesi pada tahun 2003 bahwa sinus dan penyakit hidung berada

pada peringkat ke-25 dari 50 penyakit. Menurut National Ambulatory Medical Care

Survey (NAMCS), di Amerika Serikat, rinosinusitis menempati urutan ke-5 sebagai

penyakit yang paling sering ditemukan. Riset Kesehatan Dasar Republik Indonesia pada

tahun 2018 mengatakan bahwa prevalensi Infeksi Saluran Pernapasan Atas mencapai 9,3%

dari total seluruh penduduk Indonesia. Berdasarkan jenis kelamin penderita rinosunusitis

lebih sering dialami perempuan dibandingkan laki-laki. Survei yang dilakukan Center of

Disease Control (CDC) di Amerika dari tahun 1997 hingga 2012 melaporkan bahwa

perempuan lebih banyak daripada laki-laki pada setiap tahunnya.

D. Etiologi Rinosinusitis

Penyebab utama dan terpenting dari rinosinusitis adalah obstruksi ostium sinus.

Berbagai faktor baik lokal maupun sistemik dapat menyebabkan inflamasi atau kondisi

yang mengarah pada obstruksi ostium sinus. Berbagai faktor tersebut meliputi infeksi

saluran nafas atas, alergi, paparan bahan iritan, kelainan anatomi, defisiensi imun dan lain-

lain. Infeksi bakteri atau virus, alergi dan berbagai bahan iritan dapat menyebabkan

inflamasi mukosa hidung. Infeksi akut saluran nafas atas yang disebabkan oleh virus

merupakan faktor penyebab terbanyak dari rhinosinusitis viral. Udem mukosa hidung dan

20
sinus maksila yang berakibat penyempitan ostium sinus maksila ditemukan pada 80%

pasien common cold. Adanya cairan dapat diikuti pertumbuhan bakteri sekunder sehingga

timbul gejala peradangan akut (rhinosinusitis bakterial akut). Berbagai variasi atau

kelainan anatomi seperti sel agger nasi yang menonjol ke arah insersi antero-superior dari

konka media, bullae etmoidalis yang kontak di bagian medial, deformitas prosesus

unsinatus, deformitas konka bulosa (pneumatisasi konka media) dan septum deviasi dapat

menyebabkan penyempitan ostiomeatal secara mekanik (Husni, 2017).

Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus, bermacam

rhinitis terutama rhinitis alergi, polip hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau

hipertrofi konka, sumbatan kompleks ostio meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi,

kelainan imunologik, diskinesia silia seperti pada sindroma Kartagener. Pada anak,

hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis sehingga perlu dilakukan

adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan dan menyembuhkan rinosinusitisnya,

hipertrofi adenoid dapat didiagnosis dengan foto polos leher prosisi lateral. Faktor lain

yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin dan kering, serta

kebiasaan merokok. Keadaan ini lama-lama menyebabkan perubahan mukosa dan

merusak silia (Endang dan Damajanti, 2012).

E. Patofisiologi Rinosinusitis

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya

klirens mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam KOM. Mukus juga mengandung

substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh

terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan. Organ-organ yang membentuk

KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling

bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi

tekanan negative di dalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, mula-

21
mulai serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai rhinosinusitis non-bacterial dan biasanya

sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan (Endang dan Damajanti, 2012).

Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media

baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulent. Keadaan ini

disebut sebagai rhinosinusitis akut bakterial dan memerlukan terapi anibiotik. Jika terapi

tidak berhasil, inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang.

Mukosa makin membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai

akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan

polip dan kista. Pada keadaan ini mungkin diperlukan tindakan operasi (Endang dan

Damajanti, 2012).

Bila digambarkan dengan skema, patofisiologi rhinosinusitis secara ringkas yaitu

dimulai dengan inflamasi mukosa hidung, khususnya kompleks ostiomeatal → terjadi

pembengkakan dan eksudasi → obstruksi (blokade ostium sinus) → gangguan ventilasi

dan drainase, resorpsi oksigen dalam rongga sinus → hipoksia (oksigen menurun, pH

menurun, tekanan negatif) → permeabilitas kapiler meningkat → transudasi, peningkatan

eksudasi serous, penurunan fungsi silia → terjadi retensi sekresi sinus atau pertumbuhan

kuman (Husni, 2017).

F. Gejala Rinosinusitis

Keluhan utama rinosinusitis akut ialah hidung tersumbat disertai nyeri atau rasa tekanan

pada muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke tenggorok (post nasal drip). Dapat

disertai gejala sistemik seperti demam dan lesu. Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah

sinus yang terkena merupakan ciri khas sinusitis akut, serta terkadang nyeri juga terasa di

tempat lain (reffered pain). Nyeri pipi menandakan sinusitis maksila, nyeri di antara atau

di belakang kedua bola mata menandakan sinusitis etmoid, nyeri di dahi atau seluruh

kepala menandakan sinusitis frontal. Pada sinusitis sfenoid, nyeri dirasakan di vertex,

22
oksipital, belakang bola mata, dan daerah mastoid. Pada sinusitis maksila kadang-kadang

ada nyeri alih ke gigi dan telinga (Endang dan Damajanti, 2012).

Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia atau anosmia, halitosis, post nasal drip yang

menyebabkan batuk dan sesak pada anak. Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga

sulit didiagnosis. Kadang-kadang hanya satu atau dua dari gejala-gejala di bawah ini yaitu

sakit kepala kronik, post nasal drip, batuk kronik, gangguan tenggorok, gangguan telinga

akibat sumbatan kronik muara tuba Eustachius, dan gangguan ke paru seperti bronchitis,

bronkietaksis, dan serangan asma yang meningkat dan sulit diobati. Pada anak, mukopus

yang tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis (Endang dan Damajanti, 2012).

G. Klasifikasi Rinosinusitis

Konsensus internasional pada tahun 1995 membagi rinosinusitis hanya akut dengan

batas sampai 8 minggu dan kronik jika lebih dari 8 minggu. Konsensus tahun 2004

membagi menjadi akut dengan batas sampai 4 minggu, subakut antara 4 minggu sampai 3

bulan, dan kronik jika lebih dari 3 bulan. Sinusitis kronik dengan penyebab rinonergik

umumnya merupakan lanjutan dari sinusitis akut yang tidak terobati secara adekuat. Pada

sinusitis kronik adanya faktor predisposisi harus dicari dan diobati secara tuntas. Menurut

berbagai penelitian, bakteri utama yang ditemukan pada sinusitis akut adalah

Streptococcus pneumonia (30-55%), Hemophylus influenzae (20-40%), dan Moraxella

catarrhalis (4%), sedangkan pada anak paling banyak ditemukan Moraxella catarrhalis

sebesar 20% (Endang dan Damajanti, 2012).

Klasifikasi rinosinusitis menurut the American Academy of Otolaryngic Allergy

(AAOA) dan American Rhinologic Society (ARS) pada tahun 2015 yaitu:

1. Rinosinusitis Akut

Bila gejala rinosinusitis berlangsung sampai 4 minggu. Gejala timbul mendadak,

biasanya akibat infeksi virus dan sembuh sebelum 4 minggu, setelah itu seluruh

23
gejala akan menghilang. Gejala rinosinusitis viral yang memburuk setelah 5 hari

atau gejala yang menetap setelah 10 hari menunjukkan adanya infeksi kuman

(rhinosinusitis bakterial)

2. Rinosinusitis Akut Berulang (Reccurent Acute Rinosinusitis)

Gejala dan tanda sesuai dengan rinosinusitis, tetapi memburuk setelah 5 hari atau

menetap selama lebih dari 10 hari. Kriteria gejala untuk rhinosinusitis akut

berulang identik dengan kriteria untuk rhinosinusitis akut. Episode serangan

berlangsung selama 7-10 hari. Selanjutnya episode berulang terjadi sampai 4 atau

lebih dalam 1 tahun. Di antara masing-masing episode terdapat periode bebas

gejala tanpa terapi antibiotik

3. Rinosinusitis Subakut

Rinosinusitis dengan gejala yang berlangsung antara 4 sampai 12 minggu. Kondisi

ini merupakan kelanjutan perkembangan Rinosinusitis Akut yang tidak

menyembuh dalam 4 minggu. Gejala lebih ringan dari Rinosinusitis Akut.

Penderita Rinosinusitis Subakut mungkin sebelumnya sudah mendapat terapi

Rinosinusitis Akut tetapi mengalami kegagalan atau terapinya tidak adekuat

4. Rinosinusitis Kronik

Bila gejala Rinosinusitis berlangsung lebih dari 12 minggu

5. Rinosinusitis Kronik dengan Eksaserbasi Akut

Rinosinusitis Kronik pada umumnya mempunyai gejala yang menetap. Pada suatu

saat dapat terjadi gejala yang tiba-tiba memburuk karena infeksi yang berulang.

Gejala akan kembali seperti semula setelah pengobatan dengan antibiotik akan

tetapi tidak menyembuh

24
H. Diagnosis Rinosinusitis

Diagnosis rinosinusitis dapat diketahui melalui serangkaian pemeriksaan yang

dilakukan, yaitu anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

a. Anamnesis

Anamnesis yang cermat dan diperlukan teliti sangat diperlukan terutama dalam

menilai gejala-gejala yang disebutkan di atas. Hal ini penting terutama pada

Rinosinusitis Kronik karena diperlukan pengetahuan kemungkinan faktor

penyebab yang lain selain inflamasi itu sendiri. Adanya penyebab infeksi baik

kuman maupun virus, riwayat alergi atau kelainan anatomis di dalam rongga

hidung dapat dipertimbangkan dari riwayat penyakit yang lengkap. Untuk

Rinosinusitis Akut gejala yang ada mungkin cukup jelas karena berlangsung akut

(mendadak) dan seringkali didahului oleh infeksi akut saluran nafas atas. Pada anak

infeksi saluran nafas atas merupakan predisposisi pada 80% Rinosinusitis Akut

anak. Penderita dengan latar belakang alergi mempunyai riwayat yang khas

terutama karakteristik gejala pilek sebelumnya, riwayat alergi dalam keluarga serta

adanya faktor lingkungan yang mempengaruhi (Husni, 2017).

Penting untuk menanyakan onset dari timbulnya gejala. Apabila kita curiga ke

arah sinusitis dentogenik, dapat ditanyakan apakah salah satu rongga hidung

berbau busuk, apakah dari hidung keluar ingus kental atau tidak beringus, dan

apakah terdapat gigi di rahang atas yang berlubang atau rusak (Panduan Praktik

Klinis di Faskes Primer IDI, 2014).

b. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dapat ditemukan suhu yang meningkat, sedangkan pada

pemeriksaan rongga mulut dapat ditemukan karies profunda pada gigi rahang atas.

25
Pemeriksaan rinoskopi anterior dapat dilakukan. Pada rhinosinusitis akut dapat

ditemukan:

1) Edema dan/atau obstruksi mukosa di meatus medius

2) Sekret mukopurulen. Bila sekret tersebut nampak pada meatus medius,

kemungkinan sinus yang terlibat adalah maksila, frontal, atau etmoid

anterior. Pada sinusitis dentogenik, dapat pula tidak beringus

3) Kelainan anatomis yang mempredisposisi, misalnya deviasi septum,

polip nasal, atau hipertrofi konka

Sedangkan pada pemeriksaan rinoskopi posterior dapat ditemukan adanya

secret purulent pada nasofaring. Bila sekret terdapat di depan muara tuba

eustachius, maka berasal dari sinus-sinus bagian anterior (maksila, frontal, etmoid

anterior), sedangkan bila sekret mengalir di belakang muara tuba Eustachius, maka

berasal dari sinus-sinus bagian posterior (sfenoid dan etmoid posterior).

Pemeriksaan dengan menggunakan otoskopi dilakukan untuk mendeteksi adanya

komplikasi pada telinga, misalnya tuba oklusi, efusi ruang telinga tengah, atau

kelainan pada membran timpani (Panduan Praktik Klinis di Faskes Primer IDI,

2014).

c. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan dapat berupa pemeriksaan foto polos

sinus paranasal dengan Water’s view (AP atau lateral) bila fasilitas tersedia. Pada

posisi ini, sinus yang dapat dinilai adalah maksila, frontal, dan etmoid. Temuan

yang menunjang diagnosis rhinosinusitis antara lain adanya penebalan mukosa

(perselubungan), air-fluid level, dan opasifikasi sinus yang terlibat. Foto polos

sinus tidak direkomendasikan untuk anak berusia di bawah 6 tahun. Pada pasien

dewasa, pemeriksaan ini juga bukan merupakan suatu keharusan, mengingat

26
diagnosis dapat ditegakkan secara klinis. Selain itu, pemeriksaan laboratorium

yaitu darah lengkap dapat dilakukan bila fasilitas tersedia (Panduan Praktik Klinis

di Faskes Primer IDI, 2014).

Pemeriksaan pembantu lainnya yang penting adalah CT scan. CT scan

merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena mampu menilai anatomi

hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan

perluasannya. Namun karena mahal hanya dikerjakan sebagai penunjang diagnosis

sinusitis kronik yang tidak membaik dengan pengobatan atau pra-operasi sebagai

panduan operator saat melakukan operasi sinus. Pada pemeriksaan transluminasi

sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap. Pemeriksaan ini sudah jarang

digunakan karena sangat terbatas kegunaannya. Pemeriksaan mikrobiologik dan

tes resistensi dilakukan dengan mengambil sekret dari meatus medius atau

superior, untuk mendapat antibiotik yang tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil

sekret yang keluar dari pungsi sinus maksila. Sinuskopi dilakukan dengan punsgi

menembus dinding medial sinus maksila melalui meatus inferior, dengan alat

endoskop bisa dilihat kondisi sinus maksila yang sebenarnya, selanjutnya dapat

dilakukan irigasi sinus untuk terapi (Endang dan Damajanti, 2012).

Kriteria diagnosis rinosinusitis menurut American Academy of Otolaryngology terdiri

dari faktor mayor dan minor. Faktor mayor yaitu hidung tersumbat, keluar sekret dari

hidung atau post nasal discharge yang purulen, nyeri pada wajah, dan hiposmia atau

anosmia. Sedangkan faktor minor terdiri dari sakit kepala, demam, halitosis, rasa lemah

(fatigue), sakit gigi, sakit atau rasa penuh di telinga, dan batuk (Panduan Praktik Klinis di

Faskes Primer IDI, 2014). Pada tahun 2015, American Academy of Otolaryngology

menyampaikan bahwa untuk menegakkan rhinosinusitis tidak lagi perlu adanya kombinasi

antara faktor mayor dan minor, faktor minor tidak lagi digunakan dan fokus pada tiga

27
cardinal symptom atau gejala mayor yaitu adanya sekret mukopurulen, nyeri pada wajah

atau gigi, dan adanya obstruksi nasal dengan pengukuran objektif seperti rinomanometri

atau nasal peak flow meter (Rosenfeld et al., 2015).

Pada Panduan Praktik Klinis bagi dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat

pertama yang dikeluarkan oleh Ikatan Dokter Indonesia pada tahun 2014, penegakan

diagnosis tetap menggunakan faktor mayor dan minor. Dasar penegakan rhinosinusitis

akut dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Pada dewasa Pada anak


Dasar penegakan diagnosis Klinis Klinis
Kriteria Sekurangnya 2 faktor mayor, Sekurangnya 2 faktor
di mana salah satu harus: mayor, di mana salah satu
• Hidung tersumbat, harus:
atau • Hidung tersumbat,
• Keluar sekret dari atau
hidung atau post • Keluar sekret dari
nasal discharge yang hidung atau post
purulen nasal discharge
Dan dapat disertai: yang purulen
• Nyeri pada wajah Dapat disertai:
• Hiposmia atau • Nyeri pada wajah
anosmia • Batuk (sepanjang
hari)
Onset gejala Tiba-tiba Tiba-tiba
Durasi gejala •
<12 minggu • <12 minggu

Bila rekurens, • Bila rekurens,
terdapat interval terdapat interval
bebas gejala yang bebas gejala yang
jelas jelas
Pemeriksaan fisik Rinoskopi anterior: Rinoskopi anterior (bila
• Edema dan dapat dilakukan):
hiperemis pada • Edema dan
konka hiperemis pada
• Sekret mukopurulen konka
• Sekret mukopurulen
Inspeksi rongga mulut:
• Sekret pada faring
• Eksklusi infeksi
pada gigi
Pemeriksaan penunjang Umumnya tidak perlu. Tidak dianjurkan
(foto rontgen) Indikasi pemeriksaan
dilakukan pada kondisi:
• Severitas berat

28
• Pasien
imunodefisiensi
• Adanya tanda
komplikasi

Rinosinusitis akut dapat dibedakan lagi menjadi:

1. Rinosinusitis akut viral (common cold), apabila durasi gejala < 10 hari

2. Rinosinusitis akut pasca viral:

a. Bila terjadi peningkatan intensitas gejala setelah 5 hari, atau

b. Bila gejala persisten > 10 hari namun masih < 12 minggu

3. Rinosinusitis akut bakterial, bila terdapat sekurangnya 3 tanda atau gejala berikut

ini:

a. Sekret berwarna atau purulent dari rongga hidung

b. Nyeri yang berat dan terlokalisasi pada wajah

c. Demam, suhu > 38oC

d. Peningkatan LED/CRP

e. Double sickening, yaitu perburukan setelah terjadi perbaikan sebelumnya

Sedangkan penegakan diagnosis rhinosinusitis kronis sebagai berikut:

Pada orang dewasa dan anak


Dasar penegakan diagnosis Klinis
Kriteria Sekurangnya 2 faktor mayor, di mana
salah satu harus:
• Hidung tersumbat, atau
• Keluar sekret dari hidung atau
post nasal discharge yang
purulen
Dan dapat disertai:
• Nyeri pada wajah
Hiposmia atau anosmia
Onset gejala Tiba-tiba
Durasi gejala • >12 minggu
Bila rekurens, terdapat interval bebas
gejala yang jelas
Pemeriksaan fisik Rinoskopi anterior:

29
• Edema dan hiperemis pada
konka
• Sekret mukopurulen
Pemeriksaan penunjang (foto rontgen) Dianjurkan, bila tidak sembuh setelah
2 minggu terapi

Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps pada tahun

2020, rhinosinusitis didefinisikan sebagai inflamasi hidung dan sinus paranasal yang

ditandai dengan adanya dua atau lebih gejala, salah satunya termasuk hidung tersumbat/

obstruksi/ kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/posterior):

± nyeri wajah atau rasa tertekan di wajah

± penurunan atau hilangnya penghidu

Dan salah satu dari temuan endoskopi berupa:

• Polip dan/atau

• Sekret mukopurulen dari meatus medius dan/atau

• Edema atau obstruksi mukosa di meatus medius

Dan atau/atau gambaran tomografi computer (CT) yaitu:

• Perubahan mukosa di kompleks osteomeatal dan/atau sinus

I. Diagnosis Banding
1. Rinosinusitis kronis

Rhinosinusitis kronis didefinisikan sebagai adanya inflamasi hidung dan sinus

paranasal yang berlangsung sampai 12 minggu

Kriteria diagnosis:

• Anamnesis: didapatkan sekurangnya 2 faktor mayor, di mana salah satu harus

didapatkan hidung tersumbat, atau keluar sekret dari hidung atau post nasal

discharge yang purulent dan dapat disertai nyeri pada wajah dan hiposmia atau

anosmia yang berlangsung >12 minggu

30
• Pemeriksaan fisik: rinoskopi anterior tampak edema dan hiperemis pada konka,

sekret mukopurulen

• Pemeriksaan penunjang: foto polos, CT scan

2. Rinitis Vasomotor

Rhinitis vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya

infeksi, alergi, eosinophilia, perubahan hormonal, dan pajanan obat.

Kriteria diagnosis dilakukan dengan cara eksklusi, yaitu menyingkirkan adanya

rinitis infeksi, alergi, okupasi, hormonal, dan akibat obat.

• Anemnesis: mirip dengan rinitis alergi (rinorea, bersin, hidung tersumbat, dan

rasa gatal pada hidung), namun gejala yang dominan adalah hidung tersumbat,

bergantian kanan dan kiri tergantung pada posisi pasien. Berdasarkan gejala

yang menonjol dibagi menjadi 3 golongan yaitu golongan bersin (sneezers),

golongan rinore (runners), dan golongan tersumbat (blockers).

• Pemeriksaan fisik: rinoskopi anterior tampak gambaran yang khas berupa

edema mukosa hidung, konka berwarna merah gelap atau merah tua, tetapi

dapat pula pucat. Hal ini perlu dibedakan dari rinitis alergi yang permukaanya

konkanya licin atau berbenjol-benjol (hipertrofi), serta pada rongga hidung

terdapat secret mucoid biasanya jumlahnya sedikit

• Pemeriksaan penunjang: pemeriksaan darah lengkap, tes cukit kulit, dan kadar

IgE spesifik

3. Bronkitis Akut

Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus (saluran udara ke paru-paru).

Radang dapat berupa hipersekresi mukus dan batuk produktif kronis berulang-

ulang minimal 3 bulan pertahun atau paling sedikit dalam 2 tahun berturut-turut

pada pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain. Bronkitis akut dapat

31
disebabkan beberapa hal yaitu infeksi virus, bakteri, asap rokok, dan paparan

terhadap bahan-bahan yang mengeluarkan polusi.

Kriteria Diagnosis:

• Anamnesis: batuk (berdahak atau tidak berdahak) selama 2-3 minggu, dahak

dapat berwarna jernih, putih, kekuning-kuningan, atau kehijauan, demam

(biasanya ringan), rasa berat dan tidak nyaman di dada, sesak nafas, sering

ditemukan bunyi nafas mengi terutama setelah batuk

• Pemeriksaan fisik: pada inspeksi didapatkan pasien tampak kurus dengan barrel

shape chest (diameter anteroposterior dada meningkat) dan auskultasi

didapatkan suara nafas vesikuler atau bronkovesikuler dengan ekspirasi panjang

dan adanya mengi

• Pemeriksaan penunjang: pemeriksaan sputum dengan pengecatan gram banyak

didapatkan leukosit PMN, foto thoraks, dan tes fungsi paru

J. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan non medikamentosa yang dapat dilakukan yaitu dengan pemberian

konseling dan edukasi berupa (Panduan Praktik Klinis di Faskes Primer IDI, 2014):

1. Pasien dan atau keluarga perlu mendapatkan penjelasan yang adekuat mengenai

penyakit yang dideritanya, termasuk faktor risiko yang mendasari

2. Dokter Bersama pasien dapat mendiskusikan hal-hal yang dapat membantu

mempercepat kesembuhan, misalnya:

a. Pada pasien perokok, sebaiknya merokok dihentikan. Dokter dapat

membantu pasien berhenti merokok dengan pendekatan metode 5A (ask,

assess, advise, assist, arrange)

32
b. Bila terdapat pajanan polutan sehari-hari, dokter dapat membantu

memberikan anjuran untuk meminimalkannya, mislanya dengan pasien

menggunakan masker

c. Pasien dianjurkan untuk cukup istirahat dan menjaga hidrasi

d. Pasien dianjurkan untuk membilas atau mencuci hidung secara teratur

dengan larutan garam isotonis (salin)

Penatalaksanaan farmakoterapi pada terapi rhinosinusitis bertujuan untuk

mempercepat penyembuhan, mencegah komplikasi, dan mencegah perubahan menjadi

kronik. Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di KOM sehingga drainase dan

ventilasi sinus-sinus pulih secara alami. Anbiotik dan dekongestan merupakan terapi

pilihan pada sinusitis bakterial, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa

serta membuka subatan ostium sinus. Antibiotik yang dipilih adalah golongan penicillin

seperti amoksisilin. Jika diperkirakan jumlah kuman telah resisten atau memproduksi beta-

laktamase, maka dapat diberikan amoksisilin-klavulanat atau jenis sefalosporin generasi

kedua. Pada sinusitis anibiotik dapat diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinik

sudah hilang (Endang dan Damajanti, 2012).

Pada sinusitis kronik diberikan antibiotic yang sesuai untuk kuman gram negatif dan

anaerob. Selain dekongestan oral dan topical, terapi lain dapat diberikan jika diperlukan,

seperti analgetik, mukolitik, antitusif, steroid oral atau topical, dan pencucian hidung

dengan NaCl. Antihistamin tidak perlu rutin diberikan karena sifat antikolinergiknya dapat

menyebabkan sekret menjadi lebih kental (Endang dan Damajanti, 2012).

Farmakoterapi yang dapat dipilih (Husni, 2017) adalah sebagai berikut:

1. Dekongestan

Obat dekongestan yang digunakan dalam pengobatan Rinosinusiti pada umumnya

adalah perangsang reseptor α-adrenergik,yang dapat menyebabkan vasokonstriksi

33
pembuluh kapiler mukosa rongga hidung sehingga mengurangi udem dan

menghilangkan sumbatan hidung serta mengembalikan patensi ostia sinus.

Dekongestan dapat diberikan dalam bentuk topikal maupun sistemik (oral).

Dekongestan topikal dapat diberikan dalam bentuk tetes maupun semprot hidung.

Penggunaan dibatasi tidak lebih dari 5 hari karena pemakaian jangka panjang dapat

menyebabkan timbulnya rinitis medikamentosa

2. Kortikosteroid

Kortikosteroid topikal (semprot hidung) dilaporkan bermanfaat pada pengobatan

Rinosinusitis Akut maupun Rinosinusitis Kronik baik dengan atau tanpa latar

belakang alergi. Kortikosteroid topikal dapat mengurangi inflamasi dan

mengurangi sensitifitas reseptor kolinergik mukosa rongga hidung sehingga

mengurangi sekresi. Beberapa kortikosteroid yang tersedia dalam bentuk semprot

hidung diantaranya adalah eklometason, flutikason, mometason. Kortikosteroid

sistemik banyak bermanfaat pada Rinosinusitis Kronik dengan pembentukan polip

atau pada allergic fungal rhinosinusitis. Pada Rinosinusitis Akut mungkin

bermanfaat untuk menghilangkan udem dan mencegah inflamasi pada mukosa

hidung dan sinus. Pengobatan jangka pendek cukup efektif dan aman, namun untuk

jangka panjang penghentian pengobatan harus dilakukan secara bertahap

(tappering off).

3. Antihistamin

Pemberian antihistamin pada Rinosinusitis Akut masih kontroversial. Antihistamin

memang merupakan obat yang sangat efektif untuk mencegah serangan alergi

sehingga penggunaannya pada Rinosinusitis hanya bermanfaat pada Rinosinusitis

Kronik dengan latar belakang alergi. Antihistamin klasik mempunyai efek anti

kolinergik yang mengurangi sekresi kelenjar. Dampak efek ini menyebabkan

34
mengentalnya mukus sehingga mengganggu drainase. Untuk menghindari efek

kolinergik dapat digunakan antihistamin generasi II (loratadin, setirizin,

terfenadin) atau turunannya seperti desloratadin, levosetirizin maupun

feksofenadin.

4. Antibiotik

Antibiotik merupakan terapi penting pada Rinosinusitis Akut Bakterial disamping

terapi medikamentosa lainnya. Untuk memilih antibiotik yang tepat perlu

pengetahuan tentang kuman penyebab serta kepekaannya terhadap antibiotik yang

tersedia. Berdasarkan kuman penyebab maka pilihan pertama antibiotic pada

Rinosinusitis Akut adalah amoksisilin (first line drugs), karena obat ini efektif

terhadap Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae yang merupakan

dua kuman terbanyak ditemukan sebagai penyebab Rinosinusitis Akut Bakterial.

Di Amerika kuman gram negatif penghasil enzim beta-laktamase sudah banyak

ditemukan sehingga antibiotik pilihan beralih pada kombinasi amoksisilin dan

klavulanat. Antibiotik harus diberikan 10-14 hari agar dapat dicapai hasil

pengobatan yang maksimal. Meningkatnya kuman yang resisten terhadap berbagai

antibiotic menjadi perhatian serius para ahli sehingga berbagai uji coba antibiotik

baru dilakukan untuk mencari alternatif pilihan antibiotik. Pilihan antibiotik

lainnya bisa digunakan seperti golongan kuinolon, sefiksim, sefdinir, sefprozil dan

sefuroksim dengan efektifitas klinik yang tidak jauh berbeda satu dengan yang

lainnya. Pilihan lain adalah golongan makrolid baru yang mempunyai potensi

antibacterial yang tinggi seperti klaritromisin, roksitromisin serta azitromisin

terutama untuk penderita yang sensitif terhadap golongan betalaktam. Pilihan

antibiotik lini pertama ditentukan bila Rinosinusitis Akut baru pertama kali diderita

dan tidak ada riwayat pemberian antibiotik sebelumnya. Apabila penderita

35
mengalami Rinosinusitis Akut berulang atau ada riwayat pemberian antibiotik

sebelumnya maka pilihan lini kedua perlu dipertimbangkan. Terapi

medikamentosa bukanlah terapi utama pada Rinosinusitis Kronik. Eliminasi

penyebab Rinosinusitis Kronik seperti kelainan pada daerah KOM harus

diupayakan agar tercapai hasil terapi yang memuaskan. Antibiotik bila digunakan

harus diberikan dalam jangka lebih lama yaitu 4-6 minggu, dan sebaiknya

dilakukan tes kepekaan kuman terlebih dahulu. Disamping itu perlu evaluasi

terhadap faktor penyebab lainnya seperti alergi dan penyakit sistemik lainnya.

K. Komplikasi

Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya antibiotik.

Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronis dengan

eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau intrakranial. Kelainan orbita disebabkan

oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita). Penyebaran infeksi ke orbita

paling sering terjadi pasa sinusitis etmoid, frontal, dan maksila. Gejala dan tanda yang

patut dicurigai yaitu edema periorbta, selulitis orbita, dan nyeri berat pada mata. Kelainan

dapat menganai pada satu mata atau menyebar ke kedua mata. Kelainan intrakranial dapat

menimbulkan meningitis atau abses ektradural. Gejala dan tanda yang pelu dicurigai yaitu

sakit kepala (tajam, progresif, dan terlokalisasi) dan perubahan status mental. Komplikasi

lain terutama pada rinosinusitis kronik dapat berupa osteomielitis sinus maksila, abses

subperuoesteal, dan bronkitis kronik (Panduan Praktik Klinis di Faskes Primer IDI, 2014).

L. Kriteria Rujukan

Pada kasus rinosinusitis akut, sebagai dokter umum kita perlu melakukan rujukan ke

Spesialis THT-KL bila:

1. Terdapat gejala dan tanda komplikasi, di antaranya edema atau eritema periorbital,

perubahan posisi bola mata, diplopia, penurunan visus, sakit kepala yang berat,

36
pembengkakan area frontal, tanda-tanda iritasi meningeal, dan kelainan neurologis

fokal

2. Bila tidak terjadi perbaikan pasca terapi adekuat setelah 10 hari (pada rhinosinusitis

akut), 14 hari (pada rhinosinusitis pasca viral), dan 48 jam (rhinosinusitis akut

bakterial)

3. Terdapat dugaan infeksi jamur

4. Bila rhinosinusitis terjadi ≥ 4 kali dalam 1 tahun

5. Bila ditemukan kelainan anatomis ataupun dugaan faktor yang memerlukan

tatalaksana spesialis THT-KL misalnya deviasi septum, polip nasal, atau tumor

37
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien datang ke Poli THT RSUD Panembahan Senopati Bantul pada 18 Agustus 2021

dengan keluhan kurang bisa mencium bau sejak ± 3 minggu yang lalu (mulai 19 Juli 2021).

Pasien mengatakan awalnya hendak menggunakan minyak kayu putih tetapi tidak mencium

baunya sama sekali, keluhan tidak membaik. Keluhan lain berupa batuk (+) kering, pilek (+),

pusing di kepala bagian belakang (+). Riwayat berobat di poli paru pada tanggal 14 Agustus

2021 dengan keluhan kurang bisa mencium bau, pusing di kepala bagian belakang (+), dan

nyeri dada (+) sebelah kiri. Riwayat demam (+) mulai 21 Juli 2021, berlangsung selama 3 hari

dengan suhu tertinggi mencapai 38oC. Riwayat batuk (+) kering ± selama 3 bulan, pilek (+)

keluar ingus jernih. Riwayat kontak dengan pasien COVID-19 (+), swab antigen negatif pada

tanggal 13 Agustus 2021. Pasien memiliki riwayat sering mengonsumsi makanan pedas (+)

dan minuman dingin (+). Dari hasil anamnesis yang dilakukan, keluhan yang dialami pasien

yaitu adanya gejala pilek disertai penurunan fungsi penghidu (hiposmia) dapat mengarahkan

kecurigaan pada rhinosinusitis, sedangkan onset yang dialami yaitu kurang lebih 3 minggu

mengarahkan kepada diagnosis akut (EPOS, 2020). Pasien memiliki riwayat demam dan batuk

yang merupakan faktor minor pada kriteria penegakan diagnosis berdasarkan American

Academy of Otolarynology. Selain itu, pasien mengeluhkan pusing di kepala belakang yang

merupakan gejala adanya sinusitis sfenoid, di mana nyeri dirasakan di vertex, oksipital,

belakang bola mata, dan daerah mastoid (Endang dan Damajanti, 2012).

Pada pemeriksaan fisik hidung luar didapatkan dalam batas normal. Pada pemeriksaan

rhinoskopi anterior dan posterior didapatkan adanya hiperemis pada konka inferior dan

konka media. Sedangkan pada pemeriksaan penghidu dengan menggunakan bahan kopi,

tembakau, dan jeruk, pasien tidak dapat mencium aroma kopi, salah menyebutkan aroma

tembakau dan jeruk. Dari hasil pemeriksaan yang dilakukan, hiperemis pada konka merupakan

38
salah satu dasar penegakan dari diagnosis rhinosinusitis (Panduan Praktik Klinis di Faskes

Primer IDI, 2014).

Penatalaksanaan pada pasien terdiri dari terapi non medikamentosa dan medikamentosa.

Terapi non medikamentosa dengan memberikan edukasi kepada pasien terkait dengan kondisi

yang saat ini dialami, meminta pasien untuk mengurangi konsumsi makanan pedas dan

minuman dingin, meminta pasien untuk mencium empat jenis odoran yang berbeda (minyak

kayu putih, kopi, madu, bawang putih) setiap pagi dan malam hari selama 4-6 bulan, meminta

pasien periksa kembali apabila kondisi belum membaik, dan merujuk pasien ke Dokter

Spesialis THT-KL. Sedangkan terapi medikamentosa dapat diberikan sesuai dengan keluhan

yang dirasakan pasien saat ini. Pasien saat ini mengeluhkan batuk kering sehingga pemberian

antitusif yaitu codein dengan mekanisme kerja meningkatkan ambang refleks batuk dapat

dipilih. Sedangkan pemberian kortikosteroid sistemik yaitu metilprednisolon berfungsi

mengurangi inflamasi dan mengurangi sensitifitas reseptor kolinergik mukosa rongga hidung

sehingga mengurangi sekresi (Husni, 2017). Dosis pemberian codein yaitu 10-20 mg setiap 4-

6 jam dengan dosis maksimal 120mg/hari. Sediaan obat berupa tablet 10 mg, 15 mg, dan 20

mg. Sedangkan dosis pemberian metilprednisolon yaitu 4-48 mg/hari dalam dosis terbagi.

Sediaan obat berupa tablet 4 mg, 8 mg, dan 16 mg.

39
BAB V
KESIMPULAN

Pasien An. D usia 16 tahun dengan keluhan kurang bisa mencium bau sejak ± 3 minggu

yang lalu, batuk (+) kering, pilek (+), pusing di kepala bagian belakang (+). Riwayat demam

(+) mulai 21 Juli 2021, berlangsung selama 3 hari dengan suhu tertinggi mencapai 38oC.

Riwayat batuk (+) kering ± selama 3 bulan, pilek (+) keluar ingus jernih. Riwayat kontak

dengan pasien COVID-19 (+), swab antigen negatif pada tanggal 13 Agustus 2021. Pasien

memiliki riwayat sering mengonsumsi makanan pedas (+) dan minuman dingin (+). Pada

pemeriksaan rhinoskopi anterior dan posterior didapatkan adanya hiperemis pada konka

inferior dan konka media. Sedangkan pada pemeriksaan penghidu dengan pasien tidak dapat

mencium aroma kopi, salah menyebutkan aroma tembakau dan jeruk. Penatalaksanaan pada

pasien terdiri dari terapi non medikamentosa dan medikamentosa. Terapi non medikamentosa

dengan memberikan edukasi kepada pasien terkait dengan kondisi yang saat ini dialami,

meminta pasien untuk mengurangi konsumsi makanan pedas dan minuman dingin, meminta

pasien untuk mencium empat jenis odoran yang berbeda (minyak kayu putih, kopi, madu,

bawang putih) setiap pagi dan malam hari selama 4-6 bulan, meminta pasien periksa kembali

apabila kondisi belum membaik, dan merujuk pasien ke Dokter Spesialis THT-KL. Sedangkan

terapi medikamentosa dilakukan pemberian antitusif dan pemberian kortikosteroid sistemik

yaitu metilprednisolon.

40
DAFTAR PUSTAKA

Endang Mangunkusumo dan Damajanti Soetjipto, 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi Ketujuh. Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Fokkens et al, 2020. European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2020
International Rhinologic Society. Available at www.rhinologyjournal.com diakses pada
tanggal 20 Agustus 2021

Huriyati, E. and Nelvia, T. (2014) ‘Gangguan Fungsi Penghidu dan Pemeriksaannya’, Jurnal
Kesehatan Andalas, 3(1). doi: 10.25077/jka.v3i1.16.

Husni Teuku, 2017. Diagnosis dan Penanganan Rinosinusitis. Divisi Rinologi, Bagian Telinga
Hidung Tenggorokan-Kepala Leher. Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala/RSU
Dr. Zainoel Abidin. Banda Aceh

Ikatan Dokter Indonesia, 2014. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer. 2nd ed. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia; 2014

Rosenfeld, R. M. et al. (2015) ‘Clinical Practice Guideline (Update): Adult Sinusitis’,


Otolaryngology–Head and Neck Surgery, 152(2_suppl), pp. S1–S39. doi:
10.1177/0194599815572097.

41

Anda mungkin juga menyukai