RINOSINUSITIS
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
di Bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok
RSUD Panembahan Senopati Bantul
Disusun oleh:
Galuh Shafira Savitri
20204010055
Diajukan kepada:
dr. Agung Raharjo, Sp. THT-KL.
1
LEMBAR PENGESAHAN
RINOSINUSITIS
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
di Bagian Ilmu Telinga Hidung Tenggorok
RSUD Panembahan Senopati Bantul
Disusun oleh :
Pembimbing
2
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT atas segala nikmat, petunjuk
dan kemudahan yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah longcase ini yang diberi judul Rinosinusitis. Shalawat serta salam untuk junjungan
Makalah longcase ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mengikuti
ujian akhir di bagian Ilmu Telinga, Hidung dan Tenggorok. Penulis menyadari makalah
longcase ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga kritik dan saran sangat penulis harapkan.
Dalam kesempatan yang sangat baik ini perkenankanlah penulis mengucapkan penghargaan
1. Allah SWT yang telah memberikan segala nikmat yang tidak terhingga sehingga
Penulis
3
DAFTAR ISI
L. Kriteria Rujukan………………………………………………………….36
BAB IV .................................................................................................................. 38
PEMBAHASAN .................................................................................................... 38
BAB V ................................................................................................................... 40
KESIMPULAN ...................................................................................................... 40
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 41
4
BAB I
PENDAHULUAN
Rhinosinusitis adalah penyakit akibat perdangan pada mukosa sinus paranasal dan
rongga hidung (Panduan Praktik Klinis di Faskes Primer IDI, 2014). Sinusitis merupakan
penyakit yang sering ditemukan ditemukan dalam praktek dokter sehari-hari, bahkan dianggap
sebagai salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di seluruh dunia. Sinusitis
didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal yang umumnya disertai atau dipicu
oleh rhinitis sehingga sering disebut rhinosinusitis. Penyebab utamanya ialah selesma (common
cold) yang merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri (Endang
Bila mengenai beberapa sinus disebut mutlisinusitis, sedangkan bila mengenai semua
sinus paranasal disebut pansinusitis. Yang paling sering terkena adalah sinus etmoid dan
maksila, sedangkan sinus frontal lebih jarang dan sinus sfenoid lebih jarang lagi. Sinus maksila
disebut juga antrum Highmore, letaknya dekat akar gigi rahang atas, maka infeksi gigi mudah
menyebar ke sinus, disebut ssinusitis dentogen. Sinusitis dapat menjadi berbahaya karena
Tatalaksana rhinosinusitis yang efektif dari dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat
pertama dapat meningkatkan kualitas hidup pasien secara signifikan, menurunkan biaya
pengobatan, serta mengurangi durasi frekuensi absen kerja (Panduan Praktik Klinis di Faskes
5
BAB II
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. D
Usia : 16 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jalan KH Dahlan 37 Bantul
Status Pekerjaan : Pelajar
Pendidikan Terakhir : SMA
Agama : Islam
Suku : Jawa
Bangsa : Indonesia
Tanggal pemeriksaan : 18 Agustus 2021
No. RM : 43-80-69
II. ANAMNESIS
Dilakukan autoanamnesis dengan pasien tanggal 18 Agustus 2021.
Keluhan Utama
Kurang bisa mencium bau
Agustus 2021 dengan keluhan kurang bisa mencium bau sejak ± 3 minggu yang lalu
(mulai 19 Juli 2021). Pasien mengatakan awalnya hendak menggunakan minyak kayu
putih tetapi tidak mencium baunya sama sekali, keluhan tidak membaik. Keluhan lain
berupa batuk (+) kering, pilek (+), pusing di kepala bagian belakang (+), demam (-),
sesak nafas (-), hidung tersumbat (-), meler (-), mimisan (-). Keluhan pada telinga dan
tenggorok disangkal
6
- Riwayat parotitis dan faringitis akut pada tahun 2011
- Riwayat nyeri telinga pada tahun 2014
- Riwayat tonsilitis pada tahun 2015
- Riwayat terinfeksi Dengue Fever pada tahun 2016
- Riwayat astenopia pada tahun 2018
- Riwayat berobat di poli paru (+) pada tanggal 14 Agustus 2021 dengan
keluhan kurang bisa mencium bau, pusing di kepala bagian belakang (+), dan
nyeri dada (+) sebelah kiri
- Riwayat demam (+) mulai 21 Juli 2021, berlangsung selama 3 hari dengan
suhu tertinggi mencapai 38oC
- Riwayat batuk (+) kering ± selama 3 bulan, pilek (+) keluar ingus jernih, nyeri
tenggorokan (-), nyeri menelan (-)
- Riwayat kontak dengan pasien COVID-19 (+), swab antigen negatif pada
tanggal 13 Agustus 2021
- Riwayat maag (-)
- Riwayat alergi (-)
sering mengonsumsi makanan pedas (+), minuman dingin (+), merokok (-),
penyalahgunaan obat (-), serta penggunaan alkohol (-). Teman satu kamar di pondok
dengan pasien ada yang positif COVID-19 dan kontak erat dengan pasien
Anamnesis Sistem
- Sistem serebrospinal : nyeri kepala bagian belakang (+), demam (-),
mual (-)
- Sistem respiratorius : kurang bisa mencium bau (+), batuk (+)
7
kering, keluar cairan dari hidung (+), hidung
tersumbat (-)
- Sistem kardiovaskuler : nyeri dada (-), sesak (-), sianosis (-)
- Sistem gastrointestinal : tidak ada keluhan
- Sistem genitalia : tidak ada keluhan
- Sistem muskuloskeletal : kelemahan anggota gerak (-)
- Sistem integumentum : tidak ada keluhan
8
midklavikula sinistra
- Perkusi : Batas kanan atas jantung di SIC II garis parasternal dekstra
Batas kiri atas jantung di SIC II garis parasternal sinistra
Batas kanan bawah jantung di SIC IV midklavikula sinistra
Batas kiri bawah jantung di SIC V midklavikula sinistra
- Auskultasi : bunyi jantung S1-S2 reguler
a. Paru-paru
- Inspeksi : simetris saat inspirasi dan ekspirasi, retraksi intrakostal
dan substernal (-)
- Palpasi : vokal fremitus simetris kanan dan kiri
- Perkusi : sonor (+/+)
- Auskultasi : vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
6. Abdomen
- Inspeksi : supel, warna kulit normal
- Auskultasi : peristaltik (+)
- Perkusi : timpani (+)
- Palpasi : supel (+), nyeri tekan (-)
7. Ekstremitas
Akral hangat, nadi kuat, capillary refill time <2 detik, edema (-)
STATUS LOKALIS
1. Telinga
Pars Flacid
D S
Proc. AD AS
Brevis
malleus
Umbo
Pars Tensa
Cone of Light
9
Bagian Telinga Telinga Kanan Telinga Kiri
Pendengaran
Tuba
10
2. Hidung dan Paranasal
D S
Rhinoskopi Anterior
Concha nasimedius
Concha nasimedius
Sekret
Septum nasi
2. Sinus Paranasalis Sinus maksilaris: Nyeri ketok (-), nyeri tekan (-)
Sinus frontalis: Nyeri ketok (-), nyeri tekan (-)
3. Rhinoskopi Anterior
Vestibulum nasi Hiperemis (-) Hiperemis (-)
4. Transluminasi
Sinus frontalis Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Sinus maksilaris Tidak dilakukan Tidak dilakukan
5. Pemeriksaan Fungsi - Aroma kopi (-) - Aroma kopi (-)
Penghidu tidak tercium tidak tercium
11
- Aroma tembakau - Aroma tembakau
(+) tercium, (+) tercium,
jawaban salah jawaban salah
- Aroma jeruk (+) - Aroma jeruk (+)
tercium, jawaban tercium, jawaban
salah salah
Kesan:
• Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior didapatkan kelainan yaitu
hiperemis pada konka inferior dan media pada hidung kanan dan kiri
• Pada pemeriksaan fungsi penghidu didapatkan kelainan
S
D
12
3. Tenggorok
BAGIAN KETERANGAN
Tonsil:
• Mukosa Tenang
• Ukuran T1/T1
• Kripta Tidak melebar
• Detritus (-/-)
Faring
13
Laring
Gambar
1. Epiglotis
2. Corniculate tubercle
3. Aryepiglottic fold
4. Ventricular folds
5. Vocal folds
6. Glottis
7. Trachea
Kesan: Pada pemeriksaan status lokalis tenggorok didapatkan hasil dalam batas
normal
14
VII. RENCANA TERAPI
a. Non Medikamentosa
(minyak kayu putih, kopi, madu, bawang putih) setiap pagi dan
b. Medikamentosa
Diberikan sesuai dengan penyebab dari keluhan yang dirasakan pasien saat
ini, yaitu:
R/ Metilprednisolone tab 16 mg No X
S 2 dd 1 tab
R/ Codein tab 10 mg No X
S 2 dd 1 tab
15
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Bagian dari fungsi penghidu yang terlibat adalah neuroepitel olfaktorius, bulbus
1. Neuroepitel Olfaktorius
septum bagian superior, konka media bagian superior atau di dasar lempeng
yang berwarna kecoklatan, warna ini disebabkan pigmen granul coklat pada
Sel di neuroepitel olfaktorius ini terdiri dari sel pendukung yang merupakan
reseptor olfaktorius. Terdapat 10-20 juta sel reseptor olfaktorius. Pada ujung dari
masing-masing dendrit terdapat olfactory rod dan diujungnya terdapat silia. Silia ini
menonjol pada permukaan mukus. Sel lain yang terdapat di neuroepitel olfaktorius ini
adalah sel penunjang atau sel sustentakuler. Sel ini berfungsi sebagai pembatas antara
sel reseptor, mengatur komposisi ion lokal mukus dan melindungi epitel olfaktorius
16
dari kerusakan akibat benda asing. Mukus dihasilkan oleh kelenjar Bowman’s yang
terdapat pada bagian basal sel olfaktoris. Membran mukus dari neuroepitel olfaktorius
(gambar 2).
bersatu dengan mukus yang terdapat di neuroepitel olfaktorius dan berikatan dengan
reseptor protein G yang terdapat pada silia. Ikatan protein G dengan reseptor olfaktorius
(cAMP) yang merupakan second messenger. Hal ini akan menyebabkan aktivasi sel
dengan terbukanya pintu ion yang menyebabkan masuknya natrium (Na+) dan kalsium
(Ca2+) ke dalam sel sehingga terjadi depolarisasi dan penjalaran impuls ke bulbus
17
2. Bulbus Olfaktorius
Bulbus olfaktorius berada di dasar fossa anterior dari lobus frontal. Bundel akson
saraf penghidu (fila) berjalan dari rongga hidung dari lempeng kribriformis
200 akson reseptor penghidu pada usia muda, dan jumlah akan berkurang dengan
bertambahnya usia. Akson dari sel reseptor yang masuk akan bersinap dengan
3. Korteks Olfaktorius
pusat persepsi terhadap penghidu. Pada area hipotalamus dan amygdala merupakan
pusat emosional terhadap odoran, dan area enthorinal merupakan pusat memori
18
Saraf yang berperan dalam sistem penghidu adalah nervus olfaktorius (N I).
Filamen saraf mengandung jutaan akson dari jutaan sel-sel reseptor. Satu jenis
odoran mempunyai satu reseptor tertentu, dengan adanya nervus olfaktorius kita
bisa mencium odoran seperti strawberi, apel dan bermacam odoran lain. Saraf lain
yang terdapat di hidung adalah saraf somatosensori trigeminus (N V). Letak saraf
ini tersebar diseluruh mukosa hidung dan kerjanya dipengaruhi rangsangan kimia
maupun nonkimia. Kerja saraf trigeminus tidak sebagai indera penghidu tapi
menyebabkan seseorang dapat merasakan stimuli iritasi, rasa terbakar, rasa dingin,
rasa geli dan dapat mendeteksi bau yang tajam dari amoniak atau beberapa jenis
asam. Ada anggapan bahwa nervus olfaktorius dan nervus trigeminus berinteraksi
secara fisiologis. Saraf lain yang terdapat dihidung yaitu sistem saraf terminal (N
O) dan organ vomeronasal (VMO). Sistem saraf terminal merupakan pleksus saraf
kribriformis. Fungsi saraf terminal pada manusia belum diketahui pasti. Organ
rudimeter vomeronasal disebut juga organ Jacobson‟s. Pada manusia saraf ini tidak
berfungsi dan tidak ada hubungan antara organ ini dengan otak. Pada pengujian
elektrofisiologik, tidak ditemukan adanya gelombang pada organ ini (Huriyati dan
Nelvia, 2014).
19
B. Definisi Rinosinusitis
Rinosinusitis adalah suatu kondisi peradangan yang melibatkan hidung dan sinus
paranasal. Secara klinis, rinosimusitis merupakan keadaan yang terjadi sebagai manifestasi
adanya peradangan yang mengenai mukosa rongga hidung dan sinus paranasal dengan
terjadinya pembentukan cairan atau adanya kerusakan pada tulang di bawahnya (Husni,
2017).
C. Epidemiologi Rinosinusitis
Prevalensi rinosinusitis di Indonesia cukup tinggi, dapat dilihat dari data Departemen
Kesehatan Republik Indonesi pada tahun 2003 bahwa sinus dan penyakit hidung berada
pada peringkat ke-25 dari 50 penyakit. Menurut National Ambulatory Medical Care
penyakit yang paling sering ditemukan. Riset Kesehatan Dasar Republik Indonesia pada
tahun 2018 mengatakan bahwa prevalensi Infeksi Saluran Pernapasan Atas mencapai 9,3%
dari total seluruh penduduk Indonesia. Berdasarkan jenis kelamin penderita rinosunusitis
lebih sering dialami perempuan dibandingkan laki-laki. Survei yang dilakukan Center of
Disease Control (CDC) di Amerika dari tahun 1997 hingga 2012 melaporkan bahwa
D. Etiologi Rinosinusitis
Penyebab utama dan terpenting dari rinosinusitis adalah obstruksi ostium sinus.
Berbagai faktor baik lokal maupun sistemik dapat menyebabkan inflamasi atau kondisi
yang mengarah pada obstruksi ostium sinus. Berbagai faktor tersebut meliputi infeksi
saluran nafas atas, alergi, paparan bahan iritan, kelainan anatomi, defisiensi imun dan lain-
lain. Infeksi bakteri atau virus, alergi dan berbagai bahan iritan dapat menyebabkan
inflamasi mukosa hidung. Infeksi akut saluran nafas atas yang disebabkan oleh virus
merupakan faktor penyebab terbanyak dari rhinosinusitis viral. Udem mukosa hidung dan
20
sinus maksila yang berakibat penyempitan ostium sinus maksila ditemukan pada 80%
pasien common cold. Adanya cairan dapat diikuti pertumbuhan bakteri sekunder sehingga
timbul gejala peradangan akut (rhinosinusitis bakterial akut). Berbagai variasi atau
kelainan anatomi seperti sel agger nasi yang menonjol ke arah insersi antero-superior dari
konka media, bullae etmoidalis yang kontak di bagian medial, deformitas prosesus
unsinatus, deformitas konka bulosa (pneumatisasi konka media) dan septum deviasi dapat
Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus, bermacam
rhinitis terutama rhinitis alergi, polip hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau
hipertrofi konka, sumbatan kompleks ostio meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi,
kelainan imunologik, diskinesia silia seperti pada sindroma Kartagener. Pada anak,
hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis sehingga perlu dilakukan
hipertrofi adenoid dapat didiagnosis dengan foto polos leher prosisi lateral. Faktor lain
yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin dan kering, serta
E. Patofisiologi Rinosinusitis
substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh
terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan. Organ-organ yang membentuk
KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling
bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi
tekanan negative di dalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, mula-
21
mulai serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai rhinosinusitis non-bacterial dan biasanya
sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan (Endang dan Damajanti, 2012).
Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media
baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulent. Keadaan ini
disebut sebagai rhinosinusitis akut bakterial dan memerlukan terapi anibiotik. Jika terapi
tidak berhasil, inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang.
Mukosa makin membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai
akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan
polip dan kista. Pada keadaan ini mungkin diperlukan tindakan operasi (Endang dan
Damajanti, 2012).
dan drainase, resorpsi oksigen dalam rongga sinus → hipoksia (oksigen menurun, pH
eksudasi serous, penurunan fungsi silia → terjadi retensi sekresi sinus atau pertumbuhan
F. Gejala Rinosinusitis
Keluhan utama rinosinusitis akut ialah hidung tersumbat disertai nyeri atau rasa tekanan
pada muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke tenggorok (post nasal drip). Dapat
disertai gejala sistemik seperti demam dan lesu. Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah
sinus yang terkena merupakan ciri khas sinusitis akut, serta terkadang nyeri juga terasa di
tempat lain (reffered pain). Nyeri pipi menandakan sinusitis maksila, nyeri di antara atau
di belakang kedua bola mata menandakan sinusitis etmoid, nyeri di dahi atau seluruh
kepala menandakan sinusitis frontal. Pada sinusitis sfenoid, nyeri dirasakan di vertex,
22
oksipital, belakang bola mata, dan daerah mastoid. Pada sinusitis maksila kadang-kadang
ada nyeri alih ke gigi dan telinga (Endang dan Damajanti, 2012).
Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia atau anosmia, halitosis, post nasal drip yang
menyebabkan batuk dan sesak pada anak. Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga
sulit didiagnosis. Kadang-kadang hanya satu atau dua dari gejala-gejala di bawah ini yaitu
sakit kepala kronik, post nasal drip, batuk kronik, gangguan tenggorok, gangguan telinga
akibat sumbatan kronik muara tuba Eustachius, dan gangguan ke paru seperti bronchitis,
bronkietaksis, dan serangan asma yang meningkat dan sulit diobati. Pada anak, mukopus
G. Klasifikasi Rinosinusitis
Konsensus internasional pada tahun 1995 membagi rinosinusitis hanya akut dengan
batas sampai 8 minggu dan kronik jika lebih dari 8 minggu. Konsensus tahun 2004
membagi menjadi akut dengan batas sampai 4 minggu, subakut antara 4 minggu sampai 3
bulan, dan kronik jika lebih dari 3 bulan. Sinusitis kronik dengan penyebab rinonergik
umumnya merupakan lanjutan dari sinusitis akut yang tidak terobati secara adekuat. Pada
sinusitis kronik adanya faktor predisposisi harus dicari dan diobati secara tuntas. Menurut
berbagai penelitian, bakteri utama yang ditemukan pada sinusitis akut adalah
catarrhalis (4%), sedangkan pada anak paling banyak ditemukan Moraxella catarrhalis
(AAOA) dan American Rhinologic Society (ARS) pada tahun 2015 yaitu:
1. Rinosinusitis Akut
biasanya akibat infeksi virus dan sembuh sebelum 4 minggu, setelah itu seluruh
23
gejala akan menghilang. Gejala rinosinusitis viral yang memburuk setelah 5 hari
atau gejala yang menetap setelah 10 hari menunjukkan adanya infeksi kuman
(rhinosinusitis bakterial)
Gejala dan tanda sesuai dengan rinosinusitis, tetapi memburuk setelah 5 hari atau
menetap selama lebih dari 10 hari. Kriteria gejala untuk rhinosinusitis akut
berlangsung selama 7-10 hari. Selanjutnya episode berulang terjadi sampai 4 atau
3. Rinosinusitis Subakut
4. Rinosinusitis Kronik
Rinosinusitis Kronik pada umumnya mempunyai gejala yang menetap. Pada suatu
saat dapat terjadi gejala yang tiba-tiba memburuk karena infeksi yang berulang.
Gejala akan kembali seperti semula setelah pengobatan dengan antibiotik akan
24
H. Diagnosis Rinosinusitis
a. Anamnesis
Anamnesis yang cermat dan diperlukan teliti sangat diperlukan terutama dalam
menilai gejala-gejala yang disebutkan di atas. Hal ini penting terutama pada
penyebab yang lain selain inflamasi itu sendiri. Adanya penyebab infeksi baik
kuman maupun virus, riwayat alergi atau kelainan anatomis di dalam rongga
Rinosinusitis Akut gejala yang ada mungkin cukup jelas karena berlangsung akut
(mendadak) dan seringkali didahului oleh infeksi akut saluran nafas atas. Pada anak
infeksi saluran nafas atas merupakan predisposisi pada 80% Rinosinusitis Akut
anak. Penderita dengan latar belakang alergi mempunyai riwayat yang khas
terutama karakteristik gejala pilek sebelumnya, riwayat alergi dalam keluarga serta
Penting untuk menanyakan onset dari timbulnya gejala. Apabila kita curiga ke
arah sinusitis dentogenik, dapat ditanyakan apakah salah satu rongga hidung
berbau busuk, apakah dari hidung keluar ingus kental atau tidak beringus, dan
apakah terdapat gigi di rahang atas yang berlubang atau rusak (Panduan Praktik
b. Pemeriksaan Fisik
pemeriksaan rongga mulut dapat ditemukan karies profunda pada gigi rahang atas.
25
Pemeriksaan rinoskopi anterior dapat dilakukan. Pada rhinosinusitis akut dapat
ditemukan:
secret purulent pada nasofaring. Bila sekret terdapat di depan muara tuba
eustachius, maka berasal dari sinus-sinus bagian anterior (maksila, frontal, etmoid
anterior), sedangkan bila sekret mengalir di belakang muara tuba Eustachius, maka
komplikasi pada telinga, misalnya tuba oklusi, efusi ruang telinga tengah, atau
kelainan pada membran timpani (Panduan Praktik Klinis di Faskes Primer IDI,
2014).
c. Pemeriksaan Penunjang
sinus paranasal dengan Water’s view (AP atau lateral) bila fasilitas tersedia. Pada
posisi ini, sinus yang dapat dinilai adalah maksila, frontal, dan etmoid. Temuan
(perselubungan), air-fluid level, dan opasifikasi sinus yang terlibat. Foto polos
sinus tidak direkomendasikan untuk anak berusia di bawah 6 tahun. Pada pasien
26
diagnosis dapat ditegakkan secara klinis. Selain itu, pemeriksaan laboratorium
yaitu darah lengkap dapat dilakukan bila fasilitas tersedia (Panduan Praktik Klinis
hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan
sinusitis kronik yang tidak membaik dengan pengobatan atau pra-operasi sebagai
sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap. Pemeriksaan ini sudah jarang
tes resistensi dilakukan dengan mengambil sekret dari meatus medius atau
superior, untuk mendapat antibiotik yang tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil
sekret yang keluar dari pungsi sinus maksila. Sinuskopi dilakukan dengan punsgi
menembus dinding medial sinus maksila melalui meatus inferior, dengan alat
endoskop bisa dilihat kondisi sinus maksila yang sebenarnya, selanjutnya dapat
dari faktor mayor dan minor. Faktor mayor yaitu hidung tersumbat, keluar sekret dari
hidung atau post nasal discharge yang purulen, nyeri pada wajah, dan hiposmia atau
anosmia. Sedangkan faktor minor terdiri dari sakit kepala, demam, halitosis, rasa lemah
(fatigue), sakit gigi, sakit atau rasa penuh di telinga, dan batuk (Panduan Praktik Klinis di
Faskes Primer IDI, 2014). Pada tahun 2015, American Academy of Otolaryngology
menyampaikan bahwa untuk menegakkan rhinosinusitis tidak lagi perlu adanya kombinasi
antara faktor mayor dan minor, faktor minor tidak lagi digunakan dan fokus pada tiga
27
cardinal symptom atau gejala mayor yaitu adanya sekret mukopurulen, nyeri pada wajah
atau gigi, dan adanya obstruksi nasal dengan pengukuran objektif seperti rinomanometri
Pada Panduan Praktik Klinis bagi dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat
pertama yang dikeluarkan oleh Ikatan Dokter Indonesia pada tahun 2014, penegakan
diagnosis tetap menggunakan faktor mayor dan minor. Dasar penegakan rhinosinusitis
28
• Pasien
imunodefisiensi
• Adanya tanda
komplikasi
1. Rinosinusitis akut viral (common cold), apabila durasi gejala < 10 hari
3. Rinosinusitis akut bakterial, bila terdapat sekurangnya 3 tanda atau gejala berikut
ini:
d. Peningkatan LED/CRP
29
• Edema dan hiperemis pada
konka
• Sekret mukopurulen
Pemeriksaan penunjang (foto rontgen) Dianjurkan, bila tidak sembuh setelah
2 minggu terapi
Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps pada tahun
2020, rhinosinusitis didefinisikan sebagai inflamasi hidung dan sinus paranasal yang
ditandai dengan adanya dua atau lebih gejala, salah satunya termasuk hidung tersumbat/
• Polip dan/atau
I. Diagnosis Banding
1. Rinosinusitis kronis
Kriteria diagnosis:
didapatkan hidung tersumbat, atau keluar sekret dari hidung atau post nasal
discharge yang purulent dan dapat disertai nyeri pada wajah dan hiposmia atau
30
• Pemeriksaan fisik: rinoskopi anterior tampak edema dan hiperemis pada konka,
sekret mukopurulen
2. Rinitis Vasomotor
Rhinitis vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya
• Anemnesis: mirip dengan rinitis alergi (rinorea, bersin, hidung tersumbat, dan
rasa gatal pada hidung), namun gejala yang dominan adalah hidung tersumbat,
bergantian kanan dan kiri tergantung pada posisi pasien. Berdasarkan gejala
edema mukosa hidung, konka berwarna merah gelap atau merah tua, tetapi
dapat pula pucat. Hal ini perlu dibedakan dari rinitis alergi yang permukaanya
• Pemeriksaan penunjang: pemeriksaan darah lengkap, tes cukit kulit, dan kadar
IgE spesifik
3. Bronkitis Akut
Radang dapat berupa hipersekresi mukus dan batuk produktif kronis berulang-
ulang minimal 3 bulan pertahun atau paling sedikit dalam 2 tahun berturut-turut
pada pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain. Bronkitis akut dapat
31
disebabkan beberapa hal yaitu infeksi virus, bakteri, asap rokok, dan paparan
Kriteria Diagnosis:
• Anamnesis: batuk (berdahak atau tidak berdahak) selama 2-3 minggu, dahak
(biasanya ringan), rasa berat dan tidak nyaman di dada, sesak nafas, sering
• Pemeriksaan fisik: pada inspeksi didapatkan pasien tampak kurus dengan barrel
J. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan non medikamentosa yang dapat dilakukan yaitu dengan pemberian
konseling dan edukasi berupa (Panduan Praktik Klinis di Faskes Primer IDI, 2014):
1. Pasien dan atau keluarga perlu mendapatkan penjelasan yang adekuat mengenai
32
b. Bila terdapat pajanan polutan sehari-hari, dokter dapat membantu
menggunakan masker
kronik. Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di KOM sehingga drainase dan
ventilasi sinus-sinus pulih secara alami. Anbiotik dan dekongestan merupakan terapi
pilihan pada sinusitis bakterial, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa
serta membuka subatan ostium sinus. Antibiotik yang dipilih adalah golongan penicillin
seperti amoksisilin. Jika diperkirakan jumlah kuman telah resisten atau memproduksi beta-
kedua. Pada sinusitis anibiotik dapat diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinik
Pada sinusitis kronik diberikan antibiotic yang sesuai untuk kuman gram negatif dan
anaerob. Selain dekongestan oral dan topical, terapi lain dapat diberikan jika diperlukan,
seperti analgetik, mukolitik, antitusif, steroid oral atau topical, dan pencucian hidung
dengan NaCl. Antihistamin tidak perlu rutin diberikan karena sifat antikolinergiknya dapat
1. Dekongestan
33
pembuluh kapiler mukosa rongga hidung sehingga mengurangi udem dan
Dekongestan topikal dapat diberikan dalam bentuk tetes maupun semprot hidung.
Penggunaan dibatasi tidak lebih dari 5 hari karena pemakaian jangka panjang dapat
2. Kortikosteroid
Rinosinusitis Akut maupun Rinosinusitis Kronik baik dengan atau tanpa latar
hidung dan sinus. Pengobatan jangka pendek cukup efektif dan aman, namun untuk
(tappering off).
3. Antihistamin
memang merupakan obat yang sangat efektif untuk mencegah serangan alergi
Kronik dengan latar belakang alergi. Antihistamin klasik mempunyai efek anti
34
mengentalnya mukus sehingga mengganggu drainase. Untuk menghindari efek
feksofenadin.
4. Antibiotik
Rinosinusitis Akut adalah amoksisilin (first line drugs), karena obat ini efektif
klavulanat. Antibiotik harus diberikan 10-14 hari agar dapat dicapai hasil
antibiotic menjadi perhatian serius para ahli sehingga berbagai uji coba antibiotik
lainnya bisa digunakan seperti golongan kuinolon, sefiksim, sefdinir, sefprozil dan
sefuroksim dengan efektifitas klinik yang tidak jauh berbeda satu dengan yang
lainnya. Pilihan lain adalah golongan makrolid baru yang mempunyai potensi
antibiotik lini pertama ditentukan bila Rinosinusitis Akut baru pertama kali diderita
35
mengalami Rinosinusitis Akut berulang atau ada riwayat pemberian antibiotik
diupayakan agar tercapai hasil terapi yang memuaskan. Antibiotik bila digunakan
harus diberikan dalam jangka lebih lama yaitu 4-6 minggu, dan sebaiknya
dilakukan tes kepekaan kuman terlebih dahulu. Disamping itu perlu evaluasi
terhadap faktor penyebab lainnya seperti alergi dan penyakit sistemik lainnya.
K. Komplikasi
Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronis dengan
eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau intrakranial. Kelainan orbita disebabkan
oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita). Penyebaran infeksi ke orbita
paling sering terjadi pasa sinusitis etmoid, frontal, dan maksila. Gejala dan tanda yang
patut dicurigai yaitu edema periorbta, selulitis orbita, dan nyeri berat pada mata. Kelainan
dapat menganai pada satu mata atau menyebar ke kedua mata. Kelainan intrakranial dapat
menimbulkan meningitis atau abses ektradural. Gejala dan tanda yang pelu dicurigai yaitu
sakit kepala (tajam, progresif, dan terlokalisasi) dan perubahan status mental. Komplikasi
lain terutama pada rinosinusitis kronik dapat berupa osteomielitis sinus maksila, abses
subperuoesteal, dan bronkitis kronik (Panduan Praktik Klinis di Faskes Primer IDI, 2014).
L. Kriteria Rujukan
Pada kasus rinosinusitis akut, sebagai dokter umum kita perlu melakukan rujukan ke
1. Terdapat gejala dan tanda komplikasi, di antaranya edema atau eritema periorbital,
perubahan posisi bola mata, diplopia, penurunan visus, sakit kepala yang berat,
36
pembengkakan area frontal, tanda-tanda iritasi meningeal, dan kelainan neurologis
fokal
2. Bila tidak terjadi perbaikan pasca terapi adekuat setelah 10 hari (pada rhinosinusitis
akut), 14 hari (pada rhinosinusitis pasca viral), dan 48 jam (rhinosinusitis akut
bakterial)
tatalaksana spesialis THT-KL misalnya deviasi septum, polip nasal, atau tumor
37
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien datang ke Poli THT RSUD Panembahan Senopati Bantul pada 18 Agustus 2021
dengan keluhan kurang bisa mencium bau sejak ± 3 minggu yang lalu (mulai 19 Juli 2021).
Pasien mengatakan awalnya hendak menggunakan minyak kayu putih tetapi tidak mencium
baunya sama sekali, keluhan tidak membaik. Keluhan lain berupa batuk (+) kering, pilek (+),
pusing di kepala bagian belakang (+). Riwayat berobat di poli paru pada tanggal 14 Agustus
2021 dengan keluhan kurang bisa mencium bau, pusing di kepala bagian belakang (+), dan
nyeri dada (+) sebelah kiri. Riwayat demam (+) mulai 21 Juli 2021, berlangsung selama 3 hari
dengan suhu tertinggi mencapai 38oC. Riwayat batuk (+) kering ± selama 3 bulan, pilek (+)
keluar ingus jernih. Riwayat kontak dengan pasien COVID-19 (+), swab antigen negatif pada
tanggal 13 Agustus 2021. Pasien memiliki riwayat sering mengonsumsi makanan pedas (+)
dan minuman dingin (+). Dari hasil anamnesis yang dilakukan, keluhan yang dialami pasien
yaitu adanya gejala pilek disertai penurunan fungsi penghidu (hiposmia) dapat mengarahkan
kecurigaan pada rhinosinusitis, sedangkan onset yang dialami yaitu kurang lebih 3 minggu
mengarahkan kepada diagnosis akut (EPOS, 2020). Pasien memiliki riwayat demam dan batuk
yang merupakan faktor minor pada kriteria penegakan diagnosis berdasarkan American
Academy of Otolarynology. Selain itu, pasien mengeluhkan pusing di kepala belakang yang
merupakan gejala adanya sinusitis sfenoid, di mana nyeri dirasakan di vertex, oksipital,
belakang bola mata, dan daerah mastoid (Endang dan Damajanti, 2012).
Pada pemeriksaan fisik hidung luar didapatkan dalam batas normal. Pada pemeriksaan
rhinoskopi anterior dan posterior didapatkan adanya hiperemis pada konka inferior dan
konka media. Sedangkan pada pemeriksaan penghidu dengan menggunakan bahan kopi,
tembakau, dan jeruk, pasien tidak dapat mencium aroma kopi, salah menyebutkan aroma
tembakau dan jeruk. Dari hasil pemeriksaan yang dilakukan, hiperemis pada konka merupakan
38
salah satu dasar penegakan dari diagnosis rhinosinusitis (Panduan Praktik Klinis di Faskes
Penatalaksanaan pada pasien terdiri dari terapi non medikamentosa dan medikamentosa.
Terapi non medikamentosa dengan memberikan edukasi kepada pasien terkait dengan kondisi
yang saat ini dialami, meminta pasien untuk mengurangi konsumsi makanan pedas dan
minuman dingin, meminta pasien untuk mencium empat jenis odoran yang berbeda (minyak
kayu putih, kopi, madu, bawang putih) setiap pagi dan malam hari selama 4-6 bulan, meminta
pasien periksa kembali apabila kondisi belum membaik, dan merujuk pasien ke Dokter
Spesialis THT-KL. Sedangkan terapi medikamentosa dapat diberikan sesuai dengan keluhan
yang dirasakan pasien saat ini. Pasien saat ini mengeluhkan batuk kering sehingga pemberian
antitusif yaitu codein dengan mekanisme kerja meningkatkan ambang refleks batuk dapat
mengurangi inflamasi dan mengurangi sensitifitas reseptor kolinergik mukosa rongga hidung
sehingga mengurangi sekresi (Husni, 2017). Dosis pemberian codein yaitu 10-20 mg setiap 4-
6 jam dengan dosis maksimal 120mg/hari. Sediaan obat berupa tablet 10 mg, 15 mg, dan 20
mg. Sedangkan dosis pemberian metilprednisolon yaitu 4-48 mg/hari dalam dosis terbagi.
39
BAB V
KESIMPULAN
Pasien An. D usia 16 tahun dengan keluhan kurang bisa mencium bau sejak ± 3 minggu
yang lalu, batuk (+) kering, pilek (+), pusing di kepala bagian belakang (+). Riwayat demam
(+) mulai 21 Juli 2021, berlangsung selama 3 hari dengan suhu tertinggi mencapai 38oC.
Riwayat batuk (+) kering ± selama 3 bulan, pilek (+) keluar ingus jernih. Riwayat kontak
dengan pasien COVID-19 (+), swab antigen negatif pada tanggal 13 Agustus 2021. Pasien
memiliki riwayat sering mengonsumsi makanan pedas (+) dan minuman dingin (+). Pada
pemeriksaan rhinoskopi anterior dan posterior didapatkan adanya hiperemis pada konka
inferior dan konka media. Sedangkan pada pemeriksaan penghidu dengan pasien tidak dapat
mencium aroma kopi, salah menyebutkan aroma tembakau dan jeruk. Penatalaksanaan pada
pasien terdiri dari terapi non medikamentosa dan medikamentosa. Terapi non medikamentosa
dengan memberikan edukasi kepada pasien terkait dengan kondisi yang saat ini dialami,
meminta pasien untuk mengurangi konsumsi makanan pedas dan minuman dingin, meminta
pasien untuk mencium empat jenis odoran yang berbeda (minyak kayu putih, kopi, madu,
bawang putih) setiap pagi dan malam hari selama 4-6 bulan, meminta pasien periksa kembali
apabila kondisi belum membaik, dan merujuk pasien ke Dokter Spesialis THT-KL. Sedangkan
yaitu metilprednisolon.
40
DAFTAR PUSTAKA
Endang Mangunkusumo dan Damajanti Soetjipto, 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi Ketujuh. Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Fokkens et al, 2020. European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2020
International Rhinologic Society. Available at www.rhinologyjournal.com diakses pada
tanggal 20 Agustus 2021
Huriyati, E. and Nelvia, T. (2014) ‘Gangguan Fungsi Penghidu dan Pemeriksaannya’, Jurnal
Kesehatan Andalas, 3(1). doi: 10.25077/jka.v3i1.16.
Husni Teuku, 2017. Diagnosis dan Penanganan Rinosinusitis. Divisi Rinologi, Bagian Telinga
Hidung Tenggorokan-Kepala Leher. Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala/RSU
Dr. Zainoel Abidin. Banda Aceh
Ikatan Dokter Indonesia, 2014. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer. 2nd ed. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia; 2014
41