Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH PATOLOGI PENYAKIT INFEKSI

MASALAH GIZI PENDERITA PENYAKIT TUBERKULOSIS DAN


SOLUSI DIETNYA

Disusun oleh :
KELOMPOK 4
Asysyifa Wulansari (P07131219002)
Aulia Azkia (P07131219004)
Candra Selvia (P07131219006)
Dyah Samsiati (P07131219009)
Elyawati (P07131219011)
Fatimatu Zahra (P07131219013)
Hermawati (P07131219016)
Ifa Fatimah Safitri (P07131219018)

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia


Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Banjarmasin
Program Studi Sarjana Terapan Gizi dan Dietetika
2020/2021
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI .................................................................................................. 1

KATA PENGANTAR .................................................................................. 2

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 3

1.1 Latar belakang ................................................................................. 3

1.2 Rumusan masalah ............................................................................ 3

1.3 Tujuan makalah ............................................................................... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 4

BAB III PENUTUP ..................................................................................... 18

3.1 Kesimpulan ........................................................................................ 18

3.2 Saran ................................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 19

1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
hanya dengan rahmat-Nyalah kami akhirnya bisa menyelesaikan makalah
ini dengan baik tepat pada waktunya.
Tidak lupa kami menyampaikan rasa terima kasih kepada dosen
pembimbing yang telah memberikan banyak bimbingan serta masukan yang
bermanfaat dalam proses penyusunan makalah ini. Rasa terima kasih juga
hendak kami ucapkan kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah
memberikan kontribusinya baik secara langsung maupun tidak langsung
sehingga makalah ini bisa selesai pada waktu yang telah ditentukan.
Meskipun kami sudah mengumpulkan referensi untuk menunjang
penyusunan makalah ini, namun kami menyadari bahwa di dalam makalah
yang telah kami susun ini masih terdapat banyak kesalahan serta kekurangan
sehingga kami mengharapkan saran serta masukan dari para pembaca demi
tersusunnya makalah lain yang lebih baik lagi. Akhir kata, kami berharap
agar makalah ini bisa memberikan banyak manfaat bagi pembacanya.

Penulis,

Kelompok 4

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri
dari Mycobacterium tuberculosis, yang mempengaruhi paru-paru. TB
merupakan salah satu penyakit tertua yang diketahui mempengaruhi
manusia menjadi penyebab utama kematian di seluruh dunia (Kasper, 2010).

TB adalah salah satu dari 10 penyebab kematian di seluruh dunia.


Pada tahun 2017, 10 juta orang jatuh sakit dengan TB (WHO,2018).
Prevalensi TB di Indonesia pada tahun 2013 sebesar 0,4%, dan tidak
mengalami peningkatan pada tahun 2018 (Riskesdas, 2018). Di Jawa
Tengah prevalensi penderita TB pada tahun 2016 sebesar 118 per 100.000
penduduk dan terjadi peningkatan pada tahun 2017 yaitu 132,9 per 100.000
penduduk (Dinkes Jateng, 2017). Menurut Laporan Kinerja RSUD Dr.
Moewardi terakhir pada bulan Mei (2017), pada pelayanan pemeriksaan
laboratorium mikrobiologi klinik terdapat 310 kasus TB.

1.2 Rumusan masalah


 Apa masalah gizi yang rentan terjadi pada penderita TBC?
 Bagaimana solusi diet untuk penderita TBC?

1.3 Tujuan makalah


 Memenuhi tugas mata kuliah patologi penyakit infeksi
 Mengetahui masalah gizi yang rentan pada penderita TBC
 Mengetahui solusi diet untuk penderita TBC

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh


kuman Mycobacterium tuberculosis. Terdapat beberapa spesies
Mycobacterium, antara lain: M. tuberculosis, M. africanum, M. bovis, M.
Leprae dsb. Yang juga dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA).
Kelompok bakteri Mycobacterium selain Mycobacterium tuberculosis yang
bisa menimbulkan gangguan pada saluran nafas dikenal sebagai MOTT
(Mycobacterium Other Than Tuberculosis) yang terkadang bisa
mengganggu penegakan diagnosis dan pengobatan TBC.

Pakar kesehatan Ari Widodo yang pernah menjabat sebagai Deputy


Medical Director di SOS International Indonesia, menjelaskan, TBC
menjadi masalah serius karena penularannya sangat mudah. Indonesia
termasuk lima besar negara dengan jumlah pengidap TBC terbanyak di Asia
Tenggara dengan jumlah pengidap mencapai 305.000 jiwa.

Penyakit TBC biasanya menyerang orang yang memiliki kekebalan


tubuh yang lemah dan orang lanjut usia yang mempunyai riwayat TBC.
Tetapi ada beberapa kelompok orang yang memiliki risiko lebih tinggi
terkena TBC, yaitu pengidap HIV, diabetes, dan orang yang sedang
menjalani kemoterapi, orang yang kekurangan gizi, pecandu narkoba, para
perokok, dan para medis yang sering berhubungan dengan penderita TBC.

Penderita yang terserang penyakit ini biasanya akan mengalami


demam tetapi tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, yang biasanya
dirasakan pada malam hari. Serangan demam seperti influenza akan datang
dan pergi. Gejala lain yang ditunjukkan penderita TBC adalah nafsu makan
serta berat badan yang menurun, batuk selama lebih dari tiga hari, perasaan
tidak enak, dan lemah.

4
Upaya untuk menghilangkan penyakit ini terus dilakukan baik secara
lokal maupun global. "Namun, pengobatan penyakit ini menemui banyak
jalan buntu, dan malah membuat bakteri semakin resisten dan
multiresisten," terang Ari.

Tuberculosis (TBC) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh


basil/kuman TBC (Micobacterium Tuberkulosis). Sebagian kuman TBC
menyerang paru-paru tetapi dapat juga mengenai bagian tubuh lainnya.

Gejala utama pasien TBC paru yaitu batuk berdahak selama 2


minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak
bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan
menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa
kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Pada pasien dengan
HIV positif, batuk sering kali bukan merupakan gejala TBC yang khas,
sehingga gejala batuk tidak harus selalu selama 2 minggu atau lebih.

Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien


tuberkulosis adalah daya tahan tubuh yang rendah karena adanya infeksi
HIV-AIDS dan malnutrisi. Faktor lainnya adalah faktor lingkungan, faktor
perilaku, kesehatan perumahan, dan lama knotty serta konsentrasi kuman
(Depkes RI, 2007).

Menurut Rukmini dan Chatarina (2011), penyakit infeksi


tuberkulosis sebagai akibat dari aktifitas tas bakteri basil mycobacterium
tuberculosis. Pada umumnya menyerang paru-paru karena penularan berupa
droplet tersebut mencemari udara dan terhirup ketika bernafas. Tingkat
keparahan penderita tuberkulosis dilihat dari jenis dan tingkat kepositifan
dari sputum BTA, namun penyakit penyerta tidak dimiliki pada sebagian
besar penderita yang memiliki sputum BTA derajat positif 3 (+++)
(Susilayanti, et al., 2014).

Menurut Manalu (2010), suatu pemeriksaan yang dilakukan secara


aktif dapat mengurangi risiko infeksi penularan tuberkulosis paru,
khususnya pada kelompok risiko tinggi dan penderita dengan status gizi

5
kurang. Asupan atau konsumsi makan yang tidak cukup akan berdampak
pada gizi kurang sehingga menyebabkan bibit penyakit masuk ke dalam
tubuh dengan mudah dan dapat menyebabkan terjadinya penyakit infeksi.
Infeksi ini memberikan dampak morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi
bagi masyarakat. Pada umumnya penderita infeksi ini berusia produktif (15–
55 tahun) dengan gejala utama malaise dan batuk dengan dahak > 2 minggu
(Al Arif, et al., 2015).

Kecenderungan penurunan berat badan penderita tuberkulosis


merupakan akibat dari gejala anoreksia yang menyebabkan status gizi
kurang (IMT<18,5). Kondisi ini dapat mengakibatkan terjadinya status gizi
buruk apabila tidak diimbangi dengan diet yang tepat. Malnutrisi yang
terjadi akan memperberat penyakit infeksinya, sehingga status gizi menjadi
penyebab utama terjadinya kegagalan konversi pengobatan pada
penderitainfeksi tuberkulosis (Amaliah, 2012). Penelitian ini bertujuan
untuk menentukan adanya perbedaan tingkat kecukupan zat gizi makro dan
status gizi pasien tuberkulosis dengan sputum BTA (+) dansputum BTA (-).

Jumlah kasus baru TB di Indonesia sebanyak 420.994 kasus pada


tahun 2017 (data per 17 Mei 2018). Berdasarkan jenis kelamin, jumlah
kasus baru TBC tahun 2017 pada laki-laki 1,4 kali lebih besar dibandingkan
pada perempuan. Bahkan berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis
prevalensi pada laki-laki 3 kali lebih tinggi dibandingkan pada perempuan.
Begitu juga yang terjadi di negara-negara lain. Hal ini terjadi kemungkinan
karena laki-laki lebih terpapar pada fakto risiko TBC misalnya merokok dan
kurangnya ketidakpatuhan minum obat. Survei ini menemukan bahwa dari
seluruh partisipan laki-laki yang merokok sebanyak 68,5% dan hanya 3,7%
partisipan perempuan yang merokok.

Hasil Riset Kesehatan Dasar (2013) mencatat jumlah yang sama


dengan Hasil Riset Kesehatan Dasar (2010) yaitu pada jumlah prevalensi
penduduk Indonesia yang di diagnosis tuberkulosis paru oleh tenaga
kesehatan adalah sebesar 0,4% (Kemenkes, 2013).

6
Berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis tahun 2013-2014,
prevalensi TBC dengan konfirmasi bakteriologis di Indonesia sebesar 759
per 100.000 penduduk berumur 15 tahun ke atas dan prevalensi TBC BTA
positif sebesar 257 per 100.000 penduduk berumur 15 tahun ke atas.
Berdasarkan survey Riskesdas 2013, semakin bertambah usia, prevalensinya
semakin tinggi. Kemungkinan terjadi re-aktivasi TBC dan durasi paparan
TBC lebih lama dibandingkan kelompok umur di bawahnya. Sebaliknya,
semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan (yang menggambarkan
kemampuan sosial ekonomi) semakin rendah prevalensi TBC.

a. Tingkat Kecukupan Energi


Tingkat kecukupan energi responden tuberkulosis mayoritas berada
pada kategori kurang, baik tuberkulosis dengan sputum BTA (+)
maupun sputum BTA (-). Hal ini disebabkan karena mayoritas
responden tuberkulosis tidak menjalankan diet tepat yaitu Tinggi Kalori
Tinggi Protein (TKTP).
Asupan energi diperoleh dari konsumsi makanan seseorang sehari-
hari untuk menutupi pengeluaran energi, baik orang sakit maupun orang
sehat, konsumsi pangan harus mengandung energi yang cukup sesuai
dengan kebutuhannya. Kebutuhan energi mengalami penurunan 5%
setiap 10 tahun (Adriani dan Wirjatmadi, 2012). Keseimbangan energi
dapat dicapai apabila energi melalui makanan yang masuk ke dalam
tubuh sama dengan energi yang dikeluarkan, agar mampu mencapai
berat badan yang normal. Jika pengeluaran energi melebihi asupan
energi, maka berat badan akan turun. Hal ini disebabkan karena
tingginya pengeluaran energi sedangkan asupan energi kurang dari
kebutuhan. Kondisi ini disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya
karena penyakit infeksi, demam dan trauma fi sik atau pembedahan
mengalami peningkatan Basal Metabolic Rate (Gandy, et al., 2014).
b. Tingkat Kecukupan Protein
Hasil analisis uji Mann Whitney pada Tabel 1 menunjukkan
perbedaan yang signifi kan (p=0,001) antara tingkat kecukupan protein
responden dengan sputum BTA (+) dan sputum BTA (-). Tingkat

7
kecukupan protein responden tuberkulosis dengan sputum BTA (+)
mayoritas (80%) berada pada kategori kurang, sedangkan responden
tuberkulosis dengan sputum BTA (-) paling banyak (40%) berada pada
kategori sedang.
Median (minmaks) dari tingkat kecukupan protein penderita
tuberkulosis dengan sputum BTA (+) adalah 72,8 (8,5; 138,8) lebih
rendah dibandingkan dengan penderita tuberkulosis dengan sputum
BTA (-) 88,1 (73,7;177,3). Hal ini menunjukkan bahwa pada penderita
tuberkulosis sputum BTA (+) memiliki tingkat kecukupan protein lebih
rendah daripada penderita tuberkulosis dengan sputum BTA (-).
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Adriani, et al. (2015) yang
memaparkan bahwa asupan protein yang dikonsumsi oleh pasien
tuberkulosis berbeda dengan yang tidak tuberkulosis.
Rata-rata konsumsi protein lebih tinggi pada kelompok yang tidak
tuberkulosis daripada kelompok penderita tuberkulosis. Penelitian lain
yang telah dilakukan oleh Lazulfa (2013) di Rumah Sakit Paru
Pamekasan menyebutkan bahwa sebagian besar responden tuberkulosis
memiliki tingkat kecukupan protein kurang. Kondisi ini berbeda dengan
penderita tuberkulosis pada anak yang mayoritas mempunyai asupan
protein berlebih (Purnasari, 2011).
c. Tingkat Kecukupan Lemak
Berdasarkan penelitian Adriani, et al. (2015) bahwa asupan lemak
yang dikonsumsi oleh pasien tuberkulosis berbeda dengan yang tidak
menderita tuberkulosis. Rata rata konsumsi lemak lebih tinggi pada
kelompok yang tidak tuberkulosis daripada kelompok tuberkulosis.
Tingkat kecukupan lemak responden mayoritas berada pada kategori
kurang (Lazulfa, 2013).
Pada dasarnya lemak berfungsi sebagai pelarut bagi vitamin A, D,
E, K dan juga berfungsi sebagai sumber energi dan mampu
menyediakan kalori 2,25 kali lebih banyak daripada yang diberikan oleh
karbohidrat atau protein. Lemak lebih banyak disimpan sebagai
cadangan energi, sehingga meskipun lemak menghasilkan energi yang

8
terbesar, tapi lemak bukanlah sebagai penghasil energi yang utama
(Riandari, 2007).
d. Tingkat Kecukupan Karbohidrat
Penelitian yang dilakukan oleh Lazulfa (2013) menyatakan bahwa
seluruh responden penderita tuberkulosis memiliki asupan karbohidrat
rendah dan tingkat kecukupan karbohidratnya berada pada kategori
kurang/ defi sit (100%). Gejala malaise sering ditemukan pada
penderita tuberkulosis berupa anoreksia (tidak ada nafsu makan), gejala
malaise ini semakin lama akan semakin berat dan gejalanya dapat
hilang dan timbul secara tidak teratur (Sudoyo, et al., 2009).
Muchtadi (2014) mengemukakan bahwa karbohidrat sebagai sumber
energi utama yang paling murah karena glukosa yang dihasilkan
merupakan sumber energi utama bagi jaringan syaraf dan paru-paru.
Hubungan antara karbohidrat dan lemak dalam diet bersifat timbal-
balik, karena diet yang kaya akan lemak memiliki kadar karbohidrat
yang rendah, begitu juga sebaliknya (Gandy, et al., 2014).
e. Status Gizi Berdasarkan Indeks Massa Tubuh
Menurut Pratomo, et al. (2012) bahwa keadaan malnutrisi pada
penderita tuberkulosis dapat menurunkan masa kesembuhan serta lebih
meningkatkan angka kematian apabila dibandingkan dengan penderita
tuberkulosis yang tidak mengalami malnutrisi. Malnutrisi yang terjadi
pada penderita infeksi tuberkulosis berhubungan dengan keterlambatan
penyembuhan dan peningkatan angka kematian serta risiko
kekambuhan dan kejadian hepatitis akibat obat anti tuberkulosis (OAT).
Tingkat kekambuhan ini meningkat pada subjek dengan IMT <18,5
(Gupta,et al., 2009)
Penelitian yang dilakukan di Sulawesi oleh Agustina, et al. (2015)
menunjukkan tidak adanya perbedaan asupan zat gizi makro yang
dikonsumsi terhadap status gizi responden yang diteliti. Pemberian obat
anti tuberkulosis dan suplemen gizi tertentu secara teratur menjadi
trending act dalam program peningkatan asupan gizi agar dapat
meningkatkan nilai IMT penderita tuberkulosis, sehingga penderita

9
dapat memperoleh percepatan menuju masa kesembuhannya (Tana dan
Ghani, 2014).
Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan pengukuran yang dilakukan
untuk mengetahui keadaan status gizi orang dewasa. Penelitian yang
dilakukan Muaz (2014) yang mengungkapkan bahwa responden dengan
IMT kurang dapat lebih beresiko sebesar 2,5 kali menderita penyakit
tuberkulosis dibandingkan responden yang berstatus IMT baik. Faktor
kurang gizi meningkatkan angka kesakitan/ kejadian tuberkulosis,
terutama tuberkulosis paru, sehingga masyarakat dengan status gizi
kurang, lebih beresiko terjangkit infeksi tuberkulosis daripada berstatus
gizi baik (Toyalis, 2010).

TBC dapat diobati dengan antibiotic dan mencukupi nutrisi dengan makan
sehat dan seimbang.

 Diet Untuk Penderita TBC


Penderita TBC harus makan yang banyak. Walaupun pada umumnya
penderita TBC mengalami penurunan nafsu makan, mual, dan muntah
karena pengaruh obat-obatan yang dikonsumsinya, tapi konsumsi makanan
yang cukup juga menjadi salah satu syarat kesembuhan pasien TBC.
Pemenuhan nutrisi untuk pasien TBC bertujuan untuk menjaga berat badan
dan juga untuk memperkuat sistem kekebalan tubuh penderita.

Prinsip / Syarat diet pada TB paru


 Energi : tinggi (2500-3000 kal/hr). Untuk mencapai berat badan ideal.
 Karbohidrat cukup (60-70% total energi) diberikan 275,7 gram.
 Protein : tinggi (75-100 g/hr) atau 4 gr/ kgBB/ hari. Untuk
menggantikan sel-sel yang rusak dan untuk meningkatkan kadar serum.
 Lemak rendah/cukup ( 20 – 25% total energi) yaitu sebesar 35,3 gram.
 Mineral : cukup. Mineral Fe untuk mengganti Fe yang hilang karena
pendarahan. Mineral Ca untuk penyembuhan luka.
 Vitamin :

10
– Tinggi (suplementasi) → Vitamin C, Vitamin E, Vitamin B
kompleks.
– Cukup untuk vitamin lainnya.
 Cairan cukup 150 ml/ kg BB
 Bentuk makanan bisa cair bisa lunak (sesuai kemampuan pasien)
 Makanan mudah cerna
 Makanan tidak merangsang

 Nutrisi dan Makanan untuk Diet Tuberkulosis (TBC)

Berikut beberapa sumber makanan yang dibutuhkan penderita tuberkulosis


(TBC) untuk membantu proses pengobatan:

1. Sumber Karbohidrat
Pasien TBC sangat membutuhkan banyak energi yang diperoleh dari
makanan sumber karbohidrat. Energi yang didapat dari makanan tersebut
digunakan sebagai bahan bakar sel-sel dalam tubuh untuk melakukan
tugasnya. Tentunya, sel-sel dalam tubuh kita membutuhkan banyak
energi untuk melawan infeksi. Karbohidrat juga digunakan tubuh untuk
menjaga berat badan atau status gizi. Berat badan yang kurang pada
pasien TBC dapat membuat kondisi pasien penderita TBC lebih buruk.
Kebutuhan karbohidrat pada pasien TBC lebih dari kebutuhan
karbohidrat pada orang normal. Sumber karbohidrat bisa didapatkan dari
nasi, bubur, nasi tim, kentang, roti, dan lainnya.

2. Sumber Protein Hewani


Kebutuhan protein juga dibutuhkan pasien TBC lebih banyak daripada
orang normal. Protein digunakan tubuh untuk mencegah dan mengurangi
kerusakan jaringan dan juga untuk menjaga berat badan pasien agar
masih dalam rentang normal. Sel-sel yang berperan dalam melawan
infeksi tentu membutuhkan sumber protein untuk memperkuat
serangannya. Kita harus mendapatkan sumber protein dari dua sumber,
yaitu sumber hewani dan sumber nabati. Sumber hewani, contohnya

11
ayam, daging tanpa lemak, ikan, seafood, susu, keju, telur, dan
sebagainya.

3. Sumber Protein Nabati


Sama seperti sumber protein hewani, sumber protein nabati juga
diperlukan tubuh untuk memperkuat sistem kekebalan tubuh. Sehingga,
tubuh lebih mampu melawan infeksi dari penyakit TBC. Sumber protein
nabati, misalnya tahu, tempe, kacang merah, kacang hijau, kacang
kedelai, dan masih banyak lagi.

4. Sayuran
Dalam sayuran, kita bisa mendapatkan berbagai vitamin dan mineral
yang dibutuhkan oleh tubuh, terlebih lagi bagi yang menderita TBC.
Vitamin dan mineral, terutama yang kaya akan antioksidan (seperti
vitamin A dan vitamin C), mampu membantu tubuh dalam memperkuat
sistem kekebalan tubuh. Hal ini penting untuk mempercepat
penyembuhan pasien TBC.

5. Buah-buahan
Buah juga mengandung banyak vitamin dan mineral penting yang
dibutuhkan untuk membantu tubuh melawan infeksi. Buah-buahan bisa
dimakan secara langsung atau bisa dibuat jus sebagai minuman. Pasien
TBC bisa memakan jenis buah-buahan yang disuka, tidak ada pantangan.

Idealnya, pasien TBC makan makanan utama sebanyak 3 kali dalam


sehari dan 2 kali makanan selingan di antara makanan utama. Makanan
selingan bisa berupa roti, susu, buah, salad sayur, dan makanan sehat
lainnya cukup dalam porsi kecil.

6. Vitamin A, E, C
Beberapa makanan terbaik untuk penderita TBC termasuk buah dan
sayuran berwarna kuning-oranye seperti jeruk, mangga, pepaya, labu
manis, dan wortel yang kaya akan vitamin A, sementara Vitamin C
ditemukan dalam buah-buahan segar seperti jambu biji, jeruk , tomat,

12
jeruk nipis, lemon, dan capsicum. Vitamin E biasanya dapat ditemukan
dalam bibit gandum, kacang-kacangan, biji-bijian dan minyak nabati.

7. Vitamin B-kompleks:
Sebagian besar vitamin B kompleks dapat ditemukan dalam sereal dan
kacang-kacangan utuh, kacang-kacangan dan biji-bijian. Untuk non-
vegetarian, B kompleks dapat diperoleh dari telur, ikan (terutama ikan
laut seperti salmon, tuna, mackerel dan sarden), ayam, dan daging tanpa
lemak.

8. Selenium dan seng:


Kacang brazil adalah sumber selenium terbaik. Jamur dan sebagian besar
kacang-kacangan dan biji-bijian, termasuk biji bunga matahari, biji chia,
biji labu, wijen dan rami, juga merupakan sumber selenium dan seng
yang baik. Pilihan non-vegetarian dapat termasuk tiram, ikan, dan ayam.

 Diet TBC dengan sumber lemak

Pada diet TBC yang lebih ditekankan di sini adalah asupan tinggi
energi dan protein. Namun, perlu juga mengonsumsi makanan sumber
lemak, tapi dalam batas normal. Pilihlah asupan makanan yang mengandung
lemak tidak jenuh daripada lemak jenuh atau lemak trans. Sebisa mungkin,
sebaiknya batasi konsumsi makanan yang mengandung lemak trans (dari
gorengan atau fast food).

Lemak tidak jenuh bisa didapatkan dari konsumsi minyak ikan,


kacang-kacangan, dan minyak zaitun. Saat memilih daging atau susu,
sebaiknya pilih daging yang tidak berlemak dan susu yang rendah lemak.
Juga, kurangi konsumsi makanan yang digoreng dan mengandung santan,
terlebih lagi jika pasien penderita TBC merasa mual.

Bahan Makanan Yang Dianjurkan Dan Yang Tidak Dianjurkan

13
Bahan Makanan Dianjurkan Tidak dianjurkan
Sumber Karbohidrat Nasi, beras dibubur/ Beras ketan, beras
ditim, kentang rebus, tumbuk/ merah, roti
roti, mie, makaroni, dan whole wheat, jagung,
hasil olah tepung- ubi, singkong, talas,
tepungan lain seperti tarcis, dodol dan kue-
krekers, cake, puding, kue lain yang manis
dan pastry. Karbohidrat dan gurih.
sederhana: gula pasir
Sumber Protein Daging sapi, ayam, ikan Daging berserat kasar
Hewani direbus, ditumis, (liat) serta daging, ikan,
diungkep, dipanggang, ayam yang diawet,
telur direbus, ditim, digoreng; Daging babi;
diceplok, didadar, susu Dimasak dengan
dan hasil olahan seperti banyak minyak
keju dan yoghurt kelapa/santan kental
custard dan es krim
Sumber Protein Nabati Semua jenis kacang- kacang merah serta
kacangan dan hasil kacang-kacangan
olahannya seperti kering seperti kacang
tempe, tahu ditim, tanah, kacang hijau,
direbus, ditumis, dan kacang kedelai, dan
pindaknas kacang tolo; Dimasak
dengan banyak minyak
kelapa/santan kental
Sayuran Semua jenis sayuran sayuran berserat tinggi
terutama rendah serat seperti daun singkong,
dan sedang, terutama daun katuk, daun
jenis seperti bayam, papaya, daun dan buah
buncis, kacang panjang, melinjo, oyong, pare
labu siam, tomat, dan serta semua sayuran
wortel direbus, dikukus, yang dimakan mentah.

14
ditumis
Buah-buahan Semua jenis buah- Buah-buahan yang
buahan segar yang dimakan dengan kulit,
matang (tanpa kulit dan seperti apel, jambu biji
biji) dan tidak banyak dan pir serta jeruk yang
menimbulkan gas dimakan dengan kulit
seperti pepaya, pisang, ari; buah yang
jeruk, alpukat, dan menimbulkan gas
nanas. seperti, nanas,
kedondong, durian,
nangka.
Bumbu Bumbu yang tidak Bumbu yang tajam
tajam seperti garam, seperti cabe, merica,
salam, bawang merah, cuka
bawang putih, laos,
kunyit, dan kecap
Lemak dan minyak Minyak goreng, minyak untuk
mentega, margarine, menggoreng, lemak
dan santan encer dalam hewani, kelapa dan
jumlah terbatas santan.
Minuman Teh encer Kopi dan teh kental;
minuman yang
mengandung soda dan
alcohol.

 Yang harus dihindari oleh penderita TBC :

Intinya adalah menerapkan pola hidup sehat dengan mengonsumsi


berbagai macam makanan sehat, melakukan olahraga teratur, mendapatkan
waktu tidur yang cukup, dan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruk.
Yang tidak kalah penting adalah selalu rutin mengonsumsi obat yang
diresepkan oleh dokter.

15
Beberapa kebiasaan yang harus dikurangi atau hindari saat menderita TBC
adalah:

 Batasi konsumsi minuman berkafein, seperti kopi, dan minuman bersoda


 Batasi konsumsi makanan dengan lemak tinggi, seperti daging berlemak
dan jeroan
 Hentikan kebiasaan merokok dan jauhi asap rokok. Rokok dapat
memperburuk kondisi paru-paru Anda.
 Hentikan juga kebiasaan minum alkohol. Alkohol dapat meningkatkan
risiko kerusakan hati, selain dari beberapa obat yang dikonsumsi untuk
mengobati TBC.

Edukasi gizi secara umum yang diberikan kepada keluarga pasien TBC
adalah sebagai berikut:
1. Makan dengan porsi kecil tapi sering untuk mencegah sesak. Pada awal
fase intensif pengobatan, pasien TB mungkin masih mengalami batuk dan
ketidaknyamanan dalam bernafas yang berdampak pada tingkat penerimaan
makanan. Dosis obat fase intensif yang masih cukup tinggi seringkali
menimbulkan rasa mual pada pasien. Frekwensi makan mulai dari 4 kali – 6
kali per harinya dengan porsi yang kecil sesuai dengan toleransi pasien
dengan tambahan 3 kali makanan selingan.
2. Makan makanan yang mengandung 2. kalori dan protein tinggi. Protein
diberikan setiap kali makan 2 porsi masing-masing untuk hewani dan nabati.
Anjuran untuk konsumsi putih telur dan segelas susu setidaknya 2 kali
sehari (siang dan sore hari). Anjuran untuk mengkonsumsi protein dengan
nilai biologiktinggi.
3. Memperhatikan jarak antara obat dan 3. makanan, karena dapat
mempengaruhi bioavailabilitas isoniazid dan rifampisin dalam regimen
terapi TB, setidaknya diberikan jarak 30 menit - 1 jam setelah
meminumobatFixedDrugCombination (FDC) di pagi hari baru kemudian
sarapan. 4.

16
4. Meningkatkan asupan buah dan sayuran yang banyak mengandung
mikronutrien yang dibutuhkan seperti yang banyak mengandung vitamin A,
C dan zinc.
5. Asupan cairan setidaknya 10-12 gelas
air putih untuk memenuhi kebutuhan 5. cairan yang harus terpenuhi saat
sakit
dan menjaga fungsi klirens ginjal terhadap obat-obatan TB juga.

17
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
 Tuberculosis (TBC) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
basil/kuman TBC (Micobacterium Tuberkulosis), yang sebagian
menyerang paru-paru dan bagian tubuh lainnya.
 Diet untuk penderita TBC harus mencukupi kebutuhan gizi yang
seimbang yang bertujuan untuk menjaga berat badan dan juga untuk
memperkuat sistem kekebalan tubuh penderita.
 Penyakit TBC biasanya menular melalui udara yang tercemar dengan
bakteri Mikobakterium tuberkulosa yang dilepaskan pada saat penderita
TBC batuk, dan pada anak-anak sumber infeksi umumnya berasal dari
penderita TBC dewasa.
 Cara pencegahan penularan penyakit TBC yaitu dengan menerapkan
pola hidup sehat, menjaga pola makan serta memisahkan dan mencuci
barang yang digunakan oleh penderita TBC.

3.2 Saran
Diharapkan agar masyarakat lebih meningkatkan pengetahuan
mengenai kesehatannya, terlebih mengenai penyakit tuberkulosis, karena
penularan tuberkulosis sangat mengancam kesehatan tubuh. Peningkatan
konsumsi zat gizi makro dapat dilakukan dengan cara pemberian makanan
jenis apapun yang paling disukai, terutama makanan yang mengandung
tinggi energi dan protein dengan porsi kecil tetapi sering. Meskipun
mengalami penurunan nafsu makan, akan tetapi kebutuhan energi dan zat
gizi harus tetap terpenuhi agar tidak memperberat infeksi penyakitnya, demi
tercapainya kesehatan yang optimal dalam mencegah terjadinya morbiditas
dan mortalitas akibat infeksi tuberkulosis.

18
DAFTAR PUSTAKA

 Indah, Marlina. 2018. Tuberkulosis (Dicari Para Pemimpin Untuk


Dunia Bebas TBC). Jakarta Selatan : Kementerian Kesehatan RI Pusat
Data dan Informasi

 Nursuhud, Fajar. 2014. Penatalaksaan Diet Pada Tuberkulosis Paru.


Jakarta : STIS Jakarta

 Rina Wasesa, Aprilia Lazulfa dkk. 2016. Tingkat Kecukupan Zat Gizi
Makro dan Status Gizi Pasien Tuberkulosis dengan Sputum BTA (+)
dan Sputum BTA (-). Surabaya : Universitas Airlangga

 Susilawati, Made Dewi dkk.2019. Asupan Zat gizi Makro dan Mikro
Penderita Tuberkulolosis Paru Rawat Jalan Sebelum dan Sesudah
Terapi Fase Intensif Disertai Konseling Gizi. Jawa Barat : National
Institute of Health Research and Development, Ministry of Health of
Republicof Indonesia

 Susilawati, Made Dewi dkk.2019. Penerapan Batuk Efektif Dalam


Mengeluarkan Sekret Pada Pasien Tuberkulosis Dalam Pemenuhan
Kebutuhan Oksigenasi Di Keluarga. Yogyakarta : Politeknik Kesehatan
Yogyakarta

 Safitri, Asrini. 2018. Nutrisi Pada Pasien Tuberculosis Dengan


Geriatri Disertai Gizi Buruk. Makassar : Universitas Muslim Indonesia

19

Anda mungkin juga menyukai