INFEKSISEPSIS
Frans JV Pangalila
S elang tiga dekade terakhir ini angka kejadian Sepsis masih cukup tinggi,
dilaporkan melampaui angka kejadian gagal jantung dan bahkan untuk
angka kematian pertahun lebih tinggi dibanding kasus infark miokard akut.
Walaupun penanganan sepsis sejak 15 tahun terakhir semakin membaik tetapi
masih merupakan penyebab utama kematian pada penyakit kritis dengan angka
mortalitas diantara 30-50%. Disamping itu, menurut laporan healthcare cost and
utilization project selang tahun 2001-2007 biaya rawat rumah sakit akibat
infeksi/sepsis meningkat 25% dengan kumulatif mencapai 12.3 juta USD di
tahun 2007(17). Dalam mengatasi keadaan ini diperlukan bukan saja pengadaan
obat obat baru tetapi memperbaiki kualitas prosedur diagnosis agar
penatalaksanaan yang tepat terhadap infeksi-sepsis dilakukan lebih dini. Dalam
keseharian para klinisi sering dihadapi dengan kesulitan untuk membedakan
antara systemic inflammatory responds syndrome (SIRS) dengan sepsis,
terutama pada penyakit kritis sering ditemukan gejala SIRS yang bukan
disebabkan oleh faktor infeksi, misalnya acute respiratory distress syndrome
akan memberikan gejala gangguan respirasi disertai gambaran infiltrat baru
pada paru, demam dan lekositosis, keadaan yang mirip dengan pneumonia
bakterial. Umumnya, dilakukan prosedur diagnostik melalui pemeriksaan
sputum gram tetapi hasilnya sering sulit untuk membedakan antara kontaminasi,
kolonisasi atau infeksi sedangkan pemeriksaan mikrobiologi (biakan kuman)
untuk mendapatkan hasilnya harus menunggu rerata empat hari (time
consuming). Banyak data mendukung bahwa pemberian secara dini antibiotik
yang tepat akan menurunkan mortalitas secara bermakna tetapi disisi lain di
perlukan suatu keseimbangan dimana penggunaan antibiotik secara berlebihan
(overused antibiotic) harus dihindari untuk mencegah meningkatnya resistensi
antibiotik yang disebabkan oleh kuman multidrug resistance patogen. Walaupun
penuh dengan perdebatan, dua dekade terakhir ini para ahli memberikan
perhatian khusus terhadap penggunaan biomarker sebagai metoda untuk
memperbaiki diagnosis infeksi. Selain diagnostik, saat ini dihadapi pula dengan
30
permasallahan dalam pemantauan ke k efektifan terhadap
t penggobatan, misaalnya
respons infeksi terhhadap pemberrian antibiotiik yang dibberikan. Kaskkade
inflamassi mempunyaai peran sentrral terhadap interaksi anttara tubuh (hhost)
dengan mikroorganissme patogen serta mekaniisme kontrol terhadap inffeksi
sehinggaa mediator inflamasi
i inii dapat juga digunakan sebagai petaanda
terhadapp respons peengobatan. Oleh O karena itu,
i biomarkeer di definisiikan
sebagai sesuatu yangg dapat diukkur secara obbjektif dan diievaluasi sebagai
indikatoor proses paatogenik dann biologik yang normaal atau resppons
farmako ologis terhadap pengobattan, sehinggaa biomarker harus memennuhi
tahapan validasi (mem mpunyai kekaarakteristikan, terstandarisassi dan akurat) dan
kualifika
asi (terintegraasi dengan keadaan
k kliniss serta prosees patologi yang
y
(4,10,13,18)
mendasaari). . Dengan
D menggintegrasikan anamnesis,
a p
pemeriksaan f
fisik
yang baaik disertai penggunaan metoda diagnostik tradiisionil atau non
spesifik dibantu denngan pengguunaan biomarker diharapkan penangaanan
masalah h infeksi-sepsis akan lebihh baik,walauppun saat ini belum b didapattkan
biomark ker yang ideaal tetapi setiddaknya dapatt memenuhi beberapa b kritteria
(4,18)
dibawah h ini :
31
Lekosit : netrofil/limfosit
Lekosit diproduksi dalam sumsum tulang kemudian mengalami
“discharge” ke sistem vaskular dan terbagi dalam dua kelompok yaitu
marginal (subendotel/perivaskular) dan sirkulasi, sebagian akan terdistribusi
kedalam jaringan, proses ini disebut leukodiapedesis. Salah satu penyebab
penting leukodiapedesis adalah adanya faktor chemotaxis-adhesion molecule
yang terkait dengan respons fisiologik sistem imun tubuh, yaitu ditandai
dengan pergerakan lekosit kearah konsentrasi sumber chemotaxis (misalnya;
faktor komplemen,lipopolysaccharide-endotoksin, alarmins/heat shock protein)
yang lebih tinggi (lihat gambar 1)(10). Secara morfologi lekosit dibagi 2
kelompok: lekosit bergranular (eosinofil, basofil, netrofil) dan lekosit non-
granular (limfosit, monosit). Pada individu yang sehat jumlah lekosit dalam
sirkulasi relatif stabil dengan komposisi : netrofil 60% (50%-70%) eosinofil
3% (0%-5%) basofil 0.5% (0%-2%) monosit 5% (0%-9%) dan limfosit 30%
(20%-40%). Seperti yang telah diutarakan sebelumnya perubahan dari nilai
normal ini sangat ditentukan oleh respons imun fisiologik terhadap beberapa
stress faktor, misalnya kerusakan jaringan, trauma, pembedahan mayor, luka
bakar dan sindroma sepsis yang ditandai dengan netrofilia dan limfopenia(10).
Zahorec (2001) menyimpulkan bahwa rasio Netrofil dan limfosit (Neutrophil-
Lymphocyte Count Rasio/NLCR) lebih besar 6 mengindikasikan infeksi berat
atau sistemik inflamasi (nilai normal netrofil < 75%, limfosit > 15%, nilai
normal rasio netrofil/limfosit 75 : 15 = 5)(21).
32
Gambar 1: Lekodiapedesis, pergerakan Lekosit kearah konsentrasi sumber
chemotaxis yang lebih tinggi (leukodiapedesis) untuk mengawali, misalnya suatu
proses fagositosis (10).
33
Tabel 1 : Petanda Infeksi antara Kelompok Kohor dan Kontrol (3)
34
sebagai biomarker dikarenakan konsentrasi sangat meningkat 4 hingga 6 jam
setelah merespons terhadap inflamasi, mengalami duplikasi konsentrasi setiap 8
jam dan puncaknya pada 36 hingga 50 jam kemudian dengan half life yang
pendek sekitar 19 jam, sifat kinetik ini yang kurang menguntungkan sebagai
biomarker bila dibandingkan dengan procalcitonin yang lebih konsisten(10,18).
Walaupun mempunyai banyak keterbatasan beberapa penelitian membuktikan
bahwa peningkatan bermakna serum CRP terjadi pada infeksi dan sepsis,
terutama pada 24 jam pertama sejak timbulnya gejala SIRS. Paran dkk
(2009) menyimpulkan bahwa CRP velocity (CRPv) dapat membedakan
acute febrile disebabkan oleh bakteria atau non bakteria terutama bila nilai
konsentrasi absolut CRP masih < 100 mg/L. CRPv didefinisikan sebagai
konsentrasi CRP dalam plasma pada saat demam akut dibagi lamanya riwayat
demam dalam satuan jam, menggunakan nilai cutt off > 1.08 mg/L/jam
didapatkan sensitifitas 88% dan spesifisitas 70% dalam mendeteksi bakteremia
sebagai penyebab demam (lihat tabel 2)(16). Demikian pula, Coelho dkk (2012)
melalui CRP rasio dapat mendeteksi dini akan kemungkinan prognosis jelek
dari suatu pneumonia komunitas yang berat serta menilai ketidak adekuatan
antibiotik yang digunakan. CRP rasio didefinisikan sebagai perbandingan
konsentrasi CRP hari kelima dan pertama, bila < 0.4 menunjukan respons
cepat sedangkan respons lambat bila CRP rasio hari ke lima > 0.4 tetapi hari ke
tujuh nilai CRP rasio < 0.8 sedangkan dikatakan tidak respons terhadap
pengobatan bila CRP rasio > 0.8 pada hari ke tujuh dan bila dikaitkan
dengan angka presentasi mortalitas maka disimpulkan : respons cepat 4.6%,
respons lambat 17.3% dan tidak respons (no responds) 36.4% (p < 0.001)
(lihat gambar 3) (2)
35
Tabel 2: perbandingan parameter antara demam bakterial dan non bakterial
dengan konsentrasi plasma CRP < 100 mg/L
CRPv 1.08 mg/L/jam atau lebih menunjukan sensitifitas 88% dan spesifitas
70% untuk mendiagnosis demam yang disebabkan oleh infeksi bakteri (16).
Gambar 3: Perjalanan waktu CRP rasio dari ke tiga pola kurva respons untuk
memprediksi outcome serta keefektifan antibiotik selama tujuh hari
pengobatan
CRP rasio hari ke lima dapat memperlihatkan perbedaan bermakna dari ketiga
pola kurva yaitu: respons cepat 0.23, respons lambat 0.74 dan tidak
berespons 1.47 ( p < 0.001) (2)
36
Procalcitonin (PCT)
PCT adalah propeptida dari calcitonin yang terdiri dari rangkaian 114
hingga 116 asam amino yang terpapar pada seluruh sel parenkim dalam tubuh.
Walaupun secara klasik, PCT merupakan suatu neurohormonal yang
dihasilkan oleh kelenjar tiroid dan berperan dalam hemostasis calcium tubuh
tetapi PCT merupakan salah satu dari beberapa prekursor calcitonin yang
terlibat dalam respons sistem imun tubuh sehingga disebut hormokine. Sifat
hormokine dari PCT ini akan memberikan respons terhadap berbagai macam
proses inflamasi dalam tubuh seperti syok kardiogenik, trauma,
pembedahan, luka bakar, pankreatitis necrotizing dan infeksi (lihat gambar
4)(18)
37
Diawali inflamasi infeksi, PCT akan terdeteksi 2-4 jam (lebih awal
dibanding CRP) kemudian dengan konsentrasi puncak pada 14-24 jam dan
half life sekitar 22-35 jam. PCT mempunyai beberapa keterbatasan seperti
misalnya pada sepsis disertai kanker dan lekopeni akan didapatkan
konsentrasi PCT yang rendah, gangguan ginjal dengan atau tanpa
hemodialisis konsentrasi PCT tidak dapat memberikan informasi akurat
(nilai false positif atau negatif yang tinggi) atau penyakit autoimun
(sindroma Kawasaki) akan didapatkan nilai PCT yang tinggi tanpa disertai
infeksi. Walaupun demikian, semakin banyak literatur mendukung peranan
PCT sebagai petanda khusus untuk infeksi bakteria bahkan untuk tampilan
klinis dapat membedakan antara sepsis dan SIRS (tabel 3) dimana
konsentrasi PCT yang sangat tinggi didapatkan pada syok septik (12)
38
Gambar 5: nilai awal PCT pada CAP, HAP terutama VAP dapat memprediksi
akan kemungkinan survivor atau non surviver (1).
*p < 0.05 (surviver vs non-surviver) #p < 0.05 (bonforreni corrected) dibanding VAP
- CAP community-acquired pneumonia HAP hospital-acquired pneumonia VAP ventilator-
associated pneumonia
39
Gambar 6: Pedoman penggunaan PCT pada penderita kecurigaan Sepsis (14)
* Interpretasi hasil PCT harus disesuaikan dengan tampilan klinis penderita
#
perlu menyingkirkan penyebab peningkatan PCT yang disebabkan non - infeksi : trauma,
mayor surgery dan luka bakar
40
Triggering Receptor Expressed on Myeloid Cells -1 (TREM-1)
TREM-1 adalah kelompok imunoglobulin superfamily yang akan
disekresi saat sel fagosit (netrofil dan makrofage) terpapar oleh bakteri atau
jamur. Diawali dengan interaksi toll-like receptor (TLR) pada sel fagosit
dengan mikroorganisme patogen melalui patogen associated molecular
patterns (PAMPs) akan mengaktifasi phosphatidylinositol - 3 kinase (PI3K)
sehingga terjadi upregulated TREM-1 pada membran permukaan sel efektor
diikuti dengan aktifasi signaling intraseluler melalui DAP12 untuk
menghasilkan sitokin-kemokin. TREM-1 akan terlepas dari permukaan sel
efektor, sebagian akan terikat sebagai trem-1ligand yang akan memodulasi
respons inflamasi dan sebagian akan bebas dalam cairan tubuh sebagai soluble
TREM-1 (sTREM-1) untuk digunakan sebagai petanda diagnosis infeksi (lihat
gambar-8)(18). Gibot S dkk melakukan penelitian prospektif pada penderita
dengan mekanikal ventilasi disertai kecurigaan pneumoni, melalui cairan BAL
dilakukan pemeriksaan sTREM-1 dan hasilnya menunjukan indikator yang
baik untuk mendiagnosis pneumonia (sensitifitas 98%; spesifitas 90% dengan
cutt-off > 5 pg/mL). Dari kelompok yang sama melakukan perbandingan antara
sTREM-1 dengan PCT dan CRP dan hasil penelitian ini menunjukan bahwa
sTREM-1 sebagai petanda diagnostik mempunyai hasil yang lebih baik
(sensitifitas 96%; spesifitas 89% dengan cutt-off > 60 ng/mL) dibanding PCT
dan CRP untuk membedakan SIRS dari sepsis atau syok septik (lihat tabel-4)(8,9)
41
Tabel 4: Perbandingan uji diagnostik (sTREM-1, PCT, CRP) untuk memprediksi
terjadinya infeksi menurut kriteria ACCP/SCCM*
*penderita infeksi (n= 47) dengan diagnosis sepsis, sepsis berat atau syok septik dan
penderita non-infeksi (n = 29) dengan diagnosis systemic inflammatory response syndrome
kausa non-infeksi (sebagai kontrol)(9).
- ACCP : American College of Chest Physician / SCCM : Society Critical Care Medicine
Interleukin-6 (IL-6)
Respons sitokin inflamasi seperti TNF-α, IL-1β, IL-8 dan IL-6 akibat
adanya mikroorganisme patogen atau kerusakan jaringan host akan
menimbulkan SIRS dan kegagalan multi-organ. IL-6 diinduksi oleh TNF-α
mempunyai waktu paruh yang panjang merupakan mediator penting pada
42
syok septik dan sejak lama diketahui dapat memprediksi tingkat keparahan
serta perlangsungan dari syok septik. Dari beberapa penelitian membuktikan
bahwa penggunaan IL-6 sebagai petanda diagnostik dan prognostik
sangatlah rasionil walaupun tidak sebaik procalcitonin. Oda S dkk (2005)
menunjukan bahwa konsentrasi plasma IL-6 sangat tinggi (660.000 pg/mL)
pada syok septik dibanding tiga kelompok lainnya yaitu SIRS, sepsis dan sepsis
berat (p < 0.001) (lihat gambar 9). Demikian pula nilai rerata IL-6 pada hari ke 3
( > 1000 pg/mL) lebih tinggi secara bermakna pada kelompok non-survivors
dibanding survivors (p < 0.05) (lihat gambar 10) (15).
Gambar 9: Perbandingan konsentrasi plasma IL-6 antara SIRS, sepsis, sepsis berat
dan syok septik saat masuk ICU. Mean ± SD (15)
43
Gambar 10 : Perbandingan perubahan rerata plasma IL-6 terutama dihari ke 3 rawat
ICU antara kelompok survivor dan non-survivor. Mean ± SD (15)
RINGKASAN
Walaupun saat ini penanganan sepsis semakin membaik tetapi masih
merupakan penyebab kematian utama pada penyakit kritis dengan angka
kematian antara 30-50%. Dalam keseharian para klinisi sering dihadapi
beberapa pertanyaan seperti apakah pasien saya terinfeksi, dimana sumber
infeksinya dan kuman apa penyebab infeksi dan tidak jarang dalam praktek
klinik sulit membedakan antara sepsis dan sepsis like syndrome.
Konsekuensinya, akibat ketidak jelasan ini diberikan antibiotik tanpa alasan
yang kuat karena hanya didasari oleh ketakutan akan kemungkinan dan
kecurigaan adanya infeksi yang mendasari. Banyak data yang mendukung
bahwa pemberian antibiotik secara dini yang tepat akan menurunkan
mortalitas secara bermakna tetapi disisi lain di perlukan suatu keseimbangan
44
dimana penggunaan antibiotik secara berlebihan (overused antibiotic) harus
dihindari untuk mencegah meningkatnya resistensi antibiotik. Dua dekade
terakhir ini para ahli memberikan perhatian khusus terhadap penggunaan
biomarker sebagai metoda untuk memperbaiki diagnosis infeksi. Kaskade
inflamasi mempunyai peran sentral terhadap interaksi antara tubuh (host)
dengan mikroorganisme patogen serta mekanisme kontrol terhadap infeksi
sehingga mediator inflamasi ini dapat juga digunakan sebagai petanda
diagnostik termasuk penilaian terhadap respons pengobatan. Melalui
penulisan ini telah dibahas beberapa petanda atau biomarker infeksi (lekosit,
CRP, PCT, sTREM-1 dan interleukin-6), walaupun hingga saat ini tidak ada
biomarker yang sempurna masing masing mempunyai keterbatasan. Oleh
karena itu peran klinisi sangatlah penting dalam mengambil keputusan tetapi
setidaknya dengan bantuan biomarker didukung dengan pemeriksaan klinis
yang baik serta pemeriksaan laboratorium penunjang lainnya maka
penatalaksanaan infeksi-sepsis akan semakin baik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bloos F, Marshal J et al. Multinational, observational study of procalcitonin in
ICU patients with pneumonia requiring mechanical ventilation : a multicenter
observational study. Critical Care 2011;15:2-9
2. Coelho L, Salluh J et al. Patterns of c-reactive protein Ratio response in severe
community-acquired pneumonia: a cohort study. Critical Care 2012;16:2-8
3. de Jager, van Wijk P et al. Lymphocytopenia and neutrophil-lymphocyte count
ratio predict bacteremia better than conventional markers in an emergency care
unit. Critical Care 2010;14:2-8
4. Dellinger P, Carlet J et al. Sepsis Handbook-biomeriux;september 2007
5. Dellinger P, Levy M et al. Surviving Sepsis Campaigne : International
guidelines for management of severe sepsis and septic shock 2012. Critical
Care Medicine 2013; 41: 580-637
6. de Veyver A, Delport E et al. The correlation between C-reactive protein and
toxic granulation of neutrophils in peripheral blood. South African Medicine J
2010;100: 442-444
7. Gibot S, Craivosy A et al. Time-course of sTREMS-1, procalcitonin, C-reactive
protein plasma concentrations during sepsis. Crit Care Med 2005; 33: 792-796
8. Gibot S, Levy B et al. Soluble triggering receptor expressed on myeloid cells
and the diagnosis of pneumonia. N Engl J Med 2004; 350:451-458
9. Gibot S, Sarda K et al. Plasma level of a triggering receptor expressed on
myeloid cells-1: its diagnostic accuracy in patients suspected sepsis. Ann Intern
Med 2004;141:9-15.
45
10. Hammoudi D. Hematology notes. Blood/Hematology.
HTTP://sinoemedicalassociation. or/AP2/ : 1-94
11. Harbarth S, Holeckova K et al. Diagnostic value of procalcitonin, Interleukin-6
and Interleukin-8 in Critically Ill patients admitted with suspected sepsis.
AJRCCM 2001;164:396-402.
12. Konrad R, Meisner M et al. Biomarkers incritically Ill patient : Procalcitonin.
Crit Care Clinics 2011;27:253-263.
13. Mc Culloh R. Biomarkers in Sepsis and Severe Infection : Where Immunology
Meets Diagnostics.Editorial. J Immunodeficiency and Disorders 2012;1:1-2
14. Meisner M. Procalcitonin-Biochemistry and Clinical Diagnosis 2010. UNI-
MED Verlag 1ed – Bremen :7-122
15. Oda S, Hirasawa H et al. Sequential measurement of IL-6 blood levels in
patients with systemic inflammatory responds syndrome(SIRS)/sepsis. Cytokin
2005; 29:169-175.
17. Paran Y, Yablecovitch D et al.C-reactive protein velocity to distuingish febrile
bacterial infections from non-bacterial febrille illnesses in the emergency
department. Crit Care 2009;13:1-8
18. Povoa P, Salluh J et al. Biomarker-guided antibiotic therapy in adult critically ill
patients: a critical review. Annals of Intensive Care 2012;2:1-9
19. Ventetuolo C, Levy M. Biomarkers : Diagnosis and Risk Assessment in Sepsis.
Clincal Chest Med 2008;29:591-603
20. Tejera A, Santolaria F et al. Prognosis of community acquired pneumonia :
value of triggering receptor expressed on myeloid cells-1(TREM-1) and other
mediators of the inflammatory response. Cytokine 2007;38:117-123
21. Muller B, Mikael G et al. Circulating levels of soluble triggering receptor
expressed on myeloid cells (sTREM)-1in community acquired pneumonia. Crit
Care Med 2007;35:990-991
22. Zahorec R. Clinical report : Ratio of neutrophil to lymphocyte counts-rapid and
simple parameter of systemic inflamation and stress in critically ill. Bratislava
Lek Listy 2001;102:5-14.
46