Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH KEPERAWATAN KRITIS

KONSEP BANTUAN HIDUP LANJUT

DAN PRAKTEK RJP

DOSEN PEMBIMBING :

Ns. EFA TRISNA, S.Kep., M.Kes

DISUSUN OLEH :

ENI RAHMAWATI 1914401019

DESTIA PERMATA 1914401041

HENDY ARDIANSYAH 1914401013

EVAMIA INDAH P 1914401030

NOPI SETIA NINGSIH 1914401007

POLTEKKES TANJUNG KARANG


JURUSAN DIII KEPERAWATAN TANJUNG KARANG

TAHUN AJARAN 2021/2022


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat pada waktu nya. Shalawat
beserta salam tak lupa pula kita hadiahkan kepada nabi besar kita yakni nya nabi besar
Muhammad SAW.

Makalah ini penulis buat untuk melengkapi tugas mata kuliah Keperawatan Kritis.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan makalah ini. Semoga menjadi ibadah dan
mendapatkan pahala dari Allah SWT. Amin.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca, demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan
supaya kita selalu berada di bawah lindungan Allah SWT.

Bandar Lampung, 25 Juli 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................................. ii

DAFTAR ISI........................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang............................................................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah...................................................................................................... 1

1.3 Tujuan........................................................................................................................ 1

BAB II ISI

1. Pengertian Bantuan Hidup Lanjut.................................................................................. 2

2. Obat – obatan dan Cairan.............................................................................................. 2

3. Electrocardiography....................................................................................................... 5

4. Resusitasi Jantung Paru................................................................................................. 8

BAB III PENUTUP

1. Kesimpulan.................................................................................................................. 10

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kedaruratan medis yang dapat mengancam nyawa biasa terjadi dimana saja, kapan saja,
dan bisa menimpa siapa saja. Keadaan ini dapat disebabkan oleh suatu penyakit ataupun
akibat kecelakaan lalu lintas, tenggelam, keracunan, dan lain-lain. Keadaan ini sangat
membutuhkan pertolongan segera sejak di tempat kejadian, selama transportasi, sampai
pasien diserahkan kepada petugas kesehatan di rumah sakit. Berbagai kasus kedaruratan
medis yang sering dijumpai meliputi sumbatan jalan napas, henti nafas, syok, henti
jantung. Kasus tersebut dapat teratasi apabila dilakukan tindakan resusitasi sesegera
mungkin. Resusitasi yang harus dipertimbangkan dalam setiap kasus kedaruratan medis
adalah resusitasi jantung- paru.1
Resusitasi jantung-paru (RJP) adalah suatu usaha kedokteran gawat darurat untuk memulihkan
fungsi respirasi dan/atau sirkulasi pada pasien yang masih memiliki harapan hidup. RJP dibagi
menjadi tiga tahapan, yaitu bantuan hidup dasar, bantuan hidup lanjut, dan bantuan hidup
jangka panjang.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah definisi dari Bantuan Hidup Lanjut (BHL) ?
2. Apa saja obat obatan dan cairan yang digunakan?
3. Apa itu EKG?
4. Bagaimana tata cara Resusitasi Jantung Paru?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui apa itu Bantuan Hidup Lanjut
2. Untuk mengetahui macam macam obat dan cairan yang digunakan
3. Untuk mengetahui apa itu EKG
4. Untuk mengetahui bagaimana cara Resusitasi Jantung Paru

1
BAB II
PEMBAHASAN

1. PENGERTIAN BANTUAN HIDUP LANJUT (BHL)

Bantuan Hidup Lanjut (BHL) merupakan tindakan yang dilakukan secara simultan
dengan bantuan hidup dasar dengan tujuan memulihkan dan mempertahankan fungsi
sirkulasi spontan sehingga perfusi dan oksigenasi jaringan dapat segera dipulihkan dan
dipertahankan. BHL memiliki tiga tahapan, yaitu terapi obat dan cairan,
electrokardiografi, dan terapi fibrilasi.

2. OBAT – OBATAN DAN CAIRAN

Dalam kasus henti jantung, terapi obat dan cairan merupakan terapi yang paling
penting setelah teknik kompresi dada dan defibrilasi. Walaupun terapi obat dan cairan
itu penting, pemberiannya jangan sampai mengganggu tindakan kompresi dada dan
ventilasi. Dalam melakukan terapi obat dan cairan tentunya harus dipikirkan juga jalur
masuknya obat dan cairan. Jalur yang sering digunakan dalam resusitasi adalah jalur
intravena dan intraosseous. Di bawah ini akan dijelaskan mengenai terapi obat dan
cairan yang meliputi jalur masuknya obat dan cairan dan jenis obat serta cairan yang
digunakan dalam bantuan hidup lanjut.

b. Jalur obat – obatan dan cairan

1. Jalur Intravena Perifer


Pemberian obat-obatan dan cairan melalui jalur intravena perifer sangat penting
untuk dilakukan. Tindakan ini harus dilakukan tanpa mengganggu kompresi, airway
management, atau terapi defibrilasi. Apabila sudah terdapat jalur vena sentral, maka
pemberian obat-obatan dan cairan lebih baik melalui jalur vena sentral. Jika belum
terpasang jalur vena sentral, pemasangan jalur vena perifer harus dilakukan
sesegera mungkin. Lokasi pemasangan jalur vena perifer yang dianjurkan adalah
vena antecubital, jugular eksternal, atau femoralis. Jika pemasangan jalur vena
perifer sulit untuk dilakukan, penyuntikan adrenalin pertama secara intravena dapat

2
dilakukan. Penyuntikan dilakukan menggunakan jarum kecil di vena perifer.
Pemberian obat melalui vena perifer kemudian harus dilanjutkan dengan
pemberian 20 ml bolus cairan dan atau elevasi ekstremitas yang terpasang kateter
selama 10-20 detik agar kerja obat dapat lebih dipercepat.
2. Jalur Intraosseous
Apabila kanulasi intravena sulit dilakukan, maka pemberian obat-obatan dan cairan
melalui jalur intraosseous dapat dilakukan, terutama pada anak-anak. Jalur
intraosseous ini merupakan jalur administrasi obat sementara selama resusitasi
terjadi. Setelah keadaan darurat teratasi, maka jalur intraosseous ini harus segera
diganti dengan jalur intravena, baik itu vena perifer atau vena sentral. Pemberian
obat-obatan melalui jalur ini akan sedikit lebih lambat dibandingkan dengan jalur
intravena sehingga dosis obat yang diberikan harus sedikit lebih banyak
dibandingkan dengan dosis yang dianjurkan dalam pemberian melalui jalur
intravena. Jalur intraosseous tidak dapat digunakan terus menerus sebagai jalur
untuk pemberian obat dan cairan karena dapat meningkatkan resiko terjadinya
osteomyelitis dan sindrom kompartemen. Sehingga sesegera mungkin harus
dipindah ke jalur intravena.
3. Jalur Endotrakeal
Pemberian obat melalui jalur intrapulmonum ini memiliki kecepatan yang kurang
efektif dibanding jalur intravena atau intraosseous serta jumlah obat yang masuk
secara sistemik melalui jalur ini tidak konsisten. Sehingga dosis yang diberikan 3-10
kali lebih banyak dibanding dengan dosis yang dianjurkan untuk jalur intravena.
Obat-obatan tersebut kemudian dilarutkan dalam 10 ml normal salin. Obat-obatan
selain yang disebutkan sebelumnya tidak boleh diberikan melalui jalur endotrakeal
karena dapat menyebabkan kerusakan pada mukosa atau alveolar.
4. Jalur Intra Jantung
Pemberian obat intra jantung sudah tidak dianjurkan selama RJP karena manfaat
yang sedikit namun memiliki resiko tinggi terjadinya komplikasi. Jalur intra jantung
ini dapat menyebabkan pneumotoraks, cedera arteri koronaria, dan gangguan

3
kompresi jantung yang lama. Selain itu, jika penyuntikan obat tidak sengaja
mengenai otot jantung dapat menyebabkan disritmia intraktabel.
5. Jalur Intra Muskulus
Pemberian obat melalui jalur intra muskulus tidak dianjurkan pada tindakan
resusitasi atau kedaruratan karena absorpsi obat dalam otot dan lama kerja obat
tidak dapat ditentukan dan dikontrol dengan baik. Jalur intra muskulus juga tidak
dapat digunakan untuk pemberian terapi cairan.
6. Jalur Vena Sentral
Jalur vena sentral sebaiknya dilakukan segera setelah kembalinya sirkulasi spontan
sehingga tekanan vena sentral dapat dikontrol. Nilai normal dari tekanan vena
sentral adalah 3-10 mmHg. Pembuluh vena yang biasanya digunakan untuk
pemasangan kateter vena sentral adalah vena kava superior melalui vena jugularis
interna kanan.

c. Obat-obatan
1. Adrenalin
Adrenalin atau epinefrin merupakan obat yang harus segera diberikan pada
pasien yang mengalami henti jantung selama kurang dari dua menit dan
disaksikan. Adrenalin termasuk golongan katekolamin yang bekerja pada
reseptor alfa dan beta sehingga menyebabkan vasokonstriksi perifer melalui
reseptor alfa adrenergik. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa
pemberian adrenalin dengan dosis tinggi pada penderita henti jantung dapat
memberikan perbaikan klinis (Return of Spontaneous Circulation)
dibandingkan dengan pemberian dengan dosis standar. Dosis yang diberikan
untuk dewasa adalah 0.5-1.0 mg secara intravena atau dapat diencerkan
dengan akuades menjadi 10 ml. Dosis yang digunakan pada anak- anak yaitu
10 mcg/kgBB.
2. Amiodaron
Amioidaron merupakan anti-aritmia yang memiliki efek pada kanal natrium,

4
kalium, kalsium, dan juga memblokade reseptor alfa dan beta adrenergik.
Amiodaron sendiri memiliki farmakokinetik dan farmakologik yang
kompleks. Penelitian menunjukkan bahwa pemberian amiodaron setelah
pemberian adrenalin dapat meningkatkan ROSC dibandingkan dengan tidak
diberikan amiodaron. Amiodaron diberikan kepada pasien dengan fibrilasi
ventrikel atau ventrikel takikardi tanpa nadi. Obat ini diberikan diantara
fibrilasi ketiga dan keempat pada pasien yang tidak merespon dengan
pemberian vasopressor dan terapi defibrillator.4 Dosis pemberian amiodaron
adalah sebagai berikut: 300 mg bolus untuk pemberian pertama kali dan
kemudian dapat ditambah 150 mg. Selanjutnya, pemberian amiodaron
dapat dilanjutkan dengan pemberian melalui infus dengan dosis pemberian
15 mg/kgBB selama 24 jam. Pemberian amiodaron ini juga dapat
dipertimbangkan sebagai profilaksis kambuhnya fibrilasi ventrikel atau
takikardi ventrikel. Amiodaron memiliki efek hipotensi dan
bradikardi, sehingga pemberiannya perlu diperhatikan.
3. Atropine
Atropine diindikasikan pada kasus bradikardia yang disertai dengan
hipotensi, ventricular ektopi, atau gejala yang berhubungan dengan iskemia
miokardium. Atropine juga dapat diberikan sebagai terapi pada second-
degree heart block, third-degree heart block, dan irama idioventricular
lambat. Atropin sering digunakan pada kasus henti jantung dengan
elektrokardiografi (EKG) asistol atau PEA.
Dosis yang direkomendasikan pada kasus bradikardia untuk dewasa adalah
0.5 mg IV setiap 3-5 menit dengan total dosis yang diberikan 3 mg. Untuk
anak- anak dapat diberikan dengan dosis 0.02 mg/kgBB dengan minimum
dosis 0.1 mg dan dosis maksimal 1 mg (anak-anak), 3 mg (remaja) yang dapat
diulang setiap 3- 5 menit.
4. Lidokain
Lidokain termasuk dalam golongan natrium channel blocker yang biasanya

5
digunakan sebagai alternatif anti-aritmia. Dosis pemberian lidokain dibagi
menjadi sebagai berikut: dosis awal diberikan 1 mg/kgBB bolus yang dapat
ditambah 0.5 mg/kgBB selama resusitasi. Pemberian infus lidokain untuk
ROSC tidak direkomendasikan. Efek samping dari pemberian lidokain adalah
bicara tidak jelas (slurred speech), penurunan kesadaran, kejang, hipotensi,
bradikardi, dan asistol.
5. Magnesium
Magnesium merupakan vasodilator dan berperan sebagai kofaktor dalam
regulasi natrium, kalium, dan kalsium melewati membrane sel. Magnesium
tidak dapat mengembalikan sirkulasi spontan pada pasien dengan henti
jantung dan juga tidak memberikan perbaikan klinis atau neurologis sehingga
pemberian magnesium tidak direkomendasikan. Dosis yang diberikan adalah
5 mmol magnesium yang dapat diulang 1 kali kemudian diberikan intravena
sebanyak 20 mmol/4 jam. Efek samping yang dapat ditimbulkan adalah dapat
menyebabkan lemah otot dan gagal napas pada penggunaan kalsium yang
berlebihan.
6. Natrium Bikarbonat
Pada kasus henti jantung, resusitasi jantung-paru yang efisien dan ventilasi
yang adekuat dapat mengurangi penggunaan natrium bikarbonat. Sebagian
besar penelitian menyatakan tidak ada keuntungan dari pemberian natrium
bikarbonat pada pasien henti jantung sehingga pemberian natrium
bikarbonat secara rutin pada pasien dengan henti jantung tidak
direkomendasikan. Dosis awal pemberian natrium bikarbonat adalah 1
mmol/kg yang diberikan selama 2-3 menit. Pemberian obat ini dilakukan
bersamaan dengan pemeriksaan analisis gas darah untuk memantau
koreksi asidosis metabolik, sehingga pemberian bikarbonat.

3. ELEKTROCARDIOGRAPHY (EKG)
Alat pantau elektrokardiografi (EKG) adalah alat pantau standar yang wajib disediakan

6
di masing-masing unit gawat darurat karena diagnostik henti jantung mutlak harus
ditegakkan melalui pemeriksaan EKG. Gambaran EKG sangat menentukan langkah-
langkah terapi pemulihan yang akan dilakukan.
1. Asistol Ventrikel
Asistol ventrikel merupakan ketiadaan denyut jantung dengan gambaran EKG yang
isoelektris. Paling sering disebabkan oleh hipoksia, asfiksia, dan blok jantung.

2. Pulseless Electrical Activity


PEA merupakan gambaran EKG yang sering ditemukan pada anak-anak dan
biasanya dikaitkan dengan prognosis yang buruk. PEA adalah suatu keadaan
dimana tidak terabanya denyut nadi ketika irama jantung masih terdeteksi oleh
EKG.
a. Disosiasi elektromekanik (EMD)

b. Irama Idioventrikular

c. Irama Ventricular Escape

7
3. Fibrilasi Ventrikel
Fibrilasi ventrikel merupakan keadaan gerak getar ventrikel jantung secara kontinu
dan tidak teratur sehingga tidak bisa memompakan darah ke seluruh tubuh.

4. Takikardi Ventrikel
takikardi ventrikel adalah ventrikular ekstrasistol yang timbul berurutan dengan
kecepatan >100 kali/menit.

4. RESUSITASI JANTUNG PARU


Selain harus cepat memulai resusitasi jantung paru (RJP), sangat penting juga bagi kita untuk
memahami cara melakukan resusitasi jantung paru yang berkualitas.

Syarat RJP dikatakan berkualitas adalah :

1. Kompresi di titik tengah dada dengan siklus 30:2 (30x kompresi, 2x napas buatan)
2. Kedalaman kompresi sekitar 5-6 cm
3. Kecepatan kompresi 100-120x/menit

Beri kesempatan dada untuk mengembang sempurna setelah kompresi. Interupsi minimal
Bebaskan jalan napas dengan posisi head tilt, chin lift (dahi didongakkan, dagu ditahan), atau

8
posisi jaw thrust(menahan tulang rahang) apabila curiga ada trauma leher. Berikan ventilasi
secara adekuat. Jika alat defibrillator sudah datang, segera lakukan cek irama dan kejut jantung
jika memungkinkan.

Langkah-langkah RJP

D = Danger yaitu pastikan keamanan penolong, pasien, lingkungan

R = Respon,cek kesadaran/respon korban, kemudian .

S = Shout, yaitu minta tolong

C = Circulation lakukan kompresi segera

A = Airway adalah membebaskan jalan napas

B = Breathing. Yaitu memberikan pernapasan buatan

9
BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN

Bantuan Hidup Lanjut (BHL) merupakan tindakan yang dilakukan secara simultan
dengan bantuan hidup dasar dengan tujuan memulihkan dan mempertahankan fungsi
sirkulasi spontan sehingga perfusi dan oksigenasi jaringan dapat segera dipulihkan dan
dipertahankan. BHL memiliki tiga tahapan, yaitu terapi obat dan cairan, electrokardiografi,
dan terapi fibrilasi.
Resusitasi jantung-paru (RJP) adalah suatu usaha kedokteran gawat darurat untuk
memulihkan fungsi respirasi dan/atau sirkulasi pada pasien yang masih memiliki harapan
hidup. RJP dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu bantuan hidup dasar, bantuan hidup lanjut,
dan bantuan hidup jangka panjang.

10
DAFTAR PUSTAKA

1. Emedicine.medscape.com. (2017). Pulseless Electrical Activity: Background,


Etiology, Epidemiology. [online] Tersedia di:
http://emedicine.medscape.com/article/161080-overview#a6 [Diakses 9 May
2017].
2. Mangku G dan Senapathi TG. Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Editor. Wiryana IM,
Sinardja IK, Sujana IBG, Budiarta IG. Jakarta: Indeks. 2010.
3. Safar P. Resusitasi Jantung Paru Otak. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
1984.

11

Anda mungkin juga menyukai