Anda di halaman 1dari 14

UNIVERSITAS TRISAKTI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


PROGRAM S1 AKUNTANSI

FRAUD AND FORENSIC AUDIT

“INVESTIGATIVE AUDIT TECHNIQUE (TEKNIK-TEKNIK AUDIT


INVESTIGASI)”
(BAB 15)

Disusun oleh:
Kelompok 2
Anggota:
1. Gita Suryandari (023002004506)
2. Adetya Maharani (023002004507)
3. Fyfhy (023002004509)
4. Kurnia Zailastri (023002004531)

TAHUN PELAJARAN 2020/2021


A. Investigatif dengan Tehnik Audit
Kata “investigasi” dalam akuntansi forensic umumnya berarti audit investigasi atau
investgatif (investigative audit). Karena itu secara alamiah, diantara beberapa tehnik investigasi
ada tehnik-tehnik yang berasal dari tehnik-tehnik audit (audit techniques).
Banyak auditor yang sudah berpengalamanpun, merasa ragu untuk terjun dalam bidang
investigasi. Padahal, tehnik-tehnik audit yang mereka kuasai, memadai untuk dipergunakan
dalam audit investigasi.
Tehnik audit adalah cara-cara yang dipakai dalam mengaudit kewajaran penyajian laporan
keuangan. Hasil dari penerapan tehnik audit adalah bukti audit. Ada tujuh tehnik, yang dirinci
dalam bentuk kata kerja bahasa Indonesia, dengan jenis bukti auditnya dalam kurung (kata benda
bahasa Inggris), yakni:
1. Memeriksa fisik (physical examination)
2. Meminta konfirmasi (confirmation)
3. Memeriksa dokumen (documentation)
4. Reviu analitikal (analytic review atau analytical review)
5. Meminta informasi lisan atau tertulis dari auditan (inquiries of the auditee)
6. Menghitung Kembali (reperformance)
7. Mengamati (observation)

Kalau tehnik-tehnik audit itu diterapkan dalam audit umum, maka bukti audit yang berhasil
dihimpun akan mendukung pendapat auditor independent. Dalam audit investigative, tehnik-
tehnik audit tersebut bersifat eksplorative, mencari “wilayah garapan”, atau probing (misalnya
dalam reviu analitikal) maupun pedalaman (misalnya dalam confirmation dan documentation).
Tehnik-tehnik audit relative sederhana untuk diterapkan dalam audit investigative.
Sederhana, namun ampuh. Tema kesederhanaan dalam pemilihan tehnik audit (termasuk audit
investigative).

B. Tehnik-Tehnik Audit
Ada tehnik audit yang lebih dekat kepada praktek investigasi perpajakan dan organized crime
(seperti Net Worth Method dan Expenditure Method); Ada juga tehnik audit seperti Follow the
Money, yang mempunyai unsure pencucian uang dalam tindak pidananya yang berkaitan erat
dengan naluri penjahat dan sangat dipengaruhi oleh teknologi informasi dalam
pengungkapannya. Meskipun semua (tujuh) tehnik audit yang disebutkan pembahasan akan
berfokus pada reviu analitikal.
a. Memeriksa Fisik (Physical Examination)
Memeriksa fisik atau physical examination lazimnya diartikan sebagai penghitungan uang
tunai (baik dalam mata uang rupiah atau mata uang asing), kertas berharga, persediaan
barang, aktiva tetap, dan barang berwujud (tangible assets) lainnya.
b. Mengamati (observation)
Mengamati sering diartikan sebagai pemanfaatan indera kita untuk mengetahui sesuatu.
Kalau kita melakukan kunjungan pabrik, kita melihat luasnya pabrik, peralatan yang ada,
kegiatan yang dilakukan, banyaknya dan beragamnya tenaga kerja. Kita juga mendengar
sesuatu, mungkin sesuatu yang wangi (seperti di pabrik parfum, aromatic, obat, dan lain-
lain) atau bahkan bau yang menyengat (misalnya ditempat penyamakan kulit atau tempat
pengolahan sampah). Kita bisa mencicipi,misalnya dipabrik yang menghasilkan makanan.
Kita merasa suhu panas atau dingin ditempat kerja. Singkatnya, mengamati adalah
menggunakan indera, bisa salah satu atau beberapa indera sekaligus.
Dalam kedua tehnik ini investigator menggunakan inderanya, untuk mengetahui atau
memahami sesuatu. Dari beberapa contoh dibawah, kita melihat berbagai tingkat
pemahaman yang bisa diperoleh dari pengamatan dan pemeriksaan fisik:
 Dari kunjungan ke lokasi yang terkena dampak semburan Lumpur panas di Porong,
Sidoarjo tahun 2006, investigator menyaksikan sendiri apa yang terjadi dan luasnya
musibah. Ini salah satu pemahaman. Investigator mempunyai “bayangan”. Pemahaman
ini penting ketika nantinya ia membaca laporan para ahli secara rinci tentang luasnya
kerusakan dan besarnya kerugian.
 Dari kunjungan ke wilayah yang terkena gempa, para relawan dan petugas dari dinas
Sosial dapat menentukan jumlah kilometer jalan, rumah, sekolah, rumah ibadah, kantor,
pabrik, dan lain-lain yang rusak. Pemahaman ini lebih dalam dari “bayangan” mengenai
intensitas kerugian akibat semburan Lumpur panas tadi. Disini ada data kuantitatif.
c. Meminta Informasi dan Konfirmasi
Meminta informasi baik lisan maupun tertulis kepada auditan, merupakan prosedur yang
biasa dilakukan auditor. Pertanyaannya, apakah dalam investigasi hal itu perlu dilakukan?
Apakah sebaiknya kita tidak meminta informasi, supaya yang diperiksa tidak mengetahui
apa yang kita cari? Yang bersangkutan juga mempunyai kepentingan dan peluang untuk
berbohong.
Seperti dalam audit juga dalam investigatif, permintaan informasi harus dibarengi,
diperkuat, atau dikolaborasi dengan informasi dari sumber lain atau diperkuat (substantiated)
dengan cara lain. Permintaan informasi sangat penting, dan juga merupakan prosedur
yang normal dalam suatu investigatif.
Meminta konfirmasi adalah meminta pihak lain (dari yang diinvestigasi) untuk
menegaskan kebenaran atau tidak keebenaran suatu informasi. Dalam audit, tehnik ini
umumnya diterapkan untuk mendapat kepastian mengenai saldo utang-piutang. Tapi
sebenarnya ia dapat diterapkan untuk berbagai informasi, keuangan maupun non keuangan.
d. Memeriksa Dokumen
Tehnik ini tidak memerlukan pembahasan khusus. Tak ada investigasi tanps pemeriksaan
dokumen. Hanya saja, dengan kemajuan teknologi, definisi dokumen menjadi luas, termasuk
informasi yang diolah, disimpan dan dipindahkan secara elektronis/digital.
e. Reviu Analitikal
Dalam reviu analitikal yang penting bukannya perangkat lunaknya, tetapi semangatnya,
Pada dasarnya seorang invvestigator secara intuitif terobsesi dengan “sesuatu yang
melenceng” dan bahwa “something must be wrong because it appears so”. Karena itu ia
memerlukan patokan atau benchmark untuk membandingkannya dengan apa yang
dihadapinya. Patokan inilah yang dirumuskan Stringer dan Stewart sebagai results that may
reasonably be expected.
Misalnya kita sedang menginvestigasi suatu bank yang berkewajiban memungut pajak
penghasilan atas bunga yang diperoleh nasabahnya. Apakah bank menyetorkan pajak
penghasilan ini sesuai ketentuan, baik dalam jumlah maupun waktu penyetoran? Apakah
investigasi ini harus dimulai di cabang-cabang atau kantor-kantor perwakilan? Menurut
reviu analitikal, tidak.
Kita mulai dengan mencocokkan angka-angka agregat. Pertama, kita tentukan jumlah
pajak penghasilan yang sudah disetorkan untuk bank secara keseluruhan (Kantor Pusat dan
Cabang-cabang), menurut pembukuan bank itu. Selanjutnya, ini adalah hasil perkalian antar
tarif pajak (misal 10 %) dengan jumlah bunga yang dibayarkan bank itu kepada kepada para
nasabahnya. Perbedaan antara data A dengan data B bisa merupakan perbedaan waktu
(timming difference) saja. Yakni, perbedaan antara saat memotong dan saat menyetor pajak
penghasilan. Timming difference ini juga mudah dialokasi.
Tetapi mungkin juga ada perbedaan yang bersifat tetap (permanent difference) misalnya
dalam hal deposan dalam negeri yang mendapat pembebasan pajak penghasilan dan deposan
di cabang-cabang luar negeri dimana bank tidak berkewajiban memungut pajak
penghasilannya. Perbedaan ini mudah diketahui karena umumnya jumlah deposan dalam
negeri yang dibebaskan, tidak banyak. Sedangkan untuk deposan di cabang-cabang diluar
negeri, kita mengabaikan seluruh data bunga luar negeri (bagian dari data B semula).
Dengan contoh ini, mari kita saji definisi reviu analitikal diatas: a form of deductive
reasoning in which the propriety of the individual details is inferred from evidence of the
reasonableness of the aggregate results. Kiita haeus memulai dari belakang. Pertama,
evidence of the reasonbleness of the aggregate of the results; ini diperoleh dari data B yang
diadjust untuk deposan dalam negeri yang dikecualikan pemungutan pajak penghasilannya
dan bunga di cabang-cabang luar negeri.
Kedua, a form of deductive reasoning. Di sinin kita membuat deduksi dari data agregat,
data global, data menyeluruh, yang dalam hal ini adalah data A dan data B. Deduksi ini
berkenaan dengan the proprierty of the individual details. Individual details disini adalah
pemungutan dan penyetoran pajak penghasilan oleh bank secara transaksi demi transaksi,
cabang demi cabang, atau mungkin per pejabat bank sesuai dengan kewenangannya. Kita
“think ananlytical first”, dan tidak langsung terjun dan menyibukkan diri dengan detailed
substantive test.
Ada bermacam-macam variasi dari tehnik reviu analitical, namun semuanya didasarkan
atas perbandingan antara apa yang dihadapi dengan apa yang layaknya harus terjadi, dan
berusaha menjawab sebabnya tterjadi kesenjangan. Apakah ada kesalahan (error), fraud,
atau salah merumuskan patokannya.
 Membandingkan anggaran dengan realisasi
Membandingkan data anggaran dan realisasi dapat mengindikasikan adanya fraud. Yang
perlu dipahami di sini adalah mekanisme pelaksanaan anggaran, evaluasi atas
pelaksanaan anggaran, dan insentif (keuangan maupun non keuangan) yang terkandung
dalam sistem anggarannya.
Dalam entitas yang merupakan profit center atau revenue center, pejabat tertentu
menerima insentif (bonus) sesuai dengan “keberhasilan” yang diukur dengan
pelampauan anggaran. Investigator perlu mengantisipasi kecenderungan realisasi
penjualannya dibuat tinggi (overstated). Penjualan kredit dan pengiriman barang secara
besar-besaran pada akhir tahun merupakan indikasi mengenai hal itu. Pengembalian
barang sesudah akhir tahun memperkuat indikasi adanya fraud.
 Hubungan antara satu data keuangan dengan data keuangan lain
Beberapa akun, baik dalam suatu maupun beberapa laporan keuangan, bisa mempunyai
keterkaitan yang dapat dimanfaatkan untuk reviu analitikal. Contoh: angka penjualan
dengan piutang dan persediaan rata-rata, angka penjualan dengan bonus bagian
penjualan, penghasilan bunga dengan saldo rata-rata tabungan dan seterusnya.
 Menggunakan data non keuangan
Inti dari reviu analitikal adalah mengenal pola hubungan, relationship pattern. Pola
hubungan ini tidak mesti hanya antara satu data keuangan dengan data keuangan lain.
Pola hubungan non keuanganpun bisa bermacam-macam bentuknya.
Dalam bisnis perkebunan ada hubungan antara jumlah pupuk yang dipergunakan
dengan hasil produksi atau panen; angka masukan maupun keluaran dinyatakan dalam
satuan non keuangan, seperti jumlah ton untuk pupuk dan sawit. Di pabrik gula ada
ukuran antara jumlah ton tebu yang masuk ke pabrik dan jumlah ton gula yang
dihasilkan. Pola hubungan antara masukan dan keluaran ini dinyatakan dalam suatu
ratio yang dalam industri gula dikenal sebagai rendemen. Perhitungan serupa kita lihat
di industri kayu lapis atau blackboard, dengan nama recovery.
Bermacam ratio kita gunakan untuk berbagai industri. Bahkan industri-industri atau
perusahaan pemeringkat mengembangkan dan menyebarkan industry ratios.
Perusahaan penerbangan Garuda mendapatkan hasil yang sangat signifikan dari
perjalanan haji. Data yang penting, jumlah calon haji yang diterbangkan, dapat
diperoleh dari sumber intern maupun ekstern Garuda. Penerimaan Negara Bukan Pajak
(PNBP) di konsulat-konsulat kita diluar negeri, mempunyai hubungan linier dengan
banyaknya visa yang diterbitkan.
Reviu analitikal sering dilakukan dengan hitungan cepat untuk menunjukkan
keganjilan. Seorang bankir mencatat informasi yang diterimanya dari calon nasabah
kreditnya. Dengan cepat ia menetukan bahwa pabrik pulp berkapasitas besar dilokasi
yang terisolasi, tidak akan bisa beroperasi karena bahan bakunya tidak akan cukup.
Semua data untuk membuat kesimpulan itu ia peroleh selama makan siang dengan calon
debiturnya.
 Regresi atau Analisis Trend
Dengan data historikal yang memadai(makin banyak makin baik, ceteris paribus), reviu
analitikal dapat mengungkapkan trend. Berbagai perangkat lunak mempermudah
hitungan dan grafiknya, misalnya STAR.
f. Menggunakan indikator ekonomi makro
Ada hubungan antara besarnya pajak penghasilan yang diperoleh dalam suatu tahun dengan
indikator-indikator ekonomi seperti inflasi, tingkat pengangguran, cadangan devisa,
indikator ekonomi negara-negara yang menjadi partner perdagangan Indonesia,
hargaminyak mentah dan komoditi lain, dan lain-lain. Ini merupakan bidang studi yang
ditekuni para ahli ekonomi makro dan ekonometri.

g. Menghitung Kembali
Menghitung kembali atau repeform tidak lain dari mencek kebenaran perhitungan (kali,
bagi, tambah, kurang, dan lain-lain). Ini prosedur yang sangat lazim dalam audit. Biasanya
tugas ini diberikan kepada seseorang yang baru mulai bekerja sebagai auditor; seorang
junior auditor di kantor akuntan.
Dalam investigatif, perhitungan yang dihadapi umumnya sangat kompleks, didasarkan
atas kontrak atau perjanjian yang rumit, mungkin sudah terjadi perubahan dan renegoisasi
berkali-kali dengan pejabat(atau kabinet) yang berbeda. Perhitungan ini dilakukan atau
disupervisi oleh investigator yang berpengalaman.
Beberapa contoh penghitungan kembali semacam itu yang berpotensi triliunan rupiah:
 Kasus penyelesaian kewajiban pemegang saham menurut Keputusan Menteri Keuangan
nomor 151/KMK.01/2006 tanggal 16 Maret 2006 mensyaratkan penetapan jumlah
kewajiban berdasarkan data terakhir.
 Perhitungan cost recovery oleh kontraktor bagi hasil (Production Sharing Contractor).
Cost recovery ini sangat besar jumlahnya. Kalau tidak dihitung kembali oleh
counterpart PSC atau lembaga pemeriksa independen, cost recovery rawan
penyalahgunaan.
 Biaya yang dikeluarkan BUMN yang mempunyai kewajiban memberikan pelayanan
umum (public Service Obligation). Keterlambatan pembayaran PSO mempunyai
dampak yang besar terhadap likuiditas BUMN yang bersangkutan.

C. Investigatif Dengan Tehnik Perpajakan


Investigatif dengan tehnik perpajakan menggunakan dua tehnik yang secara luas dipraktekkan
oleh IRS (Internal Revenue Services) di Amerika Serikat. Kedua tehnik investigasi ini digunakan
untuk menentukan panghasilan kena pajak (PKP) yang belum dilaporkan oleh wajib pajak dalam
SPT-nya. Penerapan tehnik-tehnik ini terus berkembang, sehingga menjadi umum digunakan
dalam memerangi organized crime.
Kedua tehnik investigatif ini adalah Net Worth Method dan Expenditure Method. Keduanya
menggunakan logika pembukuan atau akuntansi yang sederhana. IRS menggunakannya sebagai
bukti tidak langsung (circumstantial evidence). Tehnik ini menggeser beban pembuktian dari
negara/fiskus kepada wajib pajak. Perlindungan hak wajib pajak diperlukan karena pergeseran
beban pembuktian tersebut diatas.

a. Net Worth Method


Net worth method diterapkan oleh kantor pajak Amerika Serikat (IRS). Pemakaiannya bisa
ditelusuri kembali ke tahun 1931 ketika IRS berhasil menjaring Al(fonso) Capone. Sejak
Congress mengundangkan RICO Act pada tahun 1970, penggunaannya diperluas untuk
menemukan indikasi illegal income dari organized crime (kejahatan yang diorganisasi
seperti Mafia,Triad, dan lain-lain).
Net worth method untuk investigasi pajak ingin membuktikan adanya PKP yang belum
dilaporkan oleh wajib pajak. Untuk organized crime yang ingin dibuktikan adalah
terdapatnya penghasilan yang tidak sah, melawan hukum, atau illegal income.

 Net Worth Method untuk Perpajakan


Di Amerika Serikat di mana Net Worth Method diterima sebagai cara pembuktian tidak
langsung, dasar penggunaannya adalah kewajiban wajib pajak untuk melaporkan semua
penghasilannya (sebagaimana didefinisikan oleh undang-undangnya) dalam tax returns
mereka. Ketentuan serupa juga berlaku di Indonesia di mana wajib pajak diwajibkan
penghasilannya secara lengkap dan benar dalam SPT (Surat Pemberitahuan Tahunan,
dalam hal ini SPT PPh).
Pemeriksa pajak menetapkan net worth atau kekayaan bersih pada awal tahun. Ini
diperoleh dari pengurangan seluruh assets seseorang dengan seluruh liabilities-nya. Jadi
di awal tahun tertentu,sebutlah Tahun-1, net worth = assets-lialibilities. Hal yang sama
dilakukan untuk menentukan net worth Tahun-2.
Selanjutnya, net worth Tahun-1 dibandingkan dengan net worth tahun-2.
perbandingan ini akan menghasilkan kenaikan net worth (net worth increase) yang
seharusnya sama dengan PKP untuk tahun-2. Karena itu kenaikan net worth ini
dibandingkan dengan penghasilan yang dilaporkan dalam SPT PPh tahun-2.
 Net Worth Method untuk organized crime
Dengan rumus yang hampir sama, kita dapat menentukan illegal income. Seperti
disebutkan tadi, di Amerika Serikat metode ini digunakan dalam memerangi organized
crime. Di Indonesia pendekatan ini dapat digunakan untuk memerangi korupsi.
Ketentuan perundang-undangannya sudah ada, yakni laporan mengenai kekayaan
pejabat.
Legal income adalah semua penghasilan yang dilaporkan yang bersangkutan. Inilah
yang dibandingkan dengan net worth increase (sesudah di-adjust dengan personal
expenses) untuk menentukan illegal income.

b. Expenditure Method
Sebagaimana halnya dengan Net Worth yang dijelaskan, penerapan Expenditure
Method juga dipelopori IRS. Expenditure Method yang merupakan derivasi atau turunan
dari net worth method digunakan IRS sejak tahun 1940an. Ketika RICO Act diundangkan
dalam tahun 1970, Expenditure Method dimanfaatkan sebagai petunjuk organized crime.
Expenditure Method juga merupakan cara pembuktian tidak langsung.
Seperti Net Worth Method, Expenditure Method juga dimaksudkan untuk menentukan
unreported taxable income. Expenditure Method lebih cocok untuk para wajib pajak yang
tidak mengumpulkan harta benda, tetapi mempunyai pengeluaran-pengeluaran besar
(mewah).
Expenditure Method lebih populer dari Net Worth Method, karena Expenditure Method
lebih mudah dibuat atau dihitung, dan juga lebih mudah dimengerti oleh orang awam.
Mahkamah Agung di Amerika Serikat tidak menetapkan Expenditure Method secara khusus
sebagai alat pembuktian, karena Expenditure Method dianggap derivasi atau turunan dari
Net Worth Method. Seorang akuntan harusnya mampu menghitung unreported taxable
income berdasarkan Net Worth Method akan mengkonversikannya ke Expenditure Method.
Expenditure Method harusnya digunakan untuk kasus-kasus perpajakan apabila kondisi-
kondisi berikut sangat kuat atau dominan:
1. Wajib pajak tidak menyelenggarakan pembukuan atau catatan.
2. Pembukuan dan catatan wajib pajak tidak tersedia, misalnya karena terbakar.
3. Wajib pajak menyelenggarakan pembukuan tetapi tidak memadai.
4. Wajib pajak menyembunyikan pembukuan.
5. Wajib pajak tidak mempunyai assets yang terlihat atau dapat diidentifikasi.

Expenditure Method harusnya digunakan untuk kasus-kasus organized crime apabila


kondisi-kondisi berikut sangat kuat atau dominan:
1. Tersangka kelihatannya tidak membeli asset seperti rumah, tanah, saham, perhiasan,
mobil atau kapal mewah, dan seterusnya.
2. Tersangka mempunyai gaya hidup mewah dan agaknya diluar kemampuannya.
3. Tersangka diduga mengepalai jaringan kejahatan, atau semua saksi yang memberatkan
dia adalah para penjahat yang sudah dijatuhi hukuman.
4. Illegal income harus ditentukan untuk menghitung denda (misalnya dalam kejahatan
penebangan hutan ilegal), menghitung kerugian negara (dalam kasus korupsi), dan
pungutan negara lainnya.

Expenditure Method adalah derivasi dari Net Worth Method. Namun, perlakuan
terhadap asset dan liabilities-nya berbeda. Misalnya, dalam Net Worth Method penyidik
akan mencantumkan saldo akhir kas dan bank. Dalam Expenditure Method, hanya
perubahannya yang diambil (kenaikan atau penurunan kas dan bank). Hal yang sama juga
berlaku untuk persediaan barang, piutang, utang, dan pinjaman bank. Depresiasi, amortisasi,
deplesi, deffered gains, dan semacamnya juga diabaikan dalam Expenditure Method ini
sebenarnya merupakan hal yang elementer untuk seorang akuntan.
D. FOLLOW THE MONEY
Pertama kita akan melihat naluri penjahat. Tanpa disadarinya, nalurinya ini akan meninggalkan
jejak-jejak berupa gambaran mengenai arus uang. Jejak-jejak uang atau money trails inilah yang
dipetakan oleh penyidik.
Ketentuan perundang-undangan mengenai tindak pidana pencucian uang menginagtkan kita
bahwa bukan kejahatan utamanya saja (seperti korupsi, penyuapan, penyelundupan barang dan
manusia, pencurian, prostitusi, terorisme, dan lain-lain) yang merupakan tindak pidana, tetapi
juga pencucian uangnya adalah tindak pidana.
Uang sangat cair/likuid, mudah mengalir. Itulah sebabnya Follow The Money mempunyai
banyak peluang untuk digunakan dalam investigatif. Namun, mata uang kejahatan atau currency
of crime bukanlah uang semata-mata. Mengetahui currency of crimeakan membuka peluang baru
untuk menerapkan tehnik Follow The Money.

a. Naluri Penjahat
Dalam setiap kejahatan pada umumnya, dan fraud khususnya, ada suatu gejala yang sangat
lumrah, yakni pelaku berupaya memberi kesan bahwa ia tidak terlibat fraud. Untuk itu,
pelaku “harus jauh” dari fraud itu sendiri dan “harus jauh” dari uang yang merupakan hasil
kejahatan. Itulah sebabnya, salah satu aksioma dalam fraud ialah fraud is hidden atau fraud
itu tersembunyi.
Di lain pihak, motive dari perbuatan fraud itu sendiri pada umumnya, adalah
mendapatkan uang. Kalaupun bukanitu motive-nya ada aliran uang ke diri pelaku(atau
keluarganya).pada akhirnya ada arus uang atau dana dari “tempat persembunyian” atau
“tempat penitipan” yang mengalir ke alamat sipelaku utama.
Jejak-jejak kejahatan, dalam hal ini, berupa arus uang. Karena itu, dalam mencari
pelaku, investigator menelusuri jejak-jejak uang ini. Tehnik investigatif yang menelusuri
arus dana dan mencari muaranya, disebut Follow The Money.

b. Kriminalisasi dari pencucian uang


Pola perilaku pelaku kejahatan dengan “menjauhkan” uang dari pelaku dan perbuatannya
dilakukan melalui cara placement, layering, dan integration. Tindak perbuatan ini denga
tegas diperlakukan serbagai tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak pidana Pencucian uang sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang nomor 25 tahun 2003.
Dengan diperlakukannya pencucian uang sebagai tindak pidana (kriminalisasi dari
pencucian uang), maka banyak kasus kejahatan (termasuk tindak pidana korupsi) dapat
diproses (pengadilan) melalui kejahatan utamanya dan melalui pencucian uangnya.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) merupakan lembaga yang
penting untuk mengungkapkan pelaku-pelaku dengan menelusuri laporan-laporan dari
berbagai sumber, tanpa harus membuktikan kejahatan utamanya.

c. Follow The Money dan Data Mining


Tehnik investigasi ini sebenarnya sangat sederhana. Kesulitannya adalah datanya sangat
banyak dalam hitungan terabytes. Kita tidak bisa mulai dengan pelakunya, yang kita ingin
kita lihat justru adanya pola-pola arus dana yang menuju ke suatu tempat (yang memberi
indikasi tentang pelaku atau otak kejahatan).
Disamping kerumitan karena data yang begitu besar, juga diperlukan kecermatan dan
persistensi dalam mengumpulkan bahan-bahannya. Kemajuan yang sangat pesat di bidang
teknologi informasi, memfasilitasi proses ini.

d. Mata Uang Kejahatan


Ciri dari penggunaan currency of crime yang bukan berupa uang adalah izin-izin atau lisensi
untuk akses ke sumber-sumber daya alam yang umumnya dialokasikan kepada keluarga dan
kerabat sang diktator.
Dalam hal itu currency of crime- nya bisa berupa intan berlian, minyak bumi, pasir laut,
kayu bundar (logs), ganja, dan lain sebagainya. Di sini ada dua arus yang bisa diikuti
investigator, yakni arus dana dan arus fisik barang. Arus fisik barang sering memberikan
indikasi kuat, karena adanya anomali. Contoh: data statistik resmi mengenai impor-ekspor
yang menunjukkan kesenjangan yang besar, antara data negara pengimpor dan negara
pengekspor.

E. Investigatif Tindak Pidana Korupsi


Tindak Pidana Korupsi (TPK) dilihat dari ketentuan perundangan yang berlaku di Indonesia.
Yang akan dipakai sebagai acuan dalam pembahasan ini adalah Undang-Undang nomor 31 tahun
1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang
pemberantasan TPK. Untuk TPK yang dilakukan sebelum berlakunya undang-undang ini, yakni
tanggal 21 november 2001, berlaku Undang-Undang nomor 3 tahun 1971.
Analisis pasal-pasal TPK akan menganalisis semua pasal yang mengandung TPK ke dalam
unsur-unsurnya, bagian inti atau bestanddeel. Pendekatan ini dipakai oleh penyelidik, penyidik,
dan jaksa penuntut umum.
Keberhasilan atau kegagalan suatu investigatif TPK, di luar masalah penyuapan kepada
penegak hukum, ditentukan oleh kemampuan membuktikan bagian-bagian inti dan meyakinkan
majelis hakim dalam persidangan pengadilan.

F. Analisis Beberapa Kasus Korupsi


Para akuntan forensik dapat menarik pelajaran berharga dari pendapat dan komentar para ahli
hukum, mengenai kasus-kasus yang sudah ada putusan hakim. Prof. Dr. Jur. Andi Hamzah
adalah seorang di antara ahli hukum pidana dan hukum secara pidana yang banyak menulis
tentang kasus-kasus korupsi.
Dalam bukunya, Profesor Andi Hamzah secara rinci mencantumkan posisi dan analisis
kasusnya. Analisis di bawah merupakan ringkasan untuk menonjolkan hal-hal yang penting bagi
akuntan forensik. Para akuntan forensik sebaiknya mempelajari secara utuh dokumentasi dari
suatu kasus, yakni sejak surat dakwaan yang diajukan penuntut umum, sampai kepada putusan
Mahkamah Agung.

a. Kasus Samadikun Hartono


Penuntut Umum mendakwa Samadikun Hartono (Presiden Komisaris PT Bank Modern
Tbk), bersama-sama dengan Bambang Trianto ( Presiden Direktur PT Bank Modern Tbk):

Dakwaan Primair:
Secara berlanjut melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
badan secara melawan hukum atau secara tidak patut menggunakan uang atau menyalurkan
sejumlah dana BLBI atau bertentangan dengan peruntukkannya yang secara langsung atau
tidak langsung merugikan negara sebesar Rp 169.492.986.461,54

Dakwaan Subsidair:
Dengan perbuatan itu juga menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan
dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan, yang langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara.
Menarik sekali apa yang dikatakan Andi Hamzah mengenai putusan Pengadilan Negeri dan
Mahkamah Agung dalam kasus Samadikun Hartono, serta tragedi pada akhirnya:
Didalam pertimbangan Pengadilan Negeri perbuatan terdakwa tidak dapat
dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum karena itu, terdakwa dibebaskan dari
segala dakwaan baik yang primair maupun yang subsidiair.
Nyata sekali kekeliruan hakim karena pada dakwaan subsidiair yang terdakwa juga
dibebaskan, tidak ada bagian inti (bestandeel) melawan hukum, sehingga tidak perlu
dibuktikan.

b. Kasus Djoko S. Tjandra


Djoko S. Tjandra melakukan kontrak cessie dengan Rudi Ramli (Bank Bali). Karena
perbuatan itu dilakukan pada tahun 1998, penuntut umum mendakwa Djoko Tjandra dengan
pasal 1 ayat 1 huruf a dari undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi nomor 3
tahun 1971.

Menurut Andi Hamzah:


Kurang tepat mendakwa perbuatan cessie sebagai merupakan perbuatan melawan hukum
memperkaya diri sendiri. Sehingga Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung membebaskan
Djoko S. Tjandra, dengan alasan perbuatan melakukan cessie adalah perbuatan perdata dan
bukan pidana.
Yang menjadi soal sebenarnya adalah mengapa pencairan uang hasil cessie itu berjalan
dengan cepat dan mulus. Mengapa kalau orang lain yang membuat cessie, hasil cessie-nya
sulit dicairkan? Jadi seharusnya Djoko S Tjandra didakwa memberi suap kepada pejabat
negara dan BPPN primair pasal 209 KUHP juncto pasal 1 ayat (1) huruf c undang-undang
3/1971;, subsidiair pasal 1 ayat (1) huruf d undang-undang 3/1971, yang sekarang menjadi
pasal 13 UU PTPK 1999.

Anda mungkin juga menyukai