Anda di halaman 1dari 10

UNIVERSITAS TRISAKTI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


PROGRAM S1 AKUNTANSI

FRAUD AND FORENSIC AUDIT

“FORENSIC ACCOUNTING, SCOPE, & CODE OF ETHIC (AKUNTANSI


FORENSIK, RUANG LINGKUP, & KODE ETIK)”
(MATERI KE 10 SETELAH UTS)

Disusun oleh:
Kelompok 2
Anggota:
1. Gita Suryandari (023002004506)
2. Adetya Maharani (023002004507)
3. Fyfhy (023002004509)
4. Kurnia Zailastri (023002004531)

TAHUN PELAJARAN 2020/2021


A. Atribut Seorang Akuntan Forensik
Howard R. Davia dalam Tuanakotta (2010 : 99) memberi lima nasihat kepada seorang auditor
pemula dalam melakukan investigasi terhadap fraud, yaitu
1. Menghindari pengumpulan fakta dan data yang berlebihan secara prematur. Identifikasi
lebih dahulu siapa pelaku atau yang mempunyai potensi menjadi pelaku. Banyak auditor
berkutat pada pengumpulan fakta dan temuan, tetapi tidak menjawab pertanyaan yang paling
penting : Who did it ? Ada kalanya kebiasaan penyembunyian nama pelaku didorong oleh
keinginan untuk “memperhalus” pengungkapan sesuatu yang kelihatannya kurang elok.
Dalam bahasa Inggris, penghalusan ini disebut euphemism.
2. Fraud auditor harus mampu membuktikan “niat pelaku melakukan kecurangan”. Banyak
kasus kecurangan kandas di sidang pengadilan karena penyidik dan saksi ahli (akuntan
forensik) gagal membuktikan niat melakukan kejahatan atau pelanggaran. Menurut Davia,
tujuan proses pengadilan adalah menilai orang, bukan mendengar celotehan yang
berkepanjangan tentang kejahatannya.
3. Seorang auditor forensik harus kreatif, berpikir seperti pelaku fraud, jangan dapat ditebak.
Dalam proses audit investagatif, keadaan dapat berubah dengan cepat, misalnya, bukti dan
barang bukti disembunyikan atau dihancurkan atau pelaku bersembunyi atau melarikan diri.
Dalam kondisi seperti tersebut auditor forensik harus berpikir kreatif dalam menggunakan
prosedur, kombinasi prosedur atau alternatif prosedur untuk mengumpulkan bukti. Seorang
auditor forensik harus dapat berpikir layaknya seorang pelaku fraud agar dapat
mengantisipasi langkah-langkah yang akan diambil pelaku fraud jika mereka mengetahui
bahwa tindakan mereka telah tercium atau terungkap. Seorang auditor forensik juga tidak
gampang ditebak dalam melakukan proses audit investigatif, agar tidak dengan mudah dapat
diantisipasi oleh pelaku fraud.
4. Auditor harus tahu bahwa banyak kecurangan dilakukan dengan persekongkolan. Ada dua
macam persengkongkolan yaitu :
a. Persengkongkolan yang sifatnya sukarela, dan pesertanya memang mempunyai niat
jahat. Davia menamakannya, ordinary conspiracy
b. Persengkongkolan dimana pesertanya tidak menyadari bahwa keluguannya
dimanfaatkan oleh rekan kerjanya, contohnya memberikan password komputernya.
Davia menamakannya pseudo-conspiracy.
Dalam tindakan fraud yang dibarengi dengan persekongkolan, auditor forensik harus memiliki
indra atau intuisi yang tajam untuk merumuskan “teori persekongkolan” untuk memudahkan
dalam pengumpulan bukti.

Auditor harus mengenali pola fraud yang dilakukan oleh pelaku, yaitu si auditor harus
mempertimbangkan apakah kecurangan dilakukan di dalam pembukuan atau di luar pembukuan.
Pendeteksian dan pengumpulan bukti terhadap fraud yang dilakukan dalam pembukuan, seperti
pencatatan ganda atas pembayaran kepada pemasok, akan memerlukan tehnik dan prosedur audit
yang berbeda dengan pola fraud yang ada di luar pembukuan seperti kickback, penagihan
piutang yang sudah dihapus dan penjualan barang yang sudah dubesituakan. Untuk
membuktikan fraud yang dilakukan dengan pembayaran ganda misalnya, auditor forensik akan
lebih efektif dan efisien jika menggunakan prosedur vouching, yaitu menelusuri dari transaksi
ke bukti pendukung. Jika auditor forensik melakukan sebaliknya, yaitu dengan menggunakan
trashing (menelusuri dari bukti pendukung ke transaksi), maka pencatatan ganda atas
pembayaran tersebut tidak akan terdeteksi.

B. Karakteristik Pemeriksa Fraud


Pemeriksa fraud harus memiliki kemampuan yang unik. Di samping keahlian teknis, seorang
pemeriksa fraud yang sukses mempunyai kemampuan mengumpulkan fakta-fakta dari berbagai
saksi secara adil (fair), tidak memihak, sahih (mengikuti ketentuan perundang-undangan), akurat
serta mampu melaporkan fakta-fakta itu secara akurat dan lengkap. Kemampuan untuk
memastikan kebenaran dari fakta yang dikumpulkan dan kemudian melaporkannya dengan
akurat dan lengkap adalah sama pentingnya. Pemeriksa fraud adalah gabungan antara pengacara,
akuntan, kriminolog, dan detektif (investigator).

Art Buckwalter mengatakan, “The secret is for each private investigator to be the kind of person
others will want to deal with.” (“Rahasia seorang private investigator adalah menjadi sosok yang
disukai orang lain.”). Pemeriksa yang menyesatkan orang lain, sering kali tersesat sendiri.
Pemeriksa memang berurusan dengan orang yang bersalah, tetapi ia juga kan bertemu dengan
para saksi yang tidak bersalah. Para saksi ini dan kesaksian mereka merupakan sesuatu yang
sangat diperlukan dalam metodologi pemeriksaan fraud. Oleh karena pemeriksa berurusan
dengan segala macam jenis manusia dari berbagai latar belakang, kemampuannya untuk
menumbuhkan kepercayaan pada diri orang lain itu, sangat menentukan.

Oleh karena setiap orang itu unik (tidak ada duanya), maka pemeriksa fraud harus mampu
berkomunikasi dalam “bahasa” mereka. Seorang sarjana tidak dapat ditanya dengan bahasa yang
sama seperti seorang yang tidak menyelesaikan pendidikan SMAnya. Seseorang dengan latar
belakang perbendaharaan kata teknis (seperti akuntansi, hukum, dan lain-lain) tidak akan
memberikan tanggapan yang sama dengan orang berlatar belakang seni. Oleh karena setiap kasus
berbeda, pemeriksa juga akan berbeda dalam pendekatannya.

Pemeriksa fraud harus mempunyai kemampuan teknis untuk mengerti konsepkonsep keuangan,
dan kemampuan untuk menarik kesimpulan terhadapnya. Ciri yang unik dari kasus-kasus fraud,
yakni berbeda dengan kejahatan tradisional atas harta benda, adalah identitas pelakunya biasanya
diketahui. Dalam perampokan bank misalnya, issuenya bukanlah kejahatan terjadi, melainkan
siapa pelakunya? Dalam kasus-kasus fraud, issue-nya bukanlah penentuan identitas pelakunya,
namun apakah perbuatannya dapat dianggap meruapakan fraud.

Sangat penting bagi pemeriksa untuk menyederhanakan konsep-konsep keuangan sehingga para
saksi dapat memahami apa yang dimaksudkannya. Dalam kenyataannya kebanyakan kasus fraud
sangat sederhana, namun metode-metode penyembunyiannya atau penyamarannya yang
membuatnya terlihat rumit.

C. Kualitas Akuntan Forensik


Menurut Robert J. Lindquist menyatakan bahwa kualitas yang harus dimiliki oleh akuntan
forensik sebagai berikut :
1. Kreatif
Dalam hal ini kreatif diartikan sebagai kemampuan untuk melihat sesuatu secara berbeda
dari orang lain. Suatu hal yang normal bagi orang lain belum tentu dianggap normal oleh
akuntan forensik.
2. Rasa ingin tahu
Keinginan untuk menemukan apa yang sesungguhnya terjadi dalam rangkaian peristiwa dan
situasi.
3. Tidak menyerah
Kemampuan untuk maju terus pantang mundur walaupun fakta (seolah-olah) tidak
mendukung, dan ketika dokumen atau informasi sulit diperoleh.
4. Akal sehat
Kemampuan untuk mempertahankan perspektif dunia nyata. Ada yang menyebutnya
perspektif anak jalanan yang mengerti betul kerasnya kehidupan.
5. Business sense
Kemampuan untuk memahami bagaimana bisnis sesungguhnya berjalan dan bukan hanya
sekedar memahami bagaimana transaksi dicatat.
6. Percaya diri
Kemampuan untuk mempercayai diri dan temuannya sehingga dapat bertahan di bawah
cross examination (pertanyaan silang dari jaksa penuntut umum dan pembela).

D. Ruang Lingkup Audit Kecurangan (Fraud)


Ruang lingkup audit fraud mencakup :
1. Pencegahan (preventive), yaitu upaya untuk mencegah terjadinya fraud dengan cara
menghilangkan atau meminimalkan faktor – faktor penyebab terjadinya fraud. Pencegahan
dilakukan dengan Anti Fraud Control, yang isinya antara lain :
a. audit dengan kunjungan mendadak,
b. alih tugas/ wajib ambil cuti,
c. saluran komunikasi khusus untuk melapor ketidak beresan,
d. program dukungan bagi karyawan,
e. pelatihan mengenai fraud untuk manajer dan eksekutif
f. audit internal
2. Pendeteksian (detective), yaitu proses mengarahkan kegiatan untuk mengidentifikasikan
terjadinya fraud dengan cepat, tepat, dan dengan biaya yang rasional. Teknik- teknik untuk
mendeteksi fraud ialah :
a. penggunaan teknik – teknik audit yang dilakukan oleh internal maupun eksternal
auditor dalam mengaudit laporan keuangan, namun secara lebih mendalam dan luas,
b. pemanfaatan teknik audit investigative,
c. penelusuran jejak – jejak arus uang,
d. penerapan teknik analisi dalam bidang hukum,
e. penggunaan computer forensics,
f. penggunaan teknik interogasi,
g. pemanfaatan whistleblower
3. Penginvestigatian (investigative), yaitu upaya untuk menangani dan memproses tindakan
fraud sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku. K. H. Spencer Pickett
dan Jennifer Pickett merumuskan beberapa standar untuk melakukan investigasi terhadap
fraud. Konteks yang mereka rujuk adalah investigasi atas fraud yang dilakukan oleh pegawai
di perusahaan. Standar-standar tersebut adalah:
a. seluruh investigasi harus dilandasi praktik terbaik yang diakui (accepted bes practies),
b. kumpulkan bukti-bukti dengan prinsip kehati-hatian (due care) sehingga bukti-bukti
tadi dapat diterima di pengadilan,
c. pastikan bahwa seluruh dokumentasi dalam keadaan aman, terlindungi, diindeks dan
jejak audit tersedia,
d. pastikan bahwa para investigator mengerti hak-hak asasi pegawai dan senantiasa
menghormatinya,
e. beban pembuktian ada yang “menduga” pegawainya melakukan kecurangan, dan
pada penuntut umum yang mendakwa pegawai tersebut, baik dalam kasus hukum
administratif maupun hukum pidana,
f. cakup seluruh substansi investigasi dan “kuasai” seluruh target yang sangat kritis
ditinjau dari segi waktu,
g. liput seluruh tahapan kunci dalam proses investigasi, termasuk perencanaan,
pengumpulan bukti dan barang bukti, wawancara, kontak dengan pihak ketiga,
pengamanan mengenai hal-hal yang bersifat rahasia, ikuti tata cara atau protokol,
dokumentasi dan penyelenggaraan catatan, melibatkan dan/atau melapor ke polisi,
kewajiban hukum, dan persyaratan mengenai pelaporan.

E. Standar Audit Investigatif


Standar ini berfungsi sebagai petunjuk dan pedoman bagi seluruh anggota organisasi auditor
dalam mematuhi kode etik dan menjalankan tugas serta kewajiban profesional sebagaimana
tercantum dalam Kode Etik bagi auditor. Dengan mematuhi standar audit, auditor diharapkan
dapat menunjukkan komitmen yang tinggi dalam memberikan pelayanan kepada pengguna jasa
secara profesional.
K.H. Spencer Pickett dan Jennifer Pickett dalam Tuanakotta (2005 : 52) merumuskan beberapa
standar untuk mereka yang melakukan investigasi terhadap fraud. Standar –standar ini akan
dijelaskan dengan konteks Indonesia :
1. Standar 1
Seluruh investigasi harus dilandasi praktek terbaik yang diakui (accepted best practices).
Dalam hal ini tersirat dua hal yaitu adanya upaya membandingkan antara praktek-praktek
yang ada dengan merujuk kepada yang terbaik pada saat itu (benchmarking) dan upaya
benchmarking dilakukan terus menerus mencari solusi terbaik.
2. Standar 2
Kumpulkan bukti-bukti dengan prinsip kehati-hatian (due care) sehingga bukti-bukti tadi
dapat diterima di pengadilan.
3. Standar 3
Pastikan bahwa seluruh dokumentasi dalam keadaan aman, terlindungi dan diindeks, dan
jejak audit tersedia. Dokumentasi ini diperlukan sebagai referensi apabila ada penyelidikan
di kemudian hari untuk memastikan bahwa investigasi sudah dilakukan dengan benar.
Referensi ini juga membantu perusahan dalam upaya perbaikan caracara investigasi
sehingga accepted best practices yang dijelaskan di atas dapat dilaksanakan.
4. Standar 4
Pastikan bahwa para investigator mengerti hak-hak asasi pegawai dan senantiasa
menghormatinya. Apabila investigasi dilakukan dengan cara yang melanggar hak asasi
pegawai yang bersangkutan dapat membuat perusahaan dan investigator dituntut.
5. Standar 5
Beban pembuktian ada pada yang “menduga” pegawainya melakukan kecurangan dan
pada penuntut umum yang mendakwa pegawai tersebut baik dalam kasus hukum
administratif maupun hukum pidana.
6. Standar 6
Cakup seluruh substansi investigasi dan “kuasai” seluruh target yang sangat kritis ditinjau
dari segi waktu.

7. Standar 7
Liput seluruh tahapan kunci dalan proses investigasi, termasuk perencanaan, pengumpulan
bukti dan barang bukti, wawancara, kontak dengan pihak ketiga, pengamanan mengenai
hal-hal yang bersifat rahasia, ikuti tata cara atau protokol, dokumentasi dan
penyelenggaraan catatan, keterlibatan polisi, kewajiban hukum, dan persyaratan mengenai
pelaporan.
Selain standar yang telah diuraikan di atas, dalam Standar Pemeriksaan Keuangan Negara
(SPKN) yang dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan, juga diatur mengenai standar audit
kecurangan yaitu dalam bagian standar pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Adapun standar
pelaksanaan pemeriksaan dengan tujuan tertentu berisikan :
1. Hubungan dengan Standar Profesional Akuntan Publik yang ditetapkan oleh Ikatan
Akuntan Indonesia (IAI)
2. Komunikasi auditor
3. Pertimbangan terhadap hasil pemeriksaan sebelumnya
4. Pengendalian intern
5. Merancang pemeriksaan untuk mendeteksi terjadinya penyimpangan dari ketentuan
Peraturan Perundangundangan; Kecurangan (Fraud), serta Ketidakpatuhan (Abuse)
6. Dokumentasi pemeriksaan
7. Pemberlakuan standar pemeriksaan

F. Kode Etik
Kode etik mengatur hubungan antara anggota profesi dengan sesamanya, dengan pemakai
jasanya dan stakeholder lainnya, dan dengan masyarakat luas. Kode etik adalah sistem norma,
nilai dan aturan profesional tertulis yang secara tegas menyatakan apa yang benar dan baik dan
apa yang tidak benar dan tidak baik bagi profesional.
Di Amerika Serikat, (ACFE) telah menetapkan kode etik bagi para fraud auditor yang
bersertifikat, yang terdiri atas delapan butir yaitu :
1. Seorang fraud auditor yang bersertifikat, dalam segala keadaan, harus menunjukkan
komitmen terhadap profesionalisme dan ketekunan dalam pelaksanaan tugasnya.
2. Seorang fraud auditor yang bersertifikat tidak diperkenankan untuk melakukan tindakan
yang bersifat ilegal atau melanggar etika, atau segenap tindakan yang dapat menimbulkan
adanya konflik kepentingan.
3. Seorang fraud auditor yang bersertifikat, dalam semua keadaan, harus menunjukkan
integritas setinggitingginya dalam semua penugasan profesionalnya, dan hanya akan
menerima penugasan yang memiliki kepastian yang rasional bahwa penugasan tersebut
akan dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya.
4. Seorang fraud auditor yang bersertifikat harus mematuhi peraturan/perintah dari
pengadilan, dan akan bersumpah/bersaksi terhadap suatu perkara secara benar dan tanpa
praduga.
5. Seorang fraud auditor yang bersertifikat, dalam melaksanakan tugas pemeriksaan, harus
memperoleh bukti atau dokumentasi lain yang dapat mendukung pendapat yang diberikan.
Tidak boleh menyatakan pendapat bahwa seseorang atau pihak-pihak tertentu “bersalah”
atau “tidak bersalah”.
6. Seorang fraud auditor yang bersertifikat tidak boleh mengungkapkan informasi yang
bersifat rahasia yang diperoleh dari hasil audit tanpa melalui otorisasi dari pihak-pihak
yang berwenang.
7. Seorang fraud auditor yang bersertifikat harus mengungkapkan seluruh hal yang material
yang diperoleh dari hasil audit yakni, apabila informasi tersebut tidak diungkapkan akan
menimbulkan distorsi terhadap fakta yang ada.
8. Seorang fraud auditor yang bersertifikat secara sungguh-sungguh harus senantiasa
meningkatkan kompetensi dan efektivitas hasil kerjanya yang dilakukan secara profesional.

G. Standar Umum dan Khusus Akuntan Forensik


Dalam buku Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif karangan Tuanakotta (2014) terdapat
standar umum dan khusus akuntan forensik yang disadur dari buku Thornhill, Forensic
Accounting: How to Investigate Financial Fraud yaitu:
1. Independensi : Akuntan Forensik harus independen dalam melaksanakan tugas.
a. Garis Pertanggungjawaban
2. Objektivitas : Akuntan Forensik harus obyektif (tidak berpihak) dalam melaksanakan telaah
akuntansi forensiknya.
3. Kemahiran Profesional : Akuntansi forensik harus dilaksanakan dengan kemahiran dan
kehati - hatian profesional.
a. Sumber Daya Manusia
b. Pengetahuan, Pengalaman, Keahlian dan Disiplin
c. Supervisi
d. Kepatuhan terhadap Standar Perilaku
e. Hubungan Manusia
f. Komunikasi
g. Pendidikan Berkelanjutan
h. Kehati - Hatian Profesional
4. Lingkup Penugasan : Akuntan forensik harus memahami dengan baik penugasan yang
diterimanya. Ia harus mengkaji penugasan itu dengan teliti untuk menentukan apakah
penugasan dapat diterima secara profesional, dan apakah ia mempunyai keahlian yang
diperlukan atau dapat memperoleh sumber daya yang mempunyai keahlian tersebut.
Lingkup penugasan ini dicantumkan dalam kontrak.
a. Keandalan Informasi
b. Kepatuhan terhadap Kebijakan, Rencana, Prosedur dan Ketentuan Perundang –
Undangan
c. Pengamanan Aset
d. Penggunaan Sumber Daya secara Efisien dan Ekonomi
5. Pelaksanaan Tugas Telaahan
a. Perumusan Masalah dan Evaluasinya
b. Perencanaan
c. Pengumpulan Bukti
d. Evaluasi Bukti
e. Komunikasikan Hasil Penugasan

Anda mungkin juga menyukai