Anda di halaman 1dari 35

TUGAS KOMUNIKASI BISNIS DAN ETIKA PROFESI

KODE ETIK BADAN PEMERIKSAN KEUANGAN


Studi Kasus Penyuapan Motor Harley Davidson Terhadap Auditor BPK Sigit Yugoharto

Kelompok :

Ary Haritsaning Atmadya 041711323006


Sekar Ayu Rarastri 041711323010
Maulina Umi Rofiqoh 041711323011
Fitri Indriyajati 041711323020
Dian Kusuma Wardhani 041711323026
Ratna Diah Primasari 041711323028
Verly Arin Rachmadianti 041711323043

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2018

i
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI................................................................................................................................ ii

BAB 1 LATAR BELAKANG .................................................................................................... 1

BAB II PERMASALAHAN ....................................................................................................... 3

BAB III PEMBAHASAN ........................................................................................................... 6

A. Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2018 Tentang
Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia ........................................................ 6

B. Pernyataan Standar Pemeriksaan 06 Standar Pelaksanaan Pemeriksaan Dengan Tujuan


Tertentu (Spkn Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
2017) ........................................................................................................................................... 16
1. Pengantar ........................................................................................................................ 17

2. Hubungan dengan Standar Profesional Akuntan Publik yang Ditetapkan Oleh IAI ... 17

3. Komunikasi Pemeriksa ................................................................................................... 18

4. Pertimbangan Terhadap Hasil Pemeriksaan Sebelumnya .............................................. 20

5. Pengendalian Intern ........................................................................................................ 21

6. Merancang Pemeriksaan untuk Mendeteksi Terjadinya Penyimpangan dari Ketentuan


Peraturan Perundang-Undangan; Kecurangan (Fraud), Serta Ketidakpatutan (Abuse) ........ 22

7. Pengembangan Unsur-Unsur Temuan Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu .............. 25

8. Dokumentasi Pemeriksaan ............................................................................................. 25

9. Pemberlakuan Standar Pemeriksaan .............................................................................. 27

C. Pernyataan Standar Pemeriksaan 06 Standar Pelaksanaan Pemeriksaan dengan Tujuan


Tertentu ....................................................................................................................................... 28

D. Penjelasan Tentang Kode Etik Berdasarkan Kasus yang Terjadi di Indonesia ................. 30

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................................. 32

A. Kesimpulan ........................................................................................................................ 32

B. Saran .................................................................................................................................. 33

ii
BAB 1

LATAR BELAKANG

Nilai-nilai, tata cata dan aturan di setiap profesi berbeda-beda bergantung pada etika

profesi masing-masing individu, namun setiap individu anggota suatu profesi wajib mematuhi,

menjalankan dan menjujung tinggi etika profesi mereka dalam pelaksanaan tugasnya. Etika

sebagai unsur dalam profesi menjadi landasan seorang akuntan dalam menjalankan kegiatan

profesionalnya. Seorang akuntan dituntut memiliki tanggung jawab untuk bertindak sesuai

dengan kepentingan publik, namun dalam praktiknya muncul kasus pelanggaran etika profesi

dikarenakan rendahnya pemahaman dan pengetahuan akuntan dalam menerapkan etika secara

memadai. Oleh karenya Ikatan Akuntan Indonesia mengesahkan Kode Etik Akuntan Profesional

dengan revisi terakhir pada tahun 2016 sebagai landasan untuk mendorong profesionalisme

akuntan.

IAI berkoordinasi dengan Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) dan Institut Akuntan

Manajemen Indonesia (IAMI) sesuai Nota Kesepahaman antara IAI, IAPI dan IAMI dalam

proses penyusunan Kode Etik Akuntan Profesional tentang Kerjasama Pengembangan Profesi

Akuntan di Indonesia. Tujuannya agar terjadi sinergi antar organisasi profesi akuntan dan

menciptakan keseragaman ketentuan etika bagi seluruh akuntan di Indonesia.

Kode etik pada instasi pemerintahan salah satunya adalah mengatur mengenai kode etik

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Kode Etik untuk BPK diatur dalam Peraturan Badan

Pemeriksa keuangan Republik Indonesia Nomor 4 tahun 2018 tentang Kode Etik Badan

1
Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. Kode Etik ini berisikan norma-norma yang harus

dipatuhi oleh setiap anggota BPK dan pemeriksa selama menjalankan tugas profesinya.

Tujuan profesi akuntansi adalah memenuhi tanggung jawab standar profesionalisme

untuk mencapat tingkat kinerja tertinggi dengan berorientasi kepada kepentingan publik. Pada

pembahasan ini, kelompok kami akan membahas mengenai pelanggaran kode etika profesi

akuntansi di BPK yang terjadi di Indonesia. Dalam hal ini kelompok kami membahas mengenai

kasus pelanggaran kode etik akuntansi di BPK yang terjadi pada kasus penyuapan motor Harley

Davidson terhadap auditor BPK yaitu Sigit Yugoharto.

2
BAB II

PERMASALAHAN

Permasalahan terkait etika profesi di BPK yang belum lama ini jadi sorotan adalah kasus

penyuapan motor Harley Davidson terhadap auditor BPK yaitu Bapak Sigit Yugoharto. Kasus

penyuapan motor Harley Davidson tersebut dilakukan oleh mantan General Manager PT Jasa

Marga Tbk Cabang Purbaleunyi, Bapak Setia Budi terkait pemeriksaan dengan tujuan tertentu

periode 2017. Kronologi kasus penyuapan yang terjadi dibacakan oleh jaksa pada siding di

Pengadilan Tripikor berikut ini.

Pada saat pembacaan dakwaan di Pengadilan Tripikor Jakarta Pusat, pada hari kamis 04

Januari 2018, jaksa menyatakan bahwa terdakwa yaitu mantan GM PT Jasa Marga telah

memberikan 1 unit motor Harley Davidson Sportster dan memberi beberapa kali fasilitas hiburan

malam di karaoke Las Vegas Plaza Semanggi kepada Sigit Yugoharto.

Jaksa mengatakan tim pemeriksa BPK Sigit Yugoharto dengan jajaran direksi dan

manajemen PT Jasa Marga bertemu di Kantor Pusat PT Jasa Marga, TMII, Jakarta Timur pada 3

April 2017. Dalam pertemuan tersebut, penanggung jawab tim pemeriksa BPK Dadang Ahmad

Rifai menyampaikan metode, tujuan, jadwal dan periode pemeriksaan yang dilakukan BPK.

Pada sidang tersebut, jaksa meminta segera menyiapkan dokumen-dokumen terkait

pekerjaan yang dilaksanakan PT Jasa Marga pada tahun 2015-2016, serta meminta ditunjuk

person in charge dari pihak PT Jasa Marga dalam pelaksanaan audit yang pada akhirnya ditunjuk

Laviana Sri Hardini dan penyerahan dokumen maupun data kepada tim pemeriksa BPK

dilakukan oleh satuan pengawas internal (SPI).

3
Setelah itu, jaksa mengatakan bahwa Sigit Yugoharto bertemu dengan Laviana Sri

Hardini serta tim pemeriksa BPK di Kantor Pusat PT Jasa Marga. Dalam pertemuan tersebut, tim

pemeriksa BPK menjelaskan adanya temuan kelebihan pembayaran yang tidak sesuai atau tidak

dapat diyakini kewajarannya dalam pelaksanaan pemeliharaan periodik rekonstruksi jalan dan

pengecatan marka jalan yang dilaksanakan PT Jasa Marga Cabang Purbaleunyi tahun 2015-2016.

Oleh karena adanya temuan tersebut, tim pemeriksa BPK meminta PT Jasa Marga

Cabang Purbaleunyi memberikan tanggapan dengan menyiapkan dokumen

pendukung. Kemudian, jaksa menyatakan Setia Budi melakukan pertemuan dengan karyawan PT

Jasa Marga yaitu Maju Mapan Suhendro yang dihadiri juga Deputy GM Maintenance Service

Management PT Jasa Marga Cabang Purbaleunyi Saga Hayyu Suyanto Putra, Manager Data

Program MSM PT Jasa Marga Amri Sanusi, dan Manager Execution Wilayah 1 MSM PT Jasa

Marga Cabang Purbaleunyi Toto Purwanto di ruang kerjanya. Dalam pertemuan tersebut, Setia

Budi memberikan arahan agar temuan tim pemeriksa BPK dikawal, sehingga tidak ada temuan.

Jaksa mengatakan pada tanggal 11 Agustus 2017 saat Saga Hayyu bertemu dengan Sigit

Yugoharto di Hotel Best Western Premier The Hive Jakarta Timur, Sigit Yugoharto meminta

Saga Hayyu mengecek 1 unit sepeda motor Harley Davidson seharga Rp 95 juta di Lapas

Sukamiskin Bandung sekaligus membayarkan uang mukanya. Atas pemintaan tersebut, jaksa

mengatakan Saga Hayyu melaporkannya kepada Setia Budi. Setelah itu, Setia Budi meminta

Sagga Hayyu menindaklanjuti permintaan Sigit Yugoharto.

Pada saait itu, Saga Hayyu tidak menindaklanjuti permintaan Sigit Yugoharto dan Saga

Hayyu justru meminta agar Sigit Yugoharto menghubungi Setia Budi terkait motor Harley

Davidson. Terdakwa Setia Budi kemudian menyanggupi untuk membayar motor Harley

Davidson yang diminta oleh Sigit Yugoharto. Atas perbuatannya, Setia Budi didakwa Pasal 5

4
ayat (1) huruf b UU nomor 31 tahun 1999 tentang Tipikor sebagaimana diubah dengan UU

nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU nomor 31 tahun 1999 tentang Tipikor juncto

Pasal 64 ayat 1 KUH Pidana.

Selain ditahan KPK terkait kasus suap motor gede, nasib Auditor Madya pada Sub-

Auditorat VIIB2 Sigit Yugoharto sedang dipertimbangkan Majelis Kehormatan Kode Etik BPK.

Hal ini masih dalam proses pemeriksaan internal oleh Majelis Kehormatan Kode Etik BPK, dan

sesuai dengan ketentuan, Majelis Kehormatan Kode Etik bisa menentukan sanksi paling berat

dari profesi yaitu tidak boleh lagi menjadi auditor.

5
BAB III

PEMBAHASAN

A. Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2018

Tentang Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia

Pasal 1

 Badan Pemeriksa Keuangan yang selanjutnya disingkat BPK adalah lembaga

Negara yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan

Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.

 Anggota BPK adalah pejabat negara pada BPK yang dipilih oleh DPR dengan

memperhatikan pertimbangan DPD dan diresmikan dengan Keputusan Presiden.

 Pemeriksa adalah orang yang melaksanakan tugas pemeriksaan pengelolaan dan

tanggung jawab keuangan negara untuk dan atas nama BPK.

 Pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang

dilakukan secara independen, objektif, dan profesional berdasarkan standar

Pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan

informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

 Hasil Pemeriksaan adalah hasil akhir dari proses penilaian kebenaran, kepatuhan,

kecermatan, kredibilitas, dan keandalan data/informasi mengenai pengelolaan dan

tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan secara independen, objektif, dan

profesional berdasarkan standar Pemeriksaan, yang dituangkan dalam laporan Hasil

Pemeriksaan sebagai keputusan BPK.

6
 Kewajiban adalah segala sesuatu yang harus dilakukan sesuai dengan peraturan

yang telah ditetapkan dan apabila tidak dilakukan akan dikenakan sanksi.

 Larangan adalah segala sesuatu yang tidak diperbolehkan untuk dilakukan dan

apabila dilanggar akan dikenakan sanksi.

 Nilai Dasar BPK adalah kristalisasi moral yang melekat pada diri setiap Anggota

BPK dan Pemeriksa serta menjadi patokan dan cita–cita yang ideal dalam

melaksanakan tugas Pemeriksaan, yang terdiri dari independensi, integritas, dan

profesionalisme.

 Independensi adalah Nilai Dasar BPK yang berupa suatu sikap dan tindakan dalam

melaksanakan Pemeriksaan untuk tidak memihak kepada siapapun dan tidak

dipengaruhi oleh siapapun.

 Integritas adalah Nilai Dasar BPK yang berupa mutu, sifat, atau keadaan yang

menunjukkan kesatuan yang utuh, dimilikinya sifat jujur, kerasnya upaya, serta

kompetensi yang memadai.

 Profesionalisme adalah Nilai Dasar BPK yang berupa kemampuan, keahlian, dan

komitmen profesi dalam menjalankan tugas.

 Kode Etik BPK yang selanjutnya disebut Kode Etik adalah norma-norma yang

sesuai dengan Nilai Dasar BPK yang berisi Kewajiban dan Larangan yang harus

dipatuhi oleh setiap Anggota BPK dan Pemeriksa selama menjalankan tugasnya

untuk menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas BPK.

Analisis :

Pada hakikatnya kasus penyuapan yang terjadi antara General Manager PT Jasa

Marga Tbk Cabang Purbaleunyi atas nama Bapak Setia Budi dengan Auditor BPK atas

7
nama Bapak Sigit Yugoharto, pihak auditor Bapak Sigit Yugoharto telah tidak

menjalankan Pasal 1 terkait ketentuan umum yang ada di peraturan BPK Nomor 4 Tahun

2018 tentang penjelasan-penjelasan terkait kode etik seperti pemahaman yang menekankan

pada pemeriksaan, hasil pemeriksaan, nilai dasar BPK dan kode etik BPK. Hal tersebut

juga dijelaskan pada Pasal 2 terkait tujuan kode etik itu sendiri.

Pasal 2

Kode Etik bertujuan untuk mewujudkan Anggota BPK dan Pemeriksa yang independen,

berintegritas, dan profesional dalam tugas Pemeriksaan demi menjaga martabat,

kehormatan, citra, dan kredibilitas BPK.

Pasal 3

(1) Kode Etik ini berlaku bagi Anggota BPK dan Pemeriksa.

(2) Pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

a. Pelaksana BPK yang menduduki Jabatan Fungsional Pemeriksa;

b. Pelaksana BPK yang tidak menduduki Jabatan Fungsional Pemeriksa; dan

c. pihak lainnya

Analisis :

Sesuai dengan ketentuan Pasal 3, kode etik harus dijalankan serta ditanamkan bagi

Anggota BPK dan Pemeriksa. Karena menjadi nilai dasar dalam proses pemeriksaan

sampai dengan hasil pemeriksaan. Sesuai yang tercantum pada pasal 4.

8
Pasal 4

Kode Etik harus diwujudkan dalam sikap, ucapan, dan perbuatan Anggota BPK dan

Pemeriksa selama menjalankan tugasnya.

KODE ETIK BAGI ANGGOTA BPK

Pasal 5

(1) Setiap Anggota BPK wajib:

a. setia terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. bersikap jujur dan bertingkah laku sopan;

c. mematuhi ketentuan peraturan perundangundangan;

d. menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas BPK;

e. menjunjung tinggi nilai moral yang berlaku dalam masyarakat;

f. melaksanakan sumpah atau janji yang diucapkan ketika mulai memangku

jabatannya;

g. menjaga rahasia negara atau rahasia jabatan;

h. mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, seseorang, dan/atau

golongan;

i. menghindari terjadinya benturan kepentingan;

j. menunjukkan sikap kemandirian dalam pengambilan keputusan; dan

k. bertanggung jawab, konsisten, dan bijak.

(2) Setiap Anggota BPK dilarang:

a. menjadi anggota organisasi yang dinyatakan dilarang secara sah di wilayah Republik

Indonesia dan organisasi lain yang menimbulkan keresahan masyarakat;

9
b. memperlambat atau tidak melaporkan Hasil Pemeriksaan yang mengandung unsur

pidana kepada instansi yang berwenang;

c. menggunakan keterangan, bahan, data, informasi, atau dokumen lainnya yang

diperolehnya pada waktu melaksanakan tugas yang melampaui batas kewenangannya

kecuali untuk kepentingan penyidikan yang terkait dengan dugaan adanya tindak

pidana;

d. secara langsung maupun tidak langsung menjadi pemilik seluruh, sebagian, atau

penjamin badan usaha yang melakukan usaha dengan tujuan untuk mendapatkan laba

atau keuntungan atas beban keuangan negara;

e. menunjukkan keberpihakan dan dukungan kepada kegiatan-kegiatan politik praktis;

f. menjadi anggota partai politik;

g. meminta dan/atau menerima uang, barang, dan/atau fasilitas lainnya baik langsung

maupun tidak langsung dari pihak yang terkait dengan Pemeriksaan;

h. melakukan kegiatan baik secara sendiri-sendiri maupun dengan orang lain yang

secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara;

i. melakukan kegiatan yang dapat menguntungkan kelompoknya dengan memanfaatkan

status dan kedudukannya baik langsung maupun tidak langsung;

j. menjadi perantara dalam pengadaan barang dan/atau jasa di lingkungan pemerintah;

k. menjalankan pekerjaan dan profesi lain yang dapat mengganggu Independensi,

Integritas, dan Profesionalismenya selaku Anggota BPK;

l. memanfaatkan status, kedudukan, dan peranannya selaku pejabat negara untuk

kepentingan pribadi, seseorang, dan/atau golongan;

10
m. merangkap jabatan dalam lingkungan lembaga negara yang lain, dan badan-badan

lain yang mengelola keuangan negara, swasta nasional/asing, tidak termasuk

organisasi nirlaba;

n. mempublikasikan temuan dan/atau Hasil Pemeriksaan sebelum diserahkan kepada

lembaga perwakilan;

o. terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan objek

Pemeriksaan, seperti memberikan jasa asistensi, jasa konsultasi, jasa pengembangan

sistem, jasa penyusunan dan/atau review laporan keuangan objek Pemeriksaan; dan

p. memerintahkan dan/atau mempengaruhi dan/atau mengubah temuan Pemeriksaan,

opini, kesimpulan, dan rekomendasi Hasil Pemeriksaan yang tidak sesuai dengan

fakta dan/atau bukti-bukti yang diperoleh pada saat Pemeriksaan, sehingga

mengakibatkan temuan Pemeriksaan, opini, kesimpulan, dan rekomendasi Hasil

Pemeriksaan menjadi tidak objektif.

KODE ETIK BAGI PEMERIKSA

Pasal 6

(1) Setiap Pemeriksa wajib:

a. setia terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. mematuhi ketentuan peraturan perundangundangan;

c. menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas BPK;

d. bersikap jujur, tegas, bertanggung jawab, objektif, dan konsisten dalam

mengemukakan pendapat berdasarkan fakta Pemeriksaan;

e. menjaga kerahasiaan Hasil Pemeriksaan kepada pihak yang tidak berkepentingan;

11
f. mampu mengendalikan diri, bertingkah laku sopan, dan bekerja sama yang baik

dalam pelaksanaan tugas;

g. menunjukkan sikap kemandirian dalam melaksanakan tugas Pemeriksaan;

h. menyampaikan temuan Pemeriksaan yang mengandung unsur pidana sesuai dengan

prosedur kepada Anggota BPK yang memberi tugas;

i. menghindari terjadinya benturan kepentingan;

j. melaksanakan tugas Pemeriksaan secara cermat, teliti, dan akurat sesuai dengan

standar Pemeriksaan; dan

k. meningkatkan pengetahuan dan keahliannya.

Analisis :

Dengan menekankan Poin h Pasal 5 dan Pasal 6, sebaiknya Bapak Sigit Yugoharto lebih

mementingkan kepentingan negara bukan mementingkan kepentingan pribadi dengan

meminta 1 unit motor Harley Davidson Sportster serta menerima fasilitas hiburan malam

di karaoke Las Vegas Plaza Semanggi dan bukan untuk kepentingan seseorang/organisasi

demi hasil pemeriksaan yang sehat. Selain itu, Sigit Yugoharto setelah menemukan

temuan, segera melaporkan sesuai dengan prosedur kepada anggota BPK yang memberi

tugas.

(2) Setiap Pemeriksa dilarang:

a. menjadi anggota organisasi yang dinyatakan dilarang secara sah di wilayah Republik

Indonesia dan organisasi lain yang menimbulkan keresahan masyarakat;

b. menjadi perantara dalam pengadaan barang dan/atau jasa di lingkungan entitas yang

melakukan pengelolaan keuangan negara;

12
c. meminta dan/atau menerima uang, barang, dan/atau fasilitas lainnya baik langsung

maupun tidak langsung dari pihak yang terkait dengan Pemeriksaan;

d. menyalahgunakan dan melampaui wewenangnya baik sengaja atau karena

kelalaiannya;

e. menghambat pelaksanaan tugas Pemeriksaan untuk kepentingan pribadi, seseorang,

dan/atau golongan;

f. memanfaatkan rahasia negara yang diketahui karena kedudukan atau jabatannya

untuk kepentingan pribadi, seseorang, dan/atau golongan;

g. memaksakan kehendak pribadi kepada pihak yang diperiksa;

h. menunjukkan keberpihakan dan dukungan kepada kegiatan-kegiatan politik praktis;

i. menjadi pengurus yayasan dan/atau badan-badan usaha yang kegiatannya dibiayai

anggaran negara;

j. terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan objek

Pemeriksaan, seperti memberikan jasa asistensi, jasa konsultasi, jasa pengembangan

sistem, jasa penyusunan dan/atau review laporan keuangan objek Pemeriksaan;

k. mendiskusikan pekerjaannya dengan pihak yang diperiksa di luar kantor BPK atau di

luar kantor atau area kegiatan objek Pemeriksaan;

l. melaksanakan Pemeriksaan terhadap pejabat pengelola keuangan negara yang

memiliki hubungan pertalian darah dan semenda sampai derajat kedua;

m. melaksanakan Pemeriksaan pada objek Pemeriksaan dimana Pemeriksa pernah

bekerja selama 2 (dua) tahun terakhir;

n. mengubah tujuan dan lingkup Pemeriksaan yang telah ditetapkan dalam program

Pemeriksaan tanpa persetujuan Penanggung Jawab Pemeriksaan;

13
o. mengungkapkan laporan Hasil Pemeriksaan atau substansi Hasil Pemeriksaan yang

belum diserahkan kepada DPR, DPD, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(DPRD) kepada media massa dan/atau pihak lain;

p. mengubah temuan atau memerintahkan untuk mengubah temuan Pemeriksaan, opini,

kesimpulan, dan rekomendasi Hasil Pemeriksaan yang tidak sesuai dengan fakta

dan/atau bukti-bukti yang diperoleh pada saat Pemeriksaan, sehingga mengakibatkan

temuan Pemeriksaan, opini, kesimpulan, dan rekomendasi Hasil Pemeriksaan

menjadi tidak objektif; dan

q. mengubah dan/atau menghilangkan bukti Hasil Pemeriksaan.

Analisis :

- Sesuai dengan Pasal 5 Nomor 2 Poin b dan Pasal 6 Nomor 2 Poin p dan q Bapak Sigit

Yugoharto tidak melaporkan hasil pemeriksaan dengan jujur dan mengandung unsur

pidana, dimana beliau telah mengubah temuannya terkait pemeriksaan dengan tujuan

tertentu, lebih spesifiknya ia mengubah temuan keuangan Jasa Marga yang tadinya sekitar

Rp13 miliar menjadi Rp842,9 juta. Dengan rincian pengubahan temuan keuangan pada

tahun 2015 Rp 526,4 juta dan tahun 2016 Rp 316,4 juta.

- Sesuai dengan Pasal 5 Nomor 2 Poin g dan Pasal 6 Nomor 2 Poin c Bapak Sigit

Yugoharto telah terbukti meminta/menerima fasilitas kepada GM Bapak Setia Budi. Serta

meminta pembayaran untuk uang mukanya.

- Sesuai dengan Pasal 5 Nomor 2 Poin p dan Pasal 6 Nomor 2 Poin p dan q pihak

pemeriksa telah diarahkan oleh GM terkait pemberian arahan agar temuan tim pemeriksa

BPK dikawal sehingga tidak ada temuan.

14
Pasal 7

(1) Anggota BPK yang melakukan pelanggaran terhadap Kewajiban dan/atau Larangan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang berdampak negatif terhadap unit pelaksana

tugas Pemeriksaan, dijatuhi sanksi berupa peringatan tertulis.

(2) Anggota BPK yang melakukan pelanggaran terhadap Kewajiban dan/atau Larangan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang berdampak negatif pada negara dan/atau

BPK, dijatuhi sanksi berupa pemberhentian dari keanggotaan BPK.

(3) Anggota BPK yang melakukan pelanggaran Kode Etik berikutnya dijatuhi sanksi

Kode Etik yang lebih berat.

Pasal 8

(1) Pemeriksa yang melakukan pelanggaran terhadap Kewajiban dan/atau Larangan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 yang berdampak negatif terhadap tim Pemeriksa

atau satuan kerja, dijatuhi sanksi tingkat ringan.

(2) Pemeriksa yang melakukan pelanggaran terhadap Kewajiban dan/atau Larangan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 yang berdampak negatif terhadap unit pelaksana

tugas Pemeriksaan, dijatuhi sanksi tingkat sedang.

(3) Pemeriksa yang melakukan pelanggaran terhadap Kewajiban dan/atau Larangan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 yang berdampak negatif terhadap negara

dan/atau BPK, dijatuhi sanksi tingkat berat.

Pasal 9

(1) Jenis sanksi tingkat ringan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) untuk

Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a dan huruf b berupa

15
larangan melakukan Pemeriksaan selama 1 (satu) tahun dengan masa percobaan

selama 6 (enam) bulan.

(2) Jenis sanksi tingkat sedang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) untuk

Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a dan huruf b berupa

diberhentikan sebagai Pemeriksa paling sedikit 1 (satu) tahun atau paling lama 2 (dua)

tahun.

(3) Jenis sanksi tingkat berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) untuk

Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a dan huruf b berupa

diberhentikan sebagai Pemeriksa paling sedikit 3 (tiga) tahun atau diberhentikan

secara tetap sebagai Pemeriksa.

(4) Pemeriksa yang dijatuhi sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)

dilarang ditugaskan dalam Pemeriksaan.

Analisis :

Atas tindakan yang telah dilakukan oleh Sigit Yugoharto sebagai pemeriksa BPK atas

kasus penyuapan oleh GM PT Jasa Marga Tbk Cabang Purbaleunyi, Majelis Kehormatan

Kode Etik menentukan sanksi paling berat dari profesi yaitu tidak boleh lagi menjadi

auditor. Sesuai dengan pasal 7 Nomor 2 dan 3, Pasal 8 Nomor 3, dan Pasal 9 Nomor 3 dan

B. Pernyataan Standar Pemeriksaan 06 Standar Pelaksanaan Pemeriksaan Dengan

Tujuan Tertentu (Spkn Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia

Nomor 1 Tahun 2017)

16
1. Pengantar

01 Pernyataan standar ini mengatur standar pelaksanaan untuk pemeriksaan dengan

tujuan tertentu.

02 Lembaga Perwakilan atau pemerintah atau pihak lainnya mungkin meminta

pemeriksa untuk melaporkan kesesuaian sesuatu program, kegiatan atau hal lain

yang dilakukan oleh entitas yang diperiksa yang dibandingkan dengan suatu

kriteria.

03 Standar Pemeriksaan memberlakukan setiap standar pekerjaan lapangan pada

standar atestasi yang ditetapkan IAI kecuali ditentukan lain.

2. Hubungan dengan Standar Profesional Akuntan Publik yang Ditetapkan

Oleh IAI

04 Untuk pemeriksaan dengan tujuan tertentu, Standar Pemeriksaan

Memberlakukan dua pernyataan standar pekerjaan lapangan perikatan/penugasan

atestasi SPAP yang ditetapkan IAI berikut ini:

a. Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika digunakan asisten harus

disupervisi dengan semestinya.

b. Bukti yang cukup harus diperoleh untuk memberikan dasar rasional bagi

simpulan yang dinyatakan dalam laporan.

05 Standar Pemeriksaan menetapkan standar pelaksanaan tambahan Pemeriksaan

Dengan Tujuan Tertentu berikut ini:

a. Komunikasi pemeriksa (lihat paragraf 06 s.d. 14)

17
b. Pertimbangan terhadap hasil pemeriksaan sebelumnya (lihat paragraf 15 s.d.

18)

c. Pengendalian intern (lihat paragraf 19 s.d. 20)

d. Merancang pemeriksaan untuk mendeteksi terjadinya penyimpangan dari

ketentuan peraturan perundang-undangan; kecurangan (fraud), serta

ketidakpatutan (abuse) (lihat paragraf 21 s.d. 27)

e. Dokumentasi pemeriksaan (lihat paragraf 28 s.d. 35)

3. Komunikasi Pemeriksa

06 Pernyataan standar pelaksanaan tambahan pertama adalah:

“Pemeriksa harus mengkomunikasikan informasi yang berkaitan dengan sifat, saat,

dan lingkup pengujian serta pelaporan yang direncanakan atas hal yang akan

dilakukan pemeriksaan, kepada manajemen entitas yang diperiksa dan atau pihak yang

meminta pemeriksaan”.

07 Selama dalam tahap perencanaan pemeriksaan, pemeriksa harus

mengkomunikasikan kepada entitas yang diperiksa dan atau pihak yang meminta

pemeriksaan tersebut mengenai hal-hal yang berkaitan dengan sifat, saat, lingkup

pengujian dan pelaporan, dan tingkat keyakinan yang diharapkan serta

kemungkinan adanya pembatasan atas laporan hasil pemeriksaan yang dikaitkan

dengan tingkat keyakinan untuk mengurangi risiko salah interpretasi atas laporan

hasil pemeriksaan.

18
08 Pemeriksa harus menggunakan pertimbangan profesionalnya untuk

menentukan bentuk, isi dan intensitas komunikasi. Bentuk komunikasi tertulis adalah

bentuk yang lebih baik.

09 Apabila pemeriksaan tersebut merupakan bagian dari pemeriksaan yang

lebih besar, informasi ini dapat dikomunikasikan kepada pihak yang bertanggung

jawab atas pemeriksaan yang lebih besar tersebut. Sebagai contoh, hasil

pemeriksaan dengan tujuan tertentu dapat digunakan untuk mendukung

pemeriksaan atas laporan keuangan.

10 Dalam hal organisasi pemeriksa menugaskan pemeriksa melaksanakan

pemeriksaan berdasarkan permintaan entitas yang diperiksa dan atau pihak ketiga,

pemeriksa juga harus melaksanakan komunikasi dengan pihak-pihak tersebut.

Komunikasi tersebut harus dilakukan secara tertulis.

11 Pemeriksa harus mengkomunikasikan tanggung jawabnya dalam

penugasan pemeriksaan, antara lain kepada:

a. Manajemen entitas yang diperiksa.

b. Lembaga/badan yang memiliki fungsi pengawasan terhadap manajemen atau

pemerintah seperti DPR/DPRD, dewan komisaris, komite audit, dewan

pengawas.

c. Pihak yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab terhadap hal yang

diperiksa.

12 Pemeriksa sebaiknya melakukan juga komunikasi dengan

pemeriksa /pengawas dan/atau manajemen entitas yang diperiksa. Komunikasi

tersebut dapat berupa pemahaman atas informasi yang terkait dengan obyek

19
pemeriksaan dan pengendalian intern entitas yang diperiksa.

13 Apabila suatu pemeriksaan dihentikan sebelum berakhir, pemeriksa

harus menulis catatan yang berisi ringkasan hasil pelaksanaan pemeriksaan dan

menjelaskan alasan pemeriksaan dihentikan. Pemeriksa harus

mengkomunikasikan secara tertulis alasan penghentian pemeriksaan tersebut kepada

entitas yang diperiksa, entitas yang meminta pemeriksaan, dan pihak lain yang

ditentukan ketentuan peraturan perundang-undangan.

14 Apabila akuntan publik atau pihak lainnya yang bekerja untuk dan atas

nama BPK ditugaskan untuk melakukan pemeriksaan dan akuntan publik atau

pihak lain tersebut berpendapat bahwa pemeriksaan harus dihentikan sebelum

pemeriksaan berakhir maka akuntan publik atau pihak lain tersebut wajib

mengkonsultasikan pandangannya terlebih dahulu secara tertulis kepada BPK.

Selanjutnya BPK akan memutuskan apakah pemeriksaan harus dilanjutkan atau

dihentikan.

4. Pertimbangan Terhadap Hasil Pemeriksaan Sebelumnya

15 Pernyataan standar pelaksanaan tambahan kedua adalah:

“Pemeriksa harus mempertimbangkan hasil pemeriksaan sebelumnya serta tindak lanjut

atas rekomendasi yang signifikan dan berkaitan dengan hal yang diperiksa”.

16 Pemeriksa harus memperoleh informasi dari entitas yang diperiksa untuk

mengidentifikasi pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, pemeriksaan

dengan tujuan tertentu, atau studi lain yang sebelumnya telah dilaksanakan yang

berkaitan dengan hal yang diperiksa. Pemeriksa harus menggunakan pertimbangan

20
profesionalnya dalam menentukan: (1) periode yang harus diperhitungkan, (2) lingkup

pekerjaan pemeriksaan yang diperlukan untuk memahami tindak lanjut temuan signifikan

yang mempengaruhi pemeriksaan, dan (3) pengaruhnya terhadap penilaian risiko dan

prosedur pemeriksaan dalam perencanaan pemeriksaan.

17 Besarnya manfaat yang diperoleh dari pemeriksaan tidak terletak pada

temuan pemeriksaan yang dilaporkan atau rekomendasi yang dibuat, tetapi terletak pada

efektivitas penyelesaian yang ditempuh oleh entitas yang diperiksa. Manajemen entitas

yang diperiksa bertanggung jawab untuk menindaklanjuti rekomendasi serta

menciptakan dan memelihara suatu proses dan sistem informasi untuk memantau

status tindak lanjut atas rekomendasi pemeriksa dimaksud.

18 Pemeriksa perlu memperhatikan bahwa berdasarkan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku, manajemen dapat memperoleh sanksi bila tidak

melakukan tindak lanjut atas rekomendasi perbaikan sebagai hasil pemeriksaan

sebelumnya.

5. Pengendalian Intern

19 Pernyataan standar pelaksanaan tambahan ketiga adalah:

“Dalam merencanakan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu dalam bentuk

eksaminasi dan merancang prosedur untuk mencapai tujuan pemeriksaan, pemeriksa

harus memperoleh pemahaman yang memadai tentang pengendalian intern yang

sifatnya material terhadap hal yang diperiksa”.

20 Dalam merencanakan suatu Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu dalam

bentuk eksaminasi, pemeriksa harus memperoleh suatu pemahaman atas pengendalian

21
intern yang berkaitan dengan hal yang diuji yang bersifat keuangan maupun non-

keuangan. Pengendalian intern tersebut terkait dengan:

a. Efektivitas dan efisiensi kegiatan, termasuk penggunaan sumber daya entitas.

b. Tingkat keandalan pelaporan keuangan, termasuk laporan pelaksanaan

anggaran dan laporan lain, baik untuk intern maupun ekstern.

c. Kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan.

d. Pengamanan aktiva.

6. Merancang Pemeriksaan untuk Mendeteksi Terjadinya Penyimpangan dari

Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan; Kecurangan (Fraud), Serta

Ketidakpatutan (Abuse)

21 Pernyataan standar pelaksanaan tambahan keempat adalah:

a. Dalam merencanakan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu dalam bentuk

eksaminasi, pemeriksa harus merancang pemeriksaan dengan tujuan untuk

memberikan keyakinan yang memadai guna mendeteksi kecurangan dan

penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang dapat

berdampak material terhadap hal yang diperiksa.

b. Dalam merencanakan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu dalam bentuk reviu

atau prosedur yang disepakati, pemeriksa harus waspada terhadap situasi atau

peristiwa yang mungkin merupakan indikasi kecurangan dan penyimpangan dari

ketentuan peraturan perundang- ndangan. Apabila ditemukan indikasi kecurangan

dan/atau penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang

secara material mempengaruhi hal yang diperiksa, pemeriksa harus

22
menerapkan prosedur tambahan untuk memastikan bahwa kecurangan dan/atau

penyimpangan tersebut telah terjadi dan menentukan dampaknya terhadap hal

yang diperiksa.

c. Pemeriksa harus waspada terhadap situasi dan/atau peristiwa yang mungkin

merupakan indikasi kecurangan dan/atau ketidakpatutan, dan apabila

ditemukan indikasi tersebut serta berpengaruh signifikan terhadap pemeriksaan,

pemeriksa harus menerapkan prosedur tambahan untuk memastikan bahwa

kecurangan dan/atau ketidakpatutan tersebut telah terjadi dan menentukan

dampaknya terhadap hasil pemeriksaan.

22 Pemeriksa harus menggunakan pertimbangan profesionalnya dalam

merencanakan pemeriksaan dengan tujuan tertentu dalam bentuk eksaminasi dengan cara:

(1) memperoleh suatu pemahaman mengenai dampak yang mungkin terjadi dari

kecurangan dan penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan terhadap hal

yang diperiksa, dan (2) mengidentifikasi dan menilai risiko yang mungkin berdampak

material terhadap pemeriksaan.Pemeriksa harus mendokumentasikan penilaian risiko.

Apabila ditemukan faktor-faktor risiko, maka dokumentasinya harus mencakup:

a. Faktor-faktor risiko.

b. Penilaian pemeriksa atas faktor-faktor risiko tersebut, baik secara sendiri- sendiri

maupun keseluruhan.

23 Selain itu, apabila selama pelaksanaan pemeriksaan ditemukan faktor

risiko lain yang menyebabkan pemeriksa berpendapat bahwa perlu dilakukan tindakan

lebih lanjut maka faktor risiko dan setiap tindakan dimaksud harus didokumentasikan.

23
24 Untuk pemeriksaan dengan tujuan tertentu dalam bentuk reviu atau

prosedur yang disepakati, pemeriksa harus waspada terhadap situasi atau peristiwa yang

mengindikasikan kecurangan dan/atau penyimpangan dari ketentuan peraturan

perundang-undangan. Apabila pemeriksa memperoleh informasi (melalui prosedur

pemeriksaan, pengaduan, atau cara lainnya) yang mengindikasikan telah terjadi

kecurangan dan/atau penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan,

pemeriksa harus mempertimbangkan apakah hal tersebut dapat berdampak material

terhadap hasil pemeriksaan. Apabila berdampak material, pemeriksa harus

memperluas langkah dan prosedur pemeriksaan yang diperlukan untuk: (1) menentukan

kemungkinan telah terjadinya kecurangan dan/atau penyimpangan dari

ketentuan peraturan perundang-undangan, dan (2) apabila memang benar-benar telah

terjadi, pemeriksa harus menentukan dampaknya terhadap hasil pemeriksaan.

25 Ketidakpatutan berbeda dengan kecurangan atau penyimpangan dari

ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketidakpatutan terjadi tidak disebabkan oleh

kecurangan dan atau penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun

dalam hal ini, ketidakpatutan adalah perbuatan yang jauh berada di luar pikiran yang

masuk akal atau di luar praktik-praktik sehat yang lazim harus mempertimbangkan

apakah ketidakpatutan tersebut secara signifikan mempengaruhi hasil pemeriksaan. Apabila

indikasi terjadinya ketidakpatutan memang ada dan secara signifikan akan mempengaruhi

hasil pemeriksaan, pemeriksa harus memperluas langkah dan prosedur pemeriksaan,

untuk: (1) menentukan apakah ketidakpatutan memang benar-benar terjadi, dan (2) apabila

memang benar-benar terjadi, pemeriksa harus menentukan pengaruhnya terhadap

hasil pemeriksaan.

24
26 Pemeriksa harus menggunakan pertimbangan profesionalnya dalam

menelusuri indikasi adanya kecurangan, penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-

undangan atau ketidakpatutan, tanpa mencampuri proses investigasi atau proses hukum

selanjutnya, atau kedua-duanya. Dalam kondisi tertentu, ketentuan peraturan perundang-

undangan mengharuskan pemeriksa untuk melaporkan indikasi terjadinya kecurangan,

penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan atau ketidakpatutan kepada

pihak yang berwenang sebelum memperluas langka dan prosedur pemeriksaan.Pemeriksa

perlu memperhatikan prosedur yang berlaku di BPK

7. Pengembangan Unsur-Unsur Temuan Pemeriksaan dengan Tujuan

Tertentu

27 Temuan pemeriksaan dengan tujuan tertentu, seperti kelemahan dalam

pengendalian intern, kecurangan, penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-

undangan atau ketidakpatutan, pada umumnya mengandung unsur-unsur kondisi,

kriteria, dan akibat, juga sebab dari masalah yang ditemukan. Akan tetapi, suatu temuan

tidak harus mengandung unsur akibat dan atau sebab sepanjang temuan tersebut

memenuhi tujuan pemeriksaan.

8. Dokumentasi Pemeriksaan

28 Pernyataan standar pelaksanaan tambahan kelima adalah:

“Pemeriksa harus mempersiapkan dan memelihara dokumentasi pemeriksaan dalam

bentuk kertas kerja pemeriksaan. Dokumentasi pemeriksaan yang terkait dengan

perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan pemeriksaan harus berisi informasi yang

25
cukup untuk memungkinkan pemeriksa yang berpengalama tetapi tidak mempunyai

hubungan dengan pemeriksaan tersebut dapat memastikan bahwa dokumentasi

pemeriksaan tersebut dapat menjadi bukti yang mendukung pertimbangan dan simpulan

pemeriksa”.

29 Bentuk dan isi dokumentasi pemeriksaan harus dirancang sedemikian

rupa sehingga sesuai dengan kondisi masing-masing pemeriksaan. Informasi yang

dimasukkan dalam dokumentasi pemeriksaan menggambarkan catatan penting mengenai

pemeriksaan yang dilaksanakan oleh pemeriksa sesuai dengan standar dan simpulan

pemeriksa. Kuantitas, jenis, dan isi dokumentasi pemeriksaan didasarkan atas

pertimbangan profesional pemeriksa.

30 Dokumentasi pemeriksaan memberikan tiga manfaat, yaitu:

a. Memberikan dukungan utama terhadap laporan hasil pemeriksaan.

b . Membantu pemeriksa dalam melaksanakan dan mengawasi pelaksanaan pemeriksaan.

c. Memungkinkan pemeriksa lain untuk mereviu kualitas pemeriksaan.

31 Dokumentasi pemeriksaan juga harus memuat:

a. Tujuan, lingkup, dan metodologi pemeriksaan, termasuk kriteria pengambilan uji-

petik yang digunakan.

b. Dokumentasi pemeriksaan yang dilakukan untuk mendukung simpulan dan

pertimbangan profesional.

c. Bukti tentang reviu supervisi terhadap pemeriksaan yang dilakukan.

d . Penjelasan pemeriksa mengenai standar yang tidak diterapkan beserta alasan dan

akibatnya.

26
32 Penyusunan dokumentasi pemeriksaan harus cukup terinci untuk

memberikan pengertian yang jelas tentang tujuan, sumber dan simpulan yang dibuat oleh

pemeriksa, dan harus diatur sedemikian rupa sehingga jelas hubungannya dengan

temuan dan simpulan yang ada dalam laporan hasil pemeriksaan.

33 Dokumentasi pemeriksaan memungkinkan dilakukannya reviu

terhadap kualitas pelaksanaan pemeriksaan, yaitu dengan memberikan dokumentasi

pemeriksaan tersebut kepada pereviu, baik dalam bentuk dokumentasi tertulis maupun

dalam format elektronik.

34 Organisasi pemeriksa harus menetapkan kebijakan dan prosedur yang

wajar mengenai pengamanan dan penyimpanan dokumentasi pemeriksaan

selama waktu tertentu, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

35 Organisasi pemeriksa harus menjaga dengan baik dokumentasi yang

berkaitan dengan setiap pemeriksaan. Organisasi pemeriksa harus mengembangkan

kebijakan dan kriteria yang jelas guna menghadapi situasi bila ada permintaan dari pihak

ekstern yang meminta akses terhadap dokumentasi, khususnya yang berhubungan

dengan situasi di mana pihak ekstern mencoba untuk mendapatkannya secara tidak

langsung kepada pemeriksa mengenai hal-hal yang tidak dapat mereka peroleh secara

langsung dari entitas yang diperiksa.

9. Pemberlakuan Standar Pemeriksaan

36 Pernyataan Standar Pemeriksaan ini efektif berlaku dan

mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak tanggal diundangkan.

27
C. Pernyataan Standar Pemeriksaan 06 Standar Pelaksanaan Pemeriksaan dengan

Tujuan Tertentu

Menurut PSP 06 point 1 pernyataan standar mengatur standar pelaksanaan untuk

pemeriksaan BPK terkait kasus penyuapan motor Harley Davidson terhadap auditor BPK

yaitu Bapak Sigit Yugoharto dengan tujuan mengetahui kejanggalan kelebihan biaya di PT Jasa

Marga.

Menurut PSP 06 point 2 BPK meminta tim pemeriksa untuk melaporkan kesesuaian

kelebihan pembayaran yang tidak sesuai atau tidak dapat diyakini kewajarannya dalam

pelaksanaan pemeliharaan periodik rekonstruksi jalan dan pengecatan marka jalan yang

dilaksanakan PT Jasa Marga Cabang Purbaleunyi tahun 2015-2016.

Untuk pemeriksaan dengan tujuan tertentu, Standar Pemeriksaan memberlakukan

dua pernyataan standar pekerjaan lapangan perikatan/penugasan atestasi SPAP yang

ditetapkan IAI berikut ini yaitu Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika

digunakan asisten harus disupervisi dengan bukti yang cukup harus diperoleh untuk

memberikan dasar rasional bagi simpulan yang dinyatakan dalam laporan.

SPKN mengenai Standar Pelaksanaan Tambahan, yaitu:

“Pemeriksa harus mengkomunikasikan informasi yang berkaitan dengan sifat, saat, dan

lingkup pengujian serta pelaporan yang direncanakan atas hal yang akan dilakukan

pemeriksaan, kepada manajemen entitas yang diperiksa dan atau pihak yang meminta

pemeriksaan”.

Selama dalam tahap perencanaan pemeriksaan, pemeriksa harus

mengkomunikasikan kepada entitas yang diperiksa dan atau pihak yang meminta

28
pemeriksaan tersebut mengenai hal-hal yang berkaitan dengan sifat, saat, lingkup pengujian

dan pelaporan, dan tingkat keyakinan yang diharapkan serta kemungkinan adanya

pembatasan atas laporan hasil pemeriksaan yang dikaitkan dengan tingkat keyakinan untuk

mengurangi risiko salah interpretasi atas laporan hasil pemeriksaan. Sigit Yugoharto selaku

tim auditor madya BPK terhadap PT Jasa Marga menemukan kejanggalan terkait biaya

dalam pelaksanaan pemeliharaan periodik rekonstruksi jalan dan pengecatan marka jalan

tahun 2015-2016. Jajaran direksi PT Jasa Marga mengadakan pertemuan untuk

mengantisipasi temuan BPK tersebut dengan meminta BPK dikawal agar temuan BPK tidak

benar terjadi. Seharusnya, pihak BPK mengkomunikasikan kepada entitas yang diperiksa

tentang apa yang sudah di audit namun justru meminta Saga Hayyu untuk memberikan

harley davidson dan sejumlah uang. Serta, pihak Jasa Marga juga menyetujuinya sehingga

kedua belah pihak dinyatakan bersalah.

Pemeriksa harus menggunakan pertimbangan profesionalnya untuk menentukan

bentuk, isi dan intensitas komunikasi. Bentuk komunikasi tertulis adalah bentuk yang lebih

baik. Bukti dari pemeriksaan itu bahwa jaksa meminta Laviana Sri Hardini untuk penyerahan

dokumen maupun data kepada tim pemeriksa BPK dilakukan oleh satuan pengawas internal

(SPI) sebai bukti audit. Seharusnya pemeriksa BPK melakukan pemeriksaan sesuai dengan

SPKN 06. Pemeriksa perlu memperhatikan bahwa berdasarkan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku, manajemen dapat memperoleh sanksi bila tidak melakukan

tindak lanjut atas rekomendasi perbaikan sebagai hasil pemeriksaan sebelumnya. Merancang

pemeriksa untuk mendeteksi terjadinya penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-

undangan seperti kecurangan (fraud) atau ketidakpatutan (abuse). Seperti Sigit Yogaharto

yang melakukan pelanggaran karena memeriksa tidak sesuai standar pemeriksa sehingga

29
dapat dijatuhkan hukuman jaksa yaitu selain ditahan KPK terkait kasus suap motor gede,

nasib Auditor Madya pada Sub-Auditorat VII B2 Sigit Yugoharto sedang dipertimbangkan

Majelis Kehormatan Kode Etik BPK yang masih dalam proses pemeriksaan internal oleh

Majelis Kehormatan Kode Etik BPK, dan sesuai dengan ketentuan, Majelis Kehormatan

Kode Etik bisa menentukan sanksi paling berat dari profesi yaitu tidak boleh lagi menjadi

auditor.

D. Penjelasan Tentang Kode Etik Berdasarkan Kasus yang Terjadi di Indonesia

Kasus Penyuapan Motor Harley Davidson oleh Mantan General Manager PT Jasa Marga

Tbk Cabang Purbaleunyi, Setia Budi kepada Auditor BPK, Sigit Yugoharto. Sigit Yugohato

selaku auditor BPK dan anggota BPK telah melanggar peraturan kode etik yang telah disahkan

oleh Negara yaitu Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Rrepublik Indonesia Nomor 4 Tahun

2018 Tentang Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. Sigit Yugoharto

telah melanggar kode etik pada pasal 5 ayat (2) dan pasal 7 ayat (2) yaitu : Pasal 5 ayat (2) yang

berisi : “Untuk menjamin integritas dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Anggota BPK

dilarang meminta dan/atau menerima uang barang dan/atau fasilitas lainnya baik langsung

maupun tidak langsung dari pihak yang terkait dengan pemeriksaan” Pasal 6 ayat (2) yaitu

berisi : “Untuk menjamin integritas dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Pemeriksa

dilarang:

a. meminta dan/atau menerima uang barang dan/atau fasilitas lainnya baik langsung

maupun tidak langsung dari pihak yang terkait dengan pemeriksaan.

b. menyalahgunakan wewenangnya sebagai Pemeriksa guna memperkaya atau

menguntungkan diri sendiri atau pihak lain.

30
Pada kasus ini, Sigit Yugoharto juga dapat dikenakan sanksi dari Majelis Kehormatan BPK

sesuai dengan keputusan yang dilakukan pada sidang Majelis Kehormatan. Putusan sidang

Majelis Kehormatan harus disertai rekomendasi kepada BPK.

Sesuai dengan pasal 30 ayat (2) adalah Rekomendasi yang dimaksud dapat berupa :

a. sanksi

b. rehabilitasi

c. upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya pelanggaran Kode

Etik.

Sanksi sebagaimana dimaksud pada pasal 30 ayat (2) huruf a kepada Pemeriksa dapat

berupa :

a. peringatan tertulis; atau

b. larangan melakukan pemeriksaan keuangan negara untuk jangka waktu tertentu; atau

c. pemberhentian dari jabatan fungsional pemeriksa keuangan negara.

Putusan Sidang Majelis Kehormatan harus mendapat persetujuan dari BPK, lalu pihak BPK

akan menindaklanjuti rekomendasi Majelis Kehormatan.

31
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

BPK sebagai lembaga pemeriksa keuangan Negara diharapkan dapat menjadi

lembaga yang independen dan professional, akan tetapi ada banyak sederet kasus yang

melibatkan BPK mengenai pelanggaran kode etik ini, salah satunya adalah kasus suap yang

diterima salah satu oknum BPK atas Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu dari PT Jasa

Marga Salah satu oknum BPK bernama Sigit Yugoharto ditetapkan sebagai tersangka atas

kasus suap berupa satu unit motor Harley Davidson Sportster 883 dengan perkiraan harga Rp

115,000,000. Motor tersebut diberikan oleh Setia Budi selaku General Manager PT Jasa

Marga Cabang Purbaleunyi. Bentuk pelanggaran yang dilakukan: Terdapat temuan indikasi

kelebihan pembayaran terkait pekerjaan pemeliharaan periodik rekonstruksi jalan dan

pengecatan marka jalan yang tidak sesuai atau tidak dapat diyakini kewajarannya, temuan

tersebut merupakan hasil audit anggaaran 2015- 2016. Kasus tersebut menujukkan adanya

pelanggaran kode etik Pihak – pihak yang terlibat kasus ini. Sanksi terkait: Sigit melanggar

UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantaasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 12 huruf a

atau b. Sigit divonis 9 tahun penjara dan denda Rp 250juta.dan Setiabudi selaku pemberi

suap dijerat dengan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b UU No. 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Setiabudi divonis 1,5 tahun penjara dan denda

Rp50juta

32
B. Saran

1. Proses pengadilan dilakukan secara tegas, adil, obyektif, dan independen kepada

semua pihak yang terlibat dalam kasus ini.

2. Diperlukan penanaman sikap independensi, integritas, dan profesionalisme kepada

setiap auditor BPK dan semua lembaga pemerintahan di Indonesia.

3. BPK segera menindak lanjuti hasil temuan pemeriksaan dengan tujuan tertentu

(PDTT) yaitu Jasa Marga diindikasikan terdapat kelebihan pembayaran terkait

pekerjaan pemeliharaan periodik, rekonstruksi jalan, dan pengecatan marka jalan yang

tidak sesuai dan tidak dapat diyakini kebenarannya.

4. BPK yang merupakan satu-satunya lembaga yang bertugas memeriksa keuangan

negara diharapkan dapat melakukan kinerja yang optimal dan dapat membantu KPK

dalam memberantas kolusi, korupsi dan nepotisme yang ada di Indonesia.

5. Memperketat proses rekruitment auditor BPK. Anggota BPK diharapkan memiliki uji

kompetensi pada bidang intelektual, etik, teknis dan keuangan.

33

Anda mungkin juga menyukai