Anda di halaman 1dari 8

ATRIBUT STANDAR DAN KODE ETIK AKUNTAN FORENSIK

Association of Certified Fraud Exeminers (ACFE) menjelaskan karakteristik


pemeriksa fraud yang harus memiliki kemampuan yang unik. Disamping keahlian teknis,
pemeriksa fraud yang sukses mempunyai kemampuan mengumpulkan fakta-fakta dari berbagai
saksi secara adil (fair), tidak memihak, sahih (mengikuti perundang-undangan) dan akurat, serta
mampu melaporkan fakta-fakta yang dikumpukan dan kemudian melaporkannya dengan akurat
dan lengkap. Sehingga dapat dikatakan pemeriksa fraud adalah orang yang memiliki gabungan
keahlian dari pengacara, akuntan, kriminolog dan detektif atau investigator.
Salah satu contoh kode etik organisasi profesional yaitu kode etik Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), mengingat lembaga tersebut merupakan lembaga audit forensik
yang paling efektif di Indonesia. KPK mendefinsikan kode etik sebagai
norma yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh Pegawai Komisi dalam menjalankan tu
gas-tugas organisasi maupun menjalani kehidupan pribadi. Kode etik pimpinan KPK adalah
penjabaran dari nilai-nilai dasar perilaku prilaku pribadi yang wajib dilaksanakan oleh seluruh
pimpinan KPK.
K.H Spencer Picket dan Jennifer Picket merumuskan beberapa standar untuk
melakukan investigasi terhadap fraud. Konteks yang mereka rajuk adalah investigasi
atas fraud yang dilakukan oleh pegawai di perusahaan. Standar tersebut adalah :
1. Seluruh investigasi harus dilandasi praktik yang diakui (accepted best practices)
2. Kumpulkan bukti – bukti dengan prinsip kehati – hatian (due care) sehingga bukti – bukti
tadi dapat diterima di pengadilan.
3. Pastikan seluruh dokumentasi dalam keadaan aman, terlindungi dan diindeks dan jejak
audit tersedia
4. Pastikan bahwa para investigatormengerti hak – hak asasi pegawai dan senantiasa
menghormatinya
5. Beban pembuktian ada pada yang menduga pegawainya melakukan kecurangan, dan
pada penuntut umum yang mendakwa pegawai tersebut, baik dalam kasus hukum dan
administratif maupun hukum pidana.
6. Cakup seluruh substansi investigasi dan kuasai seluruh target yang sangat kritis ditinjau
dari segi waktu.
7. Liput seluruh tahapan kunci dalam proses investigasi, termasuk perencanaan
pengumpulan bukti dan barang bukti, wawancara, kontakdengan pihak ketiga ,
pengamanan mengenai hal – hal yang bersifat rahasia, ikut tata cara atau protokol,
dokumentasi dan penyelenggara catatan, melibatkan / dan atau melapor ke polisi,
kewajiban hukum, dan persyaratan mengenai pelaporan.
A. ATRIBUT SEORANG AKUNTAN FORENSIK
Howard R. Davia dalam Tuanakotta (2010 : 99) memberi lima nasihat kepada seorang
auditor pemula dalam melakukan investigasi terhadap fraud, yaitu:
1. Menghindari pengumpulan fakta dan data yang berlebihan secara prematur.
Identifikasi lebih dahulu siapa pelaku atau yang mempunyai potensi menjadi
pelaku. Banyak auditor berkutat pada pengumpulan fakta dan temuan, tetapi tidak
menjawab pertanyaan yang paling penting : Who did it ? Ada kalanya kebiasaan
penyembunyian nama pelaku didorong oleh keinginan untuk “memperhalus”
pengungkapan sesuatu yang kelihatannya kurang elok. Dalam bahasa Inggris,
penghalusan ini disebut euphemism.
2. Fraud auditor harus mampu membuktikan “niat pelaku melakukan kecurangan”.
Banyak kasus kecurangan kandas di sidang pengadilan karena penyidik dan
saksi ahli (akuntan forensik) gagal membuktikan niat melakukan kejahatan atau
pelanggaran. Menurut Davia, tujuan proses pengadilan adalah menilai orang, bukan
mendengar celotehan yang berkepanjangan tentang kejahatannya.
3. Seorang auditor forensik harus kreatif, berpikir seperti pelaku fraud, jangan dapat
ditebak.
Dalam proses audit investagatif, keadaan dapat berubah dengan cepat,
misalnya, bukti dan barang bukti disembunyikan atau dihancurkan atau pelaku
bersembunyi atau melarikan diri. Dalam kondisi seperti tersebut auditor forensik harus
berpikir kreatif dalam menggunakan prosedur, kombinasi prosedur atau alternatif
prosedur untuk mengumpulkan bukti. Seorang auditor forensik harus dapat berpikir
layaknya seorang pelaku fraud agar dapat mengantisipasi langkah-langkah yang akan
diambil pelaku fraud jika mereka mengetahui bahwa tindakan mereka telah tercium atau
terungkap. Seorang auditor forensik juga tidak gampang ditebak dalam melakukan
proses audit investigatif, agar tidak dengan mudah dapat diantisipasi oleh pelaku fraud.
4. Auditor harus tahu bahwa banyak kecurangan dilakukan dengan persekongkolan.
Ada dua macam persengkongkolan yaitu :
a. Persengkongkolan yang sifatnya sukarela, dan pesertanya memang mempunyai
niat jahat. Davia menamakannya, ordinary conspiracy
b. Persengkongkolan dimana pesertanya tidak menyadari bahwa keluguannya
dimanfaatkan oleh rekan kerjanya, contohnya memberikanpassword komputernya.
Davia menamakannya pseudo-conspiracy.
5. Kenali pola Fraud.
Dalam memilih Proactive Fraud Detection Strategy (Strategi untuk menemukan
kecurangan dalam investigasi proaktif ) si Auditor mesti mempertimbangkan apakah
kecurangan dilakukan di dalam pembukuan atau di luar pembukuan.

Dalam tindakan fraud yang dibarengi dengan persekongkolan, auditor forensik harus
memiliki indra atau intuisi yang tajam untuk merumuskan “teori persekongkolan” untuk
memudahkan dalam pengumpulan bukti.
Auditor harus mengenali pola fraud yang dilakukan oleh pelaku, yaitu si auditor harus
mempertimbangkan apakah kecurangan dilakukan di dalam pembukuan atau di luar
pembukuan. Pendeteksian dan pengumpulan bukti terhadap fraudyang dilakukan dalam
pembukuan, seperti pencatatan ganda atas pembayaran kepada pemasok, akan
memerlukan tehnik dan prosedur audit yang berbeda dengan pola fraud yang ada di luar
pembukuan seperti kickback, penagihan piutang yang sudah dihapus dan penjualan barang
yang sudah dubesituakan. Untuk membuktikan fraud yang dilakukan dengan pembayaran
ganda misalnya, auditor forensik akan lebih efektif dan efisien jika menggunakan prosedur
vouching, yaitu menelusuri dari transaksi ke bukti pendukung. Jika auditor forensik
melakukan sebaliknya, yaitu dengan menggunakan trashing (menelusuri dari bukti
pendukung ke transaksi), maka pencatatan ganda atas pembayaran tersebut tidak akan
terdeteksi.

B. KARAKTERISTIK SEORANG PEMERIKSA FRAUD


Association of Certified Fraud Exeminers (ACFE) menjelaskan karakteristik
pemeriksa fraud yang harus memiliki kemampuan yang unik. Disamping keahlian teknis,
pemeriksa fraud yang sukses mempunyai kemampuan mengumpulkan fakta-fakta dari
berbagai saksi secara adil (fair), tidak memihak, sahih (mengikuti perundang-undangan)
dan akurat, serta mampu melaporkan fakta-fakta yang dikumpukan dan kemudian
melaporkannya dengan akurat dan lengkap. Sehingga dapat dikatakan
pemeriksa fraud adalah orang yang memiliki gabungan keahlian dari pengacara, akuntan,
kriminolog dan detektif atau investigator.
Menurut Allan Pinkerton menyebutkan kualitas yang harus dimiliki oleh seorang detektif,
yaitu seorang detektif harus memiliki beberapa kualifikasi tertentu, yaitu hati-hati (tidak
gegabah), menjaga kerahasiaan pekerjaannya, kreatif dalam menemukan hal-hal baru,
pantang menyerah, berani, dan di atas segala-galanya adalah jujur. Disamping itu, detektif
harus juga memiliki kemampuan dalam pendekatan dengan manusia dan ketangguhan
mencari informasi seluas-luasnya yang memungkinkannya menerapkan kemahirannya
sebagai detektif dengan segera dan secara efektif.
Kemampuan berinteraksi dengan manusia amat menentukan. Sikap pemeriksa terhadap
orang lain memengaruhi sikap orang lain tersebut keapadanya. Sikap yang bermusuhan
akan menimbulkan rasa was-was dalam diri responden, yang kemudian menyebabkan
mereka bersikap menarik diri dan menjaga jarak. Selanjutnya Art Buckwalter mengatakan,
rahasia menjadi private investigator adalah menjadi sosok yang disukai orang lain.
Pemeriksa yang menyesatkan orang lain seringkali menyesatkan diri sendiri.
Pemeriksa fraud harus mempunyai kemampuan teknis untuk mengerti konsep – konsep
keuangan dan kemampuan untuk menarik kesimpulan terhadapnya. Ciri yang unik dari
kasus – kasus fraud, yakni berbeda dengan kejahatan tradisional atas harta benda, adalah
identitas pelakunya biasanya diketahui. Dalam kasus – kasus fraud, issue-nya bukanlah
penentuan identitas pelakunya, namun apakah perbuatannya dapat dianggap
merupakan fraud.

C. KUALITAS AKUNTAN FORENSIK


Menurut Robert J. Lindquist menyatakan bahwa kualitas yang harus dimiliki oleh
akuntan forensik sebagai berikut :
1. Kreatif, Dalam hal ini kreatif diartikan sebagai kemampuan untuk melihat sesuatu
secara berbeda dari orang lain. Suatu hal yang normal bagi orang lain belum tentu
dianggap normal oleh akuntan forensik.
2. Rasa ingin tahu, Keinginan untuk menemukan apa yang sesungguhnya terjadi dalam
rangkaian peristiwa dan situasi.
3. Tidak menyerah, Kemampuan untuk maju terus pantang mundur walaupun fakta
(seolah-olah) tidak mendukung, dan ketika dokumen atau informasi sulit diperoleh.
4. Akal sehat, Kemampuan untuk mempertahankan perspektif dunia nyata. Ada yang
menyebutnya perspektif anak jalanan yang mengerti betul kerasnya kehidupan.
5. Business sense, Kemampuan untuk memahami bagaimana bisnis sesungguhnya
berjalan dan bukan hanya sekedar memahami bagaimana transaksi dicatat.
6. Percaya diri, Kemampuan untuk mempercayai diri dan temuannya sehingga dapat
bertahan di bawah cross examination (pertanyaan silang dari jaksa penuntut umum dan
pembela).
D. STANDAR AKUNTANSI FORENSIK
1. Standart–1, Seluruh investigasi harus di landasi praktek – praktek terbaik yang diakui (
accepted best practise). Istilah best practise sering dipakai dalam penetapan standart
dalam istilah ini tersirat 2 hal, yaitu :
a. adanya upaya membandingkan antara praktek – praktek yang ada dengan merujuk
kepada yang terbaik pada saat itu.
b. Upaya benchmarking dilakukan terus menerus untuk mencari solusi terbaik.
2. Standart–2, Kumpulkan bukti – bukti dengan prinsip – prinsip kehati – hatian ( due care)
sehingga bukti-bukti tadi dapat diterima dipengadilan
3. Standart-3, Pastikan bahwa seluruh doumentasi dalam keadaan aman, terlindungi, dan
di index; dan jejak audit tersedia. Dokumentasi ini diperlukan sebagai referensi apabila
ada penyelidikan dikemudian hari untuk memastikan bahwa investigasi sudah dilakukan
dengan benar. Referensi ini juga membantu perusahaan dalam upaya perbaikan cara-
cara investigasi sehingga acccepted best practices yang dijelaskan diatas dapat
dilaksanakan.
4. Standart-4, Perhatikan bahwa para investigator mengerti akan hak asasi pegawai dan
senantiasa menghormatinya. Kalau investigasi dilakukan dengan cara yang melanggar
hak asasi pegawai, yang bersangkutan dapat menuntut perusahaan dan
investigatornya. Bukti-bukti yang sudah dikumpulkan dengan waktu dan biaya yang
banyak, menjadi sia-sia.
5. Standart-5, ingatlah bahwa beban pembuktian ada pada perusahaan yang “ menduga “
pegawainya melakukan kecurangan, dan pada penuntut umum yang mendakwah
pegawai terssebut, baik dalam kasus hukum administrative and pidana.
6. Standart-6, mencakup seluruh substansi investigasi dan “kuasai” seluruh target yang
sangat kritis ditinjau dari segi waktu.
7. Standart-7, meliputi selurh tahapan kunci dalam proses investigasi, termasuk
perencaaan, pengumpulan bukti, dan barang bukti, wawancara, kontak dengan pihak ke
tiga , pengamanan yang bersifat rahasia

E. KODE ETIK AKUNTAN


1. Tanggung Jawab Profesi.
Dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai profesional, setiap anggota
harus senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam semua
kegiatan yang dilakukannya. Sebagai profesional, anggota mempunyai peran penting
dalam masyarakat. Sejalan dengan peran tersebut, anggota mempunyai tanggung
jawab kepada semua pemakai jasa profesional mereka. Anggota juga harus selalu
bertanggungjawab untuk bekerja sama dengan sesama anggota untuk mengembangkan
profesi akuntansi, memelihara kepercayaan masyarakat dan menjalankan tanggung
jawab profesi dalam mengatur dirinya sendiri. Usaha kolektif semua anggota diperlukan
untuk memelihara dan meningkatkan tradisi profesi.

2. Kepentingan Publik
Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka
pelayanan kepada publik, menghormati kepercayaan publik, dan menunjukan komitmen
atas profesionalisme. Satu ciri utama dari suatu profesi adalah penerimaan tanggung
jawab kepada publik. Profesi akuntan memegang peran yang penting di masyarakat,
dimana publik dari profesi akuntan yang terdiri dari klien, pemberi kredit, pemerintah,
pemberi kerja, pegawai, investor, dunia bisnis dan keuangan, dan pihak lainnya
bergantung kepada obyektivitas dan integritas akuntan dalam memelihara berjalannya
fungsi bisnis secara tertib. Ketergantungan ini menimbulkan tanggung jawab akuntan
terhadap kepentingan publik. Kepentingan publik didefinisikan sebagai kepentingan
masyarakat dan institusi yang dilayani anggota secara keseluruhan. Ketergantungan ini
menyebabkan sikap dan tingkah laku akuntan dalam menyediakan jasanya
mempengaruhi kesejahteraan ekonomi masyarakat dan negara.
Kepentingan utama profesi akuntan adalah untuk membuat pemakai jasa
akuntan paham bahwa jasa akuntan dilakukan dengan tingkat prestasi tertinggi sesuai
dengan persyaratan etika yang diperlukan untuk mencapai tingkat prestasi tersebut. Dan
semua anggota mengikat dirinya untuk menghormati kepercayaan publik. Atas
kepercayaan yang diberikan publik kepadanya, anggota harus secara terus menerus
menunjukkan dedikasi mereka untuk mencapai profesionalisme yang tinggi.

3. Integritas
Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik, setiap anggota harus
memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan integritas setinggi mungkin.
Integritas adalah suatu elemen karakter yang mendasari timbulnya pengakuan
profesional. Integritas merupakan kualitas yang melandasi kepercayaan publik dan
merupakan patokan (benchmark) bagi anggota dalam menguji keputusan yang
diambilnya.
Integritas mengharuskan seorang anggota untuk, antara lain, bersikap jujur dan
berterus terang tanpa harus mengorbankan rahasia penerima jasa. Pelayanan dan
kepercayaan publik tidak boleh dikalahkan oleh keuntungan pribadi. Integritas dapat
menerima kesalahan yang tidak disengaja dan perbedaan pendapat yang jujur, tetapi
tidak menerima kecurangan atau peniadaan prinsip.

4. Objektivitas
Setiap anggota harus menjaga obyektivitasnya dan bebas dari benturan
kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya. Obyektivitasnya adalah suatu
kualitas yang memberikan nilai atas jasa yang diberikan anggota. Prinsip obyektivitas
mengharuskan anggota bersikap adil, tidak memihak, jujur secara intelektual, tidak
berprasangka atau bias, serta bebas dari benturan kepentingan atau dibawah pengaruh
pihak lain.

5. Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional


Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan berhati-hati,
kompetensi dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan
pengetahuan dan ketrampilan profesional pada tingkat yang diperlukan untuk
memastikan bahwa klien atau pemberi kerja memperoleh manfaat dari jasa profesional
dan teknik yang paling mutakhir.
Hal ini mengandung arti bahwa anggota mempunyai kewajiban untuk
melaksanakan jasa profesional dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kemampuannya,
demi kepentingan pengguna jasa dan konsisten dengan tanggung jawab profesi kepada
publik.

6. Kerahasiaan
Setiap anggota harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh
selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan
informasi tersebut tanpa persetujuan, kecuali bila ada hak atau kewajiban profesional
atau hukum untuk mengungkapkannya.
Kepentingan umum dan profesi menuntut bahwa standar profesi yang
berhubungan dengan kerahasiaan didefinisikan bahwa terdapat panduan mengenai sifat
sifat dan luas kewajiban kerahasiaan serta mengenai berbagai keadaan di mana
informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dapat atau perlu
diungkapkan.
Anggota mempunyai kewajiban untuk menghormati kerahasiaan informasi
tentang klien atau pemberi kerja yang diperoleh melalui jasa profesional yang
diberikannya. Kewajiban kerahasiaan berlanjut bahkan setelah hubungan antar anggota
dan klien atau pemberi jasa berakhir.
7. Perilaku Profesional
Setiap anggota harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi yang
baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi. Kewajiban untuk
menjauhi tingkah laku yang dapat mendiskreditkan profesi harus dipenuhi oleh anggota
sebagai perwujudan tanggung jawabnya kepada penerima jasa, pihak ketiga, anggota
yang lain, staf, pemberi kerja dan masyarakat umum.

8. Standar Teknis
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya sesuai dengan standar
teknis dan standar profesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan dengan
berhati-hati, anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari
penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan
obyektivitas.
Standar teknis dan standar professional yang harus ditaati anggota adalah
standar yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia. Internasional Federation of
Accountants, badan pengatur, dan pengaturan perundang-undangan yang relevan.

Anda mungkin juga menyukai