Anda di halaman 1dari 4

Nama: Faiz Lukmanul Hakim

Kelas : B – Hubungan Internasional


Matkul : Sistem Sosial Budaya Indonesia

Dosen : IKA SRIHASTUTI S.IP.,M.SI, S.Ip., M.Si

JAWABAN

1. Empat prasyarat agar Sistem Sosial bertahan


1. Adaptation (adaptasi terhadap lingkungan berkaitan dengan sarana dan prasarana
materiil).
2. Goal Attainment (tujuan yang ingin dicapai para anggota sistem).
3. Integration (membangun solidaritas).
4. Latent Pattern Maintanance (pola pemeliharaan melalui nilai-nilai yang disepakati).

Parsons mengetengahkan tentang empat persyaratan fungsional yang cukup mendasar, dia
menggambarkannya dalam skema A-G-I-L (Adaptation, Goal Attainment, Integration, Latent
Pattern Maintanance) yaitu suatu kerangka untuk menganalisa suatu sistem sosial dalam
mempertahankan eksistensinya Paul Johnson, (1986: 128-132). Persyaratan adaptation
menunjuk pada keharusan bagi sistem sosial untuk menghadapi lingkungan, baik lingkungan alam
maupun lingkungan sosial yaitu suatu penyesuaian dari sistem itu terhadap ’tuntutan kenyataan’
yang keras yang sulit diubah, selain itu adaptasi juga merupakan proses transformasi aktif dari
situasi tadi. Adaptasi ini juga berkaitan dengan tujuan yang akan dicapai (goal attainment) oleh
anggota dari sistem sosial tersebut. Persyaratan lainnya adalah perlu terbentuk solidaritas yang
kuat di antara para anggota sistem agar para anggota terintegrasi dalam tahap pencapaian
tujuan. Pada gilirannya tahap terakhir dari persyaratan ini adalah tahap mempertahankan pola
(latent pattern maintanance), konsep latency ini menunjuk pada berhentinya interaksi karena
biasanya sistem sosial itu menghadapi titik jenuh. Untuk lebih jelasnya, dapat kita lihat dalam
contoh berikut, misalnya dalam suatu sistem sosial atau masyarakat Indonesia yang hidup di
suatu kawasan dengan lingkungan alam berupa gunung, lautan maka masing-masing subsistem
mempunyai tanggung jawab untuk beradaptasi dengan situasi tersebut. Salah satunya adalah
subsistem ekonomi maka institusi ekonomi harus mampu mengubah kondisi alam menjadi
bermanfaat bagi anggota masyarakat Indonesia agar dapat bertahan hidup, oleh karena itu
muncul mata pencaharian yang bervariasi, sebagai petani, nelayan, dan lainlain. Demikian pula
dengan persyaratan kedua yaitu tujuan yang akan dicapai, hal ini harus sama-sama diusahakan
oleh anggota-anggota masyarakat Indonesia sebagai tujuan bersama, contoh riil adalah ketika
bangsa Indonesia mempersiapkan kemerdekaan, hal ini adalah tujuan bersama. Persyaratan
ketiga adalah integrasi, tanpa solidaritas yang kuat antara individu satu dengan yang lainnya
maka bangsa Indonesia sulit untuk melawan penjajah dalam mencapai tujuan kemerdekaan.
Terakhir adalah nilai-nilai moral yang harus dijaga oleh anggota masyarakat Indonesia dengan
mensosialisasikan nilai-nilai moral melalui keluarga masing-masing untuk mempertahankan pola-
pola budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Seperti juga keluarga-keluarga di
Indonesia masih berfungsi sebagai tempat sosialisasi nilai yang juga masih sarat dengan nilai
budaya di mana etniknya berasal. Nilai budaya masing-masing etnik akan terus disosialisasikan
antar generasi, oleh karena itu bangsa Indonesia masih bertahan dengan multibudaya yang ada,
meski tidak dapat dipungkiri ada bagian tertentu dari sistem yang mengalami pergeseran. Contoh
lain dalam organisasi partai politik, agar sebuah parpol dapat bertahan sebagai sistem maka
harus memenuhi 3 prasyarat yaitu pertama, adaptif, artinya parpol tersebut harus mempunyai
sarana dan prasarana materiil agar dapat bertahan menghadapi kenyataan bahwa menjadi
parpol peserta pemilihan umum di Indonesia ada syarat-syarat materiil yang harus dipenuhi.
Kedua, sebagai sebuah parpol, maka organisasi politik ini harus memiliki tujuan yang jelas yang
akan dicapai oleh semua anggota parpol tersebut dengan membangun solidaritas antar
anggotanya agar parpol terintegrasi dengan kuat. Ketiga, pola-pola pemeliharaan yang berupa
nilainilai moral perlu ditanamkan kepada semua anggota yang pada gilirannya akan menghasilkan
sebuah parpol yang eksis. Ketiga prasyarat ini bila dapat dipenuhi baik pada sistem sosial yang
bersifat mikro maupun makro maka sistem itu akan bertahan, eksis dan polapola budaya yang
ada tetap dapat dipertahankan, sifatnya terkesan statis dan tidak mudah berubah, namun
demikian dalam kenyataannya tidak semua sistem sosial itu statis, seperti yang telah disinggung
di atas, ada bagian dari sistem sosial yang mengalami perubahan, jadi ada ruang yang
memungkinkan berubah, hal ini menunjukkan bahwa sistem sosial tidak mutlak statis.

2. Budaya Sebagai Sistem Kognitif

Satu tema besar yang lain pada 15 tahun terakhir ini adalah kemunculan satu antropologi
kognitif yang eksplisit (juga disebut "etnogrqfi baru", "ethnoscience", "ethnographic
semantics"). Dalam prakteknya "etnografi baru" ini pada dasarnya adalah satu pengkajian
terhadap sistem klasifikasi penduduk setempat (folk classification). Di luar metode
"pengumpulan kupu-kupu" ini, juga telah muncul satu pandangan baru dan penting terhadap
budaya, yaitu budaya sebagai cognition (pengetahuan). Budaya dipandang sebagai sistem
pengetahuan. Menurut Ward Goodenough: Kebudayaan suatu masyarakat terdiri atas segala
sesuatu yang harus diketahui atau dipercayai seseorang agar dia dapat berperilaku dalam
cara yang dapat diterima oleh anggota-anggota masyarakat tersebut. Budaya bukanlah suatu
penomena material: dia tidak berdiri atas benda-benda, manusia, tingkah laku atau emosi-
emosi. Budaya lebih merupakan organisasi dari hal-hal tersebut. Budaya adalah bentuk hal-
hal yang ada dalam pikiran (mind) manusia, model-model yang dipunyai manusia untuk
menerima, menghubungkan, dan kemudian menafsirkan penomena material di atas (32, him.
167). Kebudayaan terdiri atas pedoman-pedoman untuk menentukan apa . . . untuk
menentukan apa yang dapat menjadi . . . untuk menentukan apa yang dirasakan seseorang
tentang hal itu . . . untuk menentukan bagaimana berbuat terhadap hal itu, dan . . . untuk
menentukan bagaimana caranya menghadapi hal itu (33, him. 522)
Budaya Sebagai Sistem

Levi-Strauss terus memperdalam pandangannya tentang dunia simbolik manusia dan proses
pikiran yang menghasilkan dunia simbolik ini. Pada dasawarsa terakhir, pendekatan
strukturalis ini telah memberi dampak yang kuat terhadap banyak sarjana yang belajar dalam
tradisi Anglo- Amerika. Tulisan-tulisan Levi-Strauss tentang budaya dan pikiran (mind) tidak
hanya makin menjalar pengaruhnya; bagaikan buku-buku suci, tulisan-tulisan tersebut telah
melahirkan buku-buku tafsiran yang terus makin besar jumlahnya.7 Saya tidak akan
menambahkan satu tafsiran lagi terhadap aliran ini. Di sini hanya akan diungkapkan beberapa
butir untuk menempatkan posisi pandangan LeviStrauss dalam hubungannya dengan hal-hal
yang mendahului dan yang mengikutinya. Levi-Strauss memandang budaya sebagai sistem
simbolik yang dimiliki bersama, dan merupakan ciptaan pikiran (creation of mind) secara
kumulatif. Dia berusaha menemukan dalam penstrukturan bidang kultural (dalam mitologi,
kesenian, kekerabatan, dan bahasa) prinsip-prinsip dari pikiran (mind) yang menghasilkan
budaya itu. Kondisi ma - terial dari mata pencaharian hidup dan ekonomi memberi kendala
(bukan menentukan) bentuk dunia yang kita hidupi ini. Khususnya dalam mitologi, kondisi
material tersebut membiarkan pemikiran tentang dunia berkuasa secara bebas. Dunia fisik
tempat ma - nusia hidup memberikan bahan mentah yang diperdalam lebih jauh oleh proses
pemikiran yang universal ke dalam pola-pola yang jauh berbeda secara substansif tetapi
sama secara formal.

Budaya Sebagai Sistem Simbolik

Kebudayaan adalah dengan cara memandang kebudayaankebudayaan sebagai sistem makna


dan simbol yang dimiliki bersama (13). Pendekatan ini masih berhubungan, meskipun
berbeda, dari pendekatan kognitif Amerika dan strukturalis Eropa daratan yang telah
dibicarakan diatas. Di daratan Eropa jalan ini telah dirambah oleh Louis Dumont.11 Di AS pelo
- por yang paling menonjol adalah dua ahli antropologi pewaris tradisi Parsons: Clifford
Geertz dan David Schneider. Pandangan yang kuat dari Geertz terhadap budaya, yang
ditunjang satu aliran kemanusiaan yang luas, makin lama makin menjadi sistematis. Seperti
Levi-Strauss, Geertz berada pada puncak pemikirannya ketika dia menciptakan grand theory
dalam menafsirkan bahan-bahan etnografi yang khusus. Namu n berbeda dari Levi-Strauss,
dia menemukan kekhususan tersebut dalam kekayaan kehidupan manusia yang
sesungguhnya: dalam satu persabungan ayam, dalam satu upacara kematian, dalam satu
peristiwa pencurian biri-biri. Bahan analisisnya bukanlah mitologi atau adat istiadat yang
tcrlepas dari konteks dan akar masyarakatnya. Bahan tersebut terikat dengan manusia-
manusia didalam tingkah laku simbolik mereka
3. kebudayaan berarti buah budi manusia adalah hasil perjuangan manusia terhadp dua
pengaruh kuat, yakni zaman dan alam yang merupakan bukti kejayaan hidup manusiauntuk
mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran dalam hidup dan penghidupan guna mencapai
keselamatandan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.
Peradaban peradaban adalah sekumpulan dari bentuk-bentuk kemajuan,baik yang berupa
kemajuan bendawi, ilmu pengetahuan, seni, sastra, maupun sosial, yang terdapat pada suatu
masyarakat atau pada masyarakatyangserupa

Anda mungkin juga menyukai