Anda di halaman 1dari 6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sanitasi Total Berbasis Masyarakat


2.1.1 Definisi STBM
Sanitasi Total Berbasis Masyarakat yang selanjutnya disingkat STBM adalah
pendekatan untuk mengubah perilaku higienis dan saniter melalui pemberdayaan
masyarakat dengan cara pemicuan. (Permenkes RI No. 03 Tahun 2014 Tentang Sanitasi
Total Berbasis Masyarakat). Program STBM memiliki indikator outcome dan indikator
output. Indikator outcome STBM yaitu menurunnya kejadian penyakit diare dan penyakit
berbasis lingkungan lainnya yang berkaitan dengan sanitasi dan perilaku (Menkes RI,
2014).
Sedangkan indikator output STBM adalah sebagai berikut :
a) Setiap individu dan komunitas mempunyai akses terhadap sarana sanitasi
dasarsehingga dapat mewujudkan komunitas yang bebas dari buang air disembarang
tempat (Open Defecation Free).
b) Setiap rumah tangga telah menerapkan pengelolaan air minum dan makananyang
aman di rumah tangga.
c) Setiap rumah tangga dan sarana pelayanan umum dalam suatu komunitas(seperti
sekolah, kantor, rumah makan, puskesmas, pasar, terminal) tersediafasilitas cuci
tangan (air, sabun, sarana cuci tangan), sehingga semua orangmencuci tangan dengan
benar.
d) Setiap rumah tangga mengelola limbahnya dengan benar.
e) Setiap rumah tangga mengelola sampahnya dengan benar.
Untuk mencapai outcome tersebut, STBM memiliki 6 (enam) strategi nasional yang
pada bulan September 2008 telah dikukuhkan melalui Kepmenkes
No.852/Menkes/SK/IX/2008. Dengan demikian, strategi ini menjadi acuan bagi petugas
kesehatan dan instansi yang terkait dalam penyusunan perencanaan, pelaksanaan,
pemantauan, dan evaluasi terkait dengan sanitasi total berbasis masyarakat. Pada tahun
2014, naungan hukum pelaksanaan STBM diperkuat dengan dikeluarkannya
PERMENKES Nomor 3 Tahun 2014 tentang Sanitasi Total Berbasis Masyarakat. Dengan
demikian, secara otomatis Kepmenkes No.852/Menkes/SK/IX/2008 telah tidak berlaku
lagi sejak terbitnya Permenkes Nomor 3 tahun 2014 (Menkes RI, 2014).

4
2.1.2 Tujuan STBM
Penyelenggaraan STBM bertujuan untuk mewujudkan perilakumasyarakat yang
higienis dan saniter secara mandiri dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya (Menkes RI, 2014).

2.1.3 Lima Pilar STBM


Pelaksanaan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) dengan lima pilar akan
mempermudah upaya meningkatkan akses sanitasi masyarakat yang lebih baik serta
mengubah dan mempertahankan keberlanjutan budaya hidup bersih dan sehat.
Pelaksanaan STBM dalam jangka panjang dapat menurunkan angka kesakitan dan
kematian yang diakibatkan oleh sanitasi yang kurang baik, dan dapat mendorong
tewujudnya masyarakat sehat yang mandiri dan berkeadilan (Menkes RI, 2014).
Pilar STBM terdiri atas perilaku:
a) Stop Buang Air Besar Sembarangan (SBS)
b) Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS)
c) Pengelolaan Air Minum dan Makanan Rumah Tangga (PAMMRT)
d) Pengamanan Sampah Rumah Tangga (PSRT)
e) Pengamanan Limbah Cair Rumah Tangga (PLCRT)

2.1.4 Prinsip-Prinsip STBM


Sanitasi total berbasis masyarakat (STBM) dalam pelaksanaanya program ini
mempunyai beberapa prinsip utama, yaitu :
a) Tidak adanya subsidi yang diberikan kepada masyarakat, tidak terkecualiuntuk
kelompok miskin untuk penyediaan fasilitas sanitasi dasar.
b) Meningkatkan ketersediaan sarana sanitasi yang sesuai dengankemampuandan
kebutuhan masyarakat sasaran.
c) Menciptakan prilaku masyarakat yang higienis dan saniter untuk
mendukungterciptanya sanitasi total.
d) Masyarakat sebagai pemimpin dan seluruh masyarakat terlibat dalam
analisapermasalahan, perencanaan, pelaksanaan serta pemanfaatan danpemeliharaan.
e) Melibatkan masyarakat dalam kegiatan pemantauan dan evaluasi. (Menkes RI, 2014).

5
2.1.5 Metode STBM
Implementasi STBM di masyarakat pada intinya adalah pemicuan setelahsebelumnya
dilakukan analisa partisipatif oleh masyarakat itu sendiri. Untuk memfasilitasi masyarakat
dalam menganalisa kondisinya, adabeberapa metode yang dapat diterapkan dalam
kegiatan STBM, seperti :
a) Pemetaan
Bertujuan untuk mengetahui / melihat peta wilayah BAB masyarakat sertasebagai alat
monitoring (pasca triggering, setelah ada mobilisasi masyarakat).
b) Transect Walk
Bertujuan untuk melihat dan mengetahui tempat yang paling sering dijadikan tempat
BAB. Dengan mengajak masyarakat berjalan dan berdiskusi di tempat tersebut,
diharapkan masyarakat akan merasa jijik dan bagi orang yang biasa BAB di tempat
tersebut diharapkan akan terpicu rasa malunya.
c) Alur Kontaminasi (Oral Fecal)
Bertujuan untuk mengajak masyarakat untuk melihat bagaimana kotoran manusia
dapat dimakan oleh manusia yang lainnya.
d) Simulasi air yang telah terkontaminasi
Bertujuan untuk mengetahui sejauh mana persepsi masyarakat terhadap air yang biasa
mereka gunakan sehari-hari.
e) Diskusi Kelompok (Focus Group Discussion)
Bersama-sama dengan masyarakat melihat kondisi yang ada dan menganalisanya
sehingga diharapkan dengan sendirinya masyarakat dapat merumuskan apa yang
sebaiknya dilakukan atau tidak dilakukan. (Menkes RI, 2014).

2.2 Jamban
2.2.1 Jenis Jamban
a. Jamban cemplung Adalah jamban yang penampungannya berupa lubang yang
berfungsi menyimpan dan meresapkan cairan kotoran/tinja ke dalam tanah dan
mengendapkan kotoran ke dasar lubang. Untuk jamban cemplung diharuskan ada
penutup agar tidak berbau.
b. Jamban tangki septik/leher angsa Adalah jamban berbentuk leher angsa yang
penampungannya berupa tangki septik kedap air yang berfungsi sebagai wadah
proses penguraian/dekomposisi kotoran manusia yang dilengkapi dengan resapannya.
(Agus, 2016).
6
2.2.2 Cara Memilih Jenis Jamban
a. Jamban cemplung digunakan untuk daerah yang sulit air.
b. Jamban tangki septik/leher angsa digunakan untuk:
1. Daerah yang cukup air
2. Daerah yang padat penduduk, karena dapat menggunakan “multiple latrine”
yaitu satu lubang penampungan tinja/tangki septik digunakan oleh beberapa
jamban (satu lubang dapat menampung kotoran/tinja dari 3-5 jamban)
3. Daerah pasang surut, tempat penampungan kotoran/tinja hendaknya ditinggikan
kurang lebih 60 cm dari permukaan air pasang. (Agus, 2016).

2.2.3 Syarat Jamban Sehat


a. Tidak mencemari sumber air minum (jarak antara sumber air minum dengan lubang
penampungan minimal 10 meter)
b. Tidak berbau.
c. Kotoran tidak dapat dijamah oleh serangga dan tikus.
d. Tidak mencemari tanah disekitarnya.
e. Mudah dibersihkan dan aman digunakan.
f. Dilengkapi dinding dan atap pelindung.
g. Penerangan dan ventilasi cukup .
h. Lantai kedap air dan luas ruangan memadai.
i. Tersedia air, sabun, dan alat pembersih. (Agus, 2016).
Sedangkan menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun
2014 Tentang Sanitasi Total Berbasis Masyarakat, standar dan persyaratan kesehatan
bangunan jamban terdiri dari:
a. Bangunan atas jamban (dinding dan / atau atap)
Bangunan atas jamban harus berfungsi untuk melindungi pemakai dari ganggunan
cuaca dan gangguan lainnya.
b. Bangunan tengah jamban
Terdapat 2 (dua) bagian bangunan tengah jamban yaitu:
1. Lubang tempat pembuangan kotoran (tinja dan urine) yang saniter dan
dilengkapi oleh konstruksi leher angsa.
2. Lantai jamban terbuat dari bahan kedap air, tidak licin, dan mempunyai saluran
pembuangan air bekas ke Sistem Pembuangan Air Limbah (SPAL).

7
c. Bangunan bawah
Merupakan bangunan penampungan, pengolah dan pengurai kotoran/tinja yang
berfungsi mencegah terjadinya pencemaran atau kontaminasi dari tinja melalui
vektor pembawa penyakit, baik secara langsung maupun tidak langsung. Terdapat 2
(dua) macam bentuk bangunan bawah jamban yaitu tangki septic tank dan cubluk.
(Menkes RI, 2014).

2.2.4 Cara Memelihara Jamban Sehat:


a. Lantai jamban hendaknya selalu bersih dan tidak ada genangan air.
b. Bersihkan jamban secara teratur sehingga ruang jamban dalam keadaan bersih.
c. Di dalam jamban tidak ada kotoran yang terlihat.
d. Tidak ada serangga, (kecoa, lalat) dan tikus yang berkeliaran.
e. Tersedia alat pembersih (sabun, sikat, dan air bersih).
f. Bila ada kerusakan, segera diperbaiki. (Agus, 2016).

2.2.5 Peran Kader Dalam Pembinaan Masyarakat Untuk Memiliki Dan


Menggunakan Jamban Sehat
a. Melakukan pendataan rumah tangga yang sudah dan belum memiliki serta
menggunakan jamban dirumahnya.
b. Melaporkan kepada pemerintah desa/ kelurahan tentang jumlah rumah tangga yang
belum memiliki jamban sehat.
c. Bersama pemerintah desa/kelurahan dan tokoh masyarakat setempat berupaya untuk
menggerakkan masyarakat untuk memiliki jamban.
d. Memanfaatkan setiap kesempatan di desa/ kelurahan untuk memberikan penyuluhan
tentang pentingnya memiliki dan menggunakan jamban sehat, misalnya melalui
penyuluhan kelompok di posyandu, pertemuan desa/ kelurahan, kunjungan rumah
dan lain-lain.
e. Meminta bantuan petugas puskesmas setempat untuk memberikan bimbingan teknis
tentang cara-cara membuat jamban sehat yang sesuai dengan situasi dan kondisi
daerah setempat. (Agus, 2016).

2.3 Open Defecation Free (ODF)


8
Open Defecation Free (ODF) adalah program yang dicanangkan pemerintah untuk
mengatasi kebiasaan buang air besar sembarangan yang biasanya dilakukan di kebun,
semak-semak, hutan, sawah, sungai maupun tempat-tempat. ODS sendiri adalah kondisi
ketika setiap individu dalam komunitas tidak buang air besar sembarangan, Pembuangan
tinja yang tidak memenuhi syarat sangat berpengaruh pada penyebaran penyakit berbasis
lingkungan, sehingga untuk memutuskan rantai penularan ini harus dilakukan rekayasa
pada akses ini. Agar usaha tersebut berhasil, akses masyarakat pada jamban (sehat) harus
mencapai 100% pada seluruh komunitas. Sedangkan Desa/Kelurahan ODF (Open
Defecation Free)  adalah Desa/kelurahan yang 100% masyarakatnya telah buang air
besar di jamban sehat, yaitu mencapai perubahan perilaku kolektif terkait Pilar 1 dari 5
pilar Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (Mukherjee N, 2011).
Adapun Karakter desa disebut Desa ODF jika :
a. Semua masyarakat telah BAB hanya di jamban dan membuang tinja/kotoran
bayihanya ke jamban.
b. Tidak terlihat tinja manusia di lingkungan sekitar.
c. Tidak ada bau tidak sedap akibat pembuangan tinja/kotoran manusia.
d. Ada peningkatan kualitas jamban yang ada supaya semua menuju jamban sehat.
e. Ada mekanisme monitoring peningkatan kualitas jamban.
f. Ada penerapan sanksi, peraturan atau upaya lain oleh masyarakat untuk mencegah
kejadian BAB di sembarang tempat.
g. Ada mekanisme monitoring umum yang dibuat masyarakat untuk mencapai 100%
KK mempunyai jamban sehat.
h. Di sekolah yang terdapat di komunitas tersebut, telah tersedia sarana jamban dan
tempat cuci tangan (dengan sabun) yang dapat digunakan murid-murid pada jam
sekolah.
i. Analisa kekuatan kelembagaan di Kabupaten menjadi sangat penting untuk
menciptakan kelembagaan dan mekanisme pelaksanaan kegiatan yang efektif dan
efisien sehingga tujuan masyarakat ODF dapat tercapai. (Mukherjee N, 2011).

Anda mungkin juga menyukai