BANGIL
Telahdisahkanpada :
Hari :
Tanggal :
Mahasiswa,
Kepala Ruangan
LEMBAR KONSULTASI
NamaMahasiswa :
NIM :
Dosen Pembimbing :
1. DEFINISI
Menurut American Diabetes Association (ADA, 2019) DM tipe II adalah suatu
kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia akibat dari kelainan
sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya sekaligus.DM tipe II adalah penyakit
kronis yang terjadi ketika pankreas tidak lagi mampu memproduksi insulin, atau
ketika tubuh tidak dapat memanfaatkan insulin yang dihasilkannya dengan baik.
Diabetes berasal dari bahasa Yunani yang berarti mengalirkan atau
mengalihkan (siphon). Mellitus berasal dari bahasa latin yang bermakna manis atau
madu. Penyakit diabetes melitus dapat diartikan individu yang mengalirkan volume
urine yang banyak dengan kadar glukosa tinggi. Diabetes melitus adalah penyakit
hiperglikemia yang ditandai dengan ketidakadaan absolute insulin atau penurunan
relative insensitivitas sel terhadap insulin (Brunner, 2015).
2. ETIOLOGI
Faktor penyebab dari terjadinya DM tipe II yaitu resistensi insulin atau
kegagalan produksi insulin oleh selβ pankreas (ADA, 2019).
Pada kondisi resistensi insulin, insulin dalam jumlah yang cukup tidak dapat
bekerja secara optimal sehingga menyebabkan kadar gula dalam darah menjadi
tinggi (PERKENI, 2015).
3. ANATOMI FISIOLOGI
Pankreas adalah suatu organ berupa kelenjar yang terletak retroperiontenial dalam
abdomen bagian atas, didepan vertebrae lumbalis I dan II dengan panjang dan tebal
sekitar 12,5 cm dan tebal 2,5 cm yang terbentang dari atas sampai ke lengkungan
besar dari perut dan biasanya dihubungkan oleh dua saluran duodenum atau 12 usus
jari (Syarifuddin, 2014).
a. Kelenjar pancreas
b. Bagian-bagian pancreas
1) Kepala pancreas
2) Badan pancreas
3) Ekor pancreas
4) Saluran Pankreas
f. Kerusakan yang terjadi pada banyak serabut saraf yang di sebut polineuropati
diabetik.Pada keadaan ini jalan penderita akan pincang dan otot-otot kakinya
mengecil (atrofi)
14) Pembuluh darah
Komplikasi DM tipe II yang paling berbahaya adalah komplikasi pada pembuluh
darah. Pembulu darah penderita diabetes melitus muda menyempit dan tersumbat
oleh gumpalan darah. Penyempitan pembulu darah pada penderita diabetes melitus
disebut angiopati diabetik. Angiopati diabetik pada pembulu darah besar atau sedang
disebut makroangiopati diabetik, sedangkan pada pembulu darah kapiler disebut
mikroangiopati diabetik (Aini, 2016).
15) Kulit
Pada umumnya kulit penderita DM tipe II kurang sehat atau kuat dalam hal
pertahananmya, sehingga mudah terkena infeksi dan penyakit jamur (Aini, 2016).
5. KLASIFIKASI
Beberapa klasifikasi dari diabetes mellitus, yaitu :
a. Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) atau DM tipe 1
Diabetes yang tergantung insulin ditandaig dengan penghancuran sel-sel beta
pancreas yang disebabkan oleh :
1) Faktor genetik penderita tidak mewarisi diabetes tipe itu sendiri, tetapi
mewarisi suatu predisposisi atau kecendrungan genetik kearah terjadinya
diabetes tipe 1.
2) Faktor imunologi (autoimun).
b. Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) atau DM tipe 2
Disebabkan oleh kegagalan relative sel beta dan resistensi insulin. DM tipe II
bervariasi mulai dari yang dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin
relatif sampai efek insulin disertai resistensi insulin.
Faktor resiko yang berhubungan dengan proses terjadinya diabetes tipe 2, yaitu
(Hupfeld, 2016) :
1) Genetik
DM tipe II sangat dipengaruhi oleh faktor genetik. Seorang anak memiliki
risiko 15 % menderita DM tipe II jika kedua salah satu dari kedua orang
tuanya menderita DM tipe II. Anak dengan kedua orang tua menderita DM tipe
II mempunyai risiko 75 % untuk menderita DM tipe II dan anak dengan ibu
menderita DM tipe II mempunyai risiko 10-30 % lebih besar daripada anak
dengan ayah menderita DM tipe II (Garnita, 2016).
2) Stress
Stres kronik cenderung membuat seseorang mencari makanan yang cepat
saji kaya pengawet, lemak, dan gula. Makanan ini sangat berpengaruh besar
terhadap kerja pankreas. Stres juga meningkatkan kerja metabolisme dan
meningkatkan kebutuhan akan sumber energi yang berakibat pada
peningkatan erja pankreas. Beban kerja yang tinggi membuat pankreas
mudah rusak sehingga berdampak pada produksi insulin (Aini, 2016).
3) Lifestyle dan nutrisi
Ada hubungan yang signifikan antara pola makan dengan kejadian
diabetes melitus tipe II. Pola makan yang buruk merupakan faktor risiko yang
paling berperan dalam kejadian diabetes melitus tipe II. Pengaturan diet yang
sehat dan teratur sangat perlu diperhatikan terutama pada wanita. Pola
makan yang buruk dapat menyebabkan kelebihan berat badan dan obesitas
yang kemudian dapat menyebabkan DM tipe II (Aini, 2016).
Perilaku hidup sehat dapat dilakukan dengan melakukan aktivitas fisik
yang teratur. Manfaat dari aktivitas fisik sangat banyak dan yang paling utama
adalahmengatur berat badan dan memperkuat sistem dan kerja jantung.
Aktivitas fisik atau olahraga dapat mencegah munculnya penyakit DM tipe II.
Sebaliknya, jika tidak melakukan aktivitas fisik maka risiko untuk menderita
penyakit DM tipe II akan semakin tinggi (Aini, 2016).
Terdapat hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan
kejadian DM tipe II. Kebiasaan merokok merupakan faktor risiko DM tipe II
karena memungkinkan untuk terjadinya resistensi insulin. Kebiasaan merokok
juga telah terbukti dapat menurunkan metabolisme glukosa yang kemudian
menimbulkan DM tipe II (Aini, 2016).
4) Obesitas
Pola makan yang buruk seperti terlalu banyak mengkonsumsi karbohidrat,
lemak dan protein dan tidak melakukan aktivitas fisik merupakan faktor risiko
dari obesitas. Obesitas merupakan faktor risiko yang berperan penting dalam
DM tipe II karena obesitas dapat menyebabkan terjadinya resitensi insulin di
jaringan otot dan adipose (Aini, 2016).
Obesitas mengakibatkan sel-sel β pankreas mengalami hipertrofi sehingga
berpengaruh terhadap fungsinya dalam memproduksi insulin. Pada kondisi
obesitas juga menyebabkan penurunan adiponektin, yaitu hormon yang
dihasilkan adiposit yang berfungsi untuk memperbaiki sensitivitas insulin
dengan cara menstimulasi peningkatan penggunaan glukosa dan oksidasi
asam lemak otot serta hati sehingga kadar trigliserida menurun. Penurunan
adiponektin menyebabkan resistensi insulin. Aiponektin berkolerasi positif
dengan High Density Lipoprotein (HDL) dan berkolerasi negatif dengan Low
Density Lipoprotein (LDL) (Renaldy, 2009; Umar dan Adam, 2009 dalam Aini,
2016).
5) Usia
Usia yang semakin bertambah akan berbanding lurus dengan peningkatan
risiko menderita penyakit diabetes melitus karena jumlah sel beta pankreas
yang produktif memproduksi insulin akan berkurang. Hal ini terjadi terutama
pada umur yang lebih dari 40 tahun. Penurunan fisiologis ini berisiko pada
penurunan funsi endokrin pankreas untuk memproduksi insulin (Aini, 2016).
6) Jenis kelamin
Wanita lebih memiliki potensi untu menderita DM tipe II daripada pria karena
adanya perbedaan anatomi dan fisiologi. Secara fisik wanita memilikipeluang
untuk mempunyai indeks massa tubuh di atas normal. Selain itu, adanya
menopouse pada wanita dapat mengakibatkan pendistribusian lemak tubuh
tidak merata dan cenderung terakumulasi (Aini, 2016).
6. PATOFISIOLOGI
DM merupakan suatu penyakit gangguan metabolik yang diawali dengan
berkurangnya sekresi insulin atau berkurangnya sensitivitas jaringan terhadap insulin
karena ketidakmampuan reseptor insulin menyediakan transporter glukosa (Annisa,
2014). Otot dan hati yang mengalami resistensi insulin menjadi penyebab utama DM
tipe II. Kegagalan sel beta pankreas untuk dapat bekerja secara optimal juga menjadi
penyebab dari DM tipe II (Perkeni, 2015).
Gangguan metabolisme tersebut dapat terjadi karena 2 hal yaitu pertama
karena kerusakan pada sel-sel beta pankreas karena pengaruh dari luar seperti zat
kimia, virus dan bakteri. Kedua, penyebabnya adalah penurunan reseptor glukosa
pada kelenjar pankreas dan yang ketiga karena kerusakan reseptor insulin di jaringan
perifer (Fatimah, 2015). Gangguan respons metabolik terhadap kerja insulin disebut
dengan resistensi insulin. Keadaan ini dapat disebabkan oleh gangguan reseptor, pre
reseptor dan post reseptor sehingga dibutuhkan insulin yang lebih banyak dari
biasanya untuk mempertahankan kadar glukosa darah agar tetap normal. Sensitivitas
insulin untuk menurunkan glukosa darah dengan cara menstimulasi pemakaian
glukosa di jaringan otot dan lemak serta menekan produksi glukosa oleh hati
menurun. Penurunan sensitivitas tersebut juga menyebabkan resistensi insulin
sehingga kadar glukosa dalam darah tinggi (Prabawati, 2012).
7. KOMPLIKASI
Komplikasi dari DM tipe II dibedakan menjadi 2 yaitu (Aini, 2016) :
1) Komplikasi akut
a. Koma hipoglikemia, kondisi ini ditandai dengan adanya penurunan glukosa
darah kurang dari 60 mg/dl yang disebabkan oleh puasa disertai olahraga.
Gejala hipoglikemia dibedakan menjadi gejala ringan, sedang, dan berat.
Gejala ringan hipoglikemia meliputi tremor, takikardia, palpitasi, gelisah dan
rasa lapar. Gejala sedang hipoglikemia meliputi penurunan konsentrasi, sakit
kepala, vertigo, gerakan tidak terkoordinasi, bicara pelo, kebas pada bibir dan
lidah, perubahan emosional, serta gejala beratnya adalah kejang dan
kehilangan kesadaran.
b. Krisis hiperglikemia
1. Ketoasidosis diabetes (KAD), adalah dampak dari patogenesis primer DM
yaitu defisiensi insulin. KAD pada penderita Dm tipe II dikarenakan
ketidakmampuan transpor glukosa ke dalam sel dan metabolisme glukosa
seluler menyebabkan tubuh menggunakan lemak sebagai sumber energi
dan akibatnya terjadi peningkatan kadar glukosa darah dari 300 hingga 800
mg/dl. Lemak akan dipecah menjadi asam aseto asetat, asam beta
hidroksibutirat, dan aseton. Ketoasidosis pada pasien DM adalah asidosis
metabolik ditandai dengan gejala mual, muntah, haus dan dehidrasi, poliuri,
penurunan elektrolit, nyeri abdomen, nafas bau keton,
hipotermiapernafasan Kussmaul dan penurunan kesadaran.
2. Hiperglikemia hiperosmolar nonketonik (HHNK)
Terjadi pada DM tipe 2 yang merupakan akibat dari tingginya kadar
glukosa darah dan kekurangan insulin secara relatif, biasanya ditemukan
pada orang dewasa dan lansia yang mengonsumsi makanan tinggi
karbohidrat. Perbedaaannya dengan ketoasidosis adalah, pada HHNK
tidak terjadi ketosis karena kadar insuli n masih cukup sehingga tidak
terjadi lipolisis besar-besaran. Kadar gula adarah yang tinggi meningkatkan
dehidrasi hipertonik sehingga terjadi penurunan komposisi cairan intrasel
dan ekstrasel karena pengeluaran urine berlebih. Dalam kondiis ini terjadi
pengeluaran urine berliter-liter, defisit cairan sekitar 6 sampai 10 liter dan
potasium (kalium) sekitar 400 mEq. Gejala lainnnya meliputi hipotensi,
dehidrasi berat (membran mukosa kering, turgor kulit jelek), takikardia
( nadi lemah dan cepat), rasa haus yang hebat, hipokalemia berat, tidak
ada hiperventilasi dan bau napas serta tanda-tanda neurologis (perubahan
sensori, kejang, hemiparesis) (Hudak dan Gallo, 1996; Corwin, J.E., 2001
dalam Aini 2016).
3. Efek somogyi
Efek simogyi adalah penurunan unik kadar glukosa pada malam hari, di
ikuti oleh peningkatan rebound pada paginya Ditemukan oleh ilmuan
Hongaria,Michael somogyi pada tahun 1949. Penyebab hipoglikimiamalam
hari kemungkinan besar berkaitan dengan penyuntikan insulin disore
harinya. Hipoglikimia itu sendiri kemudian menyebabkan peningkatan
glukagon, katekolamin, kortisol, dan hormon pertumbuhan. Hormon-
hormon ini merangsang glukoneogenesis sehingga pada pagi harinya
terjadi hiperglikimia. Resiko terjadi efek somogyi juga meningkatkan
dengan menggunakan insulin NPH dalam terapi diabetes. Oleh karena
menyebab utama efek simogyi adalah dosis insulin yang berlebihan, maka
langkah pertama pencegahan adalah denga memodofikasi dosis insulin,
misalnya mengganti NPH dengan apeaklees analog long-acting, seperti
glargine atau detemir (Corwin,J.E.,2001; Rybicka,M, dkk.,2011 dalam Aini,
2016).
4. Fenomena fajar (dawn phenomenon)
Fenomena fajar adalah hiperglikimia pada pagi hari (antara jam 5 dan 9,
referensi lainya menyebutkan antara jam 3 dan 5 pagi)yang tampak di
sebabkan oleh peningkatan sirkadian kadar glukosa pada pagi hari.
Fenomena ini dapat di jumpai pada penderita diabetes tipe 1 dan 2.
Hormon lain yang melihatkan variasi sirkardian pada pagi hari adalah
kortisol dan hormon pertumbuhan, yang keduanya merangsang
glukoneogenesis (Corwin,J.E.,2001., Rybicka,M, dkk.,2011 dalam Aini,
2016).
2) Komplikasi kronik
a. Makroangiopati yang mengenai pembuluh darah besar,pembuluh darah
jantung, pembuluh darah tepi, dan pembuluh darah otak. Pembuluh darah
besar dapat mengalami aterosklerosis sering terjadi pada NIDDM. Komplikasi
makroangiopati adalah penyakit vaskular otak (stroke), penyakit arteri koroner,
dan penyakit vaskuler perifer (hipertensi dan gagal ginjal).
b. Mikroangiopati yang mengenai pembuluh darah kecil, retinopati diabetik,
nefropati diabetik, dan neuropati. Nefropati terjadi karena perubahan
mikrovaskular pada struktur dan fungsi ginjal yang menyebabkan komplikasi
pada pelvis ginjal. Retinopati (perubahan dalam retina) terjadi karena
penurunan protein dalam retina dan kerusakan endotel pembuluh
darah.Perubahan ini dapat berakibat gangguan dalam penglihatan (Aini,
2016).
Neuropati terjadi karena perubahan metabolik dalam diabetes mengakibatkan
fungsi sensorik dan motorik saraf menurun,yang selanjutnya akan
menyebabkan penurunan persepsi nyeri. Neuropati dapat terjadi pada tungkai
dan kaki (gejala yang paling di rasakan adalah kesemutan, kebas), saluran
pencernaan (neuropati pada saluran pencernaan menyebabkan diare dan
konstipasi), kandungan kemih (kencing tidak lancar), dan reproduksi
(impotensi) (Aini, 2016).
c. Perubahan mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati menyebabkan
perubahan pada ekstremitas bawah. Komplikasinya dapat terjadi gangguan
sirkulasi,terjadi infeksi,gangren,penurunan sensasi dan hilangnya fungsi saraf
sensorik. Semua ini dapat menunjang terjadi trauma atau tidak terkontrolnya
infeksi yang akhirnya menjadi gangren (Aini, 2016).
8. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada
asupan kalori minimal 8 jam.
2) Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2 jam setelah Tes Toleransi Glukosa
Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram.
9. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada pasien DM tipe II menurut Perkeni (2015) dan Aini, dkk.,
(2016) dibedakan menjadi 2 macam yaitu :
1) Penatalaksanaaan farmakologis
Pemberian terapi farmakologi harus diikuti dengan pengaturan pola makan dan
pola hidup sehat. Terapi farmakologi terdiri dari obat oral dan obat injeksi, yaitu:
a. Obat antiperglikemia
Menurut Perkeni (2015), berdasarkan cara kerjanya obat ini dibedakan
menjadi beberapa golongan, antara lain :
1. Pemicu skresi insulin
Obat golongan ini adalah Sulfonilurea dan Glinid. Efek utama dari obat
sulfonilurea adalah memicu sel β pankreas untuk memproduksi insulin.
Sedangkan, fungsi dari obat glinid adalah melakukan penekanan pada
peningkatan sekresi insulin fase pertama sehingga mengatasi kondisi
hiperglikemia post prandial (Perkeni, 2015; Aini, 2016).
2. Penurunan sensitivitas terhadap insulin
Obat golongan ini adalah Metformin dan Tiazolidindion. Efek utama dari
obat metformin adalah mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis) dan memperbaiki glukosa perifer. Sedangkan, fungsi
dari obat tiazolidindion (TZD) adalah mengurangi resistensi insulin
dengan jumlah protein pengangkut glukosa sehingga meningkatkan
glukosa perifer (Perkeni, 2015; Aini, 2016).
3. Penghambat absorbs glukosa
Obat ini adalah penghambat glukosidase alfa, yang bekerja dengan
memperlambat absorpsi glukosa dalam usus sehingga berefek
menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan (Perkeni, 2015; Aini,
2016).
4. Penghambat dipeptydil peptidase-IV (DPP-IV)
Obat golongan penghambat DPP-IV berfungsi untuk menghambat kerja
enzim DPP-IV sehingga glucose like peptide-1 (GLP-1) tetap dalam
konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk
meningkatkan sekresi insulin dan menekan sekresi glukagon sesuai kadar
glukosa darah (glucose dependent) (Perkeni, 2015; Aini, 2016).
b. Kombinasi obat oral dan injeksi
Kombinasi obat oral antihiperglikemia dan insulin yang banyak digunakan
adalah kombinasi obat oral antihiperglikemia oral dan insulin basal (insulin
yang bekerja menengah atau insulin kerja panjang) yang diberikan pada
malam hari sebelum tidur. Terapi tersebut biasanya dapat mengendalikan
kadar glukosa darah dengan baik jika dosis insulin kecil atau cukup. Dosis
awal insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar pukul
22.00, kemudian dievaluasi dosis tersebut dengan melihat nilai kadar glukosa
darah puasa keesokan harinya. Ketika kadar glukosa darah sepanjang hari
masih tidak terkendali meskipun sudah mendapat insulin basal, maka perlu
diberikan terapi kombinasi insulin basal dan prandial, serta pemberian obat
antihiperglikemia oral dihentikan (Perkeni, 2015; Aini, 2016).
2) Penatalaksaaan non farmakologis
Terapi non-farmakologi menurut Perkeni (2015) dan Aini (2016), yaitu:
a. Edukasi
Edukasi bertujuan untuk promosi kesehatan supaya hidup menjadi sehat. Hal
ini perlu dilakukan sebagai upaya pencegahan dan bisa digunakan sebagai
pengelolaan diabetes melitus secara holistik (Perkeni, 2015; Aini, 2016).
Edukasi sangat komprehensif serta upaya motivasi sangat dibutuhkan untuk
tercapainya perubahan perilaku. Perubahan perilku bertujuan agar penderita
diabetes melitus dapat menjalani pola hidup sehat. Beberapa perubahan
perilaku yang diharapkan seperti mengikuti pola amkaan sehat, meningkatkan
kegiatan jasmani, menggunakan obat diabetes dan obat-obat pada keadaan
khusus, melakukan Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) dan
memanfaatkan data yang ada, melakukan perawatan kaki secara berkala,
memiliki kemampuan untuk mengenal dan menghadapi keadaan sakit akut
dengan tepat, mempunyai keterampilan mengatasi masalah yang sederhana
dan mau bergabung dengan kelompok penyandang diabetes, mengajak
keluarga untuk mengerti pengelolaan penderita diabetes serta memnfaatkan
pelayanan kesehatan yang ada (Perkeni, 2015; Aini, 2016).
b. Terapi nutrisi medis
Penderita diabetes melitus perlu diberikan pengetahuan tentang jadwal
makan yang teratur, jenis makanan yang baik beserta jumlah kalorinya (3J)
terutama pada pasien yang menggunakan obat penurun glukosa darah
maupun insulin (Perkeni, 2015; Aini, 2016).
Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain jenis kelamin,
umur, aktivitas fisik atau pekerjaan, dan berat badan. Hal yang terpenting
adalah tidak terlalu mengurangi jumlah makanan karena akan mengakibatkan
kadar glukosa darah menurun atau rendah (hipoglikemia) dan juga tidak
terlalu banyak mengonsumsi makanan yang memperparah konsisi penyakit
DM (Perkeni, 2015; Aini, 2016).
Menurut Perkeni (2015) dalam Aini (2016), komposisi makanan yang
dianjurkan terdiri atas beberapa unsur gizi penting berikut :
1) Karbohidrat
a. Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.
b. Pembatasan karbohidrat total < 130 g/hari tidak dianjurkan.
c. Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat
tinggi.
a. Anamnesis
i. Identitas
Identitas pada DM beresiko tinggi terjadi pada umur > 45 tahun, dan jenis
kelamin perempuan, untuk pekerjaan bisa terjadi pada pekerjaan apapun,
akan tetapi lebih beresiko pada orang yang bermalas masalan dalam
melakukan aktifitas. Pada pendidikan rendah juga bisa terjadi diabetes
mellitus dikarenakan kurangnya pengetahuan akan informasi tentang pola
hidup sehat.
c. Tanda-Tanda vital
o Tekanan darah : hipertensi
o Suhu :normal
i. Mulut: inspeksi bibir berwarna pucat atau merah ada lender atau
tidak serta dilihat mukosa kering atau tidak.
k. Dada/Thorak
l. Jantung
m. Perut/Abdomen
n. Genetalia
o. Sistem integrumen
Inspeksi warna kulit tubuh dan biasanya turgor kulit kering, tampa
ada atropi otot, tornus otot menurun.
p. Ekstermitas
Biasanya kekuatan otot lemah.
KRITERIA HASIL
INDIKATOR
1 2 3 4 5
Suhu tubuh
Suhu kulit
Pucat
Tekanan darah d) Jelaskan prosedur kompres dingin
3) Edukasi pengukuran suhu tubuh
a) Indentifikasi kesiapan dan kemampuan
menerimainformasi
b) Sediakan msteri dan pendidikan kesehatan
c) Jelaskan prosedur pengukuran suhu tubuh
d) Anjurkan lurus memegang bahu danmenahan
dada saat pengukuran aksila
e) Ajarkan memilih lokasi pengukuran suhu oral
atau aksila
PATHWAY
Insufisiensi Insulin
Resistensi insulin
DM Tipe I DM Tipe II
Polidipsi Poliuria
Suhu BB
tubuh
Menurun Ketidakseimbangan
Nutrisi Lebih Parastesia, Sesibilitas
DariKebutuhan Dehidrasi Nyeri, Suhu Menurun
Gangguan Pola Tidur
Ketidakseimbangan
Nutrisi Kurang Risiko Kekurangan Volume Cairan
DariKebutuhan hipertermia Resiko Infeksi