Menurut UUD 1945, negara melindungi segenap panduduk, misalnya dalam pasal 29(2)
disebutkan “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Dibagian lain
UUD 1945 menyebutkan hak-hak khusus untuk warga negara, misalnya dalam pasal 27(2)
menyebtkan “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan”. Dan pasal 31(1) menyebutkan “tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan
pengajaran”.
2. Kewarganegaran
Menurut penjelasan dari pasal II Peraturan Penutup Undang-Undang No. 62 Tahun 1958 tentang
kewarganegaraan Republik Indonesia, kewarganegaraan diartikan segala jenis hubungan dengan
suatu negara yang mengakibatkan adanya kewajiban negara untuk melindungi orang yang
bersangkutan. Menurut UUKRI, kewarganegaraan adalah segala hal yang berhubungan dengan
negara. Pengertian warga negara dibedakan menjadi 2 yaitu :
a. Kewarganegaraan dalam arti yuridis dan sosiologis
Kewarganegaraan dala arti yuridis ditandai dengan adanya ikatan hukum antara orang-orang
dengan negara.
Kewarganegaraan dalam arti sosiologis tidak ditandai dengan ikatan hukum, tetapi ikatan
emosional, seperti ikatan perasaan, ikatan keturunan, ikatan nasib, ikatan sejarah, dan ikatan
tanah air.
b. Kewarganegaraan dalam arti formil dan materiil
Kewarganegaraan dalam arti formil menunjukkan pada tempat kewarganegaraan.
Kewarganegaraan dalam arti materiil menunjuk pada akibat hukum dari status kewarganegaraan,
yaitu adanya hak dan kewajiban warga negara.
Membela negara tidak harus dalam wujud perang tetapi bisa di wujudkan dengan cara lain
seperti:
1. Ikut serta dalam mengamankan lingkungan sekitar(seperti siskamling).
2. Ikut serta membantu korban bencana di dalam negeri.
3. Belajar dengan tekun pelajaran atau mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan/PKn.
4. Mengikuti kegiatan ekstrakurikuler seperti paskibra, PMR, dan pramuka
Beberapa jenis /macam ancaman dan gangguan pertahanan dan keamanan negara
1. Terorisme internasional dan nasional
2. Aksi kekerasan yang berbau sara
3. Pelanggaran wilayah negara baik di darat, laut, udara
4. Gerakan separatis memisahkan diri membuat negara baru
5. Merusak lingkungan
Era globalisasi yang ada saat ini membuka peluang untuk terbukanya pasar bebas lintas antar
negara. Masing-masing negara memiliki peluang besar untuk saling mengisi kebutuhan di dalam
negeri, baik dari segi infrastruktur maupun suprastruktur. Globalisasi dibarengi dengan kemajuan
teknologi. Perkembangan teknologi informasi dan transportasi kian meningkat sehingga
membuat batas-batas antar negara semakin semu. Jalur lalu lintas pun semakin mudah untuk
diakses.
Semakin terbuka lebarnya jalan lalu lintas antar negara pada era globalisasi ini menyebabkan
meningkatnya pula mobilitas barang dan manusia antar satu negara ke negara lain. Dalam
memenuhi kebutuhannya, secara tidak langsung negara membuka lebar pintu masuk dan akses
ke dalam ruang lingkup batasan negara. Masing-masing individu juga dengan mudah melakukan
perjalanan dari satu negara ke negara lain dengan berbagai kepentingan. Dengan fenomena ini,
berbagai usaha dilakukan untuk tetap menjaga keamanan dan stabilitas negara, seperti
menetapkan peraturan-peraturan tentang keimigrasian, walau masih banyak terdapat lubang-
lubang hitma yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu secara ilegal demi kepentingan
pribadi.
Kejahatan lintas negara, atau yang dikenal dengan istilah kejahatan transnasional menimbulkan
banyak kerugian bagi suatu negara, bahkan bagi daerah-daerah tertentu di dalam negara
tersebut. Pelbagai penyimpangan yang dapat dilakukan, seperti pengeksploitasian sumber daya
(sumber daya alam dan sumber daya manusia) yang terlalu berlebihan bedampak kepada
manusia yang ada dunia, dengan munculnya atau menguatnya masalah-masalah, seperti
kemiskinan, konflik, dan kerugian lainnya yang bersifat materi. Bencana alam pun menjadi salah
satu masalah yang kemudian dipertanyakan sebab-musabab munculnya terkait dengan praktek
kejahatan antar bangsa yang mengakibatkan adanya kerusakan lingkungan. Dengan demikian,
kejahatan transnasional “berhasil” menjadi masalah bersama, masalah di negara-negara dunia;
menjadi masalah nasional dan internasional.
Indonesia sebagai salah satu negara di dunia juga memiliki potensi yang kuat untuk terjadinya
praktek kejahatan transnasional. Kejahatan transnasional bukan hanya didorong oleh faktor
perdagangan bebas yang terbuka lebar atau lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Akan
tetapi juga didukung oleh wilayah geografis Indonesia itu sendiri. Indonesia yang bentuk
negaranya adalah kepuluan secara geografis memiliki banyak pintu masuk: bandara, pelabuhan,
batas darat dan perairan. Selain itu, Indonesia yang juga memiliki garais pantai yang sangat
panjang, dan merupakan wilayah yang terletak pada posisi silang jalur lalu lintas dagang dunia,
juga menjadi faktor utama yang menyebabkannya berpotensi kuat untuk terjadinya kejahatan
transnasional. Kejahatan transnasional di negeri ini juga dapat terjadi karena jumlah penduduk
Indonesia yang terbilang besar. Hal ini menyebabkan Indonesia menjadi negara yang memiliki
sumber tenaga kerja yang besar dan sebagai target untuk perkembangan pasar internasional.
Berbagai kendala dihadapi oleh Indonesia dalam menghadapi persoalan kejahatan transnasional,
seperti kurang sumber daya manusia yang kompeten, kendala dalam bidang teknologi, dan lemah
secara yuridik dan diplomatik.
Besarnya potensi terjadinya kejahatan transnasional di Indonesia ini merupakan suatu masalah
yang perlu mendapat perhatian. Dengan demikian perlu diadakan suatu kajian terhadap masalah-
masalah yang terkait dengan kejahatan lintas negara yang melanda Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Semakin besarnya akses lintas negara membuka peluang besar pula terhadap terjadinya tindakan
kejahatan yang melanggar peraturan perudang-undangan. Masalah dari suatu negara bisa
menjadi masalah bagi negara lain karena banyak faktor yang menyebabkannya.
Dalam makalah ini akan dibahas salah satu masalah kejahatan transnasional yang perlu mendapat
perhatian dari kebijakan yang ada di Indonesia, yaitu penyelundupan orang atau people
smuggling. Banyaknya pemberitaan di media yang mengabarkan tentang imigran gelap yang
singgah di Indonesia, atau orang asing dari negara lain yang meminta suaka ke Indonesia,
menegaskan bahwa people smuggling merupakan salah satu masalah yang cukup serius. Tidak
dapat dipungkiri bahwa masalah people smuggling yang belum tertangani dengan baik
memberikan banyak kerugian yang signifikan bagi bangsa ini. Maka dari itu, berangkat dari
masalah people smuggling ini penulis menyusun rumusah masalah sebagai berikut:
1. Apa latar belakang yang menyebabkan terjadinya people smuggling yang melanda Indonesia?
2. Bagaimanakah kebijakan yang telah disusun di Indonesia terhadap masalah people smuggling
tersebut serta pengaruhnya terhadap usaha pengatasan masalah tentang imigran gelap?
3. Apa saran atau rekomendasi kebijakan yang dapat diberikan dalam mengatasi masalah people
smuggling?
C. Tujuan
Tujuan pertama pembuatan makalah ini adalah memaparkan dan menjelaskan dengan jelas latar
belakang yang menyebabkan terjadinya praktek penyelundupan orang sehingga menimbulkan
masalah bagi Indonesia. Yang kedua adalah melihat dan menilai kebijakan yang telah
dicanangkan oleh Pemerintah dalam usahanya mengatasi masalah people smuggling. Yang
terkahir adalah menyajikan solusi dan saran atau rekomendasi kebijakan yang dapat diberikan
dalam menghadapi masalah yang dimaksud guna untuk mengoreksi kebijakan yang telah ada.
D. Manfaat
Manfaat yang dapat diberikan dari pembuatan makalah ini adalah dapat mengetahui dan melihat
masalah people smuggling secara mendalam, mulai dari latar belakang terjadinya masalah
tersebut hingga usaha-usaha apa saja yang telah dilakukan untuk mengatasinya. Makalah ini
dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pihak-pihak yang berkepentingan sebagai saran dan
kritik terhadap berbagai langkah yang telah diambil dalam suatu kebijakan dalam menghadapi
masalah people smuggling. Selain itu, makalah ini juga dipersembahkan sebagai sumbangsih
bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang studi kejahatan, khususnya dalam bidang
kebijakan kriminal dan kejahatan transnasional.
BAB II
Migrasi bukanlah fenomena yang baru. Selama berabad-abad, manusia telah melakukan
perjalanan untuk berpindah mencari kehidupan yang lebih baik di tempat yang lain. Dalam
beberapa dekade terakhir ini, proses globalisasi telah meningkatkan faktor yang mendorong para
imigran untuk mencari peruntungan di luar negeri. Hal ini kemudian menyebabkan
meningkatnya jumlah aktivitas migrasi dari negara-negara berkembang di Asia, Afrika, Amerika
Selatan dan Eropa Timur ke Eropa Barat, Australia dan Amerika Utara
(http://www.interpol.int/). Berangkat dari fenomena ini lah kemudian muncul praktek
penyimpangan, yaitu melakukan aksi untuk memindahkan manusia ke negara-negara tujuan
secara ilegal karena batasan dan ketidakmampuan dari para imigran dalam memenuhi syarat
sebagai imigran resmi.
People smuggling adalah sebuah kejahatan. Dikatakan demikian karena people smuggling secara
jelas melanggar ketentuan-ketentuan resmi dari negara-negara yang bersangkutan. Telah diakui
bahwa people smuggling merupakan suatu tindakan melanggar hak asasi manusia dan bentuk
perbudakan kontemporer. Para imigran diperlakukan dengan tidak baik. Sangat sering kondisi
perjalanan yang tidak manusiawi; ditumpuk dalam angkutan (umumnya perahu) yang penuh dan
sesak, dan bahkan sering terjadi kecelakaan yang fatal. Setibanya di tempat tujuan, status ilegal
mereka menyebabkan mereka terpaksa menjadi budak para penyelundup yang memaksa bekerja
selama bertahun-tahun di pasar tenaga kerja ilegal. Para imigran secara tidak langsung
dieksploitasi oleh pihak tertentu demi keuntungan materil (Ibid).
People smuggling menjadi lahan bisnis tersendiri yang sangat menguntungkan. Diperkirakan
setiap tahunnya dapat menghasilkan keuntungan sebesar lima hingga sepuluh juta dolar.
Berdasarkan perkiraan tersebut, setidaknya satu juta imigran harus membayar rata-rata sebesar
lima hingga sepuluh ribu dolar secara paksa ketika melintasi perbatasan antar negara. Organisasi
Internasional untuk Migrasi (IOM) mencatat bahwa penyelundupan manusia, yang merupakan
“sisi gelap” dari globalisasi, adalah sebuah bisnis besar yang kian tumbuh dan berkembang
(Philip Martin & Mark Miller, 2000: 969). Selain itu, people smuggling juga menimbulkan
masalah tersendiri bagi negara tempat mereka meminta suaka. Hal ini juga melanda negara
Indonesia.
Pada bulan Oktober dan November 2009 lalu, aparat keamanan Republik Indonesia menangkap
serombongan imigran dari dua negara, Sri Lanka dan Afganistan, karena memasuki wilayah
Indonesia di daerah Banten. Kejadian pada tanggal 11 Oktober 2009 lalu, sebanyak 255 imigran
asal Sri Lanka, yang menaiki kapal kayu pengangkut barang, ditangkap di perariran Selat Sunda.
Kemudian pada tanggal 15 November 2009, giliran 40 imigran asal Afganistan yang ditangkap
di daerah Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten. Pada awalnya Pemerintah memperlakukan
para imigran dengan baik dengan alasan menyunjung Hak Asasi Manusia. Namun kemudian
muncul pertanyaan sampai kapan perhatian itu harus diberikan; merelakan para imigran sebagai
tanggungan negara Indonesia menjadi masalah tersendiri yang dihadapi oleh Pemerintah,
terutama Pemerintah Daerah Provinsi Banten (http://female.kompas.com, 23 November 2009).
Penjelasan di atas adalah salah satu contoh kasus tentang penyelundupan orang yang terjadi di
Indonesia. Banyak para imigran gelap yang diselundupkan dengan negara tujuan ke Australia,
melewati perairan Indonesia sehingga Indonesia terkena imbasnya. Namun demikian, maraknya
kejadian penyelundupan manusia yang berhasil dideteksi oleh aparat keamanan ternyata dapat
terjadi dengan adanya kontribusi dari orang Indonesia sendiri. Salah satunya adalah nelayan-
nelayan Indonesia yang dilibatkan dalam usaha menyelundupkan para imigran tersebut dengan
diming-imingi sejumlah uang (Berita Nasional, http://vibizdaily.com/, 25 Juli 2010). Dalam
pemberitaan yang lain, dalam kasus 74 imigran gelap asal Iran dan Afganistan di Yogyakarta,
juga melibatkan para nelayan (http://liranews.com/, 18 Oktober 2010).
Masalah penyelundupan manusia yang melanda Indonesia semakin serius. Jika pada awalnya
para imigran gelap yang tertangkap oleh aparat keamanan Republik Indonesia di perbatasan
wilayah negara adalah merupakan kelompok yang memiliki tujuan untuk ke negara Australia,
dan menjadikan Indonesia sebagai negara transit saja, kini malah negara Indonesia yang menjadi
tujuan utama.
Praktek penyelundupan orang atau people smuggling telah meningkat dalam beberapa dekade
terakhir dan pada saat ini, laporan signifikan mengenai jumlah imigrasi tidak resmi terus
meningkat di berbagai negara. People smuggling umumnya dapat terjadi dengan persetujuan dari
orang atau kelompok yang berkeinginan untuk diselundupkan, dan alasan yang paling umum dari
mereka adalah peluang untuk mendapatkan pekerjaan atau memperbaiki status ekonomi, harapan
untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik bagi diri sendiri atau keluarga, dan juga untuk
pergi menghindari konflik yang terjadi di negara asal.
Menurut laporan yang dimuat di website Organisasi Polisi Internasional (Interpol), pada tahun
2006 hampir 31.000 imigran, setengahnya berasal dari Senegal, berbondong-bondong bergerak
menuju kepulauan Canary, Spanyol. Para imigran gelap cenderung melakukan perjalanan dengan
menggunakan perahu dalam perjalanan di laut terbuka dengan jarak yang demikian jauh. Sejak
tahun 2003, telah ada perpindahan yang signifikan dari para imigran Irak dan terus meningkat
hingga tahun 2006. Sebagian besar dari mereka telah melarikan diri ke Yordania dan Suriah,
tetapi tetap ditemui pergerakan yang signifikan ke arah Eropa, Amerika dan Australia
(http://www.interpol.int/).
Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) memperkirakan bahwa, secara global, empat juta
orang dipindahkan secara ilegal setiap tahunnya. Hal ini dapat terjadi karena praktek
menyelundupkan manusia sangat menguntungkan, beresiko relatif lebih rendah dan seiring
dengan meningkatnya kerja jaringan kejahatan teroganisir dalam ruang lingkup internasional.
Sementara itu, Pemerintahan Australia menyatakan bahwa selama periode dari tahun 1999
hingga tahun 2001 kecenderungan dalam aktivitas penyelundupan manusia terus berkembang,
ditunjukkan dengan peningkatan yang signifikan terhadap jumlah pendatang yang tidak sah
dengan menggunakan perahu Namun dalam kasus Australia, permasalahan people smuggling
mengalami penurunan akibat kebijakan yang dicanangkan oleh Depeartemen Imigrasi,
Multikultural dan Urusan Pribumi (DIMIA) dengan penghentian hampir menyeluruh terhadap
kapal-kapal yang tidak sah dalam beberapa tahun terakhir. Mengacu kepada laporan DIMIA,
pada tahun 2004 hingga 2005, terdapat 94 kasus baru people smuggling, angka ini merupakan
penurunan sebesar 26,6% dibandingkan tahu 2003 dan 2004. Selain itu, 88 kasus people
smuggling diselesaikan pada tahun yang sama, yang juga merupakan penurunan sebesar 38,5%
dibandingkan tahun sebelumnya (Lihat di http://www.immi.gov.au/).
Hal ini berbeda dengan Indonesia, hingga tahun 2010 kasus people smuggling terus meningkat
dengan berbagai modus operandi. Jumlah kasus imigran gelap yang masuk ke Indonesia selama
periode Bulan Januari hingga Bulan Mei, tahun 2010 mencapai 61 kasus. Angka ini merupakan
peningkatan yang sangat signifikan karena mencapai hampir 100% dari jumlah kasus ditahun
sebelumnya, yaitu sebesar 31 kasus. Jumlah imigran gelap yang masuk ke Indonesia pada tahun
2010 mengalami peningkatan sebesar 5,7%, atau meningkat sebesar 67 orang sehingga jumlah
imigran pada tahun 2010 adalah 1.245 imigran, sedangkan di tahun 2009 adalah 1.178 imigran.
Selain itu, Direktorat Jenderal Imigrasi juga mencatat bahwa Pemerintah Indonesia mengirimkan
kembali para imigran ke negara asal, sedikitnya 1.290 orang imigran gelap, setiap tahunnya
(http://www.antaranews.com/, 3 Agustus 2010).
People smuggling atau persoalan imigran gelap adalah sebuah permasalahan yang menjadi
sebuah tantangan besar bagi para penegak hukum, baik nasional dan internasional, dan juga
mempengaruhi bagi perkembangan kebijakan dan undang-undang tentang imigrasi bagi negara-
negara di dunia (http://www.interpol.int/).
People smuggling sesungguhya berangkat dari adanya dorongan untuk menjadi imigran gelap.
Oleh karena itu, sebab-sebab yang memunculkan terjadinya imigran gelap dapat pula menjadi
sebab-sebab munculnya tindakan penyelundupan manusia.
People smuggling dapat terjadi karena banyak faktor, terutama faktor pendorong yang
menyebabkan banyaknya penduduk dari suatu negara melakukan perpindahan dari negara asal ke
negara-negara tujuan. Salah satu faktor yang paling utama adalah konsekuensi ekonomi. Sebuah
negara yang tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan menyebabkan banyaknya
pengangguran yang lebih memilih pindah dari negara asalnya untuk mencari tempat dengan
harapan dapat mendapatkan pekerjaan. Contohnya adalah di Mexico yang cukup gagal dalam
menciptakan lapangan kerja (Richard Mines & Alain de Janvry, 1982: 444). Kalaupun ada
lapangan pekerjaan, upah yang minim menjadi alasan bagi para imigran untuk melakukan
migrasi dari negara asalnya (Michael P. Todaro & Lydia Marusko, 1987: 101).
Masalah ekonomi ini juga dapat dipicu oleh konflik yang terjadi di negara asal tersebut. Konflik
atau perang yang berkepanjangan menyebabkan terjadinya kemiskinan sehingga jumlah
pengangguran menjadi sangat banyak. Peperangan atau konflik yang terjadi di negara asal
tersebut terkait dengan aspek politik, keamanan, sukuisme, dan sebagainya. Selain itu, konflik
yang terjadi juga menjadi pendorong bagi para imigran gelap untuk meninggalkan daerah
asalnya demi mencari tempat yang aman atau terlepas dari konflik tersebut. oleh karenanya
mereka meminta suaka ke negara-negara maju yang dapat memberikan jaminan keselamatan dan
perlindungan hak asasi manusia.
Banyaknya praktek penyelundupan manusia juga disebabkan oleh para imigran yang terbuai
bujuk rayu para agen penyelundup (smuggler). Selain itu, faktor eksternal yang berasal dari
negara tujuan juga menjadi alasan utama bagi imigran gelap untuk berpindah dari negara asal,
diantaranya adalah sistem ekonomi negara tujuan yang stabil sehingga memungkinkan para
imigran, dalam pemahaman mereka, mendapatkan pekerjaan dengan upah yang layak. Di negara-
negara tujuan yang notabennya adalah negara maju, para pelaku usaha dengan senang hati
menyambut dan memanfaatkan jasa pekerja ilegal karena upah mereka yang jauh lebih rendah
daripada pekerja di dalam negeri (Jean B. Grossman, 1984: 243)
Dalam konteks Indonesia, yang menjadi faktor penarik untuk terjadinya praktek kejahatan ini
antara lain adalah keadaan geografis Indonesia yang luas, tetapi kekurangan satuan tugas
pengamanan wilayah; Indonesia adalah negara yang strategis sebagai tempat transit sebelum
sampai ke negara tujuan, seperti Australia. Indonesia, yang belum menandatangai Konvensi
Jenewa Tahun 1951 dan Protokol Tahun 1967, posisinya sangat lemah dalam mengatasi masalah
para pencari suaka dan pengungsi dari negara lain karena tidak memiliki peraturan nasional yang
secara khusus membahas masalah tersebut. Selain itu, keberadaan UNHCR di Jakarta membuat
Pemerintah Republik Indonesia merujuk setuap orang asing yang masuk dengan alasan mencari
suaka ke UNHCR untuk melaksanakan penentuan status pengungsi. Pemerintah Indonesia
mengizinkan para imigran untuk menetap di Indonesia hingga didapatkan suatu solusi
(http://www.unhcr.or.id/). Oleh karenanya para imigran gelap merasa aman untuk datang dan
tinggal di Indonesia; memasuki wilayah Indonesia dengan memanfaatkan keberadaan UNHCR
dengan dalih mencari suaka.
Rute para imigran gelap dan orang-orang yang diselundupkan (people smuggling)
Meningkatnya jumlah imigran gelap, sebagian besar berasal dari Timur Tengah dan Asia selatan,
mendarat di pantai barat dan terutama di Pulau Christmas, yang terletak relatif dekat dengan
kepulauan Indonesia (http://www.interpol.int/). Pulau Christsmas adalah suatu pulau yang
merupakan pusat casino di Australia, tetapi sisi lain pulau tersebut merupakan tempat para
imigran ditahan di suatu Rumah Detensi Imigrasi yang benar-benar layak huni dan nyaman
sebelum mereka memperoleh kewarganegaraan secara selectif, dalam suatu konvensi
internasional Australia merupakan salah satu negara yang memiliki komitmen untuk membantu
para imigran (pengungsi korban perang dan pencari suaka) yang memasuki negaranya (Lihat
http://www.komisikepolisianindonesia.com/)
Sebagian besar pengungsi dari Asia pertama kali masuk ke Malaysia, di mana mereka akan
dibawa ke selatan sebelum menyeberang dengan kapal feri ke Pulau Batam, Indonesia. Dari
sana, tujuan selanjutnya adalah mencapai Kota Jakarta dan melanjutkan ke pulau-pulau
Indonesia bagian selatan, seperti Pulau Bali, Pulau Flores atau Lombok. Dan dari pulau-pulu ini
nantinya mereka akan terus melanjutkan perjalan menuju negara Australia (Interpol, op cit).
Jalur lain juga ditemukan melalui Lautan Hindia langsung menuju Kota Medan, tanpa melalui
Malaysia, kemudian terus menuju bagian Selatan Pulau Sumatera. Dari arah Utara, yaitu Laut
Cina Selatan, para imigran gelap juga ditemukan, yang langsung menuju Wilayah Jambi dan
Sumatera Selatan, kemudian melanjutkan perjalan dengan arah yang sama ke Jawa, lanjut ke
Sulawesi Selatan, ke wilayah Kepulauan Sunda Kecil, dan terus menuju negara Australia.
Para imigran gelap yang teroganisir oleh para penyelundup manusia ini umumnya berasal dari
Asia Selatan, seperti India, China, atau Asia Timur Tengah, seperti Iran, Irak, Afghanistan, juga
dari Afrika. Mereka menjadikan negara-negara di Asia Tenggara sebagai negara transit,
umumnya Malaysia dan Indonesia, yang meruakan lalu lintas perdagangan dunia, dan berharap
akan mendapat bantuan dengan dikrimkannya mereka ke negara-negara ketiga, seperti ke
Australia, Negara-negara maju di Eropa Barat, Amerika, dan Kanada.
Illegal migration diartikan sebagai suatu usaha untuk memasuki suatu wilayah tanpa izin.
Imigran gelap dapat pula berarti bahwa menetap di suatu wilayah melebihi batas waktu
berlakunya izin tinggal yang sah atau melanggar atau tidak memenuhi persyaratan untuk masuk
ke suatu wilayah secara sah (Gordon H. Hanson, 2007: 3-8. Lihat juga halaman 30). Terdapat
tiga bentuk dasar dari imigran gelap. Yang pertama adalah yang melintasi perbatasan secara
ilegal (tidak resmi). Yang kedua adalah yang melintasi perbatasan dengan cara, yang secara
sepintas adalah resmi (dengan cara yang resmi), tetapi sesungguhnya menggunakan dokumen
yang dipalsukan atau menggunakan dokumen resmi milik seseorang yang bukan haknya, atau
dengan menggunakan dokumen remsi dengan tujuan yang ilegal. Dan yang ketiga adalah yang
tetap tinggal setelah habis masa berlakunya status resmi sebagai imigran resmi (Friedrich
Heckmann, 2004: 1106).
Philip Martin dan Mark Miller menyatakan bahwa smuggling merupakan suatu istilah yang
biasanya diperuntukkan bagi individu atau keompok , demi keuntungan, memindahkan orang-
orang secara tidak remsi (melanggar ketentuan Undang-Undang) untuk melewati perbatasan
suatu negara. Sedangkan PBB dalam sebuah Konvensi tentang Kejahatan Transnasional
Terorganisasi memberikan definisi dari smuggling of migrants sebagai sebuah usaha pengadaan
secara sengaja untuk sebuah keuntungan bagi masuknya seseorang secara ilegal ke dalam suatu
negara dan/atau tempat tinggal yang ilegal dalam suatu negara, dimana orang tersebut bukan
merupakan warga negara atau penduduk tetap dari negara yang dimasuki (Philip, op cit).
Sedangkan pengertian people smuggling adalah sebuah istilah yang merujuk kepada gerakan
ilegal yang terorganisasi dari sebuah kelompok atau individu yang melintasi perbatasan
internasional, biasanya dengan melakukan pembayaran berdasarkan jasa. Penyelundupan migrant
merupakan suatu tindakan, baik langsung maupun tidak langsung, guna memperoleh suatu
keuntungan finansial atau material lainnya dengan cara memasukkan seseorang yang bukan
warga negara atau penduduk tetap suatu negara tertentu secara ilegal ke negara tersebut.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat dinyatakan bahwa terdapat tiga unsur penting yang harus
ada (baik secara terpisah maupun tidak) untuk menyatakan suatu tindakan tersebut tergolong
people smuggling, yaitu harus ada kegiatan melintasi tapal batas antar negara, aktivitas tersebut
merupakan aktivitas yang bersifat ilegal, dan kegiatan tersebut memiliki maksud untuk mencari
keuntungan.
Dasar Hukum
Berikut akan dijelaskan dasar hukum yang membahas tentang pengungsi, keimigrasian, dan
orang yang diselundupkan (people smuggling) berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, baik
nasional dan internasional. Dalam Konvensi Tahun 1951 tentang Status Pengungsi, pengungsi
adalah seseorang yang karena ketakutan yang beralasan, seperti dianiaya karena alasan ras,
agama, kebangsaan, keanggotaan dari kelompok sosial tertentu, atau karena pandangan politik,
berada di luar negara kewarganegaraannya dan tidak dapat atau, karena kecemasan tersebut,
tidak mau memanfaatkan perlindungan dari negara asalnya tersebut (menurut definisi formal
yang tercantum dalam Pasal 1A dalam Konvensi yang dimaksud). Ketentuan ini didukung oleh
Undang-Undang nasional, yaitu Pasal 28 G (2) UUD 1945 yang menjamin adanya hak untuk
mencari suaka, dan Pasal 28 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Dalam Pasal 49 hingga 54, dinyatakan ketentuan pidana bagi yang melanggar peraturan
keimigrasian. Ketentuan yang berlaku adalah hukuman kurungan selama satu tahun penjara
hingga enam tahun penjara, atau denda sebesar Rp 5.000.000,- hingga Rp 30.000.000,-,
berdasarkan pelanggaran yang dilakukan, seperti keluar masuk wilayah Indoesia tanpa melalui
pemeriksaan; dengan sengaja menggunakan atau memalsukan surat perjalanan, visa dan izin
keimigrasian yang tidak resmi; menyalahgunakan atau bertindak tidak sesuai dengan ketentuan
yang tercantum dalam izin keimigrasian; melanggar kewajiban yang telah ditentukan dalam
Pasal 39; berada di wilayah Indonesia secara tidak sah (pernah dideportasi ke negara asal dan
berada kembali di wilayah Indonesia) atau yang tetap berada di Indonesia setelah masa berlaku
keimigrasian habis; serta pelanggaran oleh orang yang dengan sengaja menyembunyikan,
melindungi, memberi pemondokan, memberi penghidupan atau pekerjaan kepada orang asing
yang telah diduga melanggar Pasal 49 hingga 53.
Berdasarkan ketentuan dalam UU No. 9 Tahun 1999 tersebut, dapat dimengerti bahwa people
smuggling (penyelundupan manusia) dan illegal migration adalah suatu tindakan kejahatan yang
melanggar Undang-Undang. Ha ini dipertegas dengan adanya Undang-Undang No. 15 Tahun
2009 tentang Pengesahan Protokol Menentang Penyelundupan Migran Melalui Darat, Laut, dan
Udara, Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana
Transnasional Yang Terorganisasi.
Selain itu, perlu ditinjau pula tentang kebijakan yang dicanangkan oleh Pemerintah RI dalam
menangani para pengungsi. Berdasarkan SE Dirjenim No. F-IL.01.10-1297, tertanggal 30
September 2002, Perihal Penanganan Terhadap Orang Asing Yang Menyatakan Diri Sebagai
Pencari Suaka atau Pengungsi, terdapat beberapa unsur penting dalam surat edaran tersebut:
1. Pengungsi atau pencari suaka yang memasuki wilayah Indonesia tidak serta merta dideportasi
2. Imigrasi bekerjasama dengan UNHCR di Indonesia, bersama-sama menangani para pengungsi
atau pencari suaka
3. Pengungsi yang memiliki sertifikat atau surat keterangan pengungsi maka statusna akan leih
jelas dan pengurusan izin tinggal akan lebih mudah
4. Status pengungsi tidak kebal hukum.
Analisis Permasalah Yang Muncul Dalam Menangangi Imigran Gelap dan People
Smuggling
People smuggling dan imigran gelap merupakan suatu tindakan pidana yang saling kait mengait.
Kegiatan tersebut dapat terjadi jika salah satunya dapat direalisasikan, dalam artian bahwa
imigran gelap akan berhasil dengan adanya persengkongkolan dari agen-agen penyelundup, dan
penyelundupan orang mengakibatkan semakin meningkatnya jumlah imigran gelap.
Dalam menganalisa masalah tersebut, perlu dilakukan bahasan kelemahan dan ketidakserasian
antar hukum atau Undang-Undang yang berlaku, terutama di Indonesia, yang menyebabkan tidak
terselesaikannya masalah penyelundupan manusia secara menyeluruh.
Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Konvensi tentang Status Pengungsi, dapat diketahui
bahwa pengungsi bukanlah merupakan pernyataan pribadi, melainkan suatu status yang
ditentukan melalui sebuah proses. Dengan keberadaan UNHCR di Jakarta, banyak para imigran
gelap yang datang ke Indonesia untuk mendapatkan hak suaka hingga status dan solusi begi
mereka didapatkan. Namun demikian, tidak semua orang asing yang masuk tanpa dokumen di
Indonesia dapat diberikan status sebagai ‘refugee’ oleh UNHCR tersebut.
Setelah para imigran mendapatkan status sebagai pengungsi, mereka memiliki kewajiban untuk
menghormati setiap aturan negara di mana tempat mereka diberikan penampungan. Pemerintah
Repubik Indonesia akan member kesempatan bagi para pengungsi untuk tinggal sementara di
wilayah Indonesia sampai ditemukan negara ketiga sebagai tempat pemindahan. Dan apabila
UNHCR menolak untuk memberikan status refugee ‘pengungsi’ kepada imigran, seharusnya
Pemerintah Indonesia memiliki kewenangan untuk mendeportasi mereka, malangnya dengan
biaya Pemerintah RI sendiri, atau mereka dapat kembali dengan suka rela ke negara asal dengan
bantuan dana IOM. Yang menjadi masalah kemudian adalah Negara Indonesia yang tidak
mampu mengalokasikan dana anggaran secara rutin untuk mendeportasi para imigran gelap
tersebut, dan dalam kenyataannya mereka tetap tidak mau kembali secara suka rela sehingga
Indonesia tidak mendapat dana bantuan dari IOM.
Lalu lintas keluar dan masuk orang dari dan ke dalam Indonesia telah diatur dalam Undang-
Undang Imirasi No 9/1992. Namun permasalahan yang muncul kemudian adalah banyak dari
imigran yang masuk secara ilegal dan berlindung dibalik status pengungsi atau pencari suaka
belum dapat dipastikan bisa mendapatkan status tersebut dari UNHCR sehingga hukum di
Indonesia terabaikan. Selain itu, imigran gelap yang masuk ke Indonesia dianggap sebagai
korban penyelundupan orang, padahal Undang-Undang tentang people smuggling tidak ada di
Indonesia, mengakibatkan para imigran gelap merasa sangat aman di Indonesia, merasa bebas
tanpa dikenakan hukum Indonesia. Yang terjerat hukum Indonesia hanyalah WNI yang juga ikut
terlibat (terhasut oleh para penyelundup) dalam penyelundupan manusia, dan mereka juga
terjerat oleh hukum Australia. Contohnya adalah kasus Abdul Hamid, warga negara Indonesia
asal Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), yang dikenakan hukuman penjara selama enam tahun
oleh Pengadilan Perth, Australia Barat, karena terbukti bersalah menyelundupkan tiga warga Iran
dan sembilan warga Afghanistan ke negara itu pada 29 September 2008
(http://berita.kapanlagi.com/, 6 Maret 2009).
Indonesia sebagai negara yang terletak di antara dua benua terkena imbas dan kemalangan dalam
menghadapi para imigran gelap. Hal ini disebabkan negara seperti Australia dan Malaysia
memiliki Undang-Undang yang tegas dalam menangani people smuggling sementara Indonesia
tidak memilikinya.
Posisi lemah hukum yang dimiliki oleh Indonesia dalam menanggulangi masalah people
smuggling ini yang kemudian menyebabkan Indonesia tidak lagi menjadi negara transit bagi para
imigran yang berasal dari Timur Tengah menuju Australia. Indonesia yang dikenal ramah dan
baik dalam menangani para imigran kemudian malah menjadi negara tujuan dan target untuk
mencari suaka bagi para imigran, agen-agen penyelundup pun memang sengaja menjadikan
Indonesia sebagai negara tujuan penyelundupan manusia.
Para imigran memanfaatkan kelemahan yang dimiliki Indonesia, seperti memanfaatkan medan
geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan dengan memasuki pintu-pintu yang tiak
resmi, memanfaatkan keberadaan UNHCR di Jakarta, bahkan menjadikan korban perang sebagai
alasan dan berkilah bahwa Indonesia hanya sebagai negara transit sebelum ke Australia, padahal
sesungguhnya tujuannya memang ke Indonesia.
Berbagai usaha telah dilakukan oleh pihak-pihak yang berkewajiban, seperti lembaga kepolisian.
Langkah-langkah yang dilakukan oleh polisi selama ini adalah dengan melakukan penangkapan
terhadap para imigran gelap dan para penyelundup, tetapi seperti yang telah diketahui bahwa
proses penyidikan tidak menggunakan Undang-Undang khusus, tetapi Undang-Undang
kemigrasian sehingga hasil yang didapatkan tidak menunjukkan perubahan yang berarti.
Kerjasama Pemerintah RI dan Polri dalam menangani kasus imigran gelap dengan IOM dan
UNHCR juga tidak maksimal, karena pada waktu tertentu UNHCR tidak dapat selalu
memberikan solusi. UNHCR tidak dapat semerta-merta selalu mengeluarkan surat mengenai
status kepengungsian, sedangkan IOM tidak dapat memberikan bantuan kepada Indonesiaterkait
dengan usaha memulangkan para imigran yang tidak mendapatkan status.
Salah satu usaha yang dilakukan oleh Pemerintah, terutama Pemerintah Provinsi Banten, dengan
membangun banyak rumah hunian (detensi) bagi para imigran juga bukan merupakan solusi
yang tepat. Usaha ini sama saja dengan membuka kesempatan bagi para imigran untuk lebih
banyak datang ke Indonesia karena terjamin tempat tinggalnya. Selain itu, membangun detensi
juga akan banyak menghabiskan biaya.
Kerjasama yang dilakukan Indonesia dengan Australia pada kenyataannya hanya memberikan
keuntungan sepihak untuk Australia. Australia meminta Indonesia untuk menangkap para
imigran gelap dan penyelundup manusia, tetapi Indonesia tidak dapat pula meneruskan para
imigran gelap ke negeri kangguru tersebut sehingga Indonesia harus menanggung sendiri
bebannya dalam mengurusi para imigran. Padahal, Indonesia memliki kesulitan dalam
pengalokasian dana untuk mengurus para imigran.
C. Rekomendasi
Pada dasarnya terdapat tiga kebijakan yang digunakan dalam menangani people smuggling, yaitu
border controls, deportation and legalization policies, dan work-site inspections, raids, and
sanctions against employers or illegal immigrants (Guido Friebel and Sergei Guriev, 2006:
1086). Yang pertama adalah kontrol perbatasan, dengan tujuan untuk membatasi ruang gerak
dari para agen penyelundup dan para imigran gelap. Yang kedua adalah deportasi dan
pengabsahan kebijakan. Dalam hal ini, dalam konteks Indonesia, pelaksanaan deportasi tidak
dapat serta merta dilakukan sebelum ada status pengungsi yang diberikan oleh UNHCR. Karena
itu dibutuhkan suatu pengesahan kebijakan yang berasal dari Pemerintah Indonesia sendiri yang
secara tegas mengatur tentang status para imigran.
Yang ketiga adalah pemeriksaan dan tinjauan terhadap situs pekerjaan, melakukan
penggrebekan, dan sanksi yang tegas terhadap para pelaku agen penyelundupan manusia.
Ketentuan Undang-Undang ini juga belum dimiliki oleh Indonesia, karena tidak ada Undang-
Undang tengan people smuggling. Guido Friebel dan Sergei Guriev menjelaskan bahwa
kebijakan deportasi tidak akan dapat memberikan hasil yang baik dalam mengurangi arus para
imigran gelap selama tidak ada sanki yang tegas kepada para agen penyelundup manusia (Guido,
Ibid., hal.1088). Karena semuanya berpangkal kepada aktivitas para agen, yang secara terus
menerus dan intens merekrut orang-orang dari negara asal.
Rekomendasi yang dapat diberikan adalah dengan dengan membentuk Satuan Tugas Terpadu
dengan melibatkan pihak-pihak terkait seperti Kementrian Luar Negeri, Kementrian Hukum dan
HAM, Polri, dan Jaksa yang secara bersama-sama dengan giat menanggulangi permasalahan
people smuggling di Indonesia. Bagi Polisi, adalah suatu kewajiban untuk meningkatkan kerjasa
police to police dan memberdayakan operasi terpadu, yaitu Operasi Jingga. Dalam operasi ini,
setiap Polisi Daerah harus memiliki satuan tugas khusus yang melakukan penyelidikan dan
penyidkan secara rutin terhada kasus people smuggling, serta peningkatan kerjasama dengan
Australia yang meberikan keuntungan pada kedua belah pihak, seperti pemberian fasilitas dan
bantuan dari Australia Federal Police (AFP) berupa alat komunikasi dan transportasi guna
menunjang pelaksanaan operasi. Selain itu, perlu juga dilakukan usaha dalam memperketat
pengawasan di Bandara dan Pelabuhan Internasional serta daerah-daerah perbatasan untuk
mencegah masuknya orang asing yang akan diselundupkan dari dan ke luar Indonesia.
Selanjutnya, juga dibutuhkan suatu kebijakan yang menetapkan langkah dan usaha dalam
meningkatkan sumber daya manusia. Seperti yang diketahui bersama, kendala utama bagi
Indonesia adalah ketersediaan SDM yang kompeten. Lembaga Kepolisian sebagai badan yang
berwenang dalam menjaga keamanan dan ketertiban di dalam negeri sudah seharusnya memiliki
sumber daya manusia yang mampu melakukan penyelidikan dan penyidikan dengan baik dan
cepat. Oleh karena itu dibutuhkan suatu training dan workshop untuk meningkatkan komptensi
dan kualitas dari para penyidik dan penyelidik tersebut.
Pencegahan sindikat penyelundupan manusia dan orang asing juga perlu mendapatkan perhatian
yang khusus. Usaha yang dilakukan oleh Pelaksana Tugas (Plt) Dirjen Imigrasi Departemen
Hukum dan Hak Azasi Manusia (Depkumham) yang terus berkoordinasi dengan pihak
internasional (Interpol) dan Polisi dalam negeri (Polri) harus dimaksimalkan. Oleh karena itu,
memberdayakan dan meningkatkan manfaat dalam penggunaan teknologi juga sangat
diperlukan, salah satunya adalah dengan memanfaatkan sistem pengawasan dengan alat canggih
Border Control Management (BCM) terpadu yang terhubung dengan server di Kantor Imigrasi
Pusat, di Jakarta (http://yustisi.com/, Mei 2010).
Penangggulangan masalah terkait imigran gelap dan people smuggling juga dapat dilakukan
dengan meningkatkan kerjasama dengan pihak-pihak terkait, meingkatkan kerjsama dan
komitmen dengan negara-negara tentangga yang sama-sama berusaha menumpas praktek people
smuggling. Merealisasikan hasil kesepakatan Bali Process, yang diadakan pada Bulan Februari
2002 lalu adalah sesuatu hal yang sangat perlu untuk menyelsaikan permasalahan-permasalahan
di daerah asal.
Selain itu, yang paling penting dan paling inti, Indonesia harus memiliki Undang-Undang khusus
yang secara jelas dan tegas membahas tentang people smuggling. Adalah suatu hal yang tidak
relevan jika pada ketentuan Undang-Undang No 15 Tahun 2009 telah dinyatakan bahwa
kesiapan Indonesia, bekerjasama dengan Australia dalam memerangi praktek people smuggling,
tetapi Indonesia belum memiliki Undang-Undang yang mengatur masalah tersebut. Pengalihan
masalah tersebut kepada ketentuan Undang-Undang Imigrasi tidak akan dapat menyelesaikan
masalah secara maksimal, karena ketentuan pidana dalam Undang-Undang tersebut umumnya
hanya berlaku bagi WNI. Sementara bagi WNA, ada tangung jawab moral untuk menyunjung
Hak Asasi Manusia.
Dengan adanya Undang-Undang khusus yang menangani masalah ini, diharapkan Indonesia
dapat mampu melakukan penindakan pidana secara tegas terhadap para pelaku people
smuggling.
BAB III
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Imigran gelap dan people smuggling adalah sebuah masalah yang sangat serius dan merupakan
ancaman bagi negara Indonesia. Semakin meningkatnya keberadaan orang asing secara ilegal di
Indonesia memberikan kerugian bagi Indonesia, baik secara financial dan material.
2. Imigran gelap dan people smuggling terjadi disebabkan oleh faktor internal dan eksternal.
Faktor internal adalah berasal dari negara asal, seperti perang atau konsekuensi ekonomi, yang
kemudian mendorong para imigran untuk pergi dari daerah asal dan mencari penghidupan baru
di daerah lain. Sedangkan faktor eksternal adalan berasal dari negara tujuan, karena adanya
jaminan suaka serta harapan mendapatkan pekerjaan dengan upah yang besar karena negara-
negara maju memiliki stabilitas ekonomi yang baik. Khusus untuk Indonesia, perlakuan yang
diberikan pemerintah, yang terkesan tidak tegas, menjadi surge tersendiri yang membuar para
imigran gelap tertarik untuk menjadikan Indonesia sebagai negara tujuan.
3. Dibutuhkan kerjasama dan komitmen yang kuat antar negara dan instansi terkait guna
memaksimalkan penanganan people smuggling dan meredam angka para imigran gelap yang
terus meningkat.
4. Dibutuhkan peningkatan SDM, alokasi dana/anggaran, serta sarana dan prasara dalam upaya
penegakan hukum terhadap tindak pidana penyelundupan manusia.
5. Perlu dibuat Undang-Undang atau kebijakan khusus yang secara tegas dan jelas membahas
people smuggling, termasuk ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang kegiatan tersebut
sebagai suatu tindak pidana, guna memperkuat posisi Pemerintah Indonesia dalam usaha
menghadapi masalah penyelundupan manusia.