Anda di halaman 1dari 3

Contoh terbaru adalah penolakan jajaran petinggi Universitas Sumatra Utara (USU) terhadap LGBT

yang juga didukung oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai otoritas tertinggi dalam
pendidikan di Indonesia. Semua memusuhi LGBT! Tak ayal diskriminasi gender tetap langgeng dan
lagi-lagi kelompok gender minoritas hanya bisa bersembunyi dan sangat sulit mengekspresikan
gendernya.

Selain itu, sekolah-sekolah di Indonesia masih belum menganggap pendidikan seksualitas,


reproduksi, serta orientasi seksual dan identitas dan ekspresi gender (SOGIE) sebagai hal yang
penting. Tak ayal banyak murid yang belum paham soal orientasi seksual, keberagaman gender,
ekspresi gender, dan hal-hal terkait seksualitas lainnya yang membuat mereka gerah dengan
perbedaan yang ada.

Akibatnya, siswa-siswa yang dianggap tidak wajar semakin teralienasi. Alienasi adalah konsekuensi
logis dari diskriminasi yang terus berlanjut. Laki-laki yang mengekspresikan gendernya secara
feminin dianggap aneh dan tidak boleh dibiarkan, begitu pula sebaliknya. Pada akhirnya korban
diskriminasi dikucilkan dari lingkungan sekolah dan mengalami perisakan serta bentuk kekerasan
lainnya.

Parahnya, setelah mengalami diskriminasi di sekolah, murid masih memiliki kemungkinan untuk
mengalami diskriminasi di luar sekolah karena heteronormativitas sangat kental dalam pandangan
masyarakat Indonesia, sebagai salah satu konsekuensi logis dari sistem patriarki yang sampai
sekarang masih dianut. Normalnya, laki-laki harus mencintai perempuan, begitu pula sebaliknya.
Laki-laki harus berperilaku ‘jantan’, tidak boleh ngondek. Demikian juga sebaliknya dengan
perempuan. Pandangan heteronormatif tersebut menegasikan kenyataan bahwa gender sangat
beragam.

Pada akhirnya, peraturan-peraturan dan norma yang direkonstruksi di dalam masyarakat bersifat
bias gender. Hanya yang dianggap ‘normal’ yang diperhatikan. Mereka yang dianggap menyalahi
pandangan gender biner disebut menyimpang, berpenyakit, dan harus disembuhkan. Paling parah,
terjadi diskriminasi yang diikuti oleh praktik-praktik kekerasan yang berujung pada kematian.

Sekolah seharusnya menjadi tempat untuk menanamkan nilai-nilai toleransi terhadap keberagaman,
di luar pandangan religiositas. Jika murid dikenalkan dengan SOGIE sejak dini, maka mereka tidak
akan lagi menolak keberagaman gender yang pasti akan mereka temui di dalam interaksi sosial luar
sekolah.

Sekolah tidak boleh menjadi mata rantai yang hilang dan seharusnya menjadi jembatan untuk
mengampanyekan persatuan dalam keberagaman. Jika dihubungkan dengan pendidikan karakter
yang digagas oleh pemerintah, konsep pendidikan seksualitas, reproduksi, dan SOGIE sangat relevan
karena menanamkan nilai-nilai toleransi dan penghormatan kepada keberagaman sehingga tidak
ada lagi pandangan “kelompok gue lebih baik dari kelompok lo.”

Sekolah perlu berhenti menjadi ‘konservatif’ dan perlu mencoba untuk lebih ‘moderat’, jika tidak
bisa menjadi netral. Semoga Indonesia yang (katanya) mendukung pemenuhan terhadap HAM bagi
warga negaranya serta didukung oleh Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 tentang HAM tidak
sekadar pandai dalam beretorika dalam kata, namun menunjukkan bukti konkret dalam
implementasi nyata.
Ahmad Zulfiyan  adalah Koordinator Riset & Pengembangan Aliansi Remaja Independen. Dapat
diajak diskusi di azulfiyan27@gmail.com.

Tags:

 LGBT

Comments
Related Articles

Issues // Gender and Sexuality

You Can't Wear That, This is Indonesia!

by Amanda Siddhartha –  September 5, 2017

Issues // Gender and Sexuality

Pameran Seni Tunjukkan Tak Ada Kaitan antara Pakaian dan Kekerasan Seksual

by Ayunda Nurvitasari –  December 4, 2018

Issues // Gender and Sexuality

A Letter to My Son for If You Ever Came out


by Ifan Ismail –  February 2, 2016

 About

 Advertise

 Contact

 Shop

 Career

 Press

 Subscribe

Powered By Dewaweb

©2020 Magdalene all right reserved. · Terms of Service · Privacy Policy

Anda mungkin juga menyukai