Anda di halaman 1dari 268

AU

P
20
21
Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta:

(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau

21
pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang
Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan
20
Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/
atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang
Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan
P

Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/
atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
AU

(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang
dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama
10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00
(empat miliar rupiah).
AU
P
20
21
21
20
REHABILITASI MEDIK
PASCA MENDERITA COVID-19
P

Editor: Sutrisno, Rita Vivera Pane, Andrianto


AU

ISBN 978-602-473-692-7

© 2021 Penerbit Airlangga University Press


Anggota IKAPI dan APPTI Jawa Timur
Kampus C Unair, Mulyorejo Surabaya 60115
E-mail: adm@aup.unair.ac.id

Layout (Achmad Tohir S.)


AUP (1049/03.21 – BM013/02.21)

Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang.


Dilarang mengutip dan/atau memperbanyak tanpa izin tertulis
dari Penerbit sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun.
Rehabilitasi Medik
Pasca Menderita Covid-19
Editor:

21
DR. Dr. Sutrisno, SpOG.K
DR. Dr. Rita Vivera Pane, SpKFR.K, FIPP
DR. Dr. Andrianto, SpJP.K, FIHA, FAsCC
20
Tim Penyusun
DR. Dr. Sutrisno, SpOG.K
DR. Dr. Andrianto, SpJP.K, FIHA, FAsCC
DR. Dr. Rita Vivera Pane, SpKFR.K, FIPP
P

DR. Dr. R.A. Meisy Andriana, SpKFR.KNM


DR. Dr. Sri Mardijati Mei Wulan, SpKFR.K
AU

Dr. Holipah, Ph.D


DR. Dr. Meity Ardiana, SpJP.K
Dr. Nunung Nugroho, SpKFR, M.Kes
Dr. Mochamad Ridwan, SpKFR.K-MS
Dr. Dewi Poerwandari, SpKFR.K
Dr. Nuniek Nugraheni Sulistyawati, SpKFR.K
Dr. Nur Khozin, SpKFR
Dr. Suroso Agus Widodo, SpKFR
Dr. Nur Sulastri, SpKFR
Dr. Inggar Narasinta, SpKFR
Dr. Royke Tony Kalalo, SpKJ.K FISCM
DR. Ahmad Djalaluddin, Lc., MA
Dr. Steven Christian Susianto

v
AU
P
20
21
Prakata
Sesuai dengan visi dan misi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dalam bidang keilmuan
dan profesi, membuat buku dengan topik keilmuan terkini adalah sikap yang
tepat. Covid-19 mendominasi semua pembicaraan, ilmu dasar, klinis, kejiwaan,
ekonomi, sosial, politik, pendidikan, dan semua sendi-sendi kehidupan manusia

21
saat ini. Serial buku ilmiah yang diterbitkan IDI Wilayah Jawa Timur akan
membantu menambah referensi keilmuan terkait Covid-19, sehingga menjadi
alternatif yang baik untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahanan terkait
20
Covid-19 dan pada akhirnya mampu meningkatkan kualitas pelayanan kepada
masyarakat.
Buku dengan tema utama tentang rehabilitasi pasca serangan Covid-19
ini sangat menarik karena sejauh pengetahuan saya belum ada buku serupa,
terlebih ini ditulis oleh para ahli, yang sangat baik kemampuan ilmunya tentang
P

rehabilitasi medik. Banyak hal baru yang bisa didapatkan dan menjadi menu
yang baik bagi kita yang ingin memperoleh informasi masalah-masalah terkait
AU

pasca serangan Covid-19.


“Tuhanku, Dalam termangu, Aku masih menyebut nama-Mu. Tuhanku, Di
pintu-Mu aku mengetuk , Aku tidak bisa berpaling”. Frase ini adalah potongan
puisi Chairil Anwar, sebuah kepasrahan yang final. Di saat-saat yang sulit ini,
di tengah suasana yang mencekam, ambulans yang menderu dengan sirine yang
mengaum, berita kematian dari masjid dan surau, medsos yang memposting
informasi kasus yang terus bertambah secara tajam, rumah sakit kewalahan
dengan tenaga kesehatan makin banyak yang menjadi sakit dan meninggal, hanya
satu arah untuk berpaling, yaitu kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kalimat-kalimat
dalam buku ini mencoba menjabarkan materi keilmuan, fakta objektif kebesaran
Tuhan. Kita yang membacanya akan menjadi saksi kebesaran Tuhan di semesta

vii
ini dan semoga kalimat-kalimat keilmuan ini menjadi kalimat doa dan dzikir,
sebagai saksi kebesaran Tuhan Yang Maha Esa.

Selamat membaca, teriring doa sukses, semangat, dan sehat selalu.

Malang, 2 Januari 2021


DR. dr. Sutrisno, SpOG(K)
Ketua IDI Wilayah Jawa Timur

21
20
P
AU

viii Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


Kata Pengantar Editor
Try not to become a man of success, but rather try to become a man of value.
Cobalah untuk tidak menjadi orang yang sukses,
tetapi cobalah menjadi orang yang berharga (Albert Einstein)

21
Covid-19 menimbulkan banyak pertanyaan baru setiap saat dan hingga saat ini
belum ada jawaban yang pasti. Penderita baru terus bertambah, orang sakit terus
berdatangan, IGD dan bangsal perawatan serta ICU mengalami beban berlebih,
20
overload, sementara penyakitnya dipahamidipahami dengan baik. Maka semua
bergerak paralel. Penyakit terus menyerang sesuai takdirnya, manusia mencari
pengobatan dan penangkalnya, mencari takdirnya. Dalam turbulensi sakit dan
sehat, dua arah terbuka, menuju harmoni semula, sehat lagi atau menuju pintu
P

kematian. Di Jawa Timur sampai saat ini (1 Februari 2021) Case Fatality Rate
(CFR) masih 7,03%, lebih tinggi dari angka nasional.
AU

Pasca serangan Covid-19, penyintas masih sering menghadapi badan lemah,


sakit badan, sesak, pusing-pusing, batuk hilang timbul, dan berbagai keluhan
lainnya. Fakta ini mengarahkan ke pemikiran adakah gejala sisa, sekuel, pasca
serangan Covid-19. Sekuel ini temporer atau menetap, bagaimana mekanismenya,
dan bagaimana metode mengatasinya. Pertanyaan tersebut memerlukan jawaban
dan memerlukan waktu yang tidak singkat, padahal para penderita dengan gejala
sisa ini memerlukan perawatan segera.
Ide membuat buku “Rehabilitasi Medik Pasca Serangan Covid-19”
sangat menarik dan ternyata mendapat sambutan yang baik dari para sahabat
pecinta ilmu rehabilitasi medik. Dengan usaha yang keras dari berbagai pihak,
terwujudlah buku yang cantik ini dan berisi ilmu yang berkualitas karena karya
para sejawat yang sudah diakui kualitas keilmuannya. Buku ini merupakan

ix
ujud keinginan para penulis untuk menjadi manusia yang berharga dengan
menyebarluaskan ilmu rehabilitasi medik kepada anak manusia. Semoga donasi
ilmu ini mendatangkan barokah hidup dunia dan akhirat bagi para penulis dan
keluarganya, dan bermanfaat bagi bangsa Indonesia.

Malang, 2 Januari 2021


Editor

21
20
P
AU

x Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


Daftar Isi
Daftar Editor dan Tim Penyusun Rehabilitasi Medik
v Pasca Menderita Covid-19

vii Prakata

ix 21
Kata Pengantar Editor
20
xix Daftar Singkatan

xxiii Prolog

BAB 1
1
P

Gejala Sisa Pasca Serangan Akut Covid19


AU

1.1 Pengantar, 1
1.2 Keluhan Pasca Akut, 2
1.3 Beberapa Gejala/Keluhan Pasca Covid-19 Akut, 2
1.3.1 Batuk dan Sesak Napas, 2
1.3.2 Kelelahan, 3
1.3.3 Komplikasi Kardiopulmoner, 4
1.3.4 Nyeri Dada, 4
1.3.5 Tromboemboli, 4
1.3.6 Disfungsi Ventrikel, 4
1.3.7 Gejala Sisa Neurologis, 5
1.3.8 Keluhan Terkait Usia Lanjut, 5
1.3.9 Kesehatan dan Kesejahteraan Jiwa, 5
1.3.10 Diare, 6
1.3.11 Masalah sosial budaya, 6
1.4 Strategi Pemulihan Keluhan Pasca Serangan Akut
Covid-19, 7
1.5 Ringkasan, 8
Daftar Pustaka, 8

xi
BAB 2
11 Tinjauan Epidemiologi Gejala Sisa Pasca Serangan
Covid19
2.1 Pengantar, 11
2.2 Gejala Sisa, 13
2.3 Ringkasan, 18
Daftar Pustaka, 19

BAB 3
23 Rehabilitasi Medik Pasca Serangan Covid-19,
Apakah Diperlukan?
3.1 Pengantar, 23
3.2 Diagnosis Fungsi pada Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi, 24
3.3 Tujuan Layanan atau Intervensi Rehabilitasi, 26
3.4 Gangguan Fungsi pada Penyintas Covid-19, 26

21
3.4.1 Gangguan Fungsi pada Kerusakan Jaringan Paru, 27
3.4.2 Gangguan Fungsi pada Kerusakan Organ Jantung, 28
3.4.3 Gangguan Fungsi pada Kerusakan pada Sistem
Neuromuskuler, 29
3.4.4 Gangguan Fungsi pada Kerusakan Sistem Muskuloskeletal dan
20
Lainnya, 29
3.4.5 Gangguan Fungsi Kognitif, 29
3.5 Manajemen Rehabilitasi Medik pada Penyintas
Covid-19, 30
3.5.1 Analisis Gangguan Fungsi, 30
3.5.2 Prognosis Fungsional, 31
P

3.5.3 Capaian atau Goal Rehabilitasi, 33


3.5.4 Perencanaan Rehabilitasi, 33
AU

3.6 Ringkasan, 33
Daftar Pustaka, 33

BAB 4
37 Guideline Rehabilitasi Medik Pasca Serangan Covid19
4.1 Pengantar, 37
4.2 Tujuan Penanganan Rehabilitasi Medik Pasca Serangan Covid-19, 38
4.3 Tata Laksana Klinis Covid-19, 39
4.3.1 Pasien Terkonfirmasi Tanpa Gejala, 39
4.3.2 Pasien Terkonfirmasi Sakit Ringan, 39
4.3.3 Pasien Terkonfirmasi Sakit Sedang dan Pasien Sakit Ringan
dengan Penyulit, 39
4.3.4 Pasien Terkonfirmasi Covid-19 Sakit Berat, 40
4.3.5 Tata Laksana Pasien Terkonfirmasi dengan Sakit Kritis:, 40
4.4 Tata Laksana Rehabilitasi Covid-19, 42
4.4.1 Program Rehabilitasi Fase Akut, 42
4.4.2 Program Rehabilitasi Fase Subakut, 43

xii Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


4.5 Program Rehabilitasi Jangka Panjang, 47
4.6 Pencegahan Komplikasi, 49
4.7 Ringkasan, 50
Daftar Pustaka, 51

BAB 5
55 Manajemen Nyeri & Rehabilitasi Medik Nyeri Paska
Serangan Covid-19
5.1 Pengantar, 55
5.2 Nyeri pada Penyintas Covid-19, 56
5.2.1 Definisi Nyeri Menurut IASP (International Association for the
Study of Pain), 56
5.2.2 Nyeri Pasca Covid, 56
5.2.3 Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Waktu, 57
5.2.4 Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Mekanisme, 57
5.2.5 Menegakkan Diagnosis Nyeri, 58

21
5.3 Manajemen Nyeri, 59
5.3.1 Manajemen konservatif, 59
5.3.2 Manajemen Intervensi/Minimal Invasif, 60
5.4 Ringkasan, 65
Daftar Pustaka, 65
20
BAB 6
69 Rehabilitasi Kardiorespirasi Pasca Serangan Covid-19
pada Usia Muda
6.1 Pengantar, 69
P

6.2 Intervensi Rehabilitasi, 70


6.3 Protokol Intervensi Rehabilitasi Covid-19 Berdasarkan International
AU

Classification of Functioning disability and health (ICF), 72


6.4 Layanan Telerehabilitasi, 76
6.5 Ringkasan, 77
Daftar Pustaka, 77

BAB 7
79 Rehabilitasi Medik Sistem Respirasi Pasca Serangan
Covid-19 pada Usia Lanjut
7.1 Pengantar, 79
7.2 Definisi usia lanjut, 79
7.3 Covid-19 dan Usia Lanjut, 80
7.3.1 Faktor Risiko pada Usia Lanjut, 80
7.3.2 Manifestasi Klinis Covid-19 pada Usia Lanjut, 80
7.4 Diagnosis Covid-19 pada Usia Lanjut, 80
7.4.1 Anamnesis, 81
7.4.2 Pemeriksaan Fisik, 81

Daftar Isi xiii


7.5 Tata Laksana Umum Covid-19, 81
7.6 Tata Laksana Rehabilitasi pada Usia Lanjut, 82
7.6.1 Program rehabilitasi medik fase akut, 82
7.6.2 Program Rehabilitasi Medik Fase Subakut, 88
7.6.3 Program rehabilitasi medik jangka panjang, 90
7.7 Ringkasan, 92
Daftar Pustaka, 93

BAB 8
97 Rehabilitasi Stroke Dengan Covid19, 97
8.1 Pengantar, 97
8.2 Mekanisme Stroke pada Covid-19, 98
8.3 Penatalaksaan Rehabilitasi pada Stroke dengan Covid-19, 100
8.4 Telerehabilitasi pada Rehabilitasi Stroke, 101
8.5 Rekomendasi Rehabilitasi Stroke, 102
8.6 Rehabilitasi stroke (Panduan Rehabilitasi Stroke Perdosri, 2014), 103
8.7 Ringkasan, 108

111 BAB 9
21
Daftar Pustaka, 109

Prevensi dan Rehabilitasi Gangguan Kardiovaskular Pasca


20
Serangan Covid-19
9.1 Pengantar, 111
9.2 Tantangan dan Solusi Rehabilitasi Kardiovaskular pada Masa Pandemi
Covid-19, 114
9.3 Panduan Rehabilitasi Pasien dengan Sindrom Koroner Akut (SKA) Pasca
P

Infeksi Covid-19, 116


9.4 Panduan Rehabilitasi Pasien dengan Gagal Jantung Pasca Infeksi Covid-
19, 118
AU

9.5 Panduan Rehabilitasi Pasien dengan Penyakit Tromboemboli Pasca


Infeksi Covid-19, 120
9.6 Telehealth sebagai Alternatif Tata Laksana Rehabilitasi pada Masa
Pandemi Covid-19, 121
9.7 Ringkasan, 123
Daftar Pustaka, 124

BAB 10
127 Rehabilitasi Medik Paska Ventilator pada Penderita
Covid-19
10.1 Pengantar, 127
10.2 Gambaran Klinis Covid-19, 128
10.3 Strategi Rehabilitasi Covid-19, 131
10.4 Intervensi Rehabilitasi Covid-19, 132
10.4.1 Terapi Pernapasan, 132
10.4.2 Terapi Latihan Fisik, 135
10.4.3 Rehabilitasi Gangguan Psikologis dan Fungsi Kognisi, 139

xiv Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


10.5 Penghentian Sementara Intervensi Rehabilitasi Pasien Covid-19, 139
10.6 Ringkasan, 140
Daftar Pustaka, 141

BAB 11
143 Rehabilitasi Medik Pasca Perawatan Covid-19 di Rumah
11.1 Pengantar, 143
11.2 Pathoepidemiologi Gangguan Fungsi pada Covid-19, 144
11.3 Program Rehabilitasi pada Gangguan Fungsi di Rumah, 149
11.3.1 Program pada Gangguan Fungsi Pernapasan dan Gangguan Paru
Persisten, 151
11.3.2 Program pada Gangguan Fungsi Kelemahan Otot, Sistem
Neuromuskuler dan Dekondisi, 152
11.3.3 Program pada Gangguan Fungsi Suara, Menelan dan
Disfagia, 153
11.3.4 Program pada Gangguan Fungsi Kognisi, 154
11.4 Ringkasan, 154

157 BAB 12
21
Daftar Pustaka, 155

Tata Laksana KFR pada Anak Pasca Serangan Covid19


20
12.1 Pengantar, 157
12.2 Epidemiologi, 158
12.3 Manifestasi Klinis dan Penyakit Penyerta pada Anak, 158
12.4 Mekanisme Proteksi Imunologi pada Anak, 161
12.5 Diagnosis, 161
12.6 Alur Diagnostik/Algoritma, 162
P

12.7 Tata Laksana Medik, 163


12.8 Tata Laksana Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi, 164
AU

A. Rehabilitasi Pulmoner, 165


B. Stretching Exercise (Latihan Peregangan), 167
C. Strengthening Exercise (Latihan Penguatan), 167
D. Kembali ke Aktivitas Fisik, 167
E. Rekomendasi, 167
12.9 Ringkasan, 168
Daftar Pustaka, 168

BAB 13
173 Aktivitas Fisik Selama Isolasi
13.1 Pengantar, 173
13.2 Efek Pembatasan Aktivitas Fisik terhadap Kesehatan, 174
13.3 Efek Aktivitas Fisik Terhadap Sistem Imun, 176
13.4 Aktivitas Fisik Penderita Covid-19 Selama Masa Isolasi, 178
13.4.1 Exercise Testing Pasien Covid-19 di Ruang Isolasi, 179
13.4.2 Monitoring latihan fisik, 180

Daftar Isi xv
13.4.3 Rekomendasi aktivitas fisik pada pasien Covid-19, 180
13.4.4 Program rehabilitasi pasien Covid-19 di Ruang Isolasi, 185
13.5 Penghentian Latihan Aktivitas Fisik pada Penderita Covid-19, 197
13.6 Ringkasan, 197
Daftar Pustaka, 198

BAB 14
201 Rehabilitasi Kesehatan Mental Pasca Serangan Covid-19
14.1 Pengantar, 201
14.2 Masalah Kesehatan Mental di Masa Pandemi Covid-19, 202
14.3 Rehabilitasi Kesehatan Mental Pasca Serangan Covid-19, 204
14.3.1 Monitoring pasca infeksi Covid-19, 204
14.3.2 Dukungan Kesehatan Jiwa dan Psikososial (DKJPS), 204
14.3.3 Rehabilitasi mental secara kognitif, 206
14.4.4 Aktivitas fisik dan kesehatan mental, 207
14.4 Ringkasan dan Rekomendasi, 208
Daftar pustaka, 209

211 BAB 15
21
Urgensi Rehabilitasi Kesehatan Spiritual Pasca Serangan
Covid-19
20
15.1 Pengantar, 211
15.2 Spiritual sebagai Komponen Kesehatan Holistis, 213
15.3 Rehabilitasi Kesehatan Spiritual dengan Iman, 215
15.4 Rehabilitasi Kesehatan Spiritual dengan Ibadah dan Dzikir, 220
15.5 Rehabilitasi Kesehatan Spiritual dengan Harmonisasi Hubungan
P

Sosial, 225
15.6 Urgensi Rehabilitasi Kesehatan Spiritual, 227
15.7 Ringkasan dan Rekomendasi, 228
AU

Daftar Pustaka, 228

233 Tim Penyusun Buku

xvi Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


Daftar Tabel
Tabel 4.1
44 Summary of Publications Describing Residual and Persistent Symptoms of
Covid-19.

Tabel 4.2
49
57
2020; WHO2020).

Tabel. 5.1
21
Rekomendasi Pencegahan komplikasi Covid-19 (Sugihantono, A., et al.,

Perbedaan antara Nyeri Nosiseptif dan Nyeri Neuropatik.


20
Tabel 5.2
61 Daftar analgesik NSAID yang biasanya digunakan dalam praktik sehari-hari
(Gautam Das, 2017).

Tabel 5.3
62
P

Daftar Obat-Obat Antikonvulsan (Gautam Das, 2017).

Tabel 5.4
62
AU

Daftar Obat-Obat Antidepresan (Gautam Das, 2017)

Tabel 5.5
62 Efek Samping Antidepresan (Gautam Das, 2017).

Tabel 5.6
63 Obat-Obatan Muscle Relaxan (Gautam Das, 2017).

Tabel 5.7
64 Ringkasan hasil penelusuran artikel ilmiah dengan kata kunci pain after
Covid-19, pain management and rehabilitation after Covid-19.

Tabel 8.1
108 Tata Laksana pada Rehabilitasi Stroke.

Tabel 10.1
129 Klasifikasi Derajat Keparahan Gejala Klinis Pasien Covid-19.

xvii
Tabel 10.2
135 Indikator Penghentian Terapi Pernapasan

Tabel 10.3
136 Tanda Vital Mulai Pemberian Latihan Fisik Terapeutik.

Tabel 10.4
140 Indikator penghentian sementara intervensi rehabilitasi pasien Covid-19

Tabel 12.1
160 Faktor protektif yang potensial melindungi anak dari infeksi SARS-CoV-2
parah

Tabel 13.1
184 Rekomendasi Latihan pada Atlet Penderita Covid-19 (Stearns, 2020).

Tabel 13.2
185 Evaluasi Klinis Atlet Penderita Covid-19 Sebelum Kembali ke Latihan Fisik
(Stearns, 2020).

203
204
Tabel 14.1

21
Berbagai Gejala dan Gangguan Pasca Serangan Covid-19

Tabel 14.2
20
Rehabilitasi Kesehatan Mental Pasca Serangan Covid-19 dengan pendekatan
Dukungan Kesehatan Jiwa dan Psikososial (DKJPS) (Direktorat Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI, 2020).

Tabel 15.1
226 Elemen dan Instrumen Kesehatan Spiritual
P
AU

xviii Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


Daftar Gambar

Gambar 2.1
12 Perkembangan Kasus Covid-19 di Indonesia

Gambar 2.2
12
14 Gambar 2.3
21
Kasus Covid-19 berdasarkan Provinsi (10 Januari 2021)

Mekanisme Terjadinya Fibrosis pada Saluran Pernapasan


20
Gambar 2.4
15 Gejala Sisa pada Sistem Kardiovaskuler dan Faktor Risikonya

Gambar 2.5
17 Kaplan Meier Kesembuhan dari Keluhan Indra Pencium

Gambar 3.1
25
P

Interaksi Antar Komponen ICF


AU

Gambar 3.2
32 Klasifikasi ICF berdasarkan kategori masing-masing (body function &
structure, activity, participation, enviromental & personal factor) beserta
uji fungsinya

Gambar 4.1
43 Progression of acute SARS-CoV-2 infection to post-acute Covid-19

Gambar 5.1
58 Numerik Rate Scale

Gambar 5.2
61 Analgesic Step Ladder

Gambar 7.1
83 Paru pada Posisi Prone

Gambar 7.2
84 Active Cycle of Breathing Techniques

xix
Gambar 7.3
85 Manual assisted cough

Gambar 7.4
86 Positive Expiratory Pressure. a) Blow bottle; b) PEP mask; c) Flutter; d)
Acapella

Gambar 7.5
89 Inspiratory Muscle Training

Gambar 8.1
101 Metode telerehabilitasi untuk rehabilitasi stroke

Gambar 8.2
105 Positioning pasien stroke

Gambar 8.3
105 Positioning Pasien Saat berbaring miring di sisi yang sehat

106
107
Gambar 8.4

21
Positioning Pasien Saat berbaring miring di sisi yang sakit

Gambar 8.5
Posisi Pasien saat Duduk (Ada penyangga di punggung dan penyangga bantal
20
di lengan yang sakit)

Gambar 8.6
107 Posisi pasien saat duduk di sofa

Gambar 9.1
113
P

Hubungan patofisiologi Covid-19 dengan berbagai komplikasi kardiovaskular

Gambar 9.2
122
AU

Langkah perencanaan program home-based cardiac rehabilitation

Gambar 10.1
130 Indikasi Intubasi dan Ventilator Penderita Covid-19

Gambar 10.2
133 Penderita Covid-19 dengan penggunaan HFNC posisi duduk SpO2 95–96%,
posisi tengkurap (prone) 98%, dan posisi sujud 98–99%.

Gambar 10.3
134 Pernapasan Diafragma dan Spirometri Insentif

Gambar 10.4
137 Prone posisitioning, latihan fisik, dan latihan pernapasan pasif di tempat
tidur

Gambar 10.5
138 Penggunaan Bed Cycling di UPI, MOTOmed Letto, dan stepping
verticalization Hocoma

xx Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


Gambar 11.1
145 Diagram Munculnya Gangguan Fungsi

Gambar 11.2
150 Peran rehabilitasi awal pada pencegahan PICS

Gambar 11.3
151 Diagram Alur Perawatan Pasien Covid-19

Gambar 12.1
162 Alur Diagnostik Pasien Risiko Tinggi dan Sedang

Gambar 12.2
162 Alur Diagnostik Pasien Risko Ringan

Gambar 12.3
166 Belly Breathing

Gambar 12.4
166
175 21
Chest Expansion Breathing

Gambar 13.1
SARS-CoV-2 dapat menyerang langsung ke sistem saraf pusat. Karantina dan
isolasi mandiri yang dipergunakan untuk mencegah penyebaran SARS-CoV-2
20
menyebabkan depresi yang mempunyai efek negatif terhadap sistem saraf
pusat dan sistem imunitas tubuh. Regular exercise dengan intensitas sedang
akan mengurangi efek negatif dari karantina terhadap sistem saraf pusat

Gambar 13.2
179 Uji fungsi sit to stand test
P

Gambar 13.3
186 High Side Lying
AU

Gambar 13.4
186 Forward Lean Sitting

Gambar 13.5
187 Forward Lean Sitting no Table in Front

Gambar 13.6
187 Forward lean standing

Gambar 13.7
187 Standing with back support

Gambar 13.8
189 Latihan Pemanasan

Gambar 13.9
190 Marching on the Spot

Daftar Gambar xxi


Gambar 13.10
191 Step ups

Gambar 13.11
192 Latihan Penguatan Biceps Curl, Wall Push Off, Arm Raises to the side.

Gambar 13.12
193 Latihan Penguatan Sit to Stand Exercise

Gambar 13.13
193 Knee Straightening Exercise

Gambar 13.14
194 Latihan Squats

Gambar 13.15
194 Heel Raises

Gambar 13.16
195
195
Side Reaching

Gambar 13.17
21
Peregangan Shoulder
20
Gambar 13.18
195 Peregangan Otot Paha Bagian Belakang

Gambar 13.19
196 Peregangan Tungkai Bawah (betis)
P

Gambar 13.20
196 Peregangan otot quadriceps
AU

xxii Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


Daftar Singkatan
ACC : American College of CNS : Central nervous system
Cardiology Covid-19 : Coronavirus Disease
ACE-2 : Angiotensin Converting 2019
Enzyme-2 COX : Cyclooxygenase
ADL
AF
AHA : American Heart
Association
21
: Activity of Daily Living
: Atrial Fibrilation
CO2
CPAP

CRP
: Carbon dioxide
: Continuous positive
airway pressure
: C Reactive Protein
20
AMPA : α Amino 3 Hydroxy CT Scan : Computed Tomography
5 Methyl 4 Scan
Isoxazolepropionic Acid DAD : Diffuse Alveolar
APQ : Eysenck Personality Damage
Questionnaire DASS : Depression Anxiety
P

ARB : Angiotensin 2 Receptor Stress Scale


Blocker DIC : Disseminated
AU

ARDS : Acute Respiratory Intravascular


Distress Syndrome Coagulation
ATP : Adenosine Triphosphate DKPJS : Dukungan Kesehatan
BMJ : British Medical Journal Jiwa dan Psikososial
BNP : Brain Natriuretic DNA : Deoxyribo Nucleic Acid
Peptide DVT : Deep Vein Thrombosis
BVM : Bag Valve Mask ECG : Electrochardiogram
CFR : Case Fatality Rate ECLS : Expertise in Extra
CFS : Chalder Fatique Scale Corporal Life Support
CIM : Critical Illness EGFR : Epidermal Growth
Myopathy Factor Receptor
CIMT : Constraint-Induced EMG : Electromyography
Movement Therapy ETT : Endotracheal Tube
CIP : Critical Illness FDA : Food and Drug
Polineuropathy Administration

xxiii
FIM : Functional IES-R : Impact of Event Scale-
Independence Measure Revised
FiO2 : Oxygen Fraction IgA : Immunoglobulin A
FSS : Fatique Severity Scale IgG : Immunoglobulin G
GABA : Gamma Aminobultyric IgM : Immunoglobulin M
Acid KFR : Kedokteran Fisik dan
GHQ-12 : General Health Rehabilitasi
Questionnaire 12 KRS : Keluar Rumah Sakit
GXT : Graded Exercise Testing MAP : Mean Arterial Presure
HADS : Hospital Anxiety and MERSCoV : Middle-East Respiratory
Depression Scale Syndrome Coronavirus
HBCR : Home Based Cardiac METS : Metabolic Equivalent
Rehabilitation MHPSS : Mental Health and
HCU : High Care Unit Psychosocial Support
HFNC : High Flow Nasal MIE : Mechanical insufflation-

HFNO

HIV
Canule

Oxygen
: Human
21
: High Flow Nasal MIP

MISC
exsufflation
: Maximum Inspiratory
Pressure
: Multisystem
20
Immunodeficiency Virus inflammatory syndrome
HR : Heart Rate in children (MIS-C)
hsCRP : High Sensitive MRC : Medical Research
C-Reactive Protein Council
HSV : Herpes Simplex Virus MRI : Magnetic Resonance
P

IASC : Inter Agency Standing Imaging


Committee MV : Mechanical Ventilation
AU

IASP : International NCV : Nerve Conduction


Association for the Velocity
Study of Pain NICE : National Institute
ICD : International for Health and Care
Classification of Disease Excellence
ICF : International NIV : Non Invasive Ventilation
Classification of NMDA : N-Methyl-D-Aspartate
Functioning, Disability NMES : Neuromuscular
and Health Electrical Stimulation
ICU : Intensive Care Unit NMS Exam : Neuromuscular
ICU-AW : Intensive Care Unit- Examination
Acquired Weakness NRM : Non Rebreathing Mask
IDAI : Ikatan Dokter Anak NSAID : Non Steroid Anti
Indonesia Inflammatory Disease
IDI : Ikatan Dokter Indonesia

xxiv Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


NT-ProBNP : N-terminal Pro-Braein RT PCR : Reverse Transcriptase
Natriuretic Peptide Polymerase Chain
NYHA : New York Heart Reaction
Association SARI : Severe Acute
O2 : Oksigen Respiratory Infections
PBW : Predicted Body Weight SARS CoV-2 : Severe Acuter
PCA : Patient Controlled Respiratory Syndrome
Analgesia Coronavirus-2
PCR : Polymerase Chain SAS : Self Rating Anxiety
Reaction Scale
PEEP : Positive End-Expiratory SCID : Self-rating Depression
Pressure Scale
PEP : Positive Expiratory SCL-90 : Systom Checklist 90
Pressure SES : Self Estimate Scale
PERDOSRI : Perhimpunan Besar SF-36 : Shor Form 36

PFT
PHQ
21
Kedokteran Fisik dan
Rehabilitasi Indonesia
: Pulmonary Fuction Test
: patient Helath
SIM

SKA
SNRI
: Syndorme Inflammation
Multiple
: Sindroma Koroner Akut
: Serotonin and
20
Questionnaire Norepinephrine
PICS : Post Intensive Care Reuptake Inhibitors
Syndrome SpJP : Spesialis Jantung dan
PPE : Personal Protection Pembuluh Darah
Equipment SpKFR : Spesialis Kedokteran
P

PSS-10 : Perceived Stress Scale Fisik dan Rehabilitasi


PT : Pro-Thrombine Time SpO2 : Oxygen Saturation
AU

PTSD : Post Traumatic Stress SSP : Sistem Saraf Pusat


Disorder SSRI : Selective Serotonin
PTSD-SS : PTSD Self Rating Scale Reuptake Inhibitor
RAAS : Renin Angiotensin TCA : Tricyclic Antidepressant
Aldosterone System TENS : Transcutaneous
RASS : Richmond Agitation- Electrical Nerve
Sedation Scale Stimulation
RBM : Rehabilitasi Berbasis TUG : Time Up & Go
Masyarakat UPI : Unit perawatan intensif
RNA : Ribonucleic Acid VAP : Ventilator Associated
ROM : Range of Motion Pneumonia
RR : Respiratory Rate VF : Ventricular Fibrilation
RS : Rumah Sakit VIDD : Ventilator-Induced
Diaphragm Dysfunction

Daftar Singkatan xxv


VR : Virtual Reality 6 MWD : 6 Minute Walking
VT : Ventricular Tachycardia Distance
WHO : World Health 6 MWT : Six MInute Walking
Organization Test

21
20
P
AU

xxvi Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


Prolog
“Medicine is a science of uncertainty and an art of probability”
- Sir William Osler -

Satu tahun pandemi Covid-19 telah merambah muka bumi. Masyarakat

21
menderita dan mengalami kematian, dunia klinis sibuk dengan pengobatan dan
penyelamatan pasien yang terus membanjir dan peneliti terus sibuk di laboratorium
mencari jawaban banyak pertanyaan terkait virus Sars-Cov-2 ini dengan tujuan
20
akhir mencari antivirus dan vaksin yang poten. Covid-19 ini benar-benar penuh
misteri karena tampilan klinisnya sangat beraneka ragam. Manisfestasi di kulit,
mata, otak, dan semua organ tubuh telah dilaporkan dan jurnal-jurnal ilmiah,
sehingga penyakit 1000 wajah ini belum sepenuhnya diketahui perilakunya bila
menyerang organ manusia. Tidak seperti halnya virus-virus yang menyerang
P

saluran pernapasan atas dan bawah yang selama ini telah dikenal di dunia medis,
Covid-19 ini mempunyai kemampuan menyerang organ lain secara sistemik bila
AU

jumlah virus dan potensi patogeniknya masih tinggi. Karena mampu menyerang
semua organ tubuh, manifestasi klinisnya sangat beraneka ragam dan variatif
dari satu individu ke individu lain. Pasien-pasien yang mengalami kondisi kritis,
sekitar 5% dari penderita, akan jatuh ke ICU dengan konsisi depresi napas berat,
atau sepsis, gagal organ multipel, gagal ginjal dan gagal liver, stroke, infark
miokard akut, miokarditis, kardiomiopati, dan berbagai tampilan klinis yang
lain. Serangan akut masih belum jelas manajemennya, termasuk badai sitokin dan
abnormalitas sistem imun dan gagal organ, sementara dampak jangka panjang
dari Covid-19 masih menyisakan banyak pertanyaan yang gelap.
Davido B., at al., 2020, menyatakan dalam studinya yang dilakukan di
Perancis melaporkan adanya gejala-gejala klinis sisa yang muncul 2 bulan pasca
perawatan Covid-19. Gejala-gejala yang ada berupa kelemahan badan (letargia),
myalgia, subfebris yang hilang timbul, nyeri kepala yang hilang timbul, gejala-

xxvii
gejala terkait saraf otonom. Davido, et al., 2020, mengatakan bahwa keluhan-
keluhan ini tidak memerlukan pengobatan khusus dan cukup dilakukan perawatan
konservatif, pemulihan pasca sakit dan observasi, dan dilaporkan telah sembuh
spontan. Miglis, M.G., et al., 2020, menyatakan bahwa bersama tim klinisinya
telah menjumpai hal yang serupa pada pasien-pasiennya yang dirawat pasca
serangan akut Covid-19 dan menunjukkan gejala-gejala febris hilang timbul,
menderita gangguan kognitif, gangguan saraf autonom, takikardi postural dan
tanda-tanda hiperandrenegik. Namun menurut Miglis, M.G., gejala- gejala
kronis ini memerlukan pengobatan khusus. Bila tidak diberikan pengobatan klinis
akan memburuk (Davido, B., et al., 2020; Miglis, MG., et al., 2020)
Wei, X.S., et al., 2019 dalam penelitiannya melaporkan bahwa dari 84 pasien
yang dirawat dan didiagnosis sebagai Covid-19, 26 pasien atau 31% mengalami
diare kronis. Penelitian di China ini mendapatkan data bahwa 31% dari pasien
yang didiagnosis sebagai Covid-19 akan mengalami diare dalam waktu yang

21
panjang dan dari pemeriksaan fesesnya ditemukan adanya RNA virus Sars-Cov-2
dan ditemukan fakta bahwa hilangnya virus Sars-Cov-2 dari feses penderita diare
lebih panjang waktunya daripada hilangnya RNA virus ini dari saluran napas
20
atas. Wei, et al., menyimpulkan bahwa diare adalah salah satu gejala sisa jangka
panjang pasca serangan akut Covid-19 (Wei, X.S., et al., 2019).

“Kebajikan terbesar adalah sains”


-Al Farabi -
P

“Our medicine has made many great discoveries, however, it is said that each new
AU

discovery uncover 10 more things we don’t know”, kata bijak Charles T. McGee dalam
bukunya Heart Fraud. Pada bidang-bidang yang sudah mapan, selalu ada yang
tidak terjelaskan, meski telah berlangsung berabad-abad. Di bidang Kebidanan
dan Kandungan, penyakit preeklampsia dan eklampsia, berasal dari bahasa latin
yang artinya “halilintar”, telah menjadi penyebab terbesar dari kematian ibu
di Indonesia, 14.000 orang lebih kematian ibu di Indonesia setiap tahunnya,
sampai sekarang tidak ada teori baku yang bisa menjelaskan. Endometriosis
juga demikian, meskipun penderitanya jutaan, belum ada satu teori baku yang
menjelaskan dengan baik. Desease of Theory, karena buntunya penjelasan yang
universal. Di bidang infeksi juga demikian juga, tuberkulosis adalah penyakit tua,
hingga kini belum berhasil dieliminasi bahkan cenderung bertambah banyak.
Tuberkulosis yang resistan terhadap kombinasi banyak obat, ancaman baru di
depan mata. HIV adalah epidemi yang telah berlangsung lebih dari 30 tahun,

xxviii Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


tidak ada tanda mereda, 42 juta jiwa telah terenggut nyawanya, dan belum ada
tanda berkurang, bahkan cenderung bertambah meskipun vaksin tidak efektif
namun antivirus sudah cukup baik. Bayi dan anak dengan HIV bawaan makin
bertambah dari hari ke hari. Demikian juga bidang kedokteran lain, beribu-ribu
pertanyaan tidak terjawab hingga kini.
Genom project, telah sukses mengurai genom manusia, namun secara
fungsional sangat banyak yang tidak bisa dipahami. Mengapa rangkaian asam
nukleat itu bisa berfungsi saat kehidupan, dan ternyata rangkaian genom itu juga
bukan kehidupan yang sesungguhnya. Dalam bukunya “Heart Fraud”, Charles T.
McGee, memberikan analisis ilmiah yang sangat tajam tentang ketakutan manusia
akan penyakit jantung. WHO menyatakan 27% penyebab kematian dari manusia
saat ini dan ke depan, disebabkan oleh penyakit jantung, sehingga investasi dana,
sumber daya manusia, keilmuan, penelitian dasar dan klinis terkait pembuluh
darah dan jantung, sangat sangat besar nilainya. Bisnis dan ilmu menyatu. Atas

21
nama kemanusiaan dan masa depan peradaban homo sapiens di muka bumi,
sumber daya material tak terbatas telah diinvestasikan di bidang jantung dan
pembuluh darah. McGee memberikan gambaran yang menarik, tentang baloon
20
kateter, kolesterol, dan obat-obatnya yang mahal dan kronis, nutrisi, obat-obat
terkait tromboemboli dan berbagai alat diagnostik dan rehabilitasi yang terus
berkembang dan menelan biaya yang mahal, yang pada perjalannya menyuguhkan
banyak pertanyaan yang menarik dan memacu kontroversi akan manfaatnya
dalam skala besar dan jangka panjang. Pengobatan bidang kanker mengalami
P

hal serupa. Investasi teknik pembedahan dengan segala variannya, kemoterapi


dan berbagai sediaan dan risetnya, penyinaran dengan berbagai jenisnya, dalam
AU

skala besar, benarkah akan mengobati, menyembuhkan, memperpanjang usia,


menaikkan kualitas hidup, dan berbagai parameter positif lainnya. Bila data
dalam skala besar dan durasi yang lama bisa disuguhkan, ternyata kita semua
yang paham, akan senyum dan ketawa. Mc Gee telah membuktikannya dalam
bukunya 220 halaman lebih.
Covid-19 masih baru, belum lama, baru sekitar 1 tahun lebih 1 bulan. Untuk
bidang ilmu, usia sekian ini sangat awal, bayi merah. Namun berhasil membuat
porak poranda tatanan kehidupan di muka bumi di seluruh negara. Di zaman
revolusi industri 4.0, ternyata sebuah virus bisa menjelma menjadi raksasa yang
tak tertandingi. Serangan akut membuat rumah sakit dan sistem kesehatan
kebingunan, kelimpungan dan vertigo akut. Manajemen fasilitas kesehatan di
negara manapun, termasuk negara yang maju sarana dan sistem kesehatannya
berteriak-teriak menyatakan ketidakmampuan. Serangan akut Covid-19 menelan

Prolog xxix
korban yang sangat banyak untuk ukuran penyakit di era modern. Jadilah terjadi
kepanikan global dan respons beraneka ragam.
Gejala klinis Covid-19 memang sukar dimengerti dengan baik. Penyakit
1000 wajah ini memicu kebingunan para klinisi, para peneliti sekaligus
memicu perkembangan ilmu dan teknologi. Manusia memang khas, maju,
dan bersemangat bila ditindas, perkasa dan digdaya bila dipaksa. Maka ilmu
pengetahuan tentang Covid-19 mengalami akselerasi yang eksponensial, yang
tidak dijumpai pada periode-periode kehidupan manusia sebelumnya. Laporan
kasus, penelitian singkat, genom proyek, serta terapi dan klinik mengalami
lompatan yang menakjubkan.
Para klinisi telah bekerja secara profesional, sangat banyak yang jadi korban
di medan lagi. Saat buku ini dibuat, 500 lebih tenaga kesehatan telah wafat. Di
Jawa Timur, 50 dokter telah wafat dengan status PCR positif Covid-19, belum
yang probable, dan lebih banyak lagi. Kesedihan besar telah dirasakan di dunia

21
medis, namun sampai saat ini belum cukup untuk membayar upeti pandemi,
karena Januari 2021 ini kasus makin banyak, RS penuh, ICU penuh, IGD
seperti pasar dan RS lapangan sibuk mencari gedung dan tenda baru. Tidak
20
perlu diskusi dan perdebatan, kita semua tahu, bulan ini lebih mengerikan dan
makin mengerikan.
Pernyataan ini adalah terminologi terkait “serangan akut”. Ternyata ada
serangan semi akut dan kronis. Sesak, lemah badan, tak mampu bekerja dengan
baik, batuk dan demam, gejala saraf dan kejiwaan, dan berbagai manisfestasi
P

lainnya adalah gejala susulan yang telah terjadi dan belum ada penjelasan yang
baik. Ilmu dan penelitian telah ketinggalan 10 langkah di belakang Sars-Cov-2
AU

si cerdas. Covid-19 telah menyerang secara akut dengan jab dan apercut yang
mematikan, menyusul dengan pukulan jarak jauh dengan hit and run. Umat
manusia tahun ini menemukan musuh yang sakti mungkin lebih cerdas lagi.
Dan tentu harus dilawan dengan jurus lihai dan sakti, sebuah jurus ilmiah, jurus
pengetahuan dan teknologi, dan jurus kebersamaan dan silaturahmi.

“Apa yang kita ketahui adalah setetes air,


apa yang tidak kita ketahui adalah lautan”
(Sir Isaac Newton)

Biarlah Covid-19 terus beraksi sesuai kemauannya. Biarlah gejala semi akut
dan kronis terus terjadi, namun kita siapkan buku terapinya. Rehabilitasi
medik adalah jurus pilihan, melompat mendahului penjelasan ilmiah tentang

xxx Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


patofisiologi terjadinya manifestasi akut dan kronis Covid-19. Biarkan semua
berproses, langkah terapi dan rehabilitasi telah disiapkan. Kelebihan otak manusia
untuk berpikir multitasking dan paralel, dan mari kita manfaatkan. Buku ini
sangat menarik karena bicara tentang rehabilitasi medik pasca Covid-19 yang
komprehensif. Tinjauan menarik yang secara praktis dipaparkan oleh para penulis
yang telah paham akan merah birunya rehabilitasi medik. Semoga buku ini
bermanfaat untuk seluruh masyarakat dan insan kesehatan.

Teriring doa, semangat selalu, sukses selalu, dan sehat selalu.

“Sesungguhnya kami para Nabi tidak diberi warisan.


Apa yang kami tinggalkan merupakan sedekah“
-Al-Hadist-

21
Semoga ilmu dalam buku ini menjadi sedekah jariyah bagi para penulisnya,
mendatangkan pahala yang laksana sumber air abadi yang tiada pernah mati.
Mendatangkan barokah dunia dan akhirat bagi kita semua. Aaamiiin.
20
DAFTAR PUSTAKA
Charles T, McGee., 2007. Heart Fraud, uncovering the Biggest Health Scam in History.
Piccadilly Book Ltd. Colorado Springs, CO, USA.
P

Davido B, Seang S, Tubiana R, Truchis PD., 2020. Post Covid-19 chronic symptoms, post
infection entiry?. Clinical Microbiology and Infection 26 (2020) 1448e1449
AU

Miglis MG., Goodman BP., Chemali KR., Stiles R., 2020. Re : Post Covid-19 chronic
symptoms by Davido et al. Clinical mycrobiologi and Infections:
Wei XS., Wang X., Niu YR., Ye LL., Peng WB., Wang ZH., et al., 2020. Diarrhea is
associated with prolonged symptom and viral carriage in Corona virus disease
2019. Clinical gastroenterology and Hepatology; 18: 1753-1759

Prolog xxxi
AU
P
20
21
BAB 1

Gejala Sisa Pasca Serangan Akut


Covid-19
Sutrisno

21
20
1.1 PENGANTAR
Covid-19 datang tak terduga. Buku teks virologi tak pernah menyebutnya.
Berawal dari Wuhan, China, penyakit ini viral, menyapu seluruh negara di
P

bumi dan meninggalkan kesakitan berjuta manusia dan 1,6 juta menemui
kematian. Sungguh tidak ada yang membayangkan sebelumnya. Pandemi Covid-
AU

19 (Coronavirus Disease 19) yang terjadi di tahun 2020 ini merupakan suatu
permasalahan yang memiliki dampak sangat luas, baik dari sektor kesehatan,
ekonomi, pemerintahan, sosial politik, maupun pendidikan. Covid-19 merupakan
suatu penyakit respiratorik yang menyerang sistem pernapasan dan disebabkan
oleh suatu koronavirus jenis baru yang diberi nama SARS-CoV-2. Penyakit
Covid-19 memiliki gejala beraneka ragam yang tidak hanya melibatkan gejala
sistem pernapasan saja, namun seluruh sistem tubuh seperti pencernaan, sistem
saraf dan kardiovaskular, maupun sistem integumen bisa terkena dan manifestasi
yang ditimbulkan dari penyakit ini sangat variatif serta kompleks (Phillips,
2020).
Dari penelitian yang dilakukan oleh Greenhalgh (2020), menyebutkan
bahwa sekitar 10% pasien yang menderita Covid-19 di Inggris yang telah dites
positif untuk virus SARS-CoV-2 tetap memiliki gejala hingga melebihi tiga
minggu, dan kurang dari 10% populasi pasien masih mengalami gejala hingga

1
berbulan-bulan. Studi lainnya yang dilakukan di Amerika Serikat menyebutkan
bahwa dari seluruh pasien yang dirawat dengan Covid-19 positif, hanya 65%
pasien yang telah kembali pada kesembuhan seperti sebelum sakit, sisanya
mengalami berbagai keluhan jangka lama.

1.2 KELUHAN PASCA AKUT


Covid-19 pasca akut didefinisikan sebagai perpanjangan gejala yang timbul
hingga 3 minggu sejak terjadinya onset, sedangkan Covid-19 kronis memiliki
waktu yang lebih panjang, yaitu sekitar 12 minggu sejak onset pertama pasien
dinyatakan positif (Greenhalgh, 2020). Covid-19 pasca akut merupakan suatu
penyakit multidisiplin di mana seseorang yang telah terkena penyakit Covid-19
meninggalkan suatu gejala sisa baik itu gejala sisa yang ringan hingga gejala
yang cukup berat. Secara luas, pasien tersebut dapat dibagi menjadi mereka yang

21
mungkin memiliki sekuel serius (seperti komplikasi tromboembolik) dan mereka
yang memiliki gambaran klinis non-spesifik, sering didominasi oleh kelelahan
dan sesak napas (Assaf, 2020).
20
1.3 BEBERAPA GEJALA/KELUHAN PASCA COVID-19 AKUT
1.3.1 Batuk dan Sesak Napas
P

British Thoracic Society menyatakan bahwa gejala seperti batuk kronis dapat
bertahan selama lebih dari 8 minggu, namun apabila tidak ditemukan adanya
AU

suatu komplikasi ataupun suatu infeksi seperti peradangan pada pleura, maka
hanya diperlukan suatu latihan untuk mengkontrol pernapasan secara sederhana
(British Thoracic Society, 2020). Teknik “kontrol pernapasan” ini ditujukan
untuk menormalkan pola pernapasan dan meningkatkan efisiensi otot-otot
pernapasan (termasuk diafragma) yang mengakibatkan lebih sedikit pengeluaran
energi, lebih sedikit iritasi saluran udara, berkurangnya kelelahan, dan penurunan
risiko terjadinya sesak napas (Hometown University Hospital, 2020). Latihan
pernapasan merupakan suatu kegiatan yang sebaiknya dilakukan karena sesak
napas merupakan suatu gejala umum yang sering dikeluhkan oleh sebagian besar
penderita pasca Covid-19 karena latihan ini terbukti dapat mengurangi keluhan
pasien. Pemantauan dengan oksimeter sebaiknya dilakukan pada pasien-pasien
yang sebelumnya menderita Covid-19 karena sewaktu waktu pasien tersebut bisa
saja jatuh dalam kondisi Happy Hypoxia. Pemantauan mandiri terhadap saturasi
oksigen selama tiga hingga lima hari terbukti dapat berguna dalam penilaian

2 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


dan kepastian pasien dengan dispnoea persisten pada fase pasca-akut dan waktu
yang tepat untuk mendapat pertolongan. Pada pasien-pasien yang telah pulih dari
Covid-19 dengan gejala berat dan terjadi sesak napas pasca serangan akut, akan
berisiko mengalami gangguan paru yang berkepanjangan.

1.3.2 Kelelahan
Gejala mudah lelah juga dialami oleh sebagian besar pasien-pasien yang
mengalami infeksi paru sebelumnya seperti SARS, MERS, serta penumonia
(Lam, 2009). Hingga saat ini, pedoman bagi klinisi dalam manajeman pemulihan
rasa kelelahan bagi pasien pasca Covid-19 masih berdasarkan bukti yang tidak
langsung (indirect evidence based) (Barker, 2020).
Covid-19 merupakan pandemi yang tidak memandang usia, jenis kelamin,
ataupun pekerjaan seseorang. Apabila dalam hal ini pasien tersebut merupakan

21
pasien yang sehari-harinya merupakan pasien yang melakukan olahraga secara
rutin, maka ada beberapa strategi yang dapat dikerjakan, seperti:
1. Sesaat setelah pulih dari gejala ringan: satu minggu melakukan pemanasan
20
ringan sebelum melakukan sesi kardio.
2. Gejala sangat ringan: pembatasan aktivitas berat atau jalan ringan. Apabila
gejala semakin memberat, maka dapat ditingkatkan waktu istirahatnya serta
hindari latihan yang berat.
3. Gejala persisten (lelah, batuk, sesak napas, demam): batasi kegiatan hingga
P

maksimal 60% dari detak jantung hingga 2-3 minggu gejala mereda.
4. Pasien dengan limfopenia atau kebutuhan oksigen membutuhkan penilaian
AU

pernapasan sebelum melanjutkan latihan.


5. Pasien yang memiliki gejala yang melibatkan jantung diharuskan melakukan
pemeriksaan jantung sebelum melanjutkan latihannya.

Masih banyak kontroversi terkait pasien-pasien yang mengalami gejala


mudah lelah dalam melakukan suatu olahraga. Sambil menunggu adanya bukti
ilmiah yang berdasarkan dari penelitian, disarankan bagi pasien-pasien yang
ingin melakukan olahraga, sebaiknya harus berhati-hati dan harus dihentikan
apabila mulai timbul gejala-gejala seperti demam, sesak, kelelahan parah, maupun
nyeri otot (NICE, 2020). Pada tahapan ini, peran dokter di pusat layanan primer
sangat diharapkan agar bisa memberikan keputusan serta edukasi yang tepat
bagi pasien.

BAB 1_Gejala Sisa Pasca Serangan Akut Covid-19 3


1.3.3 Komplikasi Kardiopulmoner
Sekitar 20% pasien yang dirawat dengan Covid-19 memiliki keluhan pada organ
jantung yang signifikan secara klinis (European Society of Cardiology, 2020).
Komplikasi kardiopulmoner dalam hal ini termasuk miokarditis, perikarditis,
infark miokard, disritmia, dan emboli paru yang muncul beberapa minggu pasca
Covid-19 dan komplikasi ini lebih meningkat pada pasien-pasien yang sebelumnya
memiliki komorbid kardiovaskular (Shi, 2020). Mekanisme patofisiologi
terjadinya komplikasi dari kardiopulmoner antara lain disebabkan oleh infiltrasi
virus, peradangan dan mikrothrombin, serta down-regulation reseptor ACE-2,
dan penyebab lain yang belum sepenuhnya bisa dijelaskan (Kochi, 2020).

1.3.4 Nyeri Dada

21
Nyeri dada merupakan gejala yang sering muncul pada pasien-pasien pasca Covid-
19 akut. Hal utama yang harus dievaluasi adalah memisahkan apakah nyeri berasal
dari muskuloskeletal dan nyeri dada nonspesifik lainnya atau berasal dari kondisi
kardiovaskular yang serius (Assaf, 2020). Penilaian terhadap keluhan nyeri dada
20
harus tetap mengikuti prinsip yang cermat di mana seorang klinisi harus tetap
melakukan penilaian riwayat medis di masa lalu serta faktor risiko, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang seperti enzim jantung serta ekokardiografi.
P

1.3.5 Tromboemboli
AU

Kondisi peradangan dan hypercoagulable merupakan keadaan yang terjadi pada


pasien Covid-19 di mana kondisi ini dapat meningkatkan kejadian tromboemboli
(Cui, 2020). Pemberian antikoagulasi profilaksis merupakan salah satu terapi
yang diberikan pada pasien-pasien Covid-19, sedangkan pasien-pasien yang
memiliki risiko lebih tinggi terjadinya tromboemboli dan sudah dipulangkan
dari rumah sakit, maka terapi tersebut diperpanjang hingga hari ke-10 (British
Toracic Society, 2020). Namun ketika pasien telah didiagnosis dengan episode
trombotik, maka harus dilakukan pemeriksaan dan pemberian antikoagulasi
lebih lanjut.

1.3.6 Disfungsi Ventrikel


Disfungsi sistolik pada ventrikel kiri dan gagal jantung pasca Covid-19 cukup
sering dijumpai dalam praktik klinik sehari-hari dan dilakukan manajemen sesuai

4 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


standar pedoman. Apabila pasien mengalami miokarditis dan perikarditis akan
memerlukan latihan kardio yang intens, namun untuk sementara, latihan ini
harus dihindari selama tiga bulan pertama agar penyembuhan lebih baik. Bagi
pasien Covid-19 yang merupakan atlet disarankan agar istirahat selama 3–6
bulan dan dipantau oleh dokter spesialis dan dipastikan tidak ada kelainan pada
biomarker, tidak adanya disaritmia, dan ada bukti evaluasi yang menunjukkan
fungsi sistolik ventrikel kiri dalam keadaan normal (Pelliccia, 2019).

1.3.7 Gejala Sisa Neurologis


Dari aspek neurologi, pasca Covid-19 dapat menimbulkan gejala-gejala seperti
sakit kepala, pusing, serta penurunan kognitif. Hal ini disebabkan oleh kelelahan
dan sesak napas, sehingga asupan oksigen menurun. Sedangkan untuk keluhan
seperti stroke iskemik, ensefalitis, dan neuropati kranial dilaporkan jarang terjadi

21
pada pasien pasca Covid-19. Hingga panduan berbasis bukti telah muncul, bila
ditemukan gejala serupa, diharapkan agar pasien dapat diberikan tata laksana
dan dirujuk segera (Assaf, 2020).
20
1.3.8 Keluhan Terkait Usia Lanjut
Covid-19 pada pasien lansia cenderung memiliki gejala yang lebih buruk. Mereka
yang bertahan hidup berisiko tinggi terkena sarkopenia, malnutrisi, depresi, dan
P

delirium. Nyeri kronis pasca Covid-19 dapat memengaruhi pasien dari segala
usia namun pada lansia, gejala ini semakin memberat (Wang, 2020). Covid-19
AU

tidak hanya memengaruhi lansia dari segi fisik, namun juga berdampak pada
psikososial hingga akses perawatan kesehatan, aktivitas pribadi, serta interaksi
sosial memerlukan perhatian tersendiri. Dukungan multidisiplin dan lintas sektor,
dokter umum, perawat, pekerja sosial, tim rehabilitasi, dan terapis akan sangat
membantu kesembuhan dari pasien-pasien lansia (Hoffman, 2020).

1.3.9 Kesehatan dan Kesejahteraan Jiwa


Beberapa publikasi tentang Covid-19 yang menekankan pada kesehatan mental
pasien pasca Covid-19 menyebutkan bahwa beberapa pasien merasakan putus
asa yang hebat, kecemasan, sulit tidur, stres, kesepian dan isolasi sosial oleh
individu yang tidak terkena Covid-19 (Jiang, 2020). Gangguan stres pasca trauma
(PTSD) juga didapatkan terutama pada petugas kesehatan dengan beban kerja

BAB 1_Gejala Sisa Pasca Serangan Akut Covid-19 5


dan tanggung jawab yang tinggi (Forte, 2020). Gangguan mental sangat terkait
dengan status sosial seperti kemiskinan, diskriminasi serta pengucilan yang
dilakukan oleh sekitar. Kesehatan dan kesejahteraan jiwa dapat ditingkatkan
dengan peningkatan solidaritas sosial, dukungan sosial informal, bantuan,
dan langkah-langkah gotong royong. Adanya dukungan lintas sektoral sangat
membantu dalam pemulihan kesehatan dan kesejahteraan jiwa pasien pasca
Covid-19 (Watt, 2020).

1.3.10 Diare
Diare terjadi pada 31% pasien dengan pneumonia SARS-CoV-2. Para pasien
Covid-19 mengalami diare, sakit kepala, mialgia atau kelelahan, batuk, produksi
sputum, mual, dan muntah lebih sering daripada pasien tanpa diare. Ciri-ciri
diare pada pneumonia SARS-CoV-2 berupa peningkatan frekuensi buang air

21
besar (3–14 kali per hari), rupa kotoran pucat tanpa lendir atau darah atau nanah.
Diare bisa menghilang selama perawatan di rumah sakit, tetapi beberapa pasien
lain, frekuensi diare meningkat setelah pulang ke rumah dan bila dilakukan
20
pemeriksaan PCR dari cairan feses ditemukan RNA SarsCoV-2 yang positif.
Pasien dengan keluhan ini harus mendapatkan monitoring yang lebih ketat (Wei,
X.S., et al., 2020).
P

1.3.11 Masalah sosial budaya


Dalam perkembangannya, Covid 19 tidak hanya memengaruhi sektor kesehatan,
AU

namun sektor sosial juga terkena dampaknya. Covid-19 terbukti memiliki


prognosis yang lebih buruk pada pasien pasien dengan ekonomi yang buruk,
lanjut usia serta kelompok minoritas seperti ras kulit hitam, ras Asia Selatan,
dan Yahudi. Namun, sesungguhnya masih terlalu dini untuk mengatakan bahwa
pola sosiodemografis dapat memengaruhi efek jangka lama pada pasien pasca
Covid-19. Beberapa masyarakat yang terkena dampak dari pandemi ini telah
mengalami rasa duka yang mendalam akibat kehilangan pekerjaan, keuangan,
serta kemiskinan. “Lockdown” sendiri ternyata dapat memperburuk masalah
sosial ekonomi tersebut. Kekerasan rumah tangga, pelecehan seksual pada anak,
kejahatan model lain juga dilaporkan meningkat di masa pandemi Covid-19 ini
(Public Health England, 2020).

6 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


1.4 STRATEGI PEMULIHAN KELUHAN PASCA SERANGAN AKUT COVID-19
Setelah melakukan identifikasi komplikasi atau komorbiditas yang diderita
oleh seorang pasien Covid-19, maka dilakukan langkah-langkah sesuai dengan
morbiditas dan keluhan yang ditemui. Prioritas perawatan dilakukan sesuai
keluhan yang dominan. Kerja sama yang baik antara pusat layanan primer dan
rumah sakit sangat membantu memulihkan keluhan dan kelainan yang terjadi
(Klok, 2020).
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien dengan keluhan Covid-
19 pasca akut meliputi pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, fungsi renal dan
liver, troponin, C- reactive protein, kreatin kinase, D-dimer, brain natriuretic
peptides, feritin. Pemeriksaan penunjang lain sesuai keluhan utamanya antara
lain berupa foto rontgen toraks, pemeriksaan urinalisis, dan elektrokardiogram
(Greenhalgh, 2020). Manajemen dari Covid-19 pasca akut dapat dikategorikan

21
menjadi 2, yaitu secara medis dan kejiwaan. Manajemen secara medis meliputi:
Terapi bagi pasien yang menunjukkan simptomatis; Optimalisasi kontrol
jangka panjang; Mendengarkan dan empati ;Antibiotik bila telah timbul infeksi
sekunder
20
Penanganan rujukan oleh spesialis sejauh ini tidak diperlukan oleh sebagian
besar pasien. Pengalaman dari Rumah Sakit Universitas Homerton menyebutkan
bahwa sebagian besar pasien rawat jalan pulih dengan baik dalam waktu 4–6
minggu dengan latihan aerobik yang ringan (seperti berjalan atau pilates) dan
P

ditingkatkan secara bertahap hingga batas yang dapat ditoleransi. Namun apabila
ditemukan perburukan pasien seperti sesak napas, saturasi oksigen di bawah 96%,
AU

nyeri dada tiba-tiba, kelemahan fokal, diharapkan agar pasien tersebut segera
mendapat penanganan lebih lanjut dan apabila diperlukan agar dirujuk ke spesialis
yang sesuai. Latihan rehabilitasi pernapasan juga dibutuhkan apabila pasien
tersebut mengalami gejala susah bernapas dalam waktu yang berkepanjangan
(The BMJ, 2020).
Selain manajemen medis, pasien-pasien pasca Covid-19 diharapkan mampu
melakukan penilaian secara mandiri yang meliputi Pemeriksaan saturasi oksigen
setiap hari; Melakukan gaya hidup sehat (cukup nutrisi, cukup istirahat, berhenti
merokok, pembatasan alkohol dan kafein); Melakukan relaksasi untuk pemulihan
kejiwaan; Olahraga dengan intensitas sesuai kemampuan
Dalam menindaklanjuti kesehatan jiwa pada pasien pasca Covid-19, terapi
kejiwaan dibagi menjadi dua sesi terpadu, yaitu pada saat sesi konsultasi tiap
individu dan dalam kehidupan di masyarakat. Manajemen pada konsultasi
individu tersebut antara lain Diskusi dan konsultasi yang berkelanjutan;

BAB 1_Gejala Sisa Pasca Serangan Akut Covid-19 7


Menghindari pemeriksaan yang invasif ; Memberikan waktu yang lebih dalam
berkonsultasi bagi pasien yang membutuhkan perhatian khusus.
Dalam tingkatan komunitas juga bisa didirikan suatu perkumpulan yang
bisa saling memberikan dukungan antarpasien, pendekatan terhadap pelayanan
kesehatan jiwa, serta dukungan lintas sektoral dan kebersamaan dalam jangka
panjang. Semua ini akan membantu memberikan solusi bagi pasien-pasien yang
mengalami keluhan pasca serangan Covid-19 akut.

1.5 RINGKASAN
Covid-19 adalah penyakit baru karena belum pernah diderita manusia sebelum
pandemi ini. Serangan akut ditandai dengan keluhan terkait saluran nafas atas
dan bawah, kemudian diikuti oleh manifestasi pada organ lain atau sembuh.
Greenhalgh, 2020 menyatakan bahwa 10 persen penyintas covid-19 akan

21
mengalami keluhan kronis. Keluhan-keluhan kronis ini berupa batuk dan sesak
nafas, kelelahan tubuh dengan penyebab yang tidak jelas, keluhan-keluhan
terkait kardiovaskular, nyeri dada, tromboemboli, disfungsi ventrikel jantung,
20
kelainan neurologis mulai derajat ringan sampai berat, keluhan terkait organ
pencernakan, keluhan psikis, mental dan rohani. Gejala sisa dan kronis ini perlu
strategi pemulihan tersendiri dengan dilakukan rehabilitasi dan evaluasi klinis
dan mental secara intensif dengan mengikutsertakan para dokter spesialis di
bidang terkait
P
AU

DAFTAR PUSTAKA
Assaf, G., Davis, H., McCorkell, L., et al. 2020. Report: What Does Covid-19 Recovery
Actually Look Like?An analysis of the prolonged Covid-19 symptoms survey by
Patient-Led Research Team. Patient Led Research Team London, UK: The COVID-
19 Body Politic Slack Group. Available: https://patientresearchcovid19.com/.
Barker-Davies, R.M., O’Sullivan, O., Senaratne, K.P.P., et al. 2020. The Stanford Hall
consensus statement for post-Covid-19 rehabilitation. Br J Sports Med, 54(16):949-
959. doi: 10.1136/bjsports-2020-102596 pmid: 32475821
British Thoracic Society. 2020. British Thoracic Society guidance on respiratory follow up of
patients with a clinico-radiological diagnosis of Covid-19 pneumonia. 2020. Available
from: https://www.brit-tho-racic.org.uk/document-library/quality-improvement/
Covid-19/resp-follow-up-guidance-post-covid- pneumonia/.
Cui, S., Chen, S., Li, X., Liu, S., Wang, F. 2020. Prevalence of venous thromboembolism
in patients with severe novel coronavirus pneumonia. J Thromb Haemost, 18:1421-4.
doi: 10.1111/jth.14830doi: 10.1111/jth.14830 pmid: 32271988.

8 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


European Society of Cardiology. 2020. ESC guidance for the diagnosis and manajement of
CV disease during the Covid-19 pandemic. Available from: https://www.escardio.
org/Education/Covid-19-and-Cardiology/ESC-Covid-19-Guidance.
Forte, G., Favieri, F., Tambelli, R., Casagrande, M. 2020. Covid-19 pandemic in the
Italian population: validation of a post-traumatic stress disorder questionnaire and
prevalence of PTSD symptomatology. Int J Environ Res Public Health, 17:4151.
doi: 10.3390/ijerph17114151 pmid: 32532077.
Garner, P. 2020. Covid-19 at 14 weeks—phantom speed cameras, unknown limits,
and harsh penalties. BMJ Opinion, Available from: https://blogs.bmj.com/
bmj/2020/06/23/paul-garner-Covid-19-at-14-weeks-phantom-speed-cameras-
unknown-limits-and-harsh-penalties/.
Greenhalgh, T., Knight, M., A’Court, C., Buxton, M., Husain, L. 2020. Manajement of
post-acute Covid-19 in primary care. BMJ, 370:m3026. doi: 10.1136/bmj.m3026.
PMID: 32784198.
Hoffman, G.J., Webster, N.J., Bynum, J.P.W. 2020. A framework for aging-friendly

21
services and supports in the age of Covid-19. J Aging Soc Policy, 32:450-9. doi:
10.1080/08959420.2020.1771239 pmid: 32441572.
Homerton University Hospital. 2020. Post Covid-19 patient information pack. 2020.
Available from: https://www.hackneycitizen.co.uk/wp-content/uploads/Post-
20
Covid-19-information-pack-5.pdf.
Jiang, H-j., Nan, J., Lv, Z-y., et al. 2020. Psychological impacts of the Covid-19 epidemic
on Chinese people: Exposure, post-traumatic stress symptom, and emotion
regulation. Asian Pac J Trop Med, 13:252.
Klok, F.A., Boon, G.J.A.M., Barco, S., et al. 2020. The post-Covid-19 functional status
P

scale: a tool to measure functional status over time after Covid-19. Eur Respir J,
57(2):1-8. doi: 10.1183/13993003.01494-2020 pmid: 32398306.
AU

Kochi, A.N., Tagliari, A.P., Forleo, G.B., Fassini, G.M., Tondo, C. 2020. Cardiac and
arrhythmic complications in patients with Covid-19. J Cardiovasc Electrophysiol,
31:1003-8. doi: 10.1111/jcs.14479 pmid: 32270559.
Lam, MH-B, Wing Y-K, Yu MW-M, et al. 2009. Mental morbidities and chronic fatigue
in severe acute respiratory syndrome survivors: long-term follow-up. Arch Intern
Med, 169:2142-7. doi: 10.1001/archinternmed.2009.384 pmid: 20008700.
Miglis, M.G., Goodman, B.P., Chémali, K.R., Stiles, L. 2020. Re: ‘Post-Covid-19
chronic symptoms’ by Davido et al. Clin Microbiol Infect, S1198-743X(20)30511-5.
doi:10.1016/j.cmi.2020.08.028.
National Institute for Health and Care Excellence. 2020. Statement about graded exercise
therapy in the context of Covid-19. In: Myalgic encephalomyelitis (or encephalopathy)/
chronic fatigue syndrome: diagnosis and manajement (in development GID-NG10091).
Available from: https://www.nice.org.uk/guidance/gidng10091/documents/
statement.

BAB 1_Gejala Sisa Pasca Serangan Akut Covid-19 9


Pelliccia, A., Solberg, E.E., Papadakis, M., et al. 2019. Recommendations for participation
in competitive and leisure time sport in athletes with cardiomyopathies,
myocarditis, and pericarditis: position statement of the Sport Cardiology Section
of the European Association of Preventive Cardiology (EAPC). Eur Heart J,
40:19-33. doi: 10.1093/eurheartj/ehy730 pmid: 30561613.
Phillips, M., Turner-Stokes, L., Wade, D., et al. 2020. Rehabilitation in the wake of
Covid-19—A phoenix from the ashes. British Society of Rehabilitation Medicine,
1:1-19. Available from: https://www.bsrm.org.uk/downloads/Covid-19bsrmissue1-
published-27-4-2020.pdf
Public Health England. 2020. Disparities in the risk and outcomes of Covid-19. Available
from: https://assets.publishing.service.gov.uk/government/uploads/system/
uploads/attachment_data/file/890258/disparities_review.pdf
Shi, S., Qin, M., Shen, B., et al. 2020. Association of cardiac injury with mortality in
hospitalized patients with Covid-19 in Wuhan, China. JAMA Cardiol, 5:802-10.
doi: 10.1001/jamacardio.2020.0950 pmid: 32211816.

21
Tenforde, M.W., Kim, S.S., Lindsell, C.J., et al. 2020. IVY Network Investigators CDC
Covid-19 Response Team IVY Network Investigators. Symptom duration and
risk factors for delayed return to usual health among outpatients with Covid-19
in a multistate health care systems network — United States, March-June 2020.
20
MMWR Morb Mortal Wkly Rep, 69:993-8. Available from: https://www.cdc.gov/
mmwr/volumes/69/wr/mm6930e1.htm. doi: 10.15585/mmwr.mm6930e1 pmid:
32730238.
Wang, L., He, W., Yu, X., et al. 2020. Coronavirus disease 2019 in elderly patients:
Characteristics and prognostic factors based on 4-week follow-up. J Infect, 80:639-
P

45. doi: 10.1016/j.jinf.2020.03.019 pmid: 32240670.


Watt, G., Blane, D. 2020. General practice in the time of Covid-19 (Deep End Report
AU

36). University of Glasgow. Available from: https://www.gla.ac.uk/media/


Media_728030_smxx.pdf.
Wei, X.S., Wang, X., Niu, Y.R., Ye, L.L., Peng, W.B., Wang, Z.H., Yang, W.B., Yang,
B.H., Zhang, J.C., Ma, W.L., Wang, X.R., Zhou, Q. 2020. Diarrhea Is Associated
With Prolonged Symptoms and Viral Carriage in Corona Virus Disease 2019.
Clin Gastroenterol Hepatol, 18(8):1753-1759.e2. doi: 10.1016/j.cgh.2020.04.030.
Epub 2020 Apr 18. PMID: 32311512; PMCID: PMC7165091.

10 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


BAB 2

Tinjauan Epidemiologi
Gejala Sisa Pasca Serangan
Covid-19

21 Holipah
20
2.1 PENGANTAR
P

Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus-2 (SARS-CoV-2) merupakan


penyebab dari terjadinya pandemi global Covid-19 (Ahn, et al., 2020). Pada
AU

11 Maret 2020, WHO mengumumkan status pandemi dikarenakan kenaikan


jumlah kasus dan penyebaran kasus ke seluruh benua (Lu, et al., 2020). SARS-
CoV-2 pada awal penyebarannya merupakan penyakit yang ditularkan dari
hewan ke manusia dan kemudian pada perkembangannya penularannya menjadi
dari manusia ke manusia (WHO, 2020). Covid-19 pertama kali muncul di kota
Wuhan, Provinsi Hubei, China pada 8 Desember 2019 yang menyebabkan
gejala mirip pneumonia pada sekelompok pasien. Coronaviruses (CoVs) adalah
anggota dari genus Coronaviridae, yaitu sekelompok virus RNA pleomorfik yang
mengandung peplomer berbentuk mahkota. SARS-CoV-2 memiliki 80% identitas
filogenetik dengan SARS-CoV dan 50% kesamaan dengan MERS-CoV yang
juga menyebabkan pandemi pada tahun 2002-2003 dan 2011 (Lu, et al., 2020).
Hingga 10 Januari, terdapat lebih dari 89 juta kasus positif Covid-19 dan
lebih dari 1,9 juta kematian dilaporkan sejak dimulainya pandemi di seluruh

11
dunia. Untuk situasi di Indonesia sendiri per 12 Januari 2021, dilaporkan 846.765
orang terkonfirmasi Covid-19 dengan kematian sebanyak 24.645 orang (Gambar
2.1) dengan jumlah kasus terbanyak terdapat di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur,
dan Jawa tengah (Gambar 2.2). Dari sejumlah kasus terkonfirmasi tersebut,
dilaporkan pula 695.807 kasus dinyatakan sembuh (Komite Penanganan Covid-
19 dan Penanganan Ekonomi Nasional, 2020).

21
20
Gambar 2.1 Perkembangan Kasus Covid-19 di Indonesia (Komite Penanganan Covid-19 dan
Penanganan Ekonomi Nasional, 2020)
P
AU

Gambar 2.2 Kasus Covid-19 berdasarkan Provinsi (10 Januari 2021) (Komite Penanganan Covid-
19 dan Penanganan Ekonomi Nasional, 2020)

12 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


2.2 GEJALA SISA
Gejala sisa dilaporkan di antara orang yang terkonfirmasi Covid-19, termasuk
orang dengan gejala ringan. Diagnosis gejala sisa ditegakkan bila terdapat keluhan
menetap dalam jangka waktu tiga bulan atau lebih setelah keluar dari rumah sakit
atau dinyatakan negatif (States, et al., 2020). Gejala sisa yang terjadi tidak hanya
terjadi pada saluran pernapasan, tapi bisa terjadi di beberapa organ seperti halnya
pada sistem kardiovaskular, sistem saraf pusat, maupun saraf tepi (Demertzis,
et al., 2020). Berdasarkan Penelitian di China menyatakan hampir 50% pasien
sembuh dari Covid-19 timbul satu atau lebih gejala sisa termasuk di dalamnya
penurunan aktivitas fisik, lemas, dan mengalami linu dan lemah otot. Beberapa
gejala seperti halnya nyeri persendian, bengkak pada tungkai bawah, nyeri dada,
dan batuk menetap dalam jangka waktu yang lebih lama. Gejala yang terus-
menerus ini menimbulkan tantangan baru baik itu bagi pasien, maupun penyedia

21
layanan kesehatan dan praktisi kesehatan masyarakat (Xiong, et al., 2021).
Adapun gejala sisa yang dapat terjadi pasca serangan Covid-19 berdasarkan
sistem organ antara lain:
1. Gejala sisa pada saluran pernapasan
20
Sebanyak 39% pasien sembuh Covid-19 mengeluhkan gejala sisa pada saluran
napas, antara lain merasakan tidak nyaman saat bernapas, batuk yang menetap,
produksi sputum yang berlebihan, dan nyeri tenggorokan (Xiong, et al.,
2021). Pada penelitian postmortem didapatkan kerusakan alveolus yang luas
P

pada paru yang mendukung kemungkinan terjadinya gejala sisa pada paru
yang diakibatkan kerusakan paru yang menetap dan menimbulkan fibrosis
AU

(Schaller, T., Hirschbühl, K., Burkhardt, K., 2020) (Carsana, et al., 2020).
Pada fase akut infeksi Covid-19 paru mengalami kerusakan dan terjadi edema,
kerusakan epitel alveoli, dan deposisi hialin pada membran alveoli. Pada fase
infeksi berikutnya, yaitu pada minggu kedua dan kelima, paru menunjukkan
tanda-tanda fibrosis, dengan deposisi fibrin dan infiltrasi sel inflamasi dan
fibroblas di dekat sel epitel di ruang alveolar. Pada fase akhir, antara minggu
keenam dan kedelapan, jaringan paru-paru menjadi fibrotik. Selain itu, ada
beberapa laporan lesi bilateral dengan dominasi lobus bawah (Gentile, et al.,
2020) (Gambar 2.3).
Gejala sisa pada saluran napas ini dimungkinkan menetap 1-2 bulan pasca
sembuh. Pada penelitian yang dilakukan oleh Jin, et al., (2020), menunjukkan
dari 165 pasien yang dilakukan pemeriksaan CT-scan paru terdapat 13.9%
pasien dengan kerusakan alveoli yang luas pada awal pemeriksaan. Satu bulan

BAB 2_Tinjauan Epidemiologi Gejala Sisa Pasca Serangan Covid-19 13


21
20
Gambar 2.3 Mekanisme Terjadinya Fibrosis pada Saluran Pernapasan (Wang, Kream and
Stefano, 2020)
P

pasca pemeriksaan awal dilakukan CT-scan ulang pada 41 orang menunjukkan


AU

9 orang (22%) menunjukkan gambaran yang menetap.


2. Gejala sisa pada sistem kardiovaskular
Sebanyak 13% pasien pasca terinfeksi Covid-19 dilaporkan mengalami
gejala sisa yang berhubungan dengan sistem kardiovaskuler. Gejala yang
timbul antara lain: peningkatan denyut jantung saat istirahat dan terjadinya
hipertensi. Dilaporkan juga terdapat kasus miokarditis pada laki-laki 31 tahun
tiga minggu pasca sembuh dari infeksi Covid-19 (Xiong, et al., 2021).
Beberapa pasien dengan gejala Covid-19 yang berat menunjukkan lesi miokard
yang luas, termasuk miokarditis, dengan penurunan fungsi sistolik dan aritmia.
Lesi tersebut bisa jadi merupakan lesi sekunder akibat kerusakan paru-paru
yang parah. Sayangnya, sedikit yang diketahui tentang mekanisme yang
bertanggung jawab atas gejala sisa ini. Awalnya, diasumsikan keterlibatan
Angiotensin-Converting Enzyme 2 (ACE 2), yang memungkinkan virus
memasuki sel dan memfasilitasi replikasi virus. Kadar ACE 2 yang sangat

14 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


Gambar 2.4
2020)
21
Gejala Sisa pada Sistem Kardiovaskuler dan Faktor Risikonya (Elissa et al.,
20
tinggi ditemukan di jaringan jantung (cardiomyocyte dan pericytes), terutama
pada pasien dengan riwayat penyakit kardiovaskular. Kerusakan jaringan
jantung dilaporkan, yang dapat disebabkan oleh kerusakan langsung pada
kardiomiosit, inflamasi sistemik, fibrosis interstisial miokard, dan hipoksia.
Karena kerusakan myocard yang signifikan pada pasien dengan manifestasi
P

klinis yang parah dari Covid-19, morbiditas dan kematian penyakit ini dapat
menjadi tinggi, terutama pada pasien dengan riwayat penyakit jantung
AU

(Aggarwal, et al., 2020; Bansal, 2020; Clerkin, et al., 2020).


Multisystem Inflammatory Syndrome in Children (MIS-C) adalah penyakit
yang baru dikenali dan diperkirakan terkait dengan SARS-CoV-2. Laporan
menunjukkan bahwa MIS-C muncul beberapa minggu setelah terpapar
Covid-19. Gejala yang ditimbulkan bervariasi, tetapi banyak anak memiliki
gejala yang mirip dengan toksik syok sindrom atau penyakit Kawasaki. Salah
satu efek jangka panjang yang paling signifikan dari penyakit Kawasaki adalah
komplikasi kardiovaskular, khususnya aneurisma arteri coroner (Pouletty,
et al., 2020).
Penelitian yang dilakukan (Feldstein, et al., 2020) mengenai pasien MIS-C di
26 negara bagian di Amerika Serikat. Sebanyak 14 dari 186 pasien memiliki
riwayat gejala yang terkait dengan Covid-19. Waktu rata-rata dari onset gejala
awal Covid-19 hingga gejala MIS-C adalah 25 hari. Sebanyak 80% pasien

BAB 2_Tinjauan Epidemiologi Gejala Sisa Pasca Serangan Covid-19 15


memerlukan rawat inap di unit perawatan intensif (ICU), 20% memerlukan
alat bantu ventilasi mekanis, dan 8% mengalami aneurisma arteri koroner dan
tiga anak meninggal. Di penelitian yang lain yang dilakukan oleh (Dufort, et
al., 2020) melaporkan 24% dari 99 pasien mengalami gejala Covid-19. Onset
gejala awal hingga timbul gejala MIS-C adalah 21 hari. Sebanyak 80% pasien
membutuhkan perawatan ICU, 10% membutuhkan ventilasi mekanik, 9%
pasien mengalami aneurisma arteri koroner dan 2 anak meninggal. Sedangkan
penelitian yang dilakukan oleh (Toubiana, et al., 2020) pada 21 pasien MIS-C
menunjukkan waktu yang diperlukan mulai dari mengalami gejala Covid-19
hingga mengalami MIS-C selama 45 hari.
3. Gejala sisa pada sistem saraf
Terdapat laporan bahwa SARS-CoV-2 dapat mencapai sistem saraf pusat dan
perifer melalui penyebaran hematogen maupun penyebaran neural langsung
melalui saluran pernapasan melalui mekanisme neurotropisme virus. Reseptor

21
ACE 2 diduga berperan dalam mekanisme infiltrasi virus SARS-CoV-2 ke
dalam sel saraf (Rogers, et al., 2020).
Sejumlah studi menyelidiki persistensi jangka panjang dari defisit sensorik;
20
khususnya, disfungsi penciuman (bau) dan gustatori (rasa). Studi-studi ini
menggunakan pendekatan yang berbeda untuk mengukur gejala dan sebagian
besar tidak termasuk periode tindak lanjut yang akan menjadi indikasi gejala
sisa jangka panjang (persistensi > 6 minggu sejak timbulnya gejala Covid-19).
Penelitian yang dilakukan di Korea Selatan menunjukkan pasien dengan gejala
P

anosmia pulih dari gejala yang dialami dalam jangka waktu 3 minggu (Gambar
2.4). Pada hari ke 7, pasien sudah mulai mengalami perbaikan keluhan. Pasien
AU

dengan usia muda (20-39 tahun) mengalami penyembuhan yang lebih lama
(Lee, et al., 2020). Penelitian lainnya yang dilakukan di Italia pada 126 orang
dengan Covid-19 menunjukkan gejala gangguan penciuman menetap selama
40 hari pada 83,4% pasien. Sebanyak 12% pasien masih mengalami keluhan
hingga 60 hari (Paderno, et al., 2020). Begitu juga penelitian kohort di Brazil
menunjukkan pasien dengan yang mengalami gangguan penciuman akibat
Covid-19 mendapatkan kembali penciumannya pada hari ke 15. Gejala
ini menetap hingga hari ke 31 dari follow up terakhir Kosugi, et al., (2020)
melaporkan gejala menetap lebih lama hingga 62 hari. Begitu pula di Jerman,
gejala ini menetap hingga minggu ke-7 dari onset pertama.
Pada kondisi Covid-19 yang parah, respons hiperinflamasi sistemik dapat
menyebabkan penurunan kognitif jangka panjang, seperti penurunan memori,
perhatian, kecepatan pemrosesan, dan fungsi, bersama dengan hilangnya

16 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


Gambar 2.5 Kaplan Meier Kesembuhan dari Keluhan Indra Pencium

21
neuron yang meluas. Selain itu, dilaporkan bahwa proses inflamasi sistemik
pada orang dengan usia dewasa tua dapat menyebabkan penurunan kognitif
beberapa dekade kemudian. Namun, diperlukan lebih banyak bukti diperlukan
20
untuk menilai efek independen dan sinergis dari gejala sisa Covid-19 pada
fungsi kognitif jangka pendek dan jangka panjang. Oleh karena itu, evaluasi
jangka panjang dari fitur dan tanda multiple sclerosis akan diperlukan pada
pasien Covid-19 yang mengalami kesembuhan (Cothran, et al., 2020).
P

Pada beberapa penelitian dilaporkan berbagai jenis manifestasi klinis


neurophisikiatri seperti ensefalopati akut, perubahan suasana hati, psikosis,
AU

disfungsi neuromuskuler, atau proses demielinasi, yang dapat menyertai


infeksi virus akut atau dapat mengikuti infeksi pada pasien yang pulih selama
berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau berpotensi. lebih lama. Oleh
karena itu, tindak lanjut neuropsikiatri prospektif dari individu yang terpapar
SARS-CoV-2, serta evaluasi status neuroimun mereka, sangat penting untuk
memahami sepenuhnya dampak jangka panjang dari manifestasi neuropsikiatri
Covid-19. Penilaian lebih lanjut tentang konsekuensi neuropsikiatri langsung
dan efek tidak langsung Covid-19 pada kesehatan mental diperlukan untuk
perencanaan perawatan kesehatan mental (Polak, et al., 2020; Troyer, Kohn
and Hong, 2020).
4. Gejala sisa pada ginjal dan liver
Tidak banyak laporan yang menjelaskan gejala sisa pada ginjal yang
berhubungan dengan Covid-19. Sebagian besar penelitian melaporkan terdapat
kerusakan baik pada liver maupun ginjal yang berpotensi mengakibatkan

BAB 2_Tinjauan Epidemiologi Gejala Sisa Pasca Serangan Covid-19 17


gejala sisa pada ginjal maupun liver. Penelitian yang dilakukan oleh (Wang,
et al., 2020) melaporkan Covid-19 tidak bermanifestasi mengakibatkan
kerusakan ginjal akut pada pasien di China.
Sedangkan manifestasi gejala sisa pada liver juga tidak ditemukan laporan
yang berarti. Prevalensi terjadinya kerusakan liver akut pada pasien Covid-
19 sebesar 19,5%, dengan variasi yang sangat berarti antarkasus. Walaupun
terdapat manifestasi kerusakan akibat liver yang diakibatkan karena Covid-
19 tidak ditemukan laporan gejala sisa mengenai hal tersebut, namaun dapat
disimpulkan kerusakan liver akut tidak dapat diasumsikan menimbulkan
gejala sisa (Samidoust, et al., 2020).
5. Gejala sisa pada sistem reproduksi
Hampir tidak ada laporan mengenai gejala sisa pada sistem reproduksi. Hanya
terdapat satu laporan yang menyatakan infeksi Covid-19 mengakibatkan
menurunnya konsentrasi dan motilitas sperma hingga hari ke-90 sejak

21
pertama terinfeksi. Tidak ditemukan laporan mengenai gejala sisa pada
organ reproduksi wanita, sekresi vagina, pada cairan amnion, dan pada cairan
peritoneum (Segars, et al., 2020).
20
6. Gejala sisa psikologis
Penyebaran Covid-19 yang luas mengakibatkan masalah psikologis tidak
hanya pada orang yang terinfeksi, tapi juga pada orang yang tidak terinfeksi.
Sebanyak 22,7% pasien dengan Covid-19 mengakibatkan gejala psiko-sosial,
yaitu somniopathi, depresi, cemas, dan merasa inferior. Pasien yang terinfeksi
P

Covid-19 harus melakukan pembatasan sosial dan isolasi sosial. Hal ini
berakibat pada perasaan dikucilkan dan merasa sulit diterima di lingkungan
AU

setelah pulih dari sakitnya (Xiong, et al., 2021).


Orang yang tidak terinfeksi Covid-19 pun juga mengalami gejala psikologis
akibat adanya pandemik ini. Ketakutan terinfeksi Covid-19, perasaan cemas
dan juga depresi terutama pada tenaga kesehatan dan beberapa pekerjaan
lainnya tidak dapat dihindarkan. Pembatasan aktivitas sosial selama terjadinya
pandemi Covid-19 juga berakibat pada tatanan hidup bermasyarakat (Beam
and Kim, 2020).

2.3 RINGKASAN
Gejala sisa pasca serangan Covid-19 sangat memungkinkan terjadi pada siapa
saja, baik orang dengan usia muda maupun usia tua. Hanya saja belum terdapat
laporan mengenai gejala sisa pada pasien setelah serangan Covid-19 di Indonesia.

18 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


Karakteristik yang berbeda tiap individu membuat pentingnya untuk melakukan
kajian yang lebih mendalam lagi mengenai gejala sisa setelah serangan Covid-
19 di Indonesia. Dokter dan penyedia layanan kesehatan harus lebih waspada
mengenai gejala sisa yang timbul terutama pada orang-orang dengan penyakit
penyerta. Rehabilitasi dan monitoring pasca keluar dari rumah sakit atau negatif
sangat diperlukan untuk tetap menjaga kualitas hidup pasien.

DAFTAR PUSTAKA
Aggarwal, G., et al. 2020. Association of cardiovascular disease with Coronavirus disease
2019 (Covid-19) Severity: A Meta-Analysis. Current Problems in Cardiology.
Elsevier Inc., 45(8):100617. doi: 10.1016/j.cpcardiol.2020.100617.
Ahn, D.G., et al. 2020. Current status of epidemiology, diagnosis, therapeutics, and
vaccines for novel coronavirus disease 2019 (Covid-19). Journal of Microbiology

21
and Biotechnology, 30(3):313–324. doi: 10.4014/jmb.2003.03011.
Bansal, M. 2020. Cardiovascular disease and Covid-19. Diabetes and Metabolic Syndrome:
Clinical Research and Reviews. 14(3):247–250. doi: 10.1016/j.dsx.2020.03.013.
Beam, C.R. and Kim, A.J. 2020. Psychological sequelae of social isolation and loneliness
20
might be a larger problem in young adults than older adults. Psychological Trauma:
Theory, Research, Practice, and Policy, 12:58–60. doi: 10.1037/tra0000774.
Carsana, L., et al. 2020. Pulmonary post-mortem findings in a series of Covid-19 cases
from northern Italy: a two-centre descriptive study. The Lancet Infectious Diseases,
20(10): 1135–1140. doi: 10.1016/S1473-3099(20)30434-5.
P

Clerkin, K.J., et al. 2020. Covid-19 and Cardiovascular Disease. Circulation, 2019:1648–
1655. doi: 10.1161/CIRCULATIONAHA.120.046941.
AU

Cothran, T.P., et al. 2020. A brewing storm: The neuropsychological sequelae of


hyperinflammation due to Covid-19. Journal of Cleaner Production, (xxxx):1–2.
doi: 10.1016/j.bbi.2020.06.008.
Demertzis, Z.D., et al. 2020. Cardiac sequelae of novel coronavirus disease 2019 (Covid-
19): a clinical case series. European Heart Journal-Case Reports, pp. 1–6. doi:
10.1093/ehjcr/ytaa179.
Dufort, E.M., et al. 2020. Multisystem inf lammatory syndrome in children in New
York State. New England Journal of Medicine, 383(4):347–358. doi: 10.1056/
nejmoa2021756.
Elissa, M.D.A., et al. 2020. Cardiovascular considerations for patients, health care
workers, and health systems during the Covid-19 pandemic. Journal of The
American College of Cardiology, 75(18). doi: 10.1016/j.jacc.2020.03.031.
Feldstein, L.R., et al. 2020. Multisystem inflammatory syndrome in U.S. children and
adolescents. New England Journal of Medicine, 383(4):334–346. doi: 10.1056/
nejmoa2021680.

BAB 2_Tinjauan Epidemiologi Gejala Sisa Pasca Serangan Covid-19 19


Gentile, F., et al. 2020. Covid-19 and risk of pulmonary fibrosis: the importance of
planning ahead. European Journal of Preventive Cardiology, 27(13):1442–1446.
doi: 10.1177/2047487320932695.
Jin, C., et al. 2020. A pattern categorization of CT findings to predict outcome of Covid-
19 pneumonia. Frontiers Public Health.
Komite Penanganan Covid-19 dan Penanganan Ekonomi Nasional. 2020. Lapor Covid
Indonesia. Available from: https://covid19.go.id/.
Kosugi, E.M., et al. 2020. Incomplete and late recovery of sudden olfactory dysfunction
in Covid-19. Brazilian Journal of Otorhinolaryngology. Associação Brasileira de
Otorrinolaringologia e Cirurgia Cérvico-Facial, 86(4):490–496. doi: 10.1016/j.
bjorl.2020.05.001.
Lee, Y., et al. 2020. Prevalence and duration of acute loss of smell or taste in Covid-19
patients. Journal of Korean Medical Science, 35(18):1–6. doi: 10.3346/JKMS.2020.35.
E174.
Lu, R., et al. 2020. Genomic characterisation and epidemiology of 2019 novel coronavirus:

21
implications for virus origins and receptor binding. The Lancet, 395(10224):565–
574. doi: 10.1016/S0140-6736(20)30251-8.
Paderno, A., et al. 2020. Olfactory and gustatory outcomes in Covid-19: a prospective
evaluation in nonhospitalized subjects. Otolaryngology - Head and Neck Surgery
20
(United States), 163(6):1144–1149. doi: 10.1177/0194599820939538.
Polak, S.B., et al. 2020. A systematic review of pathological findings in Covid-19: a
pathophysiological timeline and possible mechanisms of disease progression.
Modern Pathology. Springer US, 33(11):2128–2138. doi: 10.1038/s41379-020-
0603-3.
P

Pouletty, M., et al. 2020. Paediatric multisystem inflammatory syndrome temporally


associated with SARS-CoV-2 mimicking Kawasaki disease (Kawa-Covid-19): a
AU

multicentre cohort. Annals of the Rheumatic Diseases, 79(8):999–1006. doi: 10.1136/


annrheumdis-2020-217960.
Rogers, J. P., et al. 2020. Psychiatric and neuropsychiatric presentations associated
with severe coronavirus infections: a systematic review and meta-analysis with
comparison to the Covid-19 pandemic. The Lancet Psychiatry, 7(7):611–627. doi:
10.1016/S2215-0366(20)30203-0.
Samidoust, P., et al. 2020. Risk of hepatic failure in Covid-19 patients: a systematic review
and meta-analysis. Infezioni in Medicina, 28:96–103.
Schaller ,T., Hirschbühl, K., Burkhardt, K., et al. 2020. Postmortem Examination of
Patients With Covid-19. JAMA network open, 323(24):2518–2520.
Segars, J., et al. 2020. Prior and novel coronaviruses, Coronavirus Disease 2019 (Covid-
19), and human reproduction: what is known?. Fertility and Sterility,113(6):1140–
1149. doi: 10.1016/j.fertnstert.2020.04.025.
States, M., et al. 2020. Epidemiological Alert Complications and sequelae of Covid-19
Complications from Covid-19. PAHO_WHO Guidelines, (August).

20 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


Toubiana, J., et al. 2020. Kawasaki-like multisystem inflammatory syndrome in children
during the Covid-19 pandemic in Paris, France: prospective observational study.
BMJ (Clinical research ed.), 369:m2094. doi: 10.1136/bmj.m2094.
Troyer, E.A., Kohn, J.N. and Hong, S. 2020. Are we facing a crashing wave of
neuropsychiatric sequelae of Covid-19? Neuropsychiatric symptoms and potential
immunologic mechanisms. Brain, Behavior, and Immunity, 87(April):34–39. doi:
10.1016/j.bbi.2020.04.027.
Wang, F., Kream, R.M., and Stefano, G.B. 2020. Long-term respiratory and neurological
sequelae of Covid-19. Medical Science Monitor, 26:1–10. doi: 10.12659/
MSM.928996.
Wang, L., et al. 2020. Coronavirus disease 19 infection does not result in acute kidney
injury: an analysis of 116 hospitalized patients from Wuhan, China. American
Journal of Nephrology, 51(5):343–348. doi: 10.1159/000507471.
WHO. 2020. WHO Report of the WHO-China Joint Mission on Coronavirus Disease
2019 (Covid-19). Available from: https://www.who.int/docs/default-source/

21
coronaviruse/%0A322%0AJ. Microbiol. Biotechnol.%0Awho-china-joint-
mission-on-Covid-19-final-report.pdf.
Xiong, Q., et al. 2021. Clinical sequelae of Covid-19 survivors in Wuhan, China: a
single-centre longitudinal study. Clinical Microbiology and Infection. European
20
Society of Clinical Microbiology and Infectious Diseases, 27(1):89–95. doi: 10.1016/j.
cmi.2020.09.023.
P
AU

BAB 2_Tinjauan Epidemiologi Gejala Sisa Pasca Serangan Covid-19 21


AU
P
20
21
BAB 3

Rehabilitasi Medik
Pasca Serangan Covid-19,
Apakah Diperlukan?

21 Rita Vivera Pane


20
3.1 PENGANTAR
P

Penyebaran yang cepat dan sifat patogenik dari SARS CoV-2, mengakibatkan
terjadinya pandemik yang sangat menakutkan di seluruh dunia. Virus ini terutama
AU

menyerang saluran pernapasan yang memberikan gambaran klinis ringan sekitar


80%, hingga berat pada 20% kasus. Sekitar 15% Covid-19 dengan gejala berat
memerlukan perawatan di rumah sakit dan bantuan oksigen nasal, sedangkan 5%
memerlukan perawatan intensif dan bantuan pernapasan mekanik, ventilator. Gejala
ringan Covid-19 berupa demam, flu, batuk, nyeri seluruh tubuh, dan kelelahan,
sedangkan gejala berat berupa sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS) yang
menyebabkan sesak napas dan turunnya saturasi oksigen, sepsis, syok septik, hingga
kegagalan multiorgan seperti gagal ginjal dan gagal jantung (Yang, et al., 2020).
Belum banyak penelitian mengenai dampak Covid-19 dalam jangka panjang,
hal ini dikarenakan Covid-19 baru saja dialami oleh masyarakat dunia. Namun
karena gejala klinis yang ditimbulkan oleh Covid-19 ini mirip dengan gejala klinis
yang disebabkan oleh karena virus SARS dan MERS yang juga memberikan
gejala berat berupa ARDS, maka gejala sisa Covid-19 bisa diperkirakan (Hoenig,
H., Koh, G., 2020).

23
Gejala klinis berat yang memerlukan perawatan di ruang intesif, apalagi
disertai dengan penggunaan ventilator sebelumnya, sangat berpotensi
menyebabkan masalah-masalah fungsi neuromuskular, kardiorespirasi, kognitif
hingga gangguan mental. Hal ini berdampak pada aktivitas fisik dan partisipasi
sosial, dalam kehidupan sehari-hari yang tidak sederhana pada penyintas Covid-
19 (Yang, et al., 2020). Peran dokter spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi,
yang fokus pelayanannya pada gangguan fungsi baik yang disebabkan oleh suatu
penyakit ataupun kecelakaan/cedera, menjadi sangat relevan dan diharapkan pada
penyintas Covid-19.

3.2 DIAGNOSIS FUNGSI PADA ILMU KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


Sesuai dengan fokus pelayanan Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi, yaitu pada
gangguan fungsi dan disabilitas yang disebabkan oleh suatu penyakit atau cedera,

21
maka profesi Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi dituntut untuk menegakkan
diagnosis gangguan fungsi yang diakibatkan oleh penyakit atau cedera di samping
diagnosis penyakit. Fungsi berkaitan dengan kemampuan fisiologis tubuh, untuk
20
dapat melakukan aktivitas fisik dan partisipasi dalam lingkungan sosialnya.
Gangguan struktur dan fungsi tubuh akan mengakibatkan gangguan aktivitas
sehari-hari dan gangguan partisipasi pada lingkungan sosialnya.
International Classification of Functioning, Disability and Health (ICF) adalah
suatu kerangka kerja terpadu untuk mendeskripsikan keadaan terkait kesehatan
P

dan fungsi tubuh.


Tiga domain ICF (International Classification of Functioning, Disability and
AU

Health ) adalah:
1. Fungsi dan struktur tubuh
- Fungsi tubuh yang dimaksud di sini adalah fungsi fisiologi sistem tubuh
termasuk fungsi psikologis
- Strutur tubuh yang dimaksud di sini adalah bagian anatomi tubuh seperti
organ, anggota badan dan komponennya.
2. Aktivitas dan partisipasi
- Aktivitas adalah kemampuan melaksanakan kegiatan atau pekerjaan
oleh individu. Limitasi aktivitas adalah istilah untuk gangguan fungsi
aktivitas berupa kesulitan seseorang dalam melaksanakan kegiatan atau
pekerjaannya.
- Partisipasi adalah keikutsertaan atau keterlibatan dalam situasi kehidupan.
Restriksi partisipasi adalah istilah untuk gangguan fungsi partisipasi

24 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


berupa keterbatasan dalam turut serta terlibat dalam lingkungan sosial
seperti sebelum sakit.
3. Identifikasi faktor lingkungan dan personal, sebagai tambahan untuk
memberikan informasi positif atau negatif yang dapat mendukung atau
menghambat outcome/keluaran dari manajemen rehabilitasi (WHO, 2001).

ICD-10 (International Classification of Diseases, tenth revision) merupakan


klasifikasi yang digunakan oleh WHO dalam mendiagnosis kondisi kesehatan
(penyakit, kelainan tubuh, cedera, dan yang lainnya) yang merupakan diagnosis
dengan kerangka etiologi. sedangkan ICF merupakan klasifikasi yang digunakan
oleh WHO dalam mendiagnosis gangguan fungsi, akibat suatu penyakit,
dengan menggunakan kerangka fungsi, aktivitas, dan partisipasi. ICD-10 dan
ICF saling melengkapi, dan sebaiknya digunakan secara bersama-sama ketika
menegakkan suatu diagnosis, khususnya terhadap suatu penyakit, kelainan, dan

21
cedera yang berpotensi menimbulkan gejala sisa atau gangguan fungsi. Bahkan
saat ini pengertian ICF telah bergeser dari suatu diagnosis yang timbul sebagai
konsekuensi penyakit menjadi komponen kesehatan yang berdiri sendiri.
20
Hal ini bisa dipahami karena tidak semua penyakit dengan etiologi yang
sama mengakibatkan gangguan fungsi yang sama pula. Begitu juga sebaliknya,
tidak semua gangguan fungsi yang sama berasal dari suatu penyakit, kelainan,
atau cedera yang sama.
P

Gambar di bawah menunjukkan interaksi antar komponen ICF.


AU

Gambar 3.1 Interaksi Antar Komponen ICF (WHO, 2001)

BAB 3_Rehabilitasi Medik Pasca Serangan Covid-19, Apakah Diperlukan? 25


Definisi sehat menurut WHO adalah sehat secara menyeluruh, tidak hanya
sehat fisik dan terbebas dari penyakit, tetapi juga sehat mental dan interaksi
sosialnya, bahkan hingga sehat secara finansial, sebagaimana manusia lainnya.
Pendekatan definisi WHO mengenai kriteria sehat, merupakan fokus pelayanan
Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi, di mana disabilitas atau kelainan
fungsi yang terjadi akibat suatu penyakit dan/atau kelainan organ, menjadi fokus
perhatian yang sangat penting. Kerja tim yang harmonis, baik internal (profesi
keterapian fisik: fisioterapis, okupasi terapis, ortotis, dan prostetis, serta petugas
sosial), dan eksternal (dengan profesi kedokteran dan profesi kesehatan yang
lainnya), merupakan suatu keniscayaan yang akan meningkatkan kemandirian
dan kualitas hidup, seperti halnya pada penyintas Covid-19.

3.3 TUJUAN LAYANAN ATAU INTERVENSI REHABILITASI

tujuan intervensinya adalah:


21
Layanan rehabilitasi berfokus pada gangguan fungsi atau kecacatan, dimana

a) Menghilangkan kecacatan atau kelainan fungsi akibat suatu penyakit atau


20
cedera seperti sebelum sakit.
b) Meminimalkan kecacatan atau kelainan fungsi akibat suatu penyakit atau
cedera.
c) Memaksimalkan fungsi yang masih tersisa setelah upaya intervensi rehabilitasi
diberikan akibat suatu penyakit atau cedera.
P

Dalam hal rehabilitasi terhadap penyintas Covid-19, maka tujuan intervensi


AU

rehabilitasi adalah sebagaimana dimaksud di atas, sehingga tercapai tingkat


kemandirian yang optimal dan mencapai kualitas hidup yang lebih baik.
Dalam upaya mencapai tujuan intervensi rehabilitasi yang komprehensif,
maka Dokter Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi bekerja sama lintas
profesi, bermitra secara harmonis dengan mitra kerjanya, yaitu Keterapian
Fisik (Fisioterapis, Terapis Okupasi, Terapis Wicara), Ortotis dan Prostesis,
Petugas Sosial, Perawat Rehabilitasi, Psikolog dan Spesialis Kedokteran terkait
lainnya untuk mencapai derajat kesehatan dan kemandirian yang optimal bagi
penyandang gangguan fungsi, seperti halnya penyintas Covid-19.

3.4 GANGGUAN FUNGSI PADA PENYINTAS COVID-19


Belum banyak tulisan dan penelitian mengenai gangguan fungsi atau kecacatan
yang mungkin timbul akibat Covid-19, begitu juga mengenai peran rehabilitasi

26 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


pasca Covid-19, baik segera setelah fase akut terlampaui dan berpindah ke ruang
perawatan subakut, hingga masa yang lebih lama setelah terkena Covid-19, di
mana pasien sudah dalam rawat jalan (Sheehy, et al., 2020).
Walaupun tidak sama persis dengan SARS dan MERS, namun gejala
sisa atau gangguan fungsi yang ditimbulkannya bisa diekstrapolasikan pada
penyintas Covid-19, karena ketiganya sama-sama menyerang sistem pernapasan,
dan memberikan gambaran klinis ARDS (Acute Respiratory Syndrome), dan
pneumonia pada gejala klinis yang berat. Dalam kondisi seperti itu, tidak jarang
pasien dengan Covid-19 mengalami septik syok, hingga mengalami gagal ginjal
dan jantung, yang kesemuanya memerlukan perawatan di ruang intensif dan
berdampak pada kondisi fungsionalnya setelah sembuh dari fase akut (Petrosillo,
2020).
Prognosis penyintas Covid-19 dengan komorbid, tentu lebih jelek dibanding
dengan mereka yang tanpa penyakit penyerta atau komorbid. Intervensi atau

21
layanan rehabilitasi yang lebih seksama, apalagi dengan usia yang tergolong tua,
harus mendapat perhatian khusus. Faktor-faktor komorbid yang memperparah
kondisi pasien Covid-19 adalah hipertensi, sebanyak 55%, penyakit arteri koroner
20
dan stroke sebanyak 32% dan diabetes melitus sebanyak 31%. Penyakit paru
obstruktif kronis (PPOK), keganasan, dan autoimun, masing-masing 7%, 6%,
dan 1% (Kakodkar, et al., 2020)
Critical illnes polineuropathy (CIP) dan critical illness myopathy (CIM)
merupakan kondisi di mana terjadi polineuropati dan miopati akibat kondisi
P

penyakit berat pasca perawatan di ICU oleh karena ARDS. Post intensive care
siyndrome (PICS) merupakan kondisi yang disendirikan di luar CIP dan MIP
AU

di mana terjadi penurunan fungsi paru-paru restriktif, melemahnya otot-otot


pernapasan, kelemahan ekstensi lutut, kelemahan otot-otot tangan seperti
menggenggam, dan kapasitas fungsional secara umum. Hal ini memerlukan
pemulihan yang lama dan tentu saja intervensi rehabilitasi yang berfokus pada
masalah gangguan fungsi menjadi sangat dibutuhkan (Connolly, et al., 2015;
Herridge, et al., 2016; Shepherd, et al., 2017).

3.4.1 Gangguan Fungsi pada Kerusakan Jaringan Paru


Jaringan fibrotik yang terjadi pada paru-paru penyintas Covid-19 sebagian besar
disebabkan oleh karena infeksi paru yang berat. Meskipun demikian, fibrosis
paru dapat pula terjadi tanpa adanya agen pemicu dan tanpa fase inflamasi akut
awal yang jelas secara klinis. Prediktor fibrosis paru pada infeksi Covid-19 adalah

BAB 3_Rehabilitasi Medik Pasca Serangan Covid-19, Apakah Diperlukan? 27


usia lanjut, tingkat keparahan penyakit, lama rawat ICU dan ventilasi mekanis,
merokok dan alkoholisme. Fibrosis paru berhubungan dengan distorsi arsitektural
paru permanen dan disfungsi paru ireversibel (Ojo, et al., 2020).
Fungsi paru-paru adalah untuk menghirup udara, melakukan pertukaran
udara dan darah, dan menghembuskan udara. Gambaran klinis fungsi paru-paru
adalah kemampuan mengatur kecepatan, ritme, dan kedalaman pernapasan.
Kecepatan pernapasan atau respiration rate adalah fungsi yang berkaitan dengan
jumlah napas yang diambil per menit. Ritme pernapasan adalah fungsi terkait
dengan periodisitas dan keteraturan pernapasan. Apabila terjadi gangguan
struktur paru-paru berupa fibrotik, dapat mengakibatkan gangguan klinis
berupa hiperventilasi, kecepatan respirasi yang tidak teratur, hingga apnea.
Turunnya fungsi toleransi latihan, atau fungsi terkait kapasitas pernapasan dan
kardiovaskular untuk melakukan aktivitas fisik, tidak dimasukkan ke dalam
penyebab langsung fibrotik paru-paru. Gangguan toleransi latihan, merupakan

21
gangguan fungsi ketahanan fisik secara menyeluruh, kapasitas aerobik, stamina,
dan kelelahan.
20
3.4.2 Gangguan Fungsi pada Kerusakan Organ Jantung
Kerusakan organ jantung didapati pada 19,7% pasien Covid-19 yang dirawat di
Wuhan. Mekanisme kerusakan jantung akibat Covid-19 belum diketahui pasti.
Gambaran laboratorium pada pasien-pasien yang diidentifikasikan sebagai cedera
P

organ jantung ini meliputi peningkatan kreatinin kinase, CRP, dan leukositosis.
Umumnya pasien-pasien ini berusia lebih tua, dengan komorbid hipertensi.
AU

Pasien-pasien ini memiliki mortalitas yang lebih tinggi, dengan perbandingan


50% berbanding 5% dengan yang tanpa kerusakan jantung.
Fungsi jantung adalah memompa darah ke seluruh tubuh dalam jumlah
dan tekanan yang cukup sesuai kebutuhan. Gambaran klinis fungsi jantung
adalah adanya denyut jantung (merupakan jumlah darah yang dipompa oleh
otot ventrikel), ritme (berhubungan dengan keteraturan detak jantung), tekanan
sistolik (kekuatan kontraksi otot ventrikel) dan tekanan diastolik (terkait dengan
volume darah yang tersedia di jantung).
Gangguan fungsi yang terjadi akibat gangguan fungsi jantung adalah aritmia,
insufisiensi atau penurunan curah jantung, iskemia, takikardi dan bradikardi.
Kondisi gangguan fungsi tersebut diatas tentu saja memengaruhi performa
aktivitas kehidupan sehari-hari hingga partisipasi di lingkungan sosial. Pemilihan
rehabilitasi penyintas Covid-19 dengan gangguan fungsi jantung tentu saja

28 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


berbeda dengan yang tanpa gangguan fungsi jantung. Sehingga pemilihan
rehabilitasi penyintas Covid-19 sangat-sangat personal (Shi, et al., 2020).

3.4.3 Gangguan Fungsi pada Kerusakan pada Sistem Neuromuskuler


Infeksi virus memiliki dampak yang merugikan pada fungsi neurologis, bahkan
dapat menyebabkan kerusakan neurologis yang parah. Baru-baru ini, virus Corona
(CoV), terutama SARS-CoV-2, menunjukkan sifat neurotropik dan juga dapat
menyebabkan penyakit neurologis. CoV dilaporkan dapat ditemukan di otak atau
cairan serebrospinal. Patobiologi virus neuroinvasif ini masih belum diketahui
sepenuhnya (Wu, et al., 2020). SARS-CoV juga dapat menyebabkan penyakit
saraf seperti polineuropati, ensefalitis, dan stroke iskemik aorta (Tsai, et al.,
2005) Kim dan kawan-kawan, juga melaporkan bahwa hampir 1/5 pasien dengan
infeksi MERS-CoV menunjukkan gejala neurologis selama proses infeksi, seperti

21
gangguan kesadaran, kelumpuhan, stroke iskemik, sindrom Guillain-Barre,
dan neuropati lainnya. Sakit kepala, gangguan kesadaran (orientasi, intelektual,
temperamen dan kepribadian, keinginan untuk bergerak, serta gangguan tidur),
20
gangguan fungsi perhatian (memori, atensi) dan parestesia adalah gambaran
klinis yang bisa dilihat dari gangguan fungsi pada sistem saraf. Pasien yang
terkena dampak parah lebih cenderung mengalami gejala neurologis daripada
pasien yang memiliki penyakit ringan atau sedang (Mao, et al, 2020).
P

3.4.4 Gangguan Fungsi pada Kerusakan Sistem Muskuloskeletal dan


AU

Lainnya
Kondisi tirah baring lama selama perawatan intensif apalagi disertai dengan
penggunaan ventilator, berpotensi menimbulkan komplikasi berupa gangguan
fungsi muskuloskeletal. Konstriktur trakea pasca penggunaan ventilator, capsulitis
adhesiva pada sendi bahu, kaku sendi lainnya, atropi otot dan osteoporosis
merupakan konsekuensi logis dari tirah baring lama. Kondisi seperti ini perlu
mendapatkan perhatian ketika akan memulai suatu intervensi rehabilitasi,
sehingga goal terapi dapat dicapai dengan lebih mudah dan tepat.

3.4.5 Gangguan Fungsi Kognitif


Gangguan fungsi kognitif terjadi pada hampir semua pasien yang mengalami
syok dan gagal napas terutama yang menggunakan ventilator. Disebutkan bahwa

BAB 3_Rehabilitasi Medik Pasca Serangan Covid-19, Apakah Diperlukan? 29


kondisi tidak sadar lama dan tirah baring lama, dapat mengakibatkan gangguan
kognitif ringan atau mild cognitif impairment. Gangguan kognitif yang lebih berat
terdapat pada seperempat pasien, di mana gambaran klinis yang ditunjukkan
hampir serupa dengan pasien-pasien alzhemeir. Sebanyak 70–100% penyintas
Covid-19 mengalami gangguan kognitif, 46–80% membaik dalam satu tahun
pertama, sedangkan sisanya masih menetap hingga 5 tahun (Herridge, 2016).
Fungsi yang terganggu akibat gejala sisa gangguan kognisi mencakup semua
komponen kognitif seperti memori, fungsi eksekusi, atensi, dan kemampuan
berpikir abstrak (Pandharipande, et al., 2013).

3.5 MANAJEMEN REHABILITASI MEDIK PADA PENYINTAS COVID-19


Manajemen kedokteran fisik dan rehabilitasi atau rehabilitasi medik pada penyintas
Covid-19 tidak hanya memperhatikan kondisi kesehatan yang menjadi penyebab

21
sakit, tetapi lebih berfokus kepada kelainan fungsi yang terjadi akibat kelainan
struktur dan fungsi tubuh akibat kondisi kesehatan yang terganggu. Hasil swab
Covid yang negatif, tidak serta-merta disertai oleh perbaikan struktur dan fungsi
20
tubuh apalagi dari sudut pandang aktivitas dan partisipasi penyintas Covid-19.
Beberapa literatur menyebutkan bahwa setelah 3 (tiga) bulan dinyatakan sembuh
dari Covid-19, masih terdapat gangguan fungsi pernapasan, neuromuskular, dan
toleransi yang rendah untuk melakukan olahraga (Hui, et al., 2005; Chen, et al.,
2006; Tansey, et al., 2007). Disebutkan pula bahwa sebesar 17% penyintas Covid-
P

19, belum dapat kembali ke pekerjaannya semula setelah mengalami gejala berat
(Tansey, et al., 2007).
AU

3.5.1 Analisis Gangguan Fungsi


Analisis gangguan fungsi berdasarkan klasifikasi ICF merupakan kerangka kerja
yang mendahului suatu manajemen rehabilitasi.
Kerangka kerja gangguan fungsi berdasarkan klasifikasi ICF:
1. Body Structure & Body function: mengacu pada struktur anatomi atau fungsi
fisiologi tubuh, seperti yang diperlukan untuk kognisi, fungsi kardiovaskular,
fungsi motorik, sensorik termasuk nyeri, atau emosi.
2. Aktivitas: mengacu pada pelaksanaan tugas pada level individu
3. Partisipasi: mengacu pada keikutsertaan atau partisipasi individu dalam situasi
kehidupan sehari-hari.

30 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


4. Faktor lingkungan: mengacu pada faktor fisik, sosial, dan sikap dalam
kehidupan orang tersebut dan masyarakat yang menghalangi atau memfasilitasi
berfungsinya individu.
5. Faktor personal: mengacu pada karakteristik yang unik untuk setiap individu
seperti usia, jenis kelamin, etnis, kepribadian, ketahanan atau pengalaman.

Dengan cara mengidentifikasikan gangguan fungsi mengacu pada ICF,


maka manajemen rehabilitasi dapat dirancang dengan objektif.

3.5.2 Prognosis Fungsional


Prognosis fungsional perlu diidentifikasi sebelum manajemen rehabilitasi
ditentukan. Prognosis fungsional ditentukan oleh beberapa hal, di antaranya
adalah faktor lingkungan, faktor personal, tingkat keparahan dari gangguan

21
fungsi, dan adanya penyakit penyerta.
Faktor lingkungan membentuk sikap dan perilaku hidup fisik, dan sosial di
mana orang tersebut tinggal. Contoh dari faktor lingkungan yang memengaruhi
20
prognosis keluaran dari intervensi rehabilitasi adalah tersedianya teknologi tepat
guna untuk menghilangkan atau mengurangi gangguan fungsi atau kecacatan.
Dukungan keluarga untuk mendapatkan pelayanan rehabilitasi juga merupakan
faktor positif yang akan memberikan prognosis yang baik bagi manajemen
P

rehabilitasi. Ketiadaan asuransi yang mendukung pelayanan rehabilitasi


merupakan faktor negatif yang berdampak pada perbaikan gangguan fungsi.
AU

Faktor personal seperti usia, ras, motivasi, depresi, dan adanya penyakit penyerta
yang berdampak pada gangguan fungsi merupakan faktor yang harus diidentifikasi
sebelum menetapkan manajemen rehabilitasi.
Tingkat keparahan gangguan fungsi juga harus dikualifikasikan. ICF membagi
tingkat keparahan gangguan fungsi ke dalam ringan (5–24%), sedang (25–49%),
berat (50–95%), dan gangguan fungsi total (96–100%).

Uji fungsi merupakan salah satu alat untuk menentukan tingkat keparahan
dari suatu gangguan fungsi. Diagram pada Gambar 3.2 menggambarkan uji fungsi
yang dilakukan pada penyintas Covid-19 terhadap struktur dan fungsi tubuh,
aktivitas dan partisipasi dan lingkungan serta faktor personal. Uji fungsi yang
digunakan pada masing-masing klasifikasi, akan mengukur derajat keparahan

BAB 3_Rehabilitasi Medik Pasca Serangan Covid-19, Apakah Diperlukan? 31


dari gangguan fungsi dan akan berguna untuk menentukan dan mengevaluasi
layanan rehabilitasi yang diberikan secara objektif.

21
20
Gambar 3.2 Klasifikasi ICF berdasarkan kategori masing-masing (body function & structure,
activity, participation, enviromental & personal factor) beserta uji fungsinya (Tansey, et al.,
2007)
P

Keterangan singkatan:
PFT : Pulmonary Fuction Test
IES-R : Impact of Event Scale-Revised
AU

HADS : Hospital Anxiety and Depression Scale


SCID : Self-rating Depression Scale
SAS : Self-rating Anxiety Scale
SCL-90 : Symptom Checklist 90
PSS-10 : Perceived Stress Scale
GHQ-12 : General Health Questionnaire 12
DASS : Depression Anxiety Stress Scale
PHQ : Patient Health Questionnaire
PTSD-SS : PTSD Self rating Scale
CFS : Chalder Fatigue Scale
FSS : Fatigue Severity Scale
MRC Muscle Power : Medical Research Council Muscle Power
NMS Exam : Neuromuscular Examination
6 MWD : 6 Minute Walking Distance
FIM : Functional Independece Measure
SF-36 : Short Form 36
SES : Self Estime Scale
APQ : Eysenck Personality Questionnaire

32 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


3.5.3 Capaian atau Goal Rehabilitasi
Goal rehabilitasi dibagi menjadi goal jangka pendek, menengah, dan panjang.
Penentuan waktu pencapaian goal jangka pendek, menengah, dan panjang dari
suatu gangguan fungsi sangat bergantung pada sistem organ yang terganggu. Goal
rehabilitasi pada gangguan fungsi sistem muskuloskeletal umumnya pencapaiannya
lebih singkat dibanding gangguan fungsi pada sistem neuromuskuler. Faktor
penyakit penyerta, personalitas dan tingkat keparahan dari gangguan fungsi
sangat memengaruhi berapa lama goal akan dicapai.

3.5.4 Perencanaan Rehabilitasi


Perencanaan atau manajemen rehabilitasi ditetapkan setelah analisis dari
gangguan fungsi dilakukan, dengan menggunakan kerangka kerja klasifikasi

21
ICF. Penentuan prognosis berdasarkan uji fungsi dan komorbid yang menyertai
merupakan hal yang harus diperhitungkan dalam manajemen rehabilitasi.
Capaian/goal rehabilitasi harus ditentukan waktunya, sehingga keluaran/outcome
rehabilitasi dapat dievaluasi dengan lebih objektif dan terukur.
20
3.6 RINGKASAN
Kenyataan menunjukkan bahwa pasca dinyatakan sembuh dari Covid-19, tidak
P

serta merta membuat pasien terbebas dari keluhan seperti sesak nafas, kelelahan,
nyeri, maupun depresi. Gejala sekuel pasca covid merupakan hal yang tidak bisa
AU

diabaikan, karena akan mengganggu fungsi aktivitas sehari-hari dan menurunkan


kualitas hidup penyintas Covid. Sehingga managemen rehabilitasi yang berfokus
pada gangguan fungsi akibat suatu penyakit seperti Covid-19, sangat diperlukan.

DAFTAR PUSTAKA
Barker-Davies, R.M., O’Sullivan, O., Senaratne, K.P.P., Baker, P., Cranley, M., Dharm-
Datta, S., Ellis, H., Goodall, D., Gough, M., Lewis, S., Norman, J., Papadopoulou,
T., Roscoe, D., Sherwood, D., Turner, P., Walker, T., Mistlin, A., Phillip, R., Nicol,
A.M., Bennett, A.N., Bahadur, S. 2020. The Stanford Hall consensus statement for
post-Covid-19 rehabilitation. Br J Sports Med, 54(16):949-959. doi: 10.1136/bjsports-
2020-102596. Epub 2020 May 31. PMID: 32475821; PMCID: PMC7418628.
Chen, J.H., Ma, D.Q., He, W., Jin, E.H., Zhang, J., Zhong, Z.H. 2006. Follow-up study
of chest CT manifestations of patients with severe acute respiratory syndrome.
Chin. J. Radiol,40:1161-1165.

BAB 3_Rehabilitasi Medik Pasca Serangan Covid-19, Apakah Diperlukan? 33


Connolly, B., O’Neill, B., Salisbury, L., Blackwood, B. 2016. Enhanced recovery
after critical illness programme group physical rehabilitation interventions for
adult patients during critical illness: an overview of systematic reviews. Thorax,
71(10):881–90. doi: 10.1136/thoraxjnl-2015-208273.
Herridge, M.S., Moss, M., Hough, C.L., Hopkins, R.O., Rice, T.W., Bienvenu, O.J.,
Azoulay, E. 2016. Recovery and outcomes after the acute respiratory distress
syndrome (ARDS) in patients and their family caregivers. Intensive Care Med,
42(5):725–738. doi: 10.1007/s00134-016-4321-8.
Hoenig, H., Koh, G. 2020. Response to letter regarding “how should the rehabilitation
community prepare for 2019-nCoV?”. Arch Phys Med Rehabil, 101(8):1471-1472.
doi: 10.1016/j.apmr.2020.04.015. Epub 2020 Jun 19. PMID: 32571533; PMCID:
PMC7304392.
Hosey, M.M., Needham, D.M. 2020. Survivorship after Covid-19 ICU stay. Nat Rev Dis
Primers, 6(1):60. doi: 10.1038/s41572-020-0201-1. PMID: 32669623; PMCID:
PMC7362322.

21
Hui, D.S., Wong, K.T., Ko, F.W., Tam, L.S., Chan, D.P., Woo, J., Sung, J.J.Y. 2005. The
1-year impact of severe acute respiratory syndrome on pulmonary function, exercise
capacity, and quality of life in a cohort of survivors. Chest, 128:2247–2261.
Kakodkar, P., Kaka, N., Baig, M.N. 2020. A comprehensive literature review on the
20
clinical presentation, and management of the pandemic coronavirus disease 2019
(Covid-19). Cureus, 12(4):e7560. doi: 10.7759/cureus.7560.
Kiekens, C., Boldrini, P., Andreoli, A., Avesani, R., Gamna, F., Grandi, M., Lombardi,
F., Lusuardi, M., Molteni, F., Perboni, A., Negrini, S. 2020. Rehabilitation and
respiratory management in the acute and early post-acute phase. “Instant paper
P

from the field” on rehabilitation answers to the Covid-19 emergency. Eur J Phys
Rehabil Med, 56(3):323-326. doi: 10.23736/S1973-9087.20.06305-4. Epub 2020
AU

Apr 15. PMID: 32293817.


Mao, L., Wang, M.D., Chen, S.H., He, Q.W., Chang, J., Hong, C.D., et al., 2020.
Neurological manifestations of hospitalized patients with Covid-19 in Wuhan,
China: a retrospective case series study. MedRxiv, 2020.02.22.20026500.
Ojo, A.S., Balogun, S.A., Williams, O.T., Ojo, O.S. 2020. Pulmonary fibrosis in
Covid-19 survivors: predictive factors and risk reduction strategies. Pulm
Med, 2020:6175964. doi: 10.1155/2020/6175964. PMID: 32850151; PMCID:
PMC7439160.
Pandharipande, P.P., Girard, T.D., Jackson, J.C., Morandi, A., Thompson, J.L., Pun,
B.T., Brummel, N.E., Hughes, C.G., Vasilevskis, E.E., Shintani, A.K., Moons,
K.G., Geevarghese, S.K., Canonico, A., Hopkins, R.O., Bernard, G.R., Dittus,
R.S., Ely, E.W. 2013. BRAIN-ICU Study Investigators. Long-term cognitive
impairment after critical illness. N Engl J Med, 369(14):1306-16. doi: 10.1056/
NEJMoa1301372. PMID: 24088092; PMCID: PMC3922401.

34 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


Petrosillo, N., Viceconte, G., Ergonul, O., Ippolito, G., Petersen, E. 2020. Covid-19,
SARS and MERS: are they closely related? Clin Microbiol Infect, 26(6):729-734.
doi: 10.1016/j.cmi.2020.03.026. Epub 2020 Mar 28. PMID: 32234451; PMCID:
PMC7176926.
Ren, Y., Qian, W., Li, Z., Liu, Z., Zhou, Y., Wang, R., Qi, L., Yang, J., Song, X., Zeng,
L., Zhang, X. 2020. Public mental health under the long-term influence of Covid-
19 in China: Geographical and temporal distribution. J Affect Disord, 277:893-900.
doi: 10.1016/j.jad.2020.08.045. Epub 2020 Aug 24. PMID: 33065831; PMCID:
PMC7444470.
Santoso, B. et al. 2019. White Book Kedokteran Fisik Dan Rehabilitasi – Edisi 2. PB
Perdosri
Sheehy, L.M. 2020. Considerations for postacute rehabilitation for survivors of Covid-19.
JMIR public health and surveillance, 6(2):e19462. https://doi.org/10.2196/19462
Shepherd, S., Batra, A., Lerner, D.P. 2017. Review of critical illness myopathy and
neuropathy. Neurohospitalist, 7(1):41–48. doi: 10.1177/1941874416663279.

21
Shi, S., Qin, M., Shen, B., Cai, Y., Liu, T., Yang, F., Gong, W., Liu, X., Liang, J.,
Zhao, Q., Huang, H., Yang, B., Huang, C. 2020. Association of cardiac injury
with mortality in hospitalized patients with Covid-19 in Wuhan, China. JAMA
Cardiol, 5(7):802-810. doi: 10.1001/jamacardio.2020.0950. PMID: 32211816;
20
PMCID: PMC7097841.
Stam, H.J., Stucki, G., Bickenbach, J. 2020. Covid-19 and Post Intensive Care
Syndrome: A Call for Action. J Rehabil Med. 2020 Apr 15;52(4):jrm00044. doi:
10.2340/16501977-2677. PMID: 32286675.
Tansey, C.M., Louie, M., Loeb, M., Gold, W.L., Muller, M.P., De Jager, J.A., Cameron,
P

J.I., Tomlinson, G., Mazzulli, T., Walmsley, S.L., et al. 2007. One-year outcomes
and health care utilization in survivors of severe acute respiratory syndrome. Arch.
AU

Intern. Med., 167:1312–1320.


Tsai, L.K. Hsieh, S.T., Chang, Y.C. 2005. Neurological manifestations in severe acute
respiratory syndrome. Acta Neurol. Taiwan, 14(3):113–119.
WHO. 2001. International Classification of Functioning, Disability and Health. 2001.
World Health Organization. 2020. Clinical Management of Severe Acute Respiratory
Infection (SARI) when Covid-19 Disease is Suspected.
Wu, Y., Xu, X., Chen, Z., Duan, J., Hashimoto, K., Yang, L., Liu, C., Yang, C. 2020.
Nervous system involvement after infection with Covid-19 and other coronaviruses.
Brain Behav Immun, 87:18-22. doi: 10.1016/j.bbi.2020.03.031. Epub 2020 Mar
30. PMID: 32240762; PMCID: PMC7146689.
Yang, X., Yu, Y., Xu, J., Shu, H., Xia, J., Liu, H., et al. 2020. Clinical course and outcomes
of critically ill patients with SARS-CoV-2 pneumonia in Wuhan, China: a single-
centered, retrospective, observational study. Lancet Respir Med, 8(5):475-481.
Epub 2020/02/28. doi: 10.1016/S2213-2600(20)30079-5. PubMed PMID:
32105632.

BAB 3_Rehabilitasi Medik Pasca Serangan Covid-19, Apakah Diperlukan? 35


AU
P
20
21
BAB 4

Guideline Rehabilitasi Medik


Pasca Serangan Covid-19
Mochamad Ridwan

21
20
4.1 PENGANTAR
Gejala Covid-19 mulai tidak bergejala, gejala ringan, gejala berat sampai keadaan
kritis, dan menyebabkan kematian. Masa inkubasi Covid-19 ini rata-rata 5–6 hari
P

dengan masa inkubasi terpanjang 14 hari. Tanda dan gejala klinis sebagian besar
adalah demam, rasa lelah, batuk kering, beberapa kasus mengalami rasa nyeri dan
AU

sakit, hidung tersumbat, pilek, nyeri kepala, konjungtivitis, sakit tenggorokan,


diare, hilang penciuman, ruam kulit. kesulitan bernapas dan hasil pemeriksaan
radiologis X ray dada menunjukan infiltrat pneumonia yang luas di kedua paru.
Pada kasus yang berat dapat menimbulkan pneumonia, sindrom pernapasan
akut, gagal ginjal, hingga kematian. Covid-19 dapat menyebabkan disfungsi
pernapasan, fisik, dan psikologis pasien.
Negara-negara di seluruh dunia berada dalam berbagai tahap pandemi
Covid-19 dengan banyak negara kini memasuki fase sedang dan setelah
Covid-19. Saat ini, banyak orang yang menderita akibat efek penyakit ini yang
berisiko mengalami gangguan dan disabilitas jangka panjang. Selama perawatan
pasien mengalami tingkat impairment dan disabilitas sehingga pasien ini akan
membutuhkan rehabilitasi di semua fase penyakit baik fase akut, pasca akut,
dan jangka panjang. Rehabilitasi didefinisikan sebagai serangkaian intervensi

37
yang dirancang untuk mengurangi kecacatan dan mengoptimalkan fungsi pada
individu dengan kondisi kesehatan dalam interaksi dengan lingkungannya.
Rehabilitasi mungkin menjadi strategi kunci untuk mengurangi dampak
Covid-19 pada kesehatan dan gangguan fungsi pada pasien. Upaya rehabilitasi
sangat penting di semua fase untuk memfasilitasi kepulangan awal, tetapi bahkan
lebih dari itu untuk mendukung dan memberdayakan pasien. Program rehabilitasi
paru dilakukan untuk meningkatkan kapasitas fungsional dan kualitas hidup
dengan target untuk mengatasi gejala, pencegahan dekondisi pada saluran napas
dan sistem organ lain, serta membantu keberhasilan proses penyapihan ventilasi
mekanik (Amenta, E.M., et al., 2020; Greenhelgh, T., et al., 2020)

4.2 TUJUAN PENANGANAN REHABILITASI MEDIK PASCA SERANGAN


COVID-19

21
Sebelum memulai suatu managemen rehabilitasi perlu kiranya mempertimbangkan
kondisi saat pasien dirawat di rumah sakit maupun komorbid sebelum sakit.
Berapa lama berada di ruang rawat intensif atau ICU, perlakuan yang diberikan
20
selama di ICU, seperti jenis bantuan oksigen yang diberikan apakan per nasal
atau dengan bantuan mekanik ventilator, dan berapa lama penggunaan bantuan
nafas khususnya ventilator, dan kondisi selama di ICU apakah dalam keadaan
sadar atau tidak sadar. Begitu juga perlu didapatkan informasi layanan rehabilitasi
yang diberikan selama di ruang ICU.
P

Setelah mengetahui kondisi saat di rawat di ruang ICU, berikutnya perlu


diidentifikasi kondisi fungsional pasien baik fungsi paru dan jantung, fungsi
AU

muskuloskeletal, fungsi neurologis hingga fungsi kejiwaan penyintas Covid.


Kondisi-kondisi tersebut diidentifikasi dengan suatu alat yang objektif berupa
assessment fungsi yang bersesuaian.
Penentuan prognosis dan tujuan jangka pendek dan jangka panjang keluaran
yang diharapkan dari suatu managemen rehabillitasi ditetapkan berdasarkan
data-data yang objektif, yang diperoleh dari data sebelumnya. Sehingga dapat
direncanakan managemen yang objektif dan terukur berupa meningkatnya
kondisi fungsionl penyintas Covid berupa meningkatnya kemandirian dalam
melakukan aktivitas sehari-hari dan partisipasi dalam lingkungan sosial seperti
sebelum terkena Covid. Tujuan akhir adalah meningkatkan kualitas hidup
penyintas Covid-19.

38 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


4.3 TATA LAKSANA KLINIS COVID-19
Penatalaksanaan klinis pada pasien Covid-19 meliputi hal berikut.

4.3.1 Pasien Terkonfirmasi Tanpa Gejala


Pasien yang terkonfirmasi tanpa gejala dan tidak memerlukan rawat inap di
rumah sakit, maka pasien ini harus melakukan isolasi selama 10 hari sejak
dilakukan pengambilan spesimen diagnosis dikonfirmasi. Isolasi mandiri dapat
dilaksanakan di rumah maupun fasilitas publik yang disediakan pemerintah.
Pasien dipantau oleh petugas kesehatan melalui telepon dan diminta kontrol
setelah 10 hari isolasi mandiri untuk memantau klinisnya (Burhan, et al., 2020;
Sugihanono, et al., 2020)

21
4.3.2 Pasien Terkonfirmasi Sakit Ringan
Pasien yang terkonfirmasi sakit ringan, maka pasien harus menjalani isolasi
minimal 10 hari sejak muncul gejala dan ditambah 3 hari bebas gejala demam dan
20
gangguan pernapasan. Isolasi dapat dilakukan mandiri di rumah atau di fasilitas
publik yang disediakan pemerintah. Pasien ini dapat diberikan pengobatan
simtomatik dan pasien diberikan informasi mengenai gejala dan tanda perburukan
yang mungkin terjadi selama isolasi. Pasien diberi contact person petugas yang
P

dapat dihubungi sewaktu-waktu apabila ada gejala tersebut timbul. Petugas


kesehatan akan proaktif melakukan pemantauan kondisi pasien dan setelah
AU

melewati masa isolasi pasien akan kontrol ke Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
(FKTP) yang terdekat (Burhan E, et al., 2020; Sugihantono, A., et al., 2020;
WHO, 2020)

4.3.3 Pasien Terkonfirmasi Sakit Sedang dan Pasien Sakit Ringan


dengan Penyulit
Pasien terkonfirmasi yang mengalami sakit sedang dan pasien yang sakit ringan
tetapi mempunyai faktor penyulit atau komorbid akan menjalani perawatan di
rumah sakit. Tata laksana pada pasien ini adalah pemberian terapi simtomatik
untuk gejala yang ada dan untuk pemantauan dilaksanakan sampai gejalanya
menghilang dan pasien dapat dipulangkan apabila memenuhi kriteria untuk
dipulangkan dari rumah sakit (Burhan, E., et al., 2020; Sugihantono, A., et al.,
2020)

BAB 4_Guideline Rehabilitasi Medik Pasca Serangan Covid-19 39


4.3.4 Pasien Terkonfirmasi Covid-19 Sakit Berat
1. Terapi Suportif Dini dan Pemantauan
Pemberian terapi suplementasi oksigen segera pada pasien infeksi saluran
pernapasan atas berat dan pasien yang mengalami distress pernapasan,
hipoksemia, atau syok;
i) Terapi O2 dimulai dengan pemberian 5 liter/menit dengan nasal kanul dan
titrasi untuk mencapai target SpO2 ≥90% pada orang dewasa dan anak,
pada pasien hamil SpO2 ≥92–95%.
ii) Bila ada tanda kegawatdaruratan pada pasien anak seperti obstruksi napas
atau apneu, distres pernapasan berat, sianosis sentral, syok, koma, atau
kejang terapi O2 harus diberikan selama resusitasi sampai tercapai target
SpO2 ≥94%.
iii) Semua pasien dengan infeksi saluran pernapasan atas yang berat dipantau

21
dengan menggunakan pulse oksimetri dan aliran O2 harus berfungsi
dengan baik dan semua peralatan untuk menghantarkan O2 (nasal kanul,
sungkup muka sederhana, sungkup kantong reservoir) harus digunakan
sekali pakai.
20
2. Kewaspadaan terjadi kontak saat memegang peralatan menghantarkan O2
(nasal kanul, sungkup muka sederhana, sungkup dengan kantong reservoir)
yang terkontaminasi atau terbukti Covid-19;
3. Pemantuan diperketat pada pasien yang mengalami perburukan klinis seperti
P

gagal napas, sepsis, dan dilakukan intervensi perawatan suportif secepat


mungkin;
AU

4. Pasien yang memiliki komorbid disesuaikan pengobatannya dan dilakukan


penilaian prognosisnya. Perlu ditentukan terapi mana yang perlu harus
dilanjutkan dan terapi yang mana harus dihentikan sementara.
5. Komunikasi dengan keluarga pasien untuk memberikan dukungan dan
informasi prognostik.
6. Pemberian cairan secara konservatif pada pasien tanpa syok karena pemberian
cairan intravena harus hati-hati bila diberikan secara agresif dapat memperburuk
oksigenasi terutama pada ketersediaan ventilasi mekanik yang terbatas (Burhan
E, et al., 2020; Sugihantono, A., et al., 2020; WHO, 2020)

4.3.5 Tata Laksana Pasien Terkonfirmasi dengan Sakit Kritis


1. Pasien yang gagal napas hipoksemia ketika pasien dengan distress pernapasan
setelah diterapi dengan O2 standar mengalami kegagalan. Pasien dapat

40 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


mengalami peningkatan kerja pernapasan atau hipoksemi walaupun telah
diberikan O2 melalui sungkup tutup muka dengan kantong reservoir (10 sampai
15 L/menit merupakan aliran minimal yang dibutuhkan untuk mengembangkan
kantong dengan Fraksi/Fi O2 antara 0,60 dan 0,95). Gagal napas hipoksemia
pada ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome) terjadi akibat ketidaksesuaian
ventilasi-perfusi dan biasanya membutuhkan ventilasi mekanik.
2. Oksigen nasal aliran tinggi (High-Flow Nasal Oxygen/HFNO ) atau ventilasi
noninvasif (Non Invasive Ventilation/ NIV) hanya untuk pasien gagal napas
hipoksemia tertentu dan pasien harus dipantau ketat untuk menilai terjadi
perburukan klinis.
3. Intubasi endotrakeal harus dilakukan oleh petugas yang terlatih dan
berpengalaman dengan memperhatikan kewaspadaan transmisi airbone.
Pasien dengan ARDS terutama pada anak, pasien obesitas atau hamil dapat
mengalami desaturasi dengan cepat selama intubasi. Pasien dilakukan pre-

21
oksigenasi sebelumnya dengan FiO2 100% selama 5 menit, melalui sungkup
muka dengan kantong udara, bag-valve mask, HFNO, atau NIV, kemudian
dilanjutkan dengan intubasi.
20
4. Ventilasi mekanik dengan menggunakan volume tidal yang rendah (4–8 ml/
kg prediksi berat badan (Predicted Body Weight/PBW) dan tekanan inspirasi
rendah (tekanan plateau <30 cmH2O). Sangat direkomendasikan untuk pasien
ARDS dan disarankan pada pasien gagal napas karena sepsis yang tidak
memenuhi kriteria ARDS.
P

5. Pada pasien ARDS berat dilakukan ventilasi dengan prone position b>12 jam
per hari. Menerapkan ventilasi dengan prone position sangat dianjurkan untuk
AU

pasien dewasa dan anak dengan ARDS berat, tetapi membutuhkan sumber
daya manusia dan keahlian yang cukup.
6. Manajemen cairan konservatif untuk pasien ARDS tanpa hipoperfusi jaringan.
Hal ini sangat direkomendasikan karena dapat mempersingkat penggunaan
ventilator.
7. Pasien ARDS sedang atau berat disarankan menggunakan PEEP lebih tinggi
dibandingkan PEEP rendah.
8. Pasien ARDS sedang–berat tidak dianjurkan secara rutin menggunakan obat
pelumpuh otot.
9. Pada fasilitas kesehatan yang memiliki Expertise in Extracorporeal Life Support
(ECLS) dapat dipertimbangkan penggunaannya ketika menerima rujukan
pasien dengan hipoksemia refrakter meskipun sudah mendapat lung protective
ventilation.

BAB 4_Guideline Rehabilitasi Medik Pasca Serangan Covid-19 41


10. Hindari terputusnya hubungan ventilasi mekanik dengan pasien karena dapat
mengakibatkan hilangnya PEEP dan atelektasis. Gunakan sistem closed suction
kateter dan klem endotrakeal tube ketika terputusnya hubungan ventilasi
mekanik dan pasien (Burhan, E., et al., 2020; Sugihantono, A., et al., 2020;
WHO, 2020)

4.4 TATA LAKSANA REHABILITASI COVID-19


Pada kasus Covid-19 yang berat, kebutuhan rehabilitasi terkait dengan kebutuhan
untuk dukungan ventilasi dan imobilisasi yang berkepanjangan seperti gangguan
fungsi paru; penurunan kondisi fisik dan kelemahan otot; delirium dan gangguan
kognitif; gangguan menelan dan komunikasi; serta gangguan mental dan
dukungan kebutuhan psikologis (PAHO, 2020)
Rehabilitasi paru menurut American Thoracic Society & European

21
Respiratory Society merupakan intervensi komprehensif berdasarkan asesmen
pasien yang menyeluruh diikuti dengan terapi yang disesuaikan dengan kebutuhan
pasien yang terdiri atas latihan (exercise), edukasi, dan perubahan perilaku yang
20
dirancang untuk memperbaiki kondisi fisik pasien dengan penyakit pernapasan
(Spuit, M.A., et al., 2013; Wang, T.J., et al., 2020).
Program rehabilitasi paru dilakukan untuk meningkatkan fungsi kapasitas
paru dan kualitas hidup penderita Covid-19 dengan target untuk mengatasi gejala,
pencegahan dekondisi pada saluran napas dan sistem organ lain, membantu
P

penyapihan ventilasi mekanik, meredakan kecemasan, mengurangi komplikasi,


meminimalkan kecacatan, mempertahakan fungsi dan meningkatkan kualitas
AU

hidup (Palinggi, Y., 2019; Kolegium, IKFRI, 2020; Perdosri, 2020: Tresnasari,
C., Dharmamika, S., 2020; Wang, T.J., et al., 2020)
Kebutuhan rehabilitasi dengan Covid-19 yang berat terbagi dalam fase akut,
fase subakut, dan jangka panjang. Tenaga rehabilitasi profesional bisa ditempatkan
di ICU, bangsal rumah sakit, fasilitas stepdown (seperti rumah sakit lapangan atau
Puskesmas dan komunitas. (PAHO, 2020; Wang, T.J., et al., 2020)

4.4.1 Program Rehabilitasi Fase Akut


Program rehabilitasi pada pasien Covid-19 fase akut harus dipertimbangkan.
Rehabilitasi paru pada penyakit paru akut dinilai aman, tidak meningkatkan
kejadian kematian dan dapat dilaksanakan dengan aman untuk Covid-19 sesuai

42 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


indikasi dan kriteria eksklusi untuk program rehabilitasi Covid-19 pada fase akut
(Wang, T.J., et al., 2020)
Intervensi rehabilitasi pada Covid-19 fase akut mencakup tiga aspek utama:
(1) positioning; (2) mobilisasi dini; dan (3) manajemen pernapasan. Intervensi
rehabilitasi yang diberikan dapat berbeda sesuai dengan kondisi kesadaran dan
masalah fungsional pasien (Xi, et al., 2020) (Rehabilitasi fase akut ini telah
dibahas pada bab tersendiri).

4.4.2 Program Rehabilitasi Fase Subakut


Perkembangan infeksi SARS-CoV-2 akut menjadi Covid-19 pasca akut
ditunjukkan seperti gambar di bawah ini. Perkembangan infeksi SARS-CoV-2
akut diklasifikasikan menggunakan kriteria keparahan gejala Covid-19 pasca
akut: (1) gejala persisten; (2) disfungsi organ; dan (3) SIM (Syndrome Inflammation
Multiple).

21
20
P

Gambar 4.1 Progression of acute SARS-CoV-2 infection to post-acute Covid-19


AU

Sebagian besar pasien yang memerlukan rawat inap karena Covid-19 masih
memiliki gejala yang menetap. Tabel 4.1 merupakan ringkasan gejala yang
menetap dan sisa pada pasien yang dirawat di unit bangsal Covid-19 lebih dari
100 hari setelah masuk rumah sakit. Meskipun ada sedikit perbedaan antara
kualitas hidup kesehatan (HRQoL) antara pasien yang di bangsal dan ICU
(Amenta, E.M., et al.,2020).

BAB 4_Guideline Rehabilitasi Medik Pasca Serangan Covid-19 43


Tabel 4.1 Summary of Publications Describing Residual and Persistent Symptoms of Covid-
19.

Author & Publication Date


No Patient location Reported symptom
Country
1 Carfi, July 9, 2020 Italy Outpatient ◦ Fatigue
◦ Dyspnea
◦ Arthralgias
2 Halpin, July 30, 2020 UK Ward & ICU ◦ New Fatigue
◦ Breathlessness
◦ PTSD
◦ Concentration and
memory deficits
◦ Speech and swallow
deficits
3 Tenforde, July 24, 2020 USA Outpatient clinics ◦ Cough
◦ Fatigue
◦ Dyspnea
4
France
21
Garrigues, August 21, 2020 Ward ◦



Fatigue
Dyspnea
Loss of memory
Concentration and
sleep disorders
20
Rehabilitasi pada pasien Covid-19 sub-akut dilakukan pada pasien yang
telah melewati fase akut, biasanya setelah 3 minggudari permulaan gejala, baik
yang dirawat di rumah sakit maupun di rumah sakit lapangan. (PAHO, 2020;
P

Wang, T.J., et al., 2020)


Rehabilitasi paru pada fase subakut yang bertujuan untuk meningkatkan
AU

kapasitas latihan. Pasien dengan penyakit paru interstisial seperti Covid-19


mempunyai ciri utama mengalami desaturasi saat melakukan aktivitas dan
seringkali lebih parah daripada yang tampak. Penyakit paru interstisial
menurunkan kapasitas ventilasi dan oksigenasi jaringan yang menimbulkan sesak
dan kelelahan pada kaki selama latihan submaksimal. Kelemahan otot kuadrisep
dan kapasitas latihan yang terganggu dapat menjadi prediktor kandidat untuk
dilakukan rehabilitasi paru. Suplementasi O2 diperlukan untuk meningkatkan
oksigenasi jaringan dan meningkatkan kapasitas latihan dengan target SpO2 dari
85 sampai 90% (Wang, T.J., et al., 2020).

44 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


4.4.2.1 Kriteria Eksklusi/Kontraindikasi Program Rehabilitasi Pasien
Covid-19 pada Fase Subakut Meliputi:
1. Suhu tubuh >38 °C
2. Onset gejala atau waktu gejala awal <7 hari
3. Onset awal dyspnea <3 hari
4. Perburukan gambar radiologis toraks dalam waktu 24 sampai 48 jam >50%
5. Sp O2 ≤95%
6. Tekanan darah < 90/60 mmHg atau > 140/90 mmHg ( Xi, et al., 2020)

4.4.2.2 Kriteria terminasi pada latihan program rehabilitasi pasien Covid-


19 pada fase subakut antara lain:
1. Skala Borg >3 dari total 10
2. Muncul gejala: dada sesak, sulit bernapas, pusing, sakit kepala, pandangan

21
kabur, palpitasi, berkeringat, kehilangan keseimbangan
3. Pertimbangan lain dari klinisi sehingga pasien tidak dapat melanjutkan
latihan. ( Xi, et al., 2020)
20
Pasien yang dirawat di ruang isolasi yang terbatas, mobilisasi serta tingkat
aktivitas pasien dalam kondisi ini akan menurun, meskipun pasien hanya
mempunyai gejala ringan. Program rehabilitasi untuk pencegahan dekondisi atau
rekondisi harus dimulai seawal mungkin. Metode pelatihan dapat menggunakan
P

video edukasi dan materi edukasi secara tertulis sangat diperlukan untuk
meminimalkan kontak dengan pasien.
AU

4.4.3 Program Rehabilitasi Subakut dapat Diberikan:


1. Latihan peregangan
Peregangan anggota gerak atas dan anggota gerak bawah untuk mencegah
kekakuan sendi. Latihan dapat dilakukan secara mandiri pada gejala derajat
ringan dan umum atau latihan pasif untuk derajat berat dan pasien kritis stabil.
Frekuensi 1–2 X sehari.
2. Latihan otot pernapasan
Latihan otot pernapasan dapat dilakukan dengan menggunakan inspiratory
muscle trainer. Beban latihan dapat diukur dengan 1RM atau 10 RM menentukan
Maximum Inspiratory Pressure (MIP). Latihan diafragma dapat dilakukan secara
mandiri setelah latihan dengan supervisi. Latihan otot pernapasan hanya dapat
dilakukan pada pasien compos mentis yang kooperatif.

BAB 4_Guideline Rehabilitasi Medik Pasca Serangan Covid-19 45


3. Latihan aerobik
Latihan aerobik dapat dilakukan pada pasien dengan gejala ringan atau umum
yang tidak demam dan tidak sesak. Uji latih pada pasien yang mampu laksana
adalah sit to stand test. Bila terjadi desaturasi saat latihan maka suplemen
oksigen dapat diberikan. Bila saturasi oksigen tidak terkoreksi (< 3%) latihan
dapat dihentikan.
4. Latihan penguatan otot perifer
Latihan penguatan otot perifer seperti squatting, bridging, ankle pumping, dll.
Merupakan latihan yang dapat menjaga tonus otot dan trofi otot. Latihan
ini dapat dilakukan secara mandiri setelah mendapat edukasi pada sesi
pertama.
5. Latihan pernapasan
Latihan napas dalam akan membantu memperbaiki kapasitas batuk. Latihan
kontrol pernapasan dan relaksasi pada pasien yang mengalami sesak napas

21
sangat penting. Edukasi pada pasien dan latihan pembatasan penggunaan
otot bantu napas, cara konversi energi, kontrol postur, dan relaksasi.
20
Rincian rekomendasi program rehabilitasi pada pasien Covid-19 fase
subakut dapat dirinci sebagai berikut ini (Kolegium IKFR, 2020; Perdosri,
2020; Wang, et al., 2020; Xi, et al., 2020):
1. Edukasi Pasien
a. membantu pasien untuk memahami pengetahuan tentang penyakitnya dan
P

proses pengobatan melalui video atau manual;


b. istirahat yang teratur serta tidur yang cukup;
AU

c. diet seimbang;
d. berhenti merokok.
2. Positioning
a. posisi duduk;
b. posisi setengah duduk.
3. Teknik Pembersihan Jalan Napas
a. latihan batuk efektif;
b. bagi pasien yang aktif, kooperatif diberikan latihan batuk efektif mandiri;
c. active cycle breathing technique atau self-air stack dilakukan tanpa bag valve
mask (BVM) dan diakhiri dengan “ cough “ atau “ huff “;
d. pasien dengan kelemahan otot napas dapat dilakukan latihan batuk dengan
manual cough assist menggunakan bag-valve mask (BV)–bag atau dengan
mechanical cough assist bila tidak ada kontraindikasi.

46 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


4. Latihan Pernapasan
b. latihan relaksasi bahu;
c. latihan ekspansi dada;
d. latihan pernapasan diafragma.
5. Rekomendasi Latihan Fisik :
a. frekuensi latihan 2X sehari dilakukan setiap hari;
b. intensitas latihan: skala Borg <3 tidak boleh sampai terjadi fatigue antara
1–3 metabolic equivalents (METs) merupakan intensitas ringan;
c. durasi latihan: 15 – 45 menit / sesi yang dilakukan 1 jam setelah makan;
d. jenis latihan: latihan pernapasan, latihan luas gerak sendi, Tai Chi;
e. progesivitas latihan: dilakukan secara bertahap setiap 2–3 sesi hingga
mencapai skala Borg 4–6 dengan total durasi latihan 30–45 menit.
7. Manajemen Psikologi/Kecemasan
a. mengidentifikasi disfungsi mental dengan cepat;

21
b. jika diperlukan konsultasi psikolog atau psikiater.

4.5 PROGRAM REHABILITASI JANGKA PANJANG


20
Rehabilitasi jangka panjang pada pasien Covid-19 dengan gejala ringan dapat
dilakukan dengan tata laksana rawat jalan atau telerehabilitasi. Untuk Covid-19
dengan gejala ringan, maka rehabilitasi paru dapat mencangkup edukasi, teknik
pembersihan jalan napas, latihan fisik, latihan pernapasan, panduan aktivitas,
P

dan manajemen kecemasan (Wang, T.J., et al., 2020; Xi, et al, 2020).
Kriteria kontraindikasi program rehabilitasi pasien Covid-19 jangka panjang
AU

meliputi:
1. Denyut jantung >100 kali /menit
2. SpO2 ≤ 95 %
3. Tekanan darah < 90/60 mmHg atau > 140/90 mmHg
4. Kondisi penyakit lain yang menghalangi latihan (Xi, et al., 2020)

Kriteria terminasi latihan program rehabilitasi pasien Covid-19 jangka


panjang antara lain:
1. Peningkatan suhu tubuh sampai 37,2 °C
2. Peningkatan gejala respirasi dan kelelahan yang tidak membaik setelah
istirahat
3. Timbulnya gejala: sesak dada, sulit bernapas, pusing, sakit kepala, pandangan
kabur, palpitasi, berkeringat, kehilangan keseimbangan.

BAB 4_Guideline Rehabilitasi Medik Pasca Serangan Covid-19 47


Rekomendasi Program Rehabilitasi Jangka Panjang pada Covid-19
dengan gejala ringan (Kolegium IKFR, 2020; Perdosri, 2020; Wang, T.J.,
et al., 2020; Xi, et al., 2020)
1. Edukasi pasien
a. edukasi tentang Covid-9 serta komorbiditas dan klinis perjalanan
penyakitnya;
b. membantu pasien untuk memahami penyakitnya dan proses pengobatan
melalui video atau manual;
c. mendorong kebiasaan gaya hidup pasien yang baik dan sehat seperti tidur
yang cukup, hidrasi yang cukup, nutrisi yang tepat, dan lain-lain;
d. mendorong untuk ikut berpartisipasi pada aktivitas keluarga maupun
sosial.
2. Teknik pembersihan jalan napas
a. latihan batuk efektif;

aerosolisasi.
3. Latihan pernapasan
21
b. membuang dahak atau sputum pada tempat yang tertutup untuk mencegah
20
a. frekuensi latihan: 2–3 X per hari dilakukan setiap hari;
b. durasi: 10–15 menit;
c. teknik: Diaphragma breathing, Pursed lip breathing, Active abdominal
contraction, Yoga, Pranayama, Tai Chi, menyanyi;
d. progresivitas: dilakukan peningkatan bertahap setiap 2–3 sesi sampai target
P

total durasi 30–60 menit.


4. Latihan fisik
AU

a. frekuensi latihan 1–2 X per hari dan dilakukan 3–5 X per minggu;
b. intensitas latihan skala Borg <3;
c. durasi latihan: 10–15 menit per sesi pada 3–4 latihan awal, kemudian
dinaikkan bertahap sampai 15–45 menit per sesi;
d. jenis latihan: berjalan, bersepeda, jogging, berenang, menari, bermain;
e. progresivitas latihan: dilakukan peningkatan bertahap setiap 2–3 sesi hingga
mencapai skala Borg 4–6 dengan total durasi latihan 30–45 menit.
5. Manajemen kecemasan
a. konseling untuk dukungan sosial;
b. konsultasi psikologi/psikiater bila diperlukan.

Telerehabilitasi dapat dilakukan untuk mengurangi kontak erat dengan


pasien Covid-19 pada kasus-kasus tertentu dengan kondisi medis pasien yang

48 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


sudah dinilai stabil. Asesmen gejala dan gangguan fungsi dapat dilakukan melalui
tele-anamnesis menggunakan aplikasi.
Program rehabilitasi dapat diberikan berdasarkan hasil tele-anamnesis tersebut.
Peresepan latihan didasarkan pada evaluasi dan selama monitoring rutin di ruang
isolasi. Latihan dapat dipandu langsung oleh dokter atau terapis secara daring
pada ruangan yang memiliki sistem jaringan audiovisual. Latihan umum seperti
kontrol pernapasan, teknik batuk efektif dan pengembangan lobus paru segmental
dapat dilakukan dengan mengikuti rekaman audiovisual dan selama latihan perlu
dimonitor dengan pulse oxymetri (Kolegium IKFRI, 2020; Perodsri, 2020).

4.6 PENCEGAHAN KOMPLIKASI


Untuk mencegah terjadinya komplikasi pada pasien dengan Covid-19, maka
diperlukan tindakan antisipasi pencegahan komplikasi sebagai berikut.

Tabel 4.2
21
Rekomendasi Pencegahan komplikasi Covid-19 (Sugihantono, A., et al., 2020;
WHO2020).
20
Antipasi Dampak Tindakan
• Mengurangi penggunaan ◦ Protokol penyapihan berdasarkan penilaian harian
ventilasi mekanik invasif kesiapan untuk bernapas spontan
(IMV) yang lama ◦ Lakukan pemberian sedasi berkala atau kontinu yang
minimal, titrasi untuk mencapai target khusus atau
dengan interupsi harian dari pemberian infus sedasi
P

kontinu
• Mengurangi terjadinya ◦ Intubasi oral lebih baik dari pada intubasi nasal pada
AU

ventilator associated pasien remaja dan dewasa


pneumonia (AVM) ◦ Pertahankan posisi pasien dalam posisi recumbent yaitu
posisi kepala pasien dalam sudut 30–40º
◦ Menggunakan sistem closed suctioning, lakukan kuras dan
buang kondensat dalam pipa secara periodik
◦ Untuk setiap pasien menggunakan sirkuit ventilator yang
baru dan pergantian sirkuit dilakukan hanya bila kotor
atau rusak
◦ Penggantian alat heat moisture exchange bila tidak
berfungsi, kotor atau diganti setiap 5–7 hari.
• Mengurangi terjadinya ◦ Menggunakan obat profilaksis (low molecular-weight
tromboemboli vena heparin, bila tersedia atau heparin 5000 unit subkutan
2 kali sehari) untuk pasien remaja dan dewasa bila tidak
ada kontraindikasi
◦ Bila terdapat kontraindikasi dapat menggunakan
perangkat profilaksis mekanik seperti intermitten
pneumatic compression device

BAB 4_Guideline Rehabilitasi Medik Pasca Serangan Covid-19 49


Antipasi Dampak Tindakan
• Mengurangi terjadinya ◦ Posisi pasien dimiringkan ke kanan-kiri setiap 2 jam
ulcus decubitus
• Mengurangi terjadinya ◦ Pasien diberi nutrisi enteral dini dalam waktu 24–48 jam
stress ulcer dan pertama
perdarahan saluran ◦ Diberikan istamin-2 receptor blocker atau proton pump
pencernaan inhibitors. Faktor risiko untuk terjadinya perdarahan
saluran pencernaan termasuk pemakaian ventilasi
mekanik ≥48 jam, koagulopati, terapi sulih ginjal (renal
replacement therapy), penyakit hati, komorbid ganda,
dan skor gagal organ yang tinggi.
• Mengurangi terjadinya ◦ Melakukan mobilisasi dini apabila aman untuk dilakukan
kelemahan otot akibat
perawatan di Intensive
Care Unit (ICU)

4.7 RINGKASAN

21
Sebagai komponen esensial dari perawatan pasca-akut, program rehabilitasi
bertujuan untuk mengurangi kecacatan jangka panjang dan memungkinkan
20
pasien untuk hidup dalam masyarakat dan kembali ke tingkat partisipasi sosial
sebelumnya. Spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi memiliki peran penting
dalam mengoordinasikan tim rehabilitasi dan dalam menentukan program
rehabilitasi individu untuk setiap pasien. Program rehabilitasi khusus diperlukan
untuk mengelola pasca akut Covid-19 dalam domain gangguan fungsional dan
P

limitasi aktivitas seperti:


1. fungsi pernapasan, khususnya pada ketahanan kardio-pernapasan dan pola
AU

pernapasan;
2. fungsi neurokognitif khususnya pada defisit memori, gangguan sentral
sensorik-motorik, neuropati sentral dan perifer, dan disfagia;
3. fungsi motorik termasuk kekuatan dan daya tahan otot, fleksibilitas, gerakan
aktif sendi dan stabilitas juga mempertimbangkan status klinis dan status
fungsional yang sudah ada sebelumnya;
4. fungsi emosional dan psikologis yang terkait dengan pengalaman traumatis
penyakit.

Fase perawatan pasca akut dianggap lebih tepat untuk memulai rehabilitasi
pada pasien Covid- 19 karena sebagian besar pasien tampak stabil secara medis
pada tahap ini dan dapat menoleransi program rehabilitasi individu. ROM,
penguatan, latihan keseimbangan dan koordinasi, penggunaan treadmill ringan,

50 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


dan terapi pernapasan jika diperlukan telah direkomendasikan. Berdasarkan
bukti yang telah ada dapat disimpulkan bahwa program rehabilitasi dapat sangat
mendukung dalam mengelola pneumonia terkait Covid-19. Kombinasi program
rehabilitasi dan perawatan medis akan menghasilkan hasil perawatan yang
lebih baik, pemulihan yang cepat, dan masa tinggal di rumah sakit yang lebih
singkat.

DAFTAR PUSTAKA
Agrawal, S., and Goel, A., 2015. Prone Position Ventilation in Acute Respiratory Distress
Syndrome: an Overview of the Evidences. Indian Journal of Anaesthesia. 59(4):
246.
Amenta, E.M., et al. 2020. Postacute Covid-19: an overview and approach to classification.
IDSA Open Forum Infectious Diseases, 7(12):ofaa509.

21
Azer, S.A. 2020. Covid-19: Pathophysiology, diagnosis, complication and investigational
therapeutic. New Microbes and New Infections, p.100738.
Burhan, E., et al. 2020. Pedoman Tatalaksana Covid-19. Edisi 2. Jakarta: Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia (PDPI), Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular
20
Indonesia (PERKI), Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
(PAPDI), Perhimpunan Dokter Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia
(PERDATIN), Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).
Carfì, A., Bernabei, R, Landi, F. 2020. Persistent symptoms in patients after acute Covid-
19. JAM, 324:603–5.
P

Clini, E. 2009. Positive Expiratory Pressure Techniques in Respiratory Patient: Old


Evidence and New Insights. Breate, 6(2):153-159.
AU

Doramelen, N., Bushmaker, T., Morris, D.H., Holbrook, M.G., Gamble, A., Williamson,
B.N., et al. 2020. Aerosol and surface stability of SARS-CoV-2 as compared with
SARS-CoV-1. N Engl J Med, 382(16):1564-1567. Doi: 10.1056/NEJMc2004973.
Epub 2020 Mar 17.
Du, Z., Xu, X., Wu, Y., Wang, L., Cowling, B.J., Meyers, L.A. 2020. Serial internal of
Covid-19 among publiclyreported confirmed cases. Emerging Infectious Diseases,
26(6):1341-1343.
European Physical and Rehabilitation Medicine Bodies Alliance. 2018. White Book on
Physical and Rehabilitation Medicine (PRM) in Europe. Eur. J. Phys. Rehabil.
Med., 54:186197.
Garrigues, E., Janvier, P., Kherabi, Y., et al. 2020. Post-discharge persistent symptoms
and health-related quality of life after hospitalization for Covid-19. J Infect, 2020;
81(6):e4–6.
Greenhalgh, T., Knight, M., Buxton, M., Husain, L. 2020. Management of post-acute
Covid-19 in primary care. BMJ, 370:m3026.

BAB 4_Guideline Rehabilitasi Medik Pasca Serangan Covid-19 51


Halpin, S.J., McIvor, C., Whyatt, G., et al. 2020. Post-discharge symptoms and
rehabilitation needs in survivors of Covid-19 infection: a cross-sectional evaluation.
J Medical Virol,93(2):1013-1022. doi:10.1002/jmv.26368.
Handayani, D., Hadi, D.R., Isbaniah, F., Burhan, E. and Agustin, H. 2020. Corona
Virus Disease 2019. Jurnal Respirologi Indonesia, 40(2):119-129.
Kolegium IKFR. 2020. Tatalaksana (Panduan) Rehabilitasi untuk pasien Covid-19
Jakarta: Kolegium Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Indonesia.
Lau, H.M., Ng, G.Y., Jones, A.Y., Lee, E.W., Siu, E.H., Hui, D.S. 2005. A randomised
controlled trial of the effectiveness of an exercise training program in patients
recovering from severe acute respiratory syndrome. Aust J Physiother, 51:213–
219.
Pan American Health Organization (PAHO). 2020. Rehabilitation Consideration During
the Covid-19 Outbreak. Avalaible from: https://www.paho.org/en/documents/
rehabilitationconsideration-during-Covid-19-outbreak.
Palinggi, Y. 2019. Rehabilitasi Paru pada Pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronik.

21
Jurnal Kesehatan Lentera Acitya, 5(2):62-66
Perdosri. 2020. Rekomendasi Pelayanan Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi di Indonesia Terkait
Covid-19. Edisi ke-1. Jakarta: PB Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Fisik
dan Rehabilitasi.
20
Spruit, M.A., Singh, S.J., Garvey, C., Zu Wallack, R., Nici, L., Rochester, C., Hill,
K., Holland,
A.E., Lareau, S.C., Man, W.D.C., and Pitta, F., 2013. An official American Thoracic
Society/ European Respiratory Society statement: key conceps and advances in
pulmonary rehabilitation. American Journal Respiratory and Critical Care Medicine,
P

188(8):13-e64.
Sugihantono, A., et al, 2020. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease
AU

19 (Covid 19). Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.


Tresnasari, C., Dharmmika, S., 2020. Covid-19 dan Tatalaksana Kedokteran Fisik sera
Rehabilitasi Pasien. Pusat Penerbitan Unisba (P2U) LPPM UNISBA.
Tenforde, M.W., Kim, S.S., Lindsell, C.J., et al. 2020. Symptom duration and risk factors
for delayed return to usual health among outpatients with Covid-19 in a multistate
health care systems network—United States, March–June 2020. Morbid Mortal
Week Rep, 69:993.
Wang,T.J., Chau, B., Lui, M., Lam, G.T., Lin, N. and Humbert, S. 2020. Physical
medicine and rehabilitation and pulmonary rehabilitation for Covid-19. American
Journal of Physical Medicine & Rehabilitation, 99(9):769-774.
World Health Organization (WHO). 2020. Tatalaksana Klinis Infeksi Saluran Pernapasan
Akut Berat (SARI) Suspek Penyakit Covid-19. Available from: https://www.
who.int/docs/default-source/searo/indonesia/covid19/tatalaksana-klinis-suspek-
penyakit-covid-1935867f18642845f1a1b8fa0a0081efcb.pdf?sfvrsn=abae3a22_2

52 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


Wu, Z., McGoogan, J.M. 2020. Characteristic of and important lesson from the
Coronavirus Disesase 2019 (Covid-19) outbreak ini China: summary of a report
of 72314v cases from the Chinese Center for Disease Control and Prevention.
JAMA, 323(13):1239-1242. Doi:10.1001/jama.2020.2648.
Xi, Z.J.H.H.H. and Zhi, Z. 2020. Chinese association of rehabilitation medicine
respiratory rehabilitation committee of Chinese Association of Rehabilitation
Medicine, Cardiopulmonary Rehabilitation Groups of Chinese Society of Physical
Medicine and Rehabilitation. In Recommandation For Respiratory Rehabilitation
of Covid-19 in Adult, 43P:E029.
Yang, J., Zheng, Y., Gou, X., Pu, K., Chen, Z., Guo, Q. 2020. Prevalence of comorbidities
in the novel Wuhan Coronavirus (Covid-19) infection: a systematic review and
meta-analysis. Int J Infect Dis, 94(2020):91-95.
Zhao, H.M., Xie, Y.X., Wang, C. 2020. Recommendations for respiratory rehabilitation
in adult with Coronavirus Disease 2019. Chinese Medical Journal, 133(13):1595-
1602.

21
20
P
AU

BAB 4_Guideline Rehabilitasi Medik Pasca Serangan Covid-19 53


AU
P
20
21
BAB 5

Manajemen Nyeri &


Rehabilitasi Medik Nyeri
Paska Serangan Covid-19

21 Rita Vivera Pane


20
5.1 PENGANTAR
P

Infeksi virus SARS-CoV-2 pada penderita Covid-19 tidak hanya menyerang


saluran pernapasan dan paru-paru, tetapi juga mengenai sistem tubuh lain seperti
AU

kardiovaskuler, neuromuskuler, muskuloskeletal, dan gangguan kognitif. Nyeri


dapat disebabkan langsung akibat infeksi virus atau dari kondisi imobilisasi lama
sewaktu perawatan di ruang intensif apalagi bila sebelumnya menggunakan alat
bantu napas mekanik. Nyeri eksaserbasi juga bisa terjadi karena kondisi kejiwaan
yang tertekan, cemas, dan takut (Marks, et al., 2016).
Berdasarkan mekanismenya, nyeri dibagi menjadi nyeri nosiseptif, neuropatik,
dan nosiplastik. Infeksi virus dapat menyebakan nyeri dengan semua mekanisme
tersebut, tergantung tingkat virulensi, lama perawatan, dan personalitas penyintas
Covid-19.
Nyeri akut berlangsung beberapa hari hingga tiga bulan, umumnya disebabkan
oleh nyeri nosiseptif. Sekitar satu persen nyeri akut pada sendi disebabkan oleh
karena virus, selebihnya berupa nyeri otot dan rasa lelah (Marks, M., Marks, J.L.,
2020; Campbell, 2010). Timbulnya nyeri dapat melalui berbagai media seperti

55
mediator inflamasi seperti protaglandin E2, histamin, dan leukotrine yang akan
menstimulasi reseptor nociceptive.
Nyeri kronik berlangsung lebih dari tiga bulan. Nyeri kronik pasca Covid-19,
terjadi pada sekitar 14–77% kasus. Kondisi ini sangat berpengaruh pada “return
to work” dan kualitas hidup 5 tahun setelahnya (Kemp, et al., 2020; Kemp, et al,
2019). Nyeri kronis akan memengaruhi aktivitas maupun partisipasi penyintas
Covid-19 dalam kehidupan sehari-hari, sehingga akan menurunnya kualitas
hidup.
Manajemen dan rehabilitasi nyeri pada penyintas Covid-19 ditentukan oleh
diagnosis klinis dan diagnosis fungsi. Penggunaan obat-obatan terutama NSAID
dan steroid harus dengan pertimbangan yang matang. Intervensi rehabilitasi
disesuaikan dengan diagnosis fungsi, berupa aktivitas dan partisipasi yang
terganggu. Faktor lingkungan dan personalitas merupakan dua faktor yang harus
diidentifikasikan, agar intervensi rehabilitasi yang komprehansif dapat diberikan

21
dan outcome rehabilitasi menjadi optimal.
Telerehabilitasi pada era pandemi seperti sekarang ini, merupakan alternatif
manajemen nyeri, yang harus disosialisasikan dan dibiasakan baik kepada
20
masyarakat maupun pada praktisi kedokteran dan kesehatan lainnya, begitu
juga pada stakeholder yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan.

5.2 NYERI PADA PENYINTAS COVID-19


P

5.2.1 Definisi Nyeri Menurut IASP (International Association for the


Study of Pain)
AU

Definisi nyeri menurut IASP adalah suatu pengalaman sensoris dan emosional
yang tidak menyenangkan yang terkait dengan kerusakan jaringan tubuh yang
nyata ataupun yang berpotensi rusak, bahkan pada kondisi tidak ada kerusakan
sama-sekali, atau yang dijelaskan dalam istilah kerusakan tersebut.

5.2.2 Nyeri Pasca Covid


Nyeri merupakan gejala klinis yang sering dijumpai pada pasien Covid, dengan
gejala ringan hingga berat. Nyeri tenggorokan, nyeri otot, hingga nyeri pada
seluruh persendian dan widespread pain. Kondisi ini merupakan konsekuensi
wajar, yang disebabkan oleh zat-zat inflamasi yang ditimbulkan oleh infeksi virus,
hingga faktor-faktor lain, seperti imobilisasi dan faktor kejiwaan selama perawatan

56 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


dan kecemasan di era pandemi. Penyebab nyeri pada penyintas Covid-19 bisa
bersifat nosiseptif, nosiplastik, dan neuropatik (Clauw, D.J., et al., 2020).

5.2.3 Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Waktu


1. Nyeri akut: nyeri yang berlangsung 3–6 bulan, yang berhubungan langsung
dengan kerusakan jaringan. Contoh: nyeri pasca operasi, nyeri karena tersayat,
nyeri akibat infeksi virus, dan akibat gangguan muskulosekelatal lainnya.
2. Nyeri kronik: nyeri yang berlangsung lebih dari 3 bulan, atau lebih dari 6
bulan. Seringkali diakibatkan oleh karena pengobatan yang tidak memadai,
atau karena timbulnya sensitisasi dari level sistem saraf yang lebih tinggi.

Penentuan fase nyeri akut dan kronik, sangat penting karena berhubungan
dengan manajemen farmakologi dan rehabilitasinya.

21
5.2.4 Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Mekanisme
20
1. Nyeri nosiseptif: nyeri yang disebabkan oleh karena kerusakan jaringan secara
nyata atau jaringan yang berpotensi rusak dari jaringan nonneural, yang
merangsang reseptor nosiseptif.
2. Nyeri neuropatik: nyeri yang disebabkan oleh suatu lesi atau penyakit sistem
saraf somatosensoris. Neuralgia dan neuritis adalah salah satu conntoh nyeri
P

neuropatik.
3. Nyeri nosiplastik: nyeri nosiseptif dan atau neuropatik dengan gejala yang
AU

lebih menyebar dan meluas, menimbulkan gangguan fungsi yang nyata berupa
kelelahan, disfungsi tidur, dan gangguan kognitif, hiperalgesia sekunder atau
nyeri rujukan.

Tabel. 5.1 Perbedaan antara Nyeri Nosiseptif dan Nyeri Neuropatik.

Nyeri Nosiseptif Nyeri Neuropatik


Karena kerusakan jaringan nonneural Karena kerusakan jaringan neural/saraf
Nyeri fisiologis Nyeri patologis
Hubungan sederhana antara nyeri dan Hubungan terpisahkan antara nyeri dan
kerusakan jaringan kerusakan jaringan
Lebih mudah untuk didiagnosis dan diobati Lebih sulit untuk didiagnosis dan diobati
Inflamasi dan nyeri viseral Neuralgia, neuritis
Paracetamol, opioid, dan NSAID sangat Adjuvan atau ko-analgesik seperti
efektif menurunkan skala nyeri antikonvulsan, antidepresan, efektif untuk
mengurangi nyeri

BAB 5_Manajemen Nyeri & Rehabilitasi Medik Nyeri Paska Serangan Covid-19 57
5.2.5 Menegakkan Diagnosis Nyeri
Penegakan diagnosis nyeri sangat bergantung kepada kepiawaian seorang dokter
dalam melakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang,
seperti pencitraan X-ray, MRI, CT-Scan, ultrasonografi, dan pemeriksaan
laboratorium hanya diperlukan sebagai pelengkap diagnosis klinis, terutama bila
ada kecurigaan red flag.
a. Anamnesis didahului dengan menanyakan keluhan utama yang membuat
pasien datang atau meminta pertolongan dokter. Kemudian dikembangkan
sesuai dengan keluhan utama pasien. Penentuan sumber nyeri, terlokalisir,
atau menyebar, refered atau radikuler, waktu nyeri malam atau pagi hari,
onset, durasi, faktor-faktor yang memperberatkan atau memperingan, dan
periodisitas, merupakan hal yang mutlak. Derajat nyeri harus diidentifikasi,
untuk menentukan pengobatan yang tepat dan sebagai alat objektif untuk

21
melakukan evaluasi setelah pengobatan dan rehabilitasi dilakukan. Numerik
rate scale atau skala nyeri berdasarkan angka merupakan alat yang paling sering
dipakai selain visual analoque scale. Kecemasan, depresi, rasa takut, dan putus
harapan karena nyeri yang kronis harus menjadi perhatian tersendiri.
20
Di bawah ini adalah skala untuk menentukan derajat nyeri
P
AU

Gambar 5.1 Numerik Rate Scale (Gautam Das, 2018).

1–3 untuk mild pain (nyeri ringan)


4–6 untuk moderate pain (nyeri sedang)
7–9 untuk severe pain (nyeri berat)

Kemungkinan adanya tanda bahaya atau red flag seperti trauma, infeksi, tumor,
adanya defisit motorik progresif dan defisit sensorik, harus disingkirkan,
sebelum memulai suatu manajemen rehabilitasi. Tanda bahaya atau red
flag memerlukan penanganan segera yang biasanya bersifat invasif, seperti

58 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


intervensi minimal invasif atau pembedahan. Waktu yang cukup harus
diluangkan kepada pasien-pasien dengan keluhan nyeri, terutama nyeri
kronis.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan dimulai dari kondisi umum, tanda-tanda stres, penampilan
muka, gait atau cara berjalan dan postur, kondisi mental, nutrisi dan cara
berpakaian. Pemeriksaan yang lengkap dari kepala, rambut, mata, telinga
hidung dan tenggorok, kulit, kuku, leher, anggota gerak tubuh atas dan
bawah, serta adanya edema dan tender point atau titik nyeri juga tidak boleh
diabaikan.
Pemeriksaan khusus pada bahu (tes Appleys, Neer, Hawkin, empty cane) pada
tulang belakang (tes Adam, extension, Thrust, FABERE & FAIR, Gaenslen),
pada lutut (Tes Ober’s, Lachman, drawer, dan McMurray’s) dan pada leher
(provokosi tes untuk menilai adanya gangguan pada facet cervical) sangat

21
diperlukan dalam menegakkan diagnosa.
Pemeriksaan fungsi yang merupakan pemeriksaan khas Ilmu Kedokteran
Fisik dan Rehabilitasi, seperti dari fungsi luas gerak sendi, fungsi kekuatan
20
otot, fungsi kardiorespirasi, hingga fungsi kognitif, fungsi keseimbangan,
koordinasi dan kualitas nyeri harus selalu dicantumkan agar managemen nyeri
menjadi lebih komprehensif.
P

5.3 MANAJEMEN NYERI


Manajemen simptomatik terhadap nyeri paska Covid-19, merupakan pilihan yang
AU

cepat (Widyadharma, IPE, et al., 2020) mendahului manajemen terapi lainnya.


Perhatian perlu difokuskan kepada farmakoterapi yang sekiranya berpotensi
merugikan kondisi penyintas Covid-19. Walaupun dari penelitian terkini NSAID
dan kortikosteroid relatif aman bagi penyintas Covid-19, namun penggunaannya
tetap harus berhati-hati, mengingat efek samping kedua jenis obat tersebut secara
umum (Sodhi, et al., 2020).

5.3.1 Manajemen Konservatif


Sebelum memberikan managemen yang lebih invasif, penatalaksanaan managemen
nyeri dimulai dari yang bersifat konservatif seperti pemberian farmakoterapi
hingga rehabilitasi mendahului managemen yang bersifat invasif.

BAB 5_Manajemen Nyeri & Rehabilitasi Medik Nyeri Paska Serangan Covid-19 59
a. Farmakoterapi: analgesik dan ko-analgesik atau adjuvan
• Analgesik: NSAID selective COX2 atau yang non selective, acethaminophen,
opioid lemah atau kuat. Pemberian NSAID pada penyintas Covid harus
dengan kehati-hatian, sehingga tidak berdampak memperburuk kondisi
penyintas Covid.
• Ko-analgesik: antikonvulsan, antidepresan, anaestesi lokal, steroid, muscle
relaxan, botulinum toxin, NMDA antagonis reseptor, dan kalsium channel
bloker. Steroid diberikan apabila perlu saja, dan sesuai dengan kondisi yang
betul-betul telah dipertimbangkan, mengingat efek samping steroid pada
imunitas dan penuruan densitas tulang.
• Step ladder WHO dalam manajemen nyeri dapat dilihat pada Gambar
5.2.
• Detail mengenai farmakoterapi dapat dilihat pada Tabel 5.2–5.6.
b. Rehabilitasi:

21
• Terapi dengan modalitas panas dalam dan superfisial, elektrik, laser,
disesuaikan dengan keperluan dan ketersediaan alat.
• Terapi relaksasi diberikan terutama pada pasien-pasien dengan kecenderungan
20
depresi atau stres. Terapi musik, massage, dan dancing merupakan salah satu
pilihan terapi relaksasi.
• Terapi latihan: streching, strengthening, endurance, re-edukasi neuromuskular,
koreksi postur dan pola gerak, terapi okupasi proper postur dan ergonomis,
manual mobilisasi atau manipulasi, hingga kognitif behaviour terapi.
P

• Terapi khusus: latihan William Flexion, Neck Calliet, pendulum bahu.


c. Psikologi: tes tingkat kecemasan bisa dimulai sebelum melakukan intervensi
AU

manajemen nyeri. Bedasarkan hasil tes bisa ditentukan manajemen intervensi


yang diperlukan.

5.3.2 Manajemen Intervensi/Minimal Invasif


Managemen intervensi diberikan apabila managemen konservatif gagal. Beberapa
contoh managemen intervensi atau minimal invasif yang biasanya diberikan
dalam managemen nyeri adalah :
a. Minimal invasif: blok saraf, epidural injeksi, PCA pump, stimulasi spinal, dan
blok neurolitik hingga ablasi saraf
b. Pembedahan
Gambar 5.2 merupakan analgesic ladder dari WHO dalam penanganan
nyeri

60 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


Gambar 5.2 Analgesic Step Ladder (Marco Cascella, 2020).

A. Transisi dari tiga step ladder ke empat step ladder dalam manajemen pain.
B. Tambahan step keempat untuk manajemen minimal invasif pada manajemen nyeri.

Tabel 5.2
21
Daftar analgesik NSAID yang biasanya digunakan dalam praktik sehari-hari (Gautam
Das, 2017).
20
Nama Obat Dosis Poin Khusus
Ibu Profen 200–800 (1200) 8–12 h Interferes with platelet aggregation and
clot formation, avoid use in patients with
bleeding diathesis. To be used with caution
in patients with asthma.
P

Diclofenac sodium 25–75 (200) 12 h Accumulates in synovial fluid, useful in OA,


RA. Should be avoided in children, pregnant
AU

and nursing women


Nimesulide 100 12 h COX-2 preferential inhibitor, lesser GI
irritation
Ketoprofen 300–600 6–8 h One high potency drug with fast elimination
Naproxen 250–500 (1375) 8–12 h Favorable GI profile plasma half-life is 13 h,
twice a day dose is enough
Piroxicam 20 (40) 12–24 h Long half-life thus to be used with caution in
elderly. Takes as long as 1 week to achieve
steady concentration
Etoricoxib 60–120 (180) 24 h COX-2 Specific inhibitors. In patients with
cardiac risk should be used with caution and
low dose aspirin to be added
Mefenamic acid 500 8–12 h Common side effect is diarrhea. May cause
severe pancytopenia

BAB 5_Manajemen Nyeri & Rehabilitasi Medik Nyeri Paska Serangan Covid-19 61
Tabel 5.3 Daftar Obat-Obat Antikonvulsan (Gautam Das, 2017).

Nama Obat Dosis Cara Kerja Efek Samping


Gabapentin Starting dose 100–300 HS Membrane stabilizer by Dizziness, somnolence,
Usual dose 900–3600 mg in binding at α2δ subunit of fatigue peripheral
3 divided doses L-type calcium channel edema
Max dose 4800/day
Pregabalin Starting dose is 75 mg HS. Membrane stabilizer by Dizziness, somnolence,
Usual dose 450–600 mg in binding α2δ subunit of fatigue peripheral
two divided doses. L-type calcium channel edema, ataxia
Carbamazepine Starting dose 100 mg/day Sodium channel blocker. Aplastic anemia,
Max dose 300–1000 mg/day Inhibit pain via agranulocytosis,
central and peripheral leukopenia, sedation,
mechanism gait alteration
Oxcarbazepine Starting dose 300 mg/day May be by modulating Risk of hyponatremia in
Max dose 1200–2400 mg/ voltage activated first few months
day calcium current
Topiramate Starting dose 50 mg/day Enhances action of Sedation, may

Lamotrigine 21
Max dose 200 mg/day GABA, inhibit AMPA
type glutamate
Starting dose 20–50 mg/day Prevent release of
Max dose 300–500 mg/day glutamate
predispose glaucoma
and renal calculi
Rash, drug should be
slowly tapered off
20
Tabel 5.4 Daftar Obat-Obat Antidepresan (Gautam Das, 2017)

Nama Obat Dosis Cara Kerja


Amitriptyline 10–25/12–24 h Caution in elderly male Urinary retention
P

Nortriptyline 10–25/12–24 h Better tolerated than amitriptyline


Duloxetine 20–60/12–24 h DOC in diabetic peripheral neuropathy and
fibromyalgia (FDA approved)
AU

Milnacipran 50–100/12–24 h FDA approved drug for fibromyalgia


Venlafaxine 37.5–112.5/12–24 h SNRI better tolerated
Desipramine 10–25/24 h Better tolerated TCA in elderly
Fluoxetine 10–60/12–24 h Agitation, weight loss, rashes

Tabel 5.5 Efek Samping Antidepresan (Gautam Das, 2017).

Efek
Klasifikasi Obat dan contoh Keterangan
Samping
Cardiovascular TCAs cause postural hypotension, Most serious in elderly patients
effects nortriptyline and doxepin less with increased risk of falling and
than imipramine, amitriptyline, hip fractures
desipramine, clomipramine
TCAs have also been shown to There might even be a risk of this
increase the incidence of cardiac side effect in patients without
arrhythmias in patients with evidence of cardiovascular disease.
existing cardiac disease.

62 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


Efek
Klasifikasi Obat dan contoh Keterangan
Samping
Sedation Common with all TCAs; The sedating TCAs are often used
nortriptyline less common and the at night to take advantage of their
SSRIs and desipramine can produce sedation. To avoid falling, care
insomnia should be taken with patients who
frequently get up at night.
Anticholinergic Imipramine, amitriptyline and Manifested by dry mouth,
effects doxepin show strong effects, less constipation, and urinary retention
so with nortriptyline, desipramine,
SSRIs lack this effect
Weight change TCAs cause increased appetite, Consider drug class based on
SSRIs can lead to anorexia and weight goals for patient.
some weight loss.
Sexual TCAs and SSRIs have all been Consider dose reduction or plan
dysfunction reported to have sexual side sexual activity with trough levels
effects. of drug.
Psychiatric Use TCAs with caution in suicidal Seek psychiatric help for patients
complications

Withdrawal
symptoms
21
patients; can trigger mania in
bipolar patients
Both SSRIs and TCAs
with complicated psychological
history.
Wean all antidepressants; avoid
abrupt discontinuation.
20
Central serotonin Can be caused by combinations of Use these combinations with
syndrome SSRIs and TCAs caution.
Analgestic Strong analgesics include Balance dose, side effects, and
effects imipramine, amitripty line, analgesic activity; consider adding
nortriptyline, and desipramine. anticonvulsant to lower antidepres-
Less analgesics are SSRIs. sant dose when partial response to
P

Venlafaxine and bupropion might antidepressant alone


have some analgesic activity.
AU

Tabel 5.6 Obat-Obatan Muscle Relaxan (Gautam Das, 2017).

CNS Depressants
Antihistamine—orphenadrine
sedative—carisoprodol, chlorzoxazone, metaxalone, methocarbamol
TCA-like—cyclobenzaprine
Central a2 Agonists
Tizanidine
GABA Agonists
Baclofen, benzodiazepines
CNS, central nervous system, GABA, gamma-aminobutyric acid; TCA, tricyclic
antidepressant.

BAB 5_Manajemen Nyeri & Rehabilitasi Medik Nyeri Paska Serangan Covid-19 63
Tabel 5.7 Ringkasan hasil penelusuran artikel ilmiah dengan kata kunci pain after Covid-19, pain management and rehabilitation after
Covid-19.

No Author/thn Judul Metode Hasil /kesimpulan Keterangan

64
1 Clauw DJ, Häuser W, Considering the potential for an Review Nyeri akibat Covid-19 bisa Nyeri karena:
Cohen SP, Fitzcharles increase in chronic pain after the bersifat nosiseptif, neuropatik, - infeksi covid
MA/2020 Covid-19 pandemic & nosiplastik. - eksaserbasi
- stres/depresi
- aktivitas rendah
2 Kemp HI, Corner E, Chronic pain after Covid-19: Review Nyeri kronis setelah ICU 14–77% Merupakan tantangan bagi layanan rehabilitasi
Colvin LA/2020 implications for rehabilitation. & menjadi faktor penting yang
memengaruhi kemampuan untuk
AU
kembali bekerja.
3 Micallef J, Soeiro T, Non-steroidal anti-inflammatory Review NSAID untuk gejala yang tidak alternatif obat yang lebih aman, seperti
Jonville-Béra AP/2020 drugs, pharmacology, and Covid-19 parah (demam, nyeri, atau parasetamol sesuai dosis dianjurkan
infection
P mialgia) tidak dianjurkan.
4 Bolay H, Gül A, Baykan Covid-19 is a Real Headache Review Sakit kepala 11–34% dari pasien Patofisiologis sakit kepala: aktivasi ujung saraf
B/2020 Covid-19 yang dirawat di rumah trigeminal perifer oleh SARS-CoV-2 secara

Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


sakit langsung atau melalui vaskulopati dan/atau
peningkatan sitokin pro-inflamasi dan hipoksia
5 Manchikanti L et Steroid Distancing in Interventional Review Lokal anestetik seperti lidocain Steroid dipakai pada kasus tidak berespons
20
al./2020 Pain Manajement During Covid-19 sudah cukup untuk IPM epidural dengan lokal anestetik mengingat efek
and Beyond: Safe, Effective and injeksi sampingnya.
Practical Approach
6 Zolk O, Hafner S, Covid-19 pandemic and therapy Review NSAID harus digunakan dengan Penggunaan NSAID sebaiknya hanya pada pada
21
Schmidt CQ/2020 with ibuprofen or renin- dosis efektif terendah untuk fase kedua dari SAR CoV-2
angiotensin system blockers: no periode sesingkat mungkin
need for interruptions or changes
in ongoing chronic treatments
7 Tauben DJ et al./ 2020 Optimizing telehealth pain care Review Telehealth sebagai alternatif Layanan teleheath perlu lebih ditingatkan
after Covid-19 manajemen nyeri terbukti efektif khususnya pada manajemen nyeri
5.4 RINGKASAN
Mekanisme nyeri pasca Covid-19 dapat bersifat nosiseptif, neuropatik, maupun
nosiplastik. Nyeri nosiseptif disebabkan kerusakan jaringan somatik baik oleh
karena cedera maupun infeksi seperti virus. Adapun nyeri neuropatik disebabkan
kerusakan jaringan saraf atau nosiseptif dengan rangsangan sensitisasi yang
abnormal. Nyeri nosiplastik merupakan istilah baru, yang mencakup nyeri
nosiseptif yang lebih luas (Clauw, et al., 2020).
Berdasarkan durasinya, nyeri dapat dibagi menjadi nyeri akut dan nyeri
kronis. Nyeri akut adalah nyeri yang berlangsung tidak lebih dari 3 bulan, sedang
nyeri kronis berlangsung lebih dari 3 bulan. (Campbell, 2010).
Manajemen nyeri dan rehabilitasi pada penyintas Covid-19, harus didahului
dengan menegakkan diagnosis klinis dan diagnosis fungsi, sehingga intervensi
yang diberikan bersifat komprehensif. Manajemen simptomatik terhadap nyeri

21
pasca Covid-19, merupakan pilihan yang tepat (Widyadharma, et al., 2020).
Pemberian farmakologi berdasarkan step ladder WHO. Penggunaan NSAID
dan steroid khususnya pada prosedur intervensi nyeri pasca Covid harus dengan
pertimbangan yang matang (Sodhi, et al., 2020; Manchikanti, et al., 2020). Tiga
20
komponen rehabilitasi manajemen nyeri pada penyintas Covid-19 (fleksibilitas,
kekuatan dan endurance khususnya kardiorespirasi) harus diberikan secara
terstruktur dan terukur.
Intervensi minimal invasif maupun pembedahan dapat dipertimbangkan
P

pada kondisi dimana managemen konservatf gagal, pada nyeri kronis atau level
nyeri menengah ke berat, hingga berat. Telerehabilitasi sesuai indikasi merupakan
AU

jawaban bagi layanan kesehatan di era pandemi, termasuk managemen nyeri pada
penyintas Covid-19.

DAFTAR PUSTAKA
Anekar, A.A., Cascella, M. WHO Analgesic Ladder. In: StatPearls [Internet]. Treasure
Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan. Available from: https://www.ncbi.
nlm.nih.gov/books/NBK554435
Arca, K.N., Smith, J.H., Chiang, C.C. et al. 2020. Covid-19 and headache medicine:
a narrative review of Non-Steroidal Anti-Inf lammatory Drug (NSAID) and
corticosteroid use. Headache, 60(8):1558-1568. doi: 10.1111/head.13903. Epub
2020 Jul 10. PMID: 32648592; PMCID: PMC7404408.
Bolay, H., Gül, A., Baykan, B. 2020. Covid-19 is a Real Headache! Headache, 60(7):1415-
1421. doi: 10.1111/head.13856. Epub 2020 May 27. PMID: 32412101; PMCID:
PMC7272895.

BAB 5_Manajemen Nyeri & Rehabilitasi Medik Nyeri Paska Serangan Covid-19 65
Campbell, A., Rodin, R., Kropp, R., Mao, Y., Hong, Z., Vachon, J., Spika, J., Pelletier, L.
2010. Risk of severe outcomes among patients admitted to hospital with pandemic
(H1N1) influenza. CMAJ, 182:349–55.
Clauw, D.J., Häuser, W., Cohen, S.P., Fitzcharles, M.A. 2020. Considering the potential
for an increase in chronic pain after the Covid-19 pandemic. Pain, 161(8):1694-
1697. doi: 10.1097/j.pain.0000000000001950. PMID: 32701829; PMCID:
PMC7302093.
Das, G. 2017. Basic of Pain Manajement. CBS Publishers & Distributors Pvt Ltd,
India.
Kemp, H.I., Corner, E., Colvin, L.A. 2020. Chronic pain after Covid-19: implications
for rehabilitation. Br J Anaesth, 125(4):436-440. doi: 10.1016/j.bja.2020.05.021.
Epub 2020 May 31. PMID: 32560913; PMCID: PMC7261464.
Li, H., Chen, C., Hu, F., Wang, J., Zhao, Q., Gale, R.P., Liang, Y. 2020. Impact of
corticosteroid therapy on outcomes of persons with SARS-CoV-2, SARS-CoV,
or MERS-CoV infection: a systematic review and meta-analysis. Leukemia,

21
34(6):1503-1511. doi: 10.1038/s41375-020-0848-3. Epub 2020 May 5. PMID:
32372026; PMCID: PMC7199650.
Manchikanti, L., Kosanovic, R., Vanaparthy, R., Vangala, B.P., Soin, A., Sachdeva, H.,
Shah, S., Knezevic, N.N., Hirsch, J.A. 2020. Steroid distancing in interventional
20
pain management during Covid-19 and beyond: safe, effective and practical
approach. Pain Physician, 23(4S):S319-S350. PMID: 32942792.
Marks, M., Marks, J.L. 2016. Viral arthritis. Clin Med, 16(2):129–134. doi: 10.7861/
clinmedicine.16-2-129.
Micallef, J., Soeiro, T., Jonville-Béra, A.P. 2020. French Society of Pharmacology,
P

Therapeutics (SFPT). Non-steroidal anti-inflammatory drugs, pharmacology, and


Covid-19 infection. Therapie, 75(4):355-362. doi: 10.1016/j.therap.2020.05.003.
AU

Epub 2020 May 7. PMID: 32418728; PMCID: PMC7204680.


Sodhi, M., Etminan, M. 2020. Safety of ibuprofen in patients with Covid-19: causal or
confounded? Chest, 158(1):55-56. doi: 10.1016/j.chest.2020.03.040. Epub 2020
Mar 31. PMID: 32243944; PMCID: PMC7151542.
Tauben, D.J., Langford, D.J., Sturgeon, J.A., Rundell, S.D., Towle, C., Bockman,
C., Nicholas, M. 2020. Optimizing telehealth pain care after Covid-19. Pain,
161(11):2437-2445. doi: 10.1097/j.pain.0000000000002048. PMID: 32826752;
PMCID: PMC7566302.
Uppal, V., Sondekoppam, R.V., Landau, R., El-Boghdadly, K., Narouze, S., Kalagara,
H.K.P. 2020. Neuraxial anaesthesia and peripheral nerve blocks during the Covid-
19 pandemic: a literature review and practice recommendations. Anaesthesia,
75(10):1350-1363. doi: 10.1111/anae.15105. Epub 2020 May 14. PMID: 32344456;
PMCID: PMC7267450.

66 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


Widyadharma, I.P.E., Dewi, P.R., Wijayanti, I.A.S., Utami, D.K.I. 2020. Pain related
viral infections: a literature review. Egypt J Neurol Psychiatr Neurosurg, 56(1):105.
doi:10.1186/s41983-020-00238-4.
Ye, Z., Wang, Y., Colunga-Lozano, L.E., Prasad, M., Tangamornsuksan, W., Rochwerg,
B., Yao, L., Motaghi, S., Couban, R.J., Ghadimi, M., Bala, M.M., Gomaa, H.,
Fang, F., Xiao, Y., Guyatt, G.H. 2020. Efficacy and safety of corticosteroids in
Covid-19 based on evidence for Covid-19, other coronavirus infections, influenza,
community-acquired pneumonia and acute respiratory distress syndrome: a
systematic review and meta-analysis. CMAJ, 192(27):E756-E767. doi: 10.1503/
cmaj.200645. Epub 2020 May 14. PMID: 32409522.
Yousefifard, M., Zali, A., Zarghi, A., Neishaboori. A.M., Hosseini, M., Safari, S. 2020.
Non-steroidal anti-inflammatory drugs in management of Covid-19; a systematic
review on current evidence. Int J Clin Pract, 74(9):e13557. doi: 10.1111/ijcp.13557.
Epub 2020 Jun 14. PMID: 32460369; PMCID: PMC7267090.

21
20
P
AU

BAB 5_Manajemen Nyeri & Rehabilitasi Medik Nyeri Paska Serangan Covid-19 67
AU
P
20
21
BAB 6

Rehabilitasi Kardiorespirasi
Pasca Serangan Covid-19
pada Usia Muda

21
Dewi Poerwandari, Nur Sulastri, Inggar Narasinta
20
6.1 PENGANTAR
P

Penyebaran global pandemi Covid-19 yang dimulai Desember 2019 di Wuhan,


China, tidak membutuhkan waktu lama telah dirasakan di berbagai negara.
AU

Penyebab pandemi yang disebabkan infeksi SARS-CoV-2 juga dikenal sebagai


Coronavirus, ditetapkan World Health Organization (WHO) sebagai pandemi
sejak Maret 2020 dan menyarankan ke seluruh negara untuk mengantisipasi
pandemi ini (Boseley, WHO, 2020).
Presentasi atau gejala yang tampak dari pasien Covid-19 bervariasi sesuai
sistem organ yang terkena, dengan gejala umum di sistem respirasi sebesar
80% mulai dari tak bergejala; gejala ringan; seperti infeksi saluran napas atas,
pneumonia ringan hingga 14% sesak; hipoksia dan infiltrasi pada paru dalam
waktu 24–48 jam yang menyebabkan penyakit paru restriktif, sedangkan 5%
berkembang menjadi kondisi kritis yang mengarah ke gagal napas, syok septik dan
atau gagal fungsi organ multipel (Cascella, et al, 2020). Terapi utama berdasarkan
gejala yang didapatkan, seperti terapi oksigen. Belum disepakati terapi definitif
yang direkomendasikan serta belum tersedianya vaksin saat ini. Ventilasi baik

69
mekanik maupun noninvasif diperlukan saat terjadi gagal napas dan setelah
gagal napas mengalami perbaikan namun masih membutuhkan alat bantu
respirasi, demikian halnya dengan support hemodinamik saat terjadi syok septik
(Cascella, et al, 2020). Masih terasa sulit untuk menghubungkan antara kebugaran
fisik premorbid dan status kesehatan jasmani berdampak langsung terhadap
penampakan klinis penyakit Covid-19. Observasi faktor penyakit akibat gaya
hidup yang berusaha dihubungkan, seperti obesitas, resistensi insulin, dan diabetes
dengan peningkatan risiko masuk rumah sakit dan kematian. Fakta tersebut
mendukung dugaan kebugaran kardiorespirasi dapat melindungi perburukan
gejala Covid-19. Gaya hidup tersebut berhubungan dengan kebiasaan sedentari,
kebiasaan asupan nutrisi yg buruk dan kurangnya latihan fisik, juga dosis latihan
moderat dapat dihubungkan dengan tingkat inflamasi dalam tubuh.

6.2 INTERVENSI REHABILITASI

21
Rehabilitasi merupakan komponen kunci pemulihan penyakit dan intervensi
kesehatan secara umum sebagai bagian intervensi klinis tata laksana pasien
20
dengan kondisi klinis yang bervariasi dan efektif sebagai luaran klinis. Sebagian
besar bukti efektifitas rehabilitasi berawal dari sumber manajemen komprehensif
pasien stroke (Langhorn, et al, 1993). Faktor yang sangat memengaruhi luaran
layanan rehabilitasi meliputi jadwal intervensi rehabilitasi, intensitas dan frekuensi
input data pasien. Bukti klinis menunjukkan bahwa terapi (fisik, okupasi,
P

psikologis, bicara dan bahasa) memperbaiki luaran fungsional pada pasien dengan
gangguan neurologis, seperti stroke (Langhorn, et al, 1993). Perbaikan pada luaran
AU

tergantung respon dari dosis latihan: semakin besar dosis terapi, semakin baik
luaran fungsional (Kwakkel, et al, 1997). Pada umumnya, pasien mendapatkan
dosis terapi suboptimal karena keterbatasan sumber daya manusia dan akses ke
tempat latihan. Semakin banyak pasien pasca Covid-19 yang melewati fase akut,
berakibat fase pemulihan yang melibatkan rehabilitasi semakin meningkat. Bukti
klinis yang dipublikasi Perhimpunan Spesialis Rehabilitasi Cina mengidentifikasi
kebutuhan rehabilitasi pulmonar untuk pasien pasca Covid-19. Rehabilitasi
pulmonar direkomendasikan untuk memperbaiki fungsi paru, toleransi latihan
fisik dan mengurangi kelelahan saat beraktivitas fisik pada pasien pasca Covid-
19, terutama pasca rawat inap di rumah sakit (Zhao, et al, 2020 ). Rehabilitasi
pulmonar telah dilaksanakan terutama untuk pasien paru kronis. Beberapa
pedoman rehabilitasi pulmonar telah digunakan di berbagai belahan dunia,
misalnya dari Inggris yang diterbitkan oleh National Institute for Health and

70 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


Care Excellence (NICE, 2017) yang diperuntukkan bagi pasien pasca penyakit
kritis. Pedoman ini merekomendasikan, asesmen fungsional untuk menentukan
kemampuan fisik dan non fisik yang menurun serta kemampuan yg akan dicapai
setelah diberikan layanan rehabilitasi pasca penyakit kritis saat akan keluar rumah
sakit. Pemantauan juga dilakukan dua sampai tiga bulan pasca keluar rumah sakit
saat pasien sudah kembali ke kehidupan sosialnya. Asesmen sebaiknya dilakukan
oleh dokter yang kompeten dalam perawatan pasien kritis dan rehabilitasi untuk
menentukan penurunan fungsi yang terjadi pada pasien. Pedoman asesmen
fungsi merupakan kerangka besar asesmen terhadap gangguan fungsi, yang salah
satunya merupakan asesmen fungsi dari defisit fungsional akibat konsekuensi
deconditioning yang sering menyertai lamanya perawatan di ICU. Pada situasi
Covid-19, lebih ditekankan pentingnya prevensi penyebaran infeksi virus dengan
menekan pergerakan manusia dalam komunitas. Pembatasan pergerakan memiliki
dampak terhadap layanan rehabilitasi sebelum Covid-19 yang membutuhkan

21
tatap muka antara dokter dan tim rehabilitasi dengan pasien. Pada saat pandemi,
metode alternatif untuk menetapkan, menjalankan serta memonitor program
rehabilitasi pulmonar dibutuhkan sehingga layanan rehabilitasi pulmonar
20
tetap dapat dilaksanakan. Zhao, et al (2020) membuat rekomendasi rehabilitasi
pulmonar pada pasien Covid-19 meliputi: 1) pasien rawat inap dengan Covid-19,
layanan rehabilitasi pulmonar sebaiknya diarahkan untuk mengurangi keluhan
dan gejala sesak, kecemasan dan depresi serta ditujukan untuk meningkatkan
fungsi fisik, sebagai bagian dari kualitas hidup; 2) untuk pasien rawat inap yang
P

parah atau kritis, rehabilitasi pulmonar dini masih dipertimbangkan manfaatnya;


3) untuk pasien isolasi mandiri di komunitas, pedoman rehabilitasi pulmonar
AU

disampaikan lewat media visual, seperti video, instruksi manual dalam bentuk
leaflet atau telerehabilitasi; 4) asesmen dan monitor selama proses rehabilitasi
pulmonar dilakukan untuk memperoleh gambaran utuh tentang layanan dan
luaran program rehabilitasi pulmonar pada pasien yang membutuhkan; 5) Personal
Protection Equipment ( PPE ) yang sesuai wajib dilakukan saat implementasi
layanan tatap muka. Layanan rehabilitasi pulmonar tatap muka bermanfaat
untuk pasien penyakit respiratori kronis, secara umum lewat perbaikan gejala
dan tanda klinis serta kapasitas fungsional. Layanan rehabilitasi pulmonar
bertujuan memperbaiki fungsi otot dibanding efek langsung pada fungsi paru.
Fokus latihan fisik pada rehabilitasi pulmonar di titikberatkan pada latihan
kebugaran dan latihan penguatan otot, latihan napas, posisi postural drainage,
edukasi pasien, dan latihan relaksasi. Rehabilitasi pulmonar sebelumnya telah
terbukti meminimalkan gejala dan tanda pasien penyakit paru obstruksi kronik,

BAB 6_Rehabilitasi Kardiorespirasi Pasca Serangan Covid-19 pada Usia Muda 71


hal ini dapat menurunkan dampak disabilitas dan memperbaiki kualitas hidup
(Lan, et al, 2013). Layanan rehabilitasi pulmonar memperbaiki kemandirian
beraktivitas pasien dan dapat meningkatkan partisipasi pasien dalam aktivitas
fisik dan sosial, juga menurunkan kebutuhan layanan kesehatan secara umum
melalui pengurangan angka masuk rumah sakit. Respons pasien terhadap layanan
rehabilitasi pulmonar masih beragam, meski telah jelas manfaatnya sebagaimana
laporan-laporan ilmiah yang mendukung fungsi layanan rehabilitasi pulmonar,
tetapi kepatuhan untuk menjalankan program rehabilitasi pulmonar di rumah
sakit masih memerlukan sosialisasi yang lebih sistematis (Rochester, et al, 2017).
Program rehabilitasi pulmonar membuat setiap program spesifik untuk setiap
pasien sehingga tata laksana rehabilitasi pulmonar sesuai untuk kebutuhan tiap
individu, yang diharapkan luaran dari program rehabilitasi pulmonar membantu
perbaikan fungsional dari masing-masing pasien, termasuk terapi psikis yang
ikut ambil bagian dalam pelaksanaan rehabilitasi pulmonar. Komposisi dan

21
pendekatan rehabilitasi pulmonar yang telah dijalankan untuk penyakit paru
kronik juga diperlukan dalam rehabilitasi pulmonar pasien pasca Covid-19 yang
rata-rata masih menunjukkan gejala sisa pasca perawatan di rumah sakit.
20
6.3 PROTOKOL INTERVENSI REHABILITASI COVID-19 BERDASARKAN
INTERNATIONAL CLASSIFICATION OF FUNCTIONING DISABILITY
AND HEALTH (ICF)
P

Zen, et al. (2020) membuat protokol intervensi rehabilitasi berdasarkan ICF


dirancang untuk pasien Covid-19 berdasarkan diagnosis, status fungsional, dan
AU

kebutuhan rehabilitasi pasien.


1. Lingkungan dan pengaturan, pengukuran, dan prinsip rehabilitasi
Bagan kerja WHO-FICs menyatakan layanan rehabilitasi untuk Covid-19
dapat dilakukan di rumah sakit, institusi rehabilitasi khusus dan komunitas
(layanan kesehatan primer ). Ruang lingkup layanan rehabilitasi meliputi:
preventif-promosi kesehatan, terapeutik, paliatif sesuai kebutuhan pasien.
Idealnya, layanan rehabilitasi ditujukan ke setiap individu sesuai dengan
kebutuhan perbaikan fungsionalnya. Sesi terapeutik dari rehabilitasi sebaiknya
dilakukan di rumah sakit saat pasien dirawat inap. Preventif dan edukasi
kesehatan diberikan saat pasien keluar dari rumah sakit atau saat di rawat
jalan. Dokter spesialis rehabilitasi dan tim rehabilitasi merancang program
rehabilitasi sesuai dengan kondisi kesehatan pasien dan kebutuhan perbaikan
fungsionalnya.

72 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


2. Rehabilitasi pulmonar
2.1. Latihan rehabilitasi intensif
Manifestasi klinis Covid-19 secara umum adalah gangguan respirasi
dengan konsolidasi paru dan obstruksi jalan napas akibat menumpuknya
sekret (Qiu, et al, 2011). Rehabilitasi pulmonar juga berperan pada fase
akut. Pertimbangan perubahan patologis pada sistem respirasi yang
terjadi pada Covid-19 saat membuat program rehabilitasi pulmonar.
Berbagai macam teknik rehabilitasi pulmonar seperti mobilisasi toraks,
latihan pembersihan jalan napas, latihan pernapasan diaplikasikan pada
pasien Covid-19 sehinga dapat memperbaiki fungsi respirasinya.
2.2. Penjadwalan intervensi rehabilitasi
Saat ini belum didapatkan konsensus internasional kapan waktu optimal
untuk menjalankan layanan rehabilitasi pada Covid-19, pertimbangan
manfaat dan risiko saat layanan rehabilitasi dilakukan menjadi poin saat

21
program rehabilitasi direncanakan. Pasien sakit kritis, terapi rehabilitasi
dilaksanakan bila tanda vital stabil dan dimonitor selama pelaksanaan
layanan rehabilitasi. Dokter rehabilitasi bersama tim rehabilitasi
20
sebaiknya berkomunikasi dengan sejawat dokter dan tenaga kesehatan
lain di mana layanan rehabilitasi dilakukan. Evaluasi keamanan terapi
rehabilitasi saat layanan dilakukan dan menghindari akibat iatrogenic
terapi rehabilitasi (Balas, et al, 2014)
3. Latihan pembersihan jalan napas
P

Sesuai dengan kebutuhan bersihan jalan napas pada pasien, dapat


dilakukan drainase postural, terapi manual (mis. vibrasi, clapping) dengan
AU

mempertimbangkan kecukupan cairan dari pasien yang dapat memengaruhi


viskositas sputum.
4. Pengaturan posisi pasien
Pasien dengan sesak, batuk, dan gejala lain, posisi duduk atau berdiri dapat
meningkatkan aktivitas diafragma, memperbaiki ventilasi/perfusi paru,
meningkatkan tidal volume, memperbaiki peak cough flow rate, dan mengurangi
sesak napas. Penentuan posisi drainase postural ditentukan oleh dokter
rehabilitasi sesuai dengan klinis dan foto toraks pasien. Mobilisasi dini
sesuai kondisi pasien tetap menjadi salah satu program rehabilitasi untuk
mencegah komplikasi imobilisasi lama, memperbaiki fungsi kardiorespirasi
dan mempercepat fase pemulihan.

BAB 6_Rehabilitasi Kardiorespirasi Pasca Serangan Covid-19 pada Usia Muda 73


5. Latihan pernapasan
Kontrol pernapasan, pernapasan diafragma secara signifikan memperbaiki
work of breathing, mengurangi kepanikan pasien akibat sesak napas.
6. Terapi latihan
Terapi latihan merupakan salah satu komponen rehabilitasi yang dapat
memperbaiki kapasitas fungsional kardiorespirasi; mengurangi efek imobilisasi
lama; secara tidak langsung berkontribusi pada perbaikan sistem organ
secara keseluruhan. Terapi latihan yang dikenal saat ini terdiri dari latihan
aerobik; latihan penguatan otot; latihan balans; latihan koordinasi. Preskripsi
latihan terdiri dari frekuensi-intensitas-tipe-durasi latihan serta evaluasi yang
mempertimbangkan rasional-beban latihan-dapat diulang-spesifitas yang
masuk dalam perencanaan program terapi latihan sesuai kebutuhan individu
yang akan diberi program terapi latihan (Qiu, et al., 2011; Balas, et al., 2014;
Ixu and Pengming, 2014; Mingsheng and Zeguang, 2019; Rochester, et al.,
2015; ACSM, 2019).
21
6.1 Latihan aerobik (endurance)
Monitor selama latihan aerobik terdiri atas tanda vital (tensi, denyut
20
jantung, laju pernapasan per menit dan saturasi oksigen)
a. Intensitas: fase akut, diberikan intensitas rendah, sejalan dengan
perbaikan klinis, intensitas dapat dinaikkan menjadi moderat atau
tinggi saat di rawat jalan;
b. Frekuensi: pasien dengan kondisi lemah dengan toleransi latihan
P

rendah diberikan frekuensi latihan sehari sekali atau dua kali, bila
toleransi latihan rendah, durasi dibuat pendek dengan frekuensi yang
AU

ditambah;
c. Durasi: bila memungkinkan setiap kali latihan aerobik dilakukan
selama 30-60 menit, namun dapat dibagi dalam durasi yang lebih
singkat bila toleransi pasien masih rendah;
d. Tipe: macam latihan dapat disesuaikan dengan kebiasaan pasien atau
yang mirip dengan aktivitas sehari-harinya.
6.2. Latihan penguatan otot
a. Intensitas: awal latihan diberikan intensitas rendah bertahap
meningkat sesuai toleransi pasien dengan tujuan mempertahankan
massa otot. Pasien Covid-19 memerlukan pengaturan dosis latihan
yang bisa naik-turun sesuai kondisinya;
b. Frekuensi: rendah sampai moderat dapat diberikan 1–2 kali per hari,
sedangkan intensitas tinggi dapat diberikan interval satu hari;

74 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


c. Metode: latihan penguatan secara progresif umum dilakukan untuk
latihan penguatan otot, mulai dengan beban dari berat badan sendiri
melawan gravitasi sampai diberikan beban tambahan dengan alat.
Latihan penguatan dilakukan pada grup otot-otot besar.
6.3. Latihan fleksibilitas sendi
Tirah baring lama menyebabkan kekakuan sendi/kontraktur.
Pasien diajari latihan gerakan sendi baik aktif maupun pasif untuk
mempertahankan luas gerak sendi yang normal, dapat dilakukan 1–2 kali
per hari sekaligus mempertahankan joint position. Pasien dengan sakit
berat, mungkin tidak dapat latihan luas gerak sendi secara aktif, bisa
dibantu orang lain atau alat bantu latihan saat berlatih, yang dikatakan
dapat mencegah risiko deep vein thrombosis.
7. Alat-alat modalitas terapi
a. Terapi ultraviolet: whole body ultraviolet dapat meningkatkan imunitas pada

21
pasien bergejala ringan sampai moderat, namun tidak direkomendasikan
bagi pasien dengan gejala berat.
b. Terapi low frequency neuromuscular electrical stimulation (NMES): aplikasi
20
NMES pada otot respirasi atau pada otot skeletal perifer dapat memperbaiki
performa otot respirasi dan otot skeletal perifer dengan tujuan mencegah
disuse atrophy.
8. Latihan bernapas dalam
Latihan bernapas dalam difokuskan pada koordinasi gerakan diafragma
P

dengan gerakan togok dan ekstremitas atas sehingga fungsi diafragma sebagai
otot napas utama dapat optimal bersamaan dengan latihan togok dan sendi
AU

yang berkaitan langsung dengan diafragma.


9. Konsultasi psikologi
Beberapa kasus Covid-19 menunjukkan, peran kestabilan psikis turut
andil dalam perjalanan penyakit bahkan pada fase pemulihan, sehingga
pertimbangan asesmen psikis pasien termasuk di dalam layanan rehabilitasi
(Bin, Guiying and Minzeng, 2019; WHO, 2017 ). Pasien yang menerima
layanan rehabilitasi di layanan kesehatan dirawat inap maupun rawat jalan,
perlu dipertimbangkan dukungan psikologis karena pengendalian panik
akibat penyakit Covid-19 setidaknya berpengaruh terhadap kualitas hidup
yang bersangkutan. Layanan psikologis ini bertujuan membantu mendapatkan
informasi kesehatan yang terpercaya tentang pandemik dan impak Covid-19,
apa yang seharusnya dilaksanakan serta mencegah stres yang berkepanjangan
(Qiu et al, 2020).

BAB 6_Rehabilitasi Kardiorespirasi Pasca Serangan Covid-19 pada Usia Muda 75


10. Edukasi kesehatan
Partisipasi pasien dalam beraktivitas fisik sesuai toleransi, termasuk usia,
membantu pemulihan sistem organ yang terserang Covid-19 terutama
sistem kardiorespirasi yang terdampak langsung. Kemampuan balans dan
mempertahankan stabilitas satu posisi pada lansia juga perlu diberikan dalam
edukasi sehingga pasca menderita Covid-19, individu tersebut dapat mandiri
menjalankan aktivitas sehari-hari bahkan aktivitas sosialisasinya. Media
telerehabilitasi, baik berupa video, leaflet, atau buku petunjuk latihan yang
sesuai dengan kebutuhan pasien sangat membantu tercapainya kapasitas
fungsional tiap individu.
11. Pertimbangan penghentian layanan rehabilitasi
Penundaan atau penghentian layanan rehabilitasi dapat dijumpai pada kondisi:
satu, Kelelahan sangat dengan Borg Dyspnea Scale >3 dari 10 skala, yang tidak
berkurang walau pasien sudah istirahat; dua, rasa ketat di dada, sufokasi,

21
pusing, nyeri kepala, pandangan kabur, palpitasi, berkeringat berlebihan,
dan ketidakmampuan mempertahankan balans. Pada pasien Covid-19,
direkomendasikan untuk menghentikan latihan, apabila: satu, saturasi oksigen
20
kurang atau sama dengan 90% atau turun 40% dari nilai sebelum latihan,
frekuensi pernapasan lebih dari 40x/ menit, sesak, kelelahan yang sangat;
dua, sistem kardiovaskular; tekanan sistolik kurang dari 90 mm Hg atau lebih
dari 180 mmHg; mean arterial pressure kurang dari 65 mmHg atau lebih dari
110 mmHg atau perubahan dibanding sebelum latihan sebesar 20%, denyut
P

jantung kurang dari 40 x/ menit atau lebih dari 120 x/ menit, aritmia baru
dan iskemia miokard; tiga, kesadaran menurun, saat pasien kehilangan kontrol
AU

terhadap diri sendiri.

6.4 LAYANAN TELEREHABILITASI


Telerehabilitasi memberikan alternatif model layanan rehabilitasi yang tetap
sesuai dengan kebutuhan pasien dengan defisit fungsional dengan memperhatikan
pembatasan jarak, di mana layanan ini dapat berupa layanan daring dengan
mempertimbangkan luaran yang dapat diperoleh meskipun berbeda dengan
layanan tatap muka yang biasanya diterima pasien yang membutuhkan rehabilitasi.
Telerehabilitasi dapat diberikan saat pasien pasca rawat inap dengan persiapan
dan edukasinya. Asesmen sebelum dilakukan telerehabilitasi mempertimbangkan
kondisi klinis pasien, kebutuhan perbaikan fungsional yang diharapkan, monitor
yang memungkinkan dilakukan selama telerehabilitasi serta perangkat media

76 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


serta kesiapan pasien-keluarga-komunitas dalam pelaksanaan telerehabilitasi.
Hambatan kemampuan mengakses telerehabilitasi dijumpai pada pasien gangguan
kognisi, penyakit kejang berat, gangguan kontrol balans berat, gangguan
sensori atau komunikasi, disarankan ada care giver atau dari komunitas dapat
menjembatani kesenjangan tersebut (Kairy, et al, 2009)

6.5 RINGKASAN
Pandemi Coronavirus masih berlangsung dan dampaknya pada penggunaan
layanan kesehatan. Pasien pasca Covid-19 yang berhasil keluar dari rumah sakit
masih memiliki gangguan fungsional dalam aspek rehabilitasi. Keterbatasan
layanan karena risiko penularan baik untuk pasien maupun tenaga kesehatan
membuat layanan kesehatan mengalami modifikasi selain tatap muka yang
telah dikenal dan dijalankan sejak lama. Penawaran terhadap pasien yang dapat

21
mengakses telerehabilitasi memudahkan monitor luaran program rehabilitasi,
walaupun terkadang butuh kontrol dari komunitas di sekitar pasien untuk
memastikan bahwa program rehabilitasi dapat berjalan sesuai harapan. Oleh
20
karenanya diperlukan modifikasi antara layanan tatap muka dilanjutkan
dengan telerehabilitasi yang dapat diakses oleh komunitas di sekitar pasien.
Program rehabilitasi selama pandemi yang banyak disebutkan dan dilaksanakan,
meliputi rehabilitasi pulmonar, dukungan psikologis, dan edukasi nutrisi. Masih
diperlukan layanan tatap muka bagi pasien yang mengalami gangguan balans dan
P

kemungkinan terjadi risiko infeksi lanjut. Partisipasi aktif dari pasien, keluarga,
maupun komunitas di sekitar pasien membantu kesenjangan antara layanan
AU

rehabilitasi rawat inap dengan rawat jalan bahkan saat pasien sudah aktif di
kehidupan sosialnya.

DAFTAR PUSTAKA
Balas, M.C., Vasilevskis, E.E., Olsen, K.M., et al. 2014. Effectiveness and safety of the
awakening and breathing coordination, delirium monitoring/management, and
early exercise/mobility bundle. Crit Care Med, 42(5): 1024– 1036.
Bin, Z., Guiying, L., Mingsheng, Z. 2019. Disability and Rehabilitation in the elderly.
Chin J Geriatr, 38(10): 1101-1103.
Boseley, S. 2020. WHO Declares Coronavirus Pandemic. Available online: https://www.
theguardian.com/world/2020/mar/11/who-declares-coronavirus-pandemic.
Cascella, M., Rajnik, M., Cuomo, A., Dulebohn, S.C., Di Napoli, R. 2020. Features,
Evaluation and Treatment Coronavirus (Covid-19). In StatPearls (Internet);

BAB 6_Rehabilitasi Kardiorespirasi Pasca Serangan Covid-19 pada Usia Muda 77


StatPearls Publishing: Treasure Island, FL, USA, 2020. Available online: https://
www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK554776/.
Kairy, D., Lehoux, P., Vincent, C., Visintin, M. 2009. A systemic review of clinical
outcomes, clinical process, healthcare utilization and costs associated with
telerehabilitation. J. Disabil. Rehabil, 31:427-447.
Kwakkel, G., Wagenaar, R.C., Koelman, T.W., Lankhorst, G.J., Koetsier, J.C. 1997.
Effects of intensity of rehabilitation after stroke: a research synthesis. Stroke,
28:550–1556.
Lan, C.C., Chu, W.H., Yang, M.C., Lee, C.H., Wu, Y.K., Wu, C.P. 2013. Benefits of
pulmonary rehabilitation in patients with COPD and normal exercise capacity.
Resp. Care, 58:1482–1488.
Langhorn, P., Williams, B.O., Gilchrist, W., Howie, K. 1993. Do stroke units save lives?
Lancet, 342:395–398.
Mingsheng, Z., Zeguang, Z., Qi, G. 2019. Rehabilitation medicine series: respiratory
rehabilitation. Beijing, China: People’s Health Press.

21
NICE. 2017. Rehabilitation After Critical Illness in Adults. Quality Standard. Available
online: https://www.nice.org.uk/guidance/qs158/resources/rehabilitation-after-
critical-illness-in-adults-p df-75545546693317.
Qiu, Z-Y, Li, L., Chen, D. 2020. Research on rehabilitation guidelines using World
20
Heath Organzation Family International Classifications: framework and
approaches. Chin J Rehabil Theory Pract, 26(2):125– 135.
Qiu, Z-Y, Li, D. 2011. Current conceptual framework and policies af disability and
rehabilitation and approach of community-based rehabilitation. Chin J Rehabil
Theory Pract, 17(7):601– 605.
P

Rochester, C.L., Spruit, M.A. 2017. Maintaining the benefits of pulmonary rehabilitation.
The holy grail. Am. J. Respir. Crit. Care Med., 195:548–551.
AU

Zhao, H.M., Xie, Y.X., Wang, C. 2020. Recommendations for respiratory rehabilitation
in adults with Covid-19. Chinese Med. J.,133(13):1595-1602.

78 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


BAB 7

Rehabilitasi Medik
Sistem Respirasi Pasca Serangan
Covid-19 pada Usia Lanjut

21
Nuniek Nugraheni Sulistyawati
20
7.1 PENGANTAR
P

Penuaan adalah suatu proses alami dalam kehidupan manusia. Dimulai dari
tahapan menjadi bayi berkembang menjadi usia anak, remaja, dewasa dan akhirnya
AU

menjadi tua. Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 43 Tahun 2004,


usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Seiring
bertambahnya usia maka tubuh mengalami berbagai perubahan. Perubahan yang
dialami usia lanjut diantaranya adalah perubahan pada sistem neuromuskuler,
sistem muskuloskeletal dan juga sistem kardiorespirasi. Usia lanjut dengan
komorbid yang sudah ada sebelumnya seperti hipertensi, gangguan jantung dan
pembuluh darah, penyakit paru, diabetes mellitus dan kanker berisiko lebih besar
mengalami Covid-19 dengan lebih parah (Kemenkes, 2020).

7.2 DEFINISI USIA LANJUT


Usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai masa usia lebih dari 60
tahun dengan kemampuan fisik dan kognitif yang semakin menurun. World
Health Organization menggolongkan usia lanjut menjadi 4 golongan yaitu usia

79
pertengahan (middle age): 45-59 tahun, usia tua (elderly): 60-74 tahun, usia tua
(old): 75-90 tahun, di atas usia (very old): 90 tahun.

7.3 COVID-19 DAN USIA LANJUT


7.3.1 Faktor Risiko pada Usia Lanjut
Beberapa faktor risiko pada usia lanjut yang terinfeksi Covid-19 yang ditetapkan
WHO yaitu adanya kontak erat, termasuk tinggal satu rumah dengan pasien
Covid-19 dan riwayat perjalanan ke area terjangkit, dan berada dalam satu
lingkungan namun tidak kontak dekat (dalam radius 2 meter) dianggap sebagai
risiko rendah. Apalagi usia lanjut seringkali memiliki berbagai komorbid, akan
memperparah kondisi bila terjangkit Covid-19. Demikian pula tenaga medis
merupakan salah satu populasi yang berisiko tinggi tertular (Susilo, 2020).

21
7.3.2 Manifestasi Klinis Covid-19 pada Usia Lanjut
Manifestasi klinis pasien Covid-19 memiliki spektrum yang luas, mulai dari tanpa
20
gejala (asimtomatik), gejala ringan, pneumonia, pneumonia berat, sepsis, hingga
syok sepsis (Susilo, 2020). Klasifikasi klinis Covid-19 menurut Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia (2020) adalah:
a. Tidak berkomplikasi
P

Kondisi ini merupakan kondisi paling ringan. Gejala yang muncul tidak
spesifik.
AU

Gejala utama tetap muncul seperti demam, batuk, dapat disertai dengan nyeri
tenggorok, kongesti hidung, malaise, sakit kepala, dan nyeri otot.
b. Pneumonia ringan
Gejala utama dapat muncul seperti demam, batuk, sesak, dan tidak ada tanda
pneumonia berat.
c. Pneumonia berat
Pada pasien usia lanjut gejala yang muncul di antaranya demam atau curiga
infeksi saluran napas, ditandai dengan takhipnea (frekuensi napas: >30x/menit),
distress pernapasan berat atau saturasi oksigen pasien <90% udara bebas.

7.4 DIAGNOSIS COVID-19 PADA USIA LANJUT


Diagnosis Covid-19 ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.

80 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


7.4.1 Anamnesis
Gejala yang paling umum adalah demam, batuk kering, dan kelelahan. Gejala lain
pada anamnesis didapat nyeri otot, hidung tersumbat, sakit kepala, konjungtivitis,
sakit tenggorokan, diare, kehilangan rasa atau bau atau ruam pada kulit. Gejala
ini biasanya ringan dan dimulai secara bertahap. Sebagian orang yang terinfeksi
tidak menunjukkan gejala atau dengan gejala yang sangat ringan. Pada beberapa
kondisi dapat terjadi tanda dan gejala infeksi saluran napas akut berat/severe acute
respiratory infection (SARI) (WHO, 2020).

7.4.2 Pemeriksaan Fisik


Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tergantung ringan atau beratnya
manifestasi klinis (PDPI, 2020).

21
‒ Tingkat kesadaran: komposmentis atau penurunan kesadaran
‒ Tanda vital: frekuensi nadi meningkat, frekuensi napas meningkat, tekanan
darah normal atau menurun, suhu tubuh meningkat. Saturasi oksigen dapat
normal atau turun.
20
‒ Pemeriksaan fisik paru didapatkan inspeksi dapat tidak simetris statis dan
dinamis, fremitus raba mengeras, redup pada daerah konsolidasi, suara napas
bronkovesikuler atau bronkial dan ronkhi kasar.
P

7.5 TATA LAKSANA UMUM COVID-19


AU

Hingga saat ini belum ada terapi spesifik antivirus untuk pasien dengan Covid-
19, sehingga tata laksana utama pada pasien adalah terapi suportif disesuaikan
kondisi pasien meliputi terapi cairan adekuat sesuai kebutuhan dan terapi oksigen
yang sesuai derajat penyakit. Pada pasien gagal napas dapat dilakukan ventilasi
mekanik dan bila dicurigai terjadi infeksi ganda diberikan antibiotika spektrum
luas (Handayani, 2020; Susilo, 2020).
Pengendalian komorbid merupakan strategi tata laksana yang penting karena
diketahui komorbid berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas pasien
Covid-19. (Huang, 2020). Program rehabilitasi pada Covid-19 dengan manifestasi
umum difokuskan pada bersihan jalan napas dan latihan aktif mobilisasi secara
mandiri. Pada manifestasi berat dan kondisi kritis program rehabilitasi mencegah
bertambahnya keparahan dan penyulit lain (Kolegium IKFR, 2020) .

BAB 7_Rehabilitasi Medik Sistem Respirasi Pasca Serangan Covid-19 pada Usia Lanjut 81
7.6 TATA LAKSANA REHABILITASI PADA USIA LANJUT
Rehabilitasi pasien usia lanjut dengan Covid-19 penting dilakukan pada semua
fase perawatan, meliputi bagian dari fase akut yang diberikan di unit perawatan
intensif/intensive care unit (ICU) selama fase sub-akut di bangsal rumah sakit
atau fasilitas kesehatan tingkat pertama dan jangka panjang saat pasien kembali
ke rumah dan dalam proses pemulihan. Program rehabilitasi usia lanjut pasien
Covid-19 bertujuan meningkatkan fungsi pernapasan, mencegah komplikasi
akibat imobilisasi lama, mengoptimalkan fungsi, mengurangi hari perawatan,
mencegah komplikasi dan disabilitas, serta meningkatkan fungsi kognitif dan
meningkatkan kualitas hidup (PAHO, 2020; Brugliera, et al., 2020).
Pada usia lanjut dengan kondisi Covid-19 berat, pasien mendapatkan support
ventilasi jangka panjang berpotensi terjadi imobilisasi dalam waktu lama. Kondisi
tersebut dapat menimbulkan komplikasi gangguan fungsi paru, dekondisi fisik

21
dan kelemahan otot, serta gangguan psikologis seperti cemas, depresi, insomnia,
dan loneliness. Gangguan fungsi paru dapat terjadi akibat komplikasi dari
imobilisasi lama, adverse effect dari penggunaan steroid, dan perubahan patologis
seperti atelektasis, alveolitis persisten, fibrosis pulmonar yang pada akhirnya akan
20
menyebabkan disfungsi fisik (Yang, et al., 2020; PAHO, 2020).
Tata laksana rehabilitasi medik dapat mengurangi komplikasi terkait rawat
inap ICU, optimasi penyembuhan dan mengurangi disabilitas, memfasilitasi untuk
rawat jalan lebih awal, dan mengurangi risiko re-admisi. Target rehabilitasi pada
P

pasien usia lanjut Covid-19 adalah mengatasi gejala, mencegah dekondisi pada
saluran napas dan sistem organ lain, membantu keberhasilan proses penyembuhan
AU

dengan ventilasi mekanik (PAHO, 2020; Kolegium IKFRI, 2020).

7.6.1 Program Rehabilitasi Medik Fase Akut


Rehabilitasi medik pasien Covid-19 pada fase akut dapat dilakukan di unit intensif,
critical care serta high care, khususnya pada pasien usia lanjut yang menggunakan
ventilator. Pada kondisi akut, kondisi pasien biasanya masih tidak stabil dan
proses penyakit masih berlangsung sehingga prioritas utama dari penanganan
pasien adalah life saving (PAHO, 2020; Yang, et al., 2020).
a. Manajemen posisi
Pada kondisi akut, dapat dilakukan posisi tengkurap (prone) guna optimalisasi
aliran oksigen, mengurangi sesak, dan mengurangi energy expenditure. Pada
posisi prone, ventilasi meningkat karena terjadi perubahan tekanan pleura,

82 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


di mana alveolus akan tetap terbuka ketika tekanan intra alveolar melebihi
tekanan pleura (Lazzeri, et al., 2020).
Posisi prone dapat meningkatkan oksigenasi pada pasien ARDS akibat
infeksi Covid-19. Kriteria terapi posisi prone pada ARDS yang menyebabkan
kegagalan napas hipoksemik adalah perbandingan PaO2/FiO2 < 150 mmHg,
PEEP ≥ 5 cmH 2O, FiO2 ≥ 0,6. Posisi prone direkomendasikan setidaknya
12–16 jam per hari, sebaiknya dalam 72 jam setelah intubasi endotrakeal. Bila
posisi ini efektif, posisi prone diulangi hingga rasio PaO2/FiO2 (P/F) ≥ 150
mmHg dengan PEEP ≤ 10 cmH 2O dan FiO2 ≤ 0,60 setidaknya selama 4 jam
setelah posisi supine. Prosedur pronasi ini harus dihentikan apabila kondisi
oksigenasi memburuk, yaitu penurunan P/F sebesar 20% dibandingkan posisi
supine atau muncul komplikasi serius (Ng, et al., 2020; Lazzeri, et al., 2020).
Terapi posisi prone dapat menyebabkan beberapa komplikasi, antara lain: (1)
komplikasi saluran napas dapat berupa: ekstubasi tidak terjadwal, obstruksi

21
ETT, hemoptysis signifikan, perburukan hipoksemia (SpO2 < 85%) atau PaO2
< 55 mmHg selama lebih dari 5 menit; (2) komplikasi kardiovaskular dapat
berupa: henti jantung, hipotensi dengan tekanan darah sistolik < 60 mmHg
20
P
AU

Gambar 7.1 Paru pada Posisi Prone (Agrawal & Goel, 2015).

Keterangan:
Bulatan menunjukkan alveoli, warna gelap menunjukkan alveoli berisi infiltrat
A. Paru-paru normal dengan posisi supine; B. Paru-paru ARDS dengan posisi supine; C. Paru-paru
normal dengan posisi prone; D. Paru-paru ARDS dengan posisi prone

BAB 7_Rehabilitasi Medik Sistem Respirasi Pasca Serangan Covid-19 pada Usia Lanjut 83
selama lebih dari 5 menit, bradikardia dengan HR < 30× per menit selama
lebih dari 1 menit, serta takiaritmia yang tidak stabil. Selain komplikasi
saluran napas dan kardiovaskular, dapat muncul komplikasi pressure ulcers,
facial/periorbital oedema, kerusakan kornea atau konjungtiva, brachial plexus
injury, dan gangguan pada akses vena, sentral, maupun kateter karena tekanan
(Ng, et al., 2020; Lazzeri, et al., 2020).
Pasien yang tidak dapat dilakukan posisi prone, maka dapat dilakukan posisi
semi fowler (15-45o) sampai dengan 60 o sesuai dengan kondisi dan tingkat
kesadaran pasien. Manajemen posisi pada pasien stabil secara bertahap dapat
ditingkatkan sampai pasien dapat mempertahankan posisi tegak. Posisi
sepertiga bantal diletakkan pada skapula untuk mencegah hiperekstensi
kepala, dan sebuah bantal diletakkan di bawah fossa poplitea untuk merelaksasi
tungkai bawah dan abdomen. Manajemen posisi ini dilakukan selama 30
menit sebanyak tiga sesi setiap hari (GPA, 2020; Zhao, et al., 2020).
b. Bersihan jalan napas
21
Teknik bersihan jalan napas pada pasien dengan ventilasi mekanik dimulai
sejak pasien terintubasi. Teknik yang diberikan berupa vibrasi, perkusi pada
20
semua lapang paru, anterior posterior lateral. Bersihan jalan napas dilakukan
pula dengan cara postural drainage. Prinsip postural drainage memanfaatkan
gaya gravitasi untuk mengeluarkan sputum yang banyak terbentuk di saluran
napas sehingga dengan posisi tertentu, gaya gravitasi membantu sputum
keluar (Kolegium IKFRI, 2020; Tresnasari & Dharmmika, 2020).
P

Pasien yang tidak sadar atau dalam keadaan sedasi, diberikan bantuan batuk
secara pasif dengan kompresi pada toraks atau abdomen saat ekspirasi. Pasien
AU

yang komposmentis dan dapat mengikuti instruksi, diberikan latihan active

Gambar 7.2 Active Cycle of Breathing Techniques (Physiostudent, 2016).

84 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19



Gambar 7.3 Manual assisted cough (Canvent, 2016).

cycle of breathing techniques yaitu inspirasi-ekspirasi-inspirasi-ekspirasi-inspirasi-


huffing mengikuti fase inspirasi ventilator. Active cycle of breathing techniques

21
merupakan kombinasi dari breathing control, thorax expansion, dan exhalation,
yang dapat mengeluarkan sekret bronkus secara efektif. Sekret yang tidak
keluar dengan teknik klasik, harus dikeluarkan dengan teknik manual assisted
cough atau mechanical assisted cough (Kolegium IKFRI, 2020).
20
Cough assisted techniques dilakukan pada pasien dengan kelemahan otot
pernapasan dengan tujuan untuk meningkatkan ekspirasi aliran udara
saat batuk. Manual assisted cough adalah teknik batuk tambahan dengan
memberikan dorongan pada daerah dada atau perut dengan tangan dalam siklus
P

batuk, untuk meningkatkan ekspirasi. Kompresi kuat pada dada bersamaan


dengan ekspirasi meningkatkan aliran ekspirasi individu sehingga dapat
AU

membantu bersihan sekret. Mechanical assisted cough dapat dipertimbangkan


apabila manual assisted cough tidak efektif. Mechanical insufflation-exsufflation
merupakan alat yang menggunakan tekanan positif yang cepat berubah
menjadi tekanan negatif untuk membantu batuk pasien, dengan demikian
membantu bersihan sekret (Kan, et al., 2018; Chatwin, 2008).
c. Latihan pernapasan
Pemberian latihan pernapasan pada pasien dengan sedasi dalam (RASS
≤-4) dengan ventilasi mekanik tidak dianjurkan, karena risiko penularan
dan kurangnya efektivitas latihan. Ketika sedasi dikurangi (RASS ≥-2) dan
pasien kooperatif maka latihan pernapasan dapat dimulai, namun pada pasien
Covid-19 pelepasan sistem sirkuit ventilasi mekanik tertutup harus dihindari
karena risiko penularan (Felten-Barentsz, et al., 2020).
Latihan pada pasien dengan ventilasi mekanik bertujuan untuk merekrut
serabut otot napas karena usaha napasnya sebagian masih dengan ventilasi

BAB 7_Rehabilitasi Medik Sistem Respirasi Pasca Serangan Covid-19 pada Usia Lanjut 85
21
Gambar 7.4 Positive Expiratory Pressure. a) Blow bottle; b) PEP mask; c) Flutter; d) Acapella
(Clini, 2009).
20
mekanik. Latihan pernapasan dilakukan dengan pengaturan set pressure
support atau dengan sistem on and off. Pengaturan repetisi diberikan sesuai
toleransi oksigen dan usaha napas yang dipantau dari monitor dan kondisi
pasien (Kolegium IKFRI, 2020).
P

Positive expiratory pressure trainer dapat digunakan setelah pasien melepas


ventilasi mekanik. Positive expiratory pressure (PEP) merupakan teknik bernapas
AU

melawan resistansi yang dapat digunakan melalui alat dengan mengerucutkan


bibir (pursed lips). Manfaat PEP memperpanjang aliran ekspirasi juga efektif
mendorong bersihan jalan napas (Liang, 2020; Clini, 2009).
Rehabilitasi medik pada latihan pernapasan harus dihentikan apabila; (1)
sistem pernapasan: SpO2 <90% atau menurun 4% dari pengukuran awal, laju
pernapasan ≥40×/menit, terdapat resistensi ventilator, alat bantu napas lepas;
(2) sistem kardiorespirasi: tekanan sistolik <90 dan >180 mmHg, MAP <65
dan >110 mmHg, denyut jantung <40 dan >120×/menit, timbul aritmia atau
iskemia miokard; (3) sistem saraf: kesadaran menurun, iritabilitas; (4) lain-
lain: lepasnya alat monitor atau alat medis yang terhubung pada tubuh pasien,
palpitasi, dyspnea eksaserbasi akut, pasien jatuh (Zhao, et al., 2020).
Intervensi rehabilitasi pernapasan yang meningkatkan distress respirasi tidak
direkomendasaikan untuk dilakukan pada pasien Covid-19 selama fase akut

86 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


yaitu diaphragmatic breathing, pursed lip breathing, bronchial hygiene, incentive
spirometry, nasal washings, respiratory muscle training dan thoracic mobilization
(GPA, 2020).
d. Latihan mobilisasi dan luas gerak sendi
Pada prinsipnya mobilisasi dini pasien Covid-19 di ICU sama dengan pasien
non Covid-19. Mobilisasi dilakukan apabila hemodinamik dan respirasi pasien
stabil, sesuai kriteria yang telah disampaikan sebelumnya. Monitoring pasien
dilakukan sebelum, selama dan sesudah latihan mobilisasi. Selama proses
latihan FiO2 dapat dinaikkan bila terjadi desaturasi, atau latihan dihentikan
bila tidak terkoreksi. Pada saat latihan mobilisasi dapat diberikan bantuan
berupa peningkatan ventilatory support (Tresnasari & Dharmmika, 2020).
Latihan mobilisasi pada pasien Covid-19 fase akut harus dipantau untuk
mencegah lepasnya monitor tanda-tanda vital atau alat medis yang menempel
pada pasien selama latihan. Intensitas latihan yang diberikan dengan kekuatan,

21
durasi dan aktivitas ringan, pasien hanya perlu menyelesaikan gerakan. Durasi
latihan untuk satu sesi tidak lebih dari 30 menit dan tidak menimbulkan
kelelahan. Tipe latihan diawali mobilitas di tempat tidur, duduk di tempat
20
tidur, mobilisasi dari tempat tidur transfer ke kursi, duduk di kursi, berdiri,
dan mulai ambulasi. Latihan luas gerak sendi dapat dilakukan secara aktif
atau pasif tergantung kondisi pasien. Pasien dengan penurunan kesadaran,
disfungsi kognitif atau mendapat sedasi, maka terapi yang dapat diberikan
dengan lower limb passive exercise bicycle, luas gerak sendi pasif, dan latihan
P

peregangan (Zhao, et al., 2020).


e. Latihan aerobik non-impact
AU

Latihan aerobik pada pasien stabil di ICU dengan ventilasi mekanik dapat
dilakukan dengan pengaturan repetisi tinggi. Latihan ini menggunakan
ekstremitas atas atau bawah. Latihan yang diberikan adalah latihan dengan
intensitas ringan dan tidak memicu kelelahan, intensitas latihan dapat
diukur dari uji latih dengan menggunakan bed cycle. Frekuensi latihan sesuai
toleransi pasien, waktu latihan dapat diberikan 30 menit setiap hari apabila
memungkinkan. Bila kondisi pasien berat maka durasi latihan dikurangi dan
frekuensi ditingkatkan (Kolegium IKFRI, 2020; Zeng, et al., 2020).
f. Terapi fisik
Neuromuscular Electrical Stimulation (NMES) dapat diberikan untuk mencegah
kelemahan otot perifer pada pasien tirah baring lama yang tidak bisa diberikan
latihan aktif karena penurunan kelemahan otot atau karena gangguan kognisi
bahasa (Kolegium IKFRI, 2020).

BAB 7_Rehabilitasi Medik Sistem Respirasi Pasca Serangan Covid-19 pada Usia Lanjut 87
7.6.2 Program Rehabilitasi Medik Fase Subakut
Rehabilitasi Covid-19 pada usia lanjut fase subakut dilakukan di bangsal rumah
sakit atau fasilitas kesehatan tingkat pertama. Rehabilitasi dilakukan pada awal
pemulihan setelah pasien pindah ke ruang rawat setelah perawatan ICU atau
pada pasien yang tidak membutuhkan perawatan di ICU dan pada pasien yang
dirawat di ruang isolasi reguler rumah sakit. Program rehabilitasi pada kondisi
subakut dapat dilakukan jika kondisi pasien sudah stabil dan dilakukan activity
daily living (ADL) dengan menangani gangguan mobilitas, fungsi respirasi,
kognisi, menelan, nutrisi dan komunikasi, serta memberikan dukungan psiko-
sosial. Program rehabilitasi juga berperan dalam persiapan dan perencanaan pasca
perawatan (PAHO, 2020; Yang, et al., 2020).
Tata laksana di ruang rawat isolasi dilakukan dengan minimal kontak dan
menghindari prosedur yang menghasilkan aerosol seperti peak cough flow, teknik

expiratory pressure.
21
batuk efektif, manual dan mechanical insufflation-exsufflation (MIE) dan positive

Program rehabilitasi medik di ruang isolasi dapat dilakukan melalui telehealth/


telerehabilitation/telemonitor dengan dipandu melalui video atau pemantauan
20
dengan video live streaming. Telehealth adalah layanan digital untuk pemantauan
pasien jarak jauh dengan interaksi langsung secara online. Telehealth dapat
digunakan dokter untuk melakukan kunjungan tatap muka selama masa tinggal
pasien di fasilitas rehabilitasi rawat inap. Informasi mengenai edukasi program
P

rehabilitasi ini dapat pula diberikan melalui leaflet (Tresnasari & Dharmmika,
2020).
AU

a. Manajemen posisi
Pada pasien usia lanjut dengan Covid-19, intervensi rehabilitasi medik yang
dapat diberikan adalah perubahan posisi secara berkala, mobilisasi pasif,
dan terapi fungsi motorik setelah pasien melewati fase akut. Pada pasien
usia lanjut dengan pneumonia yang menggunakan atau tidak menggunakan
ventilasi mekanik noninvasif, direkomendasikan untuk diposisikan duduk
atau setengah duduk dengan sandaran untuk mencegah risiko aspirasi (Liu,
et al., 2020; Aytur, et al., 2020).
Perubahan posisi dilakukan secara bertahap dengan meningkatkan posisi anti-
gravitasi sesuai dengan kondisi klinis pasien. Pasien diusahakan tetap berada
pada posisi setengah duduk 45–60° bersandar pada bed dan diberi ganjal bantal
pada kepala untuk menghindari hiperekstensi dan pada fossa poplitea untuk
merelaksasi tungkai bawah dan abdomen. Manajemen posisi dapat dilakukan
sebanyak 3 kali sehari selama 30 menit (Zhao, et al., 2020).

88 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


b. Latihan luas gerak sendi
Pasien usia lanjut Covid-19 yang berbaring dalam jangka waktu lama dapat
mengalami kekakuan sendi sehingga pasien harus diberikan latihan luas gerak
sendi aktif dan pasif untuk tulang belakang dan sendi anggota gerak untuk
mempertahankan luas gerak sendi normal. Latihan dilakukan 1–2 kali per
hari dan pada beberapa pasien dibutuhkan orang lain dan peralatan khusus
untuk membantu melakukan latihan luas gerak sendi (Zeng, et al., 2020).
c. Latihan pernapasan
Latihan pernapasan yang dapat diberikan jika pasien masih sesak, antara
lain: posisi relaksasi, breathing control, mobilisasi dinding dada, dan untuk
membantu pengeluaran sekret, dapat dilakukan active breathing exercise,
gravity assisted drainage, serta latihan huffing atau batuk efektif (WHO, 2020;
Yang, et al., 2020).
Latihan paling penting adalah melatih kontrol pernapasan dan relaksasi pada

21
pasien yang mengalami sesak napas. Berlatih napas dalam akan membantu
memperbaiki kapasitas batuk. Dilatasi jalan napas saat deep breathing exercise
juga dapat membantu pengeluaran sputum. Kantong plastik tertutup harus
20
digunakan saat batuk untuk menghindari penularan (Kolegium IKFRI, 2020;
Zhao, et al., 2020).
Latihan otot pernapasan dapat dilakukan menggunakan inspiratory muscle
trainer (IMT). Beban latihan dapat diukur dengan 1 RM atau 10 RM
menentukan maximum inspiratory pressure (MIP). Latihan dapat dilakukan
P

mandiri setelah latihan dengan supervisi. Latihan otot pernapasan hanya


dapat dilakukan pada pasien kompos mentis dan kooperatif. Pasien diberikan
AU

edukasi mengenai pembatasan penggunaan otot napas bantu, cara konservasi


energi, kontrol postur dan relaksasi (Kolegium IKFRI, 2020).

Gambar 7.5 Inspiratory Muscle Training (Shei, et al., 2016).

BAB 7_Rehabilitasi Medik Sistem Respirasi Pasca Serangan Covid-19 pada Usia Lanjut 89
d. Latihan aerobik
Latihan aerobik low impact dapat dilakukan pada pasien dengan gejala ringan
atau gejala umum tanpa demam dan sesak. Uji latih yang dilakukan adalah
sit to stand test. Latihan aerobik dilakukan dengan monitor tekanan darah,
denyut nadi dan saturasi oksigen. Bila terjadi desaturasi saat latihan dapat
diberikan suplemen oksigen. Bila SpO2 tidak terkoreksi (< 93%) maka latihan
dapat dihentikan (Kolegium IKFRI, 2020).
Secara umum, pasien dengan kondisi yang lebih baik diberikan latihan
intensitas ringan-sedang dengan frekuensi latihan 1–2 kali per hari, sesuai
dengan toleransi pasien. Durasi latihan disesuaikan dengan kondisi pasien,
setiap sesi 15–45 menit. Tipe latihan yang dapat diberikan adalah sit to stand,
stepping, Thai Chi (Zeng, et al., 2020; Zhao, et al., 2020).
e. Latihan penguatan
Latihan penguatan dimulai dengan intensitas beban ringan hingga sedang,

21
yaitu 30–40% 1 RM atau menggunakan beban 1–5 kg dengan goal untuk
menjaga massa otot dan menghambat atrofi otot. Beban dapat ditingkatkan
sesuai dengan toleransi pasien. Frekuensi latihan untuk intensitas rendah
20
dapat diberikan 1–2 kali per hari. Metode latihan yang dapat diberikan adalah
progressive resistance training dengan beban tubuh sendiri atau beban dari
luar misalnya elastic band. Latihan squatting, bridging, ankle pumping adalah
latihan-latihan yang dapat menjaga tonus otot yang dapat dilakukan mandiri
setelah sebelumnya diberikan edukasi dan latihan dengan supervisi (Zeng, et
P

al., 2020; Kolegium IKFRI, 2020).


AU

7.6.3 Program Rehabilitasi Medik Jangka Panjang


Rehabilitasi medik pada pasien usia lanjut Covid-19 jangka panjang dapat
dilakukan di rawat jalan rehabilitasi medik, di rumah, dan juga dapat secara
telerehabilitasi. Target dari rehabilitasi fase jangka panjang adalah perbaikan
gangguan fisik dan respirasi dengan kombinasi antara latihan bertahap, edukasi,
ADL, dan dukungan psiko-sosial. Saat keluar rumah sakit, tim rehabilitasi
medik dapat memberikan edukasi mengenai latihan bertahap, konservasi energi,
modifikasi tingkah laku, modifikasi rumah, penggunaan alat bantu, serta
rehabilitasi untuk gangguan individual secara spesifik (PAHO, 2012).
Studi menunjukkan bahwa setelah keluar rumah sakit, pasien yang masih
menderita gejala seperti disfungsi paru restriktif, palpitasi, tangan tremor dan
sesak ketika beraktivitas, yang semuanya memengaruhi aktivitas sehari-hari dan

90 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


menurunkan kualitas hidup. Pasien yang dirawat di ruang isolasi akan mengalami
hambatan aktivitas sehari-hari akibat gejala penyakit, keterbatasan ruangan
isolasi, dan tingkat aktivitas fisik saat sakit. Pasien dapat masuk ke dalam kondisi
sindrom dekondisi, sehingga kapasitas fungsional akan menurun (Yang, 2020;
Tresnasari & Dharmmika, 2020).
Pada kondisi pandemi di mana physical distancing, sumber daya manusia
terbatas dan transportasi umum yang terbatas serta risiko infeksi, maka
telerehabilitasi dapat bermanfaat pasca perawatan. Cakupan latihan jarak jauh
dapat diperluas misalnya dengan latihan kelompok secara virtual dan dukungan
peer-to-peer dari pasien Covid-19 yang menerima latihan (PAHO, 2020).
a. Latihan pernapasan
Program rehabilitasi medik pada pernapasan fase jangka panjang dapat
berupa latihan penguatan otot pernapasan, latihan napas, dan latihan batuk.
Penelitian Liu, et al. (2020) menunjukkan peningkatan yang signifikan pada

21
fungsi pernapasan, endurance, kualitas hidup dan depresi setelah program
rehabilitasi pernapasan selama 6 minggu pada pasien usia lanjut Covid-19
(Liu, et al., 2020).
20
Latihan penguatan otot pernapasan dilakukan dengan menggunakan tahanan
dari alat IMT atau threshold PEP dengan beban awal 30% dari tekanan inspirasi
maksimal individu dan peningkatan beban ditentukan sesuai tujuan latihan
(untuk endurance atau strengthening). Latihan diberikan dengan frekuensi 1-2
kali per hari, dengan repetisi 15-30 kali untuk latihan endurance dan 8-12 kali
P

untuk penguatan. Studi lain memberikan protokol berbeda dengan melakukan


3 set latihan, masing-masing set terdiri dari 10 latihan napas, diikuti istirahat
AU

selama 1 menit di antara 2 set latihan. Latihan penguatan otot pernapasan


dapat diikuti dengan latihan batuk efektif dilakukan sebanyak 3 set dengan 10
kali repetisi untuk masing-masing set (Zeng, et al., 2020; Liu, et al., 2020).
Latihan napas diafragma dilakukan dengan kontraksi diafragma sebanyak
30 kali kontraksi diafragma volunter maksimal pada posisi supine dengan
meletakkan beban 1-3 kg pada dinding anterior abdomen untuk melawan
gerakan diafragma. Latihan peregangan dilakukan dengan peregangan otot
respirasi oleh terapis. Pasien diposisikan supine dengan lutut ditekuk untuk
koreksi kurva lumbal. Pasien kemudian diminta untuk menggerakkan lengan
ke arah fleksi, horizontal ekstensi, abduksi, dan eksternal rotasi. Program
latihan di rumah, pasien diminta untuk melakukan pursed lip breathing dan
latihan batuk sebanyak 30 set per hari (Liu, et al., 2020).

BAB 7_Rehabilitasi Medik Sistem Respirasi Pasca Serangan Covid-19 pada Usia Lanjut 91
b. Latihan penguatan
Latihan penguatan dimulai dengan intensitas beban sedang hingga berat
dengan tujuan untuk memperbaiki atau meningkatkan massa otot. Intensitas
yang dapat diberikan dapat intensitas sedang-berat dimulai dari 65% 1 RM
untuk 3 kelompok otot. Latihan kekuatan otot dilakukan 2–3 kali seminggu
dengan latihan uni atau multi-artikular 1–4 set dengan 8–20 repetisi. Metode
latihan yang dapat diberikan adalah progressive resistance training dengan beban
tubuh sendiri, beban dari luar misalnya elastic band, sandbag, dumbbell, dan
lain-lain (Zeng, et al., 2020; Neto, et al., 2020).
c. Intervensi psikologis
Pada pasien usia lanjut dengan Covid-19 kadang mengalami kecemasan,
depresi, gangguan psiko-sosial, stigma masyarakat, kondisi terisolasi,
perubahan status mental dan kognisi, hilangnya motivasi dapat menjadi
hambatan pelaksanaan program rehabilitasi. Penilaian status mental perlu

21
dilakukan, rekomendasi yang diberikan adalah intervensi psikologis sedini
mungkin dengan terapi kognitif dan terapi tingkah laku, menghilangkan
sumber stres, mengurangi kecemasan dan depresi, menciptakan mood yang
20
positif dan optimistik, meningkatkan dukungan dari keluarga, tim medis, dan
psikolog, serta terapi obat-obatan (Tresnasari & Dharmmika, 2020; Zeng,
et al., 2020).
P

7.7 RINGKASAN
Covid-19 pada usia lanjut mempunyai faktor risiko terbanyak, karena adanya
AU

penyakit penyerta seperti hipertensi, diabetes mellitus, penyakit kardiorespirasi,


kanker serta dengan kondisi sistem imunitas yang lemah. Diagnosis Covid-
19 dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan
penunjang. Pada pasien usia lanjut memerlukan perawatan khusus karena usia
lanjut biasanya telah mempunyai komorbiditas sehingga diperlukan pencegahan
dan pengendalian dari berbagai pihak, diantaranya dengan mengurangi bertemu
banyak orang, menjaga kebersihan serta menggunakan masker agar tidak terjadi
perburukan kondisi dan timbul penyulit lainnya . Program rehabilitasi medik
bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan pasien, mengoptimalkan fungsi,
mengurangi hari perawatan dan mencegah komplikasi.

92 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


DAFTAR PUSTAKA
Agrawal, S. and Goel, A. 2015. Prone position ventilation in acute respiratory
distress syndrome: an overview of the evidences. Indian Journal of Anaesthesia.
59(4):246.
Arentz, M., Yim, E., Klaff, L., Lokhandwala, S., Riedo, F.X., Chong, M., Lee, M.
2020. Characteristics and outcomes of 21 critically III patients with Covid-19 in
Washington State. JAMA, E1-E3.
Biase, S.D., Cook, L., Skelton, D.A., Witham, M., Hove, R.T. 2020. The Covid-19
rehabilitation pandemic. Age and Aging, 118:1-5.
Brugliera, L., Spina, A., Castellazzi, P., Cimino, P., Tettamanti, A., Houdayer, E.,
Arcuri, P., Alemanno, F., Mortini, P., Iannaccone, S. 2020. Rehabilitatiom of
Covid-19 patients. Journal of Rehabilitation Medicine, 52:1-3.
Canvent. 2016. Manually assisted cough. Canadian Alternatives in Noninvasive Ventilation,
1-3.
Carda, S. 2020. The role of physical and rehabilitation medicine in the Covid-19

21
pandemic: the clinician’s view. Ann Phys Rehabil Med., 1378:1-3.
Chan, J.F.W., Kok, K.H., Zhu, Z., Chu, H., To, K.K.W., Yuan, S. 2020. Genomic
characterization of the 2019 Novel Human-Pathogenic Coronavirus isolated from
a patient with atypical pneumonia after visiting Wuhan. Emerg Microbes Infect,
20
9(1):221-36.
Chang, D., Lin, M., Wei, L., Xie, L., Zhu, G., Dela CS. 2020. Epidemiologic and
clinical characteristics of Novel Coronavirus infections involving 13 patients
outside Wuhan, China. J Am Med Assoc. 323:1092-3.
P

Chatwin, M. 2008. How to use a mechanical insuff lator-exsuff lator “cough assist
machine”. Breathe, 4(4):320-329.
AU

Diaz, J.H. 2020. Hypothesis: angiotensin-converting enzyme inhibitors and angiotensin


receptor blockers may increase the risk of severe Covid-19. J Travel Med., p.1-7.
Dong, L., Hu, S., Gao, J. 2020. Discovering drugs to treat Coronavirus Disease 2019
(Covid-19). Drug Discov Ther, 14(1):58-60.
Du, L., He, Y., Zhou, Y., Liu, S., Zheng, B-J., Jiang, S. 2009. The spike protein of
SARS-CoV — a target for vaccine and therapeutic development. Nature Reviews
Microbiology, 7: 226–36.
European Society of Cardiology. 2020. Position Statement of the ESC Council on Hypertension
on ACE Inhibitors and Angiotensin Receptor Blockers. [Cited 2020 August 13th].
Available from: https://perdosri.or.id/latihan-kontrol-pernapasan/.
Felten-Barentsz, K.M., Oorsouw, R., Klooster, E., Koenders, N., Driehuis, F., Hulzebos,
E.H.J., Schaaf, M., Hoogeboom, T.J., Wees, P.J. 2020. Recommendations for
Hospital-Based Physical Therapists Managing Patients With Covid-19. p. 1-25.
Ghana Physiotherapy Association (GPA). 2020. Physiotherapy Management for Covid-19
in the primary, community and acute (hospital) settings: a preliminary guideline.
GPA Preliminary Guideline, p.1-27.

BAB 7_Rehabilitasi Medik Sistem Respirasi Pasca Serangan Covid-19 pada Usia Lanjut 93
Guan, W.J., Ni, Z.Y., Hu, Y., Liang, W.H., Ou, C.Q., He, J.X. 2020. Clinical
characteristics of Coronavirus Disease 2019 in China. New Engl J Med., p.1-13.
Hamming, I., Timens, W., Bulthuis, M.L., Lely, A.T., Navis, G., Goor, V.H. 2004. Tissue
distribution of ACE2 protein, the functional receptor for SARS Coronavirus. a
first step in understanding SARS pathogenesis. J Pathol, 203(2):631-7.
Handayani, D., Hadi, D.R., Burhan, E., Agustin, H. 2020. Penyakit Virus Corona 2019.
J Respir Indo, 4(2):119-129.
Huang, C., Wang, Y., Li, X., Ren, L., Zhao, J., Hu, Y., Zhang, L., Fan, G., Xu, J., Gu,
X., Cheng, Z., Yu, T., Xia, J., Wei, Y., Wenjuan, W., Xie, X., Yin, W., Li, H.,
Liu, M., Xiao, Y., Gao, H., Guo, L., Xie, J., Wang, G., Jiang, R., Gao, Z., Jin, Q.,
Wang, J., Cao, B. 2020. Clinical Features of Patients Infected with 2019 Novel
Coronavirus in Wuhan, China. Lancet, 395:497-506.
Kan, A.F., Butler, J.M., Hutchence, M., Jones, K., Widger, J., Doumit, M.A. 2008.
Teaching manually assisted cough to caregivers of children with neuromuscular
disease. Respiratory Care, 63(12):1520-1527.

21
Kementerian Kesehatan RI. 2020. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus
Disease 2019 (Covid-19). Jakarta: KEMENKES. p.1-171.
Kolegium Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Indonesia. 2020. Tatalaksana (Panduan)
Rehabilitasi untuk Pasien Covid-19. Jakarta: PB PERDOSRI
20
Komisi Kesehatan Nasional RRC. 2020. Panduan Menghadapi Penyakit Virus Corona
2019 Model RRC. Kupang: PMPH. p. 1-146.
Lazzeri, M., Lanza, A., Bellini, R., Bellofiore, A., Cecchetto, S., Colombo, A., D’Abrosca,
F., Monaco, C.D., Gaudiello, G., Paneroni, M., Privitera, E., Retucci, M., Rossi,
V., Santambrogio, Sommariva, M., Frigerio, P. 2020. Respiratory physiotherapy
P

in patients with Covid-19 infection in acute setting: a position paper of the Italian
Association of Respiratory Physiotherapists (ARIR). Monaldi Archives for Chest
AU

Disease, 90(1285): 163-168.


Liang, Tingbo. 2020. Handbook of Covid-19 Prevention and Treatment. China: FAHZU.
p. 1–68.
Liu, K., Zhang, W., Yang, Y., Zhang, J., Li, Y., Chen, Y. 2020. Respiratory rehabilitation
in elderly patients with Covid-19: a randomized controlled study. Complementary
Therapies in Clinical Practice, 39(2020):1-4.
National Institute of Allergy and Infectious Diseases (NIAID). 2020. New Images of Novel
Coronavirus SARS-CoV-2. [Cited 2020 August 13th]. Available from: https://www.
niaid.nih.gov/news-events/novel-coronavirus-sarscov2-images
Neto, L.O., Elsangedy, H.M., Tavares, V.D.O., Teixeira, C.V.S., Behm, D.G., Grigoletto,
M.E.S. 2020. #TrainingInHome - Training at Home During The Covid-19 (SARS-
COV2) Pandemic: Physical Exercise and Behavior Based Approach. Brazilian Journal
of Exercise Physiology. 2675: 1-12.
Onder G, Rezza G, Brusaferro S. 2020. Case-Fatality Rate and Characteristics of Patients
Dying in Relation to Covid-19 in Italy. JAMA. E1-E2.

94 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


PAHO-WHO. 2020. Rehabilitation Considerations During the Outbreak Covid-19.
Paho - Who-. p.1–22.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2020. Pneumonia Covid-19. Jakarta: PDPI.
p.1-58.
Physiostudent. 2016. Active Cycle of Breathing Technique (ACB). [Cited 2020 August
10th]. Available from: https://sites.google.com/site/theirishphysiostudent/website-
builder/active-cycle-of-breathing-techniques.
Rodríguez, Y., Novelli, L., Rojas, M. et al. 2020.Autoinflammatory and Autoimmune
Conditions At The Crossroad of Covid-19. Journal of Autoimmunity, 102506:
1–75.
Rothan, H.A. & Byrareddy S.N. 2020. The Epidemiology and Pathogenesis of Coronavirus
Disease (Covid-19) Outbreak. Journal of Autoimmunity. 2(1):1-4.
Russell, C.D., Millar, J.E., Baillie, J.K. 2020. Clinical Evidence Does Not Support
Corticosteroid Treatment for 2019-nCoV Lung Injury. Lancet. 395(10223): 473-5.
Salehi, S., Abedi, A., Balakrishnan, S., Gholamrezanezhad, A. 2020. Coronavirus Disease

J Roentgenol. p.1-7.
21
2019 (Covid-19): A Systematic Review of Imaging Findings in 919 Patients. AJR Am

Shen, C., Wang, Z., Zhao, F., Yang, Y., Li, J., Yuan, J. 2020. Treatment of 5 Critically Ill
Patients With Covid-19 With Convalescent Plasma. JAMA. E1-E8.
20
Society of Critical Care Medicine. 2020. Surviving Sepsis Campaign: Guidelines on the
Manajement of Critically Ill Adults with Coronavirus Disease 2019 (Covid-19).
Critical Care Medicine.
Susilo, A., Rumede CM, Pitoyo CW, et al. 2020. Coronavirus Disease 2019: Tinjauan
Literatur Terkini. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia. 7(1): 45-76.
P

Tanne, J.H. 2020. Covid-19: FDA Approves Use of Convalescent Plasma to Treat Critically
Ill Patients. BMJ. m1256.
AU

Tresnasari, C. & Dharmmika, S. 2020. Covid-19 dan Tatalaksana Kedokteran Fisik dan
Rehabilitasi Pasien Dalam : KOPIDPEDIA Bunga Rampai Artikel Penyakit Virus
Korona (Covid-19). Bandung: UNISBA. p. 93-105
Wang, M., Cao, R., Zhang, L, Yang X, Liu J, Xu M. 2020. Remdesivir and Chloroquine
Effectively Inhibit the Recently Emerged Novel Coronavirus (2019-nCoV) In Vitro.
Cell Res. 30(3): 269-71.
Wang, W., Xu, Y., Gao, R., Lu, R., Han, K., Wu, G. 2020. Detection of SARSCoV-2 in
Different Types of Clinical Specimens. JAMA. 323(18):1843-1844.
Wang, Z., Qiang, W., Ke, H. 2020. A Handbook of 2019-nCoV Pneumonia Control and
Prevention. Hubei Science and Technologi Press. China: Hubei Science and
Technology Press. pp.1-108
World Health Organization. 2020. Laboratory Testing for Coronavirus Disease 2019 (Covid-
19) in Suspected Human Cases. Geneva: World Health Organization.
World Health Organization (WHO). 2020. Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) Situation
Report. [Cited 2020 August 10th]. Available from: https://who.int/.

BAB 7_Rehabilitasi Medik Sistem Respirasi Pasca Serangan Covid-19 pada Usia Lanjut 95
World Health Organization. 2020. Infection Prevention and Control During Health
Care When Novel Coronavirus (nCoV) Infection is Suspected. Geneva: World
Health Organization.
World Health Organization. 2020. Rational Use of Personal Protective Equipment for
Coronavirus Disease (Covid-19). Geneva: World Health Organization.
World Health Organization (WHO). 2020. Q&A on Coronavirus (Covid-19). [Cited 2020
August 15th]. Available from: https://who.int/.
Wu Z, McGoogan JM. 2020. Characteristics of and Important Lessons From the Coronavirus
Disease 2019 (Covid-19) Outbreak in China: Summary of a Report of 72.314 Cases
From the Chinese Center for Disease Control and Prevention. JAMA. 323(13):
1239–1242
Yang, J., Zheng, Y., Gou, X., Pu K, Chen Z, Guo Q. 2020. Prevalence of Comorbidities
in The Novel Wuhan Coronavirus (Covid-19) Infection: A Systematic Review and
Meta-analysis. Int J Infect Dis. 94(2020): 91-95.
Yang, L & Yang, T. 2020. Pulmonary Rehabilitation for Patients with Coronavirus Disease

21
2019 (Covid-19). Chronic Diseases and Translational Medicine. 6(2): 79-86.
Zeng, B., Chen D, Qiu Z, Zhang M, Wang G, Zhao J. 2020. Expert Consensus on Protocol
of Rehabilitation for Covid-19 Patients Using Framework and Approaches of WHO
International Family Classifications. Aging Medicine. 3(2): 82–94.
20
Zhao, H.M., Xie, Y.X., Wang, C. 2020. Recommendations for Respiratory Rehabilitation
in Adults with Coronavirus Disease 2019. Chinese Medical Journal. 133(13):
1595–1602.
Zhou, P., Yang, X-L, Wang, X-G, Hu, B., Zhang, L., Zhang, W. 2020. A Pneumonia
Outbreak Associated with a New Coronavirus of Probable Bat Origin. Nature.
P

579(7798): 270-3.
Zou, L., Ruan, F., Huang, M., Liang, L., Huang, H., Hong, Z. 2020. SARSCoV-2 Viral
AU

Load in Upper Respiratory Specimens of Infected Patients. N Engl J Med. 382(12):


1177-9.

96 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


BAB 8

Rehabilitasi Stroke
dengan Covid-19
Meisy Andriana

21
20
8.1 PENGANTAR
SARs-CoV-2 penyebab Covid-19 telah mencapai level pandemi sejak Maret 2020.
Sejak kasus pertama yang terjangkit virus corona atau Covid-19 ditemukan di
P

Wuhan pada Desember 2019, dan menyebar ke seluruh dunia tanpa terkendali.
Angka kematian bervariasi antara 2 sampai 6 % dengan angka kematian yang
AU

tinggi pada usia diatas 60 tahun yang disertai dengan komorbiditas. Covid-
19 memberikan tekanan dan dampak secara global pada pelayan publik dan
pemberian pelayanan kesehatan yang belum pernah dilaporkan sebelumnya
(Nagami, et al., 2020 , Bathia, et al, 2020)
SARS-Cov2 tidak hanya menyebabkan pneumonia tapi berdampak pada
sistem kardiovaskuler. Pasien dengan faktor risiko termasuk laki-laki, usia lanjut,
hipertensi dan obesitas seperti juga penyakit kardiovaskuler atau stroke merupakan
populasi yang rentan, dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas bila terkena
Covid-19 dan juga menyebabkan komplikasi terjadinya arteri trombosis dengan
adanya inflamasi, disfungsi endotel dan generation thrombin dan aktivasi platelet
(Segarra, et al.,2020; Bersanno, et al., 2020). Infeksi dengan sindrom respirasi
akut yang berat karena Covid-19 seperti pneumonia akan meningkatkan kejadian
gangguan neurologis seperti stroke karena dapat mengenai sistem vaskuler paru
dan organ lain dan peningkatan risiko terjadinya trombosis (PAHO, 2020; Spruit

97
et al., 2020). Pasien dengan stroke akan terjadi kondisi sekunder yang bukan
saja karena gangguan vaskuler tapi juga tidak adanya akses untuk mendapatkan
pelayanan rehabilitasi (Wang, et al., 2020).
Pada banyak kasus, pasien sering pada kondisi tirah baring di ICU, terjadi
komplikasi seperti gangguan menelan, kelemahan otot, miopati, neuropati yang
disebabkan karena kondisi kritis dan gangguan penurunan mobilitas sendi, nyeri
leher dan bahu, kesulitan berdiri, gangguan keseimbangan dan pola gait dengan
konsekuensi terjadi limitasi AKS (Spruit, et al, 2020).
Walaupun tidak ada data yang mengindikasikan angka infeksi Covid-19
di antara penderita stroke, komorbid seperti hipertensi, diabetes dan penyakit
kardiovaskuler dilaporkan mempunyai hubungan yang erat dalam terjadinya
peningkatan infeksi di antara pasien stroke. Berdasar pada hiperkoagulabilitas dan
peningkatan kejadian trombotik pada Covid-19 yang berat terjadi peningkatan
risiko stroke, terutama etiologi emboli dapat diprediksi (Jillella, et al., 2020;

21
Bersanno, et al., 2020). Risiko stroke sekunder juga meningkat bukan hanya
disebabkan karena trombosis yang terjadi pada Covid-19 tetapi juga karena
inaktivitas fisik yang terjadi karena pembatasan terhadap fasilitas dan terapi
20
RS (PAHO, 2020). Sistemetik review yang dilakukan Bathia, dkk., penyebab
stroke pada Covid-19 adalah multifaktorial yaitu didapatkan adanya faktor risiko
vaskular, adanya penanda inflamasi yang tinggi berupa peningkatan D-dimer.
Hasil luaran yang jelek pada pasien dengan Covid-19 dan stroke khususnya
dengan Covid-19 yang berat dan peningkatan marker inf lamasi yang tinggi
P

(Bathia, et al., 2020). Pasien stroke dengan atau tanpa Covid-19 sebagian besar
membutuhkan rehabilitasi selama dan segera setelah KRS. Sebagian pasien
AU

mengalami kesulitan dalam aktivitas keseharian terutama pada kondisi penyakit


yang berat , tinggal di rumah sakit dalam periode yang lama dan dengan gejala
yang menetap (Spruit, et al., 2020).

8.2 MEKANISME STROKE PADA COVID-19


Pada Maret 2020, dunia dikejutkan dengan adanya global SARS-Cov2
dengan 4296 kematian karena terinfeksi Covid-19. Mei 2020 hampir 3,7 juta
dengan test positif dan lebih 250.000 kematian (Berzano, et al., 2020). Secara
keseluruhan case fatality rate sangat spesifik pada satu negara dan tergantung
dari epidemiologi, tes, regritrasi, demografi, kapasitas pelayanan kesehatan dan
keputusan ataupun regulasi pemerintah setempat. Selanjutnya, infeksi Covid-19
mempunyai kesamaan pada gender, tetapi angka kematian lebih tinggi pada laki-

98 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


laki, kondisi ini juga dilaporkan oleh WHO (Spence, et al., 2020). Penemuan
kondisi neurologis yang bervariasi termasuk stroke dengan Covid-19 walaupun
belum adanya kejelasan pola dan karakter dengan hubungan ini, apakah Covid-
19 penyebab atau hanya sebagai coexist atau sebagai pencetus terjadinya stroke
(Wang, et al., 2020). World Stroke Organization melaporkan risiko stroke infark
selama Covid-19 sekitar 5%, sedangkan risiko stroke perdarahan lebih sedikit
dibandingkan stroke infark. Pasien Covid-19 yang mengalami stroke cenderung
lebih tua dan peningkatan level D-dimer. Begitu juga dengan 50 pasien stroke
infark di Wuhan China didapatkan adanya komorbiditas, hitung platelet dan
lekosit rendah dengan D-dimer dan troponin jantung, interleukin 6 yang tinggi.
Ada beberapa mekanisme yang tampaknya menjadi penyebab dari stroke infark
pada Covid-19, yaitu hiperkoagulasi, vaskulitis, kardiomiopati, DIC, necrotizing
encelophaty (Spence, et al., 2020; Bathia, et al., 2020).
Stroke merupakan salah satu komorditas terbanyak seperti stroke infark,

21
stroke perdarahan dan trombosis vena serebral. Berdasar pada hiperkoabilitas dan
peningkatan insiden kejadian trombosis pada Covid-19 yang berat, peningkatan
risiko stroke khususnya etiologi emboli dapat di prediksi, tetapi data yang ada
20
terbatas terutama karakteristik dan kejadian stroke dengan Covid-19 (Jilella, et
al., 2020; Spence, et al., 2020). Di Surabaya khususnya Di RSUD dr. Soetomo
sebagai pusat rujukan Covid-19, kasus stroke dengan Covid-19 yang dikonsulkan
ke Instalasi Rehabilitasi Medik selama priode Juni–November 2020 yang
dikonsultasikan dari ruang RIK (Ruang Isolasi Khusus) dan R. Saraf sebanyak
P

27 orang dengan stroke infark sebanyak 15 orang (55%) dan stroke perdarahan
sebanyak 12 orang (44 %) (Sumber Data Chart Round R. Saraf).
AU

Studi kasus dini yang dilakukan di RS Wuhan di China pasien dengan


penyakit yang berat didapatkan adanya manifestasi neurologis termasuk
stroke (5,7%) dan gangguan kesadaran (14,8%). Pasien dengan Covid-19 dan
gangguan susunan saraf pusat didapatkan adanya kadar limfosit yang rendah
dan peningkatan kadar D-dimer yang merupakan suatu hubungan yang
dimungkinkan dengan infeksi dan gangguan neurologis. Peningkatan profil
prokoagualan seperti D-dimer dan degradasi fibrin ditemukan pada pasien
Covid-19 dan koagulapati dapat kembali setelah pemberian tromboprofilasis.
Selain itu intravaskular koagulopati yang ditandai dengan trombositopeni berat
dan hitung platelet yang rendah juga didapatkan pada kondisi Covid-19 yang
berat (Spence, et al., 2020).

BAB 8_Rehabilitasi Stroke dengan Covid-19 99


8.3 PENATALAKSAAN REHABILITASI PADA STROKE DENGAN COVID-19
Pandemi Covid-19 tidak saja berdampak pada kesehatan masyarakat tapi
juga berpengaruh pada layanan publik terhadap rumah sakit, di mana dapat
menghambat pasien stroke dalam menerima terapi standar rehabilitasi. Rehabilitasi
sangat dibutuhkan pada pasien dengan Covid-19 yang berat selama fase akut,
subakut, dan fase kronis di mana dibutuhkan rehabilitasi jangka panjang. Profesi
rehabilitasi seharusnya juga berada di ICU, ruangan, dan rawat jalan, serta pada
komunitas (layanan primer). Khususnya intervensi rehabilitasi pada Covid-19
yang membutuhkan bantuan ventilator ( PAHO, 2020; Wang, et al., 2020).
Untuk mempertimbangkan keamanan dan manajemen stroke selama
pandemi Covid- 19, perlu dilakukan algoritma stroke pada setiap fase penanganan
stroke termasuk pre-hospitalisasi dan fasilitas transfer, hospitalisasi dan program
terapi, pada waktu keluar rumah sakit dan rehabilitasi rawat jalan. Telemedisin,

al., 2020).
21
peraga alat virtual sangat diperlukan untuk edukasi dan pencegahan (Chang, et

Terapi neurorehabilitasi berpotensi untuk diedukasikan dan dilakukan di


rumah setelah pasien keluar dari rumah sakit karena terapi fisik dan rehabilitasi
20
sulit dilakukan pada masa pandemi, sehingga khusus pada kondisi fase akut dan
subakut, konsekuensinya adalah pasien tidak mendapatkan fase pemulihan yang
optimal. Beberapa penelitian membuktikan imobilisasi lama akan menyebabkan
penurunan fungsi secara signifikan sehingga dibutuhkan strategi untuk
P

memfasilitasi neurorehabilitasi di mana tidak adanya bantuan dari fisioterapis


dan terapis okupasi. Beberapa teknik yang dapat berpotensi untuk menstimulasi
AU

neurorestorasi dan mempertahankan kekuatan otot dengan memberikan sedikit


tahanan. Infeksi Covid-19 mempunyai hubungan dengan kondisi inf lamasi
yang tinggi, yang bisa menetap walaupun sudah keluar rumah sakit. Latihan
intensitas sedang sangat aman dan dapat dilakukan pada survivor penyakit yang
berat sedangkan latihan dengan intensitas tinggi belum diketahui keamanannya
(Wang, et al, 2020; Spence, et al, 2020).
Program rehabilitasi yang didapat diimplementasikan pada penderita pasca
stroke dengan Covid-19 adalah latihan di rumah (home-based exercise). Latihan
lokomotif di rumah (home based locomotion training) mencapai respons dengan
efisiensi yang sama dibandingkan dengan latihan di RS atau klinik rehabilitasi.
Mayo, dkk. kombinasi antara bersepeda dengan latihan ambulasi dengan
pengawasan dapat mencapai kemampuan jalan pada pasien stroke. Sebagian besar
latihan harus disupervisi oleh terapis atau dapat dibantu oleh caregiver seperti
anggota keluarga. Pemberian TENS dengan alat portable dapat mempertahankan

100 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


kekuatan otot dan mengurangi spastisitas bila akses pelayanan ke rumah sakit
terhambat (Wang, et al., 2020).

8.4 TELEREHABILITASI PADA REHABILITASI STROKE


Transmisi Covid-19 terjadi lewat kontak pasien di mana bila frekuensi kontak
meningkat kemungkinan terinfeksi Covid-19 juga meningkat. Telerehabilitasi
merujuk pada pelayanan rehabilitasi yang menggunakan komunikasi elektronik
teknologi di mana dapat diimplementasikan tanpa bertemu dengan dokter dan
pasien. Keuntungan telerehabilitasi adalah pelayanan rehabilitasi dapat terus
berlanjut pada kondisi di mana dibutuhkan physical distancing dan pelayanan
diterima pada tempat yang nyaman yaitu rumah pasien. Metode terapi rehabilitasi
dan program yang berdasar pada telerehabilitasi contohnya menggunakan video,
foto, dan mendemokan bagaimana terapi rehabilitasi yang akan diberikan. Fungsi

21
motorik, bahasa, dan kognitif dapat dinilai menggunakan video atau program
spesial yang lain (Chang, et al., 2020).
Telerehabilitasi berdampak positif pada gangguan fungsi motor dengan hasil
20
luaran yang positif. Systematic review yang dilakukan Langhorne, Coupar, dan
Pollock tentang efek pada pemulihan motorik didapatkan adanya hasil luaran
positif pada intervensi seperti CIMT, latihan dengan tujuan yang spesifik (task
specific training). Valberg, dkk. mengadakan suatu RCT didapatkan adanya
perbaikan fungsi motorik pada latihan balans dan latihan dengan tahanan
P
AU

Gambar 8.1 Metode telerehabilitasi untuk rehabilitasi stroke (MotusNova.com).

BAB 8_Rehabilitasi Stroke dengan Covid-19 101


progresif dengan penemuan yang menarik pada sistematic review ini adalah
kurangnya dampak telerehabilitasi pada gangguan balans, sehingga telerehabilitasi
kurang ideal bila balans merupakan keluaran hasil primer yang akan dinilai
(Appleby, et al., 2019).

Tujuan rehabilitasi stroke (PAHO, 2020; Panduan Rehabilitasi Stroke, 2014)


Stroke merupakan suatu peyakit yang menimbulkan kecacatan paling sering
diantara semua penyakit yang ada. Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi
yang memang berfokus pada masalah kecacatan atau gangguan fungsi sangat
memperhatikan permasalahn tersebut. Tujuan managemen rehabilitasi pada
kecacatan yang ditimbulkan oleh penyakit stroke adalah sebagai berikut:
1. Tujuan utama rehabilitasi adalah untuk mencegah komplikasi, minimalisasi
disabilitas, dan meningkatkan fungsi;

21
2. Pencegahan sekunder adalah dasar untuk mencegah berulangnya stroke,
seperti kejadian dan penyakit jantung koroner;
3. Penilaian awal dan intervensi merupakan langkah kritikal untuk mencapai
rehabilitasi yang optimal;
20
4. Evaluasi standar dan penilaian berdasarkan tool yang valid untuk perencanaan
terapi komprehensif;
5. Intervensi berdasarkan bukti sebagai dasar untuk pencapaian fungsi (functional
goals);
P

6. Setiap penderita dinilai oleh multidisiplin tim rehabilitasi untuk mendapatkan


hasil luaran optimal;
AU

7. Pasien dan anggota keluarga ataupun caregiver merupakan bagian dari tim
rehabilitasi;
8. Edukasi terhadap pasien atau keluarga dapat memperbaiki keputusan yang
diambil, penyesuaian sosial, dan mempertahankan keuntungan rehabilitasi;
9. Tim multidisiplin harus menggunakan sumber daya masyarakat untuk kembali
ke komunitas (masyarakat)
10. Manajemen untuk faktor risiko atau komorbiditas harus terus berlanjut.

8.5 REKOMENDASI REHABILITASI STROKE


Hal di bawah ini merupakan rekomendasi yang sangat penting diketahui oleh
seluruh masyarakat maupun stakeholder yang memberikan penanganan stroke:
a. Rekomendasi kuat, di mana terapi rehabilitasi dimulai segera bila memungkinkan
setelah medikal stabil (neurologikal dan hemodinamik stabil);

102 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


b. Direkomendasikan pasien mendapat program sebanyak mungkin yang
dibutuhkan untuk adaptasi dan pemulihan premorbid sehingga tercapai
optimal level fungsi secara mandiri;
c. Telerehabilitasi pada pasien stroke merupakan salah satu bentuk pelayanan
rehabilitasi yang dapat digunakan untuk mencegah atau mengurangi risiko
infeksi dan terbukti cukup efektif (Appleby, et al., 2019; Chang, et al., 2020).

8.6 REHABILITASI STROKE (PANDUAN REHABILITASI STROKE PERDOSRI,


2014):
Managemen rehabilitasi pada pasien-pasien stroke, berdasarkan fase stroke
yang sedang dialami pasien. Keluaran managemen rehabilitasi pada setiap fase
akan berbeda-beda pula, keterangan di bawah ini menggambarkan managemen
rehabilitasi pada tiap-tiap fase stroke.

21
1. Rehabilitasi stroke fase akut
Rehabilitasi stroke dimulai selama di rumah sakit, bila diagnosis stroke
sudah ditegakkan dan masalah kegawatdaruratan telah diatasi, prioritas
20
utama selama fase dini adalah mencegah terjadinya stroke berulang dan
komplikasi.
Tujuan program rehabilitasi stroke fase akut adalah meminimalisir gejala sisa
dengan membantu perbaikan perfusi otak; serta mencegah komplikasi akibat
stroke maupun tirah baring lama agar tercapai pemulihan fungsional yang
P

optimal.
AU

Jenis intervensi:
- posturing posisi terapeutik
- perubahan posisi secara berkala
- terapik fisik dada
- terapi latihan LGS
- terapi latihan peregangan
- stimulasi sensoris multimodal
- mobilisasi duduk dan terapi latihan aktif
- terapi latihan perawatan diri
- terapi latihan fungsi eksekusi
- uji fungsi menelan
- terapi latihan oromotor dan menelan
- uji fungsi kontrol miksi dan bladder training
- uji fungsi kontrol bowel dan bowel training

BAB 8_Rehabilitasi Stroke dengan Covid-19 103


- uji fungsi komunikasi, stimulasi dan terapi latihan, pemberian alat bantu
komunikasi
2. Rehabilitasi stroke fase subakut
Ditandai oleh kondisi medis dan hemodinamik stabil dan adanya proses
pemulihan dan reorganisasi pada sistem saraf. Fase pemulihan ini dimulai
2 minggu sampai 6 bulan pasca stroke. Fase ini merupakan fase penting
untuk pemulihan fungsional (golden periode). Tujuan rehabilitasi untuk
mengoptimalkan pemulihan kemampuan fungsional seseorang setelah stroke
sesuai dengan kondisi dan tingkat keparahan stroke berdasarkan motor re-
learning dan plastisitas otak.
Intervensi rehabilitasi stroke fase subakut:
- penanganan afasia
- penanganan disatria

21
- penanganan akibat disfagia
- penanganan gangguan ambulasi
- penanganan keterbatasan dalam perawatan diri dan aktivitas sehari-hari
- penanganan gangguan miksi dan kontrol miksi
20
- penanganan gangguan defekasi dan kontrol defekasi
- penanganan gangguan dekondisi atau penurunan kebugaran kardiorespirasi
- penanganan gangguan fungsi kortikal luhur yang menyebabkan
keterbatasan dalam aktivitas
P

- gangguan aktivitas sehari-hari akibat masalah visus


3. Rehabilitasi stroke fase kronis:
AU

Fase kronis ini sudah terjadi atau sudah terbentuknya reorganisasi sistem
saraf, di mana proses pemulihan selanjutnya didasarkan pada adaptasi dan
kompensasi terhadap disabilitas yang ada. Fase ini umumnya terjadi enam
bulan pasca stroke.
Intervensi Rehabilitasi stroke fase kronis:
- memaksimalkan kemampuan fungsional
- program kebugaran kardiorespirasi
- terapi latihan pencegahan stroke berulang
- return to work
- return to community

Gambar 8.2 adalah contoh posisi pada pasien stroke untuk mencegah komplikasi
imobilasi lama seperti ulkus dekubitus dan mencegah pola sinergis.

104 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


Gambar 8.2 Positioning pasien stroke (Sumber: www.AuroraHealthCare.org)

21
A. Posisi tidur terlentang atau duduk, memakai bantal pada kepala, tempatkan
bantal pada sisi yang parese untuk menyangga bahu, siku, lengan bawah,
pergelangan tangan, dan tangan. Disarankan untuk penggunaan splint
20
pada kaki untuk mencegah pemendekan tendon achiles dan kulit yang
pecah.
P
AU

Gambar 8.3 Positioning Pasien Saat berbaring miring di sisi yang sehat (Sumber: www.
AuroraHealthCare.org)

BAB 8_Rehabilitasi Stroke dengan Covid-19 105


B. Berbaring miring pada sisi sehat. Tempatkan bantal pada kepala. Ganjal
dengan satu atau dua bantal di bawah sisi pareses sehingga bahu sedikit
ke depan dan tangan disangga. Kaki yang parese disangga dengan bantal,
panggul dan lutut posisi menekuk (fleksi). Bantal di punggung mencegah
supaya punggung tidak berputar balik.

21
20
P
AU

Gambar 8.4 Positioning Pasien Saat berbaring miring di sisi yang sakit (Sumber: www.
AuroraHealthCare.org)

C. Berbaring pada sisi parese. Tempatkan bantal di bawah kepala, berbaring


pada sisi paretic posisikan bahu ke depan, bantal menyangga keseluruhan
lengan pada tempat tidur, sisi tungkai paretik lurus dengan sedikit fleksi lutut,
tempatkan kaki sisi sehat pada bantal.
D. Posisi ini sebaiknya diubah setiap 2 jam untuk mencegah ulkus decubitus dan
untuk kenyamanan pasien.

106 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


Posisi duduk pasien stroke

21
Gambar 8.5 Posisi Pasien saat Duduk (Ada penyangga di punggung dan penyangga bantal di
lengan yang sakit) (Sumber: https://www.sunwaymedical.com/strokecare)

Keterangan:
20
Pada saat pasien duduk, punngung tegak lurus bersandar, sementara lengan yang parese diganjal
bantal mulai dari ketiak hingga tangan.
P
AU

Gambar 8.6 Posisi pasien saat duduk di sofa (Sumber: https://www.sunwaymedical.com/


strokecare)

Keterangan:
Bila kaki yang paretik terjatuh ke satu sisi dan tidak menyentuh lantai, taruh bantal atau
gulungan handuk di sisi arm rest tempat duduk, sehingga mempertahanakan kaki paretik pada
posisi netral dan kaki dapat menyentuh lantai.

BAB 8_Rehabilitasi Stroke dengan Covid-19 107


8.7 RINGKASAN
Rehabilitasi memberikan luaran fungsi yang optimal dan mengurangi komplikasi
yang berhubungan dengan kondisi di ICU, meningkatkan pemulihan dan
mengurangi dampak disabilitas. Intervensi rehabilitasi membantu gangguan berat
Covid-19 termasuk gangguan fisik, kognitif, menelan, dan dukungan psiko-sosial.
Pasien usia lanjut lebih peka terhadap penyakit berat dan rehabilitasi mempunyai
keuntungan yang besar untuk mempertahankan level kemandirian. Rehabilitasi
juga membantu untuk mempercepat pasien untuk keluar dari rumah sakit di
mana kebutuhan tempat tidur yang sangat tinggi dan membantu mempersiapkan
pelayanan kesehatan selanjutnya dan mengurangi risiko untuk masuk rumah
sakit kembali kembali.
Telerehabilitasi akan menjadi semakin popular sebagai suatu yang akses
untuk mendapatkan pelayanan rehabilitasi untuk populasi di mana adanya

21
hambatan untuk mendapatkan pelayanan model tradisional. Telerehabilitasi
dapat efektif sebagai pelayanan utntuk gangguan motorik, AKS dan kepuasan
kualitas hidup.
Tata laksana pada rehabilitasi stroke dibagi atas fase akut, subakut, dan stroke
20
seperti pada Tabel 8.1 berikut.

Tabel 8.1 Tata Laksana pada Rehabilitasi Stroke.

Fase Stroke Intervensi Rehabilitasi Setting Tempat


P

Fase akut Pasien dengan gejala berat Covid-19 yang mendapat - ICU
ventilator, profesi rehabilitasi berperan dalam - HCU
manajemen akut respirasi serta mempertahankan - termasuk R. isolasi
AU

dan memperbaiki fungsi untuk membantu fasilitasi


pemulihan lebih dini. Membantu memperbaiki
oksigenasi, pengeluaran sekret, program ventilation
weaning. Berperan dalam peningkatan nutrisi dan
pencegahan aspirasi pneumonia khususnya pasca
intubasi dan atau tanpa trakeostomi.
Fase subakut Pada fase pemulihan dini, pasien biasanya dipindah ke – Ruangan Rawat
ruangan atau untuk pasien yang tidak membutuhkan inap
perawatan ICU, intervensi rehabilitasi fokus pada – termasuk R. isolasi
manajemen pada impairment yang ada seperti
mobilisasi, fungsi repirasi, kognitif, fungsi menelan
dan nutrisi serta komunikasi. Intervensi pada fase ini
bertujuan untuk meningkatkan kemandirian AKS dan
untuk support psikososial. Profesi rehabilitasi juga
berperan secara signifikan untuk persiapan rawat
jalan , di mana pada pasien lansia perencanaan lebih
kompleks dan yang disertai komorbiditas.

108 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


Fase Stroke Intervensi Rehabilitasi Setting Tempat
Fase kronis Setelah rawat jalan, rehabilitasi berlanjut dengan - Rehabilitasi rawat
(jangka peningkatan latihan, edukasi konservasi energi jalan di rumah
panjang) dan modifikasi perilaku, modifikasi alat bantu, sakit (outpatient
tempat tinggal. Selama fase pemulihan panjang clinic)
pada kondisi Covid-19 yang berat, pasien diberikan - Pelayanan
intervensi rehabilitasi respirasi di mana target rehabilitasi di
pada gangguan pernapasan termasuk kombinasi rumah (home
peningkatan latihan, edukasi, AKS dan bantuan service)
psiko-sosial. Pada kondisi pandemi terjadi hambatan - telehealth
baik pada physical distancing, keterbatasan sumber (penggunaan
daya manusia (tenaga kesehatan), keterbatasan teknologi
transportasi publik dan risiko infeksi sehingga telekomunikasi
telehealth atau telerehabilitation dibutuhkan dan virtual
seperti grup exercise dan edukasi secara virtual. dalam pemberian
Pelayanan rehabilitasi yang berada pada komunitas pelayanan
masyarakat merupakan tempat terbaik untuk kesehatan
mendapatkan pelayanan kesehatan jangka panjang
(layanan primer)

Sumber: PAHO, WHO, 2020


21 termasuk
rehabilitasi)
20
DAFTAR PUSTAKA
Appleby, E. , Gill, S.T., Hayes, L.K., Walker, T.L.,Walsh, M., Kumar, S. 2019.
Effectiveness of telerehabilitation in the manajement of adults with stroke: A
systematic review..PLoS ONE,14(11):e0225150. https://doi.org/10.1371/journal.
P

pone.0225150D
Bersano, A., Kraemer, M., Touze, E., Weber, R., Alamowith, S., Sibon, I., Pantoni,
AU

L. 2020. Stroke Care During The Covid-19 Pandemic: Experience From Three
Large European Countries. European Journal of Neurology. 27(9):1794-1800.
Bhatia, R., Pedapati, R., Komakula, S. ,Srivastava, P., Vishnubhatla, S., Khurana,
D.:2020. Stroke in Coronavirus Disease 2019: A Systematic Review . Journal of
Stroke, 22(3):324-335 https://doi.org/10.5853/jos.2020.02264
Chang, M.C. & Reveret, M.B. 2020. Usefulness of Telerehabilitation for Stroke
Patients During the Covid-19 Pandemic. American Journal of Physical Medicine
& Rehabilitation, 99(7):582.
Jillella, D.V., Janocko, N.J., Nahab, F., Benameur, K., Greene, J.G., Wright, W.L.
2020. Ischemic stroke in Covid-19: An urgent need for early identification and
management. PLoS ONE, 15(9): e0239443. https://doi.org/10.1371
Nagami, M., Chow, S. D., Chang, P.D., Albala, B.B., Yu, W., Soun, J.E. 2020. Impact
of Acute Stroke Pesentation at a Comprehensive Stroke Centre. Frontiers in
Neurology, 11(850):1-4. doi: 10.3389/fneur.2020.00850

BAB 8_Rehabilitasi Stroke dengan Covid-19 109


PAHO , WHO. 2020 Rehabilitation considerations during the Covid-19 outbreak . Pan
American Health Organization,
PB Perdosri. 2014. Panduan Rehabilitasi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis
Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Indonesia
Segarra, N.D., Edmond, A., Kunac, A., Yonclas, P. 2020. Covid-19 Ischemic Strokes
as an Emerging Rehabilitation Population: A Case Series . American Journal
of Physical Medicine & Rehabilitation, 99(10):876-879. DOI: 10.1097/
PHM.0000000000001532
Spence, J.D., de Freitas,G.R., Pettigrew, L.C. et al. 2020. Mechanisms of Stroke in
Covid-19. Cerebrovasc Dis, 49:451–458
Spruit, M.A., Hollad, A.E., Singh, S.J., Tonia, T., Wilson, K.C., Troosters, T. 2020.
Covid-19: Interim Guidance on Rehabilitation in the Hospital and Post-Hospital
Phase from a European Respiratory Society and American Thoracic Society-
coordinated International Task Force. Eur Respir J, 56(6):2002197. (https://doi.
org/10.1183/13993003.02197-2020).

21
Wang, C.C., Wang, M.L., Chao, J.K. 2020. Care for Patients with Stroke During
the Covid-19 Pandemic: Physical Therapy and Rehabilitation Suggestions for
Preventing Secondary Stroke. Cerebrovasc Dis, 49:451–458
20
P
AU

110 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


BAB 9

Prevensi dan Rehabilitasi


Gangguan Kardiovaskular
Pasca Serangan Covid-19

21
Meity Ardiana, Andrianto
20
9.1 PENGANTAR
P

Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) telah menyebabkan masalah


kesehatan serius di dunia. Masalah kesehatan ini menjadi efek domino terjadinya
AU

masalah lain di berbagai bidang kehidupan dan sangat banyak menyita sumber
daya. Perhatian penuh oleh berbagai rumpun ilmu kesehatan tertuju untuk
menyelesaikan pandemi ini. Kerja sama antar rumpun ilmu kesehatan menjadi
kunci dalam penanganan pasien Covid-19, mengingat Covid-19 telah menjadi
suatu penyakit yang dapat melibatkan berbagai sistem organ di dalam tubuh.
Salah satu sistem organ yang terlibat yaitu sistem kardiovaskular. Meskipun sistem
respirasi merupakan sistem utama yang dapat terlibat pada Covid-19, namun
keterlibatan sistem kardiovaskular juga dapat menyebabkan konsekuensi yang
berat pada pasien Covid-19. Selain dapat menimbulkan penyakit kardiovaskular
baru, peningkatan morbiditas dan mortalitas juga dapat dialami oleh pasien Covid-
19 yang telah memiliki penyakit komorbid kardiovaskular sebelumnya (Khera, et
al., 2020; Momtazmanesh, et al., 2020). Fakta tersebut dapat menunjukkan bahwa
terdapat korelasi antara Covid-19 dengan penyakit kardiovaskular.

111
Data global menunjukkan bahwa penyakit kardiovaskular menjadi komorbid
paling banyak pada pasien Covid-19 dengan prevalensi di atas 10%. Tidak
hanya prevalensinya yang tinggi, namun sebagian besar komorbid penyakit
kardiovaskular ini dimiliki oleh pasien Covid-19 dengan gejala berat di ruang
perawatan intensif atau pasien Covid-19 yang telah meninggal. Hal ini membuat
penyakit kardiovaskular menjadi penentu prognosis yang penting dari pasien
Covid-19. Laporan dari Chinese control disease and prevention menunjukkan
bahwa Case Fatality Rate (CFR) Covid-19 paling tinggi banyak terjadi pada
pasien dengan komorbid penyakit kardiovaskular (10,5%) kemudian baru disusul
pasien dengan komorbid lain seperti diabetes (7,3%), penyakit paru kronik (6,3%),
dan kanker (5,6%). Data tersebut juga didukung oleh negara-negara lain yang
memiliki prevalensi Covid-19 cukup tinggi di dunia seperti Amerika Serikat dan
Italia (Clerkin, et al., 2020; Khera et al., 2020; Nishiga et al., 2020).
Seiring berkembangnya pandemi Covid-19 ini, diketahui bahwa penyakit

21
kardiovaskular tidak hanya menjadi komorbid yang dapat memperburuk prognosis
namun penyakit kardiovaskular juga dapat muncul sebagai komplikasi fatal
dari Covid-19, bahkan pada pasien yang tidak memiliki riwayat komorbid
20
apapun. Terdapat beberapa manifestasi gejala dan tanda adanya komplikasi
kardiovaskular pada pasien Covid-19. Jejas pada miokardium merupakan salah
satu komplikasi kardiovaskular pada Covid-19. Jejas pada miokardium akut
ditunjukkan dengan adanya peningkatan high-sensitivity cardiac troponin pada
10–20% pasien Covid-19 yang hidup dan meninggal meskipun pasien tidak
P

mengalami riwayat penyakit kardiovaskular sebelumnya. Pasien Covid-19 juga


memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap kejadian ruptur plak aterosklerosis
AU

akibat meningkatnya tonus vaskular saat terjadi inflamasi sistemik. Inflamasi


sistemik juga memiliki konsekuensi meningkatkan koagubilitas darah. Kedua
patologi tersebut dapat memicu suatu keadaan akut pada pembuluh darah arteri
yang mengancam jiwa seperti sindrom koroner akut dan stroke ataupun kondisi
yang menyebabkan meningkatnya morbiditas pasien, seperti trombosis akut pada
arteri atau vena. Covid-19. Beberapa laporan menemukan bahwa pasien Covid
-19 juga dapat mengalami gagal jantung akut onset baru atau dekompensata
akibat berbagai macam proses patologis yang terjadi saat menderita Covid-
19, seperti hipoksia, badai sitokin dan interleukin, miokarditis akibat infeksi
langsung pada miokardium, dan gangguan hemodinamik yang bersifat akut.
Pasien Covid-19 juga dapat mengalami aritmia onset baru yang berat sehingga
dapat mengarah pada henti jantung. Obat-obatan yang digunakan pada pasien
Covid-19 seperti hidroklorokuin, azitromisin, dan lopinavir-ritonavir diduga

112 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


juga dapat menimbulkan efek samping aritmia seperti pemanjangan interval QT,
fibrilasi atrial, atau takikardia ventrikular. Namun, hal tersebut masih diperlukan
penelitian lebih lanjut (Khera, et al., 2020; Nishiga, et al., 2020).
Dari keseluruhan manifestasi kardiovaskular tersebut, miokarditis telah
dibuktikan memiliki korelasi langsung terhadap peningkatan mortalitas
pasien Covid-19 (Shi, et al., 2020). Peningkatan troponin akibat miokarditis
menyebabkan angka mortalitas pasien Covid-19 sebesar 59,6% sedangkan angka
mortalitas hanya sebesar 8,9% pada pasien Covid-19 tanpa peningkatan troponin.
Peningkatan troponin juga memiliki korelasi linear dengan kadar high sensitive
C-reactive protein (hs CRP) dan N-terminal pro-brain natriuretic peptide (NT-
proBNP) yang mengindikasikan adanya hubungan antara inflamasi, miokarditis,
dan gagal jantung (Guo, et al., 2020).

21
20
P
AU

Gambar 9.1 Hubungan patofisiologi Covid-19 dengan berbagai komplikasi kardiovaskular


(Nishiga, et al., 2020).

BAB 9_Prevensi dan Rehabilitasi Gangguan Kardiovaskular Pasca Serangan Covid-19 113
9.2 TANTANGAN DAN SOLUSI REHABILITASI KARDIOVASKULAR PADA
MASA PANDEMI COVID-19
Proses pemberian layanan kesehatan di berbagai fasilitas kesehatan telah
mengalami penundaan bahkan penghentian akibat pandemi Covid-19. World
Health Organization (WHO) menganjurkan untuk terus berada di rumah dan
tidak ke rumah sakit kecuali kondisi gawat darurat. Hal tersebut bertujuan untuk
meminimalkan risiko seseorang terpapar Covid-19 terutama pasien dengan risiko
tinggi termasuk pasien yang telah mempunyai riwayat penyakit kardiovaskular
sebelumnya. Pembatasan ini berpengaruh terhadap jumlah admisi pasien dengan
sindrom koroner akut (SKA), gagal jantung maupun stroke. Laporan dari Amerika
Serikat menunjukkan adanya penurunan penggunaan laboratorium kateterisasi
sebesar 38% selama pandemi Covid-19 berlangsung (Khera, et al., 2020).
Dalam sudut pandang pasien, seringkali didapatkan kondisi penyakit yang

21
sudah terlambat untuk mendapatkan intervensi maupun terapi ketika dibawa ke
rumah sakit. Pasien cenderung untuk meremehkan gejala penyakit yang muncul
karena mereka khawatir untuk datang ke rumah sakit. Belum lagi jika pasien
mengalami kondisi psikologis seperti cemas, stres dan depresi saat menjalani
20
karantina di rumah, menurunnya aktivitas fisik dan diet yang tidak sehat. Semua
hal tersebut dapat memperburuk kondisi pasien dengan penyakit kardiovaskular
dan akan menjadi masalah serius di masa mendatang (Kemps, et al., 2020).
Sama halnya dengan layanan di bidang kardiovaskular lain, layanan
P

rehabilitasi kardiovaskular juga telah merasakan dampak dari pandemi Covid-


19 ini. Sebagai bidang layanan kardiovaskular non-akut, layanan rehabilitasi
AU

kardiovaskular harus mengalami penghentian sebagian bahkan total. Pertama,


hal ini disebabkan oleh pengalihan fasilitas ruangan, alat, dan juga sumber daya
tenaga kesehatan yang harus dialihkan untuk penanganan Covid-19. Selain itu,
jumlah kunjungan pasien menurun drastis karena adanya himbauan untuk tidak
ke rumah sakit kecuali dalam kondisi mengancam jiwa. Sebagai manajemen
pencegahan sekunder, menurunnya atau berhentinya proses rehabilitasi pada
pasien dengan riwayat penyakit kardiovaskular akan meningkatkan angka
rehospitalisasi pasien di masa mendatang sehingga prognosis pasien akan semakin
memburuk. Tantangan lain dalam bidang rehabilitasi kardiovaskular berasal
dari penyintas Covid-19 yang mengalami komplikasi kardiovaskular. Hingga
saat ini, pengetahuan mengenai efek kardiovaskular akibat infeksi virus SARS-
CoV-2 belum sepenuhnya diketahui. Hal ini akan menimbulkan kesulitan
dalam menentukan manajemen rehabilitasi yang sesuai. Bagian rehabilitasi
kardiovaskular di rumah sakit juga harus mempersiapkan berbagai proteksi sesuai

114 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


protokol kesehatan yang berlaku untuk melindungi para tenaga kesehatan dan
tentunya pasien itu sendiri (Kemps, et al., 2020; Khera, et al., 2020; Mureddu,
et al., 2020).
Rehabilitasi jantung merupakan serangkaian kegiatan yang diperlukan untuk
memengaruhi penyebab penyakit jantung dan mencapai kondisi fisik, mental dan
sosial terbaik, sehingga mereka dapat mempertahankan atau mencapai kehidupan
seoptimal mungkin dengan usahanya sendiri (WHO, 1993).
Pada dasarnya, program rehabilitasi jantung mempunyai konsep mobilisasi
dini yang bertujuan untuk membantu pasien agar dapat kembali beraktivitas
fisik seperti sebelum mengalami gangguan jantung, mengendalikan faktor risiko
kardiovaskular, mencegah tirah baring lama, menurunkan angka kesakitan, dan
kematian dalam lima tahun pertama, menurunkan angka kejadian kardiovaskular,
mengurangi gejala seperti nyeri dada, sesak napas dan kelelahan, mengurangi
kekambuhan selama kurang lebih dua belas bulan pertama, mengurangi angka

21
hospitalisasi penyakit kardiovaskular, meningkatkan kepatuhan berobat, serta
meningkatkan kualitas hidup dengan meningkatkan kapasitas fisik tubuh. Jadi,
rehabilitasi jantung merupakan suatu program yang bersifat individual, lengkap
20
dan terstruktur untuk mempertahankan, mengembalikan dan meningkatkan
kondisi fisik, medik, psikologi, sosial, dan emosional secara optimal (Williams,
2006).
Secara umum, pengadaan layanan prevensi dan rehabilitasi kardiovaskular
sebisa mungkin tetap dilaksanakan dengan beberapa penyesuaian. Rekomendasi
P

umum yang diadaptasi dari Secondary Prevention and Rehabilitation Section of the
European Association of Preventive Cardiology adalah sebagai berikut (Kemps,
AU

et al., 2020).
1. Mengevaluasi situasi Covid-19 saat ini dan mempertimbangkan secara
sistematis efeknya terhadap pasien dengan penyakit kardiovaskular.
2. Mempersiapkan fasilitas dan tenaga kesehatan pada pelayanan preventif
dan rehabilitasi kardiovaskular dengan beberapa penyesuaian sesuai kondisi
pandemi saat ini.
3. Memberikan manajemen preventif dan rehabilitasi kardiovaskular se-efektif
dan se-efisien mungkin.
4. Mengedukasi pasien penyakit kardiovaskular agar tidak menunda melakukan
pemeriksaan ke dokter bila merasakan keluhan.
5. Mengedukasi jika terdapat berita yang salah atau hoax mengenai pandemi
Covid -19 dan penyakit kardiovaskular yang diderita.

BAB 9_Prevensi dan Rehabilitasi Gangguan Kardiovaskular Pasca Serangan Covid-19 115
6. Memberikan dukungan kepada pasien mengenai prevensi dan rehabilitasi
kardiovaskular seperti manajemen gaya hidup, mengenali faktor risiko,
dukungan psiko-sosial untuk mencegah kecemasan dan depresi, latihan fisik
ringan atau mobilisasi dini.
7. Melaksanakan asesmen dan stratifikasi risiko pasien dan jika memungkinkan
dapat dilakukan uji latih jantung untuk menilai kebugaran fisik pasien
sehingga dapat menentukan peresepan latihan fisik selanjutnya.
8. Pada pasien Covid-19 akut, tunda latihan fisik jika terdapat demam atau
gejala Covid-19 lain muncul. Pada pasien dengan gejala ringan-sedang dapat
memulai program latihan lagi setelah 1 minggu bebas demam dan bebas gejala
selama 48 jam.
9. Jika memungkinkan dapat dilaksanakan program telerehabilitasi atau secara
virtual.

21
9.3 PANDUAN REHABILITASI PASIEN DENGAN SINDROM KORONER AKUT
(SKA) PASCA INFEKSI COVID-19
20
Infeksi virus seperti SARS dan influenza telah terbukti dapat memicu SKA,
pada infeksi Covid-19 dalam beberapa laporan juga dapat memicu SKA. Infeksi
virus SARS diketahui dapat meningkatkan kejadian SKA hingga 3–10 kali,
namun angka peningkatan risiko tersebut belum diketahui pada pasien Covid-19
(Ranard, et al., 2020).
P

Peningkatan kejadian SK A akibat Covid-19 diduga karena adanya


destabilisasi plak aterosklerosis karena proses inflamasi akibat infeksi virus yang
AU

terjadi. Adanya peningkatan makrofag akibat inflamasi dapat memicu produksi


kolagenase yang berlebihan yang kemudian dapat mendegradasi fibrous cap pada
plak aterosklerosis sehingga memicu ruptur plak. Selain itu, makrofag juga dapat
memproduksi beberapa tissue factor yang bersifat pro-koagulan dan mengarah ke
pembentukan trombus. Virus SARS-CoV-2 juga memiliki kemampuan untuk
merusak endotel secara langsung sehingga menyebabkan jejas pada vaskular yang
juga dapat memicu pembentukan trombus hingga SKA. Beberapa laporan dari
China, Amerika Serikat dan Italia menunjukkan bahwa terdapat pasien Covid-
19 dengan ST elevasi dan terbukti SKA setelah dilakukan angiografi koroner.
Namun studi tersebut masih melibatkan sedikit subjek sehingga insidennya masih
belum dapat dihitung secara pasti (Nishiga, et al., 2020).
Pasien Covid-19 dengan riwayat SKA ataupun SKA onset baru memiliki
risiko kematian lebih tinggi. Asesmen dan tata laksana yang tepat sangat krusial

116 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


untuk menurunkan risiko mortalitas pasien. Dalam kondisi pandemi, tata laksana
SKA harus secara efisien diberikan untuk mengurangi lama perawatan di rumah
sakit. Pasien dianjurkan untuk segera dipulangkan secepat mungkin ketika kondisi
klinis pasien telah memenuhi indikasi untuk pulang dari rumah sakit. Namun,
jika pasien masih harus dirawat di rumah sakit, program preventif dan rehabilitasi
kardiovaskular tetap harus dilaksanakan dengan memperhatikan komponen
penting seperti asesmen, evaluasi klinis, stratifikasi risiko, latihan fisik, dan
dukungan psiko-sosial dengan beberapa penyesuaian termasuk telerehabilitasi
secara virtual atau telepon (Mureddu, et al., 2020).
Pada prinsipnya, program preventif dan rehabilitasi kardiovaskular harus
dilaksanakan sebaik mungkin. Program rehabilitasi kardiovaskular fase I (disebut
juga fase inpatient) dilakukan dokter spesialis jantung dan pembuluh darah (Sp.JP)
dapat berkolaborasi dokter spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi (Sp.KFR),
atau fisioterapis pada saat pasien masih dalam perawatan untuk menghindari

21
efek tirah baring lama atau efek deconditioning, dengan mobilisasi dini agar
dapat segera keluar dari rumah sakit, serta mampu melakukan aktivitas sehari
hari secara mandiri. Untuk tata laksana mengurangi rasa nyeri, mengeluarkan
20
dahak, fisioterapi pernapasan, memulai mobilisasi awal pada pasien. Dokter Sp.JP
memastikan kondisi kardiovaskular pasien dan memastikan program rehabilitasi
dapat diberikan dengan aman dan berhasil guna. Aktivitas dan program latihan
pada masa pemulihan awal tergantung dari ukuran infark miokard dan terjadinya
komplikasi dan termasuk perawatan diri, range of motion (ROM) lengan dan
P

kaki dan perubahan postural (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular


Indonesia, 2019).
AU

Setelah pulang pasien kemudian dapat dirujuk ke fasilitas pelayanan


rehabilitasi dengan tetap memperhatikan situasi pandemi Covid-19. Dokter
Sp.JP dapat menentukan intervensi lanjutan, pemberian edukasi mengenai
aktivitas fisik yang tepat dan waktu yang aman untuk kembali melakukan
aktivitas sehari-hari termasuk bekerja. Bila perlu, pemberian obat-obatan sebagai
bagian dari prevensi sekunder untuk mengendalikan faktor risiko penyakit
yang diderita. Program rehabilitasi kardiovaskular fase II yaitu rehabilitasi yang
dilakukan pasca perawatan dengan tetap melakukan penyesuaian mengenai
faktor risiko, kondisi pasien dan keamanan bagi pasien maupun tenaga medis.
Rehabilitasi fase II termasuk melakukan uji latih jantung untuk mengetahui
tingkat kapasitas fungsional yang digunakan sebagai dasar perencanaan program
latihan fisik. Hingga saat kini, belum terdapat rekomendasi khusus latihan fisik
yang dianjurkan pada pasien Covid-19 dengan penyakit kardiovaskular. Latihan

BAB 9_Prevensi dan Rehabilitasi Gangguan Kardiovaskular Pasca Serangan Covid-19 117
bisa dilakukan di manapun dengan tetap menerapkan protokol kesehatan Covid-
19 sesuai rekomendasi (Nicholls, et al., 2020; Pelliccia, et al., 2020; Perhimpunan
Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2019).
Pemberian agen farmakologis sebagai bagian pencegahan sekunder juga perlu
diperhatikan untuk mengembalikan fungsi kardiovaskular pasien dan menekan
angka rehospitalisasi. Penggunaan obat-obatan seperti antihipertensi, antiplatelet,
penurun lipid, dan gula darah yang dikombinasikan dengan modifikasi gaya
hidup dan perhatian pada aspek psiko-sosial terbukti memiliki luaran yang baik
terhadap pasien sehingga hal tersebut direkomendasikan oleh semua pusat layanan
kesehatan kardiovaskular di manapun. Salah satu keuntungan rujukan pasien ke
layanan rehabilitasi adalah meningkatkan kepatuhan pasien dalam meminum obat
serta dokter dapat melakukan kontrol dan evaluasi kondisi pasien secara optimal.
Kondisi pandemi Covid-19 membuat hal tersebut sulit untuk dilakukan karena
pasien menghindari untuk datang ke rumah sakit. Dalam keadaan tersebut,

21
penyesuaian seperti konsultasi melalui video conference, pengiriman resep dan
pengantaran obat ke rumah pasien oleh bagian farmasi. Tentunya hal tersebut
membutuhkan kerja sama multidisplin yang harus direncanakan dengan baik
20
dan sistematis (Nicholls, et al., 2020). Penggunaan obat-obatan yang bekerja
pada renin angiotensin aldosterone system (RAAS) sempat menjadi perhatian
dari beberapa ahli mengingat ditemukannya hubungan SARS-CoV-2 dengan
reseptor ACE-2 di dalam tubuh sehingga penggunaan ACE inhibitor diduga
memperburuk gejala Covid-19. Namun, studi menunjukkan bahwa hal tersebut
P

tidak terbukti, sehingga tidak ada rekomendasi untuk menghentikan penggunaan


ACE inhibitor pada pasien Covid-19 (Vaduganathan, et al., 2020).
AU

9.4 PANDUAN REHABILITASI PASIEN DENGAN GAGAL JANTUNG PASCA


INFEKSI COVID-19
Selain SKA, gagal jantung juga menjadi tantangan tersendiri dalam pengelolaan
pasien Covid-19. Gagal jantung dapat muncul sebagai komplikasi baru pada
pasien Covid-19 atau dapat menjadi suatu bentuk dekompensasi akut pada pasien
Covid-19 yang telah memiliki riwayat gagal jantung sebelumnya. Keduanya
sama-sama dapat memperburuk prognosis pada pasien Covid-19. Studi pada masa
awal pandemi di China memaparkan data yang menunjukkan bahwa 24% dari
799 pasien Covid-19 memiliki komplikasi gagal jantung. Sementara 49% pasien
Covid-19 yang meninggal (680 pasien) memiliki gangguan gagal jantung. Data
tersebut menunjukkan jika gagal jantung merupakan komplikasi yang paling

118 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


banyak terjadi pada pasien Covid-19. Brain natriuretic peptide (BNP) didapatkan
meningkat pada pasien Covid-19 yang memiliki klinis gagal jantung kongestif
dan kardiomiopati (Mureddu, et al., 2020; Nishiga, et al., 2020).
Selain meningkatnya BNP, keadaan klinis gagal jantung pasien Covid-19
juga dapat dideteksi melalui ekokardiografi atau cardiovascular magnetic resonance
Imaging (Cardiovascular MRI). Studi oleh Puntmann, et al., menemukan adanya
inflamasi miokardium, penurunan fraksi ejeksi ventrikel, peningkatan volume
dan ketebalan pada ventrikel pasien pasca Covid-19 (Puntmann, et al., 2020).
Gagal jantung onset baru (acute de novo) diyakini merupakan konsekuensi
dari adanya injuri miokardium akibat miokarditis yang dapat disebabkan karena
infeksi virus secara langsung pada miokardium maupun inflamasi sistemik yang
terjadi akibat Covid-19. Laporan kasus menunjukkan adanya miokarditis pada
pasien Covid-19 namun data lebih banyak dibutuhkan untuk menentukan apakah
miokarditis yang terjadi dapat menjadikan pasien jatuh dalam keadaan gagal

21
jantung. Sementara penyebab gagal jantung dekompensata akut masih belum
jelas diketahui penyebabnya mengingat pasien Covid-19 yang mempunyai riwayat
gagal jantung biasanya juga memiliki komorbid lain seperti penyakit arteri
20
koroner, hipertensi atau diabetes. Eksaserbasi gejala gagal jantung yang terjadi
dapat juga disebabkan oleh faktor-faktor tersebut (Nishiga, et al., 2020).
Rehabilitasi kardiovaskular pada pasien gagal jantung merupakan intervensi
yang membutuhkan kerja sama multidisplin yang memuat beberapa komponen
seperti asesmen awal, evaluasi dan manajemen faktor risiko, perencanaan
P

latihan fisik, diet dan pendampingan psiko-sosial. Sebelum pandemi Covid-19


terjadi, rehabilitasi pasien gagal jantung membutuhkan beberapa kali kunjungan
AU

per minggu ke fasilitas kesehatan yang tentunya akan meningkatkan kontak


sosial dengan konsekuensi terpapar virus SARS-CoV-2. Keadaan ini membuat
beberapa organisasi kesehatan dunia di bidang kardiologi prevensi membuat suatu
rekomendasi baru yang menganjurkan pelaksanaan rehabilitasi kardiovaskular
yang dilaksanakan di rumah (home-based cardiac rehabilitation (HBCR) (Schmidt,
et al., 2020).
Prinsip rehabilitasi dari rumah memiliki komponen utama yang sama
hanya saja dilaksanakan di-setting nonklinik. Sebelum pandemi Covid-
19 terjadi, beberapa pusat rehabilitasi telah menerapkan program ini secara
rutin dan penerapan program juga relevan pada masa pandemi Covid-19 ini.
Studi menyatakan bahwa program rehabilitasi dari rumah mempunyai tingkat
efektivitas yang sama dengan metode tradisional dalam memperbaiki kualitas

BAB 9_Prevensi dan Rehabilitasi Gangguan Kardiovaskular Pasca Serangan Covid-19 119
hidup, meningkatkan kapasitas fungsional dan mencegah rehospitalisasi pasien
dengan gagal jantung (Thomas, et al., 2019; Zwisler, et al., 2016).
Latihan aerobik dapat dilakukan pada pasien gagal jantung stabil (NYHA
I-III) dengan beberapa penyesuaian yang dilakukan teratur 3–5 kali per minggu
dengan durasi setiap sesi adalah 20-60 menit dengan intensitas ringan hingga
sedang (40-80% VO2peak) (Pelliccia, et al., 2020). Program latihan fisik di rumah
berupa berjalan santai, 5 sesi per minggu selama 8 minggu (target 40-70% denyut
jantung maksimal pada pasien gagal jantung stabil NYHA II-III dengan fraksi
ejeksi ventrikel <40%) terbukti dapat memperbaiki puncak saturasi oksigen dan
memperbaiki kualitas hidup pasien (Piotrowicz, et al., 2016).
Pelaksanaan rehabilitasi kardiovaskular di rumah juga harus disertai dengan
pendampingan oleh tenaga kesehatan atau pelatih melalui sambungan telepon atau
konferensi video. Pendampingan tersebut akan meningkatkan efektivitas latihan,
motivasi dan kepatuhan pasien dalam menjalani program tersebut, pengendalian

21
faktor risiko maupun konsumsi obat-obatan dan diet. Selain itu, interaksi sosial
secara virtual diharapkan dapat mengurangi tingkat stres psikologis saat menjalani
isolasi selama pandemi Covid-19 berlangsung (Piotrowicz, et al., 2016; Schmidt,
20
et al., 2020).

9.5 PANDUAN REHABILITASI PASIEN DENGAN PENYAKIT TROMBOEMBOLI


PASCA INFEKSI COVID-19
P

Pasien Covid-19 memiliki risiko mengalami perburukan karena munculnya


tromboemboli pada arteri maupun vena akibat gangguan koagulasi. Peningkatan
AU

D-dimer merupakan salah satu cara mendeteksi gangguan koagulasi. Pasien Covid-
19 sering mengalami peningkatan D-dimer, trombositopenia dan pemanjangan
prothrombin time (PT). Studi kasus 1099 pasien Covid-19 menemukan adanya
peningkatan D-dimer (>0.5 mg/l) pada 64% dari keseluruhan pasien. Peningkatan
tersebut terjadi pada 60% pasien dengan gejala Covid-19 yang berat. Peningkatan
D-dimer biasanya terdeteksi saat admisi dan dapat meningkatkan risiko kematian
hingga 18 kali jika dibandingkan dengan pasien Covid-19 tanpa gangguan
koagulasi (Nishiga, et al., 2020; Ranard, et al., 2020).
Gangguan koagulasi sering bermanifestasi sebagai kejadian tromboemboli
akut pada vena maupun arteri. Tromboemboli vena seperti deep vein thrombosis
(DVT) atau emboli pulmonal merupakan komplikasi tersering yang didapatkan
pada pasien Covid-19 dengan gejala berat. Hal ini didukung oleh suatu studi post-
mortem yang menunjukkan bahwa 7 dari 12 pasien (58%) yang meninggal karena

120 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


Covid-19 memiliki DVT, sedangkan 4 dari 12 pasien (33%) didapati adanya
emboli pulmonal. Tromboemboli juga bisa didapatkan pada arteri dengan bentuk
klinis stroke iskemik dan acute limb ischemia (Nishiga, et al., 2020).
Prinsip rehabilitasi kardiovaskular yang sama juga digunakan pada pasien Covid-
19 yang mengalami komplikasi tromboemboli, yaitu program HBCR. Asesmen
awal pasien dengan riwayat tromboemboli merupakan kunci dalam manajemen
rehabilitasi. Sebelum latihan fisik dimulai, perlu dipastikan bahwa pasien telah
mendapat terapi antikoagulan dan tidak terdapat efek samping perdarahan akibat
antikoagulan. Latihan fisik dimulai dari intensitas ringan sedini mungkin, kemudian
ditingkatkan ke intensitas sedang hingga berat setelah antikoagulan telah diberikan
selama minimal 4 minggu. Melakukan evaluasi dengan detail apakah terdapat gejala
seperti nyeri dada atau sesak napas merupakan hal yang penting dalam perencanaan
program rehabilitasi selanjutnya (British Thoracic Society, 2020). Selama rehabiltasi
berlangsung, penggunaan antikoagulan tetap dianjurkan meskipun pasien tanpa

21
keluhan. Pilihan antikoagulan yang dipakai adalah antikoagulan dengan risiko
komplikasi perdarahan yang rendah (Ranard, et al., 2020).
20
9.6 TELEHEALTH SEBAGAI ALTERNATIF TATA LAKSANA REHABILITASI
PADA MASA PANDEMI COVID-19
Untuk memberikan keamanan baik pada pasien maupun tenaga kesehatan,
program rehabilitasi kardiovaskular sudah semestinya tidak dilaksanakan
P

di fasilitas kesehatan. Terdapat beberapa pilihan bagaimana melaksanakan


rehabilitasi jarak jauh salah satunya adalah telehealth melalui program HBCR.
AU

Program HBCR bukan merupakan suatu kebaruan. Namun, program ini masih
belum secara luas dilaksanakan di berbagai negara karena beberapa hambatan
seperti sistem reimbursement dana atau asuransi yang belum jelas. Pada masa
pandemi Covid-19, penggunaan program HBCR sebaiknya dijadikan program
utama dengan sistem manajemen, pendanaan dan evaluasi yang jelas oleh para
pembuat kebijakan kesehatan di masing-masing negara. Hal tersebut akan
memudahkan rumah sakit untuk melaksanakan program HCBR ini mengingat
efektivitas program ini tidak berbeda dengan sistem tradisional namun dengan
efisiensi yang lebih tinggi (Khera, et al., 2020).
Konsensus dari American Heart Association (AHA) dan American College of
Cardiology (ACC) telah menetapkan program HBCR sebagai alternatif rehabilitasi
kardiovaskular paling tepat pada pasien dengan stratifikasi risiko ringan hingga
sedang (Thomas, et al., 2019).

BAB 9_Prevensi dan Rehabilitasi Gangguan Kardiovaskular Pasca Serangan Covid-19 121
Perencanaan program HBCR dapat dilakukan melalui tiga langkah. Langkah
pertama melakukan perencanaan awal dengan prinsip bahwa rehabilitasi harus
dimulai sesegera mungkin dengan menggunakan sumber daya yang telah tersedia
saat ini seperti tenaga kesehatan dan alat komunikasi yang dapat digunakan
dengan mudah. Program HBCR memprioritaskan strategi rehabilitasi yang
bersifat dasar, aman dan tepat waktu dibandingkan intervensi yang bersifat
kompleks. Ketika program pada langkah 1 telah dapat dilaksanakan dengan
baik, langkah kedua adalah memastikan bahwa program HBCR berjalan sesuai
standar atau pedoman dengan cara membuat standar prosedur operasional untuk
asesmen, intervensi, dan evaluasi pasien. Jika memungkinkan, program HBCR
diintegrasikan dengan program rehabilitas di fasilitas kesehatan dengan tetap
memperhatikan situasi pandemi. Langkah ke 3 adalah strategi untuk membuat
program HBCR ini dapat terlaksana dengan baik dalam jangka waktu yang lama.
Penggunaan teknologi yang lebih canggih dapat dipikirkan untuk meningkatkan

21
kualitas program. Selain itu, pelaksana program harus mulai merencanakan
strategi agar program HBCR ini terus berjalan dan menjadi standar rehabilitasi
kardiovaskular meskipun pandemi mengintegrasikan Covid-19 telah berakhir.
20
Langkah-langkah tersebut dapat dilihat pada Gambar 9.2 (Moulson, et al.,
2020).
Perhatian khusus harus diberikan kepada pasien rehabilitasi dengan kondisi
tertentu yang dapat menurunkan tingkat keberhasilan program HBCR. Sebagai
contoh pasien risiko tinggi yang rentan terjadi gangguan kardiovaskular akibat
P

latihan fisik serta pasien dengan keterbatasan akses teknologi seperti pasien
usia tua, pasien dengan status ekonomi yang rendah dan pasien yang berada
AU

Gambar 9.2 Langkah perencanaan program home-based cardiac rehabilitation (Moulson,


et al., 2020).

122 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


di daerah pedesaan. Solusi yang dapat ditawarkan pada kondisi seperti ini
adalah penggunaan teknologi non-virtual seperti telepon. Jika memungkinkan,
pelaksana program memberikan pilihan untuk peminjaman smart phone, tablet
atau alat elektronik lainnya yang menunjang program. Bantuan dan dukungan
anggota keluarga lain sangat diperlukan pada pasien-pasien dengan keterbatasan
kemampuan untuk menggunakan teknologi yang ada (Moulson, et al., 2020;
Mureddu, et al., 2020).
Masalah lain yang dapat muncul pada pelaksanaan program HBCR
adalah kemungkinan komplikasi kardiovaskular yang terjadi pada pasien risiko
tinggi akibat latihan fisik. Meskipun komplikasi tersebut sangat jarang terjadi,
namun pelaksanaan program harus tetap waspada karena pertolongan tidak
dapat segera dilakukan jika terjadi komplikasi. Graded exercise testing (GXT)
dapat digunakan sebagai stratifikasi risiko awal pada peserta program HBCR,
sehingga dapat mendeteksi adanya gejala dan tanda pada pasien risiko tinggi

21
seperti abnormalitas hemodinamik, silent/residual ischemia, disritmia, dan
kapasitas fungsional yang rendah. Pasien dengan gangguan-gangguan tersebut
tidak direkomendasikan untuk mengikuti program HBCR. Pada kondisi tidak
20
memungkinkan dilaksanakan stratifikasi risiko dan tidak adanya petugas yang
bertugas memantau, intensitas latihan fisik harus dititrasi secara perlahan.
Latihan fisik yang diresepkan harus dengan intensitas serendah mungkin namun
tetap memiliki keuntungan untuk pasien. Latihan fisik yang dianjurkan tidak
boleh lebih dari intensitas sedang. Pasien diedukasi untuk melakukan evaluasi
P

mandiri terhadap latihan yang telah dilakukan melalui metode sederhana seperti
pengukuran nadi radialis serta pencatatan dan pelaporan jika muncul gejala
AU

kardiovaskular setelah latihan (Moulson, et al., 2020).

9.7 RINGKASAN
Penyakit kardiovaskular menjadi komorbid paling sering dan dapat memperburuk
prognosis Covid-19. Manifestasi klinis atau penyulit kardiovaskular dari Covid-19
dapat meliputi miokarditis, sindrom koroner akut, aritmia, gagal jantung akut dan
syok kardiogenik. Kompleksitas manifestasi klinis atau penyulit kardiovaskular dari
Covid-19 membutuhkan perawatan komprehensif termasuk layanan rehabilitasi
kardiovaskular. Akibat pandemi Covid-19, layanan rehabilitasi kardiovaskular
sebagai layanan non akut dapat mengalami penghentian sebagian bahkan total
karena pengalihan fasilitas ruangan, alat, dan juga sumber daya tenaga kesehatan
untuk penanganan Covid -19. Selain itu, jumlah kunjungan pasien menurun drastis

BAB 9_Prevensi dan Rehabilitasi Gangguan Kardiovaskular Pasca Serangan Covid-19 123
karena himbauan tidak ke rumah sakit kecuali dalam kondisi mengancam jiwa.
Tantangan lainnya berasal dari penyintas Covid-19 yang mengalami komplikasi
kardiovaskular dimana pengaruh dari penyakit ini belum sepenuhnya diketahui
sehingga manajemen rehabilitasi tidak mudah diterapkan. Demikian pula,
kebutuhan berbagai proteksi sesuai protokol kesehatan untuk melindungi para
tenaga kesehatan dan pasien. Layanan rehabilitasi kardiovaskular memerlukan
penyesuaian sebagai dampak pandemi Covid -19 . Rekomendasi yang diadaptasi
dari Secondary Prevention and Rehabilitation Section of the European Association of
Preventive Cardiology antara lain meliputi :a) Mempersiapkan fasilitas dan tenaga
kesehatan pada pelayanan preventif dan rehabilitasi kardiovaskular sesuai kondisi
pandemi, b) Memberikan manajemen preventif dan rehabiltasi kardiovaskular
se-efektif dan se-efisien mungkin.c) Memberikan dukungan kepada pasien
mengenai prevensi dan rehabilitasi kardiovaskular seperti manajemen gaya hidup,
mengenali faktor risiko, dukungan psikososial untuk mencegah kecemasan dan

21
depresi, latihan fisik ringan atau mobilisasi dini. d) Melaksanakan asesmen dan
stratifikasi risiko pasien dan jika memungkinkan dilakukan uji latih jantung untuk
menilai kebugaran fisik pasien sehingga dapat menentukan peresepan latihan fisik
20
selanjutnya.e) Menunda latihan fisik jika masih demam atau gejala akut Covid -19
lain. f) Bila ditemukan gejala ringan-sedang dapat memulai program latihan lagi
setelah 1 minggu bebas demam dan bebas gejala selama 48 jam. g) Diusahakan
dapat dilaksanakan program telerehabilitasi atau secara virtual.
P

DAFTAR PUSTAKA
AU

British Thoracic Society. 2020. Delivering rehabilitation to patients surviving Covid-19


using an adapted pulmonary rehabilitation approach-BTS guidance 1–16.
Clerkin, K.J., Fried, J.A., Raikhelkar, J. et al. 2020. Covid-19 and Cardiovascular
D i s e a s e . Ci rc u l at ion , 141: 6 4 8 –16 55. ht t p s: //d oi .or g /10 .1161 /
CIRCULATIONAHA.120.046941
Guo, T., Fan, Y., Chen, M. et al. 2020. Cardiovascular Implications of Fatal Outcomes of
Patients with Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). JAMA Cardiol. 5:811–818.
https://doi.org/10.1001/jamacardio.2020.1017
Kemps, H.M.C., Brouwers, R.W.M., Cramer, M.J. et al. 2020. Recommendations on
how to provide cardiac rehabilitation services during the Covid-19 pandemic.
Netherlands Hear. J. 28:387–390. https://doi.org/10.1007/s12471-020-01474-2
Khera, A., Baum, S.J., Gluckman, T. et al. 2020. Continuity of care and outpatient
manajement for patients with and at high risk for cardiovascular disease during
the Covid-19 pandemic: A scientific statement from the American Society for
Preventive Cardiology. Am. J. Prev. Cardiol. 1(2020):1–10.

124 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


Momtazmanesh, S., Shobeiri, P., Hanaei, S., Mahmoud-Elsayed, H., Dalvi, B., Malakan
Rad, E., 2020. Cardiovascular disease in Covid-19: a systematic review and meta-
analysis of 10,898 patients and proposal of a triage risk stratification tool. Egypt.
Hear. J. 72(41):1-17. https://doi.org/10.1186/s43044-020-00075-z
Moulson, N., Bewick, D., Selway, T. et al. 2020. Cardiac Rehabilitation During the
Covid-19 Era: Guidance on Implementing Virtual Care. Can. J. Cardiol. 36:1317–
1321. https://doi.org/10.1016/j.cjca.2020.06.006
Mureddu, G.F., Ambrosetti, M., Venturini, E. et al. 2020. Cardiac rehabilitation activities
during the Covid-19 pandemic in Italy. Position paper of the AICPR (Italian
Association of Clinical Cardiology, Prevention and Rehabilitation). Monaldi
Arch. Chest Dis. 90: 353–366. https://doi.org/10.4081/MONALDI.2020.1439
Nicholls, S.J., Nelson, M., Astley, C. et al. 2020. Optimising Secondary Prevention and
Cardiac Rehabilitation for Atherosclerotic Cardiovascular Disease During the
Covid-19 Pandemic: A Position Statement From the Cardiac Society of Australia
and New Zealand (CSANZ). Hear. Lung Circ. 29(7):e99-e104. https://doi.

21
org/10.1016/j.hlc.2020.04.007
Nishiga, M., Wang, D.W., Han, Y., Lewis, D.B., Wu, J.C., 2020. Covid-19 and
cardiovascular disease: from basic mechanisms to clinical perspectives. Nat. Rev.
Cardiol, 17:543–558. https://doi.org/10.1038/s41569-020-0413-9
20
Pelliccia, A., Sharma, S., Gati, S. et al., 2020. 2020 ESC Guidelines on sports cardiology
and exercise in patients with cardiovascular disease. Eur. Heart J. 42(1):1–80.
https://doi.org/10.1093/eurheartj/ehaa605
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2019. Pedoman Rehabilitasi
Kardiovaskular, 1st ed. PERKI, Jakarta.
P

Piotrowicz, E., Piotrowski, W., Piotrowicz, R., 2016. Positive Effects of the Reversion
of Depression on the Sympathovagal Balance after Telerehabilitation in Heart
AU

Failure Patients. Ann. Noninvasive Electrocardiol. 21: 358–368. https://doi.


org/10.1111/anec.12320
Puntmann, V.O., Carerj, M.L., Wieters, I. et al. 2020. Outcomes of Cardiovascular
Magnetic Resonance Imaging in Patients Recently Recovered from Coronavirus
Disease 2019 (Covid-19). JAMA Cardiol, 5(11):1265-1273. https://doi.
org/10.1001/jamacardio.2020.3557
Ranard, L.S., Fried, J.A., Abdalla, M. et al. 2020. Approach to Acute Cardiovascular
Complications in Covid-19 Infection. Circ. Hear. Fail. 13: 167–176. https://doi.
org/10.1161/CIRCHEARTFAILURE.120.007220
Rehabilitation AA of C& P. 2013. Guidelines for Cardiac Rehabilitation and Secondary
Prevention Programs. 5th ed.
Schmidt, C., Magalhães, S., Barreira, A., Ribeiro, F., Fernandes, P., Santos, M., 2020.
Cardiac rehabilitation programs for heart failure patients in the time of Covid-19.
Rev. Port. 39(7):365-366. Cardiol. https://doi.org/10.1016/j.repc.2020.06.012

BAB 9_Prevensi dan Rehabilitasi Gangguan Kardiovaskular Pasca Serangan Covid-19 125
Shi, S., Qin, M., Shen, B. et al. 2020. Association of Cardiac Injury with Mortality in
Hospitalized Patients with Covid-19 in Wuhan, China. JAMA Cardiol. 5:802–
810. https://doi.org/10.1001/jamacardio.2020.0950
Thomas, R.J., Beatty, A.L., Beckie, T.M. et al. 2019. Home-Based Cardiac Rehabilitation.
J. Am. Coll. Cardiol. 74:133–153. https://doi.org/10.1016/j.jacc.2019.03.008
Vaduganathan, M., Vardeny, O., Michel, T., Mcmurray, J.J. V, Pfeffer, M.A., Solomon,
S.D. 2020. Renin-Angiotensin-Aldosterone System Inhibitors in Patients with
Covid-19. The New England Journal of Medicine, 382:1653-1659.
World Health Organization. Needs and action priorities in cardiac rehabilitation and
secondary prevention in patients with CHD. World Health Organization;
Geneva: 1993
Zwisler, A.D., Norton, R.J., Dean, S.G., Dalal, H., Tang, L.H., Wingham, J., Taylor,
R.S., 2016. Home-based cardiac rehabilitation for people with heart failure: A
systematic review and meta-analysis. Int. J. Cardiol. 221: 963–969. https://doi.
org/10.1016/j.ijcard.2016.06.207

21
20
P
AU

126 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


BAB 10

Rehabilitasi Medik
Paska Ventilator
pada Penderita Covid-19

21 Nunung Nugroho
20
10.1 PENGANTAR
P

Pada bulan Desember 2019, Coronavirus baru, Betacoronavirus yang dinamakan


2019 novel Coronavirus (2019-nCov)2, terdeteksi pertama kali di Wuhan, Propinsi
AU

Hubei, China. Virus baru ini menyebar dengan cepat, yang dalam hitungan hari
sudah menjangkit 44 warga dan terus bertambah hingga ribuan. Virus baru ini
mulai mendapat perhatian World Health Organization (WHO), dan pada 11
Februari 2020 dinamakan severe acute respiratory syndrome coronavirus-2 (SARS-
Cov-2) dengan nama penyakitnya Coronavirus disease 2019 (Covid-19). Dengan
bertambahnya jumlah pasien yang mulai menyebar ke seluruh dunia, pada
tanggal 11 Maret 2020, WHO kembali mengumumkan bahwa Covid-19 menjadi
pandemi di dunia (Erlina, et al., 2020).
Sejak pertama kali dideteksi, setahun lalu, sampai saat ini (11/12/2020) data
dari Jhons Hopkins University CSSE Covid-19, tercatat pasien Covid-19 mencapai
72,8 juta kasus dengan angka kematian 1,62 juta jiwa. Di Indonesia sendiri pada
waktu yang sama, pasien sudah mencapai 623.000 kasus dengan angka kematian
18.956 jiwa. Di Jawa Timur sendiri tercatat 70.634 kasus dengan angka kematian

127
4.920 jiwa, angka kematian di Jawa Timur termasuk yang tertinggi dibandingkan
daerah lain. Kematian yang cukup tinggi terutama adalah kasus-kasus berat
yang memerlukan perawatan di unit perawatan intensif (UPI) dan seringkali
memerlukan penggunaan ventilator mekanik dan bantuan organ lainnya.
Perawatan di UPI biasanya membutuhkan waktu yang lama, dengan penggunaan
sedasi yang dalam dan pelemas otot untuk menunjang ventilator yang digunakan.
Akibat imobilisasi yang cukup lama akan menyebabkan sindrom dekondisi yang
tidak cuma mengenai satu sistem tubuh saja, melainkan turut melibatkan berbagai
sistem tubuh lainnya. Perubahan multipel sistem tubuh ini merupakan perubahan
yang potensial reversibel sebagian atau total, tergantung dari usia, lamanya
imobilisasi dan faktor penghambat lainnya seperti komorbid yang diderita seperti
diabetes mellitus, jantung koroner, hipertensi, stroke dan gangguan fungsi
ginjal.
Akibat sindrom dekondisi pada sistem muskuloskeletal akan terjadi

21
gangguan antara lain kelelahan, kelemahan, atrofi otot, kontraktur sendi,
nyeri, berkurangnya densitas mineral pada tulang dan hipokalsemia. Pada
sistem kardiovaskular dan paru dapat mengakibatkan kerusakan paru yang
20
disebabkan penyakitnya itu sendiri, selain itu dapat timbul redistribusi cairan
tubuh, dehidrasi, intoleransi ortostatik, berkurangnya kapasitas kardiopulmonar,
berkurangnya VO2 maksimum, gangguan sekresi bronkus, pneumonia hipostatik,
dan emboli paru. Pada sistem genitourinaria dan gastrointestinal dapat terjadi
stasis urine, pembentukan batu dan infeksi, berkurangnya nafsu makan, konstipasi
P

dan inkontinesia. Pada sistem metabolik sering didapatkan kondisi gangguan


intoleransi glukosa, gangguan elektrolit, peningkatan hormon paratiroid dan
AU

gangguan sistem hormonal lainnya. Berkurangnya sistem imunitas seluler,


menurunnya pertahanan terhadap infeksi merupakan gejala dekondisi pada sistem
imun. Fungsi kognitif dan perilaku akan tampak pada pasien setelah ekstubasi
dari penggunaan ventilator yang cukup lama. Ulkus dekubitius menjadi masalah
yang cukup menyulitkan dan berpotensi meningkatkan angka kematian untuk
semua pasien yang memerlukan imobilisasi lama terutama dengan kondisi sulit
akibat penggunaan instrumentasi yang cukup banyak dengan keterbatasan alat
bantu, jumlah tenaga keperawatan dan fisioterapis. (Christina, et al., 2016)

10.2 GAMBARAN KLINIS COVID-19


Melihat berat ringannya kasus pada Covid-19, terbagi atas beberapa kelompok,
mulai dari tanpa gejala, di mana pasien tidak merasakan gejala apapun, dan

128 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


diketahui menderita penyakit ini setelah dilakukan pemeriksaan RT-PCR dalam
suatu temuan skrining. Pasien dengan gejala ringan tanpa komplikasi ditandai
dengan gejala yang tidak spesifik seperti demam, lemah, batuk, anoreksia,
malaise, nyeri otot, sakit tenggorokan, sesak, anosmia dan sakit kepala. Keluhan
pada sistem pencernaan seperti diare, mual dan muntah dapat ditemukan
walaupun lebih jarang. Gejala sedang didapatkan pada remaja atau dewasa dengan
pneumonia tetapi tidak ada tanda pneumonia berat dan masih belum memerlukan
terapi oksigen, pada anak-anak gejala sedang ditandai dengan pneumonia tidak
berat dengan keluhan batuk atau sulit bernapas disertai napas cepat. Gejala yang
berat pada Covid-19 remaja dan dewasa ditandai dengan demam atau dalam
pengawasan infeksi saluran napas atau pneumonia, ditambah dengan satu dari:
frekuensi napas ≥ 30 kali/menit, distres pernapasan berat atau saturasi oksigen
(SpO2) <93% pada udara kamar atau rasio PaO2/FiO2 < 300. Gambaran berat
pada anak selain batuk dan kesulitan bernapas, disertai satu dari : sianosis

21
sentral atau SpO2 < 90%, distres pernapasan berat atau tanda pneumonia berat.
Dikatakan kondisi kritis bila terjadi gagal napas, Acute respiratory distress syndrome
(ARDS), syok sepsis dan/atau didapatkan multiple organ failure.
20
Tabel 10.1 Klasifikasi Derajat Keparahan Gejala Klinis Pasien Covid-19.

Gejala klinis keparahan sedang


•Demam >38°C
•Sesak napas
P

•Batuk persisten/menetap dan sakit tenggorokan


•Pada pasien anak: batuk dengan takipneu (frekuensi berdasarkan usia)
AU

< 2 bulan: ≥60 kali/menit


2–11 bulan: ≥50 kali/menit
1–5 tahun: ≥40 kali/menit
Gejala klinis keparahan berat
•Demam >38°C
•Infeksi saluran napas/pneumonia berat
•Pada pasien remaja/dewasa disertai salah satu dari:
Frekuensi napas ≥30 kali/menit
Distres pernapasan berat
SpO2 <93% pada udara kamar
Rasio PaO2/FiO2 <300
•Pada pasien anak: batuk dengan takipneu disertai salah satu dari:
Sianosis sentral atau SpO2 <90% pada udara kamar
Distres pernapasan berat (tanda mendengkur, tarikan dinding dada berat)
Pneumonia berat (tanda ketidakmampuan menyusui atau minum, letargi, penurunan
kesadaran atau kejang)
Sumber: (Erlina, et al., 2020)

BAB 10_Rehabilitasi Medik Paska Ventilator pada Penderita Covid-19 129


Kondisi yang memerlukan perawatan di rumah sakit diutamakan pada semua
kasus dengan gejala sedang, berat dan kritis, mengingat daya tampung rumah
sakit yang terbatas terutama ruangan isolasi dengan kelengkapan ventilator dan
penunjang organ lainnya. Untuk semua pasien dengan kondisi berat harus selalu
dimonitor kemungkinan akan terjadinya gagal napas yang akan membutuhkan
ventilasi mekanik.
Setelah diberikan terapi oksigen bertahap di mulai dengan oksigenasi nasal
cannula, simple mask dan non-rebreathing mask (NRM), selanjutnya bila hasilnya
belum memberikan perbaikan gejala, dilakukan tiga langkah yang penting dalam
pencegahan perburukan penyakit, diawali dengan penggunaan high flow nasal
cannula (HFNC) atau non-invasive mechanical ventilation (NIV) pada pasien
dengan ARDS atau efusi paru yang luas. Pembatasan resusitasi cairan terutama
pada kondisi adanya edema paru, sedapat mungkin selama masih sadar pasien
diposisikan tengkurap. Penggunaan ventilasi mekanik diberikan bila semua usaha

21
tersebut di atas tidak memberikan perbaikan hasil, ditandai dengan indeks ROX <
3,85, yang merupakan rasio saturasi oksigen yang diukur dengan oksimetri/FiO2
terhadap frekuensi respirasi (Erlina, et al., 2020; Meng, et al., 2020).
20
P
AU

Gambar 10.1 Indikasi Intubasi dan Ventilator Penderita Covid-19 (Meng, et al., 2020).

Pasien dengan gejala berat disertai ARDS pada umumnya memerlukan


ventilator mekanik dan membutuhkan perawatan yang cukup lama di UPI,
seperti yang dilaporkan David Mc Williams, et al dalam penelitiannya di The
Queen Elizabeth Hospital Birmingham Inggris. Penggunaan ventilator mekanik

130 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


dibutuhkan rata-rata 19 ± 10 hari, 90% penderita tersebut diberikan pelemas
otot dan 67% diposisikan tengkurap setidaknya satu kali kesempatan. Mobilisasi
dilakukan pertama kali rata-rata pada hari ke 14 ± 7 hari. Penggunaan ventilator
lebih dari 14 hari direkomendasikan trakeostomi. Rehabilitasi yang terstruktur
dan dimulai sejak dini semejak di UPI terbukti cukup aman bila dilakukan
dengan benar dan memberikan hasil yang cukup memuaskan untuk perbaikan
fisik dan klinis (Shan, et al., 2020).

10.3 STRATEGI REHABILITASI COVID-19


Tujuan dari rehabilitasi medik adalah untuk memelihara fungsi dan mencegah
disabilitas lebih lanjut. Di samping itu tujuan dari perawatan pemulihan adalah
tetap berfokus pada pemulihan dan menjaga fisik dengan mengompensasi
disabilitas fungsional yang ada sehingga individu dapat mencapai kemampuan

21
fungsional semaksimal mungkin. Peranan dokter spesialis kedokteran fisik dan
rehabilitasi (Sp.KFR) beserta timnya sangat penting dalam menentukan rencana
rehabilitasi dan pemulihan yang optimal dan kontinu (Erlina, et al., 2020).
20
Disabilitas yang akan terjadi pada pasien Covid-19, yang merupakan
pengaruh dari gangguan yang menyerang seluruh sistem tubuh, pada masa
akut akan didapatkan peningkatan sekresi sistem respirasi, obstruksi jalan napas
multipel, eksudasi intrapulmonal, atlektasis paru, dan gangguan patologis lainnya
di luar paru. Pada kelompok pasien usia lanjut, bergejala berat dan kondisi kritis
P

beserta variasi gangguan sistem tubuh akibat komorbid yang diderita sebelumnya,
seringkali menimbulkan kegagalan multipel fungsi organ tubuh. Kegagalan
AU

ini menyebabkan kegagalan fungsional yang muncul dengan gambaran klinis


seperti hipoksemia, menurunnya kemampuan pengeluaran sekret pernapasan,
rasa lelah berkepanjangan, menurunnya kemampuan otot baik kekuatan maupun
ketahanannya, keterbatasan kemampuan aktivitas sehari-hari/activity of daily
living (ADL) yang secara keseluruhan bila tidak ditindaklanjuti akan menurunkan
kualitas hidup di kemudian hari (McWilliams, et al., 2021).
Intervensi rehabilitasi dini pada pasien Covid-19 pada umumnya sama
dengan rehabilitasi pada pasien dengan cedera otak berat atau penyakit kritis
yang membutuhkan perawatan yang lama di UPI. Target rehabilitasi utamanya
memulihkan sistem respirasi dan kardiovaskular, selain itu juga memulihkan
mobilisasi, fungsional dan kognisi. Intervensi rehabilitasi menerapkan acuan
dari International Classification of Functioning Disability and Health. Asesmen
yang teliti terhadap fungsi dan kapabilitas pasien, penentuan tujuan (goal) yang

BAB 10_Rehabilitasi Medik Paska Ventilator pada Penderita Covid-19 131


realistik, serta pencegahan disabilitas sekunder dan komplikasi imobilisasi lama,
mendahului program rehabilitasi yang akan diberikan (Zeng, et al., 2020).

10.4 INTERVENSI REHABILITASI COVID-19


Untuk mendapatkan hasil yang optimal dalam program rehabilitasi Covid-19,
kemampuan tim multidisipliner dan interdisipliner, terutama dokter spesialis
kedokteran fisik dan rehabilitasi, spesialis paru, spesialis anastesi, perawat, dan
fisioterapi sangat penting dalam melakukan penilaian, intervensi, peningkatan
motivasi dan memonitor penderita imobilisasi baik saat sebelum dan sesudah
menggunakan ventilator mekanik.

10.4.1 Terapi Pernapasan

21
Gambaran klinis utama penderita Covid-19 berupa gangguan fungsi paru disertai
adanya gambaran konsolidasi pada foto radiologi dada dan obstruksi sekret pada
saluran napas. Rehabilitasi sistem pernapasan berperan penting pada masa akut.
20
Program rehabilitasi dan pengobatan pneumonia yang disebabkan infeksi virus
corona baru ini belum ada standar berdasarkan evidence based yang baku, untuk itu
dapat dipakai standar rehabilitasi berdasarkan kondisi klinisnya dan perubahan
patologi organnya, bisa berupa rehabilitasi pada efusi pleura, peningkatan sekresi
yang berlebihan dan atelektasis akibat obstruksi sekret. Termasuk pemberian
P

terapi mobilisasi dinding dada, ekspektorasi, dan latihan pernapasan. Frekuensi


efektif latihan yang diberikan sampai saat ini tidak ada petunjuk bukti klinis
AU

baku, keuntungan dan risiko harus menjadi pertimbangan untuk tidak terjadinya
penyebaran infeksi. Rehabilitasi bisa dilakukan saat pasien dengan tanda vital
stabil dan selalu dimonitor perubahannya saat terapi dilakukan.
Untuk membantu ekspektorasi, terapis bisa memberikan program drainase
postural, vibrasi dan clapping. Active cycle breathing teknik bisa diberikan sesuai
dengan kondisi pasien, bila ada alat bantu lainnya bisa saja diberikan tapi dengan
pertimbangan aerosol yang dihasilkan, yang dapat membahayakan petugas medis.
Memberikan positioning yang benar akan sangat membatu kondisi sesak, batuk
dan lainnya. Duduk bersandar dan tegak dapat meningkatkan aktivitas diafragma
dan meningkatkan ventilasi dan perfusi paru, meningkatkan volume tidal dan
menurunkan perasaan sulit bernapas. Pemberian posisi tengkurap (prone) dan
miring (lateral decubitus) selama kurang lebih 12 jam, dalam beberapa laporan
klinis memberikan manfaat yang baik dengan ditunjukkan peningkatan rasio

132 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


   
Gambar 10.2 Penderita Covid-19 dengan penggunaan HFNC posisi duduk SpO2 95–96%, posisi
tengkurap (prone) 98%, dan posisi sujud 98–99%. (Sumber: Koleksi pribadi)

PaO2/FiO2. Pada rumah sakit dengan fasilitas modern positioning dimudahkan

21
dengan penggunaan electric vertical roll bed, terutama pada pasien dengan postur
tubuh besar dan gemuk (Pincherle, et al., 2020).
Latihan pernapasan dapat diberikan pada pasien, dengan tujuan mengurangi
sesak dan meningkatkan performa otot pernapasan. Pertama latihan pursed lip
20
breathing untuk mengurangi sesak dan napas yang pendek. Dengan menempatkan
pada posisi yang nyaman seperti duduk dengan support, pasien diminta meletakkan
satu tangan di dada dan tangan lainnya di perut, boleh memejamkan mata bila
hal tersebut membuat lebih santai dan bisa fokus pada napasnya. Mengambil
P

napas dengan perlahan boleh melalui hidung atau mulut, dan keluarkan perlahan
melalui mulut, saat mengambil napas yang benar tangan yang di bagian perut
AU

akan merasakan lebih naik dibandingkan di dada. Teknik ini membantu relaksasi
dan mengontrol pernapasan. Latihan lain seperti pernapasan diafragma dan
penguatan otot ekspirasi merupakan satu kesatuan program latihan pernapasan.
Teknik pernapasan pursed lip breathing dapat meningkatkan kemampuan latihan
melalui perbaikan volume tidal dan volume paru setelah ekspirasi (End Expiratory
Lung Volume). Teknik pernapasan diafragma yang efektif bisa dilakukan dengan
mobilitas diafragma melalui gerakan thoracoabdominal yang terkoordinasi.
Pernapasan diafragma ini dapat memperbaiki pola efisiensi dan ventilasi
pernapasan tanpa menyebabkan sesak pada pasien dengan otot pernapasan yang
baik. Latihan dengan spirometri insentif dapat diberikan bila pasien sudah lebih
baik dan sebaiknya setelah tidak menggunakan terapi oksigen, ditujukan untuk
memperbaiki gas darah arteri (Paulus, et al., 2016).

BAB 10_Rehabilitasi Medik Paska Ventilator pada Penderita Covid-19 133


21  
20
Gambar 10.3 Pernapasan Diafragma dan Spirometri Insentif (Sumber: Koleksi Pribadi)

Intervensi rehabilitasi paru pada pasien Covid-19 dengan kondisi berat


dan kritis hanya dapat dimulai pada kondisi klinis yang stabil. Terapi respirasi
P

harus segera dihentikan apabila didapatkan demam tinggi, sesak berat dengan
frekuensi napas lebih dari 30 kali per menit, pulse oksimetri menunjukkan SpO2
AU

kurang dari 93% atau membutuhkan FiO2 lebih dari 50% bila menggunakan
non-invasive ventilator (NIV), positive end expiratory pressure (PEEP)/ continues
positive airway pressure (CPAP) lebih dari 10 cmH 2O, distres pernapasan berat,
hipertensi, bradikardi atau takikardi, aritmia, syok, sedasi dalam atau gambaran
radiologi menunjukkan lesi yang progresif lebih dari 50% dalam 24–48 jam.
Terapi rehabilitasi yang dapat diberikan termasuk pemberian positioning yang
tepat, latihan pernapasan dan terapi fisik ringan. Untuk pasien dengan kesadaran
menurun lebih diutamakan memberikan perubahan posisi secara teratur,
mobilisasi pasif dan dapat diberikan elektro stimulasi pada otot-otot besar.
Dalam kondisi akut seperti ini tidak disarankan latihan bersihan paru (airway
clearance), mengingat risiko pada operator (Ghelichkhani and Esmaeili, 2020;
Zeng, et al., 2020).

134 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


Tabel 10.2 Indikator Penghentian Terapi Pernapasan

Indikator penghentian terapi respirasi


•Demam tinggi >38°C
•Frekuensi napas >30 kali/menit
•SpO2 <93% pada udara kamar
•NIV dengan FiO2 >50%
•PEEP/CPAP >10 cmH2O
•Distres napas berat
•Hipertensi, bradikardi, takikardi, aritmia, syok
•Gambaran radiologi paru terdapat lesi progresif >50% dalam 24–48 jam
Sumber: (Pincherle, et al., 2020)

10.4.2 Terapi Latihan Fisik


Tujuan utama program terapi latihan fisik pada pasien Covid-19, baik sebelum,

21
saat dan sesudah penggunaan ventilator adalah untuk memperbaiki kemampuan
fungsionalnya dan mempersiapkan penderita untuk pindah ke ruang pemulihan
atau persiapan pulang. Tujuan lain adalah mengurangi kelelahan saat penderita
melakukan aktivitas fungsional. Program dekondisi pasien Covid-19 dirawat
20
inap, akan menjadi tahap pertama dari suatu program latihan komprehensif,
yang akan memperbaiki fungsi fisiologis dan ketahanan serta mempersiapkan
penderita kembali kepada peran sosialnya.
Indikasi pemberian latihan fisik disesuaikan dengan usia, kondisi fisik,
P

penyakit utama dan penyertanya, gangguan fungsi dan kecacatan yang diderita
akibat penyakitnya. Pada pasien Covid-19 terutama dengan gejala sedang
AU

dan berat di mana dibutuhkan bantuan terapi oksigen, bahkan ventilator dan
memerlukan istirahat yang lama akan mengalami gangguan kemampuan daya
tahan (endurance) kardiorespirasi, kelemahan otot baik karena akibat imobilisasi
lama atau penyertanya seperti stroke atau penyakit neuromuskuler lainnya,
keterbatasan lingkup gerak sendi, kekakuan otot, menurunnya kemampuan daya
tahan otot, gangguan keseimbangan dan koordinasi pada saat mulai mobilisasi.
Sebelum pelaksanaan program latihan fisik untuk terapeutik, ada beberapa
hal penting sebagai syarat aman memulai latihan sehingga evaluasi kondisi pasien
sebelum latihan harus dilakukan. Pasien yang mengeluhkan pusing, lemas atau
keluhan subjektif lainnya sebaiknya menunda latihan dan dievaluasi ulang terlebih
dahulu. Ada beberapa tanda vital yang bisa dipakai acuan untuk seorang pasien
dapat kita mulai pemberian latihan, tekanan darah sistolik < 140 mmHg atau
≥ 90 mmHg, diastolik <100 mmHG, atau ≥60 mmHg, frekuensi nadi 60–100
kali/menit, frekuensi napas 16–29 kali/menit, suhu 36,5–37,5°C dan saturasi

BAB 10_Rehabilitasi Medik Paska Ventilator pada Penderita Covid-19 135


Tabel 10.3 Tanda Vital Mulai Pemberian Latihan Fisik Terapeutik.

tanda vital mulai pemberian latihan fisik terapeutik


•Tekanan Darah:
Sistolik <140 mmHg atau ≥90 mmHg
Diastolik <100 mmHg atau ≥60 mmHg
•Frekuensi nadi: 60–100 kali/menit
•Frekuensi napas: 16–29 kali/menit
•Suhu : 36,5–37,5°C
•SpO2 : 95% pada udara kamar
Sumber: Terapi latihan: Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi

O2 >95%. Jenis latihan yang akan diberikan meliputi lima latihan dasar seperti
latihan aerobik, penguatan otot, f leksibilitas, keseimbangan, dan koordinasi
(Christina, et al., 2016).
Tujuan pemberian latihan aerobik adalah menjaga dan meningkatkan

21
kebugaran kardiorespirasi dan kebugaran otot yang dinilai dengan kapasitas
oksigen maksimal atau puncak. Prinsip latihan aerobik difokuskan pada otot-otot
besar seperti lengan dan tungkai dengan melakukan gerakan berulang. Latihan
20
aerobik dengan intensitas rendah diberikan pada masa akut dengan tujuan tidak
terjadi kelelahan pada hari berikutnya. Pada saat kondisi membaik intensitas
bisa dinaikkan bertahap. Frekuensi bisa diberikan satu atau dua kali sehari baik
aktif maupun pasif tergantung toleransi pasien. Apabila kondisinya berat dan
toleransi rendah, bisa diberikan latihan dengan durasi pendek dengan frekuensi
P

ditingkatkan. Waktu latihan dibatasi maksimal 30 menit pada pasien kritis atau
AU

kondisi berat. Penderita yang menunjukkan perbaikan dapat dimulai latihan


mobilisasi secara bertahap, mulai duduk tepi tempat tidur, berdiri, dan berjalan
dengan bantuan (Christina, et al., 2016; Zeng, et al., 2020).
Latihan penguatan otot berguna untuk menjaga dan meningkatkan kekuatan
otot yang dinilai dengan kemampuan menahan beban maksimal oleh pasien.
Prinsip latihan dengan kontraksi otot berulang saat menahan beban pada otot
spesifik yang akan dilatih. Intensitas latihan penguatan pada kondisi akut dimulai
dengan intensitas rendah sampai medium, dengan tujuan menjaga massa otot
dan memperlambat atrofi. Bila memungkinkan dapat dimulai dari 30–40% dari
one repetition maximum (1 RM), atau bisa menggunakan beban berat 1–5 kg
tergantung toleransi pasien. Untuk mengukur efektivitas peresepan latihan ini dan
meningkatnya kekuatan otot target pada umumnya yang harus dicapai 65% dari 1
RM untuk tiga group otot dan diberikan 3 kali seminggu, untuk pasien Covid-19,
target ini harus disesuaikan (Christina, et al., 2016; Zeng, et al., 2020).

136 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


Imobilisasi lama pada pasien Covid-19 akan memicu terjadinya kekakuan
sendi dan kontraktur. Untuk menjaga lingkup gerak sendi di berikan latihan
fleksibilitas dengan cara meregangkan otot sesuai dengan lingkup gerak sendi
yang diperlukan. Pasien harus di berikan petunjuk gerakan aktif pada tungkai
dan lengannya untuk dilakukan dengan frekuensi dua kali sehari. Khusus untuk
pasien dengan kondisi berat atau menggunakan ventilator latihan gerak sendi
diberikan secara pasif oleh petugas fisioterapis. Untuk membantu mobilisasi
latihan keseimbangan akan diberikan dengan berfokus pada komponen
keseimbangan yaitu propioseptif, visual dan vestibular. Dan terakhir latihan
koordinasi diperlukan untuk melatih terutama gerakan arah tungkai dan lengan
tehadap objek target (Christina, et al., 2016; Zeng, et al., 2020).

21
20
P

   
Gambar 10.4 Prone posisitioning, latihan fisik, dan latihan pernapasan pasif di tempat tidur
AU

(Sumber: Koleksi pribadi)

Dekondisi pada otot terjadi sejak mulai awal bed rest, di mana terjadi
penurunan massa otot, kekuatan dan kapasitas aerobik. Terjadi penurunan
pada 25% pasien yang memerlukan perawatan di UPI, terutama pada penderita
dengan ventilator. Keadaan dekondisi akan meningkatkan angka kematian pasien.
Mobilisasi dini dan program fisioterapi sudah terbukti secara ilmiah sangat aman
dan efektif untuk mencegah dekondisi, bahkan pada pasien dengan ventilator
sekalipun. Protokol baku mobilisasi dini pasien Covid-19 dengan ventilator,
masih menjadi perdebatan di kalangan ahli, walaupun pada praktiknya sudah
dilakukan dengan pertimbangan multi disiplin baik oleh perawat UPI atau
fisioterapis terlatih.

BAB 10_Rehabilitasi Medik Paska Ventilator pada Penderita Covid-19 137


Swiss University Hospital menggunakan alat MOTOmed Letto, sebagai
alat penggerak pasif, aktif atau sebagai alat bantu mobilisasi ekstremitas, menjadi
standar pada pasien dengan ventilator, melalui protokol dan pengawasan yang
ketat. Dengan alat ini pasien bisa dilatih dalam posisi tidur dan bergerak dengan
pasif. Dalam satu penelitian yang dilakukan oleh Michelle, E., et al., melakukan
penelitian penggunaan bed cycling sebagai protokol fisioterapi pada 688 pasien yang
dirawat di UPI memberikan hasil cukup baik dan terbukti aman. Penggunaan
tilt table untuk mobilisasi tegak (verticalization) menggunakan alat canggih
seperti Hocoma AG, segera dapat dilakukan setelah kondisi kardiovaskular
stabil. Giuseppe, F., et al., melakukan penelitian terhadap 31 pasien cedera
otak berat yang dirawat di UPI dengan memberikan program mobilisasi tegak
menggunakan alat yang sama, hasil yang didapatkan perbaikan fungsi neurologis
dan cukup aman. Mobilisasi tegak juga menjadi bagian neurorehabilitasi akut dan
terbukti mempercepat penyapihan pada pasien dengan trakeostomi (Pincherle,
et al., 2020).
21
20
P
AU


Gambar 10.5 Penggunaan Bed Cycling di UPI, MOTOmed Letto, dan stepping verticalization
Hocoma (Sumber: Kho, et al., 2015)

Shan, M.X. et al, melaporkan pada pasien yang sudah melewati masa akut
di UPI, dan fase mobilisasi dapat dimulai, fokus program rehabilitasi ditujukan
untuk meningkatkan toleransi aktivitas dan ketahanan. Kemampuan fungsional
pasien diukur dengan kemampuan melakukan The Chair Stand Test selama 30
detik, dan bila sudah mampu menyelesaikan tes pertama akan dilanjutkan ke tes
selanjutnya yaitu Time Up & Go (TUG), di mana pasien diukur kemampuannya

138 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


untuk berdiri dari tempat duduknya dan berjalan sejauh 3 meter dan kembali ke
posisi duduk semula. Untuk pasien yang sudah mampu berjalan selama 6 menit
akan di lakukan tes lanjutan six minute walking test (6MWT), yang mengukur
kemampuan jarak yang ditempuh oleh pasien selama jalan 6 menit. Semua tes di
catat pada hari 1, 5, dan ke-10 selama masa rehabilitasi di rumah sakit (Frazzitta,
et al., 2016; Kho, et al., 2015; Pincherle, et al., 2020).

10.4.3 Rehabilitasi Gangguan Psikologis dan Fungsi Kognisi


Seringkali pada pasien Covid-19 mengalami gangguan emosional, seperti panik,
ansietas, dan psikosomatis yang berdampak pada gangguan suasana hati, pola
tidur, dan gangguan mental lainnya. Gangguan psikologis ini tentunya akan
menghambat proses rehabilitasi pasien. Untuk mengatasi hal ini direkomendasikan
intervensi psikologi sedini mungkin diantaranya pemberian terapi kognisi,

21
mengeliminasi stres dan mengobati ansietas dan depresi melalui pendekatan
medis, keluarga, dan psikolog (Shan, et al., 2020).
Hipotesis terbaru menunjukkan pasien Covid-19 yang berat dan kritis
20
terutama mengalami gangguan fungsi eksekutif termasuk akinesia berat seperti
yang tampak pada gangguan fungsi kognisi. Ditemukan juga adanya gangguan
atensi, memori, dan komunikasi interpersonal seperti ditemukan pada kasus
cedera otak berat. Rehabilitasi pada fungsi kognisi pada pasien Covid-19 bertujuan
untuk memperbaiki atensi dan persepsi pasien yang terganggu sehingga dapat
P

kembali berinteraksi dengan lingkungannya secara normal. Memberikan motivasi


dan stimulasi multisensori diharapkan akan memperbaiki fungsi sistem saraf
AU

pusat (Zeng et al., 2020).

10.5 PENGHENTIAN SEMENTARA INTERVENSI REHABILITASI PASIEN


COVID-19
Intervensi rehabilitasi pada pasien Covid-19 sangat diperlukan dan sebaiknya
dilaksanakan sedini mungkin, namun ada beberapa kondisi yang terpaksa
intervensi harus dihentikan sementara karena kondisi pasien yang tidak
memungkinkan dilakukan tindakan. Kriteria untuk menghentikan kasus Covid-
19 ringan dan sedang bila didapati (1) kelelahan dengan Borg Dyspnea Score >3,
yang tidak menurun dengan istirahat; (2) dada terasa ditekan, sakit kepala,
pusing, pandangan kabur, berdebar-debar, berkeringat dan mengalami gangguan
keseimbangan.

BAB 10_Rehabilitasi Medik Paska Ventilator pada Penderita Covid-19 139


Penghentian terapi bila didapatkan salah satu gejala berikut: (1) saturasi
oksigen darah ≤90% atau turun 4% dari saat mulai latihan, frekuensi pernapasan
>40 kali/menit; sesak atau napas terasa pendek, kelelahan dan tidak tahan
terhadap lelah; (2) gangguan kardiovaskular: tekanan darah sistolik <90 mmHg
atau ≥180 mmHg, rata-rata tekanan darah arteri (MAP) <65 mmHg atau >110
mmHg, atau adanya kenaikan >20% dari saat istirahat, frekuensi nadi <40 kali/
menit atau >120 kali/menit, adanya aritmia saat latihan dan tanda iskemia
miokard; (3) Sistem saraf: gangguan kesadaran (Pincherle, et al., 2020).

Tabel 10.4 Indikator penghentian sementara intervensi rehabilitasi pasien Covid-19

Indikator penghentian sementara intervensi rehabilitasi penderita Covid-19


• Borg Dyspnea Score >3 tidak menurun dengan istirahat
•Dada terasa ditekan, sakit kepala, pusing, pandangan kabur, berdebar-debar,
berkeringat gangguan keseimbangan

21
•Saturasi O2 ≤90% atau turun 4% dari saat mulai latihan
•Frekuensi napas >40 kali/menit, napas terasa pendek dan kelelahan
•Tekanan darah: Sistolik <90 mmHg atau ≥180 mmHg
•MAP: <65 mmHg atau >110 mmHg, atau kenaikan >20%
•Frekuensi Nadi: <40 kali/menit atau >120 kali/menit
20
•Aritmia, iskemia miokard
•Gangguan kesadaran
Sumber: (Zeng, et al., 2020)
P

10.6 RINGKASAN
Pengelolaan rehabilitasi pasien Covid-19, terutama dengan gejala sedang dan
AU

berat masih belum banyak petunjuk penatalaksanaannya yang baku, baik di


luar negeri maupun di Indonesia sendiri. Beberapa pusat layanan di dunia sudah
melaporkan hasil pelayanan mereka di jurnal-jurnal internasional yang bisa
dipakai sebagai rujukan di Indonesia. Prinsip dari rehabilitasi pasien Covid-19
dengan melakukan intervensi sedini mungkin untuk menghindari komplikasi
akibat imobilisasi lama.
Rehabilitasi sejak dini dan terprogram dengan baik, serta melibatkan tim
multidisiplin yang terdiri dari dokter penanggung jawab layanan sebagai pimpinan,
dokter konsultan dari berbagai disiplin ilmu, perawat mahir UPI, fisioterapis,
okupasi terapis dan psikolog, akan mengurangi dampak sindrom dekondisi akibat
perawatan yang lama dan penggunaan alat bantu seperti ventilator atau alat bantu
organ tubuh lainnya. Terapi pada sistem respirasi menjadi perhatian utama dalam
program rehabilitasi, mengingat infeksi utamanya adalah organ paru-paru. Ada

140 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


beberapa indikator yang bisa dipakai sebagai panduan untuk memulai program
rehabilitasi paru baik penderita tanpa bantuan ventilator mekanik maupun dengan
bantuan alat tersebut. Tidak kalah penting pemulihan setelah penggunaan
ventilator jangka panjang, pada pasien-pasien yang selamat.
Sistem muskuloskletal yang terdampak seperti adanya kelemahan sistem
anggota gerak, atrofi, kontraktur, dan rasa nyeri yang timbul harus segera di
lakukan program terapi fisik terapeutik begitu kondisi penderita stabil. Mobilisasi
dini dimulai dengan duduk posisi tegak, kemampuan duduk berdiri dan jalan
tiga meter adalah langkah selanjutnya bila pasien sudah mampu meningkatkan
kekuatan ototnya dan tidak ada keseimbangan dan koordinasi. Fungsi kognitif
dan psikologis pasien pasca ventilator dengan sedasi dalam juga dilaporkan pada
beberapa jurnal luar negeri. Rehabilitasi fungsi kognisi dan psikologis merupakan
paket layanan rehabilitasi yang melibatkan para ahlinya seperti spesialis jiwa
atau psikolog untuk mendapatkan hasil pemulihan yang paripurna. Penundaan

21
program rehabilitasi kadangkala harus dilakukan dengan indikator tertentu untuk
mencegah terjadinya cedera pada pasien.
20
P
AU

DAFTAR PUSTAKA
Christina, S., Paulus, A.F., Ratnawati, A., 2016. Sindroma Dekondisi, in: Ilmu
Kedokteran Fisik Dan Rehabilitasi. PERDOSRI, Jakarta, pp. 586–595.

BAB 10_Rehabilitasi Medik Paska Ventilator pada Penderita Covid-19 141


Erlina, B., Susanto, A.D., Nasution, S.A., et al. 2020. Protokol Tatalaksana Covid-19,
1st ed. PDPI, PERKI,PAPDI, PERDATIN, IDAI, Jakarta.
Frazzitta, G., Zivi, I., Valsecchi, R.. et al. 2016. Effectiveness of a Very Early Stepping
Verticalization Protocol in Severe Acquired Brain Injured Patients: A Randomized
Pilot Study in ICU. PLoS One, 11(7): e0158030. https://doi.org/10.1371/journal.
pone.0158030
Ghelichkhani, P., Esmaeili, M., 2020. Prone Position in Manajement of Covid-19
Patients; a Commentary. Arch. Acad. Emerg. Med.,8(1): e48. https://doi.
org/10.22037/aaem.v8i1.674
Kho, M.E., Martin, R.A., Toonstra, A.L. et al. 2015. Feasibility and safety of in-bed
cycling for physical rehabilitation in the intensive care unit. J. Crit. Care 30: 1419.
e1-1419.e5. https://doi.org/10.1016/j.jcrc.2015.07.025
McWilliams, D., Weblin, J., Hodson, J., Veenith, T., Whitehouse, T., Snelson, C.,
2021. Rehabilitation Levels in Patients with Covid-19 Admitted to Intensive
Care Requiring Invasive Ventilation. An Observational Study. Ann. Am. Thorac.

21
Soc. 18: 122–129. https://doi.org/10.1513/AnnalsATS.202005-560OC
Meng, L., Qiu, H., Wan, L. et al. 2020. Intubation and Ventilation amid the Covid-
19 Outbreak. Anaesthesiology, 132: 1317–1332. https://doi.org/10.1097/
ALN.0000000000003296
20
Paulus, A.F., Ratnawati, A., Nusdwinuringtyas, N., 2016. Rehabilitasi pada Disfungsi
Respirasi, in: Ilmu Kedokteran Fisik Dan Rehabilitasi. PERDOSRI, Jakarta,
pp. 824–838.
Pincherle, A., Jöhr, J., Pancini, L., et al. 2020. Intensive Care Admission and Early
Neuro-Rehabilitation. Lessons for Covid-19? Front. Neurol. 11, 1–10. https://
P

doi.org/10.3389/fneur.2020.00880
Shan, M.X., Tran, Y.M., Vu, K.T., Eapen, B.C., 2020. Postacute inpatient rehabilitation
AU

for Covid-19. BMJ Case Rep. 13: e237406. https://doi.org/10.1136/bcr-2020-


237406
Zeng, B., Chen, D., Qiu, Z. et al. 2020. Expert consensus on protocol of rehabilitation
for COVID-19 patients using framework and approaches of WHO International
Family Classifications. AGING Med. 3: 82–94. https://doi.org/10.1002/
agm2.12120

142 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


BAB 11

Rehabilitasi Medik Pasca


Perawatan Covid-19 di Rumah
Nur Khozin

21
20
11.1 PENGANTAR
Infeksi virus Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) telah
menyebabkan terjadinya pandemi penyakit Coronavirus Disease 2019 (Covid-19)
P

di seluruh dunia saat ini. Gambaran klinis Covid-19 saat ini ada bermacam
macam, meski di awal munculnya Covid-19 memberi gambaran klinis yang
AU

lebih banyak ke saluran pernapasan, dengan gambaran klinis dan radiologis yang
bervariasi. Meskipun mayoritas pasien Covid-19 menunjukkan gambaran klinis
yang relatif ringan, namun dilaporkan juga sekitar 15–20% kasus dengan keluhan
berat. Tingkat mortalitas dari Covid-19 juga cukup signifikan 2–3%, lamanya
dari awal perawatan hingga meninggal sekitar 6–41 hari (Stein, J., et. al., 2020).
Pasien dengan usia yang lebih tua atau ada kondisi medis kronis seperti hipertensi,
diabetes mellitus, asma, atau penyakit paru obstruktif kronik lebih berpotensi
menjadi keluhan berat. Data lain dari Chinese Cohort, pada 191 pasien Covid-19
dewasa yang membutuhkan rawat inap didapatkan 61% membutuhkan perawatan
ICU dengan lama perawatan rata-rata 3 minggu (Zhou, F., et al., 2020). Cukup
banyak pasien Covid-19 dengan keluhan berat yang perlu perawatan intensif
dan perawatan yang lama. Dengan kondisi seperti itu, tentu ke depan perlu
diperhatikan akan adanya problem lanjutan pasca perawatannya.

143
Meski hasil pemeriksaan swab telah negatif dan pasien telah selesai perawatan
di rumah sakit, tetapi problem Covid-19 belum tentu selesai. Pada pasien penyakit
kritis dengan perawatan lama, seperti sindrom gangguan pernapasan akut akibat
Covid-19, juga bisa menyebabkan kondisi yang disebut dengan PICS (Post
Intensive Care Syndrome). Seiring dengan bertambah baiknya perawatan dan
bertambah banyaknya pasien survival Covid-19, beberapa gangguan fungsi seperti
gangguan paru persisten, gangguan sistem saraf pusat dan kognisi, dekondisi,
neuropati, miopati, disfagia, kekakuan dan nyeri sendi, dan masalah kejiwaan,
tentu juga akan ikut bertambah. Dan gangguan fungsi yang terjadi tersebut tentu
akan menurunkan derajat kualitas hidup penderitanya (Kim, S.Y., et. al., 2020).
Rehabilitasi medik memiliki falsafah meningkatkan kemampuan fungsional
pasien sesuai dengan potensi yang dimiliki untuk mempertahankan dan atau
meningkatkan kualitas hidup dengan cara mencegah atau mengurangi impairmen,
disabilitas, dan handicap semaksimal mungkin. Dengan proporsi pasien dengan

21
gangguan fungsi atau kecacatan terkait Covid-19 yang terus berkembang dengan
pesat, maka tindakan pencegahan dengan rehabilitasi lebih awal menjadi sangat
penting untuk mengurangi gangguan fungsi atau kecacatan selain memperbaiki
20
keluhan yang terjadi dan mengurangi komplikasi yang akan terjadi. Tindakan
rehabilitasi lanjutan dalam program rehabilitasi di rumah juga dibutuhkan
mengingat kondisi gangguan fungsi juga bisa terjadi dalam jangka panjang atau
persisten, sehingga perlu tindakan rehabilitasi yang terprogram meski pasien sudah
dalam perawatan di rumah. Program rehabilitasi di rumah diantaranya adalah
P

memberikan edukasi pada pasien dan keluarga, mengoordinasikan sumber daya


masyarakat termasuk merujuk pada anggota tim perawatan kesehatan lainnya,
AU

hingga pada program rehabilitasi berbasis masyarakat (RBM).

11.2 PATHOEPIDEMIOLOGI GANGGUAN FUNGSI PADA COVID-19


Infeksi virus SARS-CoV-2 memicu pelepasan badai sitokin yang menyebabkan
peradangan hebat, yang kemudian mengakibatkan kerusakan paru yang ditandai
dengan edema, eksudat protein yang prominen, penyumbatan pembuluh darah,
dan kluster inflamasi dengan fibrinoid dan sel giant berinti banyak serta tampak
gejala klinis hipoksia yang menonjol (Tian, S., et. al., 2020). Sehingga beberapa
pasien yang terinfeksi Covid-19 sebagian akan mengalami gejala yang berat
dan memerlukan perawatan intensif (ICU) dengan waktu yang cukup lama.
Kondisi yang sering terjadi setelah pasien menjalani perawatan lama adalah
terjadi peradangan yang persisten, terjadi imunosupresi dan katabolisme yang

144 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


biasa disebut sebagai Post Intersive Care Syndrome (PICS). PICS didefinisikan
sebagai gangguan fungsi baru atau kondisi gangguan fungsi yang memberat
secara fisik, seperti kelemahan neuromuskular, gangguan kognisi, baik thinking
maupun judgement, bahkan bisa mengganggu status kesehatan mental (Rawal,
G., et. al., 2017).
Pada studi yang dilakukan pada pasien pasca perawatan virus korona
sebelumnya, yakni SARS pada tahun 2002 dan Midle East Respoiratory Syndrome
(MERS) pada tahun 2012, didapatkan bahwa seperempat dari orang yang survive
dari SARS dan MERS, telah mengalami gangguan penurunan fungsi paru
dan kapasitas latihan pada 6 bulan setelah keluar dari rumah sakit. Sedangkan
gangguan stres pasca trauma (PTSD), depresi dan kecemasan serta penurunan
kualitas hidup dialami sampai 1 tahun pasca perawatan (Ahmad, et al., 2020).

21
20
P
AU

Gambar 11.1 Diagram Munculnya Gangguan Fungsi (Inoue, S., et al., 2019).

Gangguan fungsi pernapasan dan gangguan paru persisten adalah gangguan


yang paling sering dijumpai pada pasien Covid-19 dengan keluhan sesak atau
sesak persisten. Dalam sebuah studi pada 97 orang yang survive dari SARS
CoV, dalam setahun perawatan lanjutan didapatkan 24% memiliki diffusi karbon
monoksida paru yang signifikan disertai penurunan kapasitas latihan (Hui, D.S.,

BAB 11_Rehabilitasi Medik Pasca Perawatan Covid-19 di Rumah 145


et al., 2005). Gambaran lain dari gangguan paru persisten adalah adanya dispnea
persisten yang bisa muncul saat istirahat, mobilisasi pasif, atau hanya dengan
aktivitas ringan. Adanya penurunan saturasi oksigen (Sat.O2) yang persisten
pada saat istirahat atau selama mobilisasi pasif atau aktif, juga dilaporkan dengan
disertai perburukan dari dyspnea.
Beberapa pasien yang survival dari infeksi Severe Acute Respiration Syndrome
(SARS) di tahun 2003, mengalami gangguan sisa fibrosis paru terutama pada
pasien dengan usia lebih tua. Dari studi otopsi pada pasien yang meninggal
karena SARS juga menunjukkan gambaran fibrosis dalam berbagai tingkat.
Fibrosis paru memang secara umum adalah sebagai akibat dari infeksi virus pada
salah pernapasan, tetapi terlihat lebih bermakna setelah terjadinya infeksi oleh
SARS Coronavirus (SARS-CoV). Beberapa studi otopsi menunjukkan bahwa
terjadi kerusakan yang diffuse pada alveolar (DAD) dengan terbentuknya hyaline
membrane dan penebalan pada daerah interstitial setelah infeksi SARS-CoV

21
pada paru. DAD juga terjadi ketika ada trauma atau injury pada alveolar dan sel
epitelial bronchiolar yang akan menyebabkan penyempitan saluran akhir oleh
karena sumbatan plug cairan dan debris sel yang bisa dilihat dengan pemeriksaan
20
fisik maupun radiologis. Pada salah satu studi menunjukkan sebanyak 45% pasien
menunjukkan ground-glass appearance yang menunjukkan indikasi adanya fibrosis.
Penilaian berdasar score chest X-ray dan high-resolution computerized tomography
satu bulan pasca infeksi. Ground-glass opacification pada paru juga terlihat pada
CT-imaging. Pada sebuah study pada binatang tentang perubahan fibrosis paru
P

yang diamati setelah infeksi SARS-CoV, menunjukkan bukti bahwa fibrosis


paru disebabkan oleh respons host yang hiperaktif terhadap cedera pada paru
AU

yang dimediasi oleh signal epidermal growth factor receptor (EGFR). Dengan
menghambat signal epidermal growth factor receptor (EGFR), ternyata dapat
mencegah respons fibrotik yang berlebihan terhadap SARS-CoV.
Gangguan fungsi kelemahan otot dan sistem neuromuskuler juga banyak
ditemukan. Ada beberapa laporan dari Italia dan Prancis tentang manifestasi
Covid-19 dalam bentuk miopatik dengan pengecilan otot yang parah, dilaporkan
juga terjadi sedikit kasus manifestasi neuropati aksonal perifer (polineuropati
atau mononeuropati multipel) pada tungkai bawah dan atas. Ada juga dilaporkan
pasien yang mengalami kelemahan otot simetris setelah mengalami perawatan
yang lama di ICU karena Covid-19. Dalam pemeriksaan EMG-NCV yang
dilakukan pada anggota gerak atas dan bawah didapatkan konduksi saraf sensoris
normal dengan amplitudo yang kecil. EMG mengesankan pada myopathy
dengan lebih menonjol pada anggota gerak bawah. Laporan study oleh Mao dkk.

146 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


mendapati adanya anosmia dan ageusia pada Covid-19 yang bisa diasumsikan
bahwa penyakit ini ternyata bisa memengaruhi saraf tepi (Mao, et al., 2020).
Pada pasien yang dirawat di ICU yang lama juga sering mengalami Intensive
care unit-acquired weakness (ICU-AW) yang ditandai dengan kelemahan otot
pada ekstremitas dengan pola yang simetris akibat dari polineuropaty, myopaty,
neuro myopathy, dan dekondisi otot. Proses terjadinya diawali karena iskemia
mikrovaskuler, katabolisme, imobilisasi yang akan berlanjut pada iskemia pada
nerve, gangguan natrium channel, kerusakan mitochondria hingga terjadi
polineuropathy, myopathy, atau keduanya (Inoue, S., et al., 2019).
Gangguan fungsi atau kondisi dengan keluhan fatigue juga sering didapati.
Sebuah studi di Italia pada 143 orang pasien didapatkan bahwa setelah 7 minggu
setelah pasien keluar dari rumah sakit ditemukan 53% mengalami fatigue, 43%
mengalami sesak napas, dan 27% mengalami nyeri sendi (Carf l, A., et. al.,
2020). Pada studi yang dilakukan oleh Ong, dkk. didapatkan bahwa sebagian

21
besar penderita Covid-19 menunjukkan penurunan kapasitas fungsi latihan yang
penyebabnya bukan hanya karena gangguan fungsi parunya. Penurunan saturasi
oksigen bisa menjadi salah satu sebab penurunan kapasitas fungsi latihan ini.
20
Kelemahan pada otot karena polineuropati maupun miopati juga bisa berperan
pada terjadinya dekondisi.
Kontraksi otot membutuhkan Adenosine Triphosphate (ATP) yang dihasilkan
melalui jalur energi anaerobik dan aerobik. Proses anaerobik hanya menghasilkan
lebih kurang 5% dari ATP potensial dari molekul glukosa yang terdegradasi
P

menjadi CO2 dan H 2O. Proses aerobik, yang menggunakan glikogen, lemak,
dan protein sebagai substrat energi akan menghasilkan ATP dalam jumlah yang
AU

lebih besar untuk energi. Selain faktor energi, pengiriman oksigen ke sel dan
kapasitas untuk mengirimkannya ke jaringan juga turut menentukan tingkat
aktivitas seseorang. Kemampuan jantung dan paru-paru untuk menyuplai oksigen
ke seluruh tubuh dalam jangka waktu yang lama dinamakan dengan VO2 max,
sedangkan kebutuhan energi untuk homeostasis basal ditunjukkan dengan
METs, dengan 1 MET sama dengan sekitar 3,5ml O2 per Kg berat badan.
Aktivitas seseorang membutuhkan daya tahan yang dipengaruhi dan berdampak
pada kualitas sistem kardiovaskuler, pernapasan, dan sistem peredaran darah atau
kemampuan maksimal dalam memenuhi VO2 max. Gangguan pada pertukaran
O2 dan CO2 juga berpengaruh pada pemenuhan oksigen.
Gangguan fungsi suara, menelan atau disfagia juga bisa terjadi pasca
ekstubasi, hal ini telah dilaporkan pada 3% sampai 62% pasien yang membutuhkan
ventilasi mekanis untuk ARDS. Patofisiologinya dapat bervariasi pada pasien

BAB 11_Rehabilitasi Medik Pasca Perawatan Covid-19 di Rumah 147


dengan Covid-19, dari penyebab mekanis, gangguan propriosepsi yang berkurang,
cedera faring dan laring serta kerusakan saraf perifer atau SSP. Gangguan fungsi
menelan atau disfagia juga bisa menyebabkan aspirasi pneumoni, penurunan
kemampuan pasien memproteksi sekresi oral pada jalan napas, menurunkan
kemampuan batuk. Skrining untuk disfagia adalah penting pada pasien kritis
Covid-19 setelah ekstubasi dan pada pasien dengan usia tua dengan keluhan
berat (Carda, S., 2020).
Gangguan fungsi kognisi atau gangguan sistem saraf pusat (SSP) merupakan
gangguan fungsi yang juga dapat ditemukan pada penyintas Covid-19. Beberapa
pasien Covid-19 dengan gejala berat, memiliki manifestasi neurologis termasuk
gangguan kesadaran, gejala sistem saraf pusat (sakit kepala, pusing, gangguan
kesadaran, ataksia, kejadian serebrovaskular akut dan epilepsi), dan gejala PNS
(hipogeusia, hiposmia, hipopsia, dan neuralgia) (Baig, A.M., et al., 2020).
Sementara ada laporan baru pasien muda yang sehat menderita stroke akibat

21
koagulopati. Sebuah study lain pada penderita Covid-19 yang berat dan kritis,
beberapa memiliki berbagai manifestasi neurologis seperti defisit fungsi memori
dan eksekutif, ada kebingungan dan masalah eksekutif juga yang dialami pada
20
pasien usia lebih tua. Studi lain menunjukkan bahwa hampir 50% penderita ARDS
menunjukkan gejala sisa kognitif pada 2 tahun setelah cedera. Gangguan fungsi
yang terjadi disebabkan karena infeksi virus langsung pada sistem saraf pusat atau
bisa juga karena efek hipoksemia. SARS-CoV dan coronavirus lain pada manusia
bersifat neuroinvasif dan neurotropik, tetapi juga bisa menjadi neurovirulen
P

yang bisa menyebabkan penyakit seperti meningitis dan ensefalitis. Virus dari
saluran pernapasan dapat memasuki sistem saraf pusat (SSP) melalui penyebaran
AU

hematogen, atau melalui transmisi aksonal sistem saraf tepi. Saraf olfactory, saraf
trigeminal atau serabut sensorik saraf vagus (PNS) adalah target paling sering
pada saraf perifer. Pada penelitian dengan model tikus, didapati kemungkinan
SARS-CoV-2 dapat bertahan di SSP, mengacu pada teori virus pemicu penyakit
neurologis seperti Multiple Sclerosis (Desforges, M., et al., 2019). Jaringan otak
dilaporkan memiliki reseptor angiotensin converting enzyme-2 (ACE-2). SARS-
CoV-2 menggunakan reseptor SARS-CoV ACE2 untuk masuknya sel inang
ke membran sel miokard. Beberapa peneliti telah merekomendasi akses SARS
CoV-2 melalui cribriform plate ke otak dengan potensi kerusakan kapiler endotel,
mengakibatkan perdarahan di dalam jaringan otak. Gangguan defisit neurologis
yang terjadi ini bisa menjadi faktor yang sangat penting pada terjadinya kecacatan
secara keseluruhan, sehingga pemeriksaan fungsi eksekutif dan memori sangat
disarankan.

148 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


Gangguan kekakuan sendi dan nyeri sering juga didapati pada pasien Covid-
19 berat yang dirawat dengan tirah baring lama (prolonge imobilisasi) baik usia
dewasa maupun usia tua. Tirah baring lama akan menurunkan kekuatan otot
sekitar 10% hingga 15% tiap minggunya dan akan mencapai hampir setengahnya
dalam waktu 3 sampai 5 minggu setelah imobilisasi (Ditmer, D., Teasel, R.,
1993). Kelemahan otot yang menjadi salah satu pemicu terjadinya kekakuan sendi
yang terjadi. Ada laporan kasus pasien yang dirawat di rumah sakit karena Covid-
19 pada hari ke 9 rawat inap mengalami nyeri dan kelemahan pada tungkai bawah
dengan nyeri tekan positif. Injury pada otot dan skeletal pada pasien penyakit
Covid-19 parah, bisa diketahui dengan adanya peningkatan kreatinin kinase dan
laktat dehidrogenase. Mioglobin, kreatinin kinase dan laktat dehidrogenase yang
meningkat bersama dengan enzim hati bisa mengarahkan pada adanya gangguan
pada jaringan otot (rhabdomyolysis) meski tidak ada konfirmasi patologi yang
konsisten dengan proses terjadinya (Mao, I., et al., 2020). Imobilisasi yang lama

21
juga bisa menyebabkan penurunan kemampuan fungsi 1,5% per hari atau 10% per
minggunya. Penurunan yang terjadi terutama pada kekuatan otot yang tentunya
akan mengganggu pergerakan sendi hingga terjadi stifness. Imobilisasi lama juga
20
bisa menyebabkan terjadinya osteoporotik pada tulang yang bisa menjadi salah
satu penyebab nyeri.

11.3 PROGRAM REHABILITASI PADA GANGGUAN FUNGSI DI RUMAH


P

Berat ringannya gejala klinis dan lama perawatan yang dilakukan di rumah
sakit, baik perawatan isolasi regular maupun perawatan intensif (ICU) dengan
AU

atau tanpa ventilasi mekanik, turut berperan pada munculnya gangguan fungsi
yang terjadi pada pasien Covid-19. Meskipun gangguan fungsi yang terjadi
bervariasi akan tetapi proses perjalanan hingga munculnya gangguan fungsi bisa
saling terkait. Keluhan sesak bisa menyebabkan gangguan dekondisi, dekondisi
dengan penurunan kekuatan dan kebugaran juga bisa membuat mudah sesak.
Keluhan sesak bisa menciptakan kecemasan dan tentunya memperparah sesak
yang terjadi.
Program rehabilitasi pada pasien Covid-19 secara umum ditujukan untuk
mengatasi gejala yang timbul, mencegah dekondisi pada saluran napas dan sistem
organ lain dan membantu keberhasilan proses penyapihan ventilasi mekanik yang
menjadi kunci untuk mencegah terjadinya berbagai macam gangguan fungsi.
Pada prinsipnya program rehabilitasi pasien Covid-19 yang diberikan antara lain
pembersihan jalan napas, pencegahan dekondisi dan latihan mobilisasi dini serta

BAB 11_Rehabilitasi Medik Pasca Perawatan Covid-19 di Rumah 149


21
20
Gambar 11.2 Peran rehabilitasi awal pada pencegahan PICS (Inoue, S., et al., 2019).
P

program untuk gangguan fungsi lain yang dialami pasien. Sehingga tindakan
AU

rehabilitasi bila diberikan lebih awal akan memiliki peranan yang sangat penting
untuk mencegah terjadinya gangguan fungsi atau kecacatan yang mungkin
timbul.
Program rehabilitasi bisa diberikan dalam beberapa tahapan, dimulai dari
tahap rawat akut (rawat inap) sampai tahap rawat jalan. Untuk rehabilitasi pada
rawat jalan, sebuah studi di Italia pada 143 orang pasien didapatkan bahwa setelah
7 minggu setelah pasien keluar dari rumah sakit ditemukan 53% mengalami
fatigue, 43% mengalami sesak napas, dan 27% mengalami nyeri sendi (Carfl,
A., et al., 2020). Tindakan rehabilitasi rawat jalan atau rehabilitasi di rumah
diberikan dalam rangkaian program sebagai home exercise program yang bisa
dievaluasi berkala di unit pelayanan rawat jalan atau dievaluasi lebih inten melalui
layanan telerehabilitasi. Perlu juga diberdayakan masyarakat sekitar pasien dalam
menunjang atau membantu tercapainya program rehabilitasi melalui program
rehabilitasi berbasis masyarakat. Program yang diberikan juga sangat tergantung

150 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


Gambar 11.3 Diagram Alur Perawatan Pasien Covid-19

kondisi pasien dan perbaikan kemampuan fungsinya yang bisa dinilai dari
pemeriksaan atau assesment uji fungsi. Beberapa uji fungsi bisa digunakan untuk
mendapatkan data kemampuan pasien di antaranya 30 Second Timed Stands

21
Test, Timed Up and Go Test, 2-Minute Step Test of Exercise Capacity, 10 Metre
Walk Test, atau 6 Minute Walking Test. Hasil uji fungsi dengan tes tersebut yang
akan digunakan sebagai penentu program yang akan diberikan.
20
11.3.1 Program pada Gangguan Fungsi Pernapasan dan Gangguan Paru
Persisten
Sesak sebagai problem tersering dialami pasien pasca Covid-19 bisa diakibatkan
oleh gangguan pada paru atau sesak bisa juga terkait dengan penurunan kekuatan
P

otot & penurunan kebugaran. Sesak juga bisa disebabkan dan diperparah oleh
AU

perasaan sesak atau kecemasan. Gangguan sesak akan membaik seiring dengan
peningkatan kemampuan aktivitas fisik dan latihan yang dilakukan (WHO
Europe, 2020). Program yang bisa diajarkan ke pasien diantaranya:
• Melakukan posisi tertentu yang dapat digunakan untuk membantu mengurangi
sesak
• Melakukan latihan mengatur napas (breating controle), untuk membantu bisa
relaks dan mengatur pernapasan. Latihan bisa dilakukan dengan duduk dalam
posi nyaman bersandar, menarik napas dari hidung dan mengeluarkan melalui
mulut (bisa seperti orang bersiul) berirama beberapa kali (Greenhalgh, et al.,
2020).
• Latihan bernapas cepat, dilakukan dengan relaks dengan memikirkan aktivitas
seperti sedang naik tangga, atau sedang aktivitas lain. Menarik napas saat
seperti sebelum mulai melangkah naik dan menghembuskan napas saat seperti
kaki sudah menapak di atasnya.

BAB 11_Rehabilitasi Medik Pasca Perawatan Covid-19 di Rumah 151


11.3.2 Program pada Gangguan Fungsi Kelemahan Otot,
Sistem Neuromuskuler dan Dekondisi
Secara keseluruhan memerlukan latihan yang terprogram dan tercatat dalam
buku harian, tujuan dari latihan dekondisi antara lain meningkatkan kebugaran,
kekuatan otot, keseimbangan dan koordinasi, energi, membantu memperbaiki
pikiran dengan mengurangi stress & memperbaiki mood serta meningkatkan
kepercayaan diri. Yang penting diingat dalam melakukan latihan dekondisi
adalah dilakukan sesuai dengan peresepan intensitas latihan yang didapatkan
dari pemeriksaan uji fungsi, baik dengan 6-minute-walking-test (6MWT) atau
uji fungsi yang lain.
Peresepan latihan dimulai dari mengenalkan filosofi latihan yaitu melakukan
pemanasan sebelum latihan dan melakukan pendinginan sesudah latihan.
Latihan pemanasan dilakukan dengan tujuan untuk mempersiapkan latihan

21
dan menghindari cedera, bisa dilakukan selama sekitar 5 menit, bisa dilakukan
dengan duduk atau berdiri. Bila dengan berdiri selalu dengan pegangan yang
stabil dan dengan gerakan yang direpetisi 3–4 kali. Gerakan yang dilakukan
bisa mengangkat bahu, memutar bahu, bending ke samping, angkat lutut, angkat
20
pergelangan kaki atau memutar pergelangan kaki. Latihan pendinginan juga
bisa dilakukan selama 5 menit, tergantung latihan yang dipilih bisa berjalan
pada kecepatan lambat atau mengulang gerakan pemanasan, bisa juga dengan
melakukan stretching otot.
P

Program latihan yang akan dilakukan ada latihan endurance dan latihan
penguatan. Dalam melakukan latihan perlu ditentukan intensitas dan jenis
AU

latihan. Intensitas latihan bisa ditentukan dengan evaluasi subjektif dengan


monitoring munculnya keluhan mual atau merasa mual, munculnya keluhan
pusing atau pusing ringan, napas yang pendek parah, berkeringat berlebih, merasa
sesak dada, adanya nyeri yang terasa meningkat. Cara mudahnya adalah dengan
berusaha mengucapkan satu kalimat, bila lancar maka bisa menambah dosis, bila
tidak mampu maka bisa menurunkan dosis atau berhenti sejenak. Penentuan
intensitas yang objektif bisa menggunakan target VO2 maksimal atau metode
Heart Rate (Fletcher, G., 2001)
Latihan endurance bisa dilakukan selama 20–30 menit, seminggu bisa
dilakukan 5 hari. Jenis latihan tergantung level kemampuan pasien (WHO
Europe, 2020).
• jalan di tempat, dilakukan dengan pegangan yang stabil dengan intensitas
bisa dinaikkan dengan cara meninggikan lutut saat diangkat;

152 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


• naik turun tangga, dilakukan dengan cara gantian kaki setiap 10 langkah,
intensitas dinaikkan dengan meninggikan anak tangga atau mempercepat
waktu;
• latihan Jalan, bisa dibantu dengan alat bantu walker, kruk atau tongkat
dengan memilih rute datar. Intensitas dinaikkan dengan mempercepat atau
menambah jarak;
• jogging atau bersepeda, tergantung kondisi atau kemampuan saat sebelum
sakit

Latihan penguatan dilakukan dengan tujuan untuk menguatkan otot yang


lemah. Bisa dilakukan dalam tiga sesi latihan penguatan tiap minggu, 3 set per
sesi dengan 10 repetisi tiap set. Bisa dimulai dari yang ringan kemudian ditambah
sesuai kemampuan, seperti saat latihan napas awal, menarik napas sebelum
melakukan gerakan dan menghembus saat gerakan. Contoh latihan: Bicep curl,

21
Wall push off, Sit to stand, Knee strengthening, squad, dan lain-lain.

11.3.3 Program pada Gangguan Fungsi Suara, Menelan dan Disfagia


20
Program untuk gangguan suara bisa dilakukan dengan menganjurkan pasien
untuk sering berbicara bila memungkinkan. Tidak memaksakan bersuara, seperti
berbisik yang mengganggu pita suara dan istirahat bicara bila lelah. Bisa juga
melatih suara dengan bersenandung. Bisa masih kesulitan bisa menggunakan
P

cara komunikasi lain seperti menulis dan mengirim pesan, atau menggunakan
bahasa gerakan. Yang tak kalah penting adalah menganjurkan minum air mineral
AU

sepanjang hari untuk membantu menjaga suara tetap bekerja (WHO Europe,
2020).
Gangguan menelan dan disfagia bisa diedukasikan latihan feeding. Pada
prinsipnya pasien memungkinkan menelan makanan dengan konsistensi padat,
akan tetapi untuk makan cair pasien akan lebih kesulitan dalam pembentukan
bolus makannya. Latihan yang diajarkan adalah (Akai M., 2020):
• duduk tegak saat makan dan minum, serta menghindari posisi berbaring;
• tetap tegak baik saat posisi duduk, berdiri, berjalan lebih kurang 30 menit
setelah makan;
• mencoba makanan dengan konsistensi berbeda, untuk melihat konsistensi
makanan yang sulit ditelan;
• konsentrasi saat makan atau minum, dengan cara meluangkan waktu yang
cukup saat makan;

BAB 11_Rehabilitasi Medik Pasca Perawatan Covid-19 di Rumah 153


• mengevaluasi bahwa tidak ada sisa makanan dimulut sebelum melakukan
proses makan lagi atau mulai menggigit lagi;
• makan makanan kecil sepanjang hari;
• berhenti jika batuk atau tersedak.

11.3.4 Program pada Gangguan Fungsi Kognisi


Diantaranya adalah gangguan fungsi atensi, ingatan dan berpikir. Edukasi yang
diajarkan adalah bahwa pasien tetap atau aktif melakukan aktivitas fisik. Berusaha
melatih otaknya dengan permainan seperti puzzle atau yang lain. Senantiasa
mengatur diri dengan membuat rencana setiap kegiatan dan mengingatnya.
Mengatur pola hidup pasien dengan mengedukasi tidur dengan kualitas cukup
karena selama dalam perawatan pasien seringkali waktu tidurnya tidak teratur.
Senantiasa makan makanan sehat dan bergizi, tetap melakukan aktivitas fisik

21
dengan tetap melakukan sosialisasi. Menyempatkan kegiatan relaksasi dan
meningkatkan bertahap aktivitas fisik dan hobi.
Terapi dengan menggunakan media virtual reality juga bisa menjadi salah
20
satu pilihan. Program rehabilitasi virtual reality (VR) mudah dilakukan pasien.
Program ini memungkinkan pasien untuk melakukan aktivitas kehidupan
sehari-hari di tempat yang aman dan lingkungan yang terkendali serta mampu
meningkatkan keterlibatan dan motivasi. Virtual reality dapat diperkaya dengan
aktivitas yang merangsang, sehingga mengaktifkan perhatian dan motivasi, dan
P

memfasilitasi neuroplastisitas dan pemulihan fungsional (Mantovani, 2020).


AU

11.4 RINGKASAN
Banyak pasien yang terinfeksi Covid-19 mengalami gejala berat dan memerlukan
perawatan intensive (ICU) dengan waktu yang cukup lama. Kondisi pasien
setelah menjalani perawatan lama adalah terjadi peradangan yang persisten,
terjadi imunosupresi dan katabolisme yang biasa disebut sebagai Post Intersive Care
Syndrome (PICS). Selain itu juga terjadi kondisi yang menjadi konsekuensi dari
tirah baring lama (prolong immobilization). Kondisi gangguan fungsi persisten atau
kondisi kecacatan sangat mungkin terjadi sehingga tindakan rehabilitasi lebih
awal sangat dibutuhkan untuk mencegah terjadinya kondisi tersebut.
Tindakan rehabilitasi lanjutan dalam suatu program terencana juga
diperlukan, karena banyak pasien pasca Covid-19 yang masih mengalami banyak
problem setelah selesai perawatan rumah sakit. Program diberikan dalam bentuk

154 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


edukasi pasien dan keluarga hingga mengoordinasikan sumber daya masyarakat
dalam program rehabilitasi berbasis masyarakat (RBM).

DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, H., Patel, K., Greenwood, D.C. et al. 2020. Long-term clinical outcomes
in survivors of severe acute respiratory Syndrome (SARS) and Middle East
Respiratory Syndrome Coronavirus (MERS) outbreaks after hospitalization
or ICU admission: a systematic review and meta-analysis. J Rehabil Med.
52(5):jrm00063
Akai, M., Suzuki, Y., Kimijima, N. et. al. 2015. Dysphagia Rehabilitation Manual,
Rehabilitation Manual 30, National Rehabilitation Center for Persons with
Disabilities Japan.
Baig, A.M., Khaleeq, A., Ali, U., Syeda, H. 2020. Evidence of the Covid-19 Virus
Targeting the CNS: Tissue Distribution, Host-Virus Interaction, and Proposed

21
Neurotropic Mechanisms. ACS Chem Neurosci, 11(7):995–998
Carda, S., Invernizzi, M., Baavikatte, G. et al. 2020. The Role of Physical Medicine
in the Covid-19 Pandemic : The Clinician’s View. Ann Phys. Rehabil. Med,
63(6):554-556.
20
Carfì, A., Bernabei, R., Landi, F. 2020. Persistent symptoms in patients after acute
COVID-19 [published online ahead of print July 9, 2020]. JAMA. 324(6):603-
605.
Desforges, M,. Le Coupanec, A., Dubeau, P., et al. 2019. Human Coronaviruses and
P

Other Respiratory Viruses: Underestimated Opportunistic Pathogens of the


Central Nervous System?. Viruses. 12(1):14. Published 2019 Dec 20. doi:10.3390/
v12010014
AU

Ditmer D., Teasel R. 1993. Complication of Immobilization and Bed Rest Part 1 :
Musculoskeletal and Cardiovascular complications, Rehabilitation Article,
Canadian Family Physician, 39:1428-1437
Fletcher, G.F., Balady, G.J., Amsterdam, E.A. et.al. 2001. Exercise Standards for Testing
and Training : A Statement for Healthcare Professionals From the American
Heart association. Circulation. 104(14)1694-740.
Greenhalgh, T., Knight, M., A’Cour C., et. al. 2020. Management of post-acute Covid-19
in primary care, BMJ: as 10.1136/bmj. 370:3026.
Hui, D.S., Wong, K.T., Ko, F.W. et al. 2005. The 1-year impact of severe acute respiratory
syndrome on pulmonary function, exercise capacity, and quality of life in a cohort
of survivors. Chest. 128(4):2247–61.
Hsieh, M.J., Lee, W.C., Cho, H.Y. et al. 2018. Recovery of pulmonary functions, exercise
capacity, and quality of life after pulmonary rehabilitation in survivors of ARDS
due to severe influenza A (H1N1) pneumonitis. Influenza Other Respi Viruses.
12(5):643–8.

BAB 11_Rehabilitasi Medik Pasca Perawatan Covid-19 di Rumah 155


Inoue, S., Hatakeyama, J., Kondo Y., et. al. 2020. Post-Intensive Care Syndrome : Its
Pathophysiology, Prevention, and Future Directions, Acute Medicine & Surgery,
6(3):232-246. doi. 10.1002/ams2.415, 20196
Kim, S.Y., Kumble, S., Patel, B., et. al. 2020. Managing the Rehabilitation Wave :
Rehabilitation Service for Covid-19 Survivors. Archieves of Physical Medicine
and Rehabilitation, 101:2243-9.
Mantovani, E., Zucchella, C., Bottiroli, S., et. al. 2020. Telemedicine and Virtual Reality
for Cognitive Rehabilitation: A Roadmap for the Covid-19 Pandemic, Frontier
in Neurology, 11(926):1-8. doi: 10.3389/fneur.2020.00926
Mao, L., Wang, M., Mengdie, Chen S, et al. Neurological Manifestations of Hospitalized
Patients with Covid-19 in Wuhan, China: A Retrospective Case Series Study.
JAMA neurology, 77(6):683-690. (February 24, 2020). Available at SSRN: https://
ssrn.com/abstract=3544840 or http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.3544840
Rawal, G., Yadav, S., Kumar, R. 2017.Post-intensive Care Syndrome: an Overview.
Sciendo Journal of Tranlational Internal Medicine, 5(2): 90-92. https://www.ncbi.

21
nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5506407/
Stein, J., Visco, C.J., Barbuso, S. 2020. Rehabilitation Medicine Response to the Covid-
19 Pandemic. American Journal of Physical Medicine and Rehabilitation, 99(7):
573-579
20
Tian S, Hu W, Niu L, et al. 2020. Pulmonary Pathology of Early-Phase 2019 Novel
Coronavirus (Covid-19) Pneumonia in Two Patients with Lung Cancer. J Thorac
Oncol, 15(5):700-704 https://doi.org/10.1016/j.jtho.2020.02.010
WHO Regional Office for Europe. 2020. Support for Rehabilitation Self-Management
after Covid-19 Related Illness. World Health Organization Regional Office for
P

Europe. Available from: https://apps.who.int/iris/handle/10665/333287


Zhang, J., Zhou, L., Yang, Y., et. al. 2020. Therapeutic and triase strategies for 2019
AU

novel coronavirus. The Lancet Respiratory Medicine, 8(3):e11-e12.


Zhou, F., Yu, T., Du, R., et. al. 2020. Clinical Course and Risk Factors for Mortality and
Adult Inpatients with Covid-19 in Wuhan, China: a retrospective cohort study,
Lancet, 395(10229):1054-62

156 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


BAB 12

Tata Laksana KFR pada Anak


Pasca Serangan Covid-19
Sri Mardijati Mei Wulan

21
20
12.1 PENGANTAR
Pandemi Covid-19 disebabkan oleh severe acute respiratory syndrome coronavirus
2 (SARS-CoV-2) merupakan krisis kesehatan masyarakat yang mengancam
P

manusia saat ini. Transmisi infeksi terjadi melalui inhalasi dari droplet yang
dihasilkan saat batuk atau bersin oleh seseorang yang terinfeksi) atau kontak
AU

langsung dengan permukaan benda yang terkontaminasi (Sankar, et al., 2020) atau
dari beberapa kondisi khusus yang terkait dengan pembentukan aerosol (resusitasi
kardiopulmoner, intubasi endotrakeal, bronchoscopy, nebulisasi, dan penggunaan
ventilasi non-invasif). Virus bisa diisolasi dari sediaan feses, jadi kemungkinan
penyebaran juga melalui rute feco-oral (Wang, et al., 2020). Virus bisa hidup pada
permukaan benda dalam beberapa jam sampai hari, durasinya rendah pada suhu
tinggi dan kondisi dengan kelembapan rendah (Van Doremalen, et al., 2020).
Pasien yang berhasil sembuh dari pneumonia Covid-19 akut akan
membutuhkan evaluasi lebih lanjut untuk menentukan konsekuensi penyakit.
Konsekuensi Covid-19 belum jelas, apakah meninggalkan kerusakan paru
permanen dan atau fisik, dan seberapa luas. Coronavirus menargetkan sel epitelial
alveolar, sehingga terjadi perubahan-perubahan jaringan paru, seperti ground-
glass opacities, konsolidasi, penebalan vaskular, bronkiektasis, efusi pleural, crazy
paving pattern dan irregular solid nodules (Wu, et al., 2020), bisa terjadi pada 80%

157
pasien (Pan dan Guan, 2020). Limitasi fungsi paru dan pertukaran gas lebih
jelas pada penyintas ICU. Pasien dengan Covid-19 mempunyai kecenderungan
cepat lelah, sama dengan pasca acute respiratory distress syndrome (ARDS), bahkan
bisa terjadi pada pasien yang tidak sakit kritis (Neufeld, et al., 2020). Pada pasien
Covid-19 sering terjadi post-intensive care syndrome (PICS) yang menyebabkan
keterbatasan fisik, kognitif, maupun fungsional. Disabilitas fungsional tersebut
bisa menetap sampai 1–2 tahun setelah keluar rumah sakit, bahkan sampai 5
tahun masih didapatkan jarak tempuh jalan dan aktivitas fisik rendah dibanding
normal (Cheung, et al., 2006). Adanya trombosis dan jalur kegagalan multiorgan,
kondisi kardiovaskular dan komplikasi tromboemboli merupakan prediktor
ketergantungan fungsional (Wichmann, et al., 2020), maka diperlukan tata
laksana KFR untuk mencegah gangguan-gangguan tersebut dan meningkatkan
fungsional pada kondisi PICS (Polastri, et al., 2020).

12.2 EPIDEMIOLOGI
21
Epidemiologi Covid-19 pada anak, kasus pertama dengan pneumonia kluster
20
keluarga di Shenzen, China pada 20 Januari 2020. Secara epidemiologi, penelitian
retrospektif 366 anak kurang dari umur 16 tahun, dengan keluhan respirasi,
hanya 6 anak (1,6%) yang hasil tesnya positif untuk SARS-CoV-2 dan 1400
anak yang dirawat di RS Anak Wuhan, 28 Januari-26 Februari 2020, 171 anak
(12,3%) positif SARS-CoV-2 (Dong, et al., 2020). Menurut data IDAI, anak
P

yang terkonfirmasi Covid-19 sebanyak 2712 anak, meninggal 51 anak dari 17


Maret–20 Juli 2020 (IDAI, 2020).
AU

12.3 MANIFESTASI KLINIS DAN PENYAKIT PENYERTA PADA ANAK


Sindrom respiratori akut Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) menyebar luas secara
cepat dari Wuhan, China ke seluruh dunia dalam waktu 100 hari (WHO,
2020). Kasus anak di Indonesia yang terinfeksi Covid-19 per 10 Agustus 2020
sudah mencapai 3.928 anak dan meninggal sebanyak 59 anak yang merupakan
kasus tertinggi di Asia. Data kasus positif Covid-19 pada anak usia 0–5 tahun
sebanyak 2,5% dan usia 6–18 tahun sebanyak 7,6%. Anak-anak yang terinfeksi
pada umumnya asimtomatik, terhindar dari gejala yang berat, hanya gejala ringan
atau tidak perlu masuk rumah sakit (Dong, et al., 2020). Data-data menunjukkan
hanya 1,2% kasus berat di Itali (Livingston dan Bucher, 2020), 2% di China
(Zhang, 2020) dan 5% di Amerika (Bialek, et al., 2020). Penelitian retrospektif

158 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


di Zhejiang pada 36 anak menunjukkan gejala ringan-sedang dan tidak ada yang
menunjukkan gejala berat. Keluhan terbanyak demam (36%), batuk (19%), radang
tenggorokan (3%), sesak napas (3%), dan tanpa gejala (28%) (Qiu, et al., 2020).
Penelitian Moeller, dkk., (2020) yang melibatkan 945 anak menunjukkan bahwa
yang terbanyak usia 12 tahun dengan urutan penyakit dasar terbanyak asma,
kistik fibrosis, dan bronchopulmonary dysplasia.
Penelitian yang baru, menunjukkan level ACE-2 pada sistem respiratori
bagian atas (nasal) dan bawah (jaringan epithel bronchial) pada anak lebih rendah
dibanding dewasa (Sharif-Askari, et al., 2020). Keluhan Covid-19 pada anak
lebih ringan karena adanya trained immunity yang dibentuk oleh sistem innate
immunity yang menunjukkan memori imunitas setelah terpapar antigen (Cao, et
al., 2020).
Terlihat bahwa lebih sedikit anak yang tertular Covid-19 dan di antara yang
terinfeksi, anak-anak memiliki penyakit yang tidak parah karena anak-anak

21
memiliki respons imun bawaan yang kuat. SARS-CoV-2 masuk ke dalam sel
epithelial respiratori dengan mengikat angiotensin converting enzyme-2 (ACE-2)
melalui S-protein (Hoffmann, et al., 2020). Ekspresi reseptor target primer untuk
20
SARS-CoV-2, yaitu angiotensin converting enzyme-2 (ACE-2), menurun seiring
bertambahnya usia. ACE-2 memiliki efek perlindungan paru dengan membatasi
kebocoran kapiler paru dan inf lamasi yang dimediasi angiotensin-2. ACE-2
ditemukan pada membrana nasal, oral, nasofaringeal, orofaringeal, epitel alveolar,
sel endothel dari pembuluh darah dan jantung, tubulus renal dan enterosit dalam
P

usus halus (Song, et al., 2012).


Progresivitas clinic-immunological Covid-19 dibagi menjadi 3 fase: (1)
AU

Flu like dengan viral load tinggi; (2) fase kritis (titer virus menurun dengan
respons inflamasi cepat yang menyebabkan lung dan end-organ injury; (3) fase
penyembuhan. Titer SARS-CoV-2 pada spesimen aspirasi dari nasofaringeal
dan endotracheal, tinggi dalam minggu pertama keluhan, kemudian menurun
bertahap pada akhir minggu pertama (Liu, et al., 2020).
Tidak ada penelitian tentang viral load dan level sitokin pada anak dengan
Covid-19 yang tampak manifestasi imunologik, seperti limfopenia, peningkatan
CRP. Pada umumnya anak sembuh setelah fase flu like illness tanpa progresi ke
fase kritis (Lu, et al., 2020).
Pada kondisi sehat, aktivitas ACE-2 mempertahankan homeostasis antara
angiotensin-2 (vasokonstriksi, inf lamasi, fibrosis, dan proliferasi) dan jalur
Ang-(1-7) (vasodilatasi, anti-apoptosis, antifibrosis dan antiproliferasi) (Junyi,
et al., 2020). Setelah masuk ke dalam pneumosit, SARS-CoV-2 menurunkan

BAB 12_Tata Laksana KFR pada Anak Pasca Serangan Covid-19 159
regulasi ekspresi ACE-2, menurunkan metabolisme angiotensin-2. Peningkatan
angiotensin-2 meningkatkan permeabilitas pembuluh darah paru dan inflamasi
sehingga memperburuk kondisi paru (Imai, et al., 2005). Level angiotensin
meningkat pada pasien Covid-19 dibanding orang normal.
Anak juga tidak menunjukkan adanya komorbiditas yang terkait dengan
proses penuaan (Dhochak, et al., 2020). Penyakit komorbid umumnya tidak
terlihat pada anak-anak, disebutkan bahwa perokok pasif dapat merupakan faktor
risiko untuk anak (Vardavas dan Nikitara, 2020), diperlukan penelitian tentang
faktor risiko infeksi SARS-CoV-2 pada anak. Mekanisme protektif pada anak
dapat membantu terapi.

Tabel 12.1 Faktor protektif yang potensial melindungi anak dari infeksi SARS-CoV-2 parah

Potential protective factor Mechanisms


Prevention of virus exposure Early isolation and movement restriction

Appropriate infection handling


21 - Closing schools and day-care centers in epidemics
Trained immunity (strong innate response) due to
- Live vaccines (BCG, live virus vaccines)
- Frequent virus infections
20
High ACE-2 expression metabolizing angiotensin-2
Lack of immune-senescence
Good lung regeneration capacity
Absence of high-risk factors Absence of ageing related co-morbidities.
Less degree of obesity, smoking
High-risk group
P

1. Infants (< 1 y)
2. Children with pre-existing illnesses (neurological disorders, chronic lung diseases
AU

including asthma, uncorrected heart diseases, and genetic disorders)

Efek jangka panjang terhadap infeksi coronavirus adalah persisten dan


impairment kapasitas latihan yang bisa berlangsung sampai 24 bulan. Efek yang
lain chronic fatique pada 40% penyintas dan dikeluhkan sampai 3,5 tahun (WHO,
2020).
Sistem tubuh dan organ yang terkena tidak hanya aspek medik, seperti paru,
jantung, otak & sistem saraf, sistem musculoskeletal, tetapi juga aspek sosial,
psikologik, dan edukasi (El-Shabrawi dan Hassanin, 2020).

160 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


12.4 MEKANISME PROTEKSI IMUNOLOGI PADA ANAK
Trained Immunity (Imunitas Terlatih)
Imunitas terlatih adalah pemrograman ulang fungsional dari sel imun bawaan
ke keadaan yang lebih aktif setelah stimulasi antigen awal (infeksi atau vaksinasi)
melalui pemrograman ulang metabolik (siklus Kreb yang ditingkatkan) dan
perubahan epigenetik (asetilasi dan demetilasi yang mengarah pada peningkatan
transkripsi gen IL-1β, IL-6 dan TNF-α). Hal tersebut memengaruhi sel progenitor
maupun sel lokal (makrofag paru dan sel dendrit). Kekebalan yang terlatih karena
vaksin rutin (campak, parotitis, rubella, dan influenza) dan infeksi virus yang
sering terjadi dapat menjadi mekanisme perlindungan yang penting terhadap
infeksi SARS-CoV-2 pada anak-anak. Penelitian lain menunjukkan antibodi
cross-reactive (CR3022) mempunyai afinitas rendah terhadap SARS-CoV-2, tetapi
peran perlindungan antibodi dari infeksi virus corona lain terhadap SARS-CoV-2

21
tidak dapat dikesampingkan (Yuan, et al., 2020), namun patogenesis penyakit ini
masih tidak jelas dan uji klinis juga masih kurang, maka terapi utama meliputi
simtomatik dan bantuan pernapasan karena peran antivirus, modulator imun,
20
atau modalitas lain terbatas.

12.5 DIAGNOSIS
Diagnosis Covid-19 memerlukan deteksi RNA SARS-CoV-2 dengan reverse
P

transcription polymerase chain reaction (RT-PCR), lebih baik menggunakan sampel


dari nasofaring dari pada tenggorokan. Pasien diklasifikasikan ke dalam risiko
AU

tinggi, sedang dan ringan. Pasien dengan risiko tinggi dianjurkan segera ke
unit gawat darurat, risiko sedang datang ke rawat jalan dan yang risiko ringan
isolasi mandiri dengan monitor ketat dengan telemedicine (Feketea dan Vlacha,
2020).
Pada penelitian pendahuluan dilaporkan bahwa terdapat karakteristik
pemeriksaan ultrasound paru/lung ultrasound (LUS) pada anak dengan Covid-
19, meskipun jumlah kasus yang dianalisis masih sedikit, tetapi menunjukkan
konkordansi tinggi antara gambaran radiologi dengan ultrasound paru, artinya
bahwa LUS merupakan metode untuk deteksi abnormalitas paru pada anak
dengan Covid-19 (Denina, et al., 2020).

BAB 12_Tata Laksana KFR pada Anak Pasca Serangan Covid-19 161
12.6 ALUR DIAGNOSTIK/ALGORITMA

21
20
Gambar 12.1 Alur Diagnostik Pasien Risiko Tinggi dan Sedang (Feketea dan Vlacha, 2020).
P
AU

Gambar 12.2 Alur Diagnostik Pasien Risko Ringan (Feketea dan Vlacha, 2020).

162 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


12.7 TATA LAKSANA MEDIK
Terapi modalitas
1. Terapi Umum dan Supportive
Tirah baring dan terapi supportive berupa asupan kalori dan cairan, dipantau
balans cairan dan elektrolit, tanda vital, saturasi O2, dan lakukan pemeriksaan
penunjang sesuai kondisi klinis. Diberikan kompres atau antipiretik bila suhu
38,5°. Tidak perlu terapi O2 untuk yang ringan-sedang.
Berdasarkan data saat ini, anak-anak jarang menderita dan keluhannya tidak
berat, namun kondisi bisa berubah. Meskipun anak-anak mempunyai infeksi
yang asimtomatik tapi feses berkontribusi dalam penyebaran pandemi (Cao,
et al., 2020). Diagnosis dikonfirmasi dengan pemeriksaan swab nasofaringeal
dan orofaringeal dengan menggunakan RT-PCR. Hasil laboratorium
menunjukkan jumlah sel darah putih/leukosit normal atau rendah dengan

21
peningkatan C-reactive protein (CRP). Sebenarnya manajemen yang optimal
masih belum jelas, pendekatan multidipliner melibatkan Sp. KFR dan tim
serta spesialis lain terkait (Fraser, 2020).
2. Mechanical Ventilator
20
Di dalam pediatric intensive care unit (PICU), peranan terapi suportif untuk
mempertahankan pernapasan dan salurannya dengan memberikan non-
invasive mechanical ventilator, untuk kasus yang berat pada anak (ARDS).
3. Antibiotika
P

Hanya diberikan bila ada infeksi sekunder berdasarkan hasil kultur. Jangan
memberikan antibiotika yang tidak rasional.
AU

4. Antivirus dan antiflu


Rekomendasi nasional yang dikeluarkan RS Universitas Zhejiang 2 Februari
2020, untuk diagnosis dan terapi pneumoni yang disebabkan oleh Covid-19
dikatakan bahwa tidak ada obat antivirus yang efektif untuk anak.
a. Interferon-alpha (IFN-a), obat antivirus yang menghambat sintesis dan
replikasi RNA virus. Interferon-alpha dikombinasi dengan ribavirin dapat
menghambat replikasi virus.
b. Lopinavir/ritonavir
Terapi yang direkomendasikan untuk anak usia 2 minggu–3 tahun yang
memerlukan terapi antivirus dan anak > 3 tahun sebagai terapi alternatif
(Chiotos, et al., 2020).

BAB 12_Tata Laksana KFR pada Anak Pasca Serangan Covid-19 163
c. Ribavirin
Ribavirin yang mempunyai kemampuan memblokir sintesis RNA dan
DNA virus (Zimmermann dan Curtis, 2020). Pemberian Ribavirin untuk
anak <6 tahun.
5. Monoclonal antibody
Resolusi klinik tampak 12 jam setelah pemberian dan penurunan ke level
basal petanda inflamasi yang sebelumnya meningkat (Wati dan Manggala,
2020).
6. Plasmapheresis
Tidak ada pedoman khusus untuk terapi plasmapheresis pada anak dengan
Covid-19.
7. Terapi lain
a. Vaccines: Sangat diperlukan saat pandemi (Zimmermann dan Curtis,
2020)

21
b. Anti-inf lammatori: Non Steroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAID)
digunakan untuk menghambat cyclooxygenase yang terlibat dalam cascade
asam arachidonat yang menyebabkan deaktivasi sintesis prostaglandin
20
(Micallef et al., 2020).

12.8 TATA LAKSANA KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


Tujuan manajemen KFR membantu anak kembali sebagai anak dengan kualitas
P

hidup yang baik. Rehabilitasi pediatrik segala tindakan yang membuat anak-anak
hidup fungsional dan senormal mungkin.
AU

Kondisi umum yang bisa terjadi setelah sembuh dari infeksi virus Covid-19
adalah post-viral fatigue, intolerans terhadap exercise dan konsentrasi yang jelek.
Post-viral fatigue dapat berupa nyeri kepala atau mual, yang dapat berakhir dalam
beberapa minggu atau bulan bahkan tahun. Anak pasca Covid-19 memerlukan
rehabilitasi multi-disipliner; Sp. KFR, spesialis lain yang terkait, terapi okupasi,
terapi fisik, terapi wicara, terapi perilaku dan teknologi pendukung. Pada
umumnya anak bisa kembali normal. Makan sehat, exercise dan multivitamin
dapat membantu anak pulih dari post-viral fatigue (Townsend, et al., 2020).
Manajemen keluhan yang menetap, tidak mudah. Foto toraks akan membantu
pemeriksaan adanya abnormalitas paru yang menetap.

164 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


A. Rehabilitasi Pulmoner
Rehabilitasi pulmoner diberikan pada semua anak pasca Covid-19, termasuk
latihan napas, clearance technique, latihan peregangan, koreksi postur, dan aktivitas
fisik (Wang, et al., 2020). Rehabilitasi dirancang untuk masing-masing pasien.
Kelemahan otot-otot respirasi akibat proteolisis diafragma dapat terjadi setelah
pemakaian ventilator mekanik.
1. Postur berperan penting dalam fungsi respirasi sehingga pasien dianjurkan
untuk melakukan latihan napas dalam postur yang benar, kepala dan leher
tegak (Cormack, et al., 2017).
2. Positioning, efektif, simple, dan mudah dikerjakan. Posisi duduk dan berdiri
lebih disenangi oleh pasien yang ringan untuk memaksimalkan fungsi paru,
termasuk FVC, peningkatan compliance paru dan elastic recoil, membantu forced
expiration. Positioning meningkatkan ventilasi, perfusi, dan oksigenase.

21
3. Drainase postural bertujuan memobilisasi sekret dengan bantuan gravitasi
(Cullen dan Rodak, 2002). Perfusi lebih besar pada segmen paru yang
dependent (sisi bawah). Perubahan ventilasi tergantung pada posisi. Dua menit
dalam masing-masing posisi sambil melakukan latihan napas cukup untuk
20
ventilasi/perfusi paru yang ditarget. Direkomendasi semua posisi, termasuk
berbaring miring, terlentang, tengkurap, tegak. Posisi yang ditargetkan
ditentukan berdasar lokasi konsolidasi paru pada hasil pencitraan Pada posisi
tegak, terjadi perbaikan perfusi dan ventilasi pada lobus medius dan inferior
P

paru (Wang, et al., 2020).


4. Breathing Exercise
AU

Sistem saluran pernafasan merupakan masalah utama dan pertama yang


mengganggu pasien-pasien Covid-19. Pasca dinyatakan sembuh dari covid,
permasalahan ini masih sering mengikuti penyintas covid dengan gejala sesak
pada waktu melakukan aktivitas ringan sekalipun dan terkadang batuk yang
disertai dengan dahak yang sulit dikeluarakn. Berikut adalah managemen
rehabilitasi seputar pernafasan.
a. Deep breathing (Latihan napas dalam)
Latihan napas dalam mempunyai dampak besar pada mood dan pikiran.
Latihan napas ini dipakai sebagai teknik relaksasi. Latihan napas
ini sangat membantu anak dan remaja untuk mengurangi stress dan
kecemasan; relaksasi tubuh; memusatkan pikiran; menurunkan nadi; serta
meningkatkan level O2 tubuh. Contoh tipe latihan napas yaitu, feather
breathing, balloon breathing, dan bubble breathing or counting breaths.

BAB 12_Tata Laksana KFR pada Anak Pasca Serangan Covid-19 165
b. Belly breathing, disebut juga diaphragmatic breathing, merupakan salah satu
latihan napas yang termudah bagi anak, bisa dilakukan setiap saat dan di
manapun.

21
Gambar 12.3 Belly Breathing
20
c. Chest expansion breathing
Kemampuan mengembangkan dinding dada merupakan permasalahan
yang sering dihadapai oleh sebagian penyintas covid. Latihan di bawah
merupakan alternatif untuk membantu agar otot-otot dinding dada dapat
P

kembali bekerja sesuai fungsinya.


AU


Gambar 12.4 Chest Expansion Breathing

166 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


B. Stretching Exercise (Latihan Peregangan)
Pasien disarankan melakukan latihan peregangan 3 kali/hari, latihan peregangan
ini meningkatkan compliance sebanyak 50 mL. Otot-otot yang diregangkan
adalah otot-otot leher, dada atas dan lateral, serta pektoralis mayor. Selain latihan
peregangan, juga ada latihan luas gerak sendi (fleksi dan ekstensi leher) untuk
memobilisasi sendi facet, serta mobilisasi dinding thorax (Wang, et al., 2020).

C. Strengthening Exercise (Latihan Penguatan)


Latihan penguatan akan membantu memperbaiki otot-otot yang menjadi lemah
akibat sakitnya. Latihan dilakukan 3 kali/minggu. Latihan ini tidak sampai
menyebabkan sesak napas. Lakukan latihan 3 set dengan 10 repetisi dari tiap
latihan, istirahat sebentar di antara tiap set. Bila terasa lelah, mulai dengan repetisi

21
rendah bertahap sampai mencapai 10 repetisi. Bila terasa lebih bugar, tambahkan
beban segelas air. Latihan penguatan lengan dan tungkai bisa dilakukan dalam
posisi duduk atau berdiri dengan postur yang benar. Latihan sebaiknya dilakukan
sesuai dengan kapasitas atau kemampuan pasien (WHO, 2020).
20
D. Kembali ke Aktivitas Fisik
Progresivitas aktivitas tergantung pada kapasitas sebelum sakit. Aktivitas jalan
P

jarak dekat, naik turun tangga, berenang. Latihan sebaiknya tidak berlebihan dan
menimbulkan rasa berat saat bernafas, kemudian latihan selanjutnya terdiri atas
AU

kombinasi penguatan, balans dan koordinasi, seperti lari, side step (Hammami,
et al., 2020; Salman, et al., 2020). Latihan diberhentikan bila ada keluhan mual,
pusing atau kepala terasa ringan, napas pendek, lemas atau berkeringat dingin,
dan nyeri.(WHO,2020)

E. Rekomendasi
Program multidisiplin, seperti rahabilitasi pulmoner sangat diperlukan pada
kondisi post intensive-care syndrome (Brown, et al., 2019, Spruit, et al., 2013).
Rehabilitasi Covid-19 direkomendasikan oleh asosiasi ilmuwan dan profesional
untuk diberikan baik pada fase satu maupun fase tiga (Polastri, et al., 2020;
Vitacca, et al., 2020; Waldmann dan Pittard, 2020). Secara evidance based,
program rehabilitasi untuk pasca Covid-19 sama dengan rehabilitasi pasien
dengan kondisi gangguan respirasi kronik. Program rehabilitasi yang dikerjakan

BAB 12_Tata Laksana KFR pada Anak Pasca Serangan Covid-19 167
di dalam rumah sakit, rawat jalan, telerehabilitasi, tele-coaching, home rehabilitation,
atau bentuk kombinasi.
Akhir-akhir ini di United Kingdom dilakukan penelitian pada 10.000
pasien pasca Covid-19 yang keluar rumah sakit, mengidentifikasi kebutuhan
medik, psikologis dan rehabilitasi untuk memberikan gambaran komprehensif
efek infeksi Covid-19 jangka panjang (PHOSP-COVID, 2020). Peran telehealth
dalam perawatan pasca Covid-19 sangat diperlukan. Saat pandemik seperti ini,
diperkenalkan clinic-social distancing dan pedoman kontrol infeksi. Cara virtual
tidak hanya memungkinkan mengunjungi pasien secara aman tetapi juga untuk
evaluasi pasien dari luar kota.

12.9 RINGKASAN
Tata laksana KFR yang dilakukan dengan benar dan teratur akan memberikan

21
perbaikan fungsional anak sehingga anak mampu melakukan dan kembali ke
aktivitas sehari-harinya seperti sebelum sakit.
20
DAFTAR PUSTAKA
Bialek, S., Boundy, E., Bowen, V., et al. 2020. Severe outcomes among patients with
coronavirus disease 2019 (Covid-19) –United States, February 12–March 16,
2020. Morbidity and Mortality Weekly Report, 69(12):343–346
P

Brown, S.M., Bose, S., Banner-Goodspeed V, et al. 2019. Approaches to addressing


post-intensive care syndrome among intensive care unit survivors. Ann Am Thorac
AU

Soc, 16:947–956.
Cao, Q., Chen, Y.C., Chen, C.L., and Chiu, C.H. 2020. SARS-CoV-2 infection in
children: transmission dynamics and clinical characteristics. J Formos Med Assoc,
119:670-673
Cheung, A.M., Tansey, C.M., Tomlinson, G., et al. 2006. Two-year outcomes, health
care use, and costs of survivors of acute respiratory distress syndrome. Am J Respir
Crit Care Med.,174(5):538-544. doi:10.1164/rccm.200505-693OC
Chiotos, K., Hayes, M., Kimberlin, D.W.,et al. 2020. Multicenter initial guidance on use
of antivirals for children with COVID-19/SARS-CoV-2. J Pediatric Infect Dis
Soc, 9(6):701-715. Available at: https://doi.org/10.1093/jpids/piaa045.
Cormack, P., Burnham, P., and Southern, K.W. 2017. Autogenic drainage for airway
clearance in cystic fibrosis. Cochrane Database Syst Rev, 10(10):CD009595.
doi:10.1002/14651858.CD009595.pub2
Cullen DL, and Rodak B. Clinical utility of measures of breathlessness. (2002). Respir
Care, 47(9), pp. 986-993.

168 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


Denina M, Scolfaro C, Silvestro E, Pruccoli G, Mignone F, Zoppo M, Ramenghi U,
and Garazzino S. Lung Ultrasound in Children With Covid-19. PEDIATRICS
Available at: https://doi.org/10.1542/peds.2020-1157 (Accessed: 29 November
2020).
Dhochak N, Singhal T, Kabra SK, and Lodha R. (2020). Pathophysiology of Covid-19:
why children fare better than adults? Indian J Pediatr, 87, pp.537-546.
Dong Y, Mo X, Hu Y, et al. (2020). Epidemiology of Covid-19 among children in China.
Pediatrics, 145: e20200702.
El-Shabrawi M and Hassanin F. (2020). Infant and child health and healthcare before and
after Covid-19 pandemic: will it be the same ever? Egyptian Pediatric Association
Gazette 68(25).
Feketea GM, and Vlacha V. (2020). A Decision-making Algorithm for Children With
Suspected Coronavirus Disease 2019. JAMA Pediatrics, 174 (12), p.1220.
Fraser E. (2020). Long term respiratory complications of Covid-19. BMJ,370:m3001.
Available at: http://dx.doi.org/10.1136/bmj.m3001 (Accssed: 26 November
2020)

21
Hammami A, Harrabi B, Mohr M, and Krustrup P. (2020). Physical activity and
coronavirus disease 2019 (Covid-19): specific recommendations for home-based
physical training. Managing Sport and Leisure. Available at: https://doi.org/10.
20
1080/23750472.2020.1757494 (Accessed : 11 January 2021)
Hoffmann M, Kleine-Weber H, Schroeder S, et al. (2020). SARS-CoV-2 cell entry
depends on ACE2 and TMPRSS2 and is blocked by a clinically proven protease
inhibitor. Cell, 181, pp.271–280.
IDAI. Tatalaksana Covid-19 Pada Anak dan Neonatus dalam Pedoman Tatalaksana
P

Covid-19, edisi 2, Jakarta, April 2020


Imai Y, Kuba K, Rao S, et al. (2005). Angiotensin-converting enzyme 2 protects from
AU

severe acute lung failure. Nature, 43, pp.112–116.


Junyi G, Zheng H, Li L, and Jiagao L. (2020). Coronavirus disease 2019 (Covid-19) and
cardiovascular disease: a viewpoint on the potential inf luence of angiotensin-
converting enzyme inhibitors/ angiotensin receptor blockers on onset and
severity of severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 infection. J Am Heart
Assoc.,9:e016219.
Liu Y, Yang Y, Zhang C, et al. (2020). Clinical and biochemical indexes from 2019-nCoV
infected patients linked to viral loads and lung injury. Sci China Life Sci.,63,
pp.364–374.
Livingston E, and Bucher K. (2020). Coronavirus disease 2019 (Covid-19) in Italy.
JAMA, 323, p.1335.
Lu X, Zhang L, Du H, et al. (2020). SARS-CoV-2 infection in children. N Engl J
Med.,382, pp.1663–1665. Available at: https://doi.org/10.1056/ NEJMc2005073
(Accessed : 30 November 2020).

BAB 12_Tata Laksana KFR pada Anak Pasca Serangan Covid-19 169
Micallef J, Soeiro T, and Jonville-Béra AP. (2020). Non-steroidal anti-inflammatory
drugs, pharmacology, and Covid-19 infection. Therapie, May 7. Available at :
https://doi.org/10.1016/j.therap.2020.05.003 (Accessed : 30 November 2020).
Moeller A, Thanikkel L, Duijts L, Gaillard EA, Garcia-Marcos L, Kantar A, Tabin N,
Turner S, Zacharasiewicz A and Pijnenburg MWH. (2020). Covid-19 in children
with underlying chronic respiratory diseases: survey results from 174 centres. ERJ
Open Res, 6: 00409-2020. Available at : https://doi.org/10.1183/23120541.00409-
2020 (Accessed :25 November 2020).
Neufeld KJ, Leoutsakos JS, Yan H, et al. (2020). Fatigue symptoms during the first year
after ARDS. Chest; in press. Available at : http://doi:10.1016/j.chest.2020.03.059
(Accessed : 25 November 2020).
Pan Y, and Guan H. (2020). Imaging changes in patients with 2019-nCov. Eur Radiol;
in press. Available at : https://doi.org/10.1007/s00330-020-06713-z(Accessed:
25 November 2020).
PHOSP-COVID. Improving long-term health outcomes. Available at : https://www.

21
phosp.org/. (Accessed : 20 December 2020).
Polastri M, Brini S, Ghetti A, et al. (2020). Recommendations from scientific/professional
societies: an essential support for physiotherapy in patients with Covid-19. Int J
Ther Rehabil, 27, pp. 1–3
20
Polastri M, Nava S, Clini E, Vitacca M and Gosselink R. (2020). Covid-19 and pulmonary
rehabilitation: preparing for phase three. Eur Respir J, 55: 2001822. Available at :
https://doi.org/10.1183/13993003.01822-2020 (Accessed : 23 December 2020).
Qiu H, Wu J, Hong L, Luo Y, Song Q , and Chen D. (2020). Clinical and epidemiological
features of 36 children with coronavirus disease 2019 (Covid-19) in Zhejiang,
P

China: an observational cohort study. Lancet Infect Dis, 20, pp.689–696.


Sankar J, Dhochak N, Kabra SK, and Lodha R. (2020). Covid-19 in Children: Clinical
AU

Approach and Manajement. The Indian Journal of Pediatrics, 87(6), pp.433–


442. Available at: https://doi.org/10.1007/s12098-020-03292-1 (Accssed : 20
November 2020).
Saheb Sharif-Askari N, Saheb Sharif-Askari F, Alabed M, Temsah MH, Al Heialy S,
Hamid Q , et al. (2020). Airways expression of SARS-CoV-2 receptor, ACE2,
and TMPRSS2 is lower in children than adults and increases with smoking and
COPD. Mol Ther Methods Clin Dev, 18, pp.1-6
Salman D, Vishnubala D, Le Feuvre P, Beaney T, Korgaonkar J, Majeed A, McGregor
AH. (2021). Returning to physical activity after Covid-19. BMJ;372:m4721. doi:
10.1136/bmj.m4721; Available at: http://www.bmj.com/ (Accessed:10 January
2021).
Spruit MA, Singh SJ, Garvey C, et al. (2013). An official American Thoracic Society/
European Respiratory Society statement: key concepts and advances in pulmonary
rehabilitation. Am J Respir Crit Care Med; 188: e13–e64.

170 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


Song R, Preston G, and Yosypiv IV. (2012). Ontogeny of angiotensin- converting enzyme
2. Pediatr Res;71, pp.13–19.
Townsend L, Dyer AH, Jones K, Dunne J, Mooney A, Gaffney F, et al. (2020). Persistent
fatigue following SARS-CoV-2 infection is common and independent of severity
of initial infection. PLoS ONE 15(11): e0240784. Available at: https://doi.
org/10.1371/journal.pone.0240784 (Accessed : 11 December 2020).
van Doremalen N, Bushmaker T, Morris DH, et al. (2020). Aerosol and surface stability
of SARS-CoV-2 as compared with SARS-CoV-1. N Engl J Med. Available at:
https://doi.org/10.1056/NEJMc2004973. (Accessed : 20 December 2020).
Vardavas CI, and Nikitara K. (2020). Covid-19 and smoking: a systematic review of the
evidence. Tob Induc Dis;18, p.20.
Vitacca M, Carone M, Clini E, et al. (2020). Joint statement on the role of respiratory
rehabilitation in the Covid-19 crisis: the Italian position paper. Respiration; in
press Available at: https://doi.org/10.1159/000508399. (Accessed : 20 December
2020).

21
Waldmann C, and Pittard A. (2020). FICM position statement and provisional guidance:
recovery and rehabilitation for patients following the pandemic. www.ficm.ac.uk/
sites/default/files/ficm_rehab_provisional_guidance.pdf. (Accessed: 16 December
2020).
20
Wang TJ, Chau B, Lui M, Lam GT, Lin N, and Humber S. (2020). PM&R and
Pulmonary Rehabilitation for Covid-19. American Journal of Physical
Medicine & Rehabilitation Articles Ahead of Print DOI: 10.1097/
PHM.0000000000001505
Wang W, Xu Y, Gao R, et al. (2020). Detection of SARS-CoV-2 in different types of
P

clinical specimens. JAMA. Available at: https://doi.org/10.1001/jama.2020.3786.


(Accessed: 10 December 2020).
AU

Wati DK, and Manggala AK. (2020). Overview of manajement of children with Covid-
19. Clin Exp Pediatr 63(9), pp. 345–354. Available at: https://doi.org/10.3345/
cep.2020.00913 (Accessed : 10 December 2020).
Wichmann D, Sperhake JP, Lütgehetmann M, et al. (2020). Autopsy Findings and
Venous Thromboembolism in Patients With Covid-19: A Prospective Cohort
Study. Ann Intern Med;173(4), pp.268-277. doi:10.7326/M20-2003
World Health Organization. (2020). Coronavirus disease 2019 (Covid-19) Situation
Report – 79. Available at: www.who.int/docs/default-source/coronaviruse/
situation-reports/20200408-sitrep-79-Covid-19.pdf ?sfvrsn=4796b143_6
(Accessed: 7 December 2020).
World Health Organization. (2020). Support for Rehabilitation Self-Manajement
After Covid-19 Related Illness. Available at: https://www.who.int, (Accessed:
1 December 2020).

BAB 12_Tata Laksana KFR pada Anak Pasca Serangan Covid-19 171
Wu J, Pan J, Teng D, et al. (2020). Interpretation of CT signs of novel 2019 coronavirus
(Covid-19) pneumonia. Eur Radiol; in press. Available at: https://doi.org/10.1007/
s00330-020-06915-5.(Accessed : 20 December 2020).
Yuan M, Wu NC, Zhu X, et al. (2020). A highly conserved cryptic epitope in the receptor-
binding domains of SARS-CoV-2 and SARS-CoV. Science:eabb7269. Available
at: https://doi.org/10.1126/science.abb7269 (Accessed: 20 December 2020).
Zhang Y. (2020). The Novel Coronavirus Pneumonia Emergency Response Epidemiology
Team. The epidemiological characteristics of an outbreak of 2019 novel coronavirus
diseases (Covid-19) in China. Zhonghua Liu Xing Bing Xue Za Zhi;10, pp.
145–151.
Zimmermann P, and Curtis N. (2020). Coronavirus infections in children including
Covid-19: an overview of the epidemiology, clinical features, diagnosis, treatment
and prevention options in children. Pediatr Infect Dis J;39, pp.355-368.

21
20
P
AU

172 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


BAB 13

Aktivitas Fisik Selama Isolasi


Suroso Agus Widodo

13.1 PENGANTAR
21
20
Coronavirus Disease (Covid-19) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan
oleh Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Penyakit
ini pertama kali ditemukan di kota Wuhan, China pada bulan Desember
2019. Penyebarannya sangat cepat hingga menjadi pandemi. Gejala klinis yang
P

ditimbulkan mulai dari ringan, sedang hingga berat, yang dapat berakibat fatal
berupa kematian. Sebagian besar (sekitar 80%) memberikan gambaran klinis
AU

ringan berupa flu, batuk kering, demam, dan nyeri otot, selebihnya memberikan
gambaran klinis berat berupa naiknya suhu tubuh di atas 38,5°, dan sesak napas
yang mengharuskan pasien dirawat di rumah sakit atau di ruang perawatan
intensif (Bhatia, 2020; Halabachi, 2020).
Perubahan gaya hidup seperti social distancing, menjaga kebersihan diri
dengan selalu mencuci tangan, mengenakan masker, merupakan cara yang efektif
dalam mencegah penyebaran Covid-19. Isolasi penderita dimaksudkan untuk
memutus rantai penularan Covid-19. Pada kasus ringan isolasi dapat dilakukan
mandiri di rumah sendiri, di hotel-hotel yang telah direkomendasikan, atau di
tenda-tenda/pusat-pusat isolasi yang disediakan oleh pemerintah. Pada fasilitas
isolasi yang disediakan oleh pemerintah umumnya terdapat petugas kesehatan
yang memantau perkembangan klinis dan memfasilitasi penderita untuk mencapai
kesembuhan yang lebih cepat (Hammami, et al., 2020).

173
Penderita Covid-19 yang sedang menjalani masa isolasi cenderung melakukan
pembatasan aktivitas dan pembatasan latihan fisik sehari hari. Berkurangnya
aktivitas fisik dan latihan rutin selama masa isolasi akan menurunkan kebugaran
fisik dan meningkatkan komorbiditas dan mortalitas Covid-19, kecemasan, dan
depresi. Kondisi inaktif akan menyebabkan turunya toleransi glukosa darah,
rentan terhadap infeksi, gangguan kardiovaskuler, gangguan kognitif dan
gangguan muskuloskeletal berupa atropi otot dan kekakuan sendi, penurunan
kapasitas fungsi paru, sehingga akan menurunkan kualitas (Abdelbasset, 2020;
Hammami, et al., 2020).
Peningkatan gizi, tidur atau istirahat yang cukup, dan latihan fisik dengan
rasa gembira merupakan cara yang murah, mudah dan aman dalam usaha untuk
meningkatkan sistem imunitas. Fisik yang bugar setelah melakukan suatu latihan
yang terstruktur dan terukur, akan meningkatkan respons imun terhadap infeksi
virus yang semakin baik. Latihan fisik juga akan menurunkan risiko faktor

21
komorbid seperti diabetes melitus, hipertensi, penyakit kardiovaskuler, obesitas,
kanker, dan HIV (Abdelbasset, 2020., Hammami, et al., 2020).
Uji fungsi perlu dilakukan sebelum memulai suatu latihan yang terstruktur
20
dan terukur. Uji fungsi sit to stand test, TUG (time up to go), 6MWT (6 minute
walking test) dan FIM (Functional Independece Measure) merupakan uji fungsi
yang paling sering digunakan untuk menilai salah satu komponen dari diagnosis
fungsi menurut ICF (International Classification of Functioning) yaitu koomponen
aktivitas (Tansey, et al., 2007). Peresepan latihan dengan memperhatikan
P

frekuensi, intensitas, tipe dan waktu atau yang biasa disingakat dengan FITT
(Frequency, intensity, type, time) dilakukan berdasarkan uji fungsi yang telah
AU

dilakukan sebelumnya.

13.2 EFEK PEMBATASAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP KESEHATAN


Untuk mencegah penyebaran Covid-19, badan kesehatan dunia/WHO dan
pemerintah di hampir seluruh Negara merekomendasikan untuk melakukan
karantina atau PSBB bagi warganya. Isolasi dilakukan dengan berdiam diri di
rumah, penutupan area publik seperti taman, mall, fitness center, dan tempat-
tempat wisata lainnya. Kondisi ini menyebabkan masyarakat “terkurung” di
rumahnya masing-masing dan memilih aktivitas rekreasi seperti belajar memasak,
lebih banyak menggunakan gadget dan kegiatan-kegiatan lain yang kurang
aktif. Kondisi kurang bergerak atau inaktif menyebabkan menurunnya fungsi-
fungsi tubuh mulai dari muskulo skeletal, neuromuskular, kardiorespirasi, sistem

174 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


endokrin, sistem imun, dan kondisi kejiwaan. Mereka yang memiliki faktor
komorbid seperti obesitas, diabetes, hipertensi, dan penyakit jantung menjadi
lebih rentan terkena infeksi (Halabachi, 2020).
Efek latihan fisik terhadap kesehatan tidak diragukan lagi. Penelitian-
penelitian mengenai efek positif latihan fisik terhadap berbagai macam kondisi
kesehatan telah banyak dipublikasi. Endorfin yang dilepas setelah melakukan
suatu aktivitas fisik menimbulkan rasa bahagia, mengurangi nyeri, meningkatkan
imunitas tubuh, dan meningkatkan rasa optimis dalam menghadapi masalah
kehidupan (Hammami, et al., 2020; Koch, S., 2020).
Intensitas latihan fisik memengaruhi hormon endorfin yang disekresi.
Latihan aerobik dengan intensitas sedang disebutkan mampu menurunkan
tingkat depresi, sedangkan latihan fisik intensitas ringan kurang berdampak pada
turunnya depresi (Hammami, et al., 2020; Auberin-Leheudre, M., 2020).
Gambar di bawah ini menunjukkan hubungan antara depresi dan karantina/

21
PSBB, dan hubungan antara aktivitas fisik atau olahraga dengan depresi.
20
P
AU

Gambar 13.1 SARS-CoV-2 dapat menyerang langsung ke sistem saraf pusat. Karantina dan
isolasi mandiri yang dipergunakan untuk mencegah penyebaran SARS-CoV-2 menyebabkan
depresi yang mempunyai efek negatif terhadap sistem saraf pusat dan sistem imunitas tubuh.
Regular exercise dengan intensitas sedang akan mengurangi efek negatif dari karantina terhadap
sistem saraf pusat (Abdelbasset, 2020).

BAB 13_Aktivitas Fisik Selama Isolasi 175


13.3 EFEK AKTIVITAS FISIK TERHADAP SISTEM IMUN
Sistem imun merupakan salah satu faktor penentu berat ringannya gejala klinis
orang yang terinfeksi virus Covid-19. Upaya untuk meningkatkan sistem imun
melalui suatu latihan fisik yeng terstruktur dan terukur akan meningkatkan
kapasitas aerobik yang akan meningkatkan sistem imun. Peningkatan sistem imun
terjadi melalui tiga mekanisme. Mekanisme pertama adalah meningkatkan level
dan fungsi dari T limfosit, neutrofil, makrofag, dan monosit yang merupakan
komponen penting tubuh dalam melawan infeksi. Mekanisme kedua dengan
cara meningkatkan Immunoglobulin (IgA, IgM, IgG), khususnya Ig A yang
berperanan penting dalam melawan infeksi pada paru paru. Mekanisme
ketiga adalah dengan cara meregulasi level dari C-reaktif protein, infeksi dan
menurunkan fungsi paru, dan kecemasan serta depresi untuk meningkatkan
imunitas dengan mengatur kembali keseimbangan antara T-helper 1/T helper
2 (Damiot, 2020).

21
Peningkatan kapasitas aerobik akan mencegah dan mengobati infeksi dan
gangguan respirasi pada penderita Covid-19. Efek peningkatan kapasitas aerobik
dalam peningkatan fungsi paru dan pencegahan kerusakan paru, melalui empat
20
mekanisme. Mekanisme pertama, peningkatan kapasitas aerobik berfungsi
sebagai antibiotik dan antimikotik melalui meningkatnya imunitas paru
dan tubuh. Mekanisme kedua, peranan peningkatan kapasitas aerobik juga
menjaga elastisitas normal dari jaringan paru dan meningkatkan kekuatan serta
P

ketahanan dari otot otot pernapasan, yang akan membantu dalam peningkatan
ventilasi, mekanisme paru dan menurunkan kerusakan paru. Mekanisme ketiga
AU

berhubungan dengan peningkatan kapasitas aerobik sebagai antioksidan yang akan


mengurangi produksi radikal bebas dan kerusakan akibat oksidatif. Mekanisme
keempat berhubungan dengan peningkatan kapasitas aerobik dalam menurunkan
batuk dan membersihkan jalan napas melalui peningkatan imunitas paru dan
mengeluarkan modulasi autonomik (Abdullahi, 2020; Wang, et al., 2020).
Peningkatan kapasitas aerobik akan membantu menurukan insidens dan
progesifitas dari Covid-19. Faktor risiko yang memperparah Covid-19 adalah
umur tua, hipertensi, diabetes dan penyakit jantung. Penelitian menunjukkan
bahwa semua faktor risiko tersebut membaik dengan peningkatan kapasitas
aerobik. Peningkatan kapasitas aerobik direkomendasikan sebagai salah satu
pengobatan atau intervensi pasien Covid-19 selama isolasi fase sebelum panas
muncul (pada kasus Covid-19 yang ringan). Peningkatan kapasitas aerobik juga
bisa diberikan sebagai terapi tambahan untuk mengurangi hari rawat inap.
Karacabey, dkk., membuktikan bahwa latihan aerobik sedang secara teratur

176 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


akan meningkatkan pengeluaran hormon dan immunoglobulin IgA, IgG,
IgM. Mohamed dan Taha membandingkan efek jangka panjang dari latihan
aerobik dan anaerobik pada jumlah Imonoglobulin pada wanita yang mengalami
obesitas. Mereka menemukan bahwa latihan aerobik meningkatkan jumlah
Immunoglobulin, khususnya IgM dan IgG (Ahmed, I., 2020; Hernandez-
Lazzaro, et al., 2020).
Peningkatan kadar CRP merupakan mekanisme pertahanan tubuh dalam
melawan infeksi virus, namun kadar CRP yang tetap tinggi dapat mempercepat
kerusakan paru karena kadar CRP yang tinggi menyebabkan penurunan fungsi
paru. Serum CRP merupakan salah satu pemeriksaan laboratorium sebagai
penanda Covid-19. Pasien Covid-19 mempunyai kadar CRP yang sangat tinggi.
Peningkatan kapasitas aerobik mempunyai peranan dalam mengatur kadar CRP
dengan memproduksi secara singkat peningkatan kadar CRP untuk melawan
infeksi dari paru dan menurunkan kadar CRP dalam jangka waktu yang lama

2020).
21
untuk mencegah penurunan fungsi dari paru (Groneberg, 2020; Damiot,

Aktivitas imun tubuh dipengaruhi secara signifikan oleh mood dari penderita.
20
Pasien Covid-19 sering disertai dengan kecemasan dan depresi dengan kadar
yang berbeda-beda antara satu pasien dengan pasien yang lain. Kecemasan dan
depresi mempunyai pengaruh yang negatif terhadap imun penderita. Stress
menurunkan imunitas dengan cara merubah keseimbangan antara sel, seperti
merubah keseimbangan antara T-helper-1/T helper-2. Stres dapat menyebabkan
P

perubahan ini melalui peningkatan jumlah serum kortikosteroid dan katekolamin


hormon, sehingga terjadi penurunan imun respons. Peningkatan kapasitas aerobik
AU

bisa meningkatkan suasana hati dengan cukup signifikan. Hal ini dikaitkan
dengan efek dari latihan aerobik pada penurunan stres hormon, seperti hormon
kortikosteroid dan hormon katekolamin yang dapat menyeimbangkan kembali
perbandingan antara T-helper-1/T-helper-2 (Metzll, et al., 2020).
Latihan aerobik selama 10 sampai dengan 30 menit cukup untuk
meningkatkan suasana hati. Hogan dan kawan kawan melaporkan bahwa
bersepeda selama 15 menit mempunyai pengaruh yang positif pada orang muda
dan lanjut usia yang menderita kecemasan. Broman-Fulks dan Storey dalam
penelitiannya menyatakan bahwa berjalan dengan 50% dari maximal heart
rate atau lari dengan 60–90% dari maxsimal heart rate selama 20 menit secara
signifikan akan menurunkan kecemasan. Crabe dan kawan kawan menyatakan
bahwa latihan aerobik selama tiga hari seminggu akan menurunkan emosi
untuk rangsangan yang tidak menyenangkan. Asmundson dan kawan kawan

BAB 13_Aktivitas Fisik Selama Isolasi 177


menyatakan bahwa latihan aerobik ringan secara regular akan menurunkan
gangguan kecemasan secara signifikan (Hammami, et al., 2020; Mohamed, A.A.
and Alawna, M., 2020).
Latihan aerobik dengan intensitas ringan sampai sedang mempunyai
keuntungan dalam meningkatkan fungsi sistem imun pada pasien dengan Covid-
19. Latihan aerobik dengan intensitas tinggi sebaiknya dihindari pada pasien
Covid-19, karena menurunkan fungsi sistem imun. Pada penderita Covid-19 yang
masih menunjukkan gejala panas badan, latihan aerobik sebaiknya dihindari,
karena mempunyai pengaruh yang merugikan dalam menurunkan imunitas
(Stearns, R.L., et al., 2020; Wackerhage, H., et al., 2020).

13.4 AKTIVITAS FISIK PENDERITA COVID-19 SELAMA MASA ISOLASI


Pasien Covid-19 yang berada dalam ruangan isolasi, aktivitas fisik harian akan

21
turun. Penurunan tingkat aktivitas ini tergantung pada seberapa aktif pasien dalam
melakukan aktivitas fisik sebelum sakit. Latihan aktivitas fisik akan memperbaiki
fungsi fisiologis penderita dan memperbaiki ketahanan dan kebugaran fisik
20
penderita. Latihan fisik seawal mungkin akan mampu mencegah timbulnya gejala
gejala dekondisi (sindrom dekondisi) yang dapat terjadi pada banyak sistem organ.
Pada sistem pernapasan, latihan/aktivitas fisik akan mencegah penumpukan
mukus yang ada pada saluran napas, mencegah disfungsi otot-otot pernapasan
serta memperbaiki dinamika diafragma.
P

Target program rehabilitasi pasien Covid-19 yang sedang menjalani masa


isolasi adalah untuk mengatasi gejala yang ada, memperbaiki fungsi penderita,
AU

serta mencegah dekondisi pada saluran pernapasan serta organ organ yang lain.
Efek latihan tergantung kepada intensitas dan durasi latihan. Untuk meningkatkan
sistem imun, latihan dengan intensitas sedang selama 45 menit paling baik di
dalam meningkatkan imun. Latihan dengan intensitas yang berat justru dapat
menurunkan fungsi sistem imun, sehingga akan menyebabkan lebih mudah
terpapar infeksi saluran pernapasan atas dan reinfeksi virus. Pada populasi yang
mempunyai risiko tinggi terpapar infeksi Covid-19, dianjurkan untuk melakukan
latihan aerobik dengan intensitas sedang, selama 2–3 sesi per minggu selama lebih
kurang 30 menit (Hammami, et al., 2020; Woods J.A., el al., 2020).
Perlu diingat bahwa pasien dalam perawatan di ruang isolasi yang luasnya
terbatas. Mobilisasi dan tingkat aktivitas dalam masa ini cenderung turun.
Program rehabilitasi pencegahan dekondisi atau rekondisi harus dimulai seawal
mungkin. Latihan fisik yang diberikan harus disesuaikan dengan usia penderita,

178 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


kondisi fisik penderita yang diketahui melalui uji fungsi sebelumnya, derajat
penyakit serta penyakit penyerta yang diderita oleh penderita. Metode pelatihan
dengan video edukasi dan materi edukasi tertulis akan sangat diperlukan, sehingga
bisa meminimalkan kontak dengan pasien (Kolegium IKFRI, 2020).
Sebelum pemberian latihan fisik kepada penderita Covid-19, perlu dilakukan
asesmen dan evaluasi awal pada penderita, agar latihan fisik yang dilakukan oleh
penderita aman dan mencapai goal yang telah ditentukan. Tanda tanda vital
penderita harus memenuhi syarat untuk memulai sebuah latihan fisik. Penderita
diperkenankan untuk melakukan latihan fisik, apabila tekanan darah sistolik
kurang dari 140 mmHg atau lebih dari atau sama dengan 90 mmHg, tekanan
darah diastolik kurang dari 100 mmHg atau lebih dari atau sama dengan 60
mmHg, heart rate 60–100 kali per menit, respirasi rate 16–29 kali per menit,
suhu tubuh 36,5–37.5 derajat celcius, saturasi oksigen lebih dari 95% (Fernandez-
Lazzaro, et al., 2020).

21
13.4.1 Exercise Testing Pasien Covid-19 di Ruang Isolasi
20
Sebelum pelaksanaan latihan fisik pada penderita Covid-19 yang sedang
menjalani isolasi, harus ditegaskan kepada penderita bahwa latihan dilaksanakan
sesuai dengan yang telah diprogramkan. Intensitas latihan disesuaikan dengan
kemampuan fungsional penderita yang didapat dari hasil pemeriksaan uji fungsi
penderita. Uji fungsi yang seringkali dilakukan pada pasien Covid-19 di ruang
P

isolasi adalah sit to stand test, pasien diminta mengerjakan aktivitas duduk berdiri
AU

Gambar 13.2 Uji fungsi sit to stand test

BAB 13_Aktivitas Fisik Selama Isolasi 179


dalam waktu 30 detik. Dihitung berapa kali pasien mampu melakukan aktivitas
ini. Dalam keadaan normal pasien mampu melakukan aktivitas ini sebanyak 12
kali. Test ini merupakan test yang paling banyak diaplikasikan di ruang isolasi.
Apabila pasien sudah mampu melaksanakan tes ini, dilanjutkan dengan time up
and go test (TUG). Penderita diukur kemampuannya untuk berdiri dari tempat
duduknya dan berjalan sejauh 3 meter dan kembali ke posisi duduknya semula.
Uji fungsi selanjutnya adalah 6 minute walk test. Test ini mengukur kemampuan
jarak yang mampu ditempuh oleh penderita selama berjalan selama 6 menit.
Semua test yang dilakukan kepada penderita dicatat pada hari ke-1, hari ke-5
dan hari ke-10 selama masa isolasi (Fletcher, G., 2001).

13.4.2 Monitoring Latihan Fisik


Selama latihan fisik, tanda-tanda vital penderita harus selalu dimonitor. Monitor

21
yang seringkali dipakai selama latihan adalah Borg Dyspnea Scale. Latihan fisik
ditunda atau dihentikan apabila skala borg dyspnea scale >3 dari 10 skala. Apabila
borg scale kurang dari 3, latihan fisik ditunda atau dihentikan, dan pasien diminta
20
untuk beristirahat. Apabila tidak membaik dengan istirahat, sebaiknya latihan
dihentikan. Selain itu, pasien harus diawasi detak jantungnya. Latihan dihentikan
apabila detak jantung kurang dari 40 kali per menit atau lebih dari 120 kali per
menit, atau terjadi aritmia. Monitoring tanda vital yang lain adalah frekuensi
pernapasan. Selama latihan frekuensi pernapasan harus diperhatikan. Latihan
P

dihentikan apabila frekuensi pernapasan penderita lebih dari 40 kali per menit.
Saturasi oksigen penderita harus selalu dikontrol baik sebelum, selama ataupun
AU

sesudah latihan. Latihan dihentikan apabila saturasi oksigen kurang dari 90%
atau turun 4% dari nilai sebelum latihan. Pengawasan dilakukan pula terhadap
gejala-gejala yang muncul. Apabila pasien timbul gejala-gejala kelelahan yang
sangat, rasa nyeri, atau rasa berat di dada, pusing, nyeri kepala, pandangan mata
kabur, palpitasi, berkeringat berlebihan, serta tidak mampu mempertahankan
keseimbangan, maka latihan dihentikan (Government of Aberta, 2020).

13.4.3 Rekomendasi Aktivitas Fisik pada Pasien Covid-19


Prinsip yang harus selalu diingat pada penderita Covid-19 yang sedang menjalani
isolasi adalah menghindari imobilisasi lama dan menghindari kelelahan. Agar
tetap aktif selama isolasi, penderita sebaiknya menghindari tidur, berbaring
serta duduk terlalu lama, sebisa mungkin bergerak dalam jangka yang pendek,

180 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


berjalan jalan di dalam ruangan, menggunakan kelas exercise online, serta
menggunakan aplikasi di dalam pesawat handphone. Contoh-contoh latihan yang
bisa dilaksanakan di dalam ruangan isolasi, yang tidak memerlukan ruangan
yang besar dan alat-alat yang canggih serta mudah dilaksanakan selama 24 jam,
adalah berjalan, naik turun tangga, mengangkat dan membawa barang-barang,
squatting- chair squat, push up, sit up, jumping, yoga, pilates, tai chi. Prinsip
kedua yang harus diingat, penderita harus melakukan aktivitas fisik namun
harus menghindari aktivitas fisik yang menyebabkan kelelahan. Latihan ataupun
aktivitas fisik sehari hari yang dilakukan di ruang isolasi tidak boleh membuat
penderita kelelahan. Penderita harus menjadi alarm bagi dirinya sendiri agar
aktivitas fisik dan latihan yang dilakukan di ruang isolasi, tidak sampai membuat
penderita kelelahan (Hammami, et al., 2020).
Untuk mendapatkan kebugaran fisik yang baik, WHO merekomendasikan
latihan dengan intensitas sedang selama 150 menit selama satu minggu atau latihan

21
dengan intensitas berat selama 75 menit selama satu minggu, atau kombinasi dari
keduanya. Strengthening exercise selama dua kali atau lebih seminggu. Sedangkan
pada anak-anak dan remaja WHO merekomendasikan latihan fisik dengan
20
intensitas sedang atau berat selama paling sedikit 60 menit sehari. (Hammami,
et al., 2020; United Nation, 2020).
Selama isolasi mandiri, pasien Covid-19 yang tidak menunjukkan gejala,
direkomendasikan untuk tetap melakukan aktivitas fisik dan latihan dengan
intensitas rendah sampai sedang dan menghentikan latihan apabila muncul tanda
P

dan gejala, dan kembali melakukan aktivitas dan latihan fisik apabila sudah
recovery (Hammami, et al., 2020).
AU

Program latihan fisik bagi penderita Covid-19 sebaiknya dimulai dari


intensitas yang rendah dengan waktu yang singkat, dan meningkat secara
bertahap ke tingkat intensitas yang sedang serta waktu yang lebih lama. Oleh
karena aktivias fisik dan latihan dilaksanakan di dalam ruangan isolasi, maka
aktivitas fisik dan latihan yang diberikan harus bisa dilaksanakan di dalam
ruangan yang tidak luas dan tidak memerlukan alat-alat yang besar. Penderita
yang mempunyai gejala nyeri otot, kelelahan, panas, nyeri perut, batuk yang
frekuen, direkomendasikan untuk istirahat. Setelah gejala-gejala tersebut reda,
pasien boleh memulai kembali aktivitas fisik dan latihan, dengan intensitas dan
durasi latihan yang lebih rendah selama beberapa hari atau beberapa minggu.
Pemulihan latihan tergantung kepada tingkat keparahan dan lama menderita
Covid-19. Mencoba untuk melakukan aktivitas fisik dan latihan pada saat belum
recovery sempurna, dengan intensitas dan durasi yang sama seperti sebelum sakit,

BAB 13_Aktivitas Fisik Selama Isolasi 181


akan meningkatkan risiko yang serius terhadap infeksi penyakit ini (Hammami,
et al., 2020; Stearns, R.L. et al., 2020).
Telah dibuktikan bahwa aktivitas fisik dengan intensitas sedang selama
20–30 menit selama 3–4 kali seminggu dapat meningkatkan sistem imun dan
mengurangi risiko terinfeksi Covid-19. Penelitian lain menunjukkan bahwa pada
penderita Covid-19 yang terbiasa melakukan latihan dengan intensitas sedang
sebelum terinfeksi Covid-19, menunjukkan gejala yang lebih ringan pada saat
terinfeksi virus Covid-19. Penelitian efek latihan dengan intensitas sedang (40
menit pada 70% heart rate reserve setiap harinya, selama 10 hari) yang diberikan
pada infeksi nasal rhinovirus untuk melihat tingkat keparahan dan lama infeksi.
Disimpulkan bahwa aktivitas fisik dan latihan dengan intensitas sedang aman
diberikan pada penderita yang mengalami infeksi rhinovirus, infeksi virus pada
saluran napas atas. Aktivitas berjalan merupakan latihan yang paling natural
dan paling bisa dipraktikkan serta memiliki keuntungan terhadap banyak sistem

21
organ. Bagi penderita yang mempunyai penyakit penyerta, sebelum memulai
latihan harus dilakukan pemeriksaan kesehatannya dan dikonsultasikan dengan
primary care provider. Penderita Covid-19 tidak diperkenankan melakukan
20
aktivitas fisik dan latihan dengan intensitas tinggi. Aktivitas fisik dan latihan
dilaksanakan di dalam ruangan dengan ventilasi yang baik dan menggunakan
peralatannya sendiri. Peralatan yang digunakan tidak diperkenankan dipakai
oleh orang lain (Woods, J.A., et al., 2020; Halabchi, 2020).
Pada pasien Covid-19 yang tidak demam dan hanya menunjukkan gejala
P

infeksi saluran napas atas dengan yang ringan, terbatas sampai di atas leher,
seperti batuk, bersin nyeri telan, maka dilakukan jog test. Hasil dari jog test akan
AU

menentukan apakah pasien boleh atau tidak melakukan aktivitas fisik dengan
intensitas rendah sampai intensitas sedang. Dilakukan jog test selama 10 menit.
Jika kondisi umum dan gejala memburuk, pasien tidak diperkenankan melakukan
aktivitas fisik dan latihan sampai pasien mengalami recovery sempurna. Sebaliknya
apabila tidak ada perubahan gejala, pasien diperkenankan melakukan aktivitas
fisik dengan intensitas rendah sampai dengan sedang (di bawah 80% dari V02
max). Pasien Covid-19 tidak diperkenankan latihan dengan intensitas tinggi
(Halabchi, F., 2020; Wang, T.J., et al., 2020).
Penderita Covid-19 yang mengalami gejala yang berat, tidak diperkenankan
untuk melakukan latihan fisik. Pada percobaan yang dilakukan terhadap binatang
yang diberikan virus influenza dan Herpes Simplex Virus (HSV-1) pada sistem
respirasi, menunjukkan bahwa latihan dengan intensitas sedang yang dilakukan
pada saat terinfeksi virus akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas terhadap

182 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


infeksi. Penelitian lain menunjukkan latihan dengan intensitas berat berdampak
negatif terhadap infeksi virus pada sistem pernapasan. Penelitian epidemiologi yang
lain menunjukkan bahwa latihan yang lama dan intensitas berat pada penderita
infeksi jalan napas, akan meningkatkan infeksi jalan napas. Latihan dengan
intensitas berat akan menurunkan sekresi Immunoglobulin A. Immunoglobulin
A berperan dalam melawan infeksi virus. Latihan aerobic yang berat dan latihan
dengan tahanan dengan intensitas yang tinggi, tidak direkomendasikan karena
akan menyebabkan penurunan dari fungsi system imun. Program latihan yang
diberikan untuk mendapatkan kebugaran kardiorespirasi yang lebih baik dengan
sebelumnya adalah dengan cara peningkatan intensitas dan durasi yang perlahan
lahan, untuk menghindari dampak negatif dari penurunan respons sistem imun.
Aktivitas fisik dan latihan menyebabkan peningkatan kadar leukosit di dalam
darah dan jaringan yang sangat besar (Damiod, 2020; Hammami, et al., 2020;
Halabchi, F., 2020).

21
Tujuan latihan fisik pada penderita Covid-19 yang mengalami gejala ringan
adalah tercapainya kebugaran fisik sama seperti sebelum terjadinya infeksi.
Pada penderita Covid-19 yang berat, untuk kembali melakukan aktivitas fisik
20
dan latihan, memerlukan pemeriksaan fisik lebih lanjut, termasuk imaging dari
jantung sebelum melakukan latihan. Apabila muncul gejala yang berhubungan
dengan latihan, seperti palpitasi, nyeri dada, tidak tahan terhadap latihan, atau
muncul sesak napas selama latihan, perlu dilakukan evaluasi dengan kardiak
imaging. Pada kondisi ini, diperlukan pula stres test untuk menyingkirkan
P

komplikasi kardiak lebih lanjut sebelum memberikan latihan dengan intensitas


yang lebih tinggi (Hammami, et al., 2020).
AU

Rekomendasi latihan pada atlet yang menderita Covid-19 ditunjukkan


di dalam Tabel 13.3. Atlet penderita Covid-19 dengan gejala ringan,
direkomendasikan untuk isolasi mandiri selama 7-14 hari, tidak melakukan
aktivitas fisik yang berhubungan dengan profesinya sebagai atlet sampai dengan
7 hari bebas gejala, dilakukan pemeriksaan klinis di RS termasuk pemeriksaan
laboratorium darah, ECG, Ekokardiogram. Apabila pemeriksaan klinis normal,
setelah 7 hari bebas gejala, dipertimbangkan untuk kembali melakukan latihan
fisik secara bertahap dan perlahan lahan dan dipertimbangkan untuk melakukan
latihan aktivitas fisik kembali ke normal apabila setelah 7 hari kondisi umum
membaik dan tidak ada gejala (Metzl, J.D., et al., 2020; Stearns, 2020).
Pada atlet penderita Covid-19 yang tanpa gejala, direkomendasikan untuk
menunda latihan fisik yang berhubungan denga profesinya selama 7 hari
dari hasil tes Covid-19. Apabila tetap tidak ada gejala selama masa tersebut,

BAB 13_Aktivitas Fisik Selama Isolasi 183


Tabel 13.1 Rekomendasi Latihan pada Atlet Penderita Covid-19 (Stearns, 2020).

COVID-19 COVID-19
Recommendations
symptoms test result
Positive Positive • Self-isolate for 7–14 days.
• Refrain from exercise until symptom free for seven days.
• Consider clinical assessment in appropriate environment
including blood tests (troponin and CRP).
• If troponin positive, consider 12-lead ECG,
echocardiogram. CMR and ECG monitor. If evidence of
peri/myocarditis treat accordingly.26
• If no evidence of cardiac involvement reassess after
symptom free for seven days and consider graduated
return to training for an additional seven days and
return to normal training and/or play if asymptomatic
and progressing well.
• Repeat COVID-19 testing to ensure conversion to
negative may be considered prior to return to training.
Negative Positive

21 • Refrain from all exercise for seven days from the test
result.
• If still symptom free after this period, consider
graduated return to training and return to normal
training and/or play if asymptomatic and progressing
20
well.
• Repeat COVID-19 testing to ensure conversion to
negative may be considered prior to return to training.
Positive Negative • Manage as coryzal illness according to usual policy.
• If there is a high index of suspicion, consider repeat
COVID-19 testing or adhering to the COVID-19 test
P

positive recommendations.
Negative Negative • Maintain high standards of hand hygiene and social
AU

distancing.
CMR: cardiovascular magnetic resonance; CRP: C-reactive protein; ECG: electrocardiogram

dipertimbangkan secara bertahap untuk memulai latihan aktivitas fisik. Latihan


fisik kembali ke normal apabila tidak ada gejala dan perkembangannya baik.
Diperlukan pemeriksaan klinis, laboratorium, rekam jantung, ekokardiografi,
exercise tolerance test, tes kapasitas fungsional pada atlet penderita Covid-19
sebelum memulai latihan aktivitas fisik.

184 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


Tabel 13.2 Evaluasi Klinis Atlet Penderita Covid-19 Sebelum Kembali ke Latihan Fisik (Stearns,
2020).

21
20
13.4.4 Program Rehabilitasi Pasien Covid-19 di Ruang Isolasi
Peresepan aktivitas fisik kepada penderita Covid-19 yang menjalani isolasi penting
untuk dilakukan oleh dokter dan tenaga kesehatan yang lain. Aktivitas fisik yang
diberikan kepada pasien tergantung kepada kondisi dan kapasitas fungsional
P

penderita. Apabila sebelum terinfeksi Covid-19, pasien merupakan individu dengan


aktivitas fisik yang kurang aktif dan tidak mempunyai program latihan, sebaiknya
AU

mendapatkan program latihan dengan intensitas yang rendah dan meningkat secara
perlahan-lahan. Bila sebelum terkena Covid-19 pasien merupakan pasien yang aktif
dan sebelum sakit sudah menjalankan program latihan secara rutin, bisa diberikan
latihan dengan intensitas ringan sampai sedang seperti berjalan atau aktivitas lain
di ruang isolasi yang disesuaikan. Program latihan bisa diberikan dalam bentuk
leaflet, video. Konsultasi dengan dokter bisa dilakukan secara telemedicine. Untuk
mengatasi inaktivitas selama isolasi, pasien dianjurkan untuk berjalan selama 2
menit setiap kali duduk selama 30 menit (Pinto, et al., 2020).
a. Posisi tidur tengkurap (prone position)
Penderita disarankan untuk melakukan posisi tidur prone position, yakni
posisi tidur tengkurap dengan mengganjal pelvis dengan bantal. Posisi tidur
tengkurap (prone position) akan merangsang kerja otot-otot pernapasan lebih
efisien karena pada posisi ini posterior lung lebih lebar dibandingkan dengan
anterior lung. Prone position akan membuat pasien lebih efisien dalam bernapas,

BAB 13_Aktivitas Fisik Selama Isolasi 185


meningkatkan oksigenasi, mengurangi sesak napas, mengurangi energy
expenditure, rasio ventilasi perfusi menjadi optimal, dan latihan diafragma
menjadi optimal. Prone position direkomendasikan untuk dilakukan paling
sedikit 12–16 jam sehari. Prone position dalam waktu yang lama membutuhkan
adaptasi dan pembiasaan pada pasien. Turning position mulai dari tidur
tengkurap, tidur miring ke kanan, duduk, tidur miring ke kiri, dan kembali
lagi tidur tengkurap (Lazzeri, et al., 2020).
b. Posisi untuk meredakan sesak napas
Ada beberapa posisi yang dianjurkan dilakukan oleh penderita apabila merasakan
sesak napas. Posisi untuk meredakan sesak napas ini sebaiknya diberikan
kepada pasien dalam bentuk gambar, leaflet ataupun video, agar apabila pasien
mengalami sesak napas, bisa segera mengambil posisi ini. Beberapa posisi untuk
meredakan sesak napas yang bisa dilakukan di ruang isolasi mandiri, yang
pertama high side lying. Pasien berbaring miring dengan ditopang oleh bantal,

21
kepala dan leher disokong/disangga bantal, lutut sedikit ditekuk.
Posisi kedua forward lean sitting penderita duduk di meja, mencondongkan
tubuh ke depan dari pinggang dengan kepala dan leher bertumpu pada bantal,
20
lengan bertumpu di atas meja. Bisa pula dilakukan tanpa bantal.
P
AU

Gambar 13.3 High Side Lying (Sumber: WHO, 2020)

Gambar 13.4 Forward Lean Sitting (Sumber: WHO, 2020)

186 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


Gambar 13.5 Forward Lean Gambar 13.6 Forward lean Gambar 13.7 Standing with
Sitting no Table in Front standing (Sumber: WHO, back support (Sumber: WHO,
(Sumber: WHO, 2020) 2020) 2020)

Posisi ketiga forward lean sitting no table in front. Penderita duduk di kursi
mencondongkan tubuh ke depan dengan mengistirahatkan lengan di pangkuan

21
atau sandaran lengan kursi, apabila kursi terdapat sandaran lengan.
Posisi keempat forward lean standing. Sambil berdiri, penderita bersandar ke
depan ke sandaran kursi, ambang jendela, atau permukaan stabil lainnya yang
20
ada di dekat penderita.
Posisi kelima standing with back support. Penderita bersandar dengan punggung
menghadap dinding dan tangan di samping badan. Kedua kaki ditempatkan
di sekitar satu kaki dari dinding dan sedikit terbuka.
c. Latihan Pernapasan
P

Sesak napas merupakan keluhan yang seringkali dijumpai pada pasien


AU

Covid-19. Latihan pernapasan yang diberikan kepada penderita Covid-19


terdiri atas positioning, yaitu memberikan latihan posisi tertentu yang dapat
mengurangi sesak napas, latihan mengatur napas (breathing control exercise)
untuk membantu pasien mampu mengatur pernapasannya, teknik relaksasi,
chest mobility, segmental lung expansion, effective cough training. (Wang, et. al.,
2020)
Latihan otot napas
Latihan ini hanya dapat dilakukan oleh pasien yang kompos mentis dan
kooperatif. Latihan ini bisa dilakukan mandiri oleh penderita Covid-19 setelah
latihan dengan supervisi. Latihan otot napas dapat dilakukan menggunakan
inspiratory muscle trainer. Pada pasien dengan kelemahan otot napas, dapat
dilakukan latihan batuk dengan manual cough assist menggunakan ambu bag
atau dengan mekanikal cough assist bila tidak ada kontraindikasi.

BAB 13_Aktivitas Fisik Selama Isolasi 187


Latihan relaksasi
Pasien dalam posisi duduk, diminta untuk menarik napas dalam melalui
hidung dan mengeluarkan napas melalui mulut.
Mobilisasi dinding dada
Pasien dalam posisi duduk atau berdiri, diminta untuk menarik napas melalui
hidung sambil mengangkat kedua tangan ke atas, selanjutnya mengeluarkan
napas melalui mulut sambil mengembalikan posisi kedua tangan yang
diangkat ke posisi semula. Gerakan selanjutnya, pasien masih dalam posisi
yang sama, diminta untuk menarik napas melalui hidung sambil membuka
kedua tangan ke arah samping, dan mengeluarkan napas melalui mulut sambil
mengembalikan posisi kedua tangan ke posisi semula. Untuk pengembangan
dada bagian samping, dilakukan latihan pengembangan dada ke arah samping.
Pasien tetap dalam posisi semula, diminta untuk menarik napas melalui

21
hidung sambil mengangkat tangan kanan ke atas di samping kanan tubuh
dan menggerakkan tubuh ke sisi kiri, selanjutnya pasien diminta untuk
mengeluarkan napas melalui mulut sambil mengembalikan posisi tangan ke
posisi sebelum latihan.
20
Latihan batuk efektif
Pasien aktif, kooperatif diberikan latihan batuk efektif mandiri. Active cycle
breathing technique atau self-air stack (bisa dilakukan tanpa ambu bag, diakhiri
dengan cough atau huff ). Pasien dalam posisi duduk, diminta untuk menarik
P

napas dalam. Sekali lagi, pasien menarik napas melalui hidung, tahan beberapa
detik dan membuka rongga mulut sambil membatukkan.
AU

Latihan pernapasan dalam posisi prone position/posisi tengkurap.


Pasien tidur tengkurap dengan bantal diletakkan di atas pinggul, kedua tangan
pasien berada di bawah kepala pasien. Tangan penderita diletakkan di perut
penderita, kemudian penderita diminta untuk bernapas melalui hidung dan
mengeluarkan napas melalui mulut. Penderita diminta untuk merasakan, pada
saat menarik napas, perut penderita akan mengembang sedangkan pada saat
mengeluarkan napas, perut penderita akan mengempis.
Breathing control
Teknik ini membantu penderita menjadi rileks dan mampu mengontrol
pernapasannya. Penderita duduk dalam posisi yang nyaman dan tersokong/
disangga. Letakkan satu tangan di dada dan tangan lainnya di perut. Tutup
mata (bila hal ini membantu penderita untuk lebih rileks), jika tidak biarkan
mata tetap terbuka dan penderita diminta focus kepada pernapasannya.

188 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


Penderita diminta menarik napas perlahan melalui hidung (atau mulut jika
penderita tidak dapat melakukannya), dan kemudian keluarkan melalui mulut.
Pada saat penderita bernapas, penderita diminta untuk merasakan tangan yang
ada di perut akan lebih naik dibandingkan dengan tangan di dada penderita.
Penderita diminta membuat napas penderita pelan, rileks, dan lancar.
d. Latihan aerobik
Sebelum melakukan latihan aerobik penderita sebaiknya melakukan latihan
pemanasan selama 5–10 menit untuk menghindari cidera. Contoh gerakan
pemanasan yang bisa dilakukan oleh penderita Covid-19 yang sedang
menjalani isolasi:
• Shoulder shrugs, dengan cara mengangkat bahu perlahan lahan ke arah
telinga, lalu turunkan lagi. Ulangi lagi gerakan tersebut.
• Shoulder circles, dengan cara menjaga agar lengan tetap rileks di sisi badan
atau bertumpu pada pangkuan, perlahan-lahan gerakan bahu berputar ke

21
depan, lalu ke belakang.
• Side bends, dimulai dengan tubuh tegak lurus, dan lengan di sisi tubuh.
Selanjutnya geser satu lengan, lalu tangan lainnya, sedikit ke arah lantai,
20
tekuk ke samping, bergantian kiri dan kanan.
• Knee lifts, dengan cara mengangkat lutut anda ke atas dan ke bawah secara
perlahan, tidak lebih tinggi dari pinggul, satu per satu bergantian.
• Ankle taps, dengan menggunakan satu kaki, ketuk jari - jari kaki dan
kemudian tumit di tanah/lantai di depan anda, ulangi dengan kaki
P

lainnya.
• Ankle circles, dengan menggunakan satu kaki, gambar lingkaran dengan
AU

jari-jari kaki anda, ulangi dengan kaki lainnya.

Gambar 13.8 Latihan Pemanasan (Sumber: WHO, 2020)

Peningkatan kapasitas aerobik direkomendasikan pada pasien Covid-19


karena bisa meningkatkan imun dan fungsi respirasi. Juga menurunkan angka

BAB 13_Aktivitas Fisik Selama Isolasi 189


morbiditas dan mortalitas Covid-19. Peningkatan kapasitas aerobik pada
pasien yang menjalani isolasi sangat direkomendasikan, untuk menurunkan
faktor risiko Covid-19 dan meningkatkan fungsi imun, serta sistem respirasi.
Latihan aerobik ringan sampai sedang yang dilaksanakan secara rutin selama
10 sampai dengan 30 menit harus diberikan pada pasien Covid-19 yang
menjalani isolasi dengan gejala ringan pada paru-paru.
Tujuan latihan ini adalah untuk menjaga dan meningkatkan kebugaran
kardiorespirasi dan kebugaran otot. Pada prinsipnya, latihan ini ditekankan
pada otot-otot besar seperti otot lengan dan tungkai dengan melakukan
gerakan yang berulang. Latihan aerobik dapat dilakukan oleh pasien Covid-
19 yang tanpa gejala atau dengan gejala ringan. Pasien tidak demam dan
tidak sesak. Uji latih yang mampu laksana adalah uji sit to stand test. Apabila
selama latihan terjadi desaturasi, segera diberikan oksigen pada pasien.
Latihan dihentikan apabila saturasi oksigen tidak terkoreksi (kurang dari

21
93%). Latihan diberikan dengan intensitas rendah sampai sedang dan bisa
dinaikkan perlahan lahan secara bertahap. Frekuensi latihan bisa diberikan
satu atau dua kali sehari baik aktif maupun pasif tergantung dari toleransi
20
penderita. Waktu latihan maksimal 30 menit pada penderita dengan gejala
yang berat (Christina, et al., 2016; Zeng, et al., 2020).
Contoh latihan aerobik yang bisa dilakukan oleh penderita Covid-19 yang
sedang melakukan isolasi :
• Marching on the spot
P

Latihan ini bisa dilakukan apabila penderita


tidak bisa keluar untuk berjalan, atau jika
AU

penderita tidak bisa berjalan terlalu jauh


Angkat lutut anda satu per satu, tingkatkan
ketinggian saat anda mengangkat kaki, dengan
tujuan mencapai ketinggian pinggul (jika
memungkinkan). Jika perlu, pegang kursi atau
permukaan yang stabil sebagai penyangga, dan
letakkan kursi di dekatnya untuk beristirahat.
• Step ups
Latihan ini dilaksanakan apabila penderita
tidak bisa keluar rumah, dan jika penderita Gambar 13.9 Marching on
the Spot (Sumber: WHO,
tidak bisa berjalan terlalu jauh sebelum perlu 2020)
duduk. Gunakan anak tangga paling bawah
dari tangga yang ada, atau gunakan balok. Jika

190 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


perlu, pegang pegangan untuk mendapat
dukungan dan sediakan kursi di dekat
anda untuk beristirahat. Naik turun,
ubah kaki yang ada mulai dengan setiap
10 langkah. Melanjutkan latihan ini,
tingkatkan ketinggian anak tangga, atau
kecepatan naik dan turun tangga. Jika
keseimbangan anda cukup baik untuk
melakukan latihan ini tanpa beban, maka
anda dapat membawa beban sambil naik
turun tangga.
• Berjalan
Latihan ini dilakukan di dalam ruangan
isolasi. Jika perlu, gunakan alat bantu Gambar 13.10 Step ups

21
jalan, kruk, atau tongkat.
e. Latihan penguatan otot
(Sumber: WHO, 2020)

Latihan ini direkomendasikan sebagai salah satu modalitas terapi untuk


20
mencegah kehilangan massa otot pada penderita tua dengan mengeluarkan
hormon anabolik yang meningkatkan sintesis protein dan meningkatkan
kekuatan serta fungsi otot (Abdelbasset, 2020:45).
Latihan ini berguna untuk menjaga dan meningkatkan kekuatan otot yang
dinilai dengan kemampuan menahan beban maksimal oleh penderita. Prinsip
P

latihan ini dengan cara kontraksi otot berulang pada saat menahan beban pada
otot yang dilatih.
AU

Latihan penguatan otot dapat dilakukan sendiri oleh pasien Covid-19


yang sedang menjalani isolasi setelah dilakukan edukasi pada sesi pertama.
Intensitas latihan dimulai dengan intensitas rendah sampai sedang, dengan
tujuan untuk memelihara massa, tonus dan trofi otot serta mencegah atrofi
otot. Latihan bisa dimulai dari 30% sampai 40% dari one repetition maximum
(1 RM). Latihan bisa diberikan dengan menggunakan beban, dengan berat
beban yang diberikan disesuaikan dengan toleransi penderita.
Latihan penguatan otot berikut ini bisa dilakukan pada pasien Covid-19
di ruang isolasi
• Biceps curl
Penderita bisa melakukan latihan ini sambil duduk atau berdiri. Latihan ini
dilakukan dengan beban di tangan. Dengan lengan di samping, penderita
diminta memegang beban di masing-masing tangan dengan telapak tangan

BAB 13_Aktivitas Fisik Selama Isolasi 191


menghadap ke depan. Penderita diminta agar lengan atas tetap diam,
dan diminta mengangkat perlahan lahan bagian bawah kedua lengan
(menekuk siku), angkat beban. Penderita bisa melanjutkan latihan ini
dengan meningkatkan beban yang digunakan pada latihan ini.
• Wall push off
Letakkan tangan anda rata di dinding setinggi bahu, dengan jari
menghadap ke atas, dan kaki anda sekitar satu kaki dari dinding. Jaga
tubuh tetap lurus setiap saat, turunkan tubuh secara perlahan kea rah
dinding dengan menekuk siku, lalu dorong kembali perlahan dari dinding,
hingga lengan lurus. Melanjutkan latihan ini dengan berdiri lebih jauh dari
dinding.
• Arm raises to the side
Penderita bisa melakukan latihan ini dalam posisi duduk atau berdiri.
Memegang beban di masing-masing tangan, dengan lengan di samping,

21
tangan menghadap ke dalam. Penderita diminta mengangkat kedua lengan
ke samping, setinggi bahu, dan menurunkan secara perlahan-lahan.
20
P
AU

Gambar 13.11 Latihan Penguatan Biceps Curl, Wall Push Off, Arm Raises to the side. (Sumber:
WHO, 2020)

• Sit to stand exercise


Penderita diminta duduk dengan kaki terbuka selebar pinggul. Dengan lengan
di samping atau disilangkan di dada, penderita diminta perlahan berdiri,
tahan posisi ini selama 3 hitungan, dan perlahan duduk kembali ke kursi.
Penderita diminta untuk menjaga agar kaki tetap di lantai. Jika penderita
tidak mampu berdiri dari kursi tanpa menggunakan lengan, penderita diminta

192 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


untuk mencoba dengan kursi yang lebih tinggi. Jika ini masih terlalu berat
bagi penderita, penderita bisa mendorong dengan tangan.
Melanjutkan latihan ini dengan melakukan gerakan selambat mungkin,
melakukan latihan menggunakan kursi bawah, memegang beban di dekat
dada penderita saat penderita melakukan latihan.

Gambar 13.12
21  
Latihan Penguatan Sit to Stand Exercise (Sumber: WHO, 2020)
20
• Knee straightening exercise
Penderita diminta duduk di kursi dengan kaki
rapat, dan diminta meluruskan satu lutut dan
menahan kaki penderita dalam posisi lurus
P

selama beberapa saat, selanjutnya menurunkan


kaki secara perlahan-lahan. Penderita diminta
AU

untuk mengulangi dengan kaki yang lain.


Latihan ini bisa dilanjutkan dengan cara
menambah waktu menahan kaki lurus selama
tiga hitungan, dan melakukan latihan ini Gambar 13.13 Knee
Straightening Exercise
dengan lebih perlahan.
(Sumber: WHO, 2020)
• Squats
Penderita diminta berdiri dengan punggung menghadap dinding atau
permukaan stabil yang lain dan kaki penderita sedikit terbuka. Penderita
diminta untuk menggerakkan kaki sekitar satu kaki (30 cm) dari dinding
atau diminta meletakkan tangan penderita di punggung kursi yang stabil.
Dengan punggung menempel ke dinding, atau berpegangan pada kursi,
perlahan-lahan penderita diminta menekuk lutut untuk jarak yang pendek,

BAB 13_Aktivitas Fisik Selama Isolasi 193


punggung penderita akan meluncur ke bawah
dinding. Penderita diminta untuk menjaga
agar pinggul lebih tinggi dari lutut. Penderita
diminta berhenti sejenak, sebelum kembali
meluruskan lutut secara perlahan. Latihan
ini bisa ditingkatkan dengan cara penderita
meningkatkan jarak menekuk lutut (tetap
diingatkan penderita untuk menjaga pinggul
lebih tinggi dari lutut). Latihan juga bisa
ditingkatkan dengan meningkatkan waktu
jeda hingga hitungan ke-3 sebelum kembali Gambar 13.14 Latihan Squats
meluruskan lutut secara perlahan. (Sumber: WHO, 2020)
• Heel raises
Penderita diminta meletak kan tangan

21
penderita di atas permukaan yang stabil untuk
menopang keseimbangan, namun dilarang
bersandar padanya. Secara perlahan-lahan,
20
penderita diminta untuk naik ke atas jari-jari
kaki penderita dan perlahan menurunkan
kembali ke bawah.
Latihan ini bisa ditingkatkan dengan cara
penderita diminta berdiri di atas jari kaki
P

penderita selama 3 hitungan atau penderita Gambar 13.15 Heel Raises


diminta berdiri dengan satu kaki pada satu (Sumber: WHO, 2020)
AU

waktu.
f. Latihan peregangan
Pasien Covid-19 yang mengalami imobilisasi lama akan memicu terjadinya
stiffness, bahkan kontraktur pada sendi. Untuk mencegah terjadinya stiffness
dan kontraktur sendi serta untuk menjaga range of motion pada pasien Covid-
19, diberikan latihan peregangan. Latihan ini dilaksanakan dengan cara
meregangkan otot. Latihan peregangan anggota gerak atas dan anggota gerak
bawah akan mencegah kekakuan pada sendi. Latihan peregangan aktif dapat
dilakukan mandiri oleh pasien Covid-19 yang tanpa gejala atau dengan gejala
ringan. Pasien harus diberikan petunjuk gerakan aktif pada tungkai dan
lengannya (Christina, et al., 2016; Zeng, et al., 2020; IKFRI). Sedangkan
pada pasien Covid-19 dengan gejala berat, diberikan latihan peregangan pasif.
Frekuensi latihan 1–2 kali sehari.

194 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


Beberapa contoh latihan peregangan yang bisa dilaksanakan oleh pasien
Covid-19 yang sedang menjalani isolasi:
• Side reaching
Penderita diminta meraih lengan kanan ke atas ke langit-langit dan
kemudian condong ke kiri sedikit. Penderita akan merasakan regangan
di sepanjang sisi kanan tubuh penderita. Selanjutnya penderita diminta
kembali ke posisi awal dan mengulangi gerakan yang sama di sisi yang
berlawanan.
• Shoulder stretching
Penderita diminta meletakkan tangan di depan, lengan dijaga tetap
lurus, bawa ke seluruh tubuh penderita setinggi bahu, penderita diminta
menggunakan tangan yang lain untuk menekan lengan ke dada sehingga
penderita merasakan regangan di sekitar bahu. Kembali ke posisi awal,
dan diminta untuk mengulangi di sisi yang berlawanan.
• Hamstring
21
Penderita diminta duduk di tepi kursi dengan punggung tegak dan kaki
rata di lantai. Penderita diminta meletakkan kaki lurus di depan dengan
20
tumit bertumpu di lantai. Tangan diletakkan di paha penderita yang lain
sebagai penopang. Penderita diminta duduk setinggi mungkin, menekuk
sedikit ke depan di pinggul penderita sampai penderita bisa merasakan
regangan di bagian belakang kaki yang terentang. Penderita diminta untuk
kembali ke posisi awal dan mengulangi gerakan yang sama di sisi yang
P

berlawanan.
AU

Gambar 13.16 Side Reaching Gambar 13.17 Peregangan Gambar 13.18 Peregangan
(Sumber: WHO, 2020) Shoulder (Sumber: WHO, Otot Paha Bagian Belakang
2020) (Sumber: WHO, 2020)

BAB 13_Aktivitas Fisik Selama Isolasi 195


• Tungkai bawah
Penderita diminta berdiri dengan kaki terbuka
dan bersandar ke depan ke dinding atau
sesuatu yang kokoh sebagai penyangga. Jaga
tubuh tetap tegak dan langkahkan satu kaki
di belakang penderita. Dengan kedua kaki
menghadap ke depan, penderita diminta untuk
menekuk lutut depan. Jaga agar kaki belakang
tetap lurus dan tumit di lantai. Penderita akan
merasakan regangan di bagian belakang kaki Gambar 13.19 Peregangan
bagian bawah. Kembali ke posisi awal dan Tungkai Bawah (betis)
ulangi di sisi yang berlawanan. (Sumber: WHO, 2020)

• Quadriceps
Penderita diminta berdiri dan memegang

21
sesuatu yang stabil untuk mendapat dukungan.
Selanjutnya diminta untuk menekuk satu kaki
di belakang penderita, dan jika penderita bisa
20
meraihnya, diminta untuk menggunakan
tangan di sisi yang sama untuk menahan
pergelangan kaki atau bagian belakang kaki
penderita. Penderita diminta mengangkat kaki
kea rah bawah sampai merasakan regangan di
P

sepanjang bagian depan paha. Jaga agar kedua


lutut berdekatan dan punggung penderita
AU

Gambar 13.20 Peregangan


lurus. Kembali ke posisi awal dan diulangi otot quadriceps (Sumber:
di sisi yang berlawanan. Penderita juga dapat WHO, 2020)
melakukan peregangan ini dengan duduk di
kursi yang stabil, duduk di dekat bagian depan kursi, miringkan ke satu
sisi sehingga penderita hanya duduk di sekitar setengah dari kursi. Geser
kaki yang paling dekat ke tepi dari kursi dan posisikan sehingga lutut
penderita mengarah ke bawah sejajar dengan pinggul dan berat badan
penderita melewati jari-jari kaki. Penderita akan merasakan regangan di
sepanjang bagian depan paha, ulangi di sisi yang berlawanan.

196 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


13.5 PENGHENTIAN LATIHAN AKTIVITAS FISIK PADA PENDERITA
COVID-19
Latihan fisik pada penderita Covid-19 segera dihentikan apabila dijumpai tanda
dan gejala berikut (Pinchere, et al., 2020).
• Saturasi oksigen darah turun kurang dari atau sama dengan 90% atau turun
4% dari saturasi oksigen pada saat dimulainya latihan.
• Frekuensi pernapasan lebih dari 40 kali per menit, pasien merasa sesak napas
atau napas pendek, pasien merasakan kelelahan yang sangat atau tidak tahan
terhadap kelelahan.
• Adanya gangguan pada sistem kardiovaskuler yang ditandai dengan
i. Tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau lebih dari atau sama
dengan 180 mmHg.
ii. Mean arterial pressure (MAP) kurang dari 65 mmHg atau lebih dari 110

21
mmHg atau ada kenaikan MAP lebih dari 20% dari saat istirahat.

MAP dihitung dengan cara:

tekanan darah + 2×tekanan diastolic


20
MAP =
3

iii. Frekuensi nadi kurang dari 40 kali per menit atau lebih dari 120 kali per
menit
P

iv. Adanya aritmia pada saat latihan dan adanya tanda-tanda iskemia miokard
• Adanya gangguan pada sistem saraf, seperti gangguan kesadaran.
AU

13.6 RINGKASAN
Coronavirus Disease (Covid-19) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan
oleh Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) merupakan
infeksi virus yang fatal yang bisa menyebabkan kematian. Sampai saat ini cara
yang paling efektif dalam memutus rantai penularan penyakit ini adalah dengan
cara isolasi penderita. Isolasi penderita Covid-19 akan membatasi aktivitas fisik
dan latihan. Penurunan aktivitas fisik ini bisa menjadi semacam second wave
efek dari Covid-19 . Imobilisasi yang disebabkan oleh hospitalisasi dan bed
rest serta pembatasan aktivitas fisik karena isolasi menyebabkan penurunan
kemampuan sistem organ untuk melawan infeksi dan meningkatkan risiko

BAB 13_Aktivitas Fisik Selama Isolasi 197


kerusakan sistem imun, respirasi, kardiovaskular, sistem musculoskeletal, dan
susunan saraf pusat.
Tujuan dari program rehabilitasi yang diberikan pada penderita Covid-
19 selama menjalani masa isolasi adalah untuk menurunkan keluhan dan
gejala, menjaga kapasitas fungsional penderita tetap optimum, mencegah atau
mengurangi sindrom dekondisi dan pada penderita yang dirawat di ICU dengan
ventilator, program rehabilitasi medik bertujuan pula untuk mempersiapkan
weaning penderita.
Pasien Covid-19 yang sedang menjalani Isolasi, direkomendasikan untuk
tetap aktif, tetap melakukan aktivitas fisik dan latihan fisik sesuai dengan
kondisi dan kemampuan fungsionalnya. Aktivitas fisik yang dilakukan akan
meningkatkan sistem imun dalam menghadapi penyakit ini. Aktivitas fisik pada
pasien Covid-19 selama masa isolasi mandiri harus dilakukan dengan cara-cara
yang aman sesuai dengan kondisi penderita dan kapasitas fungsional penderita.

secara bertahap.
21
Aktivitas fisik diberikan dengan intensitas ringan sampai sedang dan meningkat

Latihan yang diberikan kepada penderita Covid-19 selama masa isolasi


20
harus terukur dan terstruktur, meliputi prone position, posisi pada saat sesak
napas, latihan pernapasan, latihan penguatan, latihan peregangan, dan latihan
aerobik.
P

DAFTAR PUSTAKA
Abdelbasset, W. K. 2020. Stay home:Role of physical exercise training in elderly
AU

individuals’ ability to face the Covid-19 infection. Journal of Immunology Research,


2020:1-5. doi: 10.1155/2020/8375096.
Abdullahi, A. 2020. Safety and Efficacy of Chest Physiotherapy in Patients With
Covid-19: A Critical Review. Frontiers in Medicine, 7(454):1–6. doi: 10.3389/
fmed.2020.00454.
Ahmed, I. 2020. Covid-19 – does exercise prescription and maximal oxygen uptake (VO2
max) have a role in risk-stratifying patients?. Clinical Medicine, Journal of the Royal
College of Physicians of London, 20(3):282–284. doi: 10.7861/clinmed.2020-0111.
Aubertin-Leheudre, M. and Rolland, Y. 2020. The Importance of Physical Activity
to Care for Frail Older Adults During the Covid-19 Pandemic. Journal of the
American Medical Directors Association. AMDA – The Society for Post-Acute and
Long-Term Care Medicine, 21(7):973–976. doi: 10.1016/j.jamda.2020.04.022.
Bhatia, R. T. et al. 2020. Exercise in the Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus-2
(SARS-CoV-2) era: A Question and Answer session with the experts Endorsed
by the section of Sports Cardiology & Exercise of the European Association

198 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


of Preventive Cardiology (EAPC). European Journal of Preventive Cardiology,
27(12):1242–1251. doi: 10.1177/2047487320930596.
Damiot, A. et al. 2020. Immunological Implications of Physical Inactivity among
Older Adults during the Covid-19 Pandemic. Gerontology, 66(5):431–438. doi:
10.1159/000509216.
Fernández-Lázaro, D. et al. 2020. Physical exercise as a multimodal tool for Covid-19:
Could it be used as a preventive strategy?. International Journal of Environmental
Research and Public Health, 17(22):1–13. doi: 10.3390/ijerph17228496.
Füzéki, E., Groneberg, D. A. and Banzer, W. 2020. Physical activity during Covid-
19 induced lockdown: Recommendations. Journal of Occupational Medicine and
Toxicology, 15(1): 1–5. doi: 10.1186/s12995-020-00278-9.
Government of Alberta. 2020. Guidance for Sport, Physical Activity and Recreation.
Halabchi, F., Ahmadinejad, Z. and Selk-Ghaffari, M. 2020 ‘Covid-19 epidemic: Exercise
or not to exercise; that is the question!’, Asian Journal of Sports Medicine, 11(1):17–
19. doi: 10.5812/asjsm.102630.

21
Hammami, A. et al. 2020. Physical activity and coronavirus disease 2019 (Covid-19):
specific recommendations for home-based physical training. Managing Sport and
Leisure, 0(0):1–6. doi: 10.1080/23750472.2020.1757494.
Koch, S, Litt, J., Daher, C. & Nieuwenhujisen, M. 2020. Should We The Coronavirus
20
Activity During Allow Physical Disease Pandemic?. IS Global, pp. 1–5.
Metzl, J. D. et al. 2020. Considerations for Return to Exercise Following Mild-to-
Moderate Covid-19 in the Recreational Athlete. HSS Journal. 16(Suppl1):102–107.
doi: 10.1007/s11420-020-09777-1.
Mohamed, A. A. and Alawna, M. 2020. Role of Increasing the Aerobic Activity on
P

Improving the Function of Immune and Respiratory Systems in Patients with


Coronavirus (Covid-19). Diabetes & Metabolic Syndrome: Clinical Research and
AU

Reviews,14 (4): 489–496.


Pinto, A. J. et al. 2020. Combating physical inactivity during the Covid-19 pandemic’,
Nature Reviews Rheumatology, 16(7):347–348. doi: 10.1038/s41584-020-
0427-z.
Ribeiro de Souza, F. et al. 2020. Physical Activity Decreases the Prevalence of
Covid-19-associated Hospitalization: Brazil EXTRA Study. Medxriv. doi:
10.1101/2020.10.14.20212704.
Santos-Silva, P. R., Greve, J. M. D. and Pedrinelli, A. 2020. During the coronavirus
(Covid-19) pandemic, does wearing a mask improve or worsen physical
performance?. Revista Brasileira de Medicina do Esporte, 26(4):281–284. doi:
10.1590/1517-869220202604esp001.
Stearns, R. L. et al. 2020. Return to Sports and Exercise during the COVID- 19
Pandemic: Guidance for High School and Collegiate Athletic Programs’, pp.
1–13.

BAB 13_Aktivitas Fisik Selama Isolasi 199


Tansey, C.M., Louie, M., Loeb, M. et al. 2007. One-year outcomes and health care
utilization in survivors of severe acute respiratory syndrome. Arch. Intern. Med.
167:1312–1320.
United Nations.2020. The Impact of Covid-19 on Sport, physical Activity and Well-
Being and Its Effects on Social Development. Policy Brief No 73, 1(73):1.
Wackerhage, H. et al. 2020. Sport, exercise and Covid-19, the disease caused by the
SARS-CoV-2 coronavirus. Deutsche Zeitschrift fur Sportmedizin, 71(5):E1–E11.
doi: 10.5960/DZSM.2020.441.
Wang, T. J. et al. 2020. Physical medicine and rehabilitation and pulmonary rehabilitation
for Covid-19. American Journal of Physical Medicine and Rehabilitation, 99(9):769–
774. doi: 10.1097/PHM.0000000000001505.
WHO. 2020. Support for Rehabilitation Self-Management after COVID-19 Related
Ilness. World Health organization Regional Office for Europe
Woods, J. A. et al. 2020. The Covid-19 pandemic and physical activity. Sports Medicine
and Health Science, 2(2):55–64. doi: 10.1016/j.smhs.2020.05.006.

21
20
P
AU

200 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


BAB 14

Rehabilitasi Kesehatan Mental


Pasca Serangan Covid-19
Royke Tony Kalalo

21
20
14.1 PENGANTAR
Wabah yang disebabkan oleh infeksi virus, termasuk Pandemi Covid-19 memiliki
dampak menimbulkan risiko gangguan jiwa secara langsung maupun tidak
P

langsung (Yamamoto, et al., 2020). Setelah pasca infeksi pun, dapat terjadi
masalah medik dan masalah psikiatrik yang berlangsung berbulan-bulan
AU

kemudian hingga tahunan. Kerusakan organ yang terjadi akibat Covid-19,


seperti komplikasi tromboemboli, emboli paru, apoplexy/kondisi perdarahan, dan
mikro-infark lainnya, dapat menjadi salah satu faktor risiko terjadinya kondisi
masalah hingga gangguan neuropsikiatri. Beberapa studi menunjukkan bukti
indikasi yang cukup untuk kemungkinan adanya suatu “sindrom pasca-Covid-19”,
meskipun mungkin hal ini masih terlalu dini disimpulkan, untuk menunjukkan
gejala sisa atau gejala yang tetap ada pasca infeksi (Lamprecht, 2020). Studi pada
wabah penyakit Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) mendapatkan bahwa
lebih dari sepertiga pasien yang terkena infeksi menunjukkan gejala depresi dan
kecemasan tingkat sedang hingga berat dalam periode 1 tahun setelah pemulihan
fisik (Lee, et al., 2007).

201
14.2 MASALAH KESEHATAN MENTAL DI MASA PANDEMI COVID-19
Berbagai studi menemukan banyak manifestasi psikologik hingga gangguan jiwa
yang terjadi, baik secara langsung akibat infeksi Covid-19 maupun akibat kondisi
psiko-sosial pandemi yang terjadi. Manifestasi psikologik dan berbagai gangguan
jiwa tersebut adalah: munculnya mekanisme koping maladaptif dalam proses kerja
sama terapeutik (perilaku menghindar, pasien menyangkal mengalami hal-hal
yang tidak nyaman), ketakutan, rasa bersalah, perasaan tidak berdaya, iritabilitas,
menarik diri dari semua lingkungan pergaulan, kondisi stigma, ketidakpastian
mengenai perkembangan penyakit dan kesembuhannya, perasaan stres selama
dalam perawatan ruang khusus infeksi/isolasi, delirium yang sering terjadi pada
fase akut infeksi Covid-19, munculnya gangguan kognitif (gangguan fungsi
eksekutif, kehilangan daya ingat jangka pendek), psikotik akut, gaduh gelisah,
impulsivitas, agresivitas, dan penggunaan zat psikoaktif secara berlebihan,

21
gangguan mood (khususnya depresi), fatigue/rasa lelah berlebihan, ide bunuh
diri hingga percobaan bunuh diri, gangguan cemas, fobia, panik, gangguan
obsesif kompulsif, reaksi stres akut, gangguan penyesuaian, gangguan stres
pascatrauma, gangguan tidur yang memunculkan istilah ‘coronasomnia’, perubahan
20
pola makan, gangguan kebiasaan dan impuls, dan kemungkinan kondisi masalah
atau gangguan jiwa lainnya yang masih membutuhkan penelitian-penelitian
lanjutan.
Pasienasien yang telah melewati kondisi terinfeksi virus pun ternyata memiliki
P

kerentanan mengalami berbagai gejala gangguan jiwa. Proses keradangan sistemik


dan/atau proses keradangan pada otak dapat memicu mekanisme jangka panjang
AU

yang secara umum mengarahkan pada gejala sisa Covid-19 yang memanjang atau
gejala jangka panjang dari Covid-19 (long Covid) dan terjadinya peningkatan
gangguan neurologik serta neurodegeneratif (Sinanovi, Mufti and Sinanovi,
2020; Yelin, et al., 2020).
Penyakit infeksi virus pada wabah sebelumnya, seperti Severe Acute Respiratory
Syndrome (SARS) yang pernah terjadi di awal tahun 2000-an menimbulkan
kondisi gangguan jiwa kecemasan dengan prevalensi 7–12% pada pasien yang
dapat bertahan dari kondisi infeksi tersebut (Cheng, et al., 2004), kekhawatiran
akan munculnya rekurensi/kekambuhan dari penyakit virus, juga kondisi lainnya
seperti gejala gangguan somatik fungsional yang lebih tinggi dari populasi normal
(Cheng, et al., 2004; Peng, et al, 2010), gangguan tidur hingga mencapai 30-
an%, gangguan psikosomatik (Lee, et al., 2005), kelelahan yang terus menerus
(Lamprecht, 2020), dan gangguan stres pasca trauma (Sim, et al., 2010).

202 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


Beberapa studi menunjukkan adanya gejala kesadaran berubah, depresi,
kecemasan, kelelahan berlebihan / fatigue, gangguan stres pasca trauma, dan
sindrom gangguan neuropsikiatri yang terjadi saat pasien telah keluar rumah
sakit atau telah menjalani perawatan fase akut Covid-19. Hal ini mengingatkan
para dokter untuk memberikan perhatian dan kewaspadaan akan gejala-gejala
pasca serangan Covid-19 yang dapat terjadi dalam pengamatan jangka panjang
(Rogers, et al., 2020).
Tabel 14.1 menunjukkan beragam gejala dan gangguan yang dilaporkan
pasca perawatan rumah sakit ataupun pasca infeksi Covid-19.
Namun disamping munculnya masalah hingga gangguan psikiatrik
bermakna setelah proses perbaikan atau kesembuhan dari wabah penyakit infeksi
virus, didapatkan pula beberapa kondisi perbaikan terkait aspek psiko-sosial
seperti perubahan pola pikir yang positif dan restrukturisasi kognitif (Chew,
et al., 2020).

21
Tabel 14.1 Berbagai Gejala dan Gangguan Pasca Serangan Covid-19

Gangguan Kognitif
20
- Termasuk sindroma gangguan fungsi eksekutif
- Kesulitan untuk fokus dan konsentrasi.
- Sindroma neuropsikiatrik yang dapat terjadi membutuhkan observasi jangka panjang
Terjadinya risiko peningkatan penggunaan napza (narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat
adiktif lain) hingga gangguan mental dan perilaku akibat napza
P

Gangguan Psikotik (dapat terjadi dalam jangka waktu panjang pasca infeksi)
Depresi (dapat terjadi dalam observasi jangka panjang)
Labilitas kondisi mood (mood swing)
AU

Ansietas (dapat terjadi dalam observasi jangka panjang)


Kondisi stres akut
Gangguan penyesuaian
Gangguan stres pasca trauma (dapat terjadi dalam observasi jangka panjang)
Fatigue (dapat terjadi dalam observasi jangka panjang)
Gangguan tidur: Insomnia
Gangguan Psikosomatik
Isolasi sosial
Perasaan stigmatisasi
(pandangan negatif pada suatu kondisi, dalam hal ini terkait dengan Covid-19)
Kemarahan
Perasaan kehilangan
Perasaan kosong , kebencian, menyalahkan orang lain atau sistem masyarakat, merasa
didiskriminasi, perasaan telah terjadi pengelompokkan di masyarakat (serupa perasaan
stigmatisasi)
Dikutip dari berbagai sumber.

BAB 14_Rehabilitasi Kesehatan Mental Pasca Serangan Covid-19 203


14.3 REHABILITASI KESEHATAN MENTAL PASCA SERANGAN COVID-19
14.3.1 Monitoring Pasca Infeksi Covid-19
Perlu dipertimbangkan adanya proses monitoring pasca infeksi Covid-19 yang
meliputi pemeriksaan seksama evaluasi neuropsikiatrik, pemeriksaan laboratorium,
dan pencitraan otak. Hal ini dimaksudkan untuk menganalisis hubungan infeksi
sistemik dan infeksi sistem saraf pusat yang dapat mengarah pada kerusakan otak
dan gangguan neuropsikiatrik (Sinanovi, Mufti, and Sinanovi, 2020).

14.3.2 Dukungan Kesehatan Jiwa dan Psikososial (DKJPS)


Dukungan Kesehatan Jiwa dan Psikososial (DKJPS) atau Mental Health and
Psychososcial Support (MHPSS) dapat menjadi salah satu pilihan dalam proses
rehabilitasi kesehatan mental pasca serangan Covid-19. Dukungan Kesehatan

21
Jiwa dan Psikososial (DKJPS) didefinisikan sebagai dukungan jenis apa pun
dari luar atau lokal yang bertujuan melindungi atau meningkatkan kesejahteraan
psikologis dan / atau mencegah serta menangani kondisi kesehatan jiwa dan
psiko-sosial. Dukungan Kesehatan Jiwa dan Psikososial (DKJPS) yang digunakan
20
dalam Panduan Inter Agency Standing Committee (IASC) ditujukan untuk situasi
kedaruratan maupun bencana, termasuk kondisi pandemi Covid-19. DKJPS
akan menggabungkan semua pendekatan baik secara biologis, psikologis, dan
sosiokultural di bidang kesehatan, sosial, pendidikan, dan komunitas, dengan
P

melibatkan pendekatan-pendekatan yang beragam dan saling melengkapi dari


berbagai profesi dalam memberikan dukungan yang sesuai. Prinsip-prinsip
AU

DKJPS utamanya adalah jangan menyakiti, menjunjung hak asasi manusia dan
kesetaraan, menggunakan pendekatan partisipatif, meningkatkan sumber daya
dan kapasitas yang sudah ada, menjalankan intervensi berlapis, dan menjalankan
tugas dengan sistem dukungan berlapis (Direktorat Jenderal Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI, 2020).
Tabel 14.2 menunjukkan pendekatan DKJPS sebagai pertimbangan dalam
proses rehabilitasi kesehatan mental.

Tabel 14.2 Rehabilitasi Kesehatan Mental Pasca Serangan Covid-19 dengan pendekatan
Dukungan Kesehatan Jiwa dan Psikososial (DKJPS) (Direktorat Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI, 2020).

Dukungan pada • Perhatian khusus dari keluarga.


penyintas Covid-19 • Tidak melakukan penolakan terhadap anggota keluarga yang masih/
pernah mengalami Covid-19.

204 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


• Lebih banyak menguatkan untuk melewati semua proses sakit dan
penyembuhan dengan mudah,
• Memberikan ruangan tersendiri agar dapat melakukan isolasi secara
mandiri, termasuk menyediakan berbagai fasilitas dan kebutuhan agar
mampu menghadapi proses penyembuhan dengan baik.
Dukungan pada • Memberikan informasi yang benar tentang status anggota keluarganya
keluarga yang sembuh.
• Memberikan nomor hotline untuk mendapatkan layanan psikologi secara
daring.
Dukungan sosial • Pasien dan keluarganya tidak dijauhkan dari interaksi sosial.
untuk pasien dan • Tidak melakukan penolakan atau tetap memberikan kesempatan sebagai
keluarga warga di lingkungannya.
• Saling meyakinkan satu dengan yang lain tentang perlunya kehati-
hatian, namun tidak melakukan tindakan reaktif agresif pada pasien
dan keluarganya,
• Tetap mendukung lewat kelompok media sosial.
Dukungan pada Stigma adalah pandangan negatif pada suatu kondisi, dalam hal ini terkait
pasien dan keluarga dengan Covid-19.
untuk mengatasi
stigma adalah:

21
Beberapa yang dapat dilakukan untuk mengatasi dan mencegah stigma

• Bersikap empatik: memberikan dukungan pada orang yang diduga


(memiliki) atau dirawat karena Covid-19, “orang yang sedang
dirawat karena Covid-19”, dan “orang yang sedang pulih dari
Covid-19“.
20
• Tidak menyebut orang dengan kondisi penyakit ini sebagai “kasus Covid-
19”, “korban” “keluarga Covid-19” atau yang “sakit”.
• Selalu mengingatkan masyarakat untuk memisahkan seseorang dari
identitas yang didefinisikan oleh Covid-19.
• Keluarga pasien tidak dijauhkan dari hubungan sosial.
• Tidak memberikan pandangan/prasangka negatif bahwa keluarga pasien
P

akan menjadi penyebab maraknya kasus.


• Selalu memberikan dukungan untuk kesembuhan anggota keluarganya
AU

yang sakit.
• Memberikan nomor telepon hotline untuk mendapatkan layanan psikologi
secara daring.
• Bagikan fakta terbaru dan tidak melebih-lebihkan.
• Mencari info yang benar tentang Covid-19 dari berbagai sumber
terpercaya.
• Mengangkat cerita positif pengalaman orang-orang yang pernah terinfeksi
penyakit ini
Layanan Psikiatri:
Prinsip intervensi dan penatalaksanaan :
1. Untuk kondisi gejala gangguan psikiatrik ringan:
• Intervensi psikologik: Penyesuaian mandiri mencakup latihan relaksasi, olah pernapasan,
dan latihan kesadaran.
2. Untuk kondisi gejala gangguan psikiarik sedang hingga parah:
• Intervensi kombinasi obat-obatan dan psikoterapi: Antidepresan generasi baru, ansiolitik,
dan benzodiazepin dapat diresepkan untuk meningkatkan suasana hati dan kualitas tidur
pasien. Antipsikotik generasi kedua seperti olanzapine dan quetiapine dapat digunakan
untuk memperbaiki gejala psikotik seperti halusinasi, ilusi, dan delusi.

BAB 14_Rehabilitasi Kesehatan Mental Pasca Serangan Covid-19 205


Rehabilitasi psikososial lainnya dapat berupa upaya – upaya sebagai
berikut:
1. Mengajak atau membantu pasien atau penyintas Covid-19 dapat menceritakan
kepada orang lain yang dipercaya atau kepada tenaga kesehatan mental
mengenai perasaan-perasaan negatif yang dirasakan. Pasien atau penyintas
dapat memberikan perhatian lanjutan dengan mendengarkan saran atau
bantuan dari orang- orang yang memberikan perasaan nyaman dan yang
mendengarkan/mengerti akan cerita dan perasaan pasien serta tetap terhubung
dengan orang-orang yang suportif tersebut. Proses ini dapat dilakukan secara
tatap muka dan/atau secara daring (online) atau telepsikiatri.
2. Mencari orang lain, kelompok dukungan sosial, tempat, dan aktivitas
– aktivitas yang membantu meningkatkan ef ikasi/kemampuan diri,
menunjukkan solidaritas, stabilitas emosi, dan orang/tempat/aktivitas yang
membangkitkan harapan dan kepercayaan.

21
3. Tenaga kesehatan terus mengupayakan proses seleksi dan mempraktikkan
pengobatan berbasis bukti (evidence-based treatments), dengan menetapkan
tujuan-tujuan yang realistis, mempertimbangkan dukungan psikososial
20
terintegrasi dalam mengatasi gejala-gejala kompleks seperti adiksi napza dan
depresi, serta menetapkan rencana tindak lanjut setelah pengobatan termasuk
menyimpan data medik pasien/penyintas dan menjalin komunikasi dengan
mengikuti perjalanan kondisi medik–psikiatrik pasca perawatan (Hyun, et al.,
2020; Korean Society for Traumatic Stress Studies, 2020; Windarwati, et al.,
P

2020).
AU

14.3.3 Rehabilitasi Mental Secara Kognitif


Proses rehabilitasi mental secara kognitif yang dapat dilakukan pasca serangan
wabah infeksi virus dapat berupa:
1. Latihan-latihan terapi rehabilitasi kognitif untuk meningkatkan daya
ingat, memproses dan menginterpretasikan informasi. Pemeriksaan fungsi
kognitif, pemeriksaan neurologik, dan pemeriksaan psikiatrik perlu dilakukan
sebelumnya untuk menentukan kondisi status mental dan fungsi kognitif.
2. Fokus kepada konseling dan psikoterapi yang ditujukan untuk membangun
resiliensi.
3. Proses penguatan diri melalui pemberdayaan diri yang melampaui sikap
‘telah menjadi korban’. Hal ini dilakukan melalui peningkatan sikap berbelas
kasihan, sikap peduli kepada orang lain dan mengenyampingkan rasa takut,

206 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


menunjukkan empati bahkan kepada orang yang melakukan sikap diskriminasi
atau memberi stigma, dan memberikan edukasi kepada orang lain mengenai
wabah yang sedang atau telah terjadi (Chiang, Mei-Bih and Sue, 2007; Matua
and Wal, 2015; Rabelo, et al., 2016).
4. Mengubah perspektif mengenai kehidupan dan peran kerja. Hal ini dilakukan
melalui mendefinisikan ulang prioritas-prioritas dalam kehidupan (Mok, et
al., 2005).
5. Mengembangkan strategi-strategi mekanisme koping, misalnya fokus pada
masalah (menyusun alternatif-alternatif pemecahan masalah, mengembangkan
kemandirian diri/perawatan diri sendiri dan membantu orang lain juga),
mencari dukungan sosial, saling membantu sesama penyintas, termasuk
pembentukan kelompok penyintas dengan media sosial, penilaian positif
suatu situasi, pengembangan koneksivitas secara daring yang positif untuk
menghindarkan isolasi sosial, peningkatan pikiran optimis bahwa pandemi

6.
21
Covid-19, sebagaimana pandemi-pandemi sebelumnya, pasti akan berakhir
juga, dan pengembangan kehidupan spiritualitas religi (Chew, et al., 2020).
Mengembangkan berpikir positif dengan menyaring informasi-informasi yang
20
bias dan provokatif.
7. Tenaga kerja kesehatan yang pernah mengalami kondisi infeksi dan melewati
kondisi sakitnya berupaya mengembangkan pemahaman mengenai pentingnya
menyediakan dukungan psikologik selama masa krisis (Mok, et al., 2005;
Chiang, Mei-Bih and Sue, 2007).
P
AU

14.4.4 Aktivitas Fisik dan Kesehatan Mental


Untuk tetap aktif atau melakukan aktivitas fisik terstruktur selama masa pandemi
merupakan hal yang mungkin sulit untuk dilakukan, khususnya saat periode
lockdown/pembatasan sosial berskala besar. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa
studi yang mendapatkan penurunan aktivitas fisik selama masa pandemi Covid-
19. Meskipun demikian, ada banyak studi yang menjelaskan aktivitas fisik
dapat memperbaiki kesehatan mental dan kesejahteraan psikologik, termasuk
meningkatkan perasaan efikasi/perawatan diri, rasa menghargai diri/percaya
diri, pengalihan dari kondisi stres dan khawatir, serta meningkatkan perasaan
positif. Organisasi kesehatan dunia (World Health Organization/WHO) karenanya
merekomendasikan latihan aktivitas fisik sebagai salah satu cara efektif mengatasi
stres di masa Pandemi Covid-19. Beberapa studi menunjukkan penurunan
risiko gejala depresi dan peningkatan kesejahteraan psikologik melalui aktivitas

BAB 14_Rehabilitasi Kesehatan Mental Pasca Serangan Covid-19 207


– aktivitas fisik intensitas rendah seperti berdiri, berjalan lambat, keteraturan
aktivitas sehari-hari (van Zanten, et al., 2020). Latihan aktivitas-aktivitas fisik
intensitas rendah ini atau tetap berkegiatan fisik secara teratur dapat menjadi
pertimbangan sebagai salah satu bagian proses rehabilitasi kesehatan mental
pasca serangan Covid-19.

14.4 RINGKASAN DAN REKOMENDASI


Kerusakan organ yang terjadi akibat infeksi Covid-19 dapat menjadi salah
satu faktor risiko munculnya masalah terkait kondisi mental hingga terjadinya
gangguan psikiatrik pasca infeksi. Meskipun masih terlalu dini saat ini untuk
disimpulkan, namun beberapa studi membuktikan adanya kemungkinan terjadi
suatu “sindrom pasca Covid-19”/masih adanya gejala-gejala sisa infeksi virus ini
atau kondisi gejala jangka panjang dari Covid-19 (long Covid).

21
Pasien-pasien yang telah melewati fase akut infeksi Covid-19, yang masih
memiliki gejala-gejala sisa dan pasien yang telah sembuh membutuhkan
rehabilitasi kesehatan mental yang fokus untuk mendapatkan kembali kemampuan
20
fisik dan mental yang optimal. Upaya rehabilitasi kesehatan mental pasca
serangan Covid-19 dapat dilakukan dengan monitoring berkala dan komprehensif
aspek medik psikiatrik pasca infeksi, melalui Dukungan Kesehatan Jiwa dan
Psikososial (DKJPS), dilaksanakannya rehabilitasi mental secara kognitif dan
mempertimbangkan aktivitas fisik yang teratur.
P

Pencatatan yang detail dan lengkap dibutuhkan dari berbagai perkembangan


gejala, tanda, dan riwayat pengobatan pasien selama perawatan dan pasca
AU

perawatan. Monitoring lanjutan kondisi medik psikiatrik dan pemberian


dukungan psiko-sosial pun tetap dilanjutkan setelah pasien dengan Covid-19
melewati berbagai proses pengobatan awal, fase akut, atau perawatan di rumah
sakit/perawatan intensif. Dalam pelaksanaannya, dapat dipertimbangkan juga
adanya unit layanan kesehatan khusus dan terintegrasi pasca Covid-19.
Dibutuhkan studi-studi lanjutan yang terstruktur untuk menganalisis gejala,
tanda, dan gangguan psikiatrik yang terjadi saat pasien mengalami kondisi
infeksi dan pasca infeksi Covid-19 untuk kemudian menentukan langkah
penatalaksanaan komprehensif terbaik hingga masa pasca pandemi. Studi lanjutan
ini sebaiknya melibatkan berbagai pusat penelitian kesehatan secara nasional dan
internasional.

208 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


DAFTAR PUSTAKA
Bae, J-Y., Baik, M., Cho, I.H. Korean Society for Traumatic Stress Studies. 2020.
Guidelines on psychosocial care for infectious disease manajement, Journal of Chemical
Information and Modeling. Gyeongsan: Korean Society for Traumatic Stress
Studies.
Cheng, S.K.W., Sheng, B., Kwong, L.K. et al. 2004. Adjustment outcomes in Chinese
patients following one-month recovery from severe acute respiratory syndrome
in Hong Kong. Journal of Nervous and Mental Disease, 192(12):868–871. doi:
10.1097/01.nmd.0000147169.03998.dc.
Chew, Q.H., Wei, K.C., Vasoo, S., Chua H.C., Sim K. 2020. Narrative synthesis of
psychological and coping responses towards emerging infectious disease outbreaks
in the general population: practical considerations for the Covid-19 pandemic.
Singapore Medical Journal, 61(7):350–356. doi: 10.11622/smedj.2020046.
Chiang, H-H., Chen, M-B., and Sue, I.-L. 2007. Self-State of Nurses in Caring for
SARS Survivors. Nursing Ethics, 14(1):18–26.

21
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI.
2020. Pedoman Dukungan Kesehatan Jiwa dan Psikososial pada Pandemi Covid-19.
1st edn. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Hyun, J., You, S., Sohn, S., et al. 2020. Psychosocial support during the Covid-19 outbreak
20
in Korea: Activities of multidisciplinary mental health professionals. Journal of
Korean Medical Science, 35(22):1–13. doi: 10.3346/JKMS.2020.35.E211.
Lamprecht, B. 2020. Is there a post-COVID syndrome?. Pneumologe, 17(6):398–405.
doi: 10.1007/s10405-020-00347-0.
P

Lee, A.M., Wong, J.G.W.S., McAlonan, G.M. et al. 2007. Stress and psychological
distress among SARS survivors 1 year after the outbreak. Canadian Journal of
AU

Psychiatry, 52(4):233–240. doi: 10.1177/070674370705200405.


Lee, S., Chan, L.Y.Y., Chau, A.M.Y., Kwok, K.P.S., Kleinman, A. 2005. The experience
of SARS-related stigma at Amoy Gardens. Social Science and Medicine, 61(9),:2038–
2046. doi: 10.1016/j.socscimed.2005.04.010.
Matua, G.A. and Wal, D.M.V.D. 2015. Living under the constant threat of ebola:
A phenomenological study of survivors and family caregivers during an
ebola outbreak ’, Journal of Nursing Research, 23(3):217–224. doi: 10.1097/
jnr.0000000000000116.
Mok, E., Chung, B.P.M., Chung, J.W.Y., Wong T.K.S. 2005. An exploratory
study of nurses suffering from severe acute respiratory syndrome (SARS).
International Journal of Nursing Practice, 11(4):150–160. doi: 10.1111/j.1440-
172X.2005.00520.x.
Peng, E.Y.C, Lee, M.B., Tsai, S.T. et al. 2010. Population-based Post-crisis Psychological
Distress: An Example From the SARS Outbreak in Taiwan. Journal of the
Formosan Medical Association, 109(7):524–532

BAB 14_Rehabilitasi Kesehatan Mental Pasca Serangan Covid-19 209


Rabelo, I., Lee, V., Fallah, M.P. et al. 2016. Psychological Distress among Ebola Survivors
Discharged from an Ebola Treatment Unit in Monrovia, Liberia – A Qualitative
Study. Frontiers in Public Health, 4(142):1–7. doi: 10.3389/fpubh.2016.00142.
Rogers, J.P., Chesney, R., Oliver, D. et al. 2020. Psychiatric and neuropsychiatric
presentations associated with severe coronavirus infections: a systematic review and
meta-analysis with comparison to the Covid-19 pandemic. The Lancet Psychiatry,
7(7):611–627. doi: 10.1016/S2215-0366(20)30203-0.
Sim, K., Chan, Y.H., Chong, P.N., Chua, H.C., Soon, S.W. 2010. Psychosocial and
coping responses within the community health care setting towards a national
outbreak of an infectious disease. Journal of Psychosomatic Research, 68(2):195–202.
doi: 10.1016/j.jpsychores.2009.04.004.
Sinanovi, O., Mufti, M. and Sinanovi, S. 2020. Covid-19 Pandemia: Neuropsychiatric
comorbidity and consequences. Psychiatria Danubina, 32(2):236–244. doi:
10.24869/PSYD.2020.236.
Windarwati, H.D., Oktaviana, W., Mukarromah, I., Ati N.A.A., Rizzal, A.F., Sulaksono,

21
A.D. 2020. In the middle of the Covid-19 outbreak: Early practical guidelines
for psychosocial aspects of Covid-19 in East Java, Indonesia. Psychiatry Research,
293(113395).
Yamamoto, V., Bolanosa, J.F., Fiallosa J. et al. 2020. Covid-19: Review of a 21st Century
20
Pandemic from Etiology to Neuro-psychiatric Implications. Journal of Alzheimer’s
Disease, 77(2):459–504. doi: 10.3233/JAD-200831.
Yelin, D., Wirtheim, E., Vetter, P. et al. 2020. Long-term consequences of Covid-19:
research needs. The Lancet Infectious Diseases. Elsevier Ltd, 20(10):1115–1117. doi:
10.1016/S1473-3099(20)30701-5.
P

Zanten J.J.C.S.V.V., Fenton, S.A.M., Brady, S., Metsios, G.S. , Duda, J.L. , Kitas, G.D.
2020. Mental Health and Psychological Wellbeing in Rheumatoid Arthritis during
AU

Covid-19 – Can Physical Activity Help?. Mediterranean Journal of Rheumatology,


31(Suppl 2):284-287. doi: 10.31138/mjr.31.3.284.

210 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


BAB 15

Urgensi Rehabilitasi
Kesehatan Spiritual
Pasca Serangan Covid-19

21Ahmad Djalaludin
20
15.1 PENGANTAR
P

Pandemi Covid-19 menjadi tantangan multidimensi bagi kehidupan kontemporer


(Murshed, 2020; Nicola, et al., 2020). Efek Covid-19 telah berdampak luas pada
AU

aktivitas, rutinitas, mata pencaharian, kesehatan mental, dan kesejahteraan


masyarakat. Sistem kesehatan berada di posisi terdepan dalam merasakan
dampaknya (Roman, Mthembu, dan Hoosen, 2020). Para tenaga kesehatan tidak
hanya mempertaruhkan profesi dan spesialisasinya, bahkan mengorbankan nyawa
demi upaya penyelamatan kehidupan (Roman, Mthembu, dan Hoosen, 2020).
Rumah sakit dan pusat layanan kesehatan tak berdaya menghadapi gelombang
pasien yang terdampak Covid-19. Penderita Covid-19 menghadapi situasi sulit
yang memengaruhi berbagai aspek kebutuhan mereka, termasuk fisik, emosional,
mental, sosial dan spiritual. Mereka terisolasi dan berada dalam keterasingan
serta kesulitan sehingga ketergantungan pasien terhadap spiritualitas meningkat
selama proses rehabilitasi (Roman, Mthembu, dan Hoosen, 2020).
Covid-19 meningkatkan ketakutan, kepanikan, dan kekhawatiran semua
pihak. Pasien dan keluarga bahkan dokter merasakan suasana kebatinan dan

211
emosional yang sama. Padahal ketakutan dan kecemasan berlebihan terhadap
virus berdampak buruk pada fungsi kekebalan tubuh (Koenig, 2020; Roman,
Mthembu, dan Hoosen, 2020). Hal ini berarti diperlukan lingkungan yang
mencerminkan kepedulian spiritual dalam rangka rehabilitasi kesehatan pasien
Covid-19 (Roman, Mthembu, dan Hoosen, 2020). Manusia tidak hanya tersusun
oleh unsur material, tetapi manusia tercipta dalam keadaan terbaik dengan unsur
spiritual dan material yang padu (QS. At-Tiin: 4; Al-Hijr: 28; Al-Rum: 20). Dua
unsur ini meniscayakan terpenuhinya kebutuhan fitrah yang abadi. Pemenuhan
kebutuhan spiritual dan material saling berhubungan dalam membangun
kesehatan dan kesejahteraan holistis (Drummond and Carey, 2020; Roman,
Mthembu, dan Hoosen, 2020).
Keterpaduan aspek spiritual dan material dalam pembangunan kesehatan
holistis disinggung oleh Rasulullah Saw., “Tidaklah anak Adam mengisi wadah
yang lebih buruk dari perut. Cukuplah bagi anak Adam beberapa suap untuk

21
menegakkan punggungnya. Apabila ia ingin melebihkan, hendaknya sepertiga
untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk bernapas”
(HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad). Hadits ini diperjelas oleh seorang tabib,
20
Harits bin Kildah: “Perut adalah sumber penyakit dan diet merupakan obat
segala penyakit” (Saifuddin, 2019). Dua macam penyakit, fisik dan psikis lebih
banyak disebabkan oleh pikiran (perasaan) dan perut (Istianah and Wati, 2020).
Antara fisik dan psikis saling memengaruhi. Kesehatan fisik berpengaruh
pada kesehatan psikis dan kesehatan psikis berpengaruh pada kesehatan fisik.
P

Demikian pula dengan sakit, antara keduanya saling berpengaruh. Karena itu
proses penyembuhan penyakit dilakukan melalui ikhtiar lahiriah, yaitu upaya
AU

medis kerja sama dokter; dan ikhtiar metafisik dengan dzikir, doa, dan ibadah
(Saifuddin, 2019). Keterpaduan ikhtiar spiritual dan material dalam proses
rehabilitasi menjadi keniscayaan (Deuraseh and Talib, 2005; Uyun, Kurniawan,
and Jaufalaily, 2019; Asadzandi, 2020), bahkan dalam proses pencegahan,
pengobatan, dan rehabilitasi.
Agama memiliki modal utama dalam membangun kesehatan spiritual
(Rassool, 2000; Deuraseh and Talib, 2005; Sastra, 2019; Koenig, 2020). Koenig
(2020) mengungkap bahwa ajaran spiritual agama-agama menunjang kesehatan
pemeluknya. Ajaran emosi positif agama seperti cinta, kegembiraan, kedamaian,
kesabaran, kebaikan, kesetiaan diyakini mampu mengusir rasa cemas dan takut
serta membawa kebahagiaan. Agama dengan ajaran spiritualnya berkontribusi
dalam membangun imunitas dan kekebalan. Bahwa pemeluk agama yang
terlibat dalam aktivitas spiritual memiliki tingkat kekebalan yang lebih baik,

212 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


dan membantu memoderasi efek infeksi virus Corona (Rassool, 2000; Koenig,
2020). Spiritualitas memberi pengaruh positif bagi pasien dalam mengelola stres,
kekuatan diri, kemampuan beradaptasi menghadapi ragam situasi yang dialami
(Prasetyo, 2016), dan meningkatkan kualitas hidup penderita sakit (Sastra, 2019),
serta menjadi unsur yang paling dibutuhkan pasien (Nuraeni, et al., 2015). Manfaat
emosi positif sebagai buah ketaatan beragama bagi imunitas tubuh manusia telah
didukung oleh banyak penelitian empiris. Beberapa penelitian memastikan bahwa
keterlibatan agama bagi penurunan kadar sitokin pro-inflamasi dan peningkatan
fungsi kekebalan yang diperlukan untuk melawan infeksi (Koenig, et al. 1997;
Koenig dan Cohen 2002; Lutgendorf, et al., 2004; Kurita, et al., 2011). Oman
dan Riley (2018) mengetengahkan dampak keterlibatan agama atau spiritual pada
kekebalan, perilaku berisiko infeksi, tingkat infeksi, kepatuhan terhadap perawatan
untuk infeksi, dan program untuk pencegahan atau pengobatan infeksi.
Ulasan di atas mendasari tulisan ini dengan mengambil fokus bagaimana

21
rehabilitasi kesehatan spiritual pasca serangan Covid-19. Tulisan ini diharapkan
memberi sumbangsih bagi aspek-aspek berikut: pertama, kontribusi konseptual
bagi pembangunan kesehatan spiritual berbasis nilai-nilai agama guna melengkapi
20
upaya material dalam membangun kesehatan holistis. Kedua, kontribusi faktual,
bahwa lebih dari separo yang terinfeksi Covid-19 tidak terpengaruh dan tidak
menunjukkan gejala apapun. Hal ini disebabkan bahwa sistem kekebalan tubuh
mereka mudah mengenali virus dan mencegahnya melakukan tindakan destruktif
dalam tubuh Al-Kaheel (Al-Kaheel, 2020), dan kesehatan spiritual berkontribusi
P

besar dalam membangun sistem kekebalan tubuh yang baik. Ketiga, kontribusi
empiris, bahwa tulisan ini diharapkan menjadi langkah mengakhiri kecenderungan
AU

dikotomis dalam menyikapi pandemi Covid-19, yaitu kecenderungan yang sangat


spiritualis hingga menafikan ikhtiar material atau kecenderungan materialistik
yang melupakan hakikat manusia sebagai hamba Allah yang berdimensi spiritual-
material. Meskipun rehabilitasi spiritual telah lama diakui sebagai salah satu
domain pengobatan, tetapi belum terintegrasi sepenuhnya dalam praktik (Ferrell,
et al., 2020). Karena itu dengan metode kajian pustaka dan literatur tulisan ini
mengungkap rehabilitasi kesehatan spiritual pasca serangan Covid-19 yang
meliputi elemen, instrumen, dan urgensinya.

15.2 SPIRITUAL SEBAGAI KOMPONEN KESEHATAN HOLISTIS


Spiritual merupakan unsur terpenting bagi manusia. Spiritual menjadi faktor
penentu nilai kehidupan seseorang. Pepatah Arab menyebutkan wa anta bi

BAB 15_Urgensi Rehabilitasi Kesehatan Spiritual Pasca Serangan Covid-19 213


al-ruhi laa bi al-jismi insaanu, karena spiritual engkau disebut manusia, bukan
karena fisik (Qardhawi, 1995). Pakar psikologi Barat seperti Maslow, Zohar,
Marshall, dan lainnya mengakui signifikansi hubungan antara spiritual dan
jasad, tetapi mereka menolak adanya hubungan antara spiritual dan agama. Bagi
mereka, spiritual hanyalah aspirasi kehidupan manusia (Sudi, Sham, and Yama,
2017). Perspektif ulama Islam menyebutkan bahwa konstruksi spiritual manusia
merupakan kombinasi antara hati (qalb), jiwa (nafs), akal (`aql), dan ruh. Keempat
elemen ini berpengaruh kuat pada pembentukan kepribadian seseorang. Nilai-
nilai spiritual dalam Islam memiliki hubungan kecerdasan transendental yang
bersemayam dalam batin dan dianggap sakral, suci, dan luhur karena bersumber
dari Allah SWT. Spiritual merupakan instrumen untuk menemukan kebenaran
(Sudi, Sham and Yama, 2017; Jumala and Abubakar, 2019). Nilai-nilai spiritual
ini selanjutnya termanifestasi ke dalam pengalaman kehidupan yang dibalut oleh
komitmen yang kuat kepada ajaran Kitab Suci (Jumala and Abubakar, 2019).

21
Pandangan lain menyebutkan bahwa elemen terpenting spiritual adalah nafs,
qalb, dan `aql (Deuraseh and Talib, 2005). Tetapi istilah nafs (jiwa) tidak dimaknai
sebagai ruh, sebab ruh tidak dianggap sebagai komponen kepribadian, tetapi
20
sebagai potensi gairah, nafsu, dan naluri yang mendorong untuk memuaskan
nafsunya. Kadang, Al-Qur`an menggunakan kata nafs dengan makna ruh tetapi
hal ini tergantung pada konteksnya (QS. Ali Imran:185). Demikian pula dengan
istilah qalbu yang berarti jantung (sering diartikan hati), tidak mengacu pada
organ fisik di sisi kiri dada manusia, melainkan aspek kognitif dan perspektif
P

yang multifungsi. Seperti disebutkan dalam Al-Qur`an: “Di hati mereka terdapat
penyakit, lalu Allah menambahkan penyakitnya itu …” (QS. Al-Baqarah:10),
AU

dan hadits Nabi Saw. menyebutkan bahwa dalam diri manusia terdapat segumpal
daging, bila baik (sehat) maka sehatlah seluruh tubuhnya, dan bila rusak (sakit),
maka sakitlah seluruh tubuhnya (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Kesadaran akan urgensi kesehatan fisikal dan spiritual mendorong Abu
Zayd Al-Balkhi (wafat 322/934 M) menulis buku Mashalih al-Abdan wa al-Anfus
(Sustenance for Body and Soul) (Deuraseh and Talib, 2005; Awaad and Ali, 2015).
Dalam ulasannya, Al-Balkhi mengkritik para dokter yang hanya fokus pada aspek
fisik pasien dan mengabaikan unsur psikologis, mental, dan spiritualnya. Padahal
fakta dan realita kehidupan manusia menunjukkan bahwa esensi manusia berupa
jiwa dan fisiknya, karena itu kesehatan manusia harus melibatkan kedua unsur
itu. Menurut Al-Balkhi, bila fisik menderita sakit maka manusia kehilangan
kemampuan kognitifnya dan kenikmatan aspek-aspek kehidupan lainnya. Ketika
mental dan spiritualnya menderita sakit, maka manusia kehilangan kebahagiaan

214 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


hidup dan pada akhirnya berdampak pada kesehatan fisiknya. Dengan demikian,
kesehatan spiritual dan fisik akan mampu bekerja sama dalam mencegah atau
mengatasi penyakit (Deuraseh and Talib, 2005; Awaad and Ali, 2015).
Perkembangan dunia kedokteran mengenalkan penyakit psikosomatis yang
menyebutkan bahwa 80% penyakit didiagnosis karena efek stres psikologis (Asadi,
Asadzandi and Ebadi, 2014; Asadzandi, 2019). Perspektif psiko-neuron-imun-
endokrinologi, menegaskan bahwa tekanan psikologis dan tekanan spiritual
berdampak secara efektif pada kesehatan dan kesejahteraan hidup. Kemudian, di
era milenium ditemukan bahwa warisan, lingkungan, gaya hidup, kebiasaan tidak
sehat, serta destructive excitement (kegembiraan destruktif (semu)) dianggap sebagai
ancaman bagi kesehatan. Fenomena ini mendorong para ilmuwan memberikan
fokusnya pada spiritualitas dan dampak keyakinan beragama pada promosi
kesehatan (Asadzandi, 2019). Karena itu, kesehatan dan penyakit diperkenalkan
sebagai konsep sosial yang terpengaruh oleh budaya dengan demikian dunia

21
kedokteran dipengaruhi oleh agama. Bahkan pandangan filosofis manusia terhadap
diri dan dunianya, tujuan penciptaan, sebab peristiwa kehidupan, berdampak pada
kesehatan dan penyakit. Kendati demikian, pandangan filosofis dan agama-agama
20
melihat secara berbeda terhadap kesehatan spiritual (Asadzandi, 2019).
Islam merupakan sistem keyakinan yang integratif dan holistis. Keyakinan
atau iman dalam ajaran Islam mewujud dalam motivasi hati, ungkapan verbal,
sikap dan perbuatan. Spiritualitas merupakan bagian integral dari sistem holistis
Islam dengan substansinya yiatu muraqabatullah (merasakan pengawasan dan
P

kesertaan Allah dalam kehidupan) dan bertindak serta berbuat guna meraih rida
Allah (Qardhawi, 1995; Al-Jauziyah, 2003). Kesehatan spiritual dalam Islam
AU

bermakna bahwa manusia memiliki hati yang sehat, yang merupakan hasil dari
hubungan jiwa dengan Allah Swt. melalui iman, islam, dan ihsan. Sebaliknya,
penyakit spiritual disebabkan oleh sikap berpaling dari dzikrullah (mengingat
Allah) dan perbuatan yang menyimpang dari jalan Allah SWT (Asadzandi,
2019). Islam juga mengutamakan perawatan material melalui perintah makan-
minum yang halal dan thayyib (QS. Al-Baqarah:168), perintah istirahat tepat
pada waktunya (QS. Al-Furqan:47), dan memberikan hak kepada masing-masing
organ tubuh (HR. Al-Bukhari).

15.3 REHABILITASI KESEHATAN SPIRITUAL DENGAN IMAN


Dikisahkan bahwa Abu Bakar Asshiddiq berdiri di atas mimbar dan menangis.
Abu Bakar berkata: “Di tahun pertama (hijrah), Rasulullah SAW berdiri di

BAB 15_Urgensi Rehabilitasi Kesehatan Spiritual Pasca Serangan Covid-19 215


atas minbar kemudian menangis. Rasulullah berkata: “Mohonlah kepada Allah
ampunan (al-`afwa) dan kesehatan (al-`afiyah) (kesehatan spiritual dan material).
Sesungguhnya tidaklah seseorang diberi yang lebih baik setelah keyakinan
melebihi kesehatan (fisik)” (HR. Ahmad, Nasa`i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban,
Al-Hakim).
Keyakinan merupakan anugerah teragung. Kekuatan yakin menjadi pertanda
kebenaran iman dan beragama. Bila substansi agama adalah kepasrahan dan
penyerahan diri, maka keyakinan merupakan titik hitam yang berada di tengahnya
(Al-Jauziyah, 2003). Keyakinan kepada Allah SWT bermakna bahwa hamba
merasa tidak berdaya lari dari qadla` (ketentuan) Allah SWT, karena Allah telah
menetapkan hukum bagi dirinya. Ketika manusia memahami dan menyadari
apa yang ditetapkan Allah bagi dirinya, dia akan merasakan aman dan khawatir
kehilangan bagian yang telah ditetapkan oleh Allah baginya. Ketika keyakinan
pada keabadian Allah terpatri dalam hati, manusia meyakini bahwa Allah akan

21
membimbingnya menuju sukses dalam menghadapi ujiannya. Ketika nikmat
kesehatan diuji oleh Allah, hamba yang yakin kepada-Nya akan pasrah, tidak
khawatir, dan menganggapnya sebagai peluang menjadi yang terbaik dengan
20
usaha dan upaya yang telah diperintah oleh-Nya (Qardhawi, 1995; Al-Jauziyah,
2003).
Keyakinan kepada Allah, keyakinan kepada agama berkontribusi pada
pencegahan penyakit, depresi, kemampuan beradaptasi menghadapi kondisi
sakit dan fase rehabilitasi pasca sakit (Prasetyo, 2016; Koenig, 2020). Prasetyo
P

mengetengahkan beberapa penelitian empiris pembedahan elektif pada jantung


menunjukkan bahwa keyakinan agama yang rendah berhubungan dengan risiko
AU

kematian setelah 6 bulan menjalani pembedahan jantung. Keyakinan agama dan


spiritualitas mendorong kekuatan orientasi pasien terhadap masa depan kehidupan
dan dampak stres terhadap kesehatan. Pemenuhan nutrisi spiritual merupakan
terapi komplementer (bahkan primer) karena berguna membantu pasien
beradaptasi lebih baik akibat sakit dan efek samping terapi dan pengobatan.
Keyakinan kepada Allah Swt. ditandai dengan ihsanu al-dhan billah (berbaik
sangka kepada Allah) dan ketentuan-Nya. “Maka bagaimana prasang kamu
terhadap Tuhan semesta alam” (QS. Al-Shaffat: 87), Ibnu Mas`ud mengomentari
ayat ini, “Demi Allah, tidaklah seseorang berprasangka sesuatu kepada Allah,
pasti Allah memberikan apa yang disangkakan itu”. Buruk sangka kepada Allah,
menurut Imam Syafi`i, ditandai oleh rasa was-was, ketakutan, dan kekhawatiran
terjadinya musibah dan hilangnya nikmat”. Pengalaman Nabi Ya`qub yang
berkata, “Mudah-mudahan Allah mendatangkan mereka semuanya (Yusuf dan

216 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


adiknya) kepadaku” (QS. Yusuf: 83) menjadi inspirasi bahwa berbaik sangka dan
berpikir positif menjadi pintu terwujudnya harapan.
Berbaik sangka, berpikir positif terhadap takdir Allah bukan sekadar
proses kognitif, meskipun proses kognitif semata berperan penting dalam
mengelola kecemasan dan kebahagiaan bahkan keberhasilan seseorang (Rusydi,
2012). Apalagi bila proses kognitif ini melibatkan hati dan keimanan (afektif),
menjadikannya semakin kuat dalam menghadirkan harapan dan optimisme.
Beberapa penelitian dikutip oleh Rusydi (2012) bahwa sikip hidup optimis
berhubungan baik dengan persepsi terhadap kesehatan fisik dan mental. Orang
yang berbaik sangka, berpikir positif dan optimis merasakan hidup lebih nyaman,
rileks, dan mampu mengontrol stres dengan baik. Sebaliknya, berpikir negatif,
berburuk sangka, dan orientasi pesimistik berpengaruh terhadap penderitaan
stres dan munculnya berbagai penyakit dan memengaruhi kehadiran symptom
depresif.

21
Keyakinan kepada Allah ditandai dengan tawakal. “Hanya kepada Allah
hendaknya kalian bertawakal, jika kalian benar-benar orang beriman” (QS.
Al-Maidah:23). Tawakal merupakan amal hati, tidak dinyatakan dengan lisan
20
atau perbuatan fisik. Tawakal adalah kepasrahan hati kepada Allah menurut
apapun yang dikehendaki-Nya (Al-Jauziyah, 2003). Orang yang bertawakal
menyandarkan hatinya kepada Allah. Ia merasa tenang karena menggantungkan
hidup kepada-Nya. Semakin kuat pengetahuannya kepada Allah, kepada sifat
dan kekuasaan-Nya, semakin tenang hidupnya. Tetapi tawakal tidak menafikan
P

sebab, karena mengerjakan sebab yang diperintahkan merupakan wujud ubudiyah


(penghambaan) dan merupakan hak Allah atas hamba-Nya (Al-Jauziyah, 2003;
AU

Marhaban, 2018).
Al-Qur`an menggambarkan ciri orang-orang yang bertawakkal. Bahwa
orang yang bertawakal meyakini Allah sebagai sebaik-baik penolong (QS. Ali
Imran:173) dan pelindung (QS. Al-Nisa`:81), serta menyerahkan keputusan terbaik
bagi dirinya kepada Allah SWT (QS. Al-A`raf:89). Individu yang bertawakal
meyakini bahwa apapun yang terjadi dalam dirinya, sakit maupun sehat, manfaat
atau mudharat, semua terjadi karena izin dan kehendak Allah (QS. Al-Taubah:
51). Tawakal juga ditandai dengan sabar terhadap kesulitan karena meyakini
bahwa Allah pasti melindungi hamba-Nya yang beriman (QS. Al-Ahzab:48).
Dengan demikian tawakal atau berserah diri kepada Allah (surrender to God)
dibutuhkan untuk menghalau kekhawatiran dan ketakutan menghadapi dinamika
kehidupan (Rusydi, 2012). Penelitian empiris menunjukkan bahwa berserah
diri kepada Tuhan (tawakal) merupakan langkah positif dalam mengatasi stres.

BAB 15_Urgensi Rehabilitasi Kesehatan Spiritual Pasca Serangan Covid-19 217


Karena individu meyakini kehendak, pilihan, dan keputusan Tuhan sebagai
kehendak, pilihan, dan keputusan terbaik. Kepasrahan kepada Tuhan menjadi
prediktor penting bagi perbaikan mental pasien (Asadzandi, 2020).
Keyakinan dan keimanan menuntut kesabaran, bahkan sabar merupakan
separo iman dan bukti kebenaran iman (QS. Al-Baqarah:177). Sabar sangat
istimewa karena orang yang memiliki sifat itu menerima karunia istimewa dan
luar biasa dari Allah. Allah mencintai orang-orang yang sabar serta membersamai
mereka (QS. Al-Anfal:46), yaitu kebersamaan eksklusif, di mana Allah menjaga,
melindungi dan menolong mereka. Orang yang bersabar diberi balasan tanpa
batas (QS. Al-Zumar:10) dan kemuliaan (QS. Al-Syura:43). Melihat keutamaan
yang besar atas sabar itu, Rasulullah SAW memerintahkan orang yang tertimpa
musibah agar melakukan hal yang paling memberi manfaat baginya, yaitu
bersabar dan rida atas ketetapan Allah. Karena sabar akan meringankan musibah
dan menambah pahala. Adapun mengeluh dan gundah hati, justru memperberat
musibah dan menghapus pahala.
21
Sabar tidak berarti pasif. Sabar mengandung makna kemampuan dalam
mengendalikan diri, ketabahan dan kemampuan bertahan dalam kondisi sulit,
20
kegigihan dalam meraih tujuan dan menghadapi masalah, penerimaan terhadap
realitas pahit dengan ikhlas dan syukur, serta tenang dan tidak tergesa-gesa
(Subandi, 2011). Orang yang bersabar dalam berbagai situasi yang dihadapinya
adalah orang yang paling tinggi spiritualnya (Ernadewita and Rosdialena,
2019). Sabar melahirkan semangat dan kekuatan saat menghadapi kesulitan,
P

karena orang yang bersabar mampu beradaptasi dengan realitas kehidupan


dengan kerelaan hati. Kata Al-Jauziyah (2003) bahwa sabar merupakan upaya
AU

mengumpulkan semua potensi dan kekuatan untuk menghadapi kegelisahan dan


memecahkan masalah yang terjadi.
Sabar bermanfaat untuk menurunkan tingkat stres, emosi negatif, dan
kecemasan (Sari, et al., 2018). Sabar dianggap sebagai koping religius karena
melibatkan keyakinan kepada Allah yang memiliki korelasi negatif dengan
tingkat stres dan berkorelasi positif dengan kualitas hidup. Koping religius
dapat menurunkan tingkat stres pada individu dan meningkatkan kualitas
hidupnya (Gardner, Krägeloh and Henning, 2014; Sari, et al., 2018). Bahwa
kesabaran memengaruhi kesejahteraan berupa memaksimalkan kebahagiaan dan
meminimalkan emosi negatif (Sari, et al., 2018).
Syukur menjadi pelengkap sabar yang merupakan separo iman dan keyakinan
(Al-Jauziyah, 2003). Syukur mengandung makna tunduk, cinta, pengakuan, dan
pujian kepada pihak yang disyukuri, serta pemanfaatan pemberian yang selaras

218 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


dengan kehendak sang pemberi (Al-Jauziyah, 2003). Syukur kepada Allah
ditandai dengan ketundukan kepada-Nya serta aturan yang ditetapkan oleh-Nya.
Orang yang bersyukur senantiasa mencintai Pemberi (Allah) melebihi kecintaan
dan kesenangan pada apa yang diberikan. Dalam syukur terdapat pengakuan
bahwa apapun yang ada pada diri manusia merupakan karunia Allah, bukan hasil
kerja keras dan prestasinya. Orang yang bersyukur senantiasa memuji Allah dan
menggunakan nikmat dan karunia selaras dengan fungsi yang dikehendaki oleh
Pemberi (Allah).
Allah SWT memuji orang-orang yang bersyukur dan menganggapnya sebagai
orang-orang istimewa karena tak banyak yang melakukannya (QS. Saba`:13). Al-
Qur`an menjadikan syukur sebagai instrumen untuk mendapatkan tambahan dan
penjagaan nikmat dari Allah (QS. Ibrahim:7). Orang yang bersyukur dianggap
sebagai hamba yang mampu menggali manfaat di balik salah satu Asma Allah,
yaitu al-Syakur (Al-Jauziyah, 2003; Mahfud, 2014). Karena keistimewaan syukur

21
ini, Rasulullah SAW sangat ingin menjadi hamba yang banyak bersyukur (`abdan
syakuuran) melalui ibadah kepada Allah (shalat malam) (HR. Al-Bukhari dan
Muslim). Rasulullah juga mengajarkan kepada Mu`adz sebuah doa agar diberi
20
kemudahan oleh Allah dalam mensyukuri nikmat-Nya.
Bersyukur tidak semata berhubungan dengan pemberian. Ajaran syukur juga
terkait dengan kehilangan atau tanpa adanya pemberian. Karena ketika Allah
tidak memberi hamba-Nya, hakikatnya yang demikian adalah pemberian-Nya.
Bersyukur atas pemberian yang disukai dianggap biasa, karena siapapun bisa
P

melakukan, baik Muslim, Yahudi, Nasrani, bahkan Majusi (Al-Jauziyah, 2003).


Ibnu al-Qayyim menyebutkan jenis syukur yang melebihi jenis pertama ini,
AU

yaitu mensyukuri apapun yang tidak disukai yang dialami. Manusia cenderung
tidak menyukai sakit, kematian, kehilangan. Tetapi, ketika seseorang mampu
menghadapi kondisi yang dibencinya itu dengan ridha, tidak mengeluh, dan
dengan tetap beradab, maka ia menjadi istimewa. Tipe ini tidak terpengaruh
keadaan dengan tetap bersyukur karena semua pengalaman hidupnya merupakan
karunia Allah. Syukur jenis ini menjadikan pelakunya menjadi orang pertama
yang dipanggil masuk surga (Al-Jauziyah, 2003).
Manfaat duniawi-materi dari syukur diungkap oleh Emmons (2007) yang
menyebutkan bahwa syukur berdampak pada imunitas tubuh yang kuat. Orang
yang terbiasa bersyukur merasakan kecilnya gangguan sakit dan nyeri, mengalami
penurunan tekanan darah, merasakan tidur yang nyenyak dan cenderung merasa
segar saat terbangun. Pribadi yang terbiasa bersyukur juga merasakan manfaat
psikologis, bahwa ia memiliki tingkat emosi positif yang tinggi, lebih waspada,

BAB 15_Urgensi Rehabilitasi Kesehatan Spiritual Pasca Serangan Covid-19 219


lebih terjaga, lebih bahagia dan optimis. Syukur juga menghadirkan manfaat
sosial, bahwa orang yang pandai bersyukur tidak merasakan kesepian atau
mengalami isolasi, karena ia terbiasa membantu, menyayangi, dan bermurah hati
kepada orang lain (Mahfud, 2014).

15.4 REHABILITASI KESEHATAN SPIRITUAL DENGAN IBADAH DAN DZIKIR


Ibadah adalah ketundukan yang dilandasi cinta yang sempurna kepada Allah
SWT. Hakikat ibadah tidak terbatas aktivitas ritual. Ibadah adalah istilah
yang merangkum apapun yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik perkataan
maupun perbuatan, lahiriah dan batiniah (Qardhawi, 1995; Al-Jauziyah, 2003).
Maka, shalat, puasa, zakat, haji, kejujuran, kedermawanan, kebajikan sosial,
dan pelestarian lingkungan adalah ibadah selama ditunaikan karena cinta Allah
dan tunduk kepada perintah-Nya. Bahkan aktivitas profesional digolongkan

21
dalam kategori ibadah bila memenuhi syarat-syarat: (1) halal; (2) dilandasi oleh
keikhlasan; (3) itqan (profesional); (4) ketaatan pada aturan-aturan Allah, tidak
berkhianat, tidak dhalim; (5) tidak membuat lupa kepada Allah dan ritual ibadah
20
(Qardhawi, 1995). Inilah ibadah dalam pengertian umum yang meliputi semua
aspek kehidupan.
Adapun ibadah dalam pengertian khusus berupa aktivitas tertentu yang
ditunaikan oleh mukallaf (orang yang baligh) dengan tata cara tertentu sebagai
bentuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Ibadah dalam pengertian
P

ini adalah aktivitas ritual seperti thaharah (bersuci), shalat, puasa, zakat, dan
haji. Berbagai jenis ibadah khusus ini ditunaikan sebagai wujud ketaatan
AU

hamba kepada Pencipta (Allah). Ritual ibadah merupakan nutrisi hati dan ruh
(Qardhawi, 1995) yang merupakan unsur penting penciptaan manusia. Hakikat
manusia tidak dilihat pada jasad dan fisiknya, melainkan hati dan ruhnya. Hati
manusia selalu membutuhkan Allah dalam dua hal, yaitu ibadah (mengabdi)
dan isti`anah (memohon pertolongan) (QS. Al-Fatihah: 5). Dua kebutuhan ini
merupakan fitrah yang dengannya manusia memperoleh ketenangan, kedamaian,
dan kebahagiaan. Meskipun manusia memperoleh segala kenikmatan duniawi,
tetapi ketika kebutuhan fitrahnya tidak terpenuhi, ketenangan, kedamaian, dan
kebahagian tidak akan dimilikinya (QS. Thaha:124), padahal kebutuhan spiritual
ini merupakan kunci kesehatan psikis yang menopang kesehatan fisiknya.
Shalat adalah ibadah istimewa (Qardhawi, 1995; Sayeed and Prakash, 2013).
Shalat merupakan kewajiban yang sangat kuat dituntut oleh Allah SWT dan
dilarang meninggalkannya, dalam kondisi apapun (Qardhawi, 1995; Jing, et al.,

220 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


2012). Shalat adalah tiang agama yang menjadi standar eksistensi keislaman
seorang muslim. Muslim yang menunaikan shalat berarti menegakkan agama yang
ada dalam dirinya, dan bagi yang meninggalkan shalat berarti menghancurkan
agama dalam dirinya. Shalat menjadi kunci surga dan ibadah pertama yang dihisab
kelak pada hari kiamat. Shalat diperintahkan oleh Allah kepada semua Nabi dan
umat-umat terdahulu (QS. Ibrahim:40; Thaha:14; Luqman:17; Maryam:31).
Perintah menunaikan shalat tidak dibatasi oleh kondisi tertentu, baik saat mukim
atau safar (bepergian), kondisi aman atau mencekam, situasi damai atau perang,
sehat atau sakit, shalat tetap dituntut agar ditunaikan.
Shalat dianggap sebagai telaga spiritual (Qardhawi, 1995; Al-Jauziyah, 2003).
Muslim bersuci dalam telaga shalat, membersihkan fisiknya dengan thaharah
(bersuci) (QS. Al-Maidah:6) sekaligus membersihkan hati dan akal pikirannya
(QS. Al-Taubah:108). Shalat tidak semata gerakan fisik dan ucapan doa oleh lisan,
tetapi shalat menuntut kesertaan fisik, akal, dan hati. Shalat yang mengandug

21
arti shilah (interaksi dan komunikasi) dengan Allah meniscayakan kesadaran hati,
fokusnya pikiran, dan keteraturan gerakan dalam rangka mengingat keagungan
Allah Swt. (QS. Thaha:14). Kata Ibnu Abbas, “Dua rakaat yang ditunaikan
20
dengan penuh kesadaran lebih baik dari pada shalat sepanjang malam tetapi
dengan hati yang lalai” (Qardhawi, 1995).
Shalat menjadi media kesehatan holistis, yaitu psikis dan fisik (Qardhawi,
1995; Al-Jauziyah, 2003; Reza, 2015; Saifuddin, 2019). Shalat membangun
budaya bersih melalui bersih badan, baju, dan tempat. Mandi dan wudhu
P

yang dilakukan guna membersihkan diri dari hadats besar dan kecil memberi
manfaat spiritual dan berguna bagi kebersihan badan terutama organ tubuh
AU

yang berpotensi sebagai pintu masuknya kuman dan virus. Shalat dengan tata
cara yang dicontohkan oleh Rasulullah menyerupai gerakan-gerakan senam
bermanfaat menguatkan otot dan fisik (Sayeed and Prakash, 2013). Kesehatan
spiritual dibangun melalui shalat sebagai bekal bagi muslim menghadapi
dinamika kehidupan yang kompleks. Rasulullah SAW memberi contoh, apabila
menghadapi masalah beliau menunaikan shalat (HR. Ahmad dan Abu Daud),
karena dengan shalat mukmin merasakan ketenangan dan rida kepada Allah.
Ketika bertakbir memulai shalat, mukmin merasakan kebesaran Allah melebihi
apapun dan siapapun yang membuatnya takut dan khawatir (Qardhawi, 1995).
Beberapa kajian empiris menyebutkan manfaat kesehatan dari shalat. Seperti
yang diungkap oleh Al-Kaheel beberapa manfaat shalat bagi kesehatan sebagai
berikut (Al-Kaheel, 2012):

BAB 15_Urgensi Rehabilitasi Kesehatan Spiritual Pasca Serangan Covid-19 221


1. Waktu shalat yang ditunaikan secara periodik pada saat yang telah ditetapkan
(QS. Al-Nisa`:103) menjadi regulator kehidupan dan proses fisiologis.
2. Shalat mengaktifkan sistem imun tubuh. Proses pemulihan dari penyakit pada
pasien yang menunaikan shalat dan dzikir lebih cepat. Hal ini dipengaruhi
oleh keyakinan, optimisme, ketenangan, kepastian psikologis, dan spiritual
yang mengarah pada aktivasi sistem kekebalan tubuh (Jing, et al., 2012; Sayeed
and Prakash, 2013; Saifuddin, 2019).
3. Ketika shalat ditunaikan dengan tepat, dengan gerakan-gerakan yang sempurna
akan memberi manfaat penguatan otot-otot (Jing, et al., 2012; Sayeed and
Prakash, 2013) perut, kaki, dan paha. Gerakan shalat mirip dengan olahraga
yang berguna untuk menghindari penyakit seperti osteoporosis dikarenakan
kurang bergerak. Berlutut dan sujud bermanfaat mengurangi tekanan darah
pada otak yang memungkinkan aliran darah kembali ke semua organ tubuh
(Al-Kaheel, 2012).

21
4. Shalat khusyu` akan membangun stabilitas emosional. Shalat mengajarkan
kekhusyukan, ketenangan, konsentrasi, kesabaran, dan kerendahan hati. Hal-
hal ini akan memengaruhi sistem saraf dan fungsi jantung dengan baik. Oleh
20
karena itu, ajaran Nabi menyebutkan bila seseorang sedang marah hendaklah
duduk atau berbaring, atau wudhu dan menunaikan shalat (Jing, et al., 2012;
Sayeed and Prakash, 2013; Saifuddin, 2019).

Sebagaimana shalat, puasa (shiyam) merupakan ibadah qadimah (klasik).


P

Penjelasan Al-Baqarah ayat 183, puasa adalah kewajiban umat Nabi Muhammad
Saw. dan umat sebelum mereka. Puasa terkesan sebagai amal pasif karena bersifat
AU

imsak (menahan diri) atau meninggalkan sesuatu, tetapi hakikat dan substansi
puasa merupakan amal ijabi (perbuatan aktif) dengan cara menahan diri dari
segala keinginan dengan niat taqarrub kepada Allah Swt. Niat menjadi pembeda
antara aktivitas meninggalkan atau melakukan sesuatu. Puasa yang diwajibkan
mengandung niat serta perbuatan tertentu. Sehingga puasa dalam ibadah berbeda
dengan praktik tidak makan atau minum tetapi dengan tujuan duniawi (diet),
bukan karena taqarrub kepada Allah.
Urgensi puasa bagi manusia diilustrasikan oleh Qardhawi bahwa tubuh
manusia ibarat rumah dan penghuninya adalah ruh. Jasad ibarat kendaraan
dan ruh sebagai penumpang. Rumah dan kendaraan diciptakan bukan untuk
ditelantarkan, tetapi untuk dihuni dan dikendarai (Qardhawi, 1995). Perhatian
kepada rumah dan kendaraan tetapi mengabaikan penghuni dan pengendaranya
merupakan sikap yang tidak bijak. Sikap mementingkan fisik tetapi mengabaikan

222 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


kebutuhan ruh-spiritual merupakan kelalaian. Puasa disyariatkan agar ruh dan
spirit manusia menjadi kuat dengan mengendalikan hawa nafsunya, dan fisik
menjadi sehat karena kebutuhan fisik dan spiritualnya terpenuhi dengan tepat.
Perut dianggap gudang penyakit. Segala keluhan sakit sumbernya adalah
pola makan yang tidak terkendali. Rasulullah SAW telah mengingatkan bahwa
pemenuhan kebutuhan fisik harus dilakukan secara proporsional: “… Apabila
ingin melebihkan, hendaknya sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk
minuman, dan sepertiga untuk bernapas” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad).
Bila perut sebagai sumber penyakit maka praktik menahan diri dan mengatur
pola serta waktu makan adalah obat. Riwayat dla`if (lemah) tetapi mengandung
makna yang benar menyebutkan ‘berpuasalah maka kalian akan sehat’. Banyak
penyakit yang memperoleh kesembuhan melalui ikhtiar dan terapi puasa.
Sue Pedersen, Spesialis Endokrinologi dan Metabolisme, di awal 2020
menulis kolom Is 2020 The Year of Intermittent Fasting? Kata Pedersen, intermittent

21
fasting mendapat perhatian luas oleh berbagai media global. Intermittent fasting
dikenal dengan istilah diet puasa. Di mana seseorang mengatur pola makan
dengan cara berpuasa dalam tempo waktu tertentu. Al-Kaheel (2020) berpendapat
20
intermittent fasting disebut al-shiyam al-mutaqatthi`ah, di mana seseorang berpuasa
selama 16 jam dalam sehari. Puasa mampu mengubah proses metabolisme energi.
Tanpa puasa, tubuh mengandalkan asupan karbohidrat sebagai sumber energi,
tetapi selama berpuasa sumber energi itu digantikan oleh lemak dan protein.
Perubahan metabolisme energi bermanfaat dalam pengurangan risiko beragam
P

penyakit, diantaranya adalah obesitas hingga kanker. Al-Kaheel menyebutkan


beberapa hasil penelitian bahwa puasa memberi manfaat bagi kesehatan berupa
AU

mengurangi risiko penyakit-penyakit berikut, yaitu: diabetes, gangguan


metabolisme, jantung, tekanan darah, kadar kolesterol, kontrol kadar gula darah,
peradangan, meningkatkan fungsi otak dan memori, serta mengurangi stres (de
Cabo and Mattson, 2019; Mattson, 2019).
Bagaimana puasa mengurangi risiko infeksi Covid-19? Johan Giesecke
menyatakan bagi orang yang sehat tidak ditemukan bukti bahwa puasa
meningkatkan risiko tertular Covid-19. Bahkan sebaliknya, risiko tertular Covid-
19 berkurang ketika seseorang berpuasa. Pakar Epidemiologi Institut Karolinska
Swedia itu beralasan bahwa tenggorokan yang kering merupakan lingkungan
yang tidak kondusif bagi inkubasi virus Corona. Justru kelembapan tenggorokan
merupakan media yang tepat bagi selaput lendir virus Corona (Giesecke, 2020).
Tetapi Giesecke menyarankan sebagaimana saran banyak dokter agar masyarakat
sering membersihkan mulut, lobang hidung, wajah, tangan, dan anggota badan

BAB 15_Urgensi Rehabilitasi Kesehatan Spiritual Pasca Serangan Covid-19 223


lainnya guna mencegah Covid-19. Bagi Al-Kaheel, saran ini mirip dengan praktik
wudhu yang diajarkan oleh Islam.
Apakah orang yang sakit mendapat manfaat dengan berpuasa? Biasanya
orang yang sakit mengalami kehilangan selera makan. Hal ini merupakan
peristiwa alami dan natural sebagai reaksi spontan yang menunjukkan bahwa
tubuh membutuhkan puasa di saat sakit. Beberapa eksperimen menunjukkan
bahwa terdapat beberapa penyakit dapat disembuhkan dengan praktik puasa
(Wang, et al., 2016). Adapun penderita penyakit serius dan kronis serta penderita
Covid-19 (yang parah) membutuhkan asupan air hangat dan seandainya berpuasa
harus dalam pengawasan dokter. Tetapi, terhadap mereka Allah memberikan
rukhshah (dispensasi) untuk tidak berpuasa (QS. Al-Baqarah: 185).
Penelitian empiris lain menunjukkan hasil bahwa berpuasa merupakan upaya
terbaik dalam meregenerasi sistem kekebalan tubuh manusia, dan membuatnya
lebih kuat dan lebih efisien (Brandhorst, et al., 2015). Ketika sel-sel tubuh lapar,

21
ia menjadi lebih tahan stres dan tahan lama. Ketika seseorang berpuasa selama
tiga hari, maka tubuh akan memberikan sinyal untuk meregenerasi sel induk,
salah satu sel yang paling penting dalam tubuh. Sistem kekebalan tubuh yang
20
lengkap dibangun hanya dalam tiga hari, dan selama tiga hari ini bagian-bagian
sistem lama yang rusak dihilangkan, dan sistem kekebalan tubuh diproduksi lebih
mampu membedakan virus dan mengalahkannya (Brandhorst, et al., 2015; Al-
Kaheel, 2020). Temuan-temuan empiris ini menguatkan pernyataan hadits Nabi
Saw yang menyebutkan bahwa ‘al-shiyamu junnah’, puasa adalah perisai (HR. Ibnu
P

Hibban). Puasa merupakan pelindung manusia dari neraka kelak di akhirat, dan
pelindung dari beragam penyakit di dunia. Rasulullah Saw. memerintahkan puasa
AU

tiga hari setiap bulannya. Rasulullah Saw. memberi isyarat untuk memperbarui
sistem kekebalan tubuh setiap bulan, sehingga sistem ini tetap kuat dan mampu
menghadapi epidemi atau penyakit apapun.
Infak merupakan ibadah maaliyah (harta) yang memiliki keutamaan luar
biasa (Qardhawi, 1995). Allah Swt. memerintahkan manusia untuk menginfakkan
sebagian rezeki mereka. Infak atau sedekah harta ini sebagai bentuk pengabdian
dan sarana untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah. Orang-orang yang
berinfak dekat dengan Allah, dekat dengan sesama, dekat dengan surga dan jauh
dari neraka. Sedangkan orang-orang yang pelit dan enggan berinfak, mereka jauh
dari Allah, jauh dari sesama, jauh dari surga dan dekat dengan neraka. Sedekah
menjadi bukti kebenaran iman, bahkan orang beriman dicirikan dengan infaknya
serta kesungguhan mereka dalam bekerja dengan niat agar mampu berinfak
(QS. Al-Mukminun: 4) (Sya`rawi, 1991). Sedekah merupakan implementasi

224 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


syukur manusia atas nikmat yang dianugerahkan oleh Allah, sekaligus pintu bagi
bertambahnya nikmat. Sedekah menghapus dosa dan jalan selamat dari ancaman
siksa akhirat. Sedekah membersihkan harta dan menambah keberkahannya.
Sedekah melembutkan hati dan mengikis cinta dan ketergantungan yang berlebih
kepada harta.
Al-Baqarah ayat 261-274 (sekitar 3 halaman) membahas infak (sedekah)
secara khusus. Dalam rangkaian ayat-ayat itu, terdapat satu manfaat sedekah yang
disebut dua kali, yaitu orang yang bersedekah tidak takut dan tidak sedih (QS.
Al-Baqarah:262, 274). Orang yang bersedekah itu bahagia. Pernyataan Al-Qur`an
ini dibuktikan oleh beberapa ilmuwan sebagaimana diulas oleh bbcarabic.com pada
rubrik sains dan teknologi tentang hubungan antara donasi dan kebahagiaan.
Beberapa peneliti dari Kanada menyebutkan bahwa memperoleh harta dalam
jumlah besar bukanlah sumber bahagia. Akan tetapi, kebahagiaan diperoleh
melalui donasi harta kepada orang lain. Penilitian empiris yang membandingkan

21
antara membelanjakan harta untuk keperluan pribadi dengan mendonasikan
harta bagi orang lain menunjukkan bahwa orang yang berdonasi memperoleh
kebahagiaan lebih besar dibanding dengan belanja untuk kepentingan diri sendiri
20
(Dunn, Aknin and Norton, 2008).

15.5 REHABILITASI KESEHATAN SPIRITUAL DENGAN HARMONISASI


HUBUNGAN SOSIAL
P

Allah Swt. itu ‘Afuwwun Ghafur, Maha Pemaaf dan Maha Pengampun. Allah
SWT mengampuni dan memaafkan dosa dan kesalahan hamba-hamba-Nya.
AU

Berapapun besar dosa dan kesalahan hamba-Nya, Allah mengampuninya (HR.


Tirmidzi). Allah mengabarkan bahwa Nabinya hadir di muka bumi dengan sifat
pemaaf dan kasih sayang, bukan untuk menakut-nakuti (QS. Al-Maidah:15).
Rasulullah Saw selalu membalas keburukan orang lain dengan pemaafan dan
kebaikan. Ketika berhasil menaklukkan Kota Mekah, tak ada dendam di
hati beliau, bahkan memaaf kan masa lalu yang pernah dialami. Allah juga
memerintahkan hamba-Nya agar gemar memaafkan sesama, bahkan menjadikan
sikap memaafkan sesama sebagai syarat agar mendapat ampunan dan maaf-Nya
(QS. Al-Nur:22).
Beberapa penelitian empiris menemukan bahwa orang yang terbiasa
memaafkan orang lain menderita lebih sedikit penyakit dibanding pemarah,
pendendam, dan yang sulit melupakan kesalahan orang lain. Kemarahan
adalah emosi negatif dapat menyebabkan kerusakan fisik dan mental (Hazarika

BAB 15_Urgensi Rehabilitasi Kesehatan Spiritual Pasca Serangan Covid-19 225


and Boruah, 2020). Penelitian lain yang dikutip oleh Hazarika dan Boruah
menyebutkan bahwa kemarahan dan dendam menyebabkan peningkatan risiko
masalah jantung karena peningkatan detak jantung dan adrenalin yang dialami
selama masa kemarahan sangat ekstrem. Ekspresi kemarahan pada anak-anak
menyebabkan peningkatan tekanan darah, gejala psikosomatik, kesehatan yang
buruk, depresi, agresi dan masalah eksternalisasi. Karena itu penelitian lain
menyarankan bahwa menjadi pemaaf merupakan terapi dan pengobatan untuk
mengatasi stres, frustasi, dan emosi negatif yang disebabkan oleh gangguan
fibromyalgia dan kelelahan kronis. Karena penyakit kronis, fibromyalgia dan
kelelahan kronis sering mengakibatkan sejumlah emosi negatif termasuk,
kemarahan, stres, ketakutan, dan depresi (Toussaint, et al., 2010). Al-Kaheel
mengutip temuan peneliti lain bahwa sikap memaafkan mengaktifkan sistem
kekebalan tubuh pada manusia. Karena ketika seseorang marah, organ-organ
tubuh waspada seolah menghadapi ancaman, tubuh melepaskan hormon, tekanan

21
darah naik, percernaan terganggu, sistem saraf menjadi tegang dan mudah lelah,
pernapasan menyempit dan otot-otot menjadi tegang. Tetapi, dengan memaafkan
dan mengampuni, ketegangan menjadi hilang, organ tubuh menjadi tenang dan
20
sistem kekebalan tubuh berfungsi secara normal (Al-Kaheel, 2010).
Penelitian-penelitian ini menguatkan pesan Rasulullah yang disampikan
berulang-ulang, “Janganlah marah” (HR. Al-Bukhari), dan menganjurkan agar
sedekah, memaafkan, dan membuang ego dengan tawadhu (kerendahan diri).
Rasulullah SAW bersabda, “Sedekah tidak mengurangi harta. Pemberi maaf
P

ditambah kemuliaannya oleh Allah. Orang yang tawadhu` diangkat derajatnya


oleh Allah” (HR. Muslim).
AU

Elemen-elemen kesehatan spiritual beserta instrumennya ini dapat


disederhanakan dalam tabel berikut:

Tabel 15.1 Elemen dan Instrumen Kesehatan Spiritual

Elemen Spiritual Instrumen Amal


Berbaik sangka kepada Allah
Tawakal
Iman & Keyakinan
Hati Sabar
Jiwa Syukur
Akal Shalat
Ruh Ibadah & Dzikir Puasa
Sedekah
Sosial Memaafkan orang lain

226 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


15.6 URGENSI REHABILITASI KESEHATAN SPIRITUAL
Implementasi konsep kesehatan holistis masih terbatas. Sistem kesehatan dan
perawatan belum sepenuhnya mengadopsi konsep ini. Kendatipun urgensi
integrasi kesehatan spiritual sebagai upaya pengobatan holistis telah diakui,
tetapi belum menjadi bagian integral dalam proses rehabilitasi pasien. Skala
penerapan konsep kesehatan spiritual terbatas dalam ruang lingkup penyakit
kronis, perawatan lansia, perawatan paliatif, dan perawatan pasien yang rentan
kematian. Pandemi Covid-19 menghadirkan suasana kecemasan dan ketakutan,
rasa sakit, keterasingan, dan perasaan dekat dengan kematian. Risiko-risiko ini
tidak hanya dirasakan oleh pasien, tetapi dialami juga oleh tenaga kesehatan,
keluarga pasien bahkan masyarakat. Situasi kekinian Covid-19 menjadikan
manajemen krisis semakin sulit mengingat sifat virus terus berkembang,
keberadaan vaksin yang masih diragukan, keterbatasan obat-obatan dan pusat-

21
pusat layanan rehabilitasi. Konsekuensi emosional, sosial, dan ekonomi dari
pandemi ini menggiring kehidupan memasuki situasi yang lebih kompleks.
Kompleksitas dampak Covid-19 ini menghendaki kehadiran sistem layanan
kesehatan holistis. Pasien membutuhkan terapi spiritual, demikian juga dengan
20
tenaga kesehatan dan medis, keluarga pasien, dan masyarakat. Kebutuhan ini
tidak sebatas masa-masa rehabilitasi, tetapi kesehatan spiritual diperlukan sebagai
upaya preventif, kuratif dan promotif. Kehadiran sistem kesehatan holistis yang
menyertakan kesehatan spiritual ini diperlukan dengan beberapa konsideran
P

(alasan) berikut:
Pertama, inti spiritulitas adalah pengabdian kepada Allah. Pengabdian
AU

ini diwajibkan kepada manusia dan bersifat integral. Pengabdian kepada


Allah mengharuskan keterlibatan hati, jiwa, akal, ruh, fisik, bahkan harta dan
kekayaan. Keterlibatan semua unsur (material-spiritual) manusia ini merupakan
implementasi dari ikrar hidupnya, “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan
matiku adalah untuk Allah, Tuhan semesta alam” (QS. Al-An`am:162).
Kedua, manusia membutuhkan kedamaian, ketenangan, kebahagian hidup
guna menunjang kualitas hidupnya. Kualitas kehidupan meliputi aspek spiritual
dan material mengingat eksistensi manusia sebagai makhluk holistis yang tersusun
dari unsur spiritual dan material di mana keduanya memiliki kebutuhan yang
harus dipenuhi.
Ketiga, secara strategis, penelitian-penelitian empiris membuktikan
bahwa kesehatan spiritual menjadi penopang sistem kekebalan tubuh yang
mampu menghindarkan manusia dan serangan beragam penyakit. Demikian

BAB 15_Urgensi Rehabilitasi Kesehatan Spiritual Pasca Serangan Covid-19 227


pula kesehatan spiritual sangat penting bagi kesehatan pada tahapan-tahapan
preventif, kuratif dan rehabilitasi.
Keempat, profesi sebagai tenaga kesehatan tidak semata berdimensi material,
tetapi profesi merupakan sarana dakwah, mengajak pasien untuk menaati Allah
SWT. Biasanya kondisi sakit dan sulit menjadi pintu bagi kesadaran manusia
untuk kembali kepada Tuhannya. Tenaga kesehatan memiliki kesempatan emas
untuk membangun kesehatan spiritual pasien melalui ajakan beriman, ibadah,
dzikir, dan sedekah, serta memaafkan kesalahan keluarga dan orang lain.

15.7 RINGKASAN DAN REKOMENDASI


Rehabilitasi kesehatan spiritual merupakan unsur penting dalam konsep kesehatan
holistis. Kesehatan spiritual yang melibatkan hati, jiwa, akal, dan ruh dibangun
melalui instrumen iman-keyakinan, ibadah, dan sosial. Manfaat-manfaat amal-

21
amal ritual dan sosial bagi kesehatan spiritual secara normatif maupun dibuktikan
oleh penelitian-penelitian empiris mendesak diimplementasikan. Rehabilitasi
penderita Covid-19 menjadi salah ruang yang patut dipertimbangkan sebagai
20
area implementasi kesehatan holistis dengan mengedepankan kesehatan spiritual.
Bahkan kesehatan spiritual tidak hanya penting pada tahapan rehabilitasi pasien
Covid-19, melainkan pada semua tahapan, yaitu preventif, kuratif, rehabilitasi,
bahkan promotif.
Tulisan ini merekomendasikan implementasi kesehatan holistis khususnya
P

kesehatan spiritual seperti menjadikan konsep kesehatan holistis sebagai materi


kurikulum pendidikan kesehatan dan kedokteran; mengimplementasikan
AU

rehabilitasi kesehatan spiritual bagi penderita Covid-19; menjadikan kesehatan


spiritual sebagai langkah taktis menghadapi Covid-19 dalam tahapan preventif,
kuratif dan promotif, tidak hanya mencuci tangan, masker, jaga jarak, olah raga,
dan upaya material lainnya; dan menyediakan sarana penunjang kegiatan spiritual
di ruangan-ruangan perawatan. Seperti, audio untuk memperdengarkan ayat-ayat
suci dan dzikir-dzikir pagi dan sore.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Jauziyah, I. al-Q. 2003. Madarij al-Salikin baina al-Manazil Iyyaka Na`budu wa
Iyyaka Nasta`inu. 7th edn. Edited by M. al-M. B. Al-Baghdadi. Beirut: Dar
al-Kitab al-Araby. Available at: https://ia800902.us.archive.org/1/items/
WAQ140248/02_140247.pdf.

228 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


Al-Kaheel, A. 2010. . Available at: http://
kaheel7.com/pdetails.php?id=1308&ft=38 (Accessed: 15 December 2020).
Al-Kaheel, A. 2012. . Available at: http://www.
kaheel7.com/ar/index.php/2012-12-04-18-34-25/127-2010-03-19-02-25-34
(Accessed: 14 December 2020).
Al-Kaheel, A. 2020. . Available at: http://albasrah.net/ar_
articles_2020/0520/abdul_250520.htm (Accessed: 14 December 2020).
Asadi, M., Asadzandi, M. and Ebadi, A. 2014. Effects of Spiritual Care Based on Ghalb
Salim Nursing Model in Reducing Anxiety of Patients Undergoing CABG
Surgery. Iran J Crit Care Nurs, 7(3):142–151.
Asadzandi, M. 2019. Characteristics of Sound Heart Owners as Islamic Spiritual Health
Indicators. Journal of Community Medicine & Health Care, 4(1):1–4. doi: 10.26420/
intjnutrsci.2019.1032.
Asadzandi, M. 2020. An Islamic Religious Spiritual Health Training Model for Patients.
Journal of Religion and Health, 59(1):173–187. doi: 10.1007/s10943-018-0709-9.

21
Awaad, R. and Ali, S. 2015. Obsessional Disorders in al-Balkhi’s 9th Century Treatise:
Sustenance of the Body and Soul. Journal of Affective Disorders, 180:185–189. doi:
10.1016/j.jad.2015.03.003.
Brandhorst, S. et al. 2015. A Periodic Diet that Mimics Fasting Promotes Multi-
20
System Regeneration, Enhanced Cognitive Performance, and Healthspan. Cell
Metabolism, 22(1):86–99. doi: 10.1016/j.cmet.2015.05.012.
de Cabo, R. and Mattson, M. P. 2019. Effects of Intermittent Fasting on Health, Aging,
and Disease. New England Journal of Medicine, 381(26):2541–2551. doi: 10.1056/
nejmra1905136.
P

Deuraseh, N. and Talib, M. A. 2005. Mental Health in Islamic Medical Tradition. The
International Medical Journal, 4(2):76–79. Available at: https://d1wqtxts1xzle7.
AU

cloudfront.net/7782242/vol4-no2-h2.pdf?1327272366=&response-content-dis
position=inline%3B+filename%3DMental_health_in_Islamic_medical_traditi.
pdf&Expires=1606278605&Signature=I0QM7yw1Dfw39uCA7HWBLTM4
AaM6OCWhZdzUM2zTB5SnkfxxLlMkCp-cf.
Drummond, D. A. and Carey, L. B. 2020. Chaplaincy and Spiritual Care Response to
Covid-19: An Australian Case Study – The McKellar Centre. Health and Social
Care Chaplaincy, 8(2):165–179. doi: 10.1558/hscc.41243.
Dunn, E. W., Aknin, L. B. and Norton, M. I. 2008. Spending Money on Others Promotes
Happiness. Science, 319(5870):1687–1688. doi: 10.1126/science.1150952.
Emmons, R. A. 2007. Thanks!: How the New Science of Gratitude Can Make You Happier
- Robert A. Emmons - Google Buku. Boston-NewYork: Houghton Miff lin
Company. Available at: https://books.google.co.id/books/about/Thanks.
html?id=tGCcH2l4jUUC&redir_esc=y (Accessed: 13 December 2020).
Ernadewita, E. and Rosdialena. 2019. Sabar sebagai Terapi Kesehatan Mental’, Jurnal
Kajian dan Pengembangan Umat, 3(1):45-65. Available at: http://jurnal.umsb.

BAB 15_Urgensi Rehabilitasi Kesehatan Spiritual Pasca Serangan Covid-19 229


ac.id/index.php/ummatanwasathan/article/view/1914 (Accessed: 12 December
2020).
Ferrell, B. R. et al. 2020. The Urgency of Spiritual Care: Covid-19 and the Critical
Need for Whole-Person Palliation. Journal of Pain and Symptom Management,
60(3):e7–e11. doi: 10.1016/j.jpainsymman.2020.06.034.
Gardner, T. M., Krägeloh, C. U. and Henning, M. A. 2014. Religious Coping, Stress, and
Quality of Life of Muslim University Students in New Zealand. Mental Health,
Religion and Culture, 17(4):327–338. doi: 10.1080/13674676.2013.804044.
Giesecke, J. (2020) ‘’, - Radio
Sweden Arabic - | Sveriges Radio. Available at: https://sverigesradio.
se/artikel/7457847 (Accessed: 14 December 2020).
Hazarika, K. and Boruah, A. S. 2020. Causes of Anger and its Influence on Physical
and Mental Health of the Working Women with Special Reference to Cotton
University of Assam. International Journal of Advanced Research in Science,
Communication and Technology (IJARSCT), 11(2):48–62. doi: 10.48175/603.

21
Istianah, L. and Wati, I. R. 2020. Pengobatan Kanker dengan Metode Spiritual Religion
Zikir Technique (SRZT). Jurnal Studi Keperawatan, 1(2):10–11. Available at:
http://ejournal.poltekkes-smg.ac.id/ojs/index.php/J-SiKep (Accessed: 21
December 2020).
20
Jing, W. et al. 2012. The Influence of Relaxation with Electromyography and Islamic
Prayer Programs for Female Muslim. International Journal of the Physical Sciences,
7(22):2897–2904. doi: 10.5897/ijps11.1671.
Jumala, N. and Abubakar. 2019. Internalisasi Nilai-nilai Spiritual Islami dalam Kegiatan
Pendidikan. Journal of Scientific Information and Educational Creativity Jurnal
P

Serambi Ilmu, 20(1):160–173. Available at: http://ojs.serambimekkah.ac.id/


serambi-ilmu/article/view/1000 (Accessed: 21 December 2020).
AU

Koenig, H. G. 2020. Maintaining Health and Well-Being by Putting Faith into Action
During the COVID-19 Pandemic. Journal of Religion and Health, 59:2205–2214.
doi: 10.1007/s10943-020-01035-2.
Mahfud, C. 2014. The Power of Syukur: Tafsir Kontekstual Konsep Syukur dalam
al-Qur’an’, Epistemé: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman, 9(2):377–400. doi:
10.21274/epis.2014.9.2.377-400.
Marhaban, M. 2018. Konsep Qur`ani dalam Pemikiran Tasawuf Ibnu Qayim Al-
Jauziyah’, Jurnal At-Tibyan: Jurnal Ilmu Al-Quran dan Tafsir, 3(1):141–153. doi:
10.32505/tibyan.v3i1.482.
Mattson, M. 2019. Intermittent fasting: Live ‘ fast,’ live longer?, Science Daily. Available at:
https://www.sciencedaily.com/releases/2019/12/191226084351.htm (Accessed:
14 December 2020).
Murshed, S. M. 2020. Capitalism and Covid-19: Crisis at the Crossroads. Peace Economics,
Peace Science and Public Policy, 26(3):1-8. doi: 10.1515/peps-2020-0026.

230 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


Nicola, M. et al. 2020. The socio-economic implications of the coronavirus pandemic
(Covid-19): A review. International Journal of Surgery, 78:185–193. doi: 10.1016/j.
ijsu.2020.04.018.
Nuraeni, A. et al. 2015. Kebutuhan Spiritual pada Pasien Kanker. Jurnal Keperawatan
Padjadjaran, 3(2):57–66. doi: 10.24198/jkp.v3i2.101.
Prasetyo, A. 2016. Aspek Spiritualitas sebagai Eelemen Penting dalam Kesehatan
Spiritual’, Jurnal Kesehatan Al-Irsyad (JKA), 9(1): 18–24. Available at: http://
stikesalirsyadclp.ac.id/jka/index.php/jka/article/view/38 (Accessed: 23 November
2020).
Qardhawi, Y. 1995. Al-Ibadah fi al-Islam. 24th edn. Cairo: Maktabah Wahbah.
Available at: https://ia801206.us.archive.org/11/items/qaradawi.net/038
.pdf.
Rassool, G. H. 2000. The Crescent and Islam: Healing, Nursing and The Spiritual
Dimension Some Considerations Towards an Understanding of The Islamic
Perspectives on Caring. Journal of Advanced Nursing, 32(6):1476–1484. doi:

21
10.1046/j.1365-2648.2000.01614.x.
Reza, I. F. 2015. Efektivitas Pelaksanaan Ibadah dalam Upaya Mencapai Kesehatan
Mental’, Psikik-Jurnal Psikologi Islami, 1(1):105–115. Available at: http://jurnal.
radenfatah.ac.id/index.php/psikis/article/view/561/499 (Accessed: 13 December
20
2020).
Roman, N. V., Mthembu, T. G. and Hoosen, M. 2020. Spiritual Care-’A Deeper
Immunity’-A Response to Covid-19 Pandemic’, African Journal of Primary Health
Care and Family Medicine, 12(1):1–3. doi: 10.4102/PHCFM.V12I1.2456.
Rusydi, A. 2012. Husn Al-Zhann: Konsep Berpikir Positif dalam Perspektif Psikologi
P

Islam dan Manfaatnya bagi Kesehatan Mental. Mental Proyeksi, 7(1):1–31.


Available at: https://d1wqtxts1xzle7.cloudfront.net/33893913/711rusydi.
AU

pdf?1402165039=&response-content-disposition=inline%3B+filename%3D711
rusydi.pdf&Expires=1607244412&Signature=Zb8x7Fa5lqHf UOXmscNtQ8A
xvn5S~p9r78Dv5vnb6RGILtPUv0SWXiGCXxwU2E91q1ynIQPp~6jkD7E0
asFxgVhVp (Accessed: 6 December 2020).
Saifuddin, W. A. 2019. Ibadah dan Kesehatan dalam Perspektif Islam dan Sains (Worship
and Health in Islamic and Science Perspective). Rausyan Fikr, 15(2):105–120.
Available at: https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=3554476.
Sari, D. M. P. et al. 2018. Kualitas Hidup Lansia ditinjau dari Sabar dan Dukungan
Sosial. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, 6(2):131. doi: 10.22219/jipt.v6i2.5341.
Sastra, L. 2019. Hubungan Kesehatan Spriritual dengan Kualitas Hidup Orang dengan
HIV/AIDS di Yayasan Lantera Minangkabau Support Padang. Jurnal Kesehatan
Mercusuar, 2(2). doi: 10.36984/jkm.v2i2.62.
Sayeed, S. A. and Prakash, A. 2013. The Islamic prayer (Salah/Namaaz) and yoga
togetherness in mental health. Indian Journal of Psychiatry. 55(6):224-230. Wolters
Kluwer -- Medknow Publications, p. S224. doi: 10.4103/0019-5545.105537.

BAB 15_Urgensi Rehabilitasi Kesehatan Spiritual Pasca Serangan Covid-19 231


Subandi. 2011. Sabar: Sebuah Konsep Psikologi. Jurnal Psikologi, 38(2):215–227. Available
at: https://repository.ugm.ac.id/97117/1/sabar sebuah konsep psikologi.pdf
(Accessed: 12 December 2020).
Sudi, S., Sham, F. M. and Yama, P. 2017. Spiritual di dalam Al-Quran: Konsep dan
Konstruk, Al-Irsyad: Journal of Islamic and Contemporary Issues. Available at: http://
al-irsyad.kuis.edu.my/index.php/alirsyad/article/view/26 (Accessed: 21 December
2020).
Sya`rawi, M. M. 1991. Tafsir al-Sya`rawi. Cairo: Akhbar al-Yaum.
Toussaint, L. et al. 2010. Implications of forgiveness enhancement in patients with
fibromyalgia and chronic fatigue syndrome. Journal of Health Care Chaplaincy,
16(3–4):123–139. doi: 10.1080/08854726.2010.492713.
Uyun, Q., Kurniawan, I. N. and Jaufalaily, N. 2019. Repentance and seeking
forgiveness: the effects of spiritual therapy based on Islamic tenets to improve
mental health’, Mental Health, Religion and Culture, 22(2):185–194. doi:
10.1080/13674676.2018.1514593.

21
Wang, A. et al. 2016. Opposing Effects of Fasting Metabolism on Tissue Tolerance in
Bacterial and Viral Inf lammation. Cell, 166(6):1512-1525.e12. doi: 10.1016/j.
cell.2016.07.026.
20
P
AU

232 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


TIM PENYUSUN BUKU

EDITOR

21
DR. Dr. Sutrisno, SpOG.K sebagai editor buku dan penulis
pada bab Gejala Sisa Pasca Serangan Akut Covid-19. Beliau lahir
di Blora, 3 Februari 1968. Saat ini beliau menjabat sebagai ketua
IDI Wilayah Jawa Timur, ketua Badan Pengawas Rumah Sakit
20
(BPRS) Propinsi Jawa Timur, ketua POGI Cabang Malang
dan pengajar di Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya.
P

DR. Dr. Andrianto, SpJP.K, FIHA, FAsCC sebagai editor


buku dan penulis pada bab Prevensi dan Rehabilitasi Gangguan
AU

Kardiovaskular Pasca Serangan Covid-19. Beliau lahir di


Tulungagung, 26 Maret 1969. Saat ini beliau menjabat sebagai
Ketua Program Studi Jantung dan pembuluh darah FK Unair
dan dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah (Konsultan)
RSUD Dr. Soetomo.

DR. Dr. Rita Vivera Pane, SpKFR.K, FIPP sebagai editor


buku dan penulis pada bab Rehabilitasi Medik Pasca Serangan
Covid-19, Apakah Diperlukan? dan Rehabiltiasi Medik Nyeri
Paska Serangan Covid-19. Beliau lahir di P. Siantar, 26 Oktober
1964. Saat ini beliau menjabat sebagai Ketua PERDOSRI
Jatim 2020-2023, dokter di RSU Haji Surabaya dan dosen FK
UNUSA.

233
KONTRIBUTOR
DR. Dr. Meisy Andriana, SpFKR.KNM sebagai penulis
pada bab Rehabilitasi Stroke dengan Covid-19. Beliau lahir
di Surabaya, 1 Mei 1960. Saat ini beliau merupakan Kepala
Departemen/ KSM Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabiltiasi FK
Unair/RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

DR. Dr. Sri Mardijati Mei Wulan, SpFKR.K sebagai penulis


pada bab Tatalaksana KFR Pada Anak Pasca Serangan Covid-
19. Beliau lahir di Klaten, 1 Mei 1956. Saat ini beliau merupakan
Staf KSM Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabiltiasi FK Unair/
RSUD Dr. Soetomo.

21
Dr. Holipah, Ph.D sebagai penulis pada bab Tinjauan
Epidemiologi Gejala Sisa Pasca Serangan Covid-19. Beliau lahir
20
di Balikpapan, 4 Juni 1986. Saat ini beliau merupakan dosen di
Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya.
P

DR. Dr. Meity Ardiana, SpJP.K sebagai penulis pada bab


AU

Prevensi dan Rehabilitasi Gangguan Kardiovaskular Pasca


Seragnan Covid-19. Beliau lahir di Surabaya, 3 Mei 1977. Saat
ini beliau merupakan Staf Medis Departemen/SMF Kardiologi
dan Kedokteran Vaskular FK Unair dan RSUD Dr. Soetomo.

Dr. Mochammad Ridwan, SpKFR, K-MS sebagai penulis pada


bab Guideline Rehabilitasi Medik Pasca Serangan Covid-19.
Beliau lahir di Surabaya, 1 Juni 1956. Saat ini beliau merupakan
Staf Medis RSUD Dr. Saiful Anwar Malang.

234 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19


Dr. Nunung Nugroho, SpKFR, M.Kes sebagai penulis
pada bab Rehabilitasi Medik Pasca Ventilator Pada Penderita
Covid-19. Beliau lahir di Jakarta, 12 Juni 1964. Saat ini beliau
merupakan Staf Medis Rumah Sakit PHC Surabaya dan Kepala
Departemen Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi FK Universitas
Katolik Widya Mandala Surabaya.

Dr. Nuniek Nugraheni Sulistawaty, SpKFR-K sebagai penulis


pada bab Rehabilitasi Medik Sistem Respirasi Pasca Serangan
COVID-19 Pada Usia Lanjut. Beliau lahir di Lamongan, 20
Desember 1960. Saat ini beliau menjabat sebagai Kepala Instalasi
Rehabilitasi Medik RSUD Dr. Soetomo Surabaya

21
Dr. Dewi Poerwandari, SpKFR.K sebagai penulis pada bab
Rehabilitasi Kardiorespirasi Pasca Serangan Covid 19 Pada Usia
Muda. Beliau lahir di Jogjakarta, 12 September 1968. Saat ini
20
beliau merupakan Staf SMF Rehabilitasi Medik RSUD Dr.
Soetomo Surabaya.

Dr. Nur Sulastri, SpKFR sebagai penulis pada bab Rehabilitasi


P

Kardiorespirasi Pasca Serangan Covid 19 Pada Usia Muda.


Beliau lahir di Surabaya, 14 November 1982. Saat ini beliau
AU

merupakan PNS di Rumah Sakit Universitas Airlangga.

Dr. Inggar Narasinta, SpKFR sebagai penulis pada bab


Rehabilitasi Kardiorespirasi Pasca Serangan Covid 19 Pada
Usia Muda. Beliau lahir di Kediri, 12 April 1985. Saat ini beliau
merupakan Staf Medis RSUD Dr Soetomo Surabaya.

Tim Penyusun Buku 235


Dr. Nur Khozin, SpKFR sebagai penulis pada bab Rehabilitasi
Medik Pasca Perawatan Covid-19 di Rumah. Beliau lahir
di Lamongan, 29 Agustus 1973. Saat ini beliau merupakan
KaSMF Rehabilitasi medik RSUD Bhakti Dharma Husada,
Wakil Ketua II PERDOSRI Jatim.

Dr. Suroso Agus Widodo, SpKFR sebagai penulis pada bab


Akfititas Fisik Selama Isolasi. Beliau lahir di Magetan, 18
Juni 1971. Saat ini beliau merupakan Kepala SMF Rehabilitasi
Medik RSUD Dr. Soeroto Ngawi.

21
Dr. Royke Tony Kalalo, SpKJ.K, FISCM sebagai penulis pada
bab Rehabilitasi Kesehatan Mental Pasca Serangan Covid-19.
Beliau lahir di Balikpapan, 23 Januari 1978. Saat ini menjadi staf
20
pengajar di Departemen/SMF Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr.Soetomo
Surabaya. Beliau adalah Psikiater Konsultan Psikiatri Anak
dan Remaja, juga anggota Divisi Psikiatri Biologi & Neurosains
serta Divisi Psikoterapi.
P

DR. Ahmad Djalaludin, Lc., MA sebagai penulis pada bab


AU

Urgensi Rehabilitasi Kesehatan Spiritual Pasca Serangan


Covid-19. Beliau lahir di Sidoarjo, 19 Juli 1973. Saat ini beliau
merupakan Dosen Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim
Malang dan Ketua Program Magister Ekonommi Syariah.

Dr. Steven Christian Susianto sebagai tim penyusun buku.


Beliau lahir di Surabaya, 4 Mei 1994. Saat ini beliau merupakan
tim mitigasi Satgas Covid-19 IDI Wilayah Jawa Timur.

236 Rehabilitasi Medik Pasca Menderita Covid-19

Anda mungkin juga menyukai