Soal bagaimana mendapatkan anak berkulit putih pun dijelaskan, seperti pada buku.
"Adapun untuk mendapat anak berkulit putih kita melakukannya waktu isya. Anak
yang berkulit hitam, kita melakukannya tengah malam. Anak berkulit kemerah-
merahan pada antara dua waktu itu melakukannya.
Lalu yang tak kalah menakjubkan dari kitab ini yakni betapa orang Bugis,
terutama yang menguasai kitab ini, memahami dengan benar jenis-jenis organ genital
wanita. Cara mengungkapkannya pun sangat simbolik dengan mengasosiasikannya
dengan bunga yang cenderung mekar. Pada jenis tertentu ada yang disebut dengan
bunga melati atau bunga sibollo.
Pada akhirnya, sebagai karya yang diadaptasi dari disertasi yang dipertahankan di
Universitas Indonesia, apa yang dibuat oleh Muhlis Hadrawi menjadikan khasanah
pengetahuan kita tentang seks, lebih meluas lagi.
Hanya sehari setelah ulasan singkat mengenai buku ini tersebar di dunia maya,
baragam tanggapan bermunculan. Ada yang bercanda, ada pula yang serius. "Kenapa
baru terbitkan sekarang setelah lahir lima anak, hehehe," tulis seorang kandidat
doktor di Jepang.
Lain lagi tanggapan dari A Lagaligo Mappangara, ahli pertambangan perusahaan
Chevron yang sedang berdinas di Doha, Qatar.
Ia keponakan Bupati Luwu Timur A Hatta Marakarma.
"Hhhmmmmm... pantas kulitnya anakku putih2 semua :)".
Yang serius menulis seperti ini: "dimana bisa dapat bukunya itu????mau buat
hadiah he he".
Mau buat hadiah atau untuk diri sendiri?
Namun inti dari semua tanggapan itu tampaknya lebih mengacu pada pandangan
bahwa sisi fungsional dari Assikalabineng masih cocok diterapkan saat ini karena
sifat seks yang sangat universal.
Ini dikuatkan oleh pernyataan Muhlis Hadrawi, si penulis buku ini.
"Hal ihwal pengetahuan seksualitas yang terkandung di dalam Assikalabineng pada
dasarnya menjadi teks practical knowledge, karena menyajikan pengetahuan yang
dapat dipraktikkan langsung oleh masyarakat di dalam kehidupan rumah tangganya."
Meskipun pengetahuan praktis (practikal knowledge) di Assikalabineng ini
ditujukan untuk masyarakat umum, namun tak mudah mendapatkan informasi yang
lengkap dalam bentuk tertulis seperti pada naskah lontara. Hanya segelintir orang
dengan strata sosial tertentu yang bisa menyimpan naskah-naskah kuno itu atau
mendapatkannya dari penuturan. Dan karena itu boleh jadi Assikalabineng ini pernah
menjadi paddissengang atau pengetahuan yang eksklusif.
Mari lihat tentang cara mendekati istri menurut Assikalabineng.
"Jika kamu mau menyentuh pintu kiri, tekuk kaki kirimu dan luruskan kaki
kanannya, pastilah kamu menyentuh pintu kiri. Pada akhirnya di situlah perempuan
akan menemukan kenikmatan..."
"Perlakukan semampu kamu hingga kenikmatan mencapai puncak. Pertemukan
mulutmu dengan mulutnya. Hidungmu dengan hidungnya. Matanya dengan matamu.
Dahinya dengan dahimu. Pastikan bahagian tubuhmu dan tubuhnya bertemu.
Arahkan salah satu tanganmu ke farjinya. Tangan satunya lagi memegang kepalanya.
Julurkan lidahmu, gigit lidahnya dan isaplah nafasnya. Ucapkan zikir ini A-I-U.
Ucapkan dalam hati, "tubuhmu lenyap di tubuhku. Hatimu lenyap di hatiku,
rahasiamu lenyap di rahasiaku..."
"Apabila zakarmu telah masuk, tahanlah nafasmu. Janganlah lupa diri dan jangan
terlalu bernafsu. Ingatlah kata syariat dalam persetubuhan. Jika mani telah keluar,
maka lepaslah nafas sedikit demi sedikit. Jangan melepasnya sekaligus. Lepaskan
sebanyak empat tahap lalu merasakan kenikmatannya."
Ada pula cara memanjakan istri sehabis berhubungan.
"Apabila kamu selesai bersetubuh, luruskan kaki dan sejajarkan lutut istri dengan
baik. Tekan panggulnya dan usap pula keringatnya. Pegang pula persendiannya.
Usap-usaplah seluruh tubuhnya sampai dia tertidur baru kamu berhenti."
Tentang waktu dan hari bersetubuh yang ideal pun dikemukakan.
Ada empat hari baik yakni malam Senin, Rabu, Kamis, dan Jumat.
Kendati demikian, malam-malam itu tidak begitu mengikat, terutama jika berkaitan
dengan vitalitas tubuh, situasimental, dan lingkungan.
2. Ritual Agama
Lalu peganglah lengannya lalu ucapkan salam berbunyi, Assaalamu alaikum, Ali
memegang, Fatimah dipegang. Apabila kamu memegang tangannya maka ucapkan
syahadat. Ucapkan dalam hati atau Jubril menikahkan saya, Muhammad Wali saya,
wali saksi saya, atas kehendak Allah taala, kunfayakun. Lalu mulailah dengan
ciuman, dan ...... "
Nikah Batin
Konsep nikah bathin ini adalah amalan dan ajaran tasawwuf dalam peristiwa
Assikalaibineng. Proses ini adalah penyatuan unsur lahiriah dan bathiniah antara
lelaki dan perempuan. Dalam kitab ini, disebut penyatuan eppa sulapa. Penyatuan
tubuh dengan tubuh, hati dengan hati, nyawa dengan nyawa, dan rahasia dengan
rahasia.
Dengan, konsep nikah batin inilah yang merupakan klimaks dalam konteks
spiritualitas manusia dalam hubungan seks, atau "tassawuf seks".
Dan inilah, yang menyebabkan kenapa para bangsawan dan orang berilmu Bugis-
Makassar dalam pesta perkawinannya biasanya memakan waktu persiapan yang
lama.
Assikalaibineng secara harfiah berarti cara berhubungan suami istri. Akar kata serupa
juga dipakai masyarakat petani sawah di awal masa tanam.
Karena padi dan sawah diibaratkan istri, maka suamilah diberi otoritas untuk
menggarap dan menanam.
Karena ajaran lahir di masa kuatnya paternalistik dan belum ada gerakan persamaan
gender, makanya ajaran Kitab Persetubuhan Bugis ini lebih banyak ditujukan kepada
suami. Kitab ini paham betul emosi perempuan dan karena perasaan malunya mereka
amat jarang menjadi inisiator.
Inilah yang sekaligus menjelaskan mengapa ilmu tarekat atau tasawuf seks ala Bugis-
Makassar ini diajarkan terbatas ke calon mempelai pria, memilih momentum
beberapa hari sebelum akad nikah.
Setelah pengetahuan mandi, berwudu, dan salat sunah lalu tafakur bersama yang
disebut nikah batin, maka sampailah pada tahapan lelaku praktis, cumbu rayu,
penetrasi, dan masa pascaberhubungan.
Sarung jenis ini tentu sangat susah didapat di pasar-pasar sandang kebanyakan.
Namun toh, selimut bisa menjadi alternatif.
Ini dengan asumusi pihak pria sudah mengetahui 12 titik rangsangan, dan rangkaian
mantra (paddoangeng).
Meraba lengan adalah titik pertama yang disarankan dikarawa, sebelum meraba atau
mencium titi-titik lainnya. Pele lima (telapak tangan), sadang (dagu), edda' (pangkal
leher), dan cekkong (tengkuk) adalah sejumlah titik yang dalam buku ini
direkomendasikan di-karawa dan dinyoyyo di tahap awal foreplay.
Karena kitab persetubuhan ini sangat dipengaruhi oleh ajaran fiqhi al'jima atau ajaran
berhubungan seks suami istri dalam syariat Islam, maka proses menahan nafas itu
direkomendasikan dengan melafalkan zikir dan menyatukan ingatan kepada Allah
Taala.
Apakah melafalkan zikir itu bersuara? Tentulah tidak. Zikir dan mantra dalam bahasa
Bugis itu dilafalkan dalam hati.
Dalam komentar penulis buku ini,menyebutkan, ejakuliasi dini oleh pria banyak
terjadi karena pikiran suami terlalu fokus ke pelampiasan untuk mencapai klimaks.
Perlu diketahui, seperti ajaran agama Islam, kitab Assikalaibineng bukan seperti
buku-buku lain yang mengajarkan gaya dan teknis bersenggama dan melampiaskan
nafsu belaka.
Laiknya ibadah, inti dari ajaran Assikalibineng adalah mengelola nafsu birahi ke arah
yang lebih positif dan bermanfaat secara spiritualitas.
Bukankah seperti kata Nabi Muhammad SAW usai memenangkan Perang Badar,
kepada sahabatnya yang bersuka, diperi peringatan, bahwa Perang Badar belum ada
apa-apanya.
Perang terbesar manusia Muslim adalah bagaimana menahan hawa nafsu.
Dan nafsu yang amat sulit ditahan oleh manusia secara pribadi adalah nafsu birahi
setelah nafsu ammarah (emosi kejiwaan).
Di bagian lanjutan tulisan ini, nantinya akan mengulas beberapa lafalan teknik
menahan nafas.
Namun, bagian lain halaman buku itu juga diberikan tips parktis untuk mengetahui
apakah seorang suami siap berhubungan seks atau tidak, maka disarankan bagi pria
untuk mengangkat tangan kirinya, lalu menghembuskan nafas dari hidung.
Jika nafas yang keluar dari lubang hidung kanan lebih kuat berhembus, maka
pertanda kejantanan yang bangkit.
Namun jika hembusan dari lubang kiri lebih kuat, maka sebaiknya sang suami
menunda lebih dulu (hal 141).
".. dalam keyakinan kebatinan Bugis, nafas hidung yang lemah dan kuat berkaitan
langsung dengan ilmu kelaki-lakian atau kejantanan seorang pria...".
..................................................................................................................
Muhlis Hadrawi, penulis buku ini, senantiasa mengingatkan di bagian awal, tengah,
dan mengunci di akhir bab tulisannya, bahwa Assikalaibineng bukanlah ilmu
pelampiasan hasrat biologis sebagai wujud paling alamiah sebagai makhluk saja.
Ini juga sekaligus wujud penghormatan dan menjaga martabat keluarga dalam
kerangka mendekatkan diri kepada Allah (hal 123).
Pada bagian awal bab tata laku hubungan suami-istri, Muhlis mengomentari satu dari
tujuh manuskrip Assikalaibineng yang menjadi rujukan utamanya menulis buku ini.
Dikatakan ini sebagai pustaka penuntun tata cara hubungan seks untuk suami-istri
sebagai ilmu yang dipraktikkan Sayyidina Ali dan Fatimah.
Muhlis memulainya dengan kisah perbincangan tertutup Ali dan istrinya, yang juga
putri Nabi, di tahun ketiga pernikahan mereka.
Perkawinan keduanya menghadapi satu masalah sebab Ali belum mengetahui dengan
benar bagaimana tata cara menggauli Fatimah.
"Kala itu," tulis Muhlis, "Fatimah mengeluarkan ucapan yang menyindir Ali,
"Apakah kamu mengira baik apabila tidak menyampaikan titipan Tuhan?"
Ali kontan merasa malu dan sangat bersalah. "Ali mulai sadar kalau ia belum
memberikan apa yang menjadi keinginan Fatimah di kamar tidur. Maka Ali meminta
Fatimah memberitahu keinginan Fatimah dan memintanya untuk mempelajarinya."
Transfer ilmu atau proses makkanre guru seperti ini amat biasa dalam tradisi Bugis-
Makassar, khususnya keluarga yang mengamalkan ajaran tarekat-tarekat.
Kisah di atas sekaligus menjelaskan bahwa lelaku dan zikir Assikalaibineng tak
terlambat untuk dipelajari.
Memang idealnya, tata laku hubungan Assakalaibineng ini diajarkan di awal masa
nikah, namun bagi mereka yang ingin mengamalkannya hanya perlu membulatkan
tekad, untuk mengubah cara padangnya, bahwa hubungan suami-istri versi Islam
yang terangkum dalam lontara ini, berbeda dengan literatur, hasil konsultasi, atau
frequent ask and question (FAQ) soal seks yang selama ini sumber dominannya dari
ilmu kedokteran Barat.
Pada sub bab Teknik Mengendalikan Emosi Seks atau Hawa Nafsu (hal 150), buku
ini menyajikan laku zikir untuk mengiringi gerakan seksual dari pihak suami.
"lelaku zikir ini menjadi penyeimbang nuansa erotis dan terkesan tidak vulgar."
Teknik mengatur napas adalah inti dari ketahanan pihak suami.
Untuk menjaga endurance napas suami agar istrinya bisa mencapai orgasme,
misalnya, saat kalamung (zakar) bergerak masuk urapa'na (vagina) disarankan
membaca lafal (dalam hati) Subhanallah sebanyak 33 kali disertai tarikan nafas.
Bahkan bisa dibayangkan karena babang urapa'na (pintu vagina) perempuan ada
empat bagian, maka di bagian awal penetrasi, disarankan hanya memasukkan sampai
bagian kepala kalamummu lalu menariknya sebanyak 33 dengan tarikan napas dan
disertai zikir, hanya untuk menyentuh "timungeng bunga sibollo" (klitoris bagian
kiri).
Mungkin bagi generasi sekarang, lafalan zikir dalam hati saat bersetubuh akan sangat
lucu, namun pelafalan Subhanallah sebanyak 33 kali dan perlahan dan diikuti tarikan
napas akan membuat daya tahan suami melebihi ekspektasi istri! (hal 80)
Lapawawoi Karaeng Sigeri, Raja Bone yang terkenal cerdas, termasuk seorang suami
yang mempelajari dan mengamalkan ajaran assikalaibineng. Stidaknya fakta ini
dikonfirmasikan dari lontara Mangkau Bone Ke-31 ini yang secara rapi
terdokumentasikan di Perpustakaan Nasional RI di Jakarta.
Manuskrip asli ini pulalah yang menjadi satu dari 44 lontara rujukan utama Muhlis
Hadrawi, penulis buku Assikalaibineng, Kitab Persetubuhan Bugis, yang diterbitkan
Penerbit Ininnawa, Makassar (2008).
Secara teknis buku ini terdiri dari 189 halaman. Sebanyak 64 halaman terdiri dari
transliterasi asli "kitab assikalaibineng" lontara ke dalam abjad melayu berikut
terjemahannya. Inilah matan asli dari kitab tassawupe allaibainengengeng yang
merupakan peninggalan leluhur Bugis-Makassar yang teleh terpengaruh dengan
ajaran Islam.
Karena buku ini merupakan disertasi untuk meraih gelar magister bidang filologi
(ilmu tentang Bahasa, kebudayaan, pranata dan sejarah suatu bangsa dalam bentuk
manuskrip asli) di Universitas Indonesia, maka 51 halaman di bagian awal lebih
banyak mendiskripsikan latar belakang, asal usul naskah, dan metodologi penelitian.
Sedangkan di bagian akhir, Tata Laku Hubungan Suami Istri, isinya lebih merupakan
ringkasan, analisis, sekaligus komentar penulisnya, yang diperkaya dengan literatur
penunjang. Namun, bagi pembaca awam yang tidak lagi mengerti Bahasa-bahasa
Bugis terhadulu, justru bab akhir inilah yang membatu mendapatkan intisari dari
manuskrip tua, yang hingga awal decade 2000, masih beredar di kalangan elite
terbatas, masyarakat kita.
Kitab ini mengajarkan manfaat penggunaan "air mani" sisa yang biasanya meleler di
bagian luar babang urapa' (vagina) istri dan kalamummu (zakar) pihak suami dan
sejumlah mantra bugis-Arab, secara subtansial lebih merupakan niat, sekaligus
ekspresi kasih-sayang suami kepada istri pasca-berhubungan,
Kitab ini menyindir perilaku suami yang langsung tidur lelap atau langsung
meninggalkan kamar tidur, sementara istri belum mendapatkan kepuasan, biasanya
akan membuat wanita terhina. Di kitab ini. Perlakuan itu diistilahkan dengan,
teretta'na narekko le'ba mpusoni (adab setelah persetubuhan).
Sedangkan tahapn selanjutnya, usai berhubungan, ambilah air mani dari liang fajri
yang sudah bercampur dengan cairan perempuan. Letakakkanlah di telapak tangan
mu, air mani dicampur dengan air liur dari langit-langit (sumur qalqautsar) suami,
sebelum mengusap air mani tersebut ke tubuh istri, terlebih dulu membaca doa
dengan lafalan bugis, "waddu waddi, mani-manikang". Mani riparewe, tajang
mapparewe, tajang riparewekki..." (hal.158)
Aiar mani basuhan ini bisa dipijitkan ke titik-tikik 12 rangsangan agar tidak kembeli
berkerut, atau memijit bagian panggul dengan tulang kering di ujung bawah jari
kelingking, untuk membuat tubuh istri tidak melar tapi tetap ceking..
.............................................................................................................................
TEKNIK bertahan dalam persetubvuhan menjadi hal yang sangat penting dan
mendapat tempat khusus dalam Assikalaibineng. Dan sekali lagi, pihak suami
menjadi faktor kunci.
Kitab peretubuhan Bugis ini tahu betul bahwa pihak suami senantiasa lebih cepat
menyelesaikan hubungan ketimbang perempuan. Menenangkan diri, sabar,
konsentrasi, dan memulai dengan kalimat taksim amat disarankan sebelum foreplay.
Mengutip sebuah buku lelaku seks sesusi ajaran Islam, yang diterbitkan di Kuala
Lumpur, dalam catatan kaki di halaman 164, Muhlis mengomentari "...Hampir 99
persen lemah syahwat (kelemahan nafsu jantan) adalah timbul dari sebab-sebab
kerohanian. Emonde Boas, seorang dokter asal Amerika bahkan pernah melakukan
penelitian, dari 1400 lelaki yang didata mengidap penyakit lemah syahwat, hanya
tujuh yang lemah karena sebab-sebab jasmani, yang lainya karena sebab rohani atau
psikologis,"
Sedangkan teknik mengelola nafas dengan zikir, cara penetrasi, dan menutup
hubungan dengan pijitan ke sejumlah titik rangsangan perempuan, dan menemani istri
tertidur dalam satu selimut atau sarung merupakan bentuk akhir menjaga kualitas
hubungan.
Pengetahuan praktis seperti waktu yang baik dan kurang baik untuk berhubungan
badan juga secara rinci diatur dalam kitab ini. "Tidak sepanjang satu malam menjadi
masa yang tepat untuk bersetubuh." (hal.166)
Terdapat keterkaitan waktu bersetubuh dengan kualitas anak yang terbuahi, seperti
warna kulit anak. Untuk memperoleh anak yang berkulit putih, peretubuhan
dilakukan setelah isya. Untuk anak yang berkulit hitam, persetubuhan dilakukan
tengah malam (sebelum shalat tahajjud), anak yang warna klitnya kemwerah-
memerahan dilakukan antara Isya dan tengah malam.
Secara khusus kitab ini adalah menuntut pihak suami sebagai inisiator dan
mengingatkan kepada istri, agar menyesuaikan waktu tidur dengan keinginan
melakukan persetubuhan. Sebab ternyata, persoalan waktu amat berdampak secara
psikologis maupun biologis, terutama pihak istri.
Teks assikalaibineng secara spesifik menyebutkan adanya kaitan waktu tidur istri
dengan ajakan suami bersetubuh.
Assikalaibineng A hal.72-73 menyebutkan, "bila suami mengajak istri berhubungan
saat menjelang tidur, maka ia merasakan dirinya diperlakukan [penuh kasih sayang
(ricirinnai) dan dihargai (ripakalebbiri). Akan tetapi jika istri sedang tidur pulas,
lantas suami membangunkannya untuk bersetubuh, maka istri akan merasa
diperlakukan laiknya budak seks, yang disitilahkan dengan ripatinro jemma'.
Soal bangun membangunkan istri yang tidur pulas, assikalaibineng juga memberikan
cara efektif. Kitab ini sepertinya tahu betul, bahwa jika usai orgasme sang istri
biasanya langsung tertidur. Untuk menuntnjukkan kasih sayang, maka usai
berhubungan lelaki bisa mengambil air, lalu mercikkan satu dua tetas ke muka istri.
Setelah istri terbangun, lelaki memberikan pijitan awal di antara kening, mata,
menciumim ubun-ubun, memijit bagian panggul lalu bercakap-cakap sejenak.
Percakapan ini bagi istri akan selalu diingat dan membuatnya.
selesai
Sumber : http://www.tribun-timur.com/