Anda di halaman 1dari 6

PEREKONOMIAN INDONESIA

“Perekonomian Orde Lama, Orde Baru, Era Reformasi sampai sekarang”

Dosen Pengampuh :

Dr. Tri Oldy Rotinsulu SE, M.Si

OLEH:

Jecklin Lengkong ( 19061102140 )

MANAJEMEN 5-B3

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS SAM RATULANGI MANADO


ORDE LAMA (1945-1966)

Masa Orde Lama (1951-1966)

- Soekarno (1945-1967)

Indonesia mengalami tiga fase perekonomian di era Presiden Soekarno. Fase pertama yakni
penataan ekonomi pasca-kemerdekaan, kemudian fase memperkuat pilar ekonomi, serta fase
krisis yang mengakibatkan inflasi. Pada awal pemerintahan Soekarno, PDB per kapita
Indonesia sebesar Rp 5.523.863.

Pada 1961, Badan Pusat Statistik mengukur pertumbuhan ekonomi sebesar 5,74 persen.
Setahun berikutnya masih sama, ekonomi Indonesia tumbuh 5,74 persen. Lalu, pada 1963,
pertumbuhannya minus 2,24 persen.

Angka minus pertumbuhan ekonomi tersebut dipicu biaya politik yang tinggi.

Angka minus pertumbuhan ekonomi tersebut dipicu biaya politik yang tinggi. Akibatnya,
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) defisit minus Rp 1.565,6 miliar. Inflasi
melambung atau hiperinflasi sampai 600 persen hingga 1965.

Meski begitu, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih dapat kembali ke angka positif pada
1964, yaitu sebesar 3,53 persen. Setahun kemudian, 1965, angka itu masih positif meski turun
menjadi 1,08 persen. Terakhir di era Presiden Soekarno, 1966, ekonomi Indonesia tumbuh 2,79
persen.  

Keadaan ekonomi dan keuangan pada masa orde lama amat buruk, yang disebabkan oleh :
Inflasi yang sangat tinggi dikarenakan beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak
terkendali.

Di tahun 1958 diberlakukannya UU No. 78/1958 tentang investasi asing, jadi memperburuk
perekonomian, ditahun 1965 mendirikan Bank Berjuang, perbankan berfungsi sebagai pemasok
dana proyek pemerintah.

Penurunan angkatan kerja (pengangguran) sebanyak 1,8 juta dari 34,5 juta. Disektor pertanian
72%, sektor jasa 9,5%, perdagangan dan keuangan 6,7%, industri 5,7%. Tahun 1953 di jakarta
pekerja menerima upah Rp 5-6 per hari.

Dan di anggaran pemerintah pada tahun 1955-1965 mengalami defisit sebesar 137% dari
pendapatan sehingga negara melakukan pinjaman luar negeri.

ORDE BARU (1966-1998)

- Soeharto (1967-1998)
masa kekuasaan Soeharto adalah yang terpanjang dibandingkan presiden lain Indonesia
hingga saat ini. Pasang surut perekonomian Indonesia juga paling dirasakan pada eranya.

Ia menjadi presiden di saat perekonomian Indonesia tak dalam kondisi baik. Pada 1967, ia
mengeluarkan Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 1967, tentang Penanaman Modal Asing.
UU ini membuka lebar pintu bagi investor asing untuk menanam modal di Indonesia.

Tahun berikutnya, Soeharto membuat Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang
mendorong swasembada. Program ini mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga
tembus 10,92 persen pada 1970.

Ekonom Lana Soelistianingsih menyebut, iklim ekonomi Indonesia pada saat itu lebih terarah,
dengan sasaran memajukan pertanian dan industri. Hal ini membuat ekonomi Indonesia
tumbuh drastis. Setelah itu, di tahun-tahun berikutnya, hingga sekitar tahun 1997, pertumbuhan
ekonomi Indonesia cenderung tinggi dan terjaga di kisaran 6-7 persen.

Namun, selama Soeharto memerintah, kegiatan ekonomi terpusat pada pemerintahan dan
dikuasai kroni-kroni presiden. Kondisinya keropos.

Kegiatan ekonomi terpusat pada pemerintahan dan dikuasai kroni-kroni presiden. Kondisinya
keropos.

Pelaku ekonomi tak menyebar seperti saat ini, dengan 70 persen perekonomian dikuasai
pemerintah. Begitu dunia mengalami gejolak pada 1998, struktur ekonomi Indonesia yang
keropos itu tak bisa menopang perekonomian nasional.

Posisi Bank Indonesia (BI) pada era Soeharto juga tak independen. BI hanya alat penutup
defisit pemerintah. Begitu BI tak bisa membendung gejolak moneter, maka terjadi krisis dan
inflasi tinggi hingga 80 persen.

Pada 1998, negara bilateral pun menarik diri untuk membantu ekonomi Indonesia, yaitu saat
krisis sudah tak terhindarkan. Pertumbuhan ekonomi pun merosot menjadi minus 13,13 persen.

Pada tahun itu, Indonesia menandatangani kesepakatan dengan Badan Moneter Internasional
(IMF). Gelontoran utang dari lembaga ini mensyaratkan sejumlah perubahan kebijakan ekonomi
di segala lini.

Masa Orde Baru melakukan 4 tahapan pelaksanaan: tahap penyelamatan, rehabilitasi,


konsolidasi, stabilisasi. lalu adanya pemberlakuan kebijakan terhadap tiga UU baru tentang
Perbankan, kebijakan anggaran berimbang.

Melakukan pembangunan jangka panjang (pelita) pemerintah:

Pelita I (1969-1974)

Titik berat pada pemeliharaan stabilitas perekonomian dan pertumbuhan ekonomi sebesar
8,56% per tahun.
Pelita II (1974-1979)

Titik berat pada pertumbuhan ekonomi sebesar 6,96% per tahun.

Pelita III-V

Titik berat pada pemerataan hasil pembangunan, pertumbuhan ekonomi sebesar 6.02%
sedangkan pelita VI sebesar 5,21%, pelita V sebesar 6,76% pertahun.

REFORMASI (1998-Sekarang)

Masa Reformasi 

- BJ Habibie (1998-1999)

Pemerintahan Presiden Baharuddin Jusuf Habibie dikenal sebagai rezim transisi. Salah satu
tantangan sekaligus capaiannya adalah pemulihan kondisi ekonomi, dari posisi pertumbuhan
minus 13,13 persen pada 1998 menjadi 0,79 persen pada 1999. 

Habibie menerbitkan berbagai kebijakan keuangan dan moneter dan membawa perekonomian
Indonesia ke masa kebangkitan. Kurs rupiah juga menguat dari sebelumnya Rp 16.650 per
dollar AS pada Juni 1998 menjadi Rp 7.000 per dollar AS pada November 1998.

Pada masa Habibie, Bank Indonesia mendapat status independen dan keluar dari jajaran
eksekutif.

- Abdurrahman Wahid (1999-2001)

Abdurrahman Wahid alias Gus Dur meneruskan perjuangan Habibie mendongkrak


pertumbuhan ekonomi pasca krisis 1998. Secara perlahan, ekonomi Indonesia tumbuh 4,92
persen pada 2000.

Gus Dur menerapkan kebijakan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah. Pemerintah membagi
dana secara berimbang antara pusat dan daerah. Kemudian, pemerintah juga menerapkan
pajak dan retribusi daerah. Meski demikian, ekonomi Indonesia pada 2001 tumbuh melambat
menjadi 3,64 persen.

- Megawati Soekarnoputri (2001-2004)

Pada masa pemerintahan Megawati, pertumbuhan ekonomi Indonesia secara bertahap terus


meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2002, pertumbuhan Indonesia mencapai 4,5 persen dari
3,64 persen pada tahun sebelumnya.
Kemudian, pada 2003, ekonomi tumbuh menjadi 4,78 persen. Di akhir pemerintahan Megawati
pada 2004, ekonomi Indonesia tumbuh 5,03 persen.

Tingkat kemiskinan pun terus turun dari 18,4 persen pada 2001, 18,2 persen pada 2002, 17,4
persen pada 2003, dan 16,7 persen pada 2004.

Perbaikan yang dilakukan pemerintah saat itu yakni menjaga sektor perbankan lebih ketat
hingga menerbitkan surat utang atau obligasi secara langsung.

Saat itu, kata Lana, perekonomian Indonesia mulai terarah kembali. Meski tak ada lagi repelita
seperti di era Soeharto, namun ekonomi Indonesia bisa lebih mandiri dengan tumbuhnya
pelaku-pelaku ekonomi.

- Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono Jilid I:

Dilakukannya kebijakan pengurangan subsidi BBM, kebijakan BLT, PNPM Mandiri dan
Jamkesmas, Indonesia Infrastruktur Summit, MP3EI, Strategi pembangunan ekonomi.

Jilid II di Era Susilo Bambang Yudhoyono:

Melakukan kebijakan BI rate, kebijakan mekroprudensial untuk pengelolaan likuiditas dan


makroprudensial lalu lintas modal, kebijakan operasi moneter, kebijakan nilai tukar.

- Kepemimpinan Jokowi:

adanya  Paket kebijakan ekonomi tahap I (9 September 2015), dengan menjaga daya beli
masyarakat, capital flow, memacu pertumbuhan investasi.

Paket kebijakan ekonomi tahap II (29 September 2015), dengan menarik investor, memberikan
insentif bagi eksportir, memberikan insentif lebih bagi yang menyimpan dana dalam bentuk
mata uang rupiah.

Paket kebijakan ekonomi tahap III (7 Oktober 2015), dengan meningkatkan sektor supply tidak
secara langsung.

Paket kebijakan ekonomi tahap IV (15 Oktober 2015), dengan mensejahterakan para buruh,
industri kecil (makro).

Paket kebijakan ekonomi tahap V (22 Oktober 2015), dengan melakukan pengurangan pajak
revaluasi aset, penghapusan pajak berganda, mempermudah izin atas produk bank syariah.

Paket kebijakan ekonomi tahap VI (6 November 2015), melakukan insentif pajak bagi industri,
perizinan penyediaan air, perizinan impor untuk industri obat.

Pada 2016, ekonomi Indonesia mulai terdongkrak tumbuh 5,03 persen. Dilanjutkan dengan
pertumbuhan ekonomi tahun 2017 sebesar 5,17.
Berdasarkan asumsi makro dalam APBN 2018, pemerintah memprediksi pertumbuhan
ekonomis 2018 secara keseluruhan mencapai 5,4 persen. Namun, pertumbuhan ekonomi di
kuartal I-2018 ternyata tak cukup menggembirakan, hanya 5,06 persen.

Sementara pada kuartal II-2018, ekonomi tumbuh 5,27 persen dibandingkan periode yang
sama tahun lalu. Hanya ada sedikit perbaikan dibandingkan kuartal sebelumnya.

Pada Senin (5/11/2018), BPS mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III-
2018 sebesar 5,17 persen, malah melambat lagi dibandingkan kuartal sebelumnya.

Untuk kuartal IV-2018, pertumbuhan ekonomi diprediksi meleset dari asumsi APBN. Bank
Indonesia, misalnya, memprediksi pertumbuhan Indonesia secara keseluruhan pada 2018 akan
berada di batas bawah 5 persen.

Namun, fakta mendapati, ekonomi Indonesia pada 2018 tumbuh 5,17 persen. Ini menjadi
pertumbuhan ekonomi tertinggi di era Jokowi. Konsumsi rumah tangga masih menjadi
penopang utama dengan porsi 5,08 persen.

Tahun pemilu, 2019, Indonesia mencatatkan pertumbuhan ekonomi 5,02 persen. Perang
dagang AS-China, tensi geopolitik Timur Tengah, dan harga komoditas yang fluktuatif dituding
sebagai penyebab penurunan kinerja ekonomi ini dibanding capaian pada 2018.

Konsumsi rumah tangga memberi andil 2,73 persen pada kinerja ekonomi 2019, sementara
investasi menyumbang 1,47 persen. PDB Indonesia pada 2019 tercatat Rp 59,1 juta atau
setara 4.175 dollar AS memakai kurs saat itu. 

Anda mungkin juga menyukai