Anda di halaman 1dari 2

KASUS 10

Pada tahun 2004 Yohan Candra masuk sebagai pasien rawat inap di Rumah Sakit Adi
H. setelah melakukan perjanjian/persetujuan terhadap biaya yang harus dibayar dan memilih
Dokter Djoko, salah satu ahli tulang yang disediakan oleh Rumah Sakit tersebut, kala itu
untuk menangani patah tulang;
Sudah 3 hari ditunggu tidak dilakukan tindak lanjut operasi, keluhan disampaikan
kepada staf Rumah Sakit tersebut sementara dirasakan Yohan Candra yang mengalami patah
tulang di pinggul kiri dan bahu kiri, membengkak, linu, cekot-cekot, kemeng sangat sakit
sekali;
Hari ke-4 diluar dugaan ternyata Dr. Djoko berhalangan, kemudian Pasien minta
diganti dokter ahli tulang lain, yaitu Dr. Satrio pun tidak dikabulkan oleh rumah sakit dan staf
tidak mau memberi kejelasan.  Pasien kemudian meminta uang dikembalikan saja dan minta
surat rujukan ke Rumah Sakit “R.K.Z” pun tidak disetujui dengan alasan sulit untuk meminta
uang kembalian yang sudah disetor sebelumnya lewat computer. Pasien dipaksa untuk
menuruti kehendak staf rumah sakit untuk menerima operasi yang dilakukan kepadanya oleh
Dr. Heri Suroto;
Saat sebelum di operasi, Pasien sudah berusaha meminta kejelasan tindakan dokter
dalam melakukan operasi, apakah terhadap tulang pinggul yang patah itu akan diganti dengan
tulang pinggul palsu ataukah cukup disekrup saja? dan resiko pasca operasi, semuanya tidak
terjawab oleh Pihak Rumah Sakit Adi H. dan Dr. Heri Suroto, yang sebenarnya menjadi hak
bagi Pasien untuk mendapatkan penjelasan secara lisan atau tertulis. Namun yang terjadi
langsung saja Pasien di operasi tanpa persetujuan sebelumnya;
Pasien merasa mendapatkan pelayanan medis yang serba amburadul dan sangat tidak
profesional ditambah hari itu Pasien disuruh 2 kali tanda tangan di atas 2 lembar semacam
formulir yang masih kosong (belum ditulis) dengan alasan bila setelah diketik, tembusan
surat akan diserahkan ke pembantunya dalam surat tertutup, yang hingga kini surat tersebut
belum diterima, baik oleh pembantu ataupun Pasien sendiri;
Kira-kira 3 hari pasca operasi terjadi pembengkakan di bagian jahitan operasi pinggul
kiri keluar cairan nanah, rasa linu, kemeng, cekot-cekot terulang kembali menyebabkan
Pasien minta didatangkan dokter atau staf Rumah Sakit tersebut untuk menanganinya namun
tidak ada yang mengatasi, tidak ada yang peduli terhadap hasil dari kinerja penanganan medis
yang dilakukan dan semakin lebih parah sampai hari ke-23;
Pasien merasa diperlakukan tidak manusiawi hingga kaki kiri tidak dapat diangkat
dan ditekuk dan memutuskan tidak akan membayar harga tulang pinggul palsu yang
dibebankan sebesar Rp 10 jutaan itu, apabila keluhan yang ia rasakan tidak ditangani dan
tidak membaik. Namun, Rumah Sakit merespon hal tersebut dengan mengusir/harus
meninggalkan Rumah Sakit tsb.
Sebelum Pasien meninggalkan Rumah Sakit tsb dan berpindah ke RS “R.K.Z”, Pasien
meminta Rekam medis dan 2 lembar formuli yang pernah ditanda tangani, tetapi rekam
medis maupun formulis tidak diberikan oleh R.S.Adi H.
Sejak keluar dari RS.Adi H, Pasien mencari upaya penyembuhan kepada dr. Ahli
tulang (23 doker) yg dikunjungi, rata-rata doker tsb berpendapat simpulannya sebaiknya
kembali kepada dokter yang pertama mengoperasinya, karena timbulnya bakteri di dalam
tulang akibat operasi yang kurang steril. Pasien merasa dirugikan oleh dokter dan rumah sakit
Adi H.
Pertanyaan:
a. Apakah RS Adi dan dokter yang mengoperasinya dalam melakukan bisnis dan
profesinya dalam kasus tsb sudah sesuai dengan prinsip etika bisnis dan etika bisnis
Indonesia.?
b. Bagaimana seharusnya agar sesuai dengan etika dalam menjalankan bisnis dan
profesinya berkaitan dengan kasus di atas?

Anda mungkin juga menyukai