Anda di halaman 1dari 6

PEMBAHASAN

2.1 Dasar Demokrasi


Kitab suci menjadi variabel mutlak dalam hasil pemikiran politik Islam. Dalam hal ini,
semua daya upaya ulama dan pemikiran tetap bertumpu pada dasar ajaran, yakni kitab suci,
di samping dasar kedua, yakni Sunah Rasul atau hadist. Untuk hadist, tingkatnya tidak
semutlak ini, pemikiran politik Islam pada akhirnya harus dipahami, bahwa di satu segi
aalah hasil pemikiran umatnya dengan tingkat kebenarannya, sebagaimana kebenaran ilmu
sosial umumnya, berada pada proporsinya, yakni kebenaran relatif. Namun di segi lain,
pemikiran politik Islam juga mengandung dimensi-dimensi non manusia, merupakan doktrin
agama yang dalam kita suci berstatus mutlak (Zamharir, 2004).

2.2 Prinsip Nilai Demokrasi


Salah satu cara untuk memahami pemikiran politik dalam tradisi Islam adalah pada
periodisasi awal, sebuah warisan yang kemudian dikenal dengan warisan “Generasi Salaf”,
yakni generasi Nabi Muhammad Saw dengan para sahabat dan tiga generasi sesudahnya.
Generasi tersebut juga sering disebut Muslim Awal. Dalam kehidupan politik, warisan
dimaksud adalah praktik politik dan ide, yang biasanya ada di sekitar nabi dan empat
sahabat (Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali) serta generasi sesudahnya.Warisan kehidupan
politik saat itu “murni” sejarah dan praktik politik nabi dan empat khalifah. Dalam hal ini
apa yang diwariskan merupakan praktik politik, atau kebijakan politik serta “pemikiran
politk” yang tidak dirumuskan secara koheren (Zamharir, 2004).

2.3 Contoh Praktek Demokrasi dalam Islam


Kita bisa mengambil contoh dari keterangan Muhammad Yusuf Faruqi (1996) .
Pemilihan atas dasar berpikir rasional, yang dalam Islam prosedurnya antara lain, analog
atau qiyas. Dengan prinsip berpikir ini, Abu Bakar dipilih karena analog sebagai imam
(pemimpin) dalam shalat jika rasul berhalangan. Di sini ada dua tahap “sumpah setia”
(baiat), yakni tahap elit (baiat khusus) dan tahap massa (baiat ‘ammah). “Pemikiran” yang
menyertai hal ini adalah kritertia bahwa kepala negara itu berasal dari klan yang reputasunya
bagus dan terhormat demi “integrasi bangsa dan negara” (thus the unity of the ummah could
be preserved). Abu Bakar misalnya, ia dipilih karena berasal dari klan terhormat, Quraisy.
Namun demikian, hal itu hanyalah contoh kontekstual yang sesuai dengan zamannya.
Karenanya, sangat diherankan bila di kemudian hari masih mempertimbangkan bahwa
khalifah harus dari Quraisy. Padahal besaran kehidupan berdemokrasi dalam Islam sudah
meliputi seluruh bumi.
Dalam kasus diangkatnya Umar bin Khattab,proses syura pertama, dengan penunjukan.
Penunjukan ini bersamaan dengan proses konsultasi kepada dua elit utama. Satu elit
menyangsikan ditunjuknya Umar bin Khattab karena watak-nya keras. Abu bakar,
sebaliknya merasa lebih tahu bahwa Umar juga berhati lembut. Dari kasus kebijakan politik
Abu Bakar yang keras, Umar malah lembut. Debat elit ini dirahasiakan supaya massa tidak
tahu isi diskusi elit itu (not to tell the others, what was discussed with them). Tahap kedua,
musyawarah konsultatif kepada elit yang diperluas yakni enam orang termasuk Ali bin Abi
Thalib. Tahap ketiga, dibacakan pengangkatan Umar sebagai pengganti khalifah Abu Bakar.
Tahap keempat, sidang di Masjid Nabawi, di mana setelah dibacakan, Abu Bakar bertanya
apakah umat setuju. Massa setuju dan melakukan baiat.
Ilustrasi tadi juga tidak kalah penting dengan ilustrasi praktek Nabi Muhammad Saw.
dalam menjalankan perannya sebagai pemimpin negara, dengan salah satu karya
monumentalnya, yakni traktat perjanjian atau konstitusi yang mengatur warga negara di
negara-kota Madinah pada abad keenam Masehi. Traktat perjanjian ini disebeut dustur
madinah, mitsaq madinah. Konstitusi itu ditulis Muhammad Saw. dan disetujui oleh
kelompok-kelompok masyarakat (Nasrani, Muslim dan Yahudi). Piagam ini memuat begitu
luas informasi tentang kajian-kajian modern (Zamharir, 2004).

2.4 Pertentangan antara Demokrasi dan Islam


Al-Qur`an tidak secara spesifik dan eksplisit menunjukkan preferensi terhadap satu
bentuk pemerintahan tertentu, tetapi dengan gamblang memaparkan seperangkat nilai sosial
dan politik penting dalam suatu pemerintahan untuk Muslimin. Di antaranya adalah tiga
nilai penting, yaitu keadilan melalui kerja sama sosial dan prinsip saling membantu,
membangun suatu sistem pemerintahan konsultatif yang tidak otokratis, melembagakan
kasih sayang dalam interaksi sosial (Khaled Abou El Fadl, 2004).
Masyhuri Abdillah (2005), juga melihat bahwa di dalam Al-Qur`an tidak dapat
ditemukan konsep negara, karena konsep negara adalah buah pemikiran yang muncul
belakangan. Bahkan kata Daulah Islamiyah sendiri adalah kata baru yang muncul di abad
ke-20. Istilah daulah baru dipakai sejak masa Dinasti Mu`awiyah dan Abbasiyyah, yang
dipakai dalam arti dinasti. Meskipun demikian, ia juga melihat bahwa di dalam Al-Qur`an
terdapat prinsip-prinsip hidup berkemasyarakatan yang di antaranya kejujuran dan tanggung
jawab, keadilan, persaudaraan, pluralisme, persamaan, musyawarah, mendahulukan
perdamaian, dan kontrol.
Secara prinsipiil hal ini sejalan dengan doktrin politik dari konsep demokrasi. John L.
Esposito dan James P. Piscatori (dalam Riza Sihbudi, 1993), mengatakan bahwa Islam pada
kenyataannya memberikan kemungkinan pada bermacam interpretasi, Islam bisa digunakan
untuk mendukung demokrasi maupun kediktatoran, republikanisme maupun monarki.
Pernyataan Esposito dan Piscatori ini dapat mengidentifikasikan tiga pemikiran mengenai
hubungan Islam dengan demokrasi.
Pertama, Islam menjadi sifat dasar demokrasi karena konsep syura`, ijtihad, dan ijma`
merupakan konsep yang sama dengan demokrasi. Kedua, menolak bahwa Islam
berhubungan dengan demokrasi. Dalam pandangan ini, kedaulatan rakyat tidak bisa berdiri
di atas kedaulatan Tuhan, juga tidak bisa disamakan antara Muslim dan non-Muslim serta
antara laki-laki dan perempuan. Hal ini bertentangan dengan prinsip equality demokrasi.
Ketiga, sebagaimana pandangan pertama bahwa Islam merupakan dasar demokrasi,
meskipun kedaulatan rakyat tidak bisa bertemu dengan kedaulatan Tuhan, perlu di akui
bahwa kedaulatan rakyat tersebut merupakan subordinasi hukum Tuhan. Terma ini dikenal
dengan theodemocracy yang diperkenalkan oleh al-Maududi.
Selain itu, secara garis besar wacana Islam dan demokrasi terdapat tiga kelompok
pemikiran (Ubaidillah Abdul Razak, 2006); pertama, pandangan yang menyatakan jika
Islam dan demokrasi adalah dua sistem yang berbeda. Kelompok ini memandang jika Islam
sebagai sistem alternatif demokrasi sehingga demokrasi sebagai konsep Barat tidak dapat
dijadikan acuan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pendeknya,
demokrasi menurut kelompok ini merupakan sistem kafir karena telah meletakkan
kedaulatan negara di tangan rakyat bukan Tuhan, dan mereka memandang sebagian besar
dari aktivitas demokrasi tertolak secara syar`i dan memandang bahwa prinsip pemilu secara
jelas melanggar asas wakalah (perwakilan) yaitu materi yang diwakilkan didasarkan atas
asas demokrasi adalah batil; Kedua, Islam berbeda dengan demokrasi. Kelompok ini
menyetujui adanya prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam, tapi tetap mengakui adanya
perbedaan antar Islam dan demokrasi kalau demokrasi didefinisikan secara prosedural
seperti yang dipahami dan dipraktekkan oleh negara Barat. Akan tetapi jika demokrasi
dimaknai secara substantif, yaitu kedaulatan di tangan rakyat, dan negara merupakan
terjemahan dari kedaulatan rakyat, maka Islam merupakan sistem politik yang demokratis;
ketiga, Islam adalah sistem nilai yang membenarkan serta mendukung demokrasi. kelompok
ini berpendapat bahwa Islam merupakan sistem nilai yang membenarkan demokrasi dan
substansi demokrasi sesungguhnya berasal dari ajaran Islam. Tiga pandangan di atas
merupakan akumulasi yang berangkat dari kriteria umat Islam dan demokrasi sehingga
ketiga pandangan tadi tidak berjalan beriringan, tetapi berlawanan.
Secara umum demokrasi itu kompatibel dengan nilai-nilai universal Islam. Seperti
persamaan, kebebasan, permusyawaratan dan keadilan. Akan tetapi dalam dataran
implementatif hal ini tidak terlepas dari problematika. Sebagai contoh adalah ketika nilai-
nilai demokrasi berseberangan dengan hasil ijtihad para ulama. Contoh kecil adalah kasus
tentang orang yang pindah agama dari Islam. Menurut pandangan Islam berdasarkan hadits:
“Man baddala dinahu faqtuluhu” mereka disuruh taubat dahulu, jika mereka tidak mau maka
dia boleh dibunuh atau diperangi. Dalam sistem demokrasi hal ini tidak boleh terjadi, sebab
membunuh berarti melanggar kebebasan mereka dan melanggar hak asasi manusia (HAM).
Kemudian dalam demokrasi ada prinsip kesamaan antar warga Negara. Namun dalam
Islam ada beberapa hal yang sangat tegas disebut dalam Al-Qur`an bahwa ada perbedaan
antara laki-laki dan perempuan, misalnya tentang poligami. (QS. An-nisa’ 33) tentang
hukum waris (QS. An-nisa’ 11) tentang kesaksian (QS. Al-Baqarah 282). Di samping itu,
demokrasi sangat menghargai toleransi dalam kehidupan sosial, termasuk dalam maksiat
sekalipun. Seperti pacaran dan perzinaan, kalau di antara laki-laki dan perempuan (bukan
suami istri) melakukan hubungan persetubuhan suka sama suka itu tidak jadi masalah atau
dengan kata lain dibolehkan. Sedangkan dalam Islam hal ini jelas-jelas dilarang dalam Al-
Qur’an. Demikian juga dalam Islam dibedakan antara hak dan kewajiban kafir dzimmi
dengan yang muslim. Hal ini dalam demokrasi tidak boleh terjadi, sebab tidak lagi
menjunjung nilai persamaan.
Melihat adanya problem di atas, berarti tidak semuanya demokrasi kompatibel dengan
ajaran Islam. Dalam dataran prinsip, ide-ide demokrasi ada yang sesuai dan selaras dengan
Islam, namun pada tingkat implementatif sering kali nilai-nilai demokrasi berseberangan
dengan ajaran Islam dalam Al-Qur`an, As-sunnah dan ijtihad para ulama. Dalam pada itu,
menurut hemat, umat Islam saat ini tidak seharusnya berada dalam ruang pertentangan
hubungan Islam dengan demokrasi, akan tetapi, yang lebih penting (urgent) untuk dilakukan
umat Islam dalam pelaksanaan demokrasi dengan mengacu kepada ajaran kemaslahatan,
keadilan, ijtihad (kemerdekaan berpikir), toleransi, kebebasan, persamaan, kejujuran serta
tanggung jawab dan sebagainya. Untuk melihat hubungan Islam dengan demokrasi,
setidaknya harus di lihat dari sisi sistem, dasar-dasar politik dan nilainya. Akan tetapi, jika
demokrasi didefinisikan secara prosedural seperti yang dipahami dan dipraktekkan di
negara-negara Barat, maka demokrasi akan bertentangan (tidak sejalan) dengan ajaran Islam
(Alumni Pascasarjana Magister Studi Islam UII Yogyakarta., 2016).

2.5 Cara Menghadapi Perbedaan


Cara terbaik untuk menghadapi para penganut kepercayan lain adalah dengan
menyatakan bahwa seperti dinyatakan dalam Al Qur’an bahwa Bagimu agamamu dam
bagiku agamaku (QS 109:6). Namun, bagi kaum Muslim yang setuju terhadap dialog,
perintah Tuhan kepada Nabi Muhammad untuk mengajak Ahli Kitab sampai kepada doktrin
yang umum antara agamanya (Islam) dan agama mereka, merupakan suatu dorongan. Dalam
Al Qur’an dinyatakan:
Katakanlah:Hai Ahli Kitab marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang
tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan
tidak kita perseutukan Ia dengan sesuatu apa pun dan tidak (pula) sebagian kita
menjadikan sebagian yang lain dengan tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling, maka
katakanlah kepada mereka; “Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang berserah
diri (kepada Allah)” (QS 3:64).

Pada mulanya, ungkapan “Ahli Kitab” terutama sekali berarti orang-orang Yahudi dan
Nasrani, tetapi ahirnya meluas meliputi para pengikuti dari kepercayaan (tertulis) suci yang
lain (other holy write). (Zamharir, 2004).
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat penulis simpulkan dari uraian pembahasan diatas adalah
demokrasi tidak sepenuhnya bertentangan dan tidak sepenuhnya sejalan dengan Islam. Agar
demokrasi selaras dengan pandangan islam dapat terwujud, langkah yang harus dilakukan
adalah harus adanya pemahaman yang benar tentang demokrasi dalam pandagan Islam
paling tidak memahami demokrasi dalam pandangan Islam seperti dalam tujuan yang
termuat dalam tugas ini yaitu mengetahui dasar demokrasi dalm Islam., memahami prinsip
nilai demokrasi, mengetahui contoh praktek demokrasi dalam Islam, memahami
pertentangan antara demokrasi dan Islam serta mengetahui cara menghadapi perbedaan
sehingga aspirasi yang disampaikan tidak keluar dari ajarannya.

3.2 Saran

Saran dari penulis untuk para pembaca agar dapat memahami demokrasi dalam
pandangan Islam lebih jauh maka perbanyaklah membaca buku demokrasi yang membahas
dari sudut pandang Islam. Mempelajari dari banyak sudut pandang beberapa pakar
demokrasi dalam Islam yang ilmunya dapat dipercaya. Serta tidak lupa memahami
demokrasi dalam Islam menuntun kita kepada kebaikan hakiki.
DAFTAR PUSTAKA

Khaled Abou El Fadl. Islam & Tantangan Demokrasi, terj. Ghifna Ayu Rahmani
& Ruslani. Jakarta: Ufuk Press, 2004

Zamharir, Muhammad Hari. Agama dan Negara Analisis Kritis Pemikiran Politik
Nur Kholis Madjid. Jakarta: PT. Raja grafindo, 2004.

Alumni Pascasarjana Magister Studi Islam UII Yogyakarta. Antara Islam


Dan Demokrasi | Magister Study Islam UII | MSI UII.
http://master.Islamic.uii.ac.id/ar/antara-Islam-dan-demokrasi/. Diakses pada tanggal 6 April
2016 Pukul 20:41 WIB.

Anda mungkin juga menyukai