Anda di halaman 1dari 14

FILSAFAT MAKANAN KHAS YOGYAKARTA

“GUDEG”

Diajukan guna memenuhi salah satu tugas mata kuliah Filsafat Ilmu

yang diampu oleh :

Oleh:

Sontya Marlinda Sari 18050394001

Dewi Puspitasari 18050394030

Shofa Madaniyah 18050394039

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA

FAKULTAS TEKNIK

JURUSAN PENDIDIKAN KESEJAHTERAAN KELUARGA

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIDIKAN TATA BOGA

2019
BAB I
ONTOLOGI

Ontologi merupakan salah satu kajian filsafat yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi
tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki
pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles . Pada
masanya, kebanyakan orang belum membedaan antara penampakandengan kenyataan. Thales
terkenal sebagai filsuf yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi
terdalam yang merupakan asal mula segala sesuatu. Namun yang lebih penting ialah
pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dari satu substansi belaka
(sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri sendiri).
Hakikat kenyataan atau realitas memang bisa didekati ontologi dengan dua macam sudut
pandang:

1. kuantitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan itu tunggal atau jamak?
2. Kualitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan (realitas) tersebut memiliki
kualitas tertentu, seperti misalnya daun yang memiliki warna kehijauan, bunga mawar
yang berbau harum.
Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari realitas atau
kenyataan konkret secara kritis.
Beberapa aliran dalam bidang ontologi, yakni Monisme, Dualisme, Materialisme, Idelalisme,
Agnostisisme
Monisme: aliran yang mempercayai bahwa hakikat dari segala sesuatu yang ada adalah satu saja,
baik yang asa itu berupa materi maupun ruhani yang menjadi sumber dominan dari yang lainnya.
Para filosof pra-Socrates seperti Thales, Demokritos, dan Anaximander termasuk dalam
kelompok Monisme, selain juga Plato dan Aristoteles. Sementara filosof Modern seperti I. Kant
dan Hegel adalah penerus kelompok Monisme, terutama pada pandangan Idealisme mereka.
Ontologi merupakan salah satu diantara lapangan-lapangan penyelidikan filsafat yang paling
kuno. Pertama kali diperkenalkan oleh filosof Yunani bernama Thales atas pernungannya
terhadap air yang terdapat dimana-mana, dan sampai pada kesimpulan bahwa “air merupakan
substabsi terdalam yang merupakan asal mula dari segala sesuatu”. Yang penting bagi kita
bukanlah mengenai kesimpulannya tersebut melainkan pendiriannya bahwa mungkin segala
sesuatu berasal dari satu substansi saja.
Dualisme: kelompok ini meyakini sumber asal segala sesuatu terdiri dari dua hakikat, yaitu
materi(jasad) dan jasmani(spiritual). Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan berdiri
sendiri, sama-sama abadi dam azali. Perhubungan antara keduanya itulah yang menciptakan
kehidupan dalam alam ini. Contoh yang paling jelas tentang adanya kerja sama kedua hakikat ini
ialah dalam diri manusia.
Descartes adalah contoh filosof Dualis dengan istilah dunia kesadaran (ruhani) dan dunia ruang
(kebendaan). Aristoteles menamakan kedua hakikat itu sebagai materi dan forma (bentuk yang
berupa rohani saja). Umumnya manusia dengan mudah menerima prinsip dualisme ini, karenaa
kenyataan lahir dapat segera ditangkap panca indera kita, sedangkan kenyataan batin dapt segera
diakui adanya dengan akal dan perasaan hidup.
Materialisme : aliran ini menganggap bahwa yang ada hanyalah materi dan bahwa segala
sesuatu yang lainnya yang kita sebut jiwa atau roh tidaklah merupakan suatu kenyataan yang
berdiri sendiri. Menurut pahan materialisme bahwa jiwa atau roh itu hanyalah merupakan proses
gerakan kebendaan dengan salah satu cara tertentu.
Materialisme terkadang disamakan orang dengan naturalisme.Namun sebenarnya terdapat
perbedaan antara keduanya. Naturalisme merupakan aliran filsafat yang menganggap bahwa
alam saja yang ada, yang lainnya di luar alam tidak ada. (Tuhan yang di luar alam tidak ada).
Sedangkan yang dimaksud alam (natural) disana ialah segala-galanya meliputi benda dan roh.
Sebaliknya materialisme menganggap roh adalah kejadian dari benda, jadi tidak sama nilainya
dengan benda.
Filsafat Yunani yang pertama kali muncul juga berdasarkan materialisme, mereka disebut filsafat
alam (natuur filosofie). Mereka menyelidiki asal-usul kejadian alam ini pada unsur-unsur
kebendaan yang pertama. Thales (625-545 s.M) menganggap bahwa unsur asal
itu air. Anaximandros (610-545 s.M) menganggap bahwa unsur asal itu apeironyakni suatu
unsur yang tak terbatas. Anaximenes (585-528 s.M) menganggap bahwa unsur asal
itu udara. Dan tokoh yang terkenal dari aliran ini adalah Demokritos (460-360 s.M) menggap
bahwa hakikat alam ini merupakan atom-atom yang banyak jumlahnya tak dapat dihitung dan
sangat halus. Atom-atom itulah yang menjadi asal kejadian peristiwa alam. Pada Demokritos
inilah tampak pendapt materialisme klasik yang lebih tegas.
Idealisme : idealisme merupakan lawan dari materialisme yang juga dinamakan spiritualisme.
Aliran menganggap bahwa hakikat kenyataan yang beraneka warna itu semua berasal dari roh
(sukma) atau yang sejenis dengan itu. Intinya sesuatu yang tidak berbentuk dan yang tidak
menempati ruang. Menurut aliran ini materi atau zat itu hanyalah suatu jenis dari pada
penjelmaan roh. Alasan yang terpenting dari aliran ini adalah “manusia menganggap roh lebih
berharga, lebih tinggi nilainya dari materi bagi kehidupan manusia. Roh dianggap sebagai
hakikat yang sebenarnya, sehingga materi hanyalah badannya, bayngan atau penjelmaan saja.
Agnostisisme: pada intinya Agnostisisme adalah paham yang mengingkari bahwa manusia
mampu mengetahui hakikat yang ada baik yang berupa materi ataupun yang ruhani. Aliran ini
juga menolak pengetahuan manusia tentang hal yang transenden. Contoh paham Agnostisisme
adalah para filosof Eksistensialisme, seperti Jean Paul Sartre yang juga seorang Ateis. Sartre
menyatakan tidak ada hakikat ada (being) manusia, tetapi yang ada adalah keberadaan (on
being)-nya.
Istilah istilah terpenting yang terkait dengan ontologi adalah:

 yang-ada (being)
 kenyataan/realitas (reality)
 eksistensi (existence)
 esensi (essence)
 substansi (substance)
 perubahan (change)
 tunggal (one)
 jamak (many)
Ontologi ini pantas dipelajari bagi orang yang ingin memahami secara menyeluruh tentang dunia
ini dan berguna bagi studi ilmu-ilmu empiris (misalnya antropologi, sosiologi, ilmu kedokteran,
ilmu budaya, fisika, ilmu teknik dan sebagainya)
ONTOLOGI GUDEG (SEJARAH)
Waktu itu sekitar abad ke-16. Para prajurit Kerajaan Mataram membongkar hutan belantara
untuk membangun peradaban yang kini terletak di kawasan Kotagede. Ternyata di hutan
tersebut, Murdijati berkisah, terdapat banyak pohon nangka dan kelapa.  Gudeg manggar Bu
Seneng(Tribun Jogja/Hamim Thohari) "Para prajurit yang jumlahnya ratusan itu kemudian
berusaha memasak nangka dan kelapa. Karena jumlah mereka sangat banyak, nangka dan kelapa
dimasak di dalam  ember besar yang terbuat dari logam. Pengaduknya pun besar, seperti dayung
perahu," lanjut penulis buku berjudul 'Gudeg, Sejarah dan Riwayatnya' itu. Proses memasak
gudeg tersebut mereka sebut hangudek, alias mengaduk. Dari hangudek, terciptalah makanan
yang kemudian disebut gudeg.  Dari 'makanan tidak sengaja' yang diciptakan para prajurit
Mataram, gudeg kini menjadi ikon sekaligus identitas Yogyakarta. Ketenaran gudeg dimulai dari
keluarga para prajurit mataram, kemudian melebar ke masyarakat luas. "Masyarakat melihat
gudeg itu sebagai makanan yang fleksibel. Bisa dikombinasikan hanya dengan tempe, tahu,
bahkan hanya gudeg dengan areh (kuah) saja sudah bisa untuk makan. Warga yang punya uang
bisa menyantapnya dengan telur atau ayam," papar Murdijati. Itulah mengapa gudeg menjadi
makanan favorit berbagai kalangan masyarakat. Apalagi, menurut Murdijati, gudeg menjadi
komoditi yang bisa disatukan dalam satu tempat. Buktinya adalah Jalan Wijilan. Mulai tahun
1970-1980an, saat Yogyakarta mulai digalakkan sebagai kawasan pariwisata, Jalan Wijilan
dijadikan sentra gudeg khas Yogyakarta. Di jalan inilah Yu Djum dan para penjual gudeg
lainnya membuka lapak. "Tiap penjual memiliki pangsa pasarnya sendiri. Ada pelanggannya
sendiri. Mereka tidak takut kehilangan pembeli karena bicara soal gudeg berarti bicara soal
selera," tutur Murdijati. Itulah mengapa sepiring gudeg, dengan beragam lauk yang bisa dipilih,
selalu menempati ruang khusus di lambung warga Yogyakarta. Seporsi gudeg selalu bisa
dinikmati baik untuk sarapan, makan siang, hingga makan malam

BAB II
EPISTIMOLOGI
A. Pengertian Epistemologi
Terjadi perdebatan filosofis yang sengit di sekitar pengetahuan manusia, yang menduduki pusat
permasalahan di dalam filsafat, terutama filsafat modern. Pengetahuan manusia adalah titik tolak
kemajuan filsafat, untuk membina filsafat yang kukuh tentang semesta (universe) dan dunia.
Maka sumber-sumber pemikiran manusia, kriteria-kriteria, dan nilai-nilainya tidak ditetapkan,
tidaklah mungkin melakukan studi apa pun, bagaimanapun bentuknya.16 Salah satu perdebatan
besar itu adalah diskusi yang mempersoalkan sumbersumber dan asal-usul pengetahuan dengan
meneliti, mempelajari dan mencoba mengungkapkan prinsip-prinsip primer kekuatan struktur
pikiran yang dianugerahkan kepada manusia. Maka dengan demikian ia dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan berikut ini: Bagaimana pengetahuan itu muncul dalam diri manusia?
Bagaimana kehidupan intelektualnya tercipta, termasuk setiap pemikiran dan kinsep-konsep
(nations) yang muncul sejak dini ? dan apa sumber yang memberikan kepada manusia arus
pemikiran dan pengetahuan ini ? Sebelum menjawab semua pertanyaan-petanyaan di atas, maka
kita harus tahu bahwa pengetahuan (persepsi) itu terbagi, secara garis besar, menjadi dua.
Pertama, konsepsi atau pengetahuan sederhana. Kedua tashdiq (assent atau pembenaran), yaitu
pengetahuan yang mengandung suatu penilaian. Konsepsi dapat dicontohkan dengan
penangkapan kita terhadap pengertian panas, cahaya atau suara. Tashdiq dapat dicontohkan
dengan penilaian bahwa panas adalah energi yang datang dari matahari dan bahwa matahari
lebih bercahaya daripada bulan dan bahwa atom itu dapat meledak.17 Jadi antar konsepsi dan
tashdiq sangat erat kaitannya, karena konsepsi merupakan penangkapan suatu objek tanpa
menilai objek itu, sedangkan tashdiq, adalah memberikan pembenaran terhadap objek.
Pengetahuan yang telah didapatkan dari aspek ontologi selanjutnya digiring ke aspek
epistemologi untuk diuji kebenarannya dalam kegiatan ilmiah. Menurut Ritchie Calder proses
kegiatan ilmiah dimulai ketika manusia mengamati sesuatu. 18Dengan demikian dapat dipahami
bahwa adanya kontak manusia dengan dunia empiris menjadikannya ia berpikir tentang
kenyataan-kenyataan alam. Setiap jenis pengetahuan mempunyai ciri yang spesifik mengenai
apa, bagaimana dan untuk apa, yang tersusun secara rapi dalam ontologi, epistemologi, dan
aksiologi. Epistemologi itu sendiri selalu dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi ilmu.
Persoalan utama yang dihadapi oleh setiap epistemologi pengetahuan pada dasarnya adalah
bagaimana cara mendapatkan pengetahuan yang benar dengan mempertimbangkan aspek
ontologi dan aksiologi masing-masing ilmu.19
39

Sulesana

Volume 8 Nomor 2 Tahun 2013
Kajian epistemologi membahas tentang bagaimana proses mendapatkan ilmu pengetahuan, hal-
hal apakah yang harus diperhatikan agar mendapatkan pengetahuan yang benar, apa yang disebut
kebenaran dan apa kriterianya. Objek telaah epistemologi adalah mempertanyakan bagaimana
sesuatu itu datang, bagaimana kita mengetahuinya, bagaimana kita membedakan dengan lainnya,
jadi berkenaan dengan situasi dan kondisi ruang serta waktu mengenai sesuatu hal.20 Jadi yang
menjadi landasan dalam tataran epistemologi ini adalah proses apa yang memungkinkan
mendapatkan pengetahuan logika, etika, estetika, bagaimana cara dan prosedur memperoleh
kebenaran ilmiah, kebaikan moral dan keindahan seni, apa yang disebut dengan kebenaran
ilmiah, keindahan seni dan kebaikan moral. Dalam memperoleh ilmu pengetahuan yang dapat
diandalkan tidak cukup dengan berpikir secara rasional ataupun sebaliknya berpikir secara
empirik saja karena keduanya mempunyai keterbatasan dalam mencapai kebenaran ilmu
pengetahuan. Jadi pencapaian kebenaran menurut ilmu pengetahuan didapatkan melalui metode
ilmiah yang merupakan gabungan atau kombinasi antara rasionalisme dengan empirisme sebagai
satu kesatuan yang saling melengkapi. Banyak pendapat para pakar tentang metode ilmu
pengetahuan, namun penulis hanya memaparkan beberapa metode keilmuan yang tidak jauh
beda dengan proses yang ditempuh dalam metode ilmiah Metode ilmiah adalah suatu rangkaian
prosedur tertentu yang diikuti untuk mendapatkan jawaban tertentu dari pernyataan yang tertentu
pula. Epistemologi dari metode keilmuan akan lebih mudah dibahas apabila mengarahkan
perhatian kita kepada sebuah rumus yang mengatur langkah-langkah proses berfikir yang diatur
dalam suatu urutan tertentu Kerangka dasar prosedur ilmu pengetahuan dapat diuraikan dalam
enam langkah sebagai berikut: a. Sadar akan adanya masalah dan perumusan masalah
b. Pengamatan dan pengumpulan data yang relevan
c. Penyusunan atau klarifikasi data
d. Perumusan hipotesis
e. Deduksi dari hipotesis
f. Tes pengujian kebenaran (Verifikasi)21
Keenam langkah yang terdapat dalam metode keilmuan tersebut masingmasing terdapat unsur-
unsur empiris dan rasional. Menurut AM. Saefuddin bahwa untuk menjadikan pengetahuan
sebagai ilmu (teori) maka hendaklah melalui metode ilmiah yang terdiri atas dua pendekatan:
Pendekatan deduktif dan Pendekatan induktif. Kedua pendekatan ini tidak dapat dipisahkan
dengan menggunakan salah satunya saja, sebab deduksi tanpa diperkuat induksi dapat dimisalkan
sport otak tanpa mutu kebenaran, sebaliknya induksi tanpa deduksi menghasilkan buah pikiran
yang mandul.22
40

Sulesana

Volume 8 Nomor 2 Tahun 2013
Proses metode keilmuan pada akhirnya berhenti sejenak ketika sampai pada titik “pengujian
kebenaran” untuk mendiskusikan benar atau tidaknya suatu ilmu. Ada tiga ukuran kebenaran
yang tampil dalam gelanggang diskusi mengenai teori kebenaran, yaitu teori korespondensi,
koherensi dan pragmatis.23 Penilaian ini sangat menentukan untuk menerima, menolak,
menambah atau merubah hipotesa, selanjutnya diadakanlah teori ilmu pengetahuan.24

   B.     Sumber-sumber Epitemologi

Teori pengetahuan tidak dapat menghindarkan pembahasan tentang sumber-sumber pengetahuan


tempat bahan-bahannya diperoleh. Sumber-sumber itu menurut filosof, tidak lain adalah indra,
akal dan hati. Ada juga yang berpendapat bahwa sumber-sumber epistemologi itu antara lain
adalah sebagai berikut:

1.      Alam Adalah Sumber Epistemologi

Salah satu sumber epistemologi adalah alam semesta ini. Yang dimaksud dengan alam, adalah
alam materi, alam ruang dan waktu, alam gerakan, alam yang sekarang kita tengah hidup
didalamnya, dan kita memiliki hubungan dengan alam ini dengan menggunakan berbagai alat
indera kita. sedikit sekali fakultas yang menolak alam sebagai sumber epistemologi, tetapi baik
pada masa dahulu dan juga pada masa sekarang ini ada beberapa ilmuan yang tidak mengakui
alam sebagai suatu sumber epistemologi. Plato tidak mengakui alam sebagai suatu sumber
epistemologi, karena hubungan manusia dengan alam adalah dengan perantaraan alat indera, dan
sifatnya partikular (juz’i), karena ia meyakini bahwa partikular bukanlah suatu hakikat. Pada
dasarnya ia hanya meyakini rasio sebagai sumber epistemologi, dan dengan menggunakan suatu
metode argumentasi, dimana Plato menamakan metode dan cara tersebut dengan “dialektika”.
Bahkan Descartes yang merupakan salah seorang dari dua filosof ( Descartes dan Francis Bacon)
yang menempatkan ilmu pengetahuan pada jalur yang baru, meskipun ia seorang filosof yang
cenderung pada alam, meskipun ia selalu menyampaikan ajakan untuk meneliti dan mengkaji
alam, ia tidak mengakui alam sebagai sumber epistemologi dan tidak mengakui indera sebagai
alat epistemologi. Descartes mengatakan, “Alam mesti dikaji dan dipelajari dengan
menggunakan indera, tetapi hal ini tidak akan mengantarkan kita pada suatu hakikat.
Pengetahuan ilmiah hanya bermafaat bagi aktivitas kita, dan kita tidak memiliki suatu keyakinan
bahwa apakah sesuatu yang kita ketahui itu, realitasnya adalah persis sebagaimana yang kita
ketahui. Alam memiliki nilai praktis (‘amali) dan bukan nilai teoritis (nazhari) serta ilmiah
(‘ilmi).”
Tetapi diantara para ilmuwan dunia, sedikit sekali yang memiliki pandangan semacam itu.
Sebagian besar dari mereka adalah meyakini bahwa alam ini adalah sumber epistemologi.
Sekarang, apakah ilmu pengetahuan modern yang ada ini, ketika manusia melihat bidang industri
dan teknologi telah mngalami kemajuan dan perkembangan yang menakjubkan sesuai dengan
epistemologi yang betul? Yakni apakah (pengetahuan itu) menunjukkan kepada kita mengenai
hakikat, realitas dan obyektifitas alam ini? ataukah yang benar adalah ucapan Descartes,
“Memberi kekuatan dan tenaga pada kita, memiliki nilai praktis, tetapi kita tidak dapat merasa
yakin bahwa ilmu pengetahuan manusia pada masa sekarang ini, mampu menunjukkan realitas
yang ada.”
Sungguh amat mengherankan, hari demi hari nilai praktis ilmu pengetahuan semakin bertambah,
dan ilmu ini juga semakin memberi kekuatan dan tenaga kepada manusia dalam upaya
menguasai alam, tetapi begitu juga hari demi hari nilai teoretis, ilmiah dan obyektifitas alam
yang ditunjukkan oleh ilmu itu, semakin berkurang, sampai-sampai suatu perkara yang paling
jelas pun, yang menurut pandangan para ilmuwan kuno dan masyarakat awam adalah sesuatu
yang pasti, tetapi menurut pandangan ahli fisika sekarang ini, perkara itu adalah suatu perkara
yang masih diragukan.
Jika timbul pertanyaan dengan menggunakan bahasa ilmiah, apa hakikat alam ini? Apakah di
dalamnya terdapat sebuah sistem? Jawabnya mungkin tidak diketahui. Karena, dalam alam ini
ada beberapa poin yang sifatnya global, dan ada pula berbagai bencana di alam ini yang tidak
beraturan, tidak berlandaskan pada suatu sistem, ketentuan, dasar dan asas. Ilmu pengetahuan
modern, tidak dapat memberikan kepastian pada perkara apapun, dan semua pengetahuan itu
sifatnya hanya dugaan (hipotesa).
Walaupun para filosof materialis, di antaranya adalah Russel, telah digoncang oleh bentuk
filosofis ini. Tetapi perlu ditegaskan bahwa filosof adalah seorang yang memiliki bentuk
pemikiran bebas dan terbuka, dan pemikirannya bukan berasal dari dikte. Ia akan mengatakan
sesuatu yang ia ketahui dan pahami sekalipun hal itu bertentangan dengan dasar pemikiran dan
fakultasnya.
Sekarang hipotesa yang ada adalah bahwa alam ini merupakan salah satu sumber epistemologi.
Alhasil, jika epistemologi itu diartikan secara lebih umum, yakni epistemologi ialah sesuatu yang
dapat memberikan kepada kita suatu kekuatan dan tenaga praktis, ataupun sesuatu yang dapat
menunjukkan suatu hakikat, tentu tidak ada lagi keraguan padanya (epistemologi itu).

2.      Rasio Dan Hati

Rasio dana hati adalah Dua Sumber Lain Epistemologi Sumber yang lain yang masih perlu
dibahas adalah masalah kekuatan rasio dan pikiran manusia. Setelah kita mengetahui bahwa
alam ini merupakan “sumber luar” bagi epistemologi, lalu apakah manusia juga memiliki
“sumber dalam” bagi epistemologi ataukah tidak memiliki? Hal ini tentunya berkaitan erat
dengan masalah rasio, berbagai perkara yang rasional, berbagai perkara yang sifatnya fitrah. Ada
beberapa fakultas yang menyatakan bahwa kita memiliki (“sumber dalam” itu), sementara
sebagian yang lain menafikan keberadaannya. Ada sebagian fakultas yang meyakini keterlepasan
rasio dari indera, dan sebagian lain tidak mayakini keterlepasan rasio dari indera.
Selanjutnya sumber selanjutnya adalah hati (jiwa). Semestinya kita tidak menyebutnya dengan
“alat”, tetapi kita harus menyebutnya dengan “sumber”. Tidak ada satu pun dari fakultas
materialisme yang mengakui keberadaan sumber ini. Karena jika meyakini hati sebagai satu
sumber, sedangkan manusia pada awal dilahirkan tidak memiliki suatu pengetahuan apapun, dan
di dalam hatinya tidak terdapat sesuatu apapun, dan juga meyakini bahwa hati dapat menerima
berbagai ilham (dan wahyu merupakan peringkat ilham yang paling sempurna), maka sama
halnya dengan mengakui adanya suatu alam yang ada di balik alam materi ini, karena materi
tidak dapat memberikan berbagai ilham semacam itu kepada manusia. Unsur ilham adalah unsur
metafisika.
Alat-alat epistemologi antara lain:
1)         Indera, yang merupakan alat untuk alam materi. Dengan alat ini manusia memperoleh
epistemologi dari alam materi.
2)         Berbagai argumen Logika, argumen yang rasional yang dalam ilmu logika disebut
dengan qiyas (silogisme) atau burhan (demonstrasi), yang ini adalah suatu bentuk praktik yang
dilakukan oleh rasio manusia. Alat ini (rasio) dapat diberlakukan, jika diyakini sebagai suatu
sumber epistemologi. Jika membatasi sumber epistemologi pada alam materi saja, dan
membatasi alat epistemologi hanya indera saja, menolak rasio sebagai sumber epistemologi, dan
juga menolak nilai alat silogisme dan demonstrasi. Selama tidak mengakui rasio sebagai sumber
epistemologi, maka tidak dapat bersandar pada alat silogisme dan demonstrasi. Yakni tidak dapat
mengakuinya sebagai suatu alat epistemologi.

            Alat untuk sumber epistemologi ini (hati atau jiwa), adalah penyucian hati atau jiwa
(tazkiyah an-nafs). Hati manusia ibarat satu sumber dan manusia dapat mengambil manfaat
sumber itu dengan menggunakan alat “penyucian hati”(tazkiyah an-nafs).
Di antara para ilmuwan yang ada pada masa sekarang ini, para ilmuwan yang memiliki pola pikir
materialis, menolak sumber dan alat ini. Sedangkan para ilmuan yang mamiliki pola pikir ilahi
(meyakini keberadaan Tuhan), mereka amat percaya dan yakin terhadap sumber dan alat ini.
Misalnya Bergson, atau yang biasa disebut William James. Ia adalah seorang filosof terkenal
berkebangsaan Amerika, dan banyak lagi para ilmuwan lainnya yang percaya dan yakin terhadap
sumber dan alat ini.
3.      Sejarah Merupakan Sumber Lain Epistemologi

Sejarah adalah sumber lain epistemologi yang sekarang ini dianggap sebagai suatu sumber yang
sangat penting. Al-Qur’an juga sangat mementingkan sumber ini. Karena menurut Al-Qur’an,
selain alam, rasio dan hati, masih ada satu sumber lain yaitu, sejarah.
Jika kita mengatakan bahwa alam adalah sumber epistemologi, maka di dalamnya juga berisi
sejarah. Al-Qur’an secara jelas dan tegas menyatakan bahwa sejarah merupakan bahan kajian.
Dengan demikian, maka sejarah itu merupakan salah satu sumber epistemologi. Seperti
disebutkan dalam suatu ayat.
Dalam salah satu ayat tersebut timbul pertanyaan, kenapa mereka tidak mengelilingi bumi?
Yakni pergi dan perhatikanlah berbagai peninggalan sejarah, kemudian perhatikanlah perubahan
sejarah yang terdapat dalam kehidupan dan sosial manusia. Inilah yang menurut pandangan Al-
Qur’an dan berbagai riwayat bahwa sejarah itu sendiri merupakan sumber epistemologi.

4.      Pengalaman Indra (Sense Experience)

            Orang sering merasa bahwa pengindraan adalah alat yang paling vital dalam memperoleh
pengetahuan. Memang dalam hidup manusia tampaknya pengindraan adalah satu-satunya alat
untuk mencerap segala objek yang ada di luar diri manusia. Karena terlalu menekankan pada
kenyataan, paham demikian dalam filsafat disebut realisme. Realisme adalah suatu paham yang
berpendapat bahwa semua yang dapat diketahui hanya kenyataan. Jadi, pengetahuan berawal dari
kenyataan yang dapat diindrai. Tokoh pemula dari pandangan ini adalah Aristoteles, yang
berpendapat bahwa pengetahuan terjadi bila subjek diubah di bawah pengaruh objek, artinya
bentuk dari dunia luar meninggalkan bekas dalam kehidupan batin. Objek masuk dalam diri
subjek melalui persepsi indra (sensasi). Yang demikian ini ditegaskan pula oleh Aristoteles yang
berkembang pada abad pertengahan adalah Thomas Aquinas yang mengemukakan bahwa tiada
sesuatu dapat masuk lewat ke dalam akal yang ditangkap oleh indra.

5.      Nalar (Reason)

            Nalar adalah salah satu corak berpikir dengan menggabungkan dua pemikiran atau lebih
dengan maksud untuk mendapatkan pengetahuan baru. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
masalah ini tentang asas-asas pemikiran, yaitu sebagai berikut:
a)      Principium Identitas yaitu sesuatu itu sama dengan dirinya sendiri (A=A). Asas ini biasa
disebut asas kesamaan.
b)      Principium contradictioad yaitu apabila dua pendapat yang bertentangan, tidak mungkin
kedua-duanya benar dalam waktu yang bersamaan. Dengan kata lain pada subjek yang sama
tidak mungkin terdapat dua predikat yang bertentangan pada satu waktu. Asas ini biasa disebut
asas pertentangan.
c)      Principium tertii exclusi yaitu apabila dua pendapat yang berlawanan tidak mungkin
keduanya benar dan tidak mugkin keduanya salah. Kebenaran hanya terdapat satu diantara kedua
itu, tidak perlu ada pendapat yang ketiga. Asas ini biasa disebut asas tidak adanya kemungkinan
ketiga.

6.      Otoritas (Authority)
            Otoritas adalah kekuasaan yang sah yang dimiliki oleh seseorang dan diakui
kelompoknya. Otoritas menjadi salah satu sumber pengetahuan, karena kelompoknya memiliki
pengetahuan melalui seseorang yang mempunyai kewibawaan dalam pengetahuannya.
Pengetahuan yang diperoleh melalui otoritas ini biasanya tanpa diuji lagi karena orang yang telah
menyampaikannya mempunyai kewibawaan tertentu.
Jadi, kesimpulannya adalah bahwa pengetahuan karena adanya otoritas terjadi melalui wibawa
seseorang sehingga orang lain mempunyai pengetahuan.

7.      Intuisi (Intuition)
            Intuisi adalah suatu kemampuan yang ada pada diri manusia melalui proses kejiwaan
tanpa suatu rangsangan atau stimulus mampu untuk membuat pernyataan berupa pengetahuan.
Pengetahuan yang diperoleh melalui intuisi tidak dapat dibuktikan seketika atau melalui
kenyataan karena pengetahuan ini muncul tanpa adanya pengetahuan lebih dahulu. Dengan
demikian, peran intuisi sebagai sumber pengetahuan adalah adanya kemampuan dalam diri
manusia yang dapat melahirkan pernyataan-pernyataan berupa pengetahuan.

8.      Wahyu (Revelation)
            Wahyu adalah berita yang disampaikan oleh Tuhan kepada Nabi-Nya untuk kepentingan
umatnya. Kita mempunyai pengetahuan melalui wahyu, karena ada kepercayaan tentang sesuatu
yang disampaikan itu. Seseorang yang mempunyai pengetahuan melalui wahyu secara dogmatik
akan melaksanakan dengan baik. Wahyu dapat dikatakan sebagai salah satu sumber
pengetahuan, karena kita mengenal sesuatu dengan melalui kepercayaan kita.

9.      Keyakinan (Faith)
            Keyakinan adalah kemampuan yang ada pada diri manusia yang diperoleh melalui
kepercayaan. Sesungguhnya antara sumber pengetahuan berupa wahyu dan keyakinan ini sangat
sukar untuk dibedakan secara jelas, karena keduanya menetapkan bahwa alat lain yang
dipergunakannya adalah kepercayaan. Perbedaannya barangkali jika keyakinan terhadap wahyu
yang secara dogmatik diikutinya adalah peraturan yang berupa agama. Adapun keyakinan
melalui kemampuan kejiwaan manusia merupakan pematangan (maturation) dari kepercayaan.
Karena kepercayaan itu bersifat dinamik mampu menyesuaikan dengan keadaan yang sedang
terjadi. Sedangkan keyakinan itu sangat statik, kecuali ada bukti-bukti baru yang akurat dan
cocok buat kepercayaannya.

   C.    BEBERAPA PANDANGAN EPISTEMOLOGI

1.                   Aliran Filsafat dan Epistemologi Science Modern

a.      Empirisme

Secara radikal empirisme berpendirian bahwa sebenarnya kita hanya bisa memperoleh
pengetahuan melalui pengalaman dengan menggunakan indra ilmiah. Thomas Hobbes, salah
seorang penganut empirisme mengemukakan bahwa empiris (pengalaman) adalah awal dari
segala pengetahuan. Karena itu semua diturunkan dari pengalaman. Tokoh empiris lain adalah
John Locke. Ia terkenal dengan teori Tabula Rasanya. Menurut Locke, rasio manusia pada
mulanya sebagai lembaran kertas putih (as white paper). Apa yang kemudian mengisinya,
seluruhnya berasal dari pengalaman, baik pengalaman lahiriah (sensation) maupun pengalaman
batiniah (reflection). George Barkeley adalah tokoh lain empiris yang mengemukakan teori
immaterialisme atas dasar prinsip empirisisme. Menurutnya sama sekali tidak ada substansi yang
bersifat material. Yang ada hanyalah ciri-ciri yang dapat diamati, atau dengan kata lain, yang ada
hanyalah pengalaman dalam jiwa saja (being is being perceived). David Hume tidak menerima
konsep mengenai substansi, sebab menurutnya, apa yang dialami manusia hanyalah kesan-kesan
tentang beberapa ciri yang selalu terdapat bersama-sama

b.      Rasionalisme
Penganut rasionalisme berpandangan bahwa ia dapat dicapai dengan menggunakan akal budi
(intellect) sebagai sumber utama. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa pada dasarnya
pengetahuan adalah suatu sistem dedukatif yang dapat dipahami secara rasioanal dengan ukuran
kebenaran adalah konsistensi logis. Penganut rasionalisme meyakini bahwa metode rasional
yang dedukatif, rasional, matematis dan inferensial dapat digunakan untuk mencapai
pengetahuan.

c.        Kritisisme
Kritisisme adalah suatu aliran filsafati, yang dalam epistemologi berupaya menunjukkan jalan
untuk mencapai pengetahuan tanpa harus terjebak dalam ekstrimitas empirisme dan
rasionalisme. Menurut Kant, memang benar bahwa kita punya pengalaman inderawi, tapi sama
benarnya juga bahwa kita mempunyai pengetahuan yang menghubungkan hal-hal, yang untuk
mencapainya, kita harus keluar menembus pengalaman. Bagi Kant, pengetahuan manusia pada
dasarnya terjadi alas unsur-unsur aposteriori (sesudah pengalaman) dan apriori (mendahului
pengalaman)

BAB III
PENDAHULUAN
A. AKSIOLOGI
Jadi yang menjadi landasan dalam tataran aksiologi adalah untuk apa pengetahuan itu
digunakan? Bagaimana hubungan penggunaan ilmiah dengan moral etika? Bagaimana penentuan
obyek yang diteliti secara moral? Bagimana kaitan prosedur ilmiah dan metode ilmiah dengan
kaidah moral?
Terlepas dari seberapa seringnya seorang informan mengkonsumsi gudeg, ini tidak bisa
menjawab pertanyaan mengenai makna gudeg bagi masyarakat Yogyakarta. Menurut Spradley,
“makna sebuah simbol dapat ditemukan dengan menanyakan bagaimana simbol itu digunakan
dan bukan dengan menanyakan makna”.
Dalam keseharian, gudeg bisa dinikmati kapan saja seseorang menginginkannya. Tidak ada
aturan atau tradisi khusus yang mengharuskan gudeg dimakan pada suatu waktu tertentu. Isinya
pun tidak berbeda antara gudeg yang dimakan pada pagi hari, siang hari, dan malam hari. Hanya
terkadang penyajiannya sedikit berbeda, seperti gudeg untuk sarapan yang kadang disajikan
dengan bubur dan bukan dengan nasi seperti biasanya.
Dalam kaitannya sebagai makanan khas, dari sudut pandang masyarakatnya, gudeg juga
mempunyai fungsi bagi Yogyakarta. Gudeg bagi Yogyakarta merupakan salah satu bentuk
identitas, seperti batik. Ini pada akhirnya berkaitan erat pula dengan industri pariwisata
Yogyakarta sendiri. Keberadaan gudeg menjadi salah satu pengalaman (mencicipi) kuliner yang
dapat ditawarkan kepada para turis yang datang ke Yogyakarta. Karenanya, gudeg juga dapat
menjadi alat penggeliat ekonomi dalam hal pariwisata. Sebagai identitas, gudeg juga berperan
besar sebagai oleh-oleh yang melambangkan kota Yogyakarta. Oleh-oleh ini biasanya diberikan
pada mereka yang tinggal di luar Yogyakarta atau tidak ikut berkunjung ke Yogyakarta.
Kelima, dari fungsinya, gudeg rupanya memiliki empat kegunaan utama bagi masyarakat
Yogyakarta di kesehariannya, yaitu sebagai 1) comfort food, 2) klangenan, 3) suguhan, 4)
hiburan, 5) lauk harian, 6) dalam kegiatan tradisi yang dapat ditemukan oleh peneliti adalah
sebagai sesaji di upacara besar dalam Kraton Yogyakarta, yaitu dalam Sesaji Rajasuya.

Anda mungkin juga menyukai