Anda di halaman 1dari 13

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Sejarah Masuk Dan Berkembangnya  Islam di Sumatera


Bukti tertulis mengenai adanya masyarakat Islam di Indonesia tidak ditemukan sampai
dengan abad 4 H (10 M). Yang dimaksud dengan bukti tertulis adalah bangunan-bangunan
masjid, makam, ataupun lainnya.
Hal ini memberikan kesimpulan bahwa pada abad 1—4 H merupakan fase pertama
proses kedatangan Islam di Indonesia umumnya dan Sumatera khususnya, dengan kehadiran
para pedagang muslim yang singgah di berbagai pelabuhan di Sumatera. Dan hal ini dapat
diketahui berdasarkan sumber-sumber asing.
Dari literature Arab, dapat diketahui bahwa kapal-kapal dagang Arab sudah mulai
berlayar ke wilayah Asia Tenggara sejak permulaan abad ke– 7 M. Sehingga, kita dapat
berasumsi, mungkin dalam kurun waktu abad 1—4 H terdapat hubungan pernikahan anatara
para pedagang atau masyarakat muslim asing dengan penduduk setempat sehingga
menjadikan mereka masuk Islam baik sebagai istri ataupun keluarganya.
Sedangkan bukti-bukti tertulis adanya masyarakat Islam di Indonesia khususnya Sumatera,
baru ditemukan setelah abad ke– 10 M. yaitu dengan ditemukannya makam seorang wanita
bernama Tuhar Amisuri di Barus, dan makam Malik as Shaleh yang ditemukan di
Meunahasah Beringin kabupaten Aceh Utara pada abad ke– 13. M.

B.     Keadaan Masyarakat Sumatra Sebelum Masuknya Islam


Sumatera Utara memiiki letak geografis yang strategis. Hal ini membuat Sumatera
Utara menjadi pelabuhan yang ramai, menjadi tempat persinggahan saudagar-saudagar
muslim Arab dan menjadi salah satu pusat perniagaan pada masa dahulu.
Sebelum masuk agama Islam ke Sumatera Utara, masyarakat setempat telah menganut
agama Hindu. Hal ini dibuktikan dengan kabar yang menyebutkan bahwasanya Sultan Malik
As-Shaleh, Sultan Samudera Pasai pertama, menganut agama Hindu sebelum akhirnya
diIslamkan oleh Syekh Ismael.
Sama halnya dengan Sumatera Utara, Sumatera Selatan juga memiliki letak geografis
yang strategis. Sehingga pelabuhan di Sumatera Selatan merupakan pelabuhan yang ramai dan
menjadi salah satu pusat perniagaan pada masa dahulu. Oleh karena itu, otomatis banyak
saudagar-saudagar muslim yang singgah ke pelabuhan ini.
Sebelum masuknya Islam, Sumatera Selatan telah berdiri kerajaan Sriwijaya yang
bercorak Buddha. Kerajaan ini memiliki kekuatan maritim yang luar biasa. Karena
kerajaannya bercorak Buddha, maka secara tidak langsung sebagian besar masyarakatnya
menganut Agama Buddha.
Letak yang strategis menyebabkan interaksi dengan budaya asing, yang mau tidak mau
harus dihadapi. Hal ini membuat secara tidak langsung banyak budaya asing yang masuk ke
Sriwijaya dan mempengaruhi kehidupan penduduknya dan sistem pemerintahannya.
Termasuk masuknya Islam.
Bangsa Indonesia yang sejak zaman nenek moyang terkenal akan sikap tidak menutup
diri, dan sangat menghormati perbedaan keyakinan beragama, menimbulkan kemungkinan
besar ajaran agama yang berbeda dapat hidup secara damai. Hal-hal ini yang membuat Islam
dapat masuk dan menyebar dengan damai di Sumatera selatan khususnya dan Pulau Sumatera
umumnya.
  
C.    Masuk dan Berkembangnya Islam Di Sumatera Selatan
Palembang adalah kota yang memiliki letak geografis yang sangat strategis. Sejak
masa kuno, Palembang menjadi tempat singgah para pedagang yang berlayar di selat Malaka,
baik yang akan pergi ke negeri Cina dan daerah Asia Timur lainnya maupun yang akan
melewati jalur barat ke India dan negeri Arab  serta terus melewati jalur barat ke India dan
negeri Arab serta terus ke Eropa. Dan selain pedagang, para peziarah pun banyak
menggunakan jalur ini. Persinggahan ini yang memungkinkan terjadinya agama Islam mulai
masuk ke Palembang (Sriwijaya pada waktu itu) atau ke Sumatera Selatan.
Ada sebuah catatan sejarah Cina yang ditulis oleh It’sing, ketika ia berlayar ke India
dan akan kembali ke negeri Cina dan tertahan di Palembang. Kemudian ia membuat catatan
tentang kota dan penduduknya. Ada dua tempat di tepi selat Malaka pada permulaan abad ke–
7 M yang menjadi tempat singgah para musafir yang beragama Islam dan diterima dengan
baik oleh penguasa setempat yang belum beragama Islam yaitu Palembang dan Keddah.
Dengan demikian dapat disimpulkan, pada permulaan abad ke- 7 M di Palembang sudah ada
masyarakat Islam yang oleh penguasa setempat (pada waktu itu Raja Sriwijaya) telah diterima
dengan baik dan dapat menjalankan ibadah menurut agama Islam.
Selain itu, ada sumber yang menyebutkan bahwa telah ada hubungan yang erat antara
perdagangan yang diselenggarakan oleh kekhalifahan di Timur Tengah dengan Sriwijaya.
Yaitu dengan mempertimbangkan sejarah T’ang yang memberitakan adanya utusan raja Ta-
che (sebutan untuk Arab) ke Kalingga pada 674 M, dapatlah dipastikan bahwa di Sumatera
Selatan pun telah terjadi proses awal Islamisasi. Apalagi T’ang menyebutkan telah adanya
kampong Arab muslim di pantai Barat Sumatera.
Sesuai dengan keterangan sejarah, masuknya Islam ke Indonesia tidak mengadakan
invasi militer dan agama, tetapi hanya melaui jalan perdagangan. System penyebaran Islam
yang tidak kenal misionaris dan tidak adanya system pemaksaan melalui perang, melinkan
hanya melaui perdagangan saja memungkinkan Sriwijaya sebagai pusat kegiatan penyebaran
agama Budha, dapat menerima kehadiran Islam di wilayahnya.
Berdasarkan sejarah, Sriwijaya terkenal memiliki kekuatan maritim yang tangguh.
Walaupun ada yang meragukan hal tersebut karena melihat kondisi maritime bangsa
Indonesia sekarang.
Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan putra pribumi ikut berlayar bersama para
pedagang Islam ke pusat agama Islam yaitu mekkah. Dan tidak menutup kemungkinan pula,
putera pribumi mengadakan ekspedisi ke timur tengah untuk memperdalam keilmuan agama
Islam.
Sehingga dapat disimpulkan, bahwa bangsa Indonesia tidak serta merta menunggu
para pedagang Islam baik itu dari bangsa Arab ataupun sekitarnya untuk mencari tambahan
pengetahuannya tentang ajaran agama Islam.

D.    Kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera


1.      Kerajaan Perlak
Kerajaan Perlak adalah kerajaan Islam pertama di Nusantara. Kerajaan Perlak berdiri
pada abad ke-3 H (9 M). Disebutkan pada tahun 173 H, sebuah kapal layar berlabuh di Bandar
Perlak membawa angkatan dakwah di bawah pimpinan nakhoda khalifah. Kerajaan Perlak
didirrikan oleh Sayid Abdul Aziz (Raja Pertama Kerajaan Perlak) dengan gelar Sultan Alaidin
Sayid Maulana Abdul Aziz Syah. Pada akhir abad ke 12, di pantai timur Sumatera terdapat
negara Islam bernama Perlak. Nama itu kemudian dijadikan Peureulak, didirikan oleh para
pedagang asingg dari Mesir, Maroko, Persia, Gujarat, yang menetap di wilayah itu sejak awal
abad ke 12. Pendirinya adalah orang Arab suku Quraisy. Pedagang Arab itu menikah dengan
putri pribumi, keturunan raja Perlak. Dari perkawinan tersebut  ia mendapat seorang anak
bernama Sayid Abdul Aziz. Sayid Abdul Aziz adalah sultan pertama negeri Perlak. Setelah
dinobatkan menjadi sultan negeri Perlak, bernama Alaudin Syah. Demikian ia dikenal sebagai
sultan Alaidin Syah dari negeri Perlak.
     Angkatan dakwah yang dipimpin nakhoda khalifah berjumlah 100 orang, yang terdiri
dari orang Arab, Persia, dan India. Mereka ini menyiarkan Islam pada penduduk setempat dan
keluarga istana. Salah seorang dari mereka yaitu Sayid Ali dari suku Quraisy kawin dengan
seorang putri yakni Makhdum Tansyuri, salah seorang adik dari Maurah Perlak yang bernama
Syahir Nuwi. Dari perkawinan ini lahirlah Sayid Abdul Aziz, putra campuran Arab Perlak
pada tahun 225 H.
Kerajaan ini mengalami masa jaya pada masa pemerintahan Sultan Makhdum Alaidin
Malik Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat (622-662 H/1225-1263 M).Pada masa
pemerintahannya, Kerajaan Perlak mengalami kemajuan pesat terutama dalam bidang
pendidikan Islam dan perluasan dakwah Islamiah. Sultan mengawinkan dua putrinya: Putri
Ganggang Sari (Putri Raihani) dengan Sultan Malikul Saleh dari Samudra Pasai serta Putri
Ratna Kumala dengan Raja Tumasik (Singapura sekarang).
Perkawinan ini dengan parameswara Iskandar Syah yang kemudian bergelar Sultan
Muhammad Syah.Sultan Makhdum Alaidin Malik Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat
kemudian digantikan oleh Sultan Makhdum Alaidin Malik Abdul Aziz Syah Johan Berdaulat
(662-692 H/1263-1292 M). Inilah sultan terakhir Perlak. Setelah beliau wafat, Perlak
disatukan dengan Kerajaan Samudra Pasai dengan raja Muhammad Malikul Dhahir yang
adalah Putra Sultan Malikul Saleh dengan Putri Ganggang Sari.
Perlak merupakan kerajaan yang sudah maju. Hal ini terlihat dari adanya mata uang
sendiri. Mata uang Perlak yang ditemukan terbuat dari emas (dirham), dari perak (kupang),
dan dari tembaga atau kuningan.
2.      Kerajaan Samudera Pasai
Kerajaan Samudera Pasai terletak di Aceh  dan terletak di pesisir Timur Laut Aceh.
Kapan berdirinya Kesultanan Samudera Pasai belum bisa dipastikan dengan tepat dan masih
menjadi perdebatan para ahli sejarah. Namun, menurut Uka Tjandrasasmita (Ed) dalam buku
Badri Yatim, menyatakan bahwa  kemunculannya sebagai kerajaan Islam  diperkirakan mulai
awal atau pertengahan abad ke-13 M, sebagai hasil dari proses Islamisasi daerah-daerah pantai
yang pernah disinggahi pedagang-pedagang Muslim sejak abad ke-7 dan seterusnya.
Berdasarkan berita dari Ibnu Batutah, dikatakan bahwa pada tahun 1267 telah berdiri kerajaan
Islam, yaitu kerajaan Samudra Pasai. Hal ini dibuktikan dengan adanya batu nisan makam
Sultan Malik Al Saleh (1297 M), Raja pertama Samudra Pasai.
Malik Al-Saleh, raja pertama kerajaan Samudera Pasai, merupakan pendiri kerajaan
tersebut. Dalam Hikayat Raja-raja Pasai disebutkan nama Malik Al-Saleh sebelum menjadi
raja adalah Merah Sile atau Merah Selu. Ia masuk Islam setelah mendapat mendapatkan
seruan dakwah dari Syaikh Ismail beserta rombongan yang datang dari Mekkah.
Pendapat bahwa Islam sudah berkembang di sana sejak awal abad ke-13 M, didukung
oleh berita China dan pendapat Ibn Batutah yang mengunjungi Samudera Pasai pada
pertengahan abad ke 14 M (tahun 746 H/1345 M). Dalam kisah perjalanannya ke Pasai, Ibnu
Battutah menggambarkan Sultan Malikul Zhahir sebagai raja yang sangat saleh, pemurah,
rendah hati, dan mempunyai perhatian kepada fakir miskin. Meskipun ia telah menaklukkan
banyak kerajaan, Malikul Zhahir tidak pernah bersikap sombong. Kerendahan hatinya itu
ditunjukkan sang raja saat menyambut rombongan Ibnu Battutah.
Samudera Pasai ketika itu merupakan pusat studi agama Islam dan tempat berkumpul
ulama-ulama dari berbagai negeri Islam untuk berdiskusi berbagai masalah keagamaan dan
keduniaan. Selain itu, Sultan Maliku Zhahir juga mengutus para ulama untuk berdakwah ke
berbagai wilayah Nusantara.
Kehidupan masyarakat Samudera Pasai diwarnai oleh agama dan kebudayaan Islam.
Pemerintahnya bersifat Theokrasi (berdasarkan ajaran Islam) rakyatnya sebagian besar
memeluk agama Islam. Raja raja Pasai membina persahabatan dengan Campa, India,
Tiongkok, Majapahit dan Malaka.
Selama abad 13 sampai awal abad 16, Samudera Pasai dikenal sebagai salah satu kota
dengan bandar pelabuhan yang sangat sibuk. Samudera Pasai menjadi pusat perdagangan
internasional dengan lada sebagai salah satu komoditas ekspor utama. Bukan hanya
perdagangan ekspor impor yang maju. Sebagai bandar dagang yang maju, Samudera Pasai
mengeluarkan mata uang sebagai alat pembayaran. Salah satunya yang terbuat dari emas
dikenal sebagai uang dirham.
3.      Kerajaan Aceh
Kurang diketahui kapan kerajaan ini sebenarnya berdiri. Anas Machmud berpendapat,
sebagaimana yang dikutip dalam buku Badri Yatim, bahwa kerajaan Aceh berdiri pada abad
ke-15 M, di atas puing-puing kerajaan Lamuri, oleh Muzaffar Syah (1465-1497 M). Dialah
yang membangun kota Aceh Darussalam.
Pada awalnya, wilayah kerajaan Aceh ini hanya mencakup Banda Aceh dan Aceh
Besar yang dipimpin oleh ayah Ali Mughayat Syah. Ketika Mughayat Syah naik tahta
menggantikan ayahnya, ia berhasil memperkuat kekuatan dan mempersatukan wilayah Aceh
dalam kekuasaannya, termasuk menaklukkan kerajaan Pasai. Saat itu, sekitar tahun 1511 M,
kerajaan-kerajaan kecil yang terdapat di Aceh dan pesisir timur Sumatera seperti Peurelak (di
Aceh Timur), Pedir (di Pidie), Daya (Aceh Barat Daya) dan Aru (di Sumatera Utara) sudah
berada di bawah pengaruh kolonial Portugis. Mughayat Syah dikenal sangat anti pada
Portugis, karena itu, untuk menghambat pengaruh Portugis, kerajaan-kerajaan kecil tersebut
kemudian ia taklukkan dan masukkan ke dalam wilayah kerajaannya. Sejak saat itu, kerajaan
Aceh lebih dikenal dengan nama Aceh Darussalam dengan wilayah yang luas, hasil dari
penaklukan kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya.
Peletak dasar kebesaran Kerajaan Aceh adalah Sultan Alauddin Riayat Syah. Pada
masa pemerintahannya, wilayah kekuasaan Aceh Darussalam semakin meluas sampai di
Bengkulu di pantai Barat, seluruh Pantai Timur Sumatera, dan Tanah Batak di pedalaman.
Kegiatan perdagangan berkembang dengan pesat, terutama dengan Gujarat, Arab, dan Turki.
Puncak kekuasaan kerajaan Aceh terletak pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda
(1608-1637 M). Pada masa ini merupakan masa paling gemilang bagi Aceh, di mana
kekuasaannya meluas dan terjadi penyebaran Islam hampir di seluruh Sumatera.
Di masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Aceh Darussalam menjadi salah satu
pusat pengembangan Islam di Indonesia. Di Aceh dibangun masjid Baiturrahman, rumah-
rumah ibadah, dan lembaga-lembaga pengkajian Islam. Di Aceh tinggal ulama-ulama tasawuf
yang terkenal, seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin, Syaikh Nuruddin Ar-Raniri, dan Abdul
Rauf As-Sinkili.
4.      Kerajaan Minangkabau
Kerajaan Pagaruyung disebut juga sebagai Kerajaan Minangkabau yang merupakan
salah satu Kerajaan Melayu yang pernah berdiri, meliputi provinsi Sumatra Barat sekarang
dan daerah-daerah di sekitarnya. Kerajaan ini pernah dipimpin oleh Adityawarman sejak
tahun 1347. Dan sekitar tahun 1600-an, kerajaan ini menjadi Kesultanan Islam.
Munculnya nama Pagaruyung sebagai sebuah kerajaan Melayu tidak dapat diketahui
dengan pasti. Namun dari beberapa prasasti yang ditinggalkan oleh Adityawarman,
menunjukan bahwa Adityawarman memang pernah menjadi raja di negeri tersebut.
Pengaruh Islam di Pagaruyung berkembang kira-kira pada abad ke-16, yaitu melalui
para musafir dan guru agama yang singgah atau datang dari Aceh dan Malaka. Salah satu
murid ulama Aceh yang terkenal Syaikh Abdurrauf Singkil (Tengku Syiah Kuala), yaitu
Syaikh Burhanuddin Ulakan, adalah ulama yang dianggap pertama-tama menyebarkan agama
Islam di Pagaruyung. Pada abad ke-17, Kerajaan Pagaruyung akhirnya berubah menjadi
kesultanan Islam. Raja Islam yang pertama dalam tambo adat Minangkabau disebutkan
bernama Sultan Alif.
Dengan masuknya agama Islam, maka aturan adat yang bertentangan dengan ajaran
agama Islam mulai dihilangkan dan hal-hal yang pokok dalam adat diganti dengan aturan
agama Islam. Pepatah adat Minangkabau yang terkenal: "Adat basandi syarak, syarak basandi
Kitabullah", yang artinya adat Minangkabau bersendikan pada agama Islam, sedangkan
agama Islam bersendikan pada Al-Quran.
Pengaruh agama Islam membawa perubahan secara fundamental terhadap adat
Minangkabau. Tetapi sejak kapan pengaruh Islam memasuki tubuh adat Minangkabau secara
pasti, masih sukar dibuktikan.
Islam juga membawa pengaruh pada sistem pemerintahan kerajaaan Pagaruyung
dengan ditambahnya unsur pemerintahan seperti Tuan Kadi dan beberapa istilah lain yang
berhubungan dengan Islam. Penamaan nagari Sumpur Kudus yang mengandung kata kudus
yang berasal dari kata Quduus (suci) sebagai tempat kedudukan Rajo Ibadat dan Limo Kaum
yang mengandung kata qaum jelas merupakan pengaruh dari bahasa Arab atau Islam.
Selain itu dalam perangkat adat juga muncul istilah Imam, Katik (Khatib), Bila (Bilal), Malin
(Mu'alim) yang merupakan pengganti dari istilah-istilah yang berbau Hindu dan Buddha yang
dipakai sebelumnya.

5.      Sejarah kerajaan Riau


Imperium Melayu Riau adalah penyambung warisan Sriwijaya. Kedatangan Sriwijaya
yang mula-mula sejak tahun 517 s/d 683 dibawah kekuasaan Melayu, dengan meliputi daerah
Sumatera tengah dan selatan. Sriwijaya-Sailendra bermula dari penghabisan abad ke 7 dan
berakhir pada penghujung abad ke 12. Kemaharajaan Melayu yang dimulai dari - Kerajaan
Bintan-Tumasik abad 12-13 M dan kemudian memasuki periode Melayu Riau yaitu - zaman
Melaka abad 14-15 m, - zaman Johor-Kampar abad 16-17 m, - zaman Riau-Lingga abad 18-
19 m
Paramesywara atau Iskandar Syah dikenal dengan gelar Sri Tri Buana, Maharaja Tiga
Dunia (Bhuwana, Kw, Skt berarti dunia), seorang pangeran, keturunan raja besar. Ia sangat
berpandangan luas, cerdik cendikia, mempunyai gagasan untuk menyatukan nusantara dan
akhirnya beliaulah pula yang membukakan jalan bagi perkembangan islam di seluruh
nusantara. Paramesywara adalah keturunan raja-raja Sriwijaya-Saildendra. Menurut M.Said
(dalam bukunya Zelfbestuur Landchappen) Raja Suran adalah keturunan Raja Sultan Iskandar
Zulkarnain di Hindustan yang melawat ke Melaka, beranak tidak orang laki-laki. Diantara
putranya adalah Sang Si Purba, kawin dengan Ratu Riau. Dari puteranya menjadi turunan
Raja Riau. Sang Si Purba sendiri pergi ke Bukit Sigantung Mahameru (Palembang) menjadi
Raja dan kawin disana. Ia melawat ke Minangkabau dan menjadi Raja Pagarruyung.
Memencar keturunannya menjadi Raja-Raja Aceh dan Siak Sri Indrapura.
Menurut Sejarah Melayu tiga bersaudara dari Bukit Siguntang menjadi raja di
Minangkabau, Tanjung Pura (Kalimantan Barat) dan yang ketiga memerintah di
Palembang..Yang menjadi Raja di Palembang adalah Sang Nila Utama. Sang Nila Utama
inilah yang menjadi Raja di Bintan dan Kemudian Singapura
Dalam hikayat Hang Tuah yang terkenal, ada disebutkan, raja di “Keindraan” bernama
Sang Pertala Dewa. Adapula tersebut seorang raja. Istri baginda hamil dan beranak seorang
perempuan yang diberi nama Puteri Kemala Ratna Pelinggam. Setelah dewasa diasingkan ke
sebuah pulau bernama : Biram Dewa.. Sang Pertala Dewa berburu di pulau Biram Dewa
tersebut. Akhirnya kawin dengan Putri Kemala Ratna PeLinggam. Lalu lahir anaknya yang
dinamai Sang Purba. Setelah itu mereka naik “keindraan”. Kemudian turun ke Bukit Sigintang
Mahameru. Sang purba dirajakan di bukit siguntang. Sang Purba kawin dengan puteri yang
berasal dari muntah seekor lembu yang berdiri ditepi kolam dimana sang puteri sedang mandi.
Lahir seorang putra dinamai Sang Maniaka dan kemudian lahir pula putera yang kedua Sang
Jaya Mantaka, yang ketiga Sang Saniaka dan yang keempat Sang Satiaka. Sang Maniaka
dirajakan di Bintan dan singapura.

Islam Masuk ke Riau


Sebelum masuknya agama Islam ke daerah Riau, tidak ada seorangpun dari penduduk
Riau yang memegang agama tauhid. Agama  penduduk asli adalah anismisme yang percaya
ruh nenek moyang  dan para leluhur, kemudian menyusul pada sebagian penduduk mereka
yang beragama Budha dan sekali berkembang  menjadi Hindu-BudhaNah dalam kesempatan
ini , agar lebih jelas pembahasan masuk Islam ke Riau dibatasi kepada beberapa daerah, yaitu:
Kuntu-Kampar, Rokan, Kuantan, Indragiri, danTaqpung. Menurut Sejarah
Riau, Kuntu-Kampar adalah daerah pertama-tama di Riau Daratan yang berhubungan
dengan orang-orang Islam (pedagang). Hal ini dimungkinkan karena sejak zaman bahari
daerah ini telah berhubungan dengan pedagang-pedagang asing dari negeri Cina, India, dan
Arab-Persia. Hubungan tersebut didasarkan oleh kepentingan perdagangan, karena daerah
lembah sungai Kampar Kanan/ Kiri merupakan daerah penghasil lada terpenting di dunia
dalam periode 500-140 M. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau daerah Kuntu-Kampar
yang mula-mula dimasuki agama Islam.
Berdasarkan perjalanan para penyiar agama Islam yang dating sebagai pedagangitu,
maka besar kemungkinan pada abad pertama hiriah atau abad ke-7 M agama Islam itu
mungkin telah sampai di Riau, sebagaimana juga disimpulkan oleh seminar masuknya islam
ke nusantara di Aceh tahun 1980. Meskipun Islam telah masuk pada abad ke 7 atau 8 Masehi
di Riau, namun penganut agama ini masih terbatas di lingkungan para pedagang dan
penduduk kota di pesisir pantai tersebut. Hal ini disebabkan karena kuatnya pengaruh agama
Budha yang merupakan agama Negara dalam kerajaan Sriwijaya waktu itu.

6.      Kesultanan Palembang
Pada waktu daerah Palembang menjadi bagian dari Kerajaan Majapahit, di daerah ini
ditempatkan seorang Adipati bernama Ario Damar. (14—15 H/1447 M). Pada awalnya ia
beragama Hindu, lalu kemudian memeluk Islam. Hal ini menunjukkan bahwasanya pada
waktu itu, Islam sudah dominant di Palembang.
Pada suatu hari, Ario Damar mendapat hadiah salah seorang selir dari Prabu
Kertabumi, yang bernama Putri Campa yang sedang hamil tua. Yang kemudian lahir dari
rahimnya seorang anak yang bernama Raden Patah.
Pada tahun 1473, raden Patah bersama adiknya Raden Kusen (Ario Dillah),
menghadap Prabu Kertabumi. Mereka mendapat kepercayaan untuk membangun desa
Bintoro, yang nantinya berkembang dengan pesat dan menjadi kerajaan Islam Demak yang
pada akhirnya menghancurkan Majapahit.
Pada tahun 1528, Demak di serang oleh kerajaan Pajang dan mengalami kekalahan.
Para pembesar kerajaan dipimpin oleh Pangeran Sedo Ing Lautan bermigrasi ke Palembang
yang kemudian mendirikan kerajaan Islam Palembang
Pada akhirnya kesultanan Palembang hilang karena dihapus status kesultanannya oleh colonial
Belanda

7.      Kerajaan Kesultanan Jambi


Kesultanan Jambi adalah Kerajaan Islam yang berkedudukan di Provinsi Jambi
sekarang. Kerajaan ini berbatasan dengan Kerajaan Indragiri dan Kerajaan - Kerajaan
Minangkabau seperti Siguntur dan Lima Kota dii utara. Di selatan kerajaan ini berbatasan
dengan Kesultanan Palembang (kemudian Keresidenan Palembang). Kesultanan Jambi juga
mengendalikan Lembah Kerinci, meskipun pada masa akhir kekuasaannya, kekuasaan
nominal tidak lagi diperdulikan. Ibukota Kesultanan Jambi terletak di Kota Jambi, yang
terletak di pinggir sungai Batanghari.

Sejarah
Wilayah Jambi dulunya merupakan wilayah Kerajaan Malayu dan kemudian menjadi
bagian dari Sriwijaya. Pada akhir abad ke-14 Jambi merupakan Vasal Majapahit, dan
pengaruh jawa masih terus mewarnai Kesultanan Jambi selama abad ke-17 dan abad ke-18.
Berdirinya Kesultanan Jambi bersamaan dengan bangkitnya Islam di wilayah itu. pada tahun
1616 Jambi merupakan Pelabuhan terkaya kedua di Sumatera setelah Aceh, dan pada tahun
1670 kerajaan ini sebanding dengan tetangga-tetangganya seperti Johor dan Palembang.
Namun kejayaan Jambi tidak berumur panjang, Tahun 1680-an Jambi kehilangan kedudukan
sebagai Pelabuhan Lada utama, setelah perang dengan Johor dan konflik internal.
Tahun 1903 Pangeran Ratu Martaningrat, keturunan Sultan Thaha, sultan yang
terakhir, menyerah kepada Belanda, Jambi digabungkan dengan Keresidenan Palembang.
Tahun 1906 Kesultanan Jambi resmi dibubarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda.

A.    Kesimpulan
Apabila tulisan Suryadinegara adalah tulisan yang mendekati keotentkian sebuah
penelitian, itu artinya proses penyearan ajaran islam tidak hanya berakar dari para pendatang
atau para pedagang. Dapat disimpulkan bahwa pelaku dan cara masuknya islam disumatra-
selatan tidak ubahnya seperti terjadi pada wilayah Indonesia lainnya, dilakukan oleh putra
Indonesia dan tidak berjalan pasif. Dengan pengertian bangsa Indonesia tidak menunggu
kedatangan bangsa Arab semata dengan upayanya mencari tambahan pengetahuan tentang
agama islam.
Khusus untuk Sumatra-selatan, masuknya agama islam selain dilakukan oleh bangsa arab,
pedagang utusan kholifah Umayah (661-750) dan kholifah Abbasiyah (750-1268), juga
perdagangan dari  Sriwijaya berlayar ketimur tengah. Hal yang demikian ini tidak
bertentangan, sekalipun Sriwijaya sebagai pusat pengembangan ajaran budha, tetapi, karena
watak Indonesia yang mempunyai kesanggupan yang tinggi dalam menghormati perbedaan
agama, maka, di wilayah kerajaan Sriwijaya di izinkan masuknya agama islam melalui jalur
perdagangan. Factor yang terakhir inilah yang memungkinkan Sriwijaya menempuh Sistem
pintu terbuka dalam menghadapi kenyataan masuknya agama islam.
BAB I 

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebelum berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, di Jawa telah berdiri Kerajaan-
kerajaan Hindu-Budha yang cukup kokoh, kuat dan tangguh, bahkan sampai saat ini
hasil peradabannya masih dapat disaksikan. Misalnya, candi Borobudur yang
merupakan peninggalan Budha Mahayana dan candi Roro Jonggrang di desa
Prambanan. Demikian juga halnya dari segi literatur, seperti buku Pararaton dan
Negara Kertagama. Wajarlah jika Vlekke menyebut kerajaan-kerajaan pra-Islam,
khususnya Singosari dan Majapahit, sebagai Empire Builders of Java.
Setelah agama Islam datang di Jawa dan Kerajaan Majapahit semakin merosot
pengaruhnya di Masyarakat, terjadilah pergeseran di bidang politik. Menurut Sartono
Kartodirjo, islamisasi menunjukkan suatu proses yang terjadi cepat, terutama sebagai
hasil dakwah para wali sebagai perintis dan penyebar agama Islam di Jawa. Di
samping kewibawaan rohaniah, para wali juga berpengaruh dalam bidang politik,
bahkan ada yang memegang pemerintahan. Otoritas karismatik mereka merupakan
ancaman bagi raja-raja Hindu di pedalaman.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalahnya adalah bagaimana penjelasan tentang kerajaan-kerajaan
Islam di pulau Jawa.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Kesultanan Mataram
Kesultanan Mataram adalah kerajaan Islam di Pulau Jawa yang pernah berdiri
pada abad ke-17. Kerajaan ini dipimpin suatu dinasti keturunan Ki Ageng Sela dan Ki
Ageng Pemanahan, yang mengklaim sebagai suatu cabang ningrat keturunan
penguasa Majapahit. Asal-usulnya adalah suatu Kadipaten di bawah Kesultanan
Pajang, berpusat di “Bumi Mentaok” yang diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan
sebagai hadiah atas jasanya. Raja berdaulat pertama adalah Sutawijaya (Panembahan
Senapati), putra dari Ki Ageng Pemanahan. Kerajaan Mataram pada masa
keemasannya pernah menyatukan tanah Jawa dan sekitarnya, termasuk Madura.
Negeri ini pernah memerangi VOC di Batavia untuk mencegah semakin
berkuasanya firma dagang itu, namun ironisnya malah harus menerima bantuan VOC
pada masa-masa akhir menjelang keruntuhannya. Mataram merupakan kerajaan
berbasis agraris/pertanian dan relatif lemah secara maritim. Ia meninggalkan
beberapa jejak sejarah yang dapat dilihat hingga kini, seperti kampung Matraman di
Batavia/Jakarta, sistem persawahan di Pantura Jawa Barat, penggunaan hanacaraka
dalam literatur bahasa Sunda, politik feodal di Pasundan, serta beberapa batas
administrasi wilayah yang masih berlaku hingga sekarang.

B. Kerajaan Demak
Para ahli memperkirakan Demak berdiri tahun 1500. Sementara Majapahit
hancur beberapa waktu sebelumnya. Menurut sumber sejarah lokal di Jawa,
keruntuhan Majapahit terjadi sekitar tahun 1478. Hal ini ditandai dengan
candrasengkala, Sirna Hilang Kertaning Bhumi yang berarti memiliki angka tahun
1400 Saka. Raja pertama kerajaan Demak adalah Raden Fatah, yang bergelar Sultan
Alam Akbar Al-Fatah. Raden Fatah memerintah Demak dari tahun 1500- 1518 M.
Menurut cerita rakyat Jawa Timur, Raden Fatah merupakan keturunan raja terakhir
dari Kerajaan Majapahit, yaitu Raja Brawijaya V.
Di bawah pemerintahan Raden Fatah, kerajaan Demak berkembang dengan
pesat karena memiliki daerah pertanian yang luas sebagai penghasil bahan makanan,
terutama beras. Selain itu, Demak juga tumbuh menjadi sebuah kerajaan maritim
karena letaknya di jalur perdagangan antara Malaka dan Maluku. Oleh karena itu
Kerajaan Demak disebut juga sebagai sebuah kerajaan yang agraris-maritim. Barang
dagangan yang diekspor Kerajaan Demak antara lain beras, lilin dan madu. Barang-
barang itu diekspor ke Malaka, Maluku dan Samudra Pasai. Pada masa pemerintahan
Raden Fatah, wilayah kekuasaan Kerajaan Demak cukup luas, meliputi Jepara, Tuban,
Sedayu, Palembang, Jambi dan beberapa daerah di Kalimantan.
Daerah-daerah pesisir di Jawa bagian Tengah dan Timur kemudian ikut
mengakui kedaulatan Demak dan mengibarkan panji-panjinya. Kemajuan yang
dialami Demak ini dipengaruhi oleh jatuhnya Malaka ke tangan Portugis. Karena
Malaka sudah dikuasai oleh Portugis, maka para pedagang yang tidak simpatik
dengan kehadiran Portugis di Malaka beralih haluan menuju pelabuhan-pelabuhan
Demak seperti Jepara, Tuban, Sedayu, Jaratan dan Gresik. Pelabuhan-pelabuhan
tersebut kemudian berkembang menjadi pelabuhan transit.
Selain tumbuh sebagai pusat perdagangan, Demak juga tumbuh menjadi pusat
penyebaran agama Islam. Para wali yang merupakan tokoh penting pada
perkembangan Kerajaan Demak ini, memanfaatkan posisinya untuk lebih
menyebarkan Islam kepada penduduk Jawa. Para wali juga berusaha menyebarkan
Islam di luar Pulau Jawa. Penyebaran agama Islam di Maluku dilakukan oleh Sunan
Giri sedangkan di daerah Kalimantan Timur dilakukan oleh seorang penghulu dari
Kerajaan Demak yang bernama Tunggang Parangan. Setelah Kerajaan Demak lemah
maka muncul Kerajaan Pajang.

C. Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat


Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat adalah negara dependen yang
berbentuk kerajaan. Kedaulatan dan kekuasaan pemerintahan negara diatur dan
dilaksanakan menurut perjanjian/kontrak politik yang dibuat oleh negara induk
Kerajaan Belanda bersama-sama negara dependen Kesultanan Ngayogyakarta.
Kontrak politik terakhir antara negara induk dengan kesultanan adalah Perjanjian
Politik 1940. Sebagai konsekuensi dari bentuk negara kesatuan yang dipilih oleh
Republik Indonesia sebagai negara induk, maka pada tahun 1950 status negara
dependen Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (bersama-sama dengan Kadipaten
Pakualaman) diturunkan menjadi daerah istimewa setingkat provinsi dengan nama
Daerah Istimewa Yogyakarta.
Mengikuti kerajaan Mataram, wilayah Kesultanan Yogyakarta pada mulanya
dibagi menjadi beberapa lapisan yaitu Nagari Ngayogyakarta (wilayah ibukota),
Nagara Agung (wilayah utama), dan Manca Nagara (wilayah luar). Keseluruhan
wilayah Nagari Ngayogyakarta dan wilayah Nagara Agung memiliki luas 53.000 karya
(sekitar 309,864500 km persegi), dan keseluruhan wilayah Manca Nagara memiliki
luas 33.950 karya (sekitar 198,488675 km persegi). Selain itu, masih terdapat
tambahan wilayah dari Danurejo I di Banyumas, seluas 1.600 karya (sekitar 9,3544 km
persegi).

D. Kerajaan Mataram
Setelah Kerajaan Demak berakhir, berkembanglah Kerajaan Pajang di bawah
pemerintahan Sultan Hadiwijaya. Di bawah kekuasaannya, Pajang berkembang baik.
Bahkan berhasil mengalahkan Arya Penangsang yang berusaha merebut
kekuasaannya. Tokoh yang membantunya mengalahkan Arya Penangsang di
antaranya Ki Ageng Pemanahan (Ki Gede Pemanahan). Ia diangkat sebagai bupati
(adipati) di Mataram. Kemudian putranya, Raden Bagus (Danang) Sutawijaya diangkat
anak oleh Sultan Hadiwijaya dan dibesarkan di istana. Sutawijaya dipersaudarakan
dengan putra mahkota, bernama Pangeran Benowo.
Pada tahun 1582, Sultan Hadiwijaya meninggal dunia. Penggantinya, Pangeran
Benowo merupakan raja yang lemah. Sementara Sutawijaya yang menggantikan Ki
Gede Pemanahan justru semakin menguatkan kekuasaannya sehingga akhirnya Istana
Pajang pun jatuh ke tangannya. Sutawijaya segera memindahkan pusaka Kerajaan
Pajang ke Mataram. Sutawijaya sebagai raja pertama dengan gelar: Panembahan
Senapati Ing Alaga Sayidin Panatagama. Pusat kerajaan ada di Kota Gede, sebelah
tenggara Kota Yogyakarta sekarang. Panembahan Senapati digantikan oleh puteranya
yang bernama Mas Jolang (1601-1613). Mas Jolang kemudian digantikan oleh
puteranya bernama Mas Rangsang atau lebih dikenal dengan nama Sultan Agung
(1613-1645).
Pada masa pemerintahan Sultan Agung inilah Mataram mencapai zaman
keemasan. Dalam bidang politik pemerintahan, Sultan Agung berhasil memperluas
wilayah Mataram ke berbagai daerah yaitu, Surabaya (1615), Lasem, Pasuruhan
(1617), dan Tuban (1620). Di samping berusaha menguasai dan mempersatukan
berbagai daerah di Jawa, Sultan Agung juga ingin mengusir VOC dari Kepulauan
Indonesia. Kemudian diadakan dua kali serangan tentara Mataram ke Batavia pada
tahun 1628 dan 1629. Mataram mengembangkan birokrasi dan struktur
pemerintahan yang teratur. Seluruh wilayah kekuasaan Mataram diatur dan dibagi
menjadi beberapa bagian sebagai berikut:
1. Kutagara
Kutagara atau Kutanegara, yaitu daerah keraton dan sekitarnya.
2. Negara Agung
Negara agung atau negari agung, yaitu daerah-daerah yang ada di sekitar
Kutagara. Misalnya, daerah Kedu, Magelang, Pajang, dan Sukawati.
3. Mancanegara
Mancanegara yaitu daerah di luar negara agung. Daerah ini meliputi
mancanegara wetan (timur), misalnya daerah Ponorogo dan sekitarnya, serta
mancanegara won (barat), misalnya daerah Banyumas dan sekitarnya.
4. Pesisiran
Pesisiran yaitu daerah yang ada di pesisir. Daerah ini juga terdapat daerah
pesisir kulon (barat), yakni Demak terus ke barat, dan pesisir wetan (timur), yakni
Jepara terus ke timur.
Mataram berkembang menjadi kerajaan agraris. Dalam bidang pertanian,
Mataram mengembangkan daerah-daerah persawahan yang luas. Seperti yang
dilaporkan oleh Dr. de Han, Jan Vos dan Pieter Franssen bahwa Jawa bagian tengah
adalah daerah pertanian yang subur dengan hasil utamanya adalah beras. Pada abad
ke-17, Jawa benar-benar menjadi lumbung padi. Hasil-hasil yang lain adalah kayu,
gula, kelapa, kapas, dan hasil palawija.

E. Kerajaan Banten
Kerajaan Banten berawal sekitar tahun 1526, ketika Kerajaan Demak
memperluas pengaruhnya ke kawasan pesisir barat Pulau Jawa, dengan menaklukkan
beberapa kawasan pelabuhan kemudian menjadikannya sebagai pangkalan militer
serta kawasan perdagangan. Maulana Hasanuddin, putra Sunan Gunung Jati berperan
dalam penaklukan tersebut. Setelah penaklukan tersebut, Maulana Hasanuddin atau
lebih sohor dengan sebutan Fatahillah, mendirikan benteng pertahanan yang
dinamakan Surosowan, yang kemudian hari menjadi pusat pemerintahan, yakni
Kesultanan Banten. Pada awalnya kawasan Banten dikenal dengan nama Banten
Girang yang merupakan bagian dari Kerajaan Sunda.
Kedatangan pasukan Kerajaan di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin ke
kawasan tersebut selain untuk perluasan wilayah juga sekaligus penyebaran dakwah
Islam. Kemudian dipicu oleh adanya kerja sama Sunda-Portugis dalam bidang
ekonomi dan politik, hal ini dianggap dapat membahayakan kedudukan Kerajaan
Demak selepas kekalahan mereka mengusir Portugis dari Malaka tahun 1513. Atas
perintah Sultan Trenggono, Fatahillah melakukan penyerangan dan penaklukkan
Pelabuhan Sunda Kelapa sekitar tahun 1527, yang waktu itu masih merupakan
pelabuhan utama dari Kerajaan Sunda. Selain mulai membangun benteng pertahanan
di Banten, Fatahillah juga melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah penghasil lada
di Lampung.
Ia berperan dalam penyebaran Islam di kawasan tersebut, selain itu ia juga telah
melakukan kontak dagang dengan raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan
Inderapura), Sultan Munawar Syah dan dianugerahi keris oleh raja tersebut. Seiring
dengan kemunduran Demak terutama setelah meninggalnya Sultan Trenggono, maka
Banten melepaskan diri dan menjadi kerajaan yang mandiri. Pada 1570 Fatahillah
wafat. Ia meninggalkan dua orang putra laki-laki, yakni Pangeran Yusuf dan Pangeran
Arya (Pangeran Jepara). Dinamakan Pangeran Jepara, karena sejak kecil ia sudah
diikutkan kepada bibinya (Ratu Kalinyamat) di Jepara. Ia kemudian berkuasa di Jepara
menggantikan Ratu Kalinyamat, sedangkan Pangeran Yusuf menggantikan Fatahillah
di Banten.
Pangeran Yusuf melanjutkan usaha-usaha perluasan daerah yang sudah
dilakukan ayahandanya. Tahun 1579, daerah-daerah yang masih setia pada Pajajaran
ditaklukkan. Untuk kepentingan ini Pangeran Yusuf memerintahkan membangun
kubu-kubu pertahanan. Tahun 1580, Pangeran Yusuf meninggal dan digantikan oleh
putranya, yang bernama Maulana Muhammad. Pada 1596, Maulana Muhammad
melancarkan serangan ke Palembang. Pada waktu itu Palembang diperintah oleh Ki
Gede ing Suro (1572 – 1627). Ki Gede ing Suro adalah seorang penyiar agama Islam
dari Surabaya dan perintis perkembangan pemerintahan kerajaan Islam di
Palembang.
Kala itu Kerajaan Palembang lebih setia kepada Mataram dan sekaligus
merupakan saingan Kerajaan Banten. Itulah sebabnya, Maulana Muhammad
melancarkan serangan ke Palembang. Kerajaan Palembang dapat dikepung dan
hampir saja dapat ditaklukkan. Akan tetapi, Sultan Maulana Muhammad tiba-tiba
terkena tembakan musuh dan meninggal. Oleh karena itu, ia dikenal dengan sebutan
Prabu Seda ing Palembang. Serangan tentara Banten terpaksa dihentikan, bahkan
akhirnya ditarik mundur kembali ke Banten.
Pada tahun 1596 orang-orang Belanda datang di pelabuhan Banten untuk yang
pertama kali. Terjadilah perkenalan dan pembicaraan dagang yang pertama antara
orang-orang Belanda dengan para pedagang Banten. Tetapi dalam
perkembangannya, orang-orang Belanda bersikap angkuh dan sombong, bahkan
mulai menimbulkan kekacauan di Banten. Oleh karena itu, orang-orang Banten
menolak dan mengusir orang-orang Belanda. Akhirnya, orang-orang Belanda kembali
ke negerinya. Dua tahun kemudian, orang-orang Belanda datang lagi. Mereka
menunjukkan sikap yang baik, sehingga dapat berdagang di Banten dan di Jayakarta.
Menginjak abad ke-17 Banten mencapai zaman keemasan. Daerahnya cukup
luas. Setelah Sultan Abumufakir meninggal, ia digantikan oleh puteranya bernama
Abumaali Achmad. Setelah Abumaali Achmad, tampillah sultan yang terkenal, yakni
Sultan Abdulfattah atau yang lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Ia
memerintah pada tahun 1651-1682. Pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa,
Banten terus mengalami kemajuan. Letak Banten yang strategis mempercepat
perkembangan dan kemajuan ekonomi Banten. Kehidupan sosial budaya juga
mengalami kemajuan. Masyarakat umum hidup dengan rambu-rambu budaya Islam.
Secara politik pemerintahan Banten juga semakin kuat.
Perluasan wilayah kekuasaan terus dilakukan bahkan sampai ke daerah yang
pernah dikuasai Kerajaan Pajajaran. Namun ada sebagian masyarakat yang
menyingkir di pedalaman Banten Selatan karena tidak mau memeluk agama Islam.
Mereka tetap mempertahankan agama dan adat istiadat nenek moyang. Mereka
dikenal dengan masyarakat Badui. Mereka hidup mengisolir diri di tanah yang disebut
tanah Kenekes. Mereka menyebut dirinya orang-orang Kejeroan. Dalam bidang
kebudayaan, seni bangunan mengalami perkembangan. Beberapa jenis bangunan
yang masih tersisa, antara lain, Masjid Agung Banten, bangunan keraton dan gapura-
gapura.
Pada masa akhir pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa timbul konflik di dalam
istana. Sultan Ageng Tirtayasa yang berusaha menentang VOC, kurang disetujui oleh
Sultan Haji sebagai raja muda. Keretakan di dalam istana ini dimanfaatkan VOC
dengan politik devide et impera. VOC membantu Sultan Haji untuk mengakhiri
kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa. Berakhirnya kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa
membuat semakin kuatnya kekuasaan VOC di Banten. Raja-raja yang berkuasa
berikutnya, bukanlah raja-raja yang kuat. Hal ini membawa kemunduran Kerajaan
Banten.

F. Kesultanan Cirebon
Kesultanan Cirebon adalah sebuah kesultanan Islam ternama di Jawa Barat pada
abad ke-15 dan 16 Masehi, dan merupakan pangkalan penting dalam jalur
perdagangan dan pelayaran antar pulau. Lokasinya di pantai utara pulau Jawa yang
merupakan perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, membuatnya menjadi
pelabuhan dan “jembatan” antara kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga tercipta
suatu kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi
kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda. Kesultanan Cirebon didirikan di dalem
agung pakungwati sebagai pusat pemerintahan negara Islam kesultanan Cirebon.
letak dalem agung pakungwati sekarang menjadi keraton Kasepuhan Cirebon.
Pembagian terhadap kesultanan Cirebon secara resmi terjadi pada tahun 1679
saat Pangeran Martawijaya dan Kartawijaya dinobatkan menjadi sultan di keraton
Pakungwati, kesultanan Cirebon, sebelum kedua pangeran kembali ke Cirebon
setelah diselamatkan oleh Tronojoyo dari Mataram dengan bantuan persenjataan dari
kesultanan Banten pada tahun 1677, Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten terpaksa
membagi kesultanan Cirebon menjadi dua kesultanan dan satu peguron dikarenakan
untuk menghindari perpecahan keluarga kesultanan Cirebon karena adanya
perbedaan pendapat di kalangan keluarga besar mengenai penerus kesultanan
Cirebon.
Pendapat keluarga besar terbelah dan mendukung ketiganya (Martawijaya,
Kartawijaya dan Wangsakerta) untuk menjadi penguasa, maka Sultan Ageng Tirtayasa
menobatkan ketiganya menjadi penguasa Cirebon di Banten di tahun yang sama
setelah mereka tiba di kesultanan Banten dari Mataram yaitu pada tahun 1677, dua
orang menjadi sultan dan memiliki wilayahnya masing-masing yaitu Pangeran
Martawijaya dan Kartawijaya sementara satu orang yaitu Pangeran Wangsakerta
menjadi Panembahan tanpa wilayah kekuasaan namun memegang kekuasaan atas
kepustakaan kraton.
Hal tersebut merupakan babak baru bagi kesultanan Cirebon, di mana
kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-masing berkuasa dan menurunkan para
penguasa berikutnya, berikut gelar ketiganya setelah resmi dinobatkan:
1. Sultan Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil
Makarimi Muhammad Samsudin (1679-1697).
2. Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil
Makarimi Muhammad Badrudin (1679-1723).
3. Panembahan Cirebon, Pangeran Wangsakerta dengan gelar Pangeran Abdul
Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1679-1713).
Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua putra tertua
Pangeran Girilaya ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa, karena keduanya dilantik
menjadi Sultan Cirebon di ibukota Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai
wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan keraton masing-masing. Pangeran
Wangsakerta tidak diangkat menjadi sultan melainkan hanya Panembahan. Ia tidak
memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri, akan tetapi berdiri sebagai
Kaprabon (Paguron) yaitu tempat belajar para intelektual keraton.

G. Kerajaan Pajang
Kerajaan Pajang adalah satu kerajaan yang berpusat di Jawa Tengah sebagai
kelanjutan Kerajaan Demak. Kompleks keratonnya pada zaman ini tinggal tersisa
berupa batas-batas fondasinya saja yang berada di perbatasan Kelurahan Pajang –
Kota Surakarta dan Desa Makamhaji, Kartasura, Sukoharjo. Nama negeri Pajang telah
dikenal sejak zaman Kerajaan Majapahit. Menurut Nagarakretagama yang ditulis
tahun 1365, bahwasanya pada zaman tersebut adik perempuan Hayam Wuruk (raja
Majapahit saat itu) bernama asli Dyah Nertaja menjabat sebagai penguasa Pajang,
bergelar Bhatara i Pajang, atau disingkat Bhre Pajang. Dyah Nertaja merupakan ibu
dari Wikramawardhana (raja Majapahit selanjutnya).
Berdasar naskah-naskah babad, bahwa negeri Pengging disebut sebagai cikal
bakal Pajang. Cerita Rakyat yang melegenda menyebut bahwa Pengging sebagai
kerajaan kuno yang pernah dipimpin Prabu Anglingdriya, musuh bebuyutan Prabu
Baka raja Prambanan. Kisah ini dilanjutkan dengan dongeng berdirinya Candi
Prambanan. Ketika Majapahit dipimpin oleh Brawijaya (raja terakhir versi naskah
babad), bahwa nama Pengging muncul kembali. Dikisahkan bahwa putri Brawijaya
yang bernama Retno Ayu Pembayun diculik Menak Daliputih raja Blambangan putra
Menak Jingga. Muncul seorang pahlawan bernama Jaka Sengara yang berhasil
merebut sang putri dan membunuh penculiknya.
Atas jasanya itu, kemudian Jaka Sengara diangkat oleh Brawijaya sebagai bupati
Pengging dan dinikahkan dengan Retno Ayu Pembayun. Jaka Sengara kemudian
bergelar Andayaningrat. Pajang terlihat sebagai kerajaan pertama yang muncul di
pedalaman Jawa setelah runtuhnya kerajaan Muslim di daerah Pasisir. Menurut
naskah babad, Andayaningrat gugur di tangan Sunan Ngudung saat terjadinya
perang antara Majapahit dan Demak. Ia kemudian digantikan oleh putranya, yang
bernama Raden Kebo Kenanga, bergelar Ki Ageng Pengging. Sejak saat itu Pengging
menjadi daerah bawahan Kerajaan Demak.
Beberapa tahun kemudian Ki Ageng Pengging dihukum mati karena dituduh
hendak memberontak terhadap Demak. Putranya yang bergelar Jaka Tingkir setelah
dewasa justru mengabdi ke Demak. Prestasi Jaka Tingkir yang cemerlang dalam
ketentaraan membuat ia diangkat sebagai menantu Trenggana, dan menjadi bupati
Pajang bergelar Hadiwijaya. Wilayah Pajang saat itu meliputi daerah Pengging
(sekarang kira-kira mencakup Boyolali dan Klaten), Tingkir (daerah Salatiga), Butuh,
dan sekitarnya.
Sepeninggal Trenggana tahun 1546, selanjutnya Sunan Prawoto naik takhta.
Namun Sultan Prawoto kemudian tewas dibunuh sepupunya, yaitu Arya Penangsang
bupati Jipang tahun 1549. Setelah itu, Arya Penangsang juga berusaha membunuh
Hadiwijaya namun gagal. Dengan dukungan Ratu Kalinyamat (Bupati Jepara dan Putri
Trenggana), Hadiwijaya dan para pengikutnya berhasil mengalahkan Arya
Penangsang. Hadiwijaya selanjutnya menjadi pewaris takhta Demak. Pada masa
kepemimpinan Hadiwijaya ini, ibu kota Demak dipindahkan ke Pajang.
Pada awal berdirinya atau pada tahun 1549, bahwa wilayah Pajang yang terkait
eksistensi Demak pada masa sebelumnya, hanya meliputi sebagian Jawa Tengah. Hal
ini disebabkan karena negeri-negeri Jawa Timur banyak yang melepaskan diri sejak
kematian Sultan Trenggana. Pada tahun 1568 Hadiwijaya dan para adipati Jawa Timur
dipertemukan di Giri Kedaton oleh Sunan Prapen. Dalam kesempatan itu, para adipati
sepakat mengakui kedaulatan Pajang di atas negeri-negeri Jawa Timur. Sebagai tanda
ikatan politik, Panji Wiryakrama dari Surabaya (pemimpin persekutuan adipati Jawa
Timur) dinikahkan dengan Putri Hadiwijaya.

H. Kasunanan Surakarta Hadiningrat


Kasunanan Surakarta Hadiningrat adalah sebuah kerajaan di Jawa Tengah yang
berdiri tahun 1755 sebagai hasil dari perjanjian Giyanti 13 Februari 1755. Perjanjian
antara VOC dengan pihak-pihak yang bersengketa di Kesultanan Mataram, yaitu
Sunan Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi, menyepakati bahwa Kesultanan
Mataram dibagi dalam dua wilayah kekuasaan yaitu Surakarta dan Yogyakarta.
Kasunanan Surakarta umumnya tidak dianggap sebagai pengganti Kesultanan
Mataram, melainkan sebuah kerajaan tersendiri, walaupun rajanya masih keturunan
raja Mataram. Setiap raja Kasunanan Surakarta yang bergelar Sunan (demikian pula
raja Kasultanan Yogyakarta yang bergelar Sultan) selalu menanda-tangani kontrak
politik dengan VOC atau Pemerintah Hindia Belanda.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jawa adalah wilayah yang dahulunya banyak terdapat kerajaan-kerajaan.
Kehadiran Islam di pesisir utara pulau Jawa dapat dibuktikan berdasarkan arkeologi,
hikayat, legenda, serta berita-berita asing. Islamisasi yang terjadi di daerah pesisir
utara Jawa dari bagian timur-barat lambat laun menghasilkan munculnya kerajaan
Islam, mulai dari kerajaan Demak ke barat Cirebon dan Banten, dari Demak ke
pedalaman muncul kerajaan Pajang dan Mataram dll.
B. Saran
Setelah beberapa paparan dan kesimpulan yang dijabarkan, saran yang dapat
penulis sampaikan yaitu semoga dengan mengetahui sejarah perkembangan Islam di
Jawa kita dapat menghormati dan menghargai hasil jerih payah mereka dalam
menegakkan Islam di daerah Jawa walaupun harus berkorban nyawa dalam
memerangi Belanda yang pernah menguasai daerah-daerah di Kalimantan.

Anda mungkin juga menyukai