Anda di halaman 1dari 174

UNIVERSITAS INDONESIA

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERAWAT


DALAM PENERAPAN IPSG (INTERNASIONAL PATIENT
SAFETY GOAL) PADA AKREDITASI JCI (JOINT
COMMISSION INTERNATIONAL) DI INSTALASI RAWAT
INAP RS SWASTA X TAHUN 2011

SKRIPSI

SHELLY APRILIA
0806337030

PROGRAM SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT


DEPARTEMEN BIOSTATISTIK DAN
KEPENDUDUKAN FAKULTAS KESEHATAN
MASYARAKAT UNIVERSITAS INDONESIA
2011

Faktor-faktor yang mempengaruhi..., Shelly Aprilia, FKM UI, 2011


UNIVERSITAS INDONESIA

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERAWAT


DALAM PENERAPAN IPSG (INTERNASIONAL PATIENT
SAFETY GOAL) PADA AKREDITASI JCI (JOINT
COMMISSION INTERNATIONAL) DI INSTALASI RAWAT
INAP RS SWASTA X TAHUN 2011

SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat

SHELLY APRILIA
0806337030

PROGRAM SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT


DEPARTEMEN BIOSTATISTIK DAN
KEPENDUDUKAN FAKULTAS KESEHATAN
MASYARAKAT UNIVERSITAS INDONESIA
2011
Faktor-faktor yang mempengaruhi..., Shelly Aprilia, FKM UI, 2011
Faktor-faktor yang mempengaruhi..., Shelly Aprilia, FKM UI, 2011
Faktor-faktor yang mempengaruhi..., Shelly Aprilia, FKM UI, 2011
RIWAYAT HIDUP PENULIS

Nama : Shelly Aprilia

Tempat Tanggal Lahir : Bogor, 23 April 1990

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Jalan Raya Gunung Putri No.54 RT 05/09, Gunung


Putri Utara, Kab. Bogor 16961

Agama : Islam

Riwayat Pendidikan : 1. SD Mardi Yuana Cibinong (1996-2002)


2. SMP Regina Pacis Bogor (2002-2005)
3. SMAN 3 Bogor (2005-2008)
4. FKM UI (2008- Sekarang)

Faktor-faktor yang mempengaruhi..., Shelly Aprilia, FKM UI, 2011


KATA PENGANTAR
Alhamdulilah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
dengan judul “Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Perawat dalam Penerapan
IPSG (International Patient Safety Goal) pada Akreditasi JCI (Joint
Commission International) di Instalasi Rawat Inap RS Swasta X Tahun 2011”.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan program Sarjana
(S1) Jurusan Biostatistika Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapat bimbingan,
bantuan, masukan, serta dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin
menyampaikan rasa terima kasih kepada:
1. Bapak Artha Prabawa,S.Kom, S.KM, M.Si, selaku dosen pembimbing
akademik atas segala masukan, kritik dan saran serta kesabaran yang telah
diberikan dari awal hingga akhir disusunnya skripsi ini.
2. Bu Nurseha, selaku manajer keperawatan yang telah membantu penulis
dalam perizinan dan pelaksanaan dalam penyusunan skripsi ini, khususnya
dalam pengambilan data primer.
3. Dr. Angela G. Lilipaly, selaku manajer unit QMR yang telah meluangkan
waktu, tenaga, dan pikirannya untuk datang dan bersedia menjadi penguji
luar dalam sidang skripsi saya.
4. Dr. Besral, SKM, M.Sc, selaku dosen dari Departemen Biostatistik yang
bersedia menjadi penguji dalam sidang skripsi saya.
5. Bu Irma Tri Desi, selaku pembimbing lapangan yang telah memberikan
bimbingan dan pengarahan selama melaksanakan kegiatan pembuatan
skripsi ini.
6. Mbak Ajeng, Mbak Shinta, Mbak Ervina, dan Mbak Louis yang telah
membantu kelancaran pembuatan skripsi ini serta memberikan banyak
informasi kepada penulis serta dukungan.
7. Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat UI pada umumnya dan Dosen
Departemen Biostatistika dan Ilmu Kependudukan pada khususnya yang
telah membagi ilmunya kepada penulis selama masa perkuliahan.
8. Orang tua, kakak, dan adik tercinta yang selalu memberikan doa, dorongan,
dan bantuan kepada penulis.
9. Zico Gerinka Putra yang selalu memberikan semangat, dukungan dan
perhatian kepada penulis dan menerima keluh kesah selama proses
penyusunan skripsi ini dari awal hingga akhir.
10. Kawan – kawan tercinta (Pituy, Yulia, Rani, Hani) sebagai teman belajar,
bermain, dan bercanda tawa, yang telah memberikan semangat, dukungan,
dan motivasi selama masa perkuliahan dan proses penyusunan skripsi ini.
11. Rekan – rekan Biostatistika 2008 (Dita, Alice, Rahma, Kiki, dan Indah),
MIK (Pituy, Yulia, Hani, Rani, Asti, Almas, Kades, Mbak Yul, dan Umi),
dan Infokes (Zizi, Loli, Gita, Indah, Cici, Fiza, dan Indah Tri) yang telah
berjuang bersama-sama selama kegiatan perkuliahan berlangsung.
12. Kawan-kawan BEM IM FKM UI, atas segala ilmu dan pembelajaran yang
bermanfaat bagi penulis sampai kapanpun.
13. Seluruh responden dalam penelitian ini yang berperan sebagai sumber
analisis dalam penyusunan skripsi ini.
14. Serta pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan serta pihak-pihak yang berkepentingan. Penulis
juga menyadari bahwa skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena
itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun sebagai bahan
perbaikan di masa yang akan datang.

Depok, Desember 2011

Shelly Aprilia
Faktor-faktor yang mempengaruhi..., Shelly Aprilia, FKM UI, 2011
ABSTRAK
Nama : Shelly Aprilia
Program Studi : Sarjana Kesehatan Masyarakat
Judul skripsi : Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perawat dalam Penerapan
IPSG (International Patient Safety Goal) pada Akreditasi JCI (Joint
Commission International) di Instalasi Rawat Inap RS Swasta X
Tahun 2011

xviii + 122 halaman + 31 tabel + 6 grafik + 3 lampiran

Sertifikasi dari JCI sebagai badan akreditasi internasional merupakan


achievement yang didambakan oleh setiap rumah sakit. Fokus dari akreditasi JCI
adalah patient safety yang tertuang dalam chapter utama yaitu IPSG (International
Patient Safety Goals). Chapter tersebut dikembangkan untuk mengidentifikasi
masalah-masalah medik yang berpotensi menimbulkan outcome yang tidak
diharapkan. Sebagian besar standar IPSG diterapkan oleh perawat, khususnya
perawat di instalasi rawat inap yang dituntut untuk selalu berinteraksi dengan
pasien. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis variabel individu,
organisasi, dan psikologis perawat terhadap penerapan IPSG.

Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional. Populasi penelitian


adalah seluruh perawat di instalasi rawat inap. Analisis statistik yang digunakan
analisis bivariat dengan uji chi square serta regresi logistik sederhana, dan analisis
multivariat dengan uji regresi logistik ganda model prediksi. Berdasarkan hasil
analisis statistik, variabel individu yang memiliki hubungan signifikan dengan
perilaku penerapan IPSG adalah usia, status pernikahan, lama kerja di unit, lama
kerja sejak lulus pendidikan, jenjang jabatan, frekuensi pelatihan patient safety, dan
sosialisasi terkait mutu rumah sakit. Variabel organisasi yang memiliki hubungan
dengan penerapan IPSG adalah pengaruh organisasi sedangkan pada variabel
psikologis, variabel yang memiliki hubungan dengan penerapan IPSG adalah
pengetahuan. Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa variabel yang
berhubungan bermakna dengan perilaku penerapan IPSG adalah variabel
pengetahuan setelah dikontrol oleh variabel umur, status pernikahan, pelatihan, dan
pengaruh organisasi.

Kata kunci : Patient safety, Akreditasi JCI, IPSG

Kepustakaan: 40 (1983 – 2011)

ix Universitas Indonesia

Faktor-faktor yang mempengaruhi..., Shelly Aprilia, FKM UI, 2011


ABSTRACT
Name : Shelly Aprilia
Study Program : Sarjana Kesehatan Masyarakat
Title : The Factors Affecting Nurses in the Implementation of
IPSG (International Patient Safety Goals) on JCI (Joint
Commission International) Accreditation in the Inpatient
Installation of X Private Hospital Year 2011

xviii + 122 pages + 31 tables + 6 graphs + 3 enclosures

Certification of JCI as an international accreditation corporation is an


achievement which are coveted by every hospital. The focus of JCI accreditation is
patient safety which contained in the main chapter that is IPSG (International
Patient Safety Goals). That chapter were developed to identify medical problems
that could potentially lead to an unexpected outcome. Most of the IPSG standards
applied by the nurses, especially nurses in inpatient installation whom are required
to always interact with patients. The purpose of this study was to analyze the
variables of individual, organizational, and psychological of nurses to the
implementation of IPSG.

This study is a cross sectional study. The study population was all nurses in
inpatient installation. Statistical analysis used bivariate analysis with chi square test
and simple logistic regression, and multivariate analysis with multiple logistic
regression test prediction model. Based on the results of statistical analysis, the
individual variables that have a significant relationship with the behavior of the
implementation of IPSG is the age, marital status, length of employment in the unit,
length of employment since graduation, hierarchy, the frequency of patient safety
training, and socialization-related quality of hospital. Organization variable which
related to the implementation of IPSG is the influence of organization, while the
psychological variable, variable that have a relationship with the implementation of
IPSG is knowledge. The results of multivariate analysis showed that variables
significantly associated with the behavior of the implementation of IPSG is
knowledge after controlled by the age, marital status, training, and organizational
influence.

Key words : Patient safety, JCI Accreditation, IPSG

Bibliography : 40 (1983 – 2011)

x Universitas Indonesia
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..............................................................................................i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS...................................................ii
SURAT PERNYATAAN......................................................................................iii
HALAMAN PENGESAHAN...............................................................................iv
RIWAYAT HIDUP PENULIS.............................................................................v
KATA PENGANTAR..........................................................................................vi
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI............................viii
ABSTRAK............................................................................................................ix
DAFTAR ISI.........................................................................................................xi
DAFTAR TABEL.................................................................................................xiv
DAFTAR GRAFIK...............................................................................................xvi
DAFTAR GAMBAR............................................................................................xvii
DAFTAR LAMPIRAN.........................................................................................xviii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................4
1.3 Pertanyaan Penelitian.......................................................................................4
1.4 Tujuan Penelitian.............................................................................................5
1.4.1 Tujuan Umum....................................................................................5
1.4.2 Tujuan Khusus...................................................................................5
1.5 Manfaat Penelitian............................................................................................6
1.5.1 Bagi Peneliti......................................................................................6
1.5.2 Bagi Fakultas Kesehatan Masyarakat................................................6
1.5.3 Bagi Institusi Penelitian.....................................................................6
1.6 Ruang Lingkup Penelitian................................................................................6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Perilaku............................................................................................................8
2.1.1 Definisi Perilaku...............................................................................8
2.1.2 Jenis Perilaku....................................................................................8
2.1.3 Proses Pembentukan Perilaku..........................................................9
2.1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku...................................10
2.2 Asuhan Keperawatan.......................................................................................13
2.2.1 Definisi Asuhan Keperawatan..........................................................13
2.2.2 Hak Perawat.....................................................................................14
2.2.3 Tugas Perawat..................................................................................14
2.2.4 Kegiatan Perawat..............................................................................15
2.2.5 Pendidikan Perawat..........................................................................16
2.2.6 Kebutuhan Perawat...........................................................................16
2.3 Akreditasi JCI..................................................................................................17
2.3.1 Pengertian Akreditasi.......................................................................17
2.3.2 Manfaat Akreditasi...........................................................................17
2.3.3 Tujuan Akreditasi.............................................................................18
2.3.4 Pengertian Akreditasi JCI.................................................................19
2.3.5 Manfaat JCI......................................................................................20
2.3.6 Standar JCI.......................................................................................20
2.4 IPSG................................................................................................................26
2.5 Rumah Sakit....................................................................................................35
2.5.1 Definisi Rumah Sakit.......................................................................35
2.5.2 Tugas Rumah Sakit..........................................................................37
2.5.3 Manfaat Rumah Sakit.......................................................................37
2.5.4 Klasifikasi Rumah Sakit...................................................................38
2.6 Instalasi Rawat Inap........................................................................................39

BAB III GAMBARAN UMUM RUMAH SAKIT


3.1 Gambaran Umum...........................................................................................41
3.2 Sejarah Organisasi.........................................................................................41
3.3 Visi, Misi, dan Falsafah Organisasi...............................................................43
3.4 Kebijakan.......................................................................................................43
3.5 Struktur Organisasi........................................................................................44
3.6 Fasilitas..........................................................................................................44

BAB IV KERANGKA KONSEP TEORI, KERANGKA KONSEP


PENELITIAN, HIPOTESA, DAN DEFINISI OPERASIONAL
4.1 Kerangka Teori..............................................................................................46
4.2 Kerangka Konsep...........................................................................................47
4.3 Definisi Operasional......................................................................................49
4.4 Hipotesis........................................................................................................51

BAB V METODE PENELITIAN


5.1 Rancangan Penelitian.....................................................................................53
5.2 Lokasi dan Waktu Penelitian.........................................................................53
5.3 Populasi dan Sampel Penelitian.....................................................................53
5.4 Pengumpulan Data.........................................................................................57
5.4.1 Sumber Data...................................................................................57
5.4.2 Cara Pengumpulan Data.................................................................57
5.4.3 Uji Coba Instrumen.........................................................................57
5.5 Pengolahan Data............................................................................................59
5.6 Analisis Data..................................................................................................59
5.6.1 Analisis Univariat...........................................................................60
5.6.2 Analisis Bivariat.............................................................................60
5.6.3 Analisis Multivariat........................................................................60

BAB VI HASIL PENELITIAN


6.1 Pelaksanaan Pengumpulan Data....................................................................62
6.2 Analisis Univariat..........................................................................................63
6.2.1 Variabel Individu............................................................................64
6.2.2 Variabel Organisasi.........................................................................72
6.2.3 Variabel Psikologis.........................................................................76
6.2.4 Perilaku Penerapan IPSG................................................................81
6.3 Analisis Bivariat............................................................................................85
6.3.1 Hubungan antara variabel individu dengan perilaku......................86
6.3.2 Hubungan antara variabel psikologis dengan perilaku...................93
6.3.3 Hubungan antara variabel organisasi dengan perilaku...................94
6.4 Analisis Multivariat.......................................................................................95

BAB VII PEMBAHASAN


7.1 Keterbatasan Hasil Penelitian........................................................................98
7.2 Pembahasan Hasil Penelitian.........................................................................99
7.2.1 Gambaran Perilaku Penerapan IPSG..............................................99
7.2.2 Variabel yang Berhubungan dengan Perilaku Penerapan IPSG.....102
7.2.3 Variabel yang Tidak Berhubungan dengan Perilaku Penerapan
IPSG................................................................................................111

BAB VIII PENUTUP


8.1 Kesimpulan....................................................................................................116
8.2 Saran..............................................................................................................118

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................119
LAMPIRAN........................................................................................................123
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Tabel Standar IPSG............................................................................26

Tabel 4.1 Definisi Operasional..........................................................................49

Tabel 5.1 Proporsi Sampel.................................................................................56

Tabel 6.1 Distribusi Responden Menurut Variabel Individu.............................64

Tabel 6.2 Distribusi Jawaban Responden pada Variabel Supervisi...................72

Tabel 6.3 Proporsi Tingkat Supervisi pada Perawat..........................................73

Tabel 6.4 Distribusi Jawaban Responden pada Variabel Pengaruh Organisasi 74

Tabel 6.5 Proporsi Tingkat Pengaruh Organisasi pada Perawat........................75

Tabel 6.6 Distribusi Jawaban Responden pada Variabel Pengetahuan.............76

Tabel 6.7 Proporsi Tingkat Pengetahuan Perawat.............................................78

Tabel 6.8 Distribusi Jawaban Responden pada Variabel Motivasi....................79

Tabel 6.9 Proporsi Tingkat Motivasi Perawat...................................................80

Tabel 6.10 Distribusi Jawaban Responden pada Variabel Perilaku....................81

Tabel 6.11 Proporsi Tingkat Perilaku Penerapan IPSG pada Perawat................85

Tabel 6.12 Proporsi Tingkat Perilaku Penerapan IPSG pada Tiap Ward............86

Tabel 6.13 Proporsi Tingkat Perilaku Penerapan IPSG pada Kelompok Usia....86

Tabel 6.14 Proporsi Tingkat Perilaku Penerapan IPSG pada Status Pernikahan

87 Tabel 6.15 Proporsi Tingkat Perilaku Penerapan IPSG pada Pendidikan......88

Tabel 6.16 Proporsi Tingkat Perilaku Penerapan IPSG pada Lama Kerja
Perawat di Unit Saat Ini.....................................................................88

Tabel 6.17 Proporsi Tingkat Perilaku Penerapan IPSG pada Lama Kerja
Perawat Sejak Lulus...........................................................................89

Tabel 6.18 Proporsi Tingkat Perilaku Penerapan IPSG pada Jam Kerja.............90

Tabel 6.19 Proporsi Tingkat Perilaku Penerapan IPSG pada Jenjang Jabatan....90

Tabel 6.20 Proporsi Tingkat Perilaku Penerapan IPSG pada Kecukupan Gaji...91

Tabel 6.21 Proporsi Tingkat Perilaku Penerapan IPSG pada Frekuensi


Pelatihan Patient Safety.....................................................................91
Tabel 6.22 Proporsi Tingkat Perilaku Penerapan IPSG pada Sosialisasi Terkait
Mutu RS.............................................................................................92

Tabel 6.23 Proporsi Tingkat Perilaku Penerapan IPSG pada Tingkat


Pengetahuan.......................................................................................93

Tabel 6.24 Proporsi Tingkat Perilaku Penerapan IPSG pada Tingkat Motivasi
Perawat...............................................................................................93

Tabel 6.25 Proporsi Tingkat Perilaku Penerapan IPSG pada Tingkat Supervisi
pada Perawat......................................................................................94

Tabel 6.26 Proporsi Tingkat Perilaku Penerapan IPSG pada Pengaruh


Organisasi pada Perawat....................................................................94

Tabel 6.27 Seleksi Bivariat..................................................................................95

Tabel 6.28 Model Terakhir Prediksi Variabel Independen Terhadap Variabel


Dependen...........................................................................................96
DAFTAR GRAFIK

Gambar 6.1 Proporsi Jumlah Perawat di Masing-Masing Ward.....................65

Gambar 6.2 Proporsi Kelompok Usia Perawat................................................66

Gambar 6.3 Proporsi Status Pernikahan Perawat............................................67

Gambar 6.4 Proporsi Tingkat Pendidikan Perawat..........................................67

Gambar 6.5 Proporsi Lama Kerja Perawat di Unit Saat Ini.............................68

Gambar 6.6 Proporsi Lama Kerja Perawat Sejak Lulus Pendidikan...............68

Gambar 6.7 Proporsi Jam Kerja Perawat dalam Seminggu.............................69

Gambar 6.8 Proporsi Jenjang Jabatan Perawat................................................70

Gambar 6.9 Proporsi Kecukupan Gaji Perawat...............................................70

Gambar 6.10 Proporsi Pelatihan Patient Safety pada Perawat..........................71

Gambar 6.11 Proporsi Sosialisasi Terkait Mutu RS pada Perawat....................72

Gambar 6.12 Proporsi Tingkat Supervisi pada Perawat....................................74

Gambar 6.13 Proporsi Tingkat Pengaruh Organisasi pada Perawat..................76

Gambar 6.14 Proporsi Tingkat Pengetahuan Perawat.......................................78

Gambar 6.15 Proporsi Tingkat Motivasi Perawat.............................................81

Gambar 6.16 Proporsi Tingkat Perilaku Penerapan IPSG pada Perawat..........85


DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Ruang Lingkup Rumah Sakit....................................................26

Gambar 3.1 Logo Mayne Health..................................................................42

Gambar 3.2 Logo Affinity Health.................................................................42

Gambar 3.3 Logo RS Swasta X....................................................................42

Gambar 4.1 Kerangka Teori Perilaku dan Kinerja47

Gambar 4.2 Kerangka Konsep Perilaku Penerapan IPSG48


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Struktur Organisasi RS Swasta X

Lampiran 2 Lembar Kuesioner Uji Validitas dan Reliabilitas

Lampiran 3 Lembar Kuesioner Akhir

Lampiran 4 Output Hasil Uji Alat Ukur

Lampiran 5 Output Hasil Analisis Multivariat


1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Rumah sakit sebagai salah satu institusi pelayanan kesehatan memiliki
fungsi penting dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat sehingga
dituntut untuk selalu meningkatkan mutu pelayanan yang diberikan. Dalam hal ini
semua pihak di dalam rumah sakit saling terkait satu sama lain, mulai dari
manajer, para dokter, dan profesional lainnya serta staf pada umumnya.
Pemerintah, organisasi profesi dan organisasi kemasyarakatan, serta masyarakat
luas perlu turut mengambil peran, karena peningkatan mutu pelayanan di rumah
sakit akan meningkatkan derajat kesehatan bangs. Pemerintah telah menetapkan
UU tentang Perlindungan Konsumen dan hasil amandemen ke dua UUD 1945
pasal 28H ayat I sehingga menimbulkan kesadaran masyarakat sebagai penerima
jasa pelayanan kesehatan untuk mendapatkan hak terhadap jaminan mutu
pelayanan kesehatan. Kepercayaan masyarakat terhadap mutu pelayanan
kesehatan dapat ditingkatkan dengan adanya status terakreditasi karena standar-
standar yang ditetapkan dalam akreditasi dibuat untuk memenuhi hak-hak pasien.
Berdasarkan UU No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Peraturan
Menteri Kesehatan No. 659 tahun 2009 tentang Rumah Sakit Indonesia Kelas
Dunia, dan SK Menteri Kesehatan No. 1195 Tahun 2010 tentang Lembaga
Akreditasi Rumah Sakit Bertaraf Internasional menunjukkan bahwa pemerintah
tengah melakukan penyempurnaan akreditasi rumah sakit menuju akreditasi
internasional yaitu JCI (Joint Commission International). JCI adalah suatu
organisasi yang independent, nonprofit, dan bukan lembaga pemerintahan yang
berpusat di Amerika Serikat dan merupakan divisi dari Joint Commission
Resources (JCR) cabang dari The Joint Commission. Perbaikan demi perbaikan
dalam mutu pelayanan kesehatan harus dilakukan untuk mendapatkan akreditasi
tersebut, dimulai dari input dalam sistem (yaitu SDM, sarana prasarana, dan
sebagainya), proses berupa komunikasi yang mendukung pencapaian akreditasi,
hingga akhirnya mendapatkan status terakreditasi internasional. Fokus dari
akreditasi JCI adalah keselamatan pasien (patient safety) yang tertuang dalam

Universitas Indonesia
Faktor-faktor yang mempengaruhi..., Shelly Aprilia, FKM UI, 2011
chapter JCI yang utama yaitu IPSG (International Patient Safety Goals). Chapter
tersebut dikembangkan untuk mengidentifikasi masalah-masalah medik yang
berpotensi menimbulkan outcome yang tidak diharapkan.
Patient safety merupakan prioritas utama dalam pelaksanaan pelayanan
kesehatan yang menjadi tanggung jawab bersama seluruh profesi yang ada di
pelayanan kesehatan dan terkait dengan isu mutu dan citra rumah sakit. Patient
safety rumah sakit adalah suatu sistem yang mencegah terjadinya Kejadian Tidak
Diharapkan (KTD) akibat tindakan yang dilakukan atau bahkan tidak dilakukan
oleh tenaga medis maupun non medis. Sistem tersebut meliputi : assessmen
resiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien,
pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak
lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya resiko
(Depkes,2008).
Di rumah sakit terdapat berbagai macam obat, prosedur dan tes, serta alat
kesehatan dengan teknologi cangggih yang jumlahnya tidak sedikit. Pelayanan
kesehatan yang diberikan oleh tenaga profesi dan non profesi semakin kompleks
seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal tersebut
memungkinkan terjadinya Kejadian Tidak Diharapkan – KTD (Adverse Event)
bila kompleksitas tersebut tidak dikelola dengan baik.
Perawat sebagai tenaga kesehatan yang jumlahnya terbesar di rumah sakit
(sebesar 40–60 %) memiliki jobdesc yang dituntut untuk selalu menerapkan IPSG
sehingga memiliki peran kunci dalam menentukan keberhasilan akreditasi JCI.
Sikap perawat dalam mendukung penerapan IPSG sangat diutamakan untuk
menjamin keselamatan pasien. Asuhan keperawatan memiliki peran yang sangat
penting dalam mencegah KTD yang terjadi pada pasien dan lingkungan
keperawatan. Jasa perawat dibutuhkan selama 24 jam oleh pasien sehingga
memiliki waktu kontak paling banyak dibanding tenaga kesehatan lain untuk
berhubungan dengan pasien.
WHO menyatakan bahwa peluang terjadinya kecelakaan di rumah sakit
adalah 1 : 300, sedangkan kecelakaan di penerbangan adalah 1 : 3 juta. Data
tersebut menunjukkan bahwa angka kemungkinan terjadinya kecelakaan di rumah
sakit jauh lebih besar dibanding kemungkinan kecelakaan pesawat terbang
sehingga membuktikan patient-safety menjadi masalah besar di rumah sakit
seluruh dunia dan memerlukan perhatian utama. Sebuah penelitian
mengestimasikan bahwa lebih dari 1,4 juta orang di seluruh dunia menderita
infeksi yang diperoleh dari rumah sakit. Risiko tertular penyakit infeksi di negara
berkembang adalah 2 sampai 20 kali lebih tinggi dibandingkan di negara maju
(WHO, 2005).
Pada tahun 2000 Institute of Medicine di Amerika Serikat meneliti bahwa
dari 33,6 juta pasien rawat inap terdapat 44.000 sampai 98.000 orang meninggal
akibat medical error dan adverse event tindakan medis setiap tahunnya. Publikasi
WHO pada tahun 2004, mengumpulkan angka-angka penelitian rumah sakit di
berbagai negara : Amerika, Inggris, Denmark, dan Australia, ditemukan KTD
dengan rentang 3,2 – 16,6 % (Depkes,2008). Di Amerika Serikat, medication
error terjadi pada sekitar 1,5 juta orang yang menyebabkan kematian pada
beberapa ribu orang tiap tahunnya dan mengeluarkan biaya sekitar $ 3,5 juta. Dari
hasil survei internasional lima negara yang dilakukan oleh Communio Lectures,
Ramsay Health Care Clinical Governance Unit tahun 2002, pada pasien dewasa
yang sakit dan dirawat menunjukkan 19% percaya bahwa suatu kesalahan telah
dibuat, 11% percaya terjadi kesalahan obat atau dosis, dan 13% percaya bahwa
masalah kesehatan yang serius diderita disebabkan oleh kesalahan dalam
pelayanan atau perawatan (Gusti, 2010).
Di Indonesia data tentang KTD apalagi Kejadian Nyaris Cedera (Near
Miss) masih langka (Depkes,2008). Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh
Ramsay Health Care Clinical Governance Unit tahun 2005 di bidang keperawatan
di suatu rumah sakit swasta di Indonesia, dari total sampel 236 tenaga
keperawatan di rawat inap, sekitar 57 orang (24%) melakukan kesalahan
pemberian obat (Gusti, 2010). Data-data di atas menunjukkan bahwa banyaknya
masalah patient safety yang seharusnya dapat dicegah dengan penerapan chapter
IPSG dalam akreditasi JCI.
RS Swasta X merupakan satu dari empat rumah sakit di Indonesia yang
telah mendapatkan akreditasi JCI. Selama masa persiapan akreditasi JCI, kualitas
RS Swasta X cenderung meningkat secara signifikan terlihat dari hasil skoring
pencapaian standar JCI yang dilakukan dan dibuktikan dengan diraihnya skor
100% pada chapter IPSG. Namun pasca akreditasi JCI, pencapaian standar sedikit
demi sedikit menurun terlihat dari hasil audit mutu internal yang dilakukan,
review yang dilakukan dengan menggunakan tracer methodology, serta hasil
pelaporan proses monitoring dan sasaran mutu. Berdasarkan hasil wawancara
yang dilakukan peneliti terhadap supervisor Unit QMR (Quality Management
Representative) di rumah sakit tersebut, salah satu standar dalam JCI yang banyak
mengalami penurunan dalam pencapaian adalah IPSG (International Patient
Safety Goal). Tidak dilakukannya identifikasi saat proses pengambilan darah dan
tindakan medis lainnya merupakan salah satu bukti adanya penurunan dalam
penerapan IPSG oleh tenaga kesehatan di RS Swasta X.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Ariyani (2009), ada
hubungan antara pengetahuan perawat dengan sikap mendukung penerapan
program patient safety. Hal ini bertolak belakang dengan penelitian lain yang
dilakukan oleh Dewi (2010) yang menyatakan bahwa pengetahuan tidak
mempengaruhi penerapan patient safety. Berdasarkan kontroversi tersebut,
peneliti ingin membuktikan keterkaitan pengetahuan dan faktor-faktor lain yang
mungkin berpengaruh terhadap IPSG. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk
melakukan penelitian secara langsung di RS Swasta X dengan topik Faktor –
Faktor yang Mempengaruhi Perawat dalam Penerapan IPSG (International
Patient Safety Goal) pada Akreditasi JCI (Joint Commission International) di
Instalasi Rawat Inap RS Swasta X Tahun 2011.

1.2 Rumusan masalah


Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan sebelumnya, maka permasalahan
yang akan diteliti adalah faktor-faktor apa saja yang mendukung penerapan IPSG
oleh perawat di instalasi rawat inap RS Swasta X tahun 2011. Di rumah sakit
tersebut belum pernah dilakukan penelitian sebelumnya untuk menganalisis faktor
apa saja yang berpengaruh sehingga penelitian dianggap perlu untuk dilakukan.

1.3 Pertanyaan Penelitian


Adapun pertanyaan dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut :
1. Bagaimana penerapan IPSG oleh perawat di instalasi rawat inap RS
Swasta X tahun 2011?
2. Bagaimana distribusi variabel individu, variabel organisasi, dan psikologis
perawat pada unit instalasi rawat inap RS Swasta X tahun 2011?
3. Bagaimana hubungan variabel individu dengan penerapan IPSG di
instalasi rawat inap RS Swasta X tahun 2011?
4. Bagaimana hubungan variabel organisasi dengan penerapan IPSG di
instalasi rawat inap RS Swasta X tahun 2011?
5. Bagaimana hubungan variabel psikologis dengan penerapan IPSG di
instalasi rawat inap RS Swasta X tahun 2011?

1.4 Tujuan Penelitian


1.4.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor – faktor yang
mempengaruhi perawat dalam penerapan IPSG (International Patient Safety
Goal) pada akreditasi JCI (Joint Commission International) di Instalasi Rawat
Inap RS Swasta X tahun 2011.
1.4.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari pelaksanaan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui penerapan IPSG oleh perawat di instalasi rawat inap
RS Swasta X tahun 2011.
2. Untuk mengetahui distribusi variabel individu, variabel organisasi, dan
psikologis perawat pada unit instalasi rawat inap RS Swasta X tahun
2011.
3. Untuk mengetahui hubungan variabel individu perawat dengan
penerapan IPSG di instalasi rawat inap RS Swasta X tahun 2011.
4. Untuk mengetahui hubungan variabel organisasi perawat dengan
penerapan IPSG di instalasi rawat inap RS Swasta X tahun 2011.
5. Untuk mengetahui hubungan variabel psikologis perawat dengan
penerapan IPSG di instalasi rawat inap RS Swasta X tahun 2011.
1.5 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
1.5.1 Bagi Fakultas Kesehatan Masyarakat
1. Terbinanya hubungan kerjasama yang baik dalam bidang kesehatan
antara Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia dengan
RS Swasta X.
2. Memperkaya sumber informasi kepustakaan Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia.
1.5.2 Bagi RS Swasta X
1. Sebagai bahan masukan bagi upaya pengembangan sumber daya
manusia (perawat) dalam meningkatkan penerapan IPSG.
2. Meningkatkan upaya pencegahan KTD dan KNC yang merupakan
cerminan upaya pelaksanaan patient safety di rumah sakit.
1.5.3 Bagi peneliti
1. Mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh selama di
FKM UI dengan peminatan Biostatistik dan Kependudukan.
2. Menambah pengetahuan dan wawasan peneliti mengenai faktor-faktor
yang mempengaruhi perawat dalam penerapan IPSG dalam akreditasi
JCI.

1.6. Ruang Lingkup Penelitian


Ruang lingkup penelitian dibatasi sebagai berikut:
a. Lingkup waktu
Penelitian dilakukan dalam waktu 1 bulan pada bulan November 2011.
b. Lingkup tempat
Penelitian ini dilaksanakan di instalasi rawat inap RS Swasta X dan
berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan, yaitu : pelayanan pediatrik
pada Ward Pinguin; pelayanan maternal pada Ward Merpati (Ward,
Labor, Nursery); pelayanan umum pada Ward Merak, Kutilang,
Cendrawasih, dan Camar; serta pelayanan Critical Care.
c. Lingkup materi
Materi dalam penelitian ini adalah yang berhubungan dengan penerapan
IPSG oleh perawat serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
d. Lingkup responden
Responden penelitian adalah perawat di instalasi rawat inap. Penelitian
ini dilakukan dengan pengambilan data primer yaitu dengan cara
pengisian angket serta dengan data sekunder yaitu menelaah dokumen
profil rumah sakit.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perilaku
2.1.1 Definisi Perilaku
Perilaku manusia merupakan hasil dari segala pengalaman serta interaksi
manusia dengan lingkungannya. Perilaku merupakan respon/reaksi seorang
terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respons
dapat bersifat pasif, yaitu berpikir, berpendapat, bersikap, maupun bersifat aktif
yaitu melalui suatu tindakan.
Menurut Lewit seperti dikutip oleh Notoatmodjo (1993), perilaku
merupakan hasil pengalaman dan proses interaksi dengan lingkungannya, yang
terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan tindakan sehingga diperoleh
keadaan seimbang antara kekuatan pendorong dan kekuatan penahan. Perilaku
seseorang dapat berubah jika terjadi ketidakseimbangan antara kedua kekuatan di
dalam diri seseorang (Maulana, 2009).
Dari sudut biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas
organisme yang bersangkutan, yang dapat diamati secara langsung maupun tidak
langsung (Sunaryo, 2004).
2.1.2 Jenis Perilaku
Pembagian perilaku dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus, yaitu :
a. Perilaku tertutup (convert behavior)
Respons seseorang terhadap stimulus sifatnya masih tertutup (convert).
Respons ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan atau
kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus
tersebut (misalnya, mengetahui bahaya rokok tetapi ia masih merokok,
mahasiswa mengetahui pentingnya belajar untuk keberhasilan kuliahnya).
b. Perilaku terbuka (overt behavior)
Respons seseorang terhadap stimulus bersifat terbuka dalam bentuk
tindakan nyata, yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat orang lain
(misalnya, membaca buku pelajaran, rajin belajar, berhenti merokok, dan
lain-lain) (Notoatmodjo, 2003).
2.1.3 Proses Pembentukan Perilaku
Perilaku manusia terbentuk karena adanya kebutuhan. Menurut Abraham Harold
Maslow dalam Sunaryo (2004), manusia memiliki lima kebutuhan dasar, yaitu :
a. Kebutuhan fisiologis/biologis, yang merupakan kebutuhan pokok utama,
yaitu O2, H2O, cairan elektrolit, makanan, dan seks. Apabila kebutuhan ini
tidak terpenuhi akan terjadi ketidakseimbangan fisiologis.
b. Kebutuhan rasa aman, misalnya : rasa aman terhindar dari kejahatan,
konflik, penyakit, dan lain-lain.
c. Kebutuhan mencintai dan dicintai, misalnya : mendambakan kasih sayang
orang lain, ingin diterima oleh kelompok tempat ia berada.
d. Kebutuhan harga diri, misalnya : ingin dihargai dan menghargai orang
lain, adanya perhatian dari orang lain
e. Kebutuhan aktualisasi diri, misalnya : ingin disanjung orang lain, ingin
sukses atau berhasil mencapai cita-cita, ingin menonjol dan lebih dari
orang lain (baik dalam karir, usaha, kekayaan, dan lain-lain).
Penelitian Rogers (1974) dalam Effendy (2009) mengungkapkan bahwa sebelum
seseorang mengadopsi perilaku yang baru, di dalam diri orang tersebut terjadi
proses yang berurutan, yakni sebagai berikut :
a. Timbul kesadaran (awareness), yakni orang tersebut menyadari
(mengetahui) stimulus terlebih dahulu.
b. Ketertarikan (interest), yakni orang tersebut mulai tertarik kepada
stimulus.
c. Mempertimbangkan baik tidaknya stimulus (evaluation), yakni sikap
orang tersebut sudah lebih baik lagi.
d. Mulai mencoba (trial), yakni orang tersebut memutuskan untuk mulai
mencoba perilaku baru.
e. Mengadaptasi (adoption), yakni orang tersebut telah berperilaku baru
sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.
2.1.4 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Perilaku
1. Karakteristik Individu
Setiap individu memiliki karakteristik tertentu yang mempengaruhi kinerja
individu tersebut. Karakteristik yang dimiliki seseorang berbeda antar individu,
dan kadang-kadang perbedaan tersebut sangat bervariasi. Karakteristik tersebut
melekat dalam diri seorang individu sehingga menjadi ciri khas tertentu.
Karakteristik individu dalam organisasi meliputi karakteristik biografis,
kemampuan, kepribadian, proses belajar, persepsi, sikap, dan kepuasan kerja.
Aspek karakteristik individu yang dibahas dalam penelitian ini meliputi : usia,
jenis kelamin, status pernikahan, pendidikan, masa kerja, masa kerja di unit, jam
kerja di rumah sakit, jenjang jabatan, frekuensi edukasi patient safety.
Robbins (2006) menyatakan bahwa, faktor-faktor yang mudah
didefinisikan dan tersedia, data yang dapat diperoleh sebagian besar dari informasi
yang tersedia dalam berkas personalia seorang pegawai mengemukakan
karakteristik individu meliputi usia, jenis kelamin, status perkawinan, banyaknya
tanggungan dan masa kerja dalam organisasi.
2. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan kemampuan seseorang yang berada pada kawasan
kognitif yang dapat dikembangkan melalui proses pendidikan-belajar.
Pengetahuan (knowledge) adalah hierarki pertama dalam taksonomi tujuan
pendidikan kawasan kognitif dengan hierarki selanjutnya adalah comprehension,
application, synthesis, dan evaluation (Bloom dalam Padmowihardjo,1994).
Menurut Jann Hidayat Tjakraatmadja dan Donald Crestofel Lantu dalam
bukunya Knowledge Management disebutkan bahwa pengetahuan diperoleh dari
sekumpulan informasi yang saling terhubung secara sistematik sehingga memiliki
makna. Informasi diperoleh dari data yang sudah diolah (disortir, dianalisis, dan
ditampilkan dalam bentuk yang dapat dikomunikasikan melalui bahasa, grafik
atau tabel), sehingga memiliki arti. Selanjutnya data ini akan dimiliki seseorang
dan akan tersimpan dalam neuron-neuron (menjadi memori) di otaknya.
Kemudian ketika manusia tersebut dihadapkan pada suatu masalah maka
informasi-informasi yang tersimpan dalam neuron-neuronnya dan yang terkait
dengan permasalahan tersebut, akan saling terhubungkan dan tersusun secara
sistematik sehingga ia memiliki model untuk memahami atau memiliki
pengetahuan yang terkait dengan permasalahan yang dihadapinya. Kemampuan
memiliki pengetahuan atas obyek masalah yang dihadapi sangat ditentukan oleh
pengalaman, latihan atau proses belajar (proses berfikir) (Jann Hidajat
Tjakraatmadja dalam Ariyani, 2009).
Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan
sebagai berikut :
a. Mengetahui (know), artinya mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya.
b. Memahami (comprehension) artinya suatu kemampuan untuk menjelaskan
secara benar tentang obyek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan
materi tersebut secara benar.
c. Menggunakan (application) artinya kemampuan untuk menggunakan
materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang nyata.
d. Menguraikan (analysis), yaitu kemampuan untuk menjabarkan materi atau
suatu obyek kedalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu
struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain.
e. Menyimpulkan (synthesis), maksudnya suatu kemampuan untuk
meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk
keseluruhan yang baru.
f. Mengevaluasi (evaluation), yaitu kemampuan untuk melakukan penilaian
terhadap suatu materi atau obyek (Effendy, 2009).
3. Motivasi
Motivasi adalah keadaan kejiwaan dan sikap mental manusia yang
memberikan energi, mendorong kegiatan atau gerakan dan mengarah atau
menyalurkan perilaku ke arah mencapai kebutuhan yang memberi kepuasan atau
mengurangi ketidakseimbangan. Motivasi merupakan bagian integral dari
hubungan dalam rangka proses pembinaan, pengembangan, dan pengarahan
sumber daya manusia dalam suatu organisasi (Sinungan,2003).
Motivasi mempunyai arti mendasar sebagai inisiatif penggerak perilaku
seseorang secara optimal, hal ini di sebabkan karena motivasi merupakan kondisi
internal, kejiwaan dan mental manusia seperti aneka keinginan, harapan
kebutuhan, dorongan dan kesukaan yang mendorong individu untuk berperilaku
kerja guna mencapai tujuan yang dikehendakinya atau mendapatkan kepuasan atas
perbuatannya (Gibson, 1996).
Untuk meningkatkan motivasi berperilaku dapat dilakukan dengan 4 cara
sebagai berikut :
a. Memberi hadiah dalam bentuk penghargaan, pujian, piagam, hadiah,
promosi pendidikan, dan jabatan
b. Kompetisi atau persaingan yang sehat
c. Memperjelas tujuan atau menciptakan tujuan antara (Pace Making)
d. Memberi informasi keberhasilan kegiatan yang telah dilakukan untuk
mendorong agar lebih berhasil.
4. Supervisi
Supervisi adalah melakukan pengamatan secara langsung dan berkala oleh atasan
terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh bawahan untuk kemudian apabila
ditemukan masalah segera diberikan petunjuk dan bimbingan atau bantuan yang
bersifat langsung guna mengatasinya (Gibson, 1996).
Prinsip supervisi keperawatan yaitu supervisi dilakukan sesuai dengan struktur
organisasi:
a. Supervisi memerlukan pengetahuan dasar manajemen, ketrampilan
hubungan antar manusia dan kemampuan menerapkan prinsip manajemen
dan ketrampilan.
b. Fungsi supervisi diuraikan dengan jelas dan terorganisir dan dinyatakan
melalui petunjuk, peraturan atau kebijakan, uraian tugas, standar.
c. Supervisi adalah proses kerjasama yang demokratis antara supervisor
dengan perawat pelaksana (staf perawat).
d. Supervisi menggunakan proses manajemen termasuk menerapkan misi,
falsafah, tujuan, rencana spesifik untuk mencapai tujuan.
e. Supervisi menciptakan lingkungan yang mendukung komunikasi yang
efektif, merangsang kreatifitas dan motivasi.
f. Supervisi mempunyai tujuan utama atau akhir yang memberikan
keamanan, hasil guna, dan daya guna pelayanan keperawatan yang
memberikan kepuasaan kepada pasien, perawat, dan manajer.
5. Pengaruh Organisasi
Kata organisasi mempunyai dua pengertian umum. Pertama, organisasi
berarti sebuah lembaga atau kelompok fungsional ; sebagai contoh, kita mengacu
pada sebuah perusahaan, rumah sakit, instansi pemerintah, dan lain-lain.
Pengertian ke dua merujuk pada proses pengorganisasian sehingga tujuan
perusahaan dapat dicapai secara efisien (Robbins et. al,2007). Sedangkan menurut
Swastha (1996), organisasi adalah “kelompok orang yang bekerja bersama-sama
ke arah suatu tujuan yang umum. Sebuah organisasi itu terdiri atas orang-orang
yang melakukan tugas-tugas yang berbeda yang dikoordinir untuk mencapai
tujuan organisasi tersebut”.

2.2 Asuhan Keperawatan


2.2.1 Definisi Asuhan Keperawatan
Asuhan keperawatan adalah suatu proses atau kegiatan praktik
keperawatan yang diberikan oleh perawat pada pasien di berbagai tatanan
pelayanan kesehatan dengan menggunakan proses keperawatan, berpedoman pada
standart keperawatan dalam lingkup wewenang serta tanggung jawab keperawatan
(Hamid, 2001).
Perawatan adalah pelayanan esensial yang diberikan oleh perawat terhadap
individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat yang mempunyai masalah
kesehatan. Pelayanan yang diberikan adalah upaya untuk mencapai derajat
kesehatan semaksimal mungkin sesuai dengan potensi yang dimiliki dalam
menjalankan kegiatan di bidang promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif
dengan menggunakan proses keperawatan sebagai metode ilmiah keperawatan.
Menurut International Council of Nurses, keperawatan adalah fungsi yang
unik membantu individu yang sakit atau sehat, dengan penampilan kegiatan yang
berhubungan dengan kesehatan atau penyembuhan (meninggal dengan damai),
hingga individu dapat merawat kesehatannya sendiri apabila memiliki kekuatan,
kemauan, dan pengetahuan.
American Nurses Asociation mengatakan bahwa praktek keperawatan adalah
pelayanan langsung, berorientasi pada tujuan, dapat diadaptasi oleh kebutuhan
individu, keluarga, masyarakat dalam keadaan sehat dan sakit. (Effendy, 1998)
Orang yang melakukan pelayanan ”perawatan-nursing” biasanya disebut
”perawat-nurse”.
2.2.2 Hak Perawat
Perawat memiliki hak yang sama dengan yang umumnya diberikan masyarakat
pada semua orang. Menurut Wolff et al (1984) hak-hak tersebut adalah :
a. Hak menemukan martabat dalam ekspresi diri dan kemajuan diri melalui
pemanfaatan kemampuan khusus dan latar belakang pendidikan.
b. Hak pengakuan andil perawat melalui penyediaan lingkungan berpraktek,
dan imbalan ekonomi profesi yang wajar.
c. Hak memperoleh lingkungan kerja yang menekan serendah mungkin stres
fisik serta emosi dan resiko kesehatan.
d. Hak mengontrol praktek profesi dalam batas-batas hukum.
e. Hak menetapkan standar mutu perawatan.
f. Hak turut serta dalam penyusunan kebijaksanaan yang mempengaruhi
bidang perawatan.
g. Hak aksi sosial dan politik atas nama perawatan dan pembinaan kesehatan.
2.2.3 Tugas Perawat
Griffith (1987) dalam buku The Well Managed Community Hospital menyatakan
bahwa pelayanan keperawatan memiliki tugas, yaitu :
a. Melakukan kegiatan promosi kesehatan, termasuk untuk kesehatan
emosional dan sosial.
b. Melakukan upaya pencegahan penyakit dan kecacatan.
c. Menciptakan keadaan lingkungan, fisik, kognitif, dan emosional
sedemikian rupa yang dapat membantu penyembuhan penyakit.
d. Berupaya meminimalisasi akibat buruk dari penyakit.
e. Mengupayakan kegiatan rehabilitasi.
James Willan (1990) dalam buku Hospital Management menyebutkan bahwa
Nursing Deparment di rumah sakit mempunyai beberapa tugas yaitu :
a. Memberikan pelayanan keperawatan kepada pasien, baik untuk
kesembuhan ataupun pemulihan status fisik dan mentalnya.
b. Memberikan pelayanan lain bagi kenyamanan dan keamanan pasien,
seperti penataan tempat tidur, dan lain-lain.
c. Melakukan tugas-tugas administratif.
d. Menyelenggarakan pendidikan keperawatan berkelanjutan.
e. Melakukan berbagai penelitian/riset untuk senantiasa meningkatkan mutu
pelayanan keperawatan.
f. Berpartisipasi aktif dalam program pendidikan bagi para calon perawat.
2.2.4 Kegiatan Perawat
John Grifith (1987) menyatakan bahwa kegiatan keperawatan di rumah sakit
dapat dibagi menjadi keperawatan klinik dan manajemen keperawatan. Kegiatan
keperawatan klinik antara lain terdiri dari :
a. Pelayanan keperawatan personal, yang antara lain berupa pelayanan
keperawatan umum dan atau spesifik untuk sistem tubuh tertentu,
pemberian motivasi dan dukungan emosi pada pasien, pemberian obat, dan
lain-lain.
b. Berkomunikasi dengan dokter dan petugas penunjang medik, mengingat
perawat selalu berkomunikasi dengan pasien setiap waktu sehingga
merupakan petugas yang seyogianya paling tahu tentang keadaan pasien.
c. Berbagai hal tentang keadaan pasien ini perlu dikomunikasikan dengan
dokter atau petugas lain.
d. Menjalin hubungan dengan keluarga pasien.
e. Menjaga lingkungan bangsal tempat perawatan.
f. Melakukan penyuluhan kesehatan dan upaya pencegahan penyakit.
Dalam hal manajemen keperawatan di rumah sakit, tugas yang harus dilakukan
adalah:
a. Penanganan administratif, antara lain dapat berupa pengurusan masuknya
pasien ke rumah sakit, pengawasan pengisian dokumen catatan medik
dengan baik, membuat penjadwalan proses pemeriksaan/pengobatan
pasien, dan lain-lain.
b. Membuat penggolongan pasien sesuai berat ringannya penyakit, dan
kemudian mengatur kerja perawatan secara optimal pada setiap pasien
sesuai kebutuhannya masing-masing.
c. Memonitor mutu pelayanan pada pasien, baik pelayanan keperawatan
secara khusus maupun pelayanan lain secara umumnya.
d. Manajemen ketenagaan dan logistik keperawatan, kegiatan ini meliputi
staffing, assignment, dan budgeting.
2.2.5 Pendidikan Perawat
Aditama (2000) dalam bukunya Manajemen Administrasi Rumah Sakit
menyatakan bahwa di masa depan ada beberapa jenis dan jenjang tenaga
keperawatan profesional yang diperlukan, antara lain sebagai berikut :
a. Tenaga keperawatan profesional sebagai pelaksana pelayanan/asuhan
keperawatan, dan pelaksana pendidikan keperawatan, baik yang bersifat
umum maupun dengan kekhususan, atau memiliki kemampuan khusus
dalam keperawatan. Tenaga keperawatan ini dihasilkan melalui Program
Pendidikan D-III Keperawatan, Program pendidikan D-IV Keperawatan
dan Program Pendidikan Sarjana Keperawatan.
b. Tenaga keperawatan profesional sebagai pengelola keperawatan, baik
pengelola pelayanan keperawatan profesional maupun pengelola
pendidikan keperawatan, khususnya pendidikan tinggi keperawatan.
Tenaga keperawatan ini dihasilkan melalui Program Pendidikan Sarjana
Keperawatan dan Program Magister Keperawatan. Tenaga perawatan yang
dihasilkan melalui Program Magister Keperawatan juga ditujukan untuk
pengadaan staf akademik pada Program Pendidikan Sarjana Keperawatan.
c. Tenaga peneliti dan pengembang bidang keperawatan, mencakup
pelayanan/asuhan keperawatan profesional, pendidikan tinggi
keperawatan, riset keperawatan, dihasilkan melalui Program Magister
Keperawatan dan ProgramDoktor Keperawatan.
d. Tenaga pembantu pelaksana pelayanan/asuhan keperawatan yang
merupakan tenaga non profesional (pekarya kesehatan/keperawatan)
dihasilkan melalui pendidikan pada jenjang pendidikan menengah sebagai
pendidikan kejuruan (vokasional).
2.2.6 Kebutuhan Perawat
Proses penghitungan kebutuhan perawat/rumus untuk rawat inap (Aditama, 2000):
a. Jam perawatan yang dibutuhkan/tahun = jumlah pasien rata-rata per hari X
rata-rata jam perawatan/24 jam X jumlah hari perawatan.
b. Jumlah jam kerja/tahun = hari kerja efektif X jam kerja/hari.
c. Jumlah perawat yang dibutuhkan = jam perawatan yang dibutuhkan/tahun
(point 1) : jumlah jam kerja/tahun (point 2).
d. Tambahan tenaga untuk pengganti cuti hamil = jumlah jam karena cuti
hamil : jumlah jam kerja efektif.
e. Tambahan tenaga unutk pengganti cuti dan lain-lain = (minggu efektif :
jumlah minggu/tahun) X jumlah perawat.
f. Jumlah total perawat yang dibutuhkan = point 3 + point 4 + point 5.
g. Rasio tempat tidur/perawat = (jumlah tempat tidur : jumlah perawat) X
shift.

2.3 Akreditasi JCI


2.3.1 Pengertian Akreditasi
Akreditasi adalah suatu pengakuan atau legalisasi, penerimaan, dan
kepercayaan yang diberikan oleh badan akreditasi kepada suatu rumah sakit
dalam hal pemenuhan standar pelayanan, sehingga rumah sakit tersebut dapat
dinilai kemampuannya dalam mengupayakan peningkatan mutu pelayanan
(Mulyadi, 1997).
Akreditasi adalah suatu proses di mana sebuah entitas, yang terpisah, dan
berbeda dari organisasi perawatan kesehatan, biasanya nonpemerintah, menilai
organisasi perawatan kesehatan untuk menentukan jika memenuhi serangkaian
persyaratan (standar) yang dirancang untuk meningkatkan keselamatan dan
kualitas pelayanan. Akreditasi biasanya sukarela. Standar akreditasi biasanya
dianggap sebagai yang optimal dan dapat dicapai. Akreditasi telah mendapat
perhatian di seluruh dunia sebagai evaluasi mutu yang efektif dan alat
manajemen.

2.3.2 Manfaat Akreditasi


Akreditasi rumah sakit bermanfaat untuk berbagai institusi dan
masyarakat antara lain :
a. Bagi rumah sakit dan sarana kesehatan lainnya :
1) Alat memasarkan (marketing) rumah sakit pada masyarakat
2) RS yang lulus dalam akreditasi dapat meningkatkan status, citra, dan
kepercayaan masyarakat
3) Membangkitkan rasa bangga, senang, dan aman bagi para pegawai
kerja di rumah sakit yang telah lulus dalam akreditasi rumah sakit
4) RS yang telah diakreditasi dapat mengetahui kelebihan dan kekurangan
sehingga kekurangannya dapat diperbaiki dan kelebihannya
dipertahankan
b. Bagi pemerintah :
1) Akreditasi yang dilaksanakan di rumah sakit dapat memberi gambaran
keadaan rumah sakit di Indonesia mengenai mutu pelayanannya
2) Dengan akreditasi rumah sakit, usaha pembinaan menjadi lebih terarah
dan berkesinambungan dan dapat meningkatkan upaya pelaksanaan
konsep mutu pelayanan rumah sakit
c. Bagi pasien/masyarakat :
1) Pasien/masyarakat mendapatkan pelayanan yang bermutu sesuai dengan
standar profesi
2) Hak-hak pasien akan diperhatikan dan dipenuhi oleh rumah sakit/sarana
kesehatan lainnya
3) Sebagai acuan dalam memilih rumah sakit dan sarana kesehatan lainnya
d. Bagi perusahaan asuransi :
1) Acuan untuk memilih rumah sakit yang telah memenuhi standar
2) Rasa aman oleh karena para peserta asuransi mendapatkan pelayanan
sesuai dengan standar
2.3.3 Tujuan Akreditasi
Pada dasarnya tujuan utama akreditasi rumah sakit adalah agar kualitas
diintegrasikan dan dibudayakan ke dalam sistem pelayanan di rumah sakit.
Tujuan khusus akreditasi rumah sakit, di antaranya :
a. Meningkatkan pelayanan pasien
Standar akreditasi  kerangka yang membantu RS secara
berkesinambungan meningkatkan kinerja dan kualitas pelayanan.
b. Meningkatkan kepercayaan masyarakat
Status akreditasi memberikan kenyataan yang kuat kepada masyarakat
tentang upaya-upaya RS memberikan pelayanan dengan kualitas terbaik.
c. Perbaikan manajemen pelayanan kesehatan
Memberikan kerangka komprehensif dan membimbing RS menuju
kinerja yang efektif.
d. Meningkatkan rekrutmen staf
Membuat karyawan yang bermutu dan lebih suka bekerja di RS yang
diakui mutunya.
e. Meningkatkan pembayaran pelayanan
Akreditasi digunakan untuk kelancaran pembayaran asuransi atau
pembayar lain.
f. Kepercayaan dari pihak berkepentingan
Menyederhanakan dan memfokuskan tugas-tugas pemantauan yang
ditetapkan oleh pemerintah
2.3.4 Pengertian JCI
JCI (Joint Commission International) merupakan badan akreditasi
internasional, yang merupakan bagian dari Joint Commission on Accreditation
of Healthcare Organization (JCAHO-USA). JCI adalah suatu organisasi yang
independent, nonprofit, dan bukan lembaga pemerintahan.
Semua akreditasi JCI dan program sertifikasi dibentuk berdasarkan :
a. Standar konsensus internasional, dikembangkan dan dipelihara oleh
kekuatan internasional, dan disetujui oleh badan internasional,
merupakan dasar program akreditasi
b. Dasar filosofi dari standar tersebut berdasarkan prinsip manajemen
kualitas dan peningkatan kualitas secara berkelanjutan
c. Proses akreditasi didesain untuk menyesuaikan faktor hukum, agama,
dan atau budaya dalam sebuah negara. Walaupun standar mengatur
keseragaman, ekspektasi tinggi dari keamanan dan kualitas pelayanan
pasien, pertimbangan spesifik negara berhubungan dengan ekpektasi
tersebut yang merupakan bagian dari proses akreditasi
d. Tim survei dan agenda akan bervariasi sesuai ukuran organisasi dan
tipe pelayanan yang disediakan.
e. Akreditasi JCI dibentuk menjadi valid, reliable, dan objektif.
Berdasarkan analisis temuan survei, keputusan akhir akreditasi dibuat
oleh sebuah komite akreditasi internasional.
Elemen-elemen pengukuran standar merupakan syarat-syarat dari standar dan
pernyataan tersebut akan di-review dan ditetapkan suatu skor selama proses
survei akreditasi.
2.3.5 Manfaat JCI
JCI merupakan standar internasional karena memiliki manfaat :
a. Memperlihatkan komitmen nyata suatu organisasi untuk meningkatkan
kualitas pelayanan pasien, untuk memastikan lingkungan aman, dan
secara berkesinambungan mengurangi resiko terhadap pasien dan staf
b. Bertujuan optimum dalam pencapaian ekspektasi
c. Fokus pada pasien
d. Desain untuk menginterpretasikan atau mensurvei di dalam kultur dan
perundang-undangan yang berlaku
e. Memacu perbaikan berkesinambungan
2.3.6 Standar JCI
Setiap standar JCI terdiri dari 3 komponen :
a. Standar yang merepresentasikan prinsip-prinsip
b. Penjelasan dari alasan standar
c. Unsur-unsur yang terukur adalah persyaratan rinci dari standar dan
tujuan yang tercetak
Standar JCI Rumah Sakit, terdiri dari :
A. Patients Centered Standards
1. International Patient Safety Goals (IPSG)
Goals:
a. Identify patient correctly
b. Improve effective communication
c. Improve the safety of high alert
d. Ensure correct site, correct procedure, correct patient surgery
e. Reduce the risk of health care association infection
f. Reduce the risk of patient harm resulting from fall
Maksudnya :
a. Identifikasi pasien saat : pemberian obat, proses pengambilan darah,
dan tindakan medis lainnya. Nomor kamar pasien tidak boleh
digunakan sebagai identifikasi pasien.
b. Adanya konfirmasi dengan membaca kembali.
c. Tingkatkan keamanan untuk pemberian obat yang berisiko tinggi.
Obat yang berisiko tinggi antara lain : insulin, opiat dan narkotika,
injeksi kalium chloride (KCl), antikoagulan intravena (heparin),
natrium chloride (NaCl) /potassium chloride > 0,9%.
d. Menjamin tempat, pasien dan prosedur operasi yang benar
e. Dilakukannya kampanye hand hygiene
f. Reduksi risiko pasien cedera dari jatuh
2. Access to Care and Continuity of Care (ACC)
a. Admission to the organization
b. Continuity Care
c. Discharge, referral, and follow-up
d. Transfer of patient
e. Transportation
Maksudnya :
a. Perawatan harus mulus dari ketika pasien masuk sampai pulang
b. Perawatan harus mulus baik bagi penyedia layanan dan pasien
c. Kebutuhan kesehatan pasien harus sesuai dengan layanan yang
tersedia
d. Layanan yang diberikan harus dikoordinasikan
e. Discharge harus direncanakan dan ditindaklanjuti
3. Patients and Family Rights (PFR)
a. Identify, protect, and promote patients rights
b. Informed consent
c. Research
d. Organ donation
Maksudnya : Pasien adalah unik dan harus diperlakukan sebagai individu.
Hak harus dihormati.
4. Assessment of Patients (AOP)
a. Collecting analyzing patient data and information
b. Laboratory service
c. Radiology and diagnostic imaging service
Maksudnya : hasil proses assessment pasien yang efektif dalam
pengambilan keputusan tentang pengobatan pasien langsung/segera dan
penatalaksanaan berkelanjutan. Assessment pasien terdiri dari :
mengumpulkan informasi pasien, menganalisa informasi ini,
mengembangkan rencana perawatan.
5. Care of Patients (COP)
a. Care delivery for all patient
b. Care of high risk patient and provision of high risk service
c. Food and nutrition therapy
d. Pain management and end of life care
Maksudnya : pelayanan pasien adalah tujuan utama pelayanan organnisasi
kesehatan. Untuk memberikan pelayanan yang terbaik, organisasi harus :
merencanakan dan memberikan pelayanan, memonitor pasien untuk
memahami hasil pelayanan, modifikasi pelayanan bila diperlukan,
melengkapi pelayanan, rencana tindak lanjut (follow up).
6. Anesthesia and Surgical Care (ASC)
a. Organization and Management
b. Sedation care
c. Anesthesia care
d. Surgical care
Maksudnya : anestesi, sedasi (obat penenang), dan intervensi bedah yang
umum dan kompleks. Hal di atas membutuhkan : assessment / penilaian
lengkap dan komprehensif, perencanaan perawatan terpadu, pemantauan
lanjutan pasien, kriteria penentuan transfer untuk melanjutkan perawatan,
rehabilitasi, diakhiri transfer dan pulang.
7. Medication Management and Use (MMU)
a. Organization and Management
b. Selection and Procurement
c. Storage
d. Ordering and Transcribing
e. Preparing and Dispensing
f. Administration
g. Monitoring
Manajemen obat meliputi sistem dan proses yang digunakan RS untuk
memberikan farmakoterapi kepada pasien. Hal ini biasanya meliputi :
koordinasi upaya staf, proses desain yang efektif, pengadaan dan
penyimpanan, transkripsi, dispensing, monitoring.
8. Patient and Family Education (PFE)
a. Education to support patient decision
b. Education tailored to each patient (video could be use but
make sure the patient understood)
c. Collaborative delivery of education
d. Education to support care at home
Edukasi membantu pasien dan keluarga mereka mengambil keputusan
pelayanan. Proses yang terbaik : menggunakan pendekatan multidisipliner,
sesuai preferensi belajar individu, nilai, dan kemampuan bahasa,
memberikan edukasi pada waktu yang tepat.
Health Care Organization and Managements Standards
1. Quality Improvement and Patient Safety (QPS)
a. Leadership and planning
b. Design of new and modified processes
c. Data collection for quality monitoring
d. Analysis of data
e. Process improvement
Integral untuk peningkatan kualitas secara keseluruhan adalah penurunan
terus menerus risiko untuk pasien dan staf. Risiko dapat ditemukan dalam
proses klinis dan lingkungan fisik. Pendekatan ini meliputi : memimpin
dan merencanakan peningkatan kualitas dan proses keselamatan pasien,
merancang proses klinis dan manajerial yang efektif, monitoring seberapa
baik proses berlangsung, analisa data, implementasi dan mempertahankan
peningkatan.
2. Prevention and Control of Infection (PCI)
a. Program leadership and coordination
b. Focus of the program
c. Isolation procedure
d. Barrier techniques and hand hygiene
e. Integration of program with quality
f. Education of staff about the program
Program pencegahan dan pengendalian infeksi berupaya untuk
mengurangi resiko tertular dan transmisi infeksi. Program yang efektif
memiliki : identifikasi pemimpin, staf yang terlatih, metode untuk
mengidentifikasi dan proaktif mengatasi resiko infeksi, kebijakan dan
prosedur yang tepat, edukasi staf, koordinasi seluruh organisasi.
3. Governance, Leadership, and Direction (GLD)
a. Governance of the organization
b. Leadership of the organization
c. Direction of Departments and Services
d. Organization Ethics
Pelayanan yang excellent memerlukan kepemimpinan yang efektif.
Kepemimpinan harus : mengidentifikasi misi organisasi dan memastikan
sumber daya yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan itu,
mengkoordinasi dan mengintegrasikan kegiatan, memahami bagaimana
anggota staf bekerja sama, bersama dengan tanggung jawab masing-
masing, mengatasi hambatan dan perselisihan antara departemen.
4. Facility Management and Safety (FMS)
a. Leadership and planning
b. Safety and security
c. Hazardous materials
d. Emergency management
e. Fire safety
f. Medical equipment
g. Utility Systems
h. Staff education
Dalam rangka untuk memberikan fasilitas yang aman dan fungsional bagi
semua, fasilitas fisik, peralatan medis, dan tenaga manusia harus efektif.
Manajemen harus berupaya untuk : mengurangi dan mengendalikan risiko
dan bahaya, mencegah kecelakaan dan cedera, menjaga kondisi aman.
5. Staff Qualification and Education (SQE)
a. Planning
b. Orientation and education
c. Medical staff
d. Nursing staff
e. Other professional staff
Kepemimpinan berkolaborasi untuk mengidentifikasi jumlah dan jenis staf
yang dibutuhkan untuk memenuhi misi organisasi. Merekrut,
mengevaluasi, dan menunjuk staf yang terbaik melalui proses yang
terkoordinasi dan seragam. Dokumentasi merupakan bagian penting dari
proses ini : aplikasi keterampilan/skill, pengetahuan, pendidikan,
pengalaman kerja sebelumnya, credential review (untuk staf klinis)
6. Management of Communication and Information (MCI)
a. Communication with community
b. Communication with patients and families
c. Communication between providers within and outside
the organization
d. Leadership and planning
e. Patient clinical record
f. Aggregate data and information
Kegagalan dalam komunikasi adalah salah satu akar penyebab paling
umum dari insiden keselamatan pasien. Seiring waktu organisasi harus
meningkatkan kemampuan mereka untuk : mengidentifikasi kebutuhan
informasi, desain sistem informasi manajemen, lakukan analisis data dan
mengubahnya menjadi informasi yang dapat dilaporkan, mengintegrasikan
dan menggunakan informasi.
2.4 IPSG (International Patient Safety Goals)
IPSG disusun dengan cara yang sama seperti standar JCI lainnya. Keselamatan
pasien (patient safety) rumah sakit adalah suatu sistem di mana rumah sakit
membuat asuhan pasien lebih aman. Sistem tersebut meliputi asesmen resiko,
identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan resiko pasien,
pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak
lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya resiko.
Sistem tersebut diharapkan dapat mencegah terjadinya cedera yang disebabkan
oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak melakukan tindakan
yang seharusnya dilakukan (Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah sakit,
Depkes R.I. 2008).
Tujuan :
1. Terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah sakit
2. Meningkatnya akutanbilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat
3. Menurunnya kejadian tidak diharapkan (KTD) di rumah sakit
4. Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi
pengulangan kejadian tidak diharapkan
IPSG terdiri dari 3 komponen :
1. Standar, merupakan prinsip
2. Deskripsi, merupakan penjelasan standar
3. ME (Measurable element), merupakan kebutuhan rinci dari standar dan
nilai skor berdasarkan ME.
Semua ME (Measurable element) dirata-ratakan untuk mendapatkan skor standar,
semua standar dirata-ratakan untuk mendapatkan skor chapter, dan semua chapter
dirata-ratakan untuk mendapatkan skor total.

Tabel 2.1 Standar IPSG


Goals, Requirements, Intents, and Measurable Elements
1. Patient are identified Identifikasi pasien adalah proses
Goal Identify Patient using two patient pencatatan data pasien yang benar
1 Correctly identifiers, not sehingga dapat menetapkan dan
including the use of the mempersamakan data tersebut
patient's room number dengan individu yang
or location bersangkutan. Identifikasi
dilakukan mulai pendaftaran
hingga keluar rumah sakit.
Identifikasi dilakukan dengan min.
2 cara identifikasi, yaitu nama
lengkap dan tanggal lahir pasien
atau nomor rekam medis. Nomor
kamar dan nama ruangan tidak
boleh dipakai. Untuk pasien yang
tidak sadar melalui gelang tangan.
Pasien diidentifikasi sebelum
diberi obat, darah, maupun produk
dari darah.
Pemberian obat : mengetahui jenis
obat, khasiat, efek samping, kontra
indikasi, dosis umum, dan cara
2. Patient pemberian obat. Siapkan obat
are identified sesuai instruksi yang ada dalam
before DO (Daftar Obat). Lakukan
administering prinsip 5 Benar dan 1
medications, blood, or Dokumentasi (benar pasien, benar
blood products obat, benar dosis, benar cara,
benar waktu, benar dokumentasi).
Perawat saksi memberi paraf pada
kolom abu-abu dan yang memberi
obat pada kolom putih bila obat
sudah diberi.
3. Patient are identified Pasien diidentifikasi sebelum
before taking blood diambil darah dan spesimen lain
and other specimens untuk uji klinis.
for Pemberian transfusi darah :
clinical testing.
lakukan double check dengan
perawat lain : instruksi dokter,
nama, tanggal lahir, dan golongan
darah pasien, jenis, jumlah darah
dan nomor harus sesuai dengan
form permintaan, form cross
match, dan yang tertulis di
kantong darah dan cek tanggal dan
jam kadaluarsa. Sebelum transfusi
cek tanda vital: tekanan darah,
nadi, pernafasan, suhu, dan skor
nyeri serta keadaan umum pasien.
Setelah transfusi cek tanda vital :
reaksi alergi serta keluhan pasien
setiap 15 menit untuk jam pertama
selanjutnya setiap jam sampai
dengan transfusi selesai dan
dokumentasikan dalam lembar
grafik observasi.
Sampel lab : beri label pasien pada
formulir pemeriksaan
laboratorium.
Pasien diidentifikasi sebelum
diberi perawatan dan prosedur.
4. Patients are Misalnya operasi : Serah terima
identified before dari ruangan dilakukan oleh penata
providing treatments anestesi/perawat bedah dengan
and procedures. perawat ruangan, cek dokumen
pasien pada status pasien dan
checklist pre dan post operasi.
5. Policies and Adanya SOP sebagai kebijakan
procedures support dan / atau prosedur yang
consistent practice in mendukung praktik yang konsisten
all situation di semua situasi dan lokasi.
and
locations.
Instruksi verbal, instruksi via
telepon, atau hasil tes penunjang
klinis ditulis oleh penerima
instruksi. Obat : ditulis di kolom
"instruksi obat via telepon" di
1. The complete verbal halaman terakhir dari DO. Tes
and telephone order or penunjang klinis yang penting
test result is written meliputi : tes laboratorium yang
down by the receive of CITO/segera, pemeriksaan
the order or test result. radiologi, elektrokardiogram
(EKG), pemeriksaan lain yang
memerlukan respon yang cepat.
Penunjang medis (laboratorium,
Improve radiologi) : ditulis secara lengkap
Goa
Effective di catatan perkembangan integrasi.
l2
Communicatio Instruksi verbal, instruksi via
n telepon, atau hasil tes penunjang
2. The complete verbal
klinis dibacakan kembali oleh
and telephone order or
penerima instruksi. Read back
test result is read back
ditulis dengan lengkap dan jelas.
by the receiver of the
Tulis "read back +" di catatan
order or test result.
perkembangan terintegrasi dengan
tinta warna merah.
Verifikasi oleh pemberi instruksi
3. The order or test
dalam waktu 1x24 jam sejak
result is confirmed by
instruksi diberikan dengan cara
the individual who
tanda tangan instruksi yang telah
gave the order or test
ditulis sebelumnya.
result.
4. Policies and Adanya SOP sebagai kebijakan
procedures support dan / atau prosedur yang
consistent practice in mendukung praktek yang
verifying the accuracy konsisten dalam memverifikasi
of verbal and akurasi komunikasi verbal dan
telephone telepon.
communications.
1. Policies and /or
procedures Adanya SOP sebagai kebijakan
dan / atau prosedur yang
are developed to
dikembangkan untuk identifikasi
address identification,
alamat, lokasi, pelabelan, dan
location, labeling, and
penyimpanan obat resiko tinggi
storage of high-alert
medications.
2. The policies and /or
procedures SOP tersebut diimplementasikan.

are implemented.
Lakukan verifikasi terhadap
Improve the 3. konsentrasi obat, kecepatan
Goa Safety of pemberian dan jalur IV yang
Concentrated
l3 High- Alert digunakan.
electrolytes are
Medications Pemberian obat yang berisiko
not present
tinggi sebaiknya dengan
in patient care units
infusion/syringe pump dan
unless clinically
kecepatan pemberian harus selalu
necessary and actions
dimonitor.
are taken to prevent
Penyimpanan obat yang berisiko
inadvertent
tinggi harus terpisah dan diberi
administration in
label berwarna merah.
those areas where
permitted by policy
4. Obat yang berisiko tinggi antara
lain : insulin, opiat dan narkotika,
Concentrated
injeksi kalium chloride (KCl),
electrolytes that are
antikoagulan intravena (heparin),
store in patient care
unit are clearly natrium chloride (NaCl) 3%,
labeled
and stored in a maner
that restricts access. potassium chloride, potasium
fosfat, sodium korida > 0,9%,
MgSO4 40% dan Dextrose 40%.
Konsentrat elektrolit yang
disimpan di unit perawatan pasien
dengan jelas diberi label dan
disimpan dalam lemari dengan
akses khusus.
1. The organization
uses an instantly Gunakan tanda lingkaran (o) untuk
recognizable mark for memberi tanda pada lokasi operasi
surgical dan libatkan pasien dalam
memberi tanda.
site
identification

The and involves the

organization patient in

develops an the marking process.


Lakukan “surgical safety
approach to
Goa checklist” dengan benar pada
Ensure
l4 2. The organization semua pasien yang akan dilakukan
Correct- Site,
uses a checklist or prosedur operasi.
Correct-
other process to verify Lakukan checklist terhadap
Procedure,
preoperatively the kelengkapan dokumen medis
Correct-Patient
correct site, correct (termasuk informed consent),
Surgery
procedure, and correct pemeriksaan radiologi dan alat-alat
patient and that all operasi yang akan digunakan.
documents Benar sisi, benar pasien, dan benar
prosedur juga harus dipastikan
and equipment needed
pada prosedur endoskopi, aspirasi
are on hand, correct
perkutan, biopsy, katerisasi
and functional.
jantung dan vaskuler serta
tindakan invasive lainnya
3. The full surgical Lakukan “Time Out” sebelum
team conducts and incisi pembedahan. “Time out” ini
documents a time-out harus berupa pengecekan aktif
procedure just before (secara lisan), dilakukan di sisi di
starting a surgical mana tindakan itu akan dilakukan
procedure dan melibatkan semua anggota tim
dari operasi/ prosedur, termasuk
pula dari pasien, bila
memungkinkan
4. Policies and
procedures
are
Adanya SOP sebagai kebijakan
developed that will
prosedur pembedahan dan / atau
support
prosedur yang dikembangkan yang
uniform
akan mendukung proses seragam
processes to ensure the
untuk memastikan sisi yang benar,
correct site, correct
prosedur yang benar, dan pasien
procedure, and correct
yang benar.
patient,

including medical and


dental procedures done
in settings other that
the
operating theatre.
Seluruh pihak di rumah sakit telah
mengadopsi atau menyesuaikan
dengan pedoman kebersihan
1. The organization has tangan yang telah dipublikasikan
adopted or adapted dan diterima secara umum.
Reduce the Risk
currently published Tangan merupakan media
Goa of Health Care-
and generally penyebaran bakteri patogen yang
l5 Associated
accepted paling sering.
Infections
hand Cuci tangan adalah faktor
terpenting untuk mencegah
hygiene guidelines.
penyebaran bakteri patogen dan
resistensi terhadap antibiotika.
2. The organization Seluruh pihak di rumah sakit telah
implements an effective menerapkan program kebersihan
hand hygiene program. tangan yang efektif.
Cuci tangan pada saat : sebelum
menyentuh pasien, sebelum
melakukan tindakan aseptik,
sebelum terkontaminasi dengan
cairan tubuh pasien dan setelah
melakukan tindakan-tindakan
invasive, setelah menyentuh
pasien, setelah menyentuh daerah
sekitar pasien.
3. Policies and /or
Adanya SOP sebagai kebijakan
procedures are
dan / atau prosedur yang
developed that support
dikembangkan dalam mendukung
continued reduction of
pengurangan perawatan kesehatan
health care-associated
terkait infeksi
infections.
Kaji pasien resiko jatuh dengan
form pengkajian pasien resiko
jatuh pada setiap pasien masuk
1. The organization
rawat.
implements a process
Lakukan pengkajian ulang risiko
for the initial
jatuh setiap 3 hari atau sewaktu-
Reduce the Risk assessment of patients
waktu bila ada perubahan antara
Goal of Patient Harm for fall risk and
lain : mendapatkan medikasi baru
6 Resulting from reassessment of patient
yang dapat berisiko pasien jatuh,
Falls when indicated by a
pasca tindakan atau prosedur yang
change in condition,
medications, among mengurangi mobilitas pasien,
other. mengalami perubahan perilaku,
tingkat kesadaran atau kondisi
klinis, setelah pasien jatuh, pindah
dari unit satu ke unit lainnya
Untuk pasien dengan resiko jatuh
dengan level 2 dipasang gelang
warna hijau. Letakkan papan
resiko jatuh pada meja pasien atau
pada papan di atas kepala pasien.
Jelaskan pada keluarga. Pasang
pagar pengaman tempat tidur.
Gunakan pengikat tangan atau
baju apollo sesuai kondisi.
Dekatkan bel ke pasien dan
jelaskan penggunaannya kepada
pasien dan keluarga. Lakukan
observasi tiap 2-3 jam sekali. Saat
observasi pastikan posisi pasien
2. Measures are aman dan nyaman misal : posisi
implemented to reduce tidur tidak merosot, bagian tubuh
fall risk for those tidak keluar pagar tempat tidur,
assessed to be at risk. dan lain - lain. Pastikan
lingkungan pasien aman (rem
tempat tidur terkunci, pagar tempat
tidur terpasang, lantai tidak basah,
penerangan cukup) sebelum
meninggalkan pasien.
Dokumentasikan pada catatan
perkembangan terintegrasi tentang
kondisi dan tindakan yang
dilakukan pada setiap ronde dan
laporkan ke penanggungjawab
shift. Beritahukan keluarga bahwa
pasien harus ada yang menunggu.
Beritahukan keluarga untuk
menginformasikan kepada
perawat apabila ada pergantian
keluarga yang menunggu agar
dapat dijelaskan kembali
pengamanan yang dilakukan agar
pasien tidak jatuh. Beritahu
penunggu bila meninggalkan
pasien harus memberitahu
perawat.
3. Measures are
Kaji ulang setelah 3 hari. Pastikan
monitored for results,
semua tindakan pencegahan sudah
both succesful fall
dilakukan, gunakan checklist
injury reduction and
intervensi keperawatan pasien
any unintended related
yang beresiko jatuh.
consequences.
4. Policies and/or
procedures support Adanya SOP sebagai kebijakan
continued reduction of dan / atau prosedur yang
risk of patient harm mendukung pengurangan resiko
resulting from falls in pasien jatuh yang membahayakan.
the organization.
Sumber : disari dari SOP Keperawatan RS Swasta X

Rumah Sakit
Definisi Rumah Sakit
Menurut Peraturan Menkes RI Nomor 340/Menkes/PER/III/2010, rumah sakit adalah institusi p
kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap,
rawat jalan, dan gawat darurat.
Rumah sakit (hospital) adalah suatu organisasi yang meliputi tenaga
medis profesional yang terorganisir serta adanya sarana kedokteran yang
permanen dalam menyelenggarakan pelayanan kedokteran, asuhan keperawatan
yang berkesinambungan, diagnosis serta pengobatan penyakit yang diderita oleh
pasien. Rumah sakit juga diartikan sebagai tempat di mana orang sakit mencari
dan menerima pelayanan kedokteran serta tempat di mana pendidikan klinik untuk
mahasiswa kedokteran, perawat dan berbagai tenaga profesi kedokteran lainnya
(Anwar, 1996).
Istilah hospital konon berakar dari bahasa Latin hostel yang biasa
digunakan di abad pertengahan sebagai tempat bagi para pengungsi yang sakit,
menderita, dan miskin. Pendapat lain oleh Willan (1990) mengatakan bahwa kata
hospital berasal dari bahasa Latin hospitium , yang artinya suatu tempat/ruangan
unutk menerima tamu. Sementara itu, Yu (1997) menyatakan bahwa istilah
hospital berasal dari bahasa Perancis kuno dan medieval English yang dalam
kamus Inggris Oxford didefiniskan sebagai :
a. Tempat untuk istirahat dan hiburan
b. Institusi sosial untuk mereka yang membutuhkan akomodasi, lemah, dan
sakit
c. Institusi sosial untuk pendidikan dan kaum muda
d. Institusi untuk merawat mereka yang sakit dan cedera
American Hospital Association di tahun 1978 menyatakan bahwa rumah
sakit adalah suatu institusi yang fungsi utamanya adalah memberikan pelayanan
kepada pasien-diagnostik dan terapeutik- untuk berbagai penyakit dan masalah
kesehatan, baik yang bersifat bedah maupun non bedah. Rumah sakit harus
dibangun, dilengkapi, dan dipelihara dengan baik untuk menjamin kesehatan dan
keselamatan pasiennya dan harus menyediakan fasilitas yang lapang, tidak
berdesak-desakan dan terjamin sanitasinya bagi kesembuhan pasien (Aditama,
2000). Kini rumah sakit adalah bagian integral dari keseluruhan sistem pelayanan
kesehatan.
Gambar 2.1 Ruang Lingkup Rumah Sakit

Lokal Global

Selalu siap berubah

Kompleks
& efektif Sumber daya yang unggul

Promotif
Rumah Sakit
Bagian sistem Preventif
pelayanan
Paradigma sehat kesehatan
Kuratif

Kepuasan pasien/
masyarakat
Rehabilitatif
Sumber : Aditama (2000)

2.5.2 Tugas Rumah Sakit


Pada umumnya tugas rumah sakit adalah menyediakan keperluan untuk
pemeliharaan dan pemulihan kesehatan. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan
RI No: 983/Menkes/SK/XI/1992, tugas rumah sakit umum adalah melaksanakan
upaya kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan
upaya penyembuhan dan pemeliharaan yang dilaksanakan secara serasi dan
terpadu dengan upaya peningkatan dan pencegahan serta melaksanakan rujukan.
2.5.3 Fungsi Rumah Sakit
Milton Roemer dan Friedman dalam buku Doctors in Hospital (1971) menyatakan
bahwa rumah sakit setidaknya memiliki lima fungsi, yaitu :
a. Harus ada pelayanan rawat inap dengan fasilitas diagnostik dan
terapeutiknya. Berbagai jenis spesialisasi, baik bedah maupun non bedah,
harus tersedia. Pelayanan rawat inap ini juga meliputi pelayanan
keperawatan, gizi, farmasi, laboratorium, radiologi, dan berbagai
pelayanan lainnya.
b. Harus memiliki pelayanan rawat jalan.
c. Melakukan pendidikan dan pelatihan.
d. Melakukan penelitian di bidang kedokteran dan kesehatan, karena
keberadaan pasien di rumah sakit merupakan modal dasar untuk penelitian
ini.
e. Mempunyai tanggung jawab untuk program pencegahan penyakit dan
penyuluhan kesehatan bagi populasi di sekitarnya.
Menurut Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, fungsi
rumah sakit adalah :
a. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai
dengan standar pelayanan rumah sakit
b. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan
kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis
c. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam
rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan
d. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi
bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan
memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.
2.5.4 Klasifikasi Rumah Sakit
Menurut Peraturan Menkes RI Nomor 340/Menkes/PER/III/2010, rumah sakit
diklasifikasikan berdasarkan jenis pelayanan :
a. Rumah Sakit Umum adalah Rumah Sakit yang memberikan pelayanan
kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit.
Berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan, Rumah Sakit Umum
diklasifikasikan menjadi :
1) Rumah Sakit Umum Kelas A, harus mempunyai fasilitas dan
kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 Pelayanan Medik
Spesialis Dasar, 5 Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, 12 Pelayanan
Medik Spesialis Lain dan 13 Pelayanan Medik Sub Spesialis.
2) Rumah Sakit Umum Kelas B, harus mempunyai fasilitas dan
kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 Pelayanan Medik
Spesialis Dasar, 4 Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, 8 Pelayanan
Medik Spesialis Lainnya dan 2 Pelayanan Medik Subspesialis Dasar.
3) Rumah Sakit Umum Kelas C, harus mempunyai fasilitas dan
kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 Pelayanan Medik
Spesialis Dasar dan 4 Pelayanan Spesialis Penunjang Medik.
4) Rumah Sakit Umum Kelas D, harus mempunyai fasilitas dan
kemampuan pelayanan medik paling sedikit 2 Pelayanan Medik
Spesialis Dasar.
b. Rumah Sakit Khusus adalah Rumah Sakit yang memberikan pelayanan
utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu, berdasarkan
disiplin ilmu, golongan umur, organ atau jenis penyakit. Jenis Rumah
Sakit khusus antara lain Rumah Sakit Khusus Ibu dan Anak, Jantung,
Kanker, Orthopedi, Paru, Jiwa, Kusta, Mata, Ketergantungan Obat, Stroke,
Penyakit Infeksi, Bersalin, Gigi dan Mulut, Rehabilitasi Medik, Telinga
Hidung Tenggorokan, Bedah, Ginjal, Kulit dan Kelamin.
Berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan, Rumah Sakit Khusus
diklasifikasikanmenjadi :
1) Rumah Sakit Khusus Kelas A;
2) Rumah Sakit Khusus Kelas B;
3) Rumah Sakit Khusus Kelas C.

2.6 Instalasi Rawat Inap


Ruang untuk pasien yang memerlukan asuhan dan pelayanan keperawatan
dan pengobatan secara berkesinambungan lebih dari 24 jam (Depkes, 2006).
Untuk tiap-tiap rumah sakit akan mempunyai ruang perawatan dengan nama
sendiri-sendiri sesuai dengan tingkat pelayanan dan fasilitas yang diberikan oleh
pihak rumah sakit kepada pasiennya.
Menurut Keputusan Menkes RI Nomor 560/Menkes/SK/IV/2003, yang
dimaksud dengan pelayanan rawat inap, yaitu : “Pelayanan pasien untuk
observasi, diagnosis, pengobatan, rehabilitasi medik, dan atau upaya pelayanan
kesehatan lainnya dengan menginap di rumah sakit.”
Pada rumah sakit, instalasi rawat inap merupakan bagian penting dari pelayanan
kesehatan kepada pasien Rumah Sakit yang kegiatannya meliputi (Depkes, 2006) :
1. Perawatan kepada pasien rawat inap
2. Melakukan penyuluhan kepada pasien dalam melakukan pencegahan dan
pengobatan terhadap penyakit yang diderita
3. Pendidikan dan pelatihan kepada para tenaga medis dan paramedic dalam
meningkatkan mutu pelayanan
Tipe ruang rawat inap, terdiri dari :
a) Ruang rawat inap 1 tempat tidur setiap kamar (VIP).
b) Ruang rawat inap 2 tempat tidur setiap kamar (Kelas 1)
c) Ruang rawat inap 4 tempat tidur setiap kamar (Kelas 2)
d) Ruang rawat inap 6 tempat tidur atau lebih setiap kamar (kelas 3)
Khusus untuk pasien-pasien tertentu harus dipisahkan (Ruang Isolasi), seperti
:
a) Pasien yang menderita penyakit menular.
b) Pasien dengan pengobatan yang menimbulkan bau (seperti penyakit
tumor, ganggrein, diabetes, dan sebagainya).
c) Pasien yang gaduh gelisah (mengeluarkan suara dalam ruangan).
Keseluruhan ruang-ruang ini harus terlihat jelas dalam kebutuhan jumlah
dan jenis pasien yang akan dirawat.
BAB III
GAMBARAN UMUM RUMAH SAKIT

3.1 Gambaran Umum


RS Swasta X terletak di tengah kawasan terpadu Bintaro Jaya yang
dibangun di atas areal seluas 14.000 m² dengan konsep desain yang unik dan
memulai kegiatan operasionalnya pada tanggal 12 Oktober 1998 dengan
menggunakan nama internasional dan terhitung mulai tanggal 12 Agustus 2010
rumah sakit tersebut berubah nama. Perubahan nama rumah sakit ini dilakukan
untuk memenuhi ketentuan peraturan perundangan yang berlaku tentang Rumah
Sakit Indonesia Kelas Dunia.
Alamat : Jl. M.H Thamrin Blok B3 No. 1 Sektor 7 Kawasan Niaga Bintaro
Jaya, Tangerang 15224
Telp : (62-21) 7455 500 / 600, Fax : (62-21) 7455 800
RS Swasta X merupakan bagian dari Ramsay Health Care Group,
Australia. Group rumah sakit swasta terbesar di Australia yang memiliki lebih dari
100 rumah sakit serta fasilitas day surgery di Australia, Inggris, Perancis, dan
Indonesia.

3.2 Sejarah RS Swasta X


Sejak awal berdiri, RS Swasta X dikenal dengan nama internasional.
Rumah sakit ini sudah mengalami beberapa kali perubahan kepemilikan. Pada
Desember 2001 rumah sakit ini dikelola oleh PT. Mitra Jaya Medikatama yang
merupakan gabungan antara PT. Ensevall (Kalbe Group) dengan perusahaan
Australia yang bernama Mayne Nickless Limited.
Tahun 2002, rumah sakit sepenuhnya hanya dimiliki oleh Mayne Health
Nickless Limited, yang selanjutnya bernama Mayne Health International. Maka
dengan itu terciptalah logo pertama rumah sakit sebagai berikut.
Gambar 3.1 Logo Mayne Health

Sumber : www.barrettconsulting.com

Pada tahun 2004, Mayne Health menjual divisi Healthnya kepada


konsorium lain, bernama Affinity Health, yang selanjutnya di Indonesia bernama
Affinity Health Indonesia. Dengan demikian logo rumah sakit berubah menjadi
seperti berikut.

Gambar 3.2 Logo Affinity Health

Sumber : www.esvc000216.wic050u.server-web.com/invest/affinity.htm

Pada 26 Desember 2005, rumah sakit tersebut dinyatakan terakreditasi dan


ditetapkan sebagai rumah sakit tipe B oleh KARS (Komisi Akreditasi Rumah
Sakit). Pada awal tahun 2006 , kepemilikian rumah sakit ini beralih dari Affinity
Health Indonesia ke tangan Ramsay Health Care. Perubahan kepemilikan tersebut
mengakibatkan perubahan logo yang masih berlaku sampai saat ini.
Gambar 3.3 Logo RS Swasta X

Sumber : situs RS Swasta X

Di tahun 2007, rumah sakit tersebut memperoleh ISO 9001 : 2000 yang
merupakan sertifikasi untuk Sistem Manajemen Mutu. Tahun 2009, rumah sakit
tersebut memperoleh akreditasi 16 bidang pelayanan dan pencapaian terbaru RS.
Pada 12 Agustus 2010, untuk memenuhi peraturan perundangan mengenai rumah
sakit Indonesia kelas dunia, nama rumah sakit tersebut diubah. Awal tahun 2011,
RS Swasta X meraih Akreditasi Internasional dari JCI (Joint Commission
International).

3.3 Visi, Misi, dan Falsafah RS Swasta X


Visi Ramsay Health Care Australia yang ditetapkan adalah : Ramsay Health Care
is committed to being a leading provider of health care services by delivering
high quality outcomes for patients and ensuring long term profitability.
Visi, Misi, dan Falsafah yang telah ditetapkan adalah sebagai berikut :
Falsafah : People caring for people
Visi : RS Swasta X bertekad untuk menjadi penyedia jasa
layanan kesehatan yang terkemuka dengan memberikan
pelayanan kesehatan yang berkualitas serta memastikan
profitabilitas perusahaan dalam jangka panjang.
Misi : RS Swasta X senantiasa mengupayakan keberhasilan
klinik, keselamatan pasien dan kepuasan pelanggan serta
perbaikan yang berkesinambungan dari waktu ke waktu,
sesuai dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan
pelanggan.

3.4 Kebijakan RS Swasta X


Kebijakan mutu di RS Swasta X adalah :
Kami memberikan pelayanan yang handal, cepat, tepat, ramah, proaktif,
dan konsisten kepada pasien dan keluarganya sesuai dengan sistem
manajemen mutu RS Swasta X.
a. Handal : melayani dengan sumber daya manusia terlatih dan terampil
dengan fasilitas yang dapat diandalkan.
b. Cepat : memberikan pelayanan dengan sesegera mungkin.
c. Tepat : memberikan pelayanan yang benar sesuai dengan kebutuhan.
d. Ramah : memberikan pelayanan dengan senyum dan salam dengan
bersahabat.
e. Proaktif : memberikan pelayanan dengan tanggap dan penuh inisiatif
dengan kepedulian yang tinggi.
f. Konsisten : melayani sesuai dengan standar.
3.5 Struktur Organisasi
(terlampir)

3.6 Fasilitas RS Swasta X


Fasilitas yang dimiliki RS Swasta X adalah :
1. Pelayanan Rawat Jalan
Terdapat 30 kamar konsultasi. Pelayanan rawat jalan terdiri dari : klinik
anak (paru, syaraf, jantung, pencernaan), klinik kandungan dan kebidanan
(feto maternal, fertility endokrin reproduksi, onkologi), klinik penyakit
dalam (gastroentero hepatologi, rhematologi, hemato onkologi, metabolic,
dan endokrin), klinik bedah (bedah umum, bedah tulang, bedah tulang
belakang, bedah anak, bedah saluran kemih, bedah saluran cerna, bedah
plastik, bedah syaraf, bedah vaskuler), klinik jantung dan pembuluh darah,
klinik syaraf, klinik paru-paru, klinik mata, klinik THT, klinik gizi, klinik
psikiatri, klinik andrologi, klinik kulit dan kelamin, klinik nyeri, klinik
akupuntur, klinik imunisasi dewasa, klinik edukasi dan kaki diabetes,
klinik psikologi, klinik umum, klinik gigi.
2. Pelayanan Rawat Inap
Terdapat 200 tempat tidur dengan fasilitas perawatan : SVIP, VIP, Utama,
Kelas I (2 beds), Kelas II (3 beds), Kelas III (5 beds), Kamar operasi,
Isolasi, one day care, ICU, HDU, NICU, Perinatology.
3. Pelayanan Penunjang Diagnostik dan Terapi
Terdiri dari : Laboratorium (patologi klinik, patologi anatomi, bank darah),
radiologi (MRI 1,5 tesla, MSCT-Scan, USG 4 dimensi, general x ray,
panoramic, mammografi, fluoroskopi, dll), farmasi, rehabilitasi medik,
EKG, treadmil, angiografi, ESWL, EEG, EMG, CTG, spirometri,
audiometri, uroflowmetri, endoskopi (bronchoscopy, gastroscopy,
colonoscopy), laparoskopi, artroskopi, hemodialisa
4. Pelayanan Ortopedi
5. Layanan Unggulan Ramsay Spine Center
6. Unit Gawat Darurat
7. Kamar Bersalin
8. Unit Rekam Medik
9. Medical check up : MCU standard, executive, platinum, diamond, pra
nikah, calon pegawai
10. Ruang Jenazah
11. Ambulans
12. Kafetaria
13. Sport Clinic
14. Latihan Senam Hamil
15. Infection Control
16. Toko
BAB IV
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

4.1 Kerangka Teori


Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi kinerja personal, dilakukan
kajian terhadap teori kinerja. Secara teori ada tiga kelompok variabel yang
mempengaruhi perilaku dan kinerja yaitu : Variabel individu, variabel organisasi,
dan variabel psikologis. Ke tiga kelompok variabel tersebut mempengaruhi
perilaku kerja yang pada akhirnya berpengaruh teradap kinerja personal.
Gibson menyampaikan model teori kinerja dan melakukan analisis terhadap
sejumlah variabel yang mempengaruhi perilaku dan kinerja adalah individu,
perilaku, psikologi dan organisasi. Variabel individu terdiri dari kemampuan dan
keterampilan, latar belakang, dan demografi. Kemampuan dan ketrampilan
merupakan faktor utama yang mempengaruhi kinerja individu. Variabel
demografis mempunyai efek tidak langsung pada perilaku dan kinerja individu,
Variabel psikologis terdiri dari persepsi, sikap, kepribadian, belajar, dan motivasi.
Variabel banyak dipengaruhi oleh keluarga, tingkat sosial, pengalaman kerja
sebelumnya. Variabel psikologis seperti sikap, kepribadian, dan belajar
merupakan hal yang kompleks, sulit diukur dan sukar mencapai kesepakatan
tentang pengertian dari variabel tersebut, karena seorang individu masuk dan
bergabung dengan organisasi kerja pada usia, etnis, latar belakang budaya dan
ketrampilan yang berbeda satu dengan lainnya.
Berikut gambaran teori perilaku dan kinerja menurut Gibson :
Variabel individu : Variabel perilaku (apa yang dikerjakan)
 Kemampuan Prestasi
dan (hasil yang diharapkan)
keterampilan :
o mental Psikologis :
o fisik Persepsi
 Latar belakang : Sikap
o keluarga Kepribadian
o tingkat sosial Variabel Organisasi : Belajar (pengetahuan)
o pengalaman  Sumber daya Motivasi
 Demografis :  Kepemimpinan
o umur  Imbalan
o etnis  Struktur
o jenis kelamin  Desain pekerjaan
 Supervisi
 Control

Gambar 4.1 Kerangka Teori Perilaku dan Kinerja


Sumber : Gibson (1996)

4.2 Kerangka Konsep


Berdasarkan kerangka teori menurut Gibson di atas, dibentuklah kerangka konsep sebagai beriku
Karakteristik perawat :
 Ward
 Usia
 Status pernikahan
 Pendidikan
 Masa kerja di unit
 Masa kerja sejak lulus
 Jam kerja di RS
 Jenjang jabatan
 Gaji
 Frekuensi pelatihan
patient safety
 Sosialisasi mutu RS

Pengetahuan perawat

Motivasi perawat

Supervisi
Perilaku perawat
dalam
Pengaruh organisasi
penerapan IPSG

Gambar 4.2 Kerangka Konsep Perilaku Penerapan IPSG

Kerangka konsep di atas dibuat berdasarkan seleksi yang dilakukan oleh peneliti
dengan memperhatikan berbagai aspek.
4.3 Definisi operasional

Tabel 4.1 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Skala Hasil Ukur


Ukur
VARIABEL DEPENDENT
1 Perilaku Kegiatan sebagai Kuesioner Ordinal Rendah
perawat tanggapan/respon (< batas
dalam perawat terhadap standar JCI),
penerapan ketentuan-ketentuan yang Tinggi
IPSG tercantum dalam standar ( > batas
IPSG. standar JCI)

Batas standar
JCI = 85%
VARIABEL INDEPENDENT
1 Karakteristik perawat
1a Ward Unit instalasi rawat inap Kuesioner Nominal Umum,
di mana perawat bekerja Maternal,
berdasarkan jenis Critical
pelayanan yang diberikan Care,
Pediatrik
1b Usia Lama waktu hidup Kuesioner Ordinal < 30 tahun,
perawat dihitung dalam > 30 tahun
tahun penuh sejak lahir
sampai dengan ulang
tahun terakhir.
1c Status Ikatan yang diakui oleh Kuesioner Nominal Belum
pernikahan negara dan agama di menikah,
antara 2 orang yang Menikah,
berbeda jenis. Duda/janda
1d Pendidikan Jenjang pendidikan Kuesioner Ordinal Diploma III,
formal dalam S1,
keperawatan berdasarkan Profesi
ijazah terakhir responden.
1e Lama kerja Lama bekerja dimulai Kuesioner Ordinal < 2 tahun,
di unit sejak perawat bekerja di > 2 tahun
keperawatan unit tempat ia bekerja
saat ini saat penelitian
dilaksanakan.
1f Lama kerja Lama bekerja dimulai Kuesioner Ordinal < 5 tahun,
sejak sejak perawat bekerja > 5 tahun
pertama kali pertama kali baik di unit
lulus sebelum ia bekerja
pendidikan maupun di unit tempat ia
bekerja saat penelitian
dilaksanakan.
1g Jam kerja di Akumulasi jumlah lama Kuesioner Ordinal < 40 jam,
RS (dalam kerja perawat dalam > 40 jam
seminggu) seminggu di unit tempat
ia bekerja.
1h Jenjang Posisi jabatan perawat Kuesioner Ordinal Junior/Madya,
jabatan saat penelitian dilakukan. Senior
1i Gaji Kecukupan yang Kuesioner Ordinal Cukup,
dirasakan perawat dalam Kurang
menerima imbalan
finansial hasil kinerjanya.
1j Frekuensi Jumlah pelatihan terkait Kuesioner Ordinal < 2 kali,
pelatihan patient safety (dalam 5 > 2 kali
patient
tahun terakhir) yang telah
safety
didapatkan perawat.
1k Sosialisasi Keikutsertaan perawat Kuesioner Ordinal Tidak,
mutu RS terhadap sosialisasi Ya
terkait mutu rumah sakit
seperti sosialisasi survei
akreditasi JCI, KARS,
audit internal, audit
eksternal, dan lain-lain
(dalam 5 tahun terakhir).
2 Pengetahuan Kemampuan intelektual Kuesioner Ordinal Rendah (<
perawat dan tingkat pemahaman mean)
kinerja klinis perawat Tinggi (>
berdasarkan penerapan mean)
IPSG.
3 Motivasi Kemauan atau keinginan Kuesioner Ordinal Rendah (<
perawat di dalam diri seseorang mean)
perawat yang Tinggi (>
mendorongnya untuk mean)
bertindak berdasarkan
penerapan IPSG yang
meliputi tanggung jawab,
prestasi kerja, dan kerja
sama.
4 Supervisi Pengawasan yang Kuesioner Ordinal Rendah (<
dilakukan terhadap mean)
kinerja perawat dalam Tinggi (>
menerapkan IPSG. mean)
5 Pengaruh Pengaruh tempat perawat Kuesioner Ordinal Rendah (<
organisasi bekerja, dilihat dari segi mean)
manajemen, uraian tugas, Tinggi (>
dan antar unit. mean)

4.4 Hipotesis
Hipotesa penelitian adalah penjelasan sementara yang diajukan tentang
hubungan antara dua atau lebih fenomena terukur atau variabel untuk pembuktian
secara empirik, yaitu: ada hubungan antara variabel independent dengan variabel
dependen yang tercantum pada kerangka konsep yaitu :
1. Ada hubungan antara faktor karakteristik perawat dengan penerapan IPSG
di instalasi rawat inap RS Swasta X tahun 2011.
2. Ada hubungan antara tingkat pengetahuan perawat dengan penerapan
IPSG di instalasi rawat inap RS Swasta X tahun 2011.
3. Ada hubungan antara tingkat motivasi perawat dengan penerapan IPSG di
instalasi rawat inap RS Swasta X tahun 2011.
4. Ada hubungan antara tingkat supervisi pada perawat dengan penerapan
IPSG di instalasi rawat inap RS Swasta X tahun 2011.
5. Ada hubungan antara pengaruh organisasi pada perawat dengan penerapan
IPSG di instalasi rawat inap RS Swasta X tahun 2011.
BAB V
METODE PENELITIAN

5.1 Rancangan Penelitian


Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah survei
Cross Sectional melalui cara pengisian kuesioner, diukur dan diamati pada saat
yang sama. Alasan menggunakan desain ini didasari bahwa penelitian ini
bermaksud mendapatkan gambaran penerapan IPSG dalam akreditasi JCI serta
faktor-faktor yang mempengaruhi perawat dalam penerapannya.

5.2 Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di instalasi rawat inap RS Swasta X dan
berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan, yaitu : pelayanan pediatrik pada
Ward Pinguin; pelayanan maternal pada Ward Merpati (Ward, Labor, Nursery);
pelayanan umum pada Ward Merak, Kutilang, Cendrawasih, dan Camar; serta
pelayanan Critical Care. Waktu penelitian pada Bulan November tahun 2011.

5.3 Populasi dan Sampel Penelitian


5.3.1 Populasi
Populasi adalah kumpulan individu dalam suatu batas tertentu.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perawat yang bertugas di instalasi
rawat inap RS Swasta X (tidak termasuk supervisor masing-masing ward)
yang berjumlah 208 orang yang terdiri dari :
1. Camar berjumlah 34 orang
2. Cendrawasih berjumlah 39 orang
3. Critical Care berjumlah 20 orang
4. Kutilang berjumlah 32 orang
5. Merak berjumlah 21 orang
6. Merpati – Ward berjumlah 20 orang
7. Merpati – Labor berjumlah 8 orang
8. Merpati – Nursery berjumlah 14 orang
9. Pinguin berjumlah 20 orang
5.3.2 Sampel
Pengambilan sampel penelitian untuk perawat yang bertugas di ruang
rawat inap RS Swasta X ditentukan melalui Proportional Stratified Random
Sampling. Yaitu teknik pengambilan sampel dari anggota populasi secara acak
dan berstrata secara proporsional dan berdasarkan ruangan di mana perawat
berada. Selain itu berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi.
a. Kriteria inklusi :
Kriteria inklusi adalah kriteria yang dijadikan karakteristik umum subjek
penelitian pada populasi target atau populasi aktual, sehingga subjek dapat
diikutkan dalam penelitian, yaitu :
1) Bersedia menjadi responden
2) Minimal pendidikan D3 Keperawatan
3) Bertugas di ruang rawat inap
b. Kriteria eksklusi
Kriteria eksklusi adalah kriteria yang memungkinkan sebagian subjek
yang memenuhi kriteria inklusi yang tidak dijadikan responden dalam
penelitian oleh karena berbagai sebab, yaitu :
1) Supervisor perawat
2) Perawat yang sedang cuti
3) Perawat yang sedang melakukan tugas belajar

Besar sampel dalam penelitian ini dihitung berdasarkan tujuan penelitian


(Besral,2011), yaitu :
1. Estimasi parameter populasi
Perhitungan besar sampel dengan menggunakan rumus estimasi proporsi pada
populasi terbatas dengan teknik sampel acak sederhana dan presisi mutlak,
yaitu :

z 1-/2 P(1- P)N


2
n= 2
d (N - 1)+ 1- P(1- P)
2 /2
Keterangan: z
n = jumlah sampel
N = jumlah
populasi
Z1- /2 = Tingkat kepercayaan sebesar 95% = 1,96
P = Proporsi keadaan yang akan dicari = 50% (0,5)
d = sampling error sebesar 10%
Berdasarkan rumus di atas, dari jumlah populasi sejumlah 208 perawat
dilakukan perhitungan besar sampelnya sebagai berikut:
2
1,96 0,5(1- 0,5 )208
n=
0,12( 208 - 0,5(1- 0,5 )
1)+1,962

n = 65,91 dibulatkan menjadi 66

2. Uji Hipotesis
Perhitungan besar sampel dengan menggunakan rumus uji hipotesis beda
proporsi, yaitu :


n  z1 / 2 2P (1  P )  zP
11(1  P )  P
12 (1  P ) 2

2

(P  P )2
1 2

Keterangan:
n = jumlah sampel untuk masing-masing kelompok

P = (P1+P2)/2
Berdasarkan penelitian sebelumnya :
Proporsi penerapan patient safety tinggi pada pengetahuan rendah, P1 = 0%
Proporsi penerapan patient safety tinggi pada pengetahuan tinggi, P2 = 25%
Berdasarkan rumus di atas, dilakukan perhitungan besar sampel sebagai
berikut :

n
1,96 2 * 0,125(1  0,125)  0,84 0(1  0)  0,25(1  0,25)  2

(0  0,25) 2
n=
27/kelompok
Untuk populasi terbatas maka besar sampel dapat dihitung ulang dengan rumus
berikut:
n'  n N*n
1  Nn
n
N
n’ = jumlah sampel setelah koreksi
n = jumlah sampel sebelum koreksi
N = besar populasi
Sehingga dilakukan perhitungan ulang besar sampel sebagai berikut :

27
n'
27
1  208

n’ = 24/kelompok
Berarti sampel yang dibutuhkan adalah perawat dengan penerapan patient safety
tinggi pada pengetahuan rendah 24 orang, dan pengetahuan tinggi 24 orang. Total
48 orang perawat.

Kesimpulan : Berdasarkan perbandingan dua jenis tujuan di atas, maka


perhitungan besar sampel untuk estimasi yang akan digunakan karena besar
sampel yang dihasilkan lebih besar, dan untuk menghindari terjadinya drop out
maka jumlah sampel ditambah 10% sehingga jumlah sampel menjadi 73 orang.

Berikut pengambilan sampel dari setiap ward di instalasi rawat inap:

Tabel 5.1 Proporsi Sampel


Jumlah
No Ward Perhitungan Hasil Sampel
populasi
1 Camar 34 34/208 x 73 11,93 12
2 Cendrawasih 39 39/208 x 73 13,68 14
3 Critical Care 20 20/208 x 73 7,01 7
4 Kutilang 32 32/208 x 73 11,23 11
5 Merak 21 21/208 x 73 7,37 7
6 Merpati – ward 20 20/208 x 73 7,01 7
7 Merpati – labor 8 8/208 x 73 2,80 3
8 Merpati – nursery 14 14/208 x 73 4,91 5
9 Pinguin 20 20/208 x 73 7,01 7
Total 208 73
5.4 Pengumpulan Data
5.4.1 Sumber Data
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya dan
dicatat oleh peneliti. Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui hasil
kuesioner pada 73 perawat pelaksana di instalasi rawat inap RS Swasta X
dengan tujuan untuk mendapatkan data kuantitatif tentang karakteristik,
pengetahuan, motivasi, supervisi, pengaruh organisasi, dan perilaku perawat
pelaksana terhadap penerapan IPSG.
Data sekunder adalah data yang secara tidak langsung diperoleh dari
sumbernya, tetapi melalui pihak kedua. Dalam hal ini peneliti mempergunakan
data yang diambil dari bagian QMR (Quality Management Representative),
bagian HRD, dan data lain yang berhubungan dengan penerapan IPSG.
5.4.2 Cara Pengumpulan Data
Cara pengumpulan data melalui kuesioner yang dibagikan kepada
responden dan telaah dokumen data sekunder.
5.4.3 Uji Coba Instrumen
Uji coba instrumen merupakan hal yang perlu dilakukan sebelum
melakukan pengumpulan data. Uji coba dilakukan kepada perawat di RS
Swasta X yang berjumlah 20 orang yang bukan merupakan bagian dari sampel
penelitian ini dan tidak diuji secara statistik.
Uji coba kuesioner ini bertujuan untuk mengetahui apakah isi pertanyaan
kuesioner tersebut telah sesuai dan dapat dimengerti oleh responden serta
mengetahui di mana tingkat kesulitan dari kuesioner tersebut.
1. Uji validitas
Uji validitas dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana ketepatan dan
kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Validitas suatu
intrumen dikatakan tinggi apabila besaran hasil ukur mencerminkan secara
tepat fakta atau keadaan yang ingin diukur. Untuk mengetahui sejauh mana
validitas kuesioner dilakukan dengan membandingkan nilai r tabel dengan
nilai r hitung. Berikut merupakan langkah-langkah dalam menentukan
validitas (Hastono, 2006):
a) Menentukan nilai r tabel
Nilai r tabel dilihat dengan tabel r dengan menggunakan df = n- 2.
b) Menentukan nilai r hasil perhitungan
Nilai r hasil dapat dilihat pada kolom “Corrected item-Total Correlation”
c) Keputusan
Masing-masing pertanyaan/variabel dibandingkan nilai r hasil dengan nilai
r tabel, ketentuan: bila r hasil > r tabel, maka pertanyaan tersebut valid.

2. Uji reliabilitas
Setelah semua pertanyaan valid semua, analisis dilanjutkan dengan uji
reliabilitas. Reliabilitas suatu pengukuran dengan memakai suatu instrument
menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran tetap konsisten bila dilakukan
pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama dan dengan alat
ukur yang sama. Indeks reliabilitas dinyatakan dalam bentuk koefisien
korelasi atau koefisien reliabilitas, yang dapat diartikan sebagai korelasi antara
dua set skor yang diperoleh dalam pengukuran pada subyek yang sama.
Untuk mengetahui reliabilitas caranya adalah menggunakan uji statistik Alpha
Cronbach, dengan rumus sebagai berikut (Ariyani, 2009) :
 k 
 sj 
r   
 1 
 k  1  sx 
2

Keterangan :
r = koefisien reliabilitas
k = banyaknya faktor
sj2 = skor korelasi masing faktor
sx2 = skor total
Suatu variabel dikatakan reliabel jika mempunyai nilai Alpha Cronbach >
0,60.
Jika jawaban pertanyaan dalam kuesioner bersifat dikotomi (benar/salah),
maka menggunakan metode Kuder Richardson dengan rumus :
 n  s   pq 
2

r 
 
t
11 
 n  1 st
2 

Keterangan :
n = jumlah butir soal/pernyatan yang ada
st2 = varians skor total
p = proporsi jawaban yang benar
q = proporsi jawaban yang salah
Berdasarkan hasil uji reliabilitas, dapat diketahui bahwa nilai Alpha Cronbach
pada semua variabel pertanyaan lebih besar dari 0,6 sehingga kuesioner
tersebut sudah reliabel dan dapat digunakan sebagai instrumen penelitian.

5.5 Pengolahan Data


Pengolahan data pada penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif
dengan tujuan untuk menarik kesimpulan dengan langkah-langkah:
1. Mengkode data (coding) merupakan kegiatan klasifikasi data dan memberi
kode pada masing-masing data yang dikembangkan saat
mengembangkan kuesioner.
2. Menyunting data (editing) merupakan penyeleksian data yang salah atau
meragukan. Dilakukan dilapangan agar kesalahan dapat ditelusuri kembali
pada responden yang bersangkutan sebelum proses pemasukan data.
3. Membuat Struktur data adalah suatu cara untuk menetapkan nama, Skala,
jumlah digit dari data yang ada.
4. Entry data adalah memasukkan data kedalam program pengolahana data
secara komputerisasi dengan program SPSS for window.
5. Data cleaning adalah suatu cara untuk menjaga kualitas data dengan cara
pembersihan data dari kesalahan (human error) yang mungkin terjadi,
yakni dilakukan dengan metode pencarian missing data, variasi data dan
konsistensi data dengan analisa frekuensi sederhana dari masing-masing
variabel.

5.6. Analisa Data


Analisis data dilakukan dengan menggunakan perangkat komputer. Untuk
data dengan metode kuantitatif menggunakan analisis univariat, bivariat, dan
multivariat:
a. Analisis univariat
Analisa univariat dilakukan untuk mendiskripsikan setiap variabel dengan
gambaran distribusi frekuensi. Variabel data katagorik disajikan dalam bentuk
proporsi masing-masing kategori. Analisa univariat ini untuk mengetahui
gambaran karakteristik perawat, pengetahuan perawat, motivasi perawat,
supervisi, pengaruh organisasi, dan perilaku perawat dalam penerapan IPSG.
b. Analisis bivariat
Metode bivariat dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui hubungan
antara variabel independen dengan variabel dependen. Uji statistik yang
digunakan adalah chi square untuk variabel independen berbentuk data katagorik
dan dependennya katagorik. Sedangkan untuk variabel yang memiliki lebih dari 2
kategori, uji statistik yang digunakan adalah regresi logistik sederhana, yaitu salah
satu pendekatan model matematis yang digunakan untuk menganalisis hubungan
satu variabel independen dengan sebuah variabel dependen katagorik yang
bersifat dikotom/binary.
Analisis bivariat dengan menggunakan analisis tabulasi silang (crosstab)
yaitu menyajikan data dalam bentuk tabulasi yang meliputi baris dan kolom yang
datanya berskala nominal atau kategori. Dengan uji chi-square menguji adakah
asosiasi antar masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen
penelitian, sehingga diketahui variabel independen mana yang secara bermakna
berhubungan dan layak untuk diuji secara bersama-sama (multivariat). Apabila
hasil chi-square nilai p < 0,05 maka dapat disimpulkan ada hubungan atau asosiasi
antara variabel bebas dan terikat. Selanjutnya variabel bebas yang mempunyai
hubungan bermakna dengan variabel terikat dimasukkan dalam analisis
multivariat (Hastono, 2006).

c. Analisis Multivariat
Analisa multivariat bertujuan untuk melihat atau mempelajari hubungan
antar beberapa variabel independent secara bersama-sama dengan variabel
dependent, yang mana untuk memperoleh jawaban faktor-faktor yang dominan.
Dari analisa diharapkan diperoleh informasi variabel penentu yang paling
berpengaruh atau paling berhubungan dengan variabel dependen.
Uji statistik yang digunakan yaitu regresi logistik berganda karena variabel
dependennya berbentuk variabel katagorik. Model yang digunakan dalam analisis
multivariat ini adalah model prediksi. Pemodelan dengan tujuan untuk
memperoleh model yang tediri dari beberapa variabel independen yang dianggap
terbaik untuk memprediksi kejadian variabel dependen. Pada pemodelan ini
semua variabel dianggap penting sehingga dapat dilakukan estimasi beberapa
koefisien regresi logistik sekaligus.
BAB VI
HASIL PENELITIAN

6.1 Pelaksanaan Pengumpulan Data


Berdasarkan proses pengambilan data yang dilakukan selama 1 minggu
pada awal bulan November 2011, total perawat yang dapat diambil sebagai
responden adalah sejumlah 73 orang perawat. Pertama - tama peneliti meminta
izin untuk melakukan penelitian kepada Manajer Keperawatan RS Swasta X.
Setelah mendapat izin dan manajer keperawatan telah melakukan sosialisasi
penelitian kepada supervisor masing – masing ward keperawatan, peneliti
melakukan uji coba kuesioner pada 20 orang perawat di RS Swasta X. Peneliti
mendatangi perawat yang akan menjadi responden untuk uji coba kuesioner dan
menjelaskan maksud dan tujuan penelitian serta menyerahkan kuesioner untuk
diisi. Setelah seluruh kuesioner uji coba telah lengkap diisi, peneliti melakukan uji
validitas dan reliabilitas. Berdasarkan uji validitas dan reliabilitas telah yang
dilakukan, diperoleh bahwa pada kuesioner pengetahuan diperoleh 17 pertanyaan
yang valid dan reliabel serta 3 pertanyaan yang tidak valid dan reliabel, yaitu
nomor b1, b4, dan b5. Tiga pertanyaan tersebut dikeluarkan dalam analisis
selanjutnya.
Kuesioner tentang motivasi responden terhadap kinerja, khususnya
penerapan IPSG yang telah diuji validitas dan reliabilitas menghasilkan bahwa
dari 14 pertanyaan terdapat 2 pertanyaan yang tidak valid dan reliabel. Dua
pertanyaan yang tidak valid dan reliabel tersebut adalah pertanyaan nomor 1 dan
14. Dua pertanyaan tersebut dikeluarkan dalam analisis selanjutnya.
Kuesioner tentang supervisi terhadap kinerja perawat, khususnya
penerapan IPSG yang telah diuji validitas dan reliabilitas menghasilkan bahwa
dari 14 pertanyaan semuanya valid dan reliabel sehingga tidak ada pertanyaan
yang dikeluarkan.
Pada variabel pertanyaan pengaruh organisasi, berdasarkan hasil uji
validitas dan reliabilitas dari 8 pertanyaan terdapat 1 pertanyaan yang tidak valid
dan reliabel, yaitu pertanyaan nomor 5 sehingga dikeluarkan dalam analisis
selanjutnya. Sama halnya dengan variabel supervisi, pada pertanyaan tentang
perilaku penerapan IPSG dari 35 pertanyaan semuanya valid dan reliabel sehingga
tidak ada pertanyaan yang dibuang. Hal ini karena penyusunan pertanyaan
berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ada dalam standar IPSG sehingga
pertanyaan terjamin tingkat validitas dan reliabilitasnya.
Setelah diketahui komponen kuesioner yang valid dan reliabel, maka
proses selanjutnya adalan peneliti melakukan pengumpulan data dengan
menggunakan kuesioner yang sudah valid dan reliabel.
Peneliti mendatangi masing - masing ward keperawatan yang sudah
ditentukan dan menemui supervisor masing - masing ward untuk menyebarkan
kuesioner, kemudian atas saran dari manajer keperawatan kuesioner dititipkan
kepada masing - masing supervisor atau perawat lain yang ditunjuk sebagai
penanggung jawab. Sebelum kuesioner dititipkan, peneliti menjelaskan maksud,
tujuan, dan cara mengisi kuesioner. Kuesioner dibagikan sesuai dengan jumlah
proporsi yang telah ditentukan berdasarkan perhitungan. Kuesioner setelah diisi
dikumpulkan kepada supervisor/perawat lain yang ditunjuk sebagai penanggung
jawab pengumpulan kemudian diserahkan kepada peneliti. Pengambilan kuesioner
yang telah terisi dilakukan pada beberapa hari berikutnya, karena masing –
masing perawat memiliki jadwal dan kesibukan yang berbeda – beda. Peneliti
memeriksa kelengkapan terhadap jawaban kuesioner di hadapan masing – masing
supervisor/perawat penanggung jawab.
Setelah seluruh kuesioner terkumpul maka dilakukan pengolahan data.
Hasilnya akan dijabarkan pada uraian berikut. Uraian berupa hasil yang dituliskan
di bawah ini memuat hasil yang terkait dengan tujuan penelitian.

6.2 Analisis Univariat


Analisis univariat dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi atau
proporsi dari seluruh variabel independen dan variabel dependen yang diteliti.
Variabel independen dalam penelitian ini adalah variabel individu yang terdiri
dari karakteristik responden, variabel organisasi yang terdiri dari supervisi dan
pengaruh organisasi, serta variabel psikologis yang terdiri dari pengetahuan dan
motivasi. Sedangkan variabel dependen pada penelitian ini adalah perilaku
penerapan IPSG yang meliputi tinggi rendahnya penerapan IPSG pada perawat di
instalasi rawat inap RS Swasta X.

6.2.1 Deskripsi Responden Menurut Variabel Individu


Variabel individu merupakan karakteristik yang melekat pada diri perawat yang
berjumlah 73 orang tersebut, secara terperinci variabel individu dapat dilihat pada
tabel berikut ini :
Tabel 6.1
Distribusi Responden Menurut Variabel Individu
Variabel yang Persentase
No Kategori Frekuensi
diteliti (%)
Umum 44 60,3
1 Ward Pediatrik/Maternal 22 30,1
Critical care 7 9,6
< 30 tahun 39 53,4
2 Usia
> 30 tahun 30 46,6
3 Jenis kelamin Perempuan 73 100
Laki-laki 0 0
4 Status Pernikahan Menikah 43 58,9
Belum menikah 30 41,1
D3 45 61,6
5 Pendidikan S1 19 26,0
Profesi 9 12,3
6 Lama kerja di unit < 2 tahun 23 31.5
saat ini > 2 tahun 50 68.5
< 5 tahun 25 34.2
7 Lama kerja sejak lulus > 5 tahun 48 65.8
Jam kerja dalam 20 – 39 jam 19 26,0
8 seminggu 40 – 59 jam 54 74,0
Junior/Madya 30 41,1
Jenjang
9 Senior 43 58,9
Kurang 32 43,8
Kecukupan gaji
10 Cukup 41 56,2
Pelatihan patient <= 2 kali 13 17.8
11 safety > 2 kali 60 82.2
Sosialisasi terkait Tidak 13 17.8
12 mutu RS Ya 60 82.2
Sumber : data primer diolah, 2011
Berikut penjelasan masing-masing variabel :
6.2.1.1 Ward

Gambar di bawah ini adalah proporsi responden dilihat berdasarkan masing-


masing ward tempat mereka bekerja.

ekerja di ward dengan pelayanan umum (60,3%), 22 perawat di pelayanan pediatric/maternal (30,1%), dan 7 perawat di Cr

6.2.1.2 Usia

Gambar di bawah ini adalah proporsi responden dilihat berdasarkan kelompok


umur.
Sumber : Data primer diolah, 2011

Dari total 73 orang perawat proporsi kelompok usia perawat cenderung merata.
Kelompok usia perawat lebih kecil atau sama dengan 30 tahun berjumlah 39
orang (53,4%). Hal tersebut menyatakan bahwa kelompok tersebut sedikit lebih
banyak dari kelompok usia lebih dari 30 tahun yang berjumlah 30 orang (46,6%).

6.2.1.3 Jenis kelamin

Hasil analisis didapatkan proporsi perawat berdasarkan jenis kelamin. Sebanyak


100% perawat di instalasi rawat inap yang menjadi responden berjenis kelamin
perempuan. Sedangkan di ward lain yang bukan merupakan populasi penelitian,
terdapat perawat dengan jenis kelamin laki-laki.

6.2.1.4 Status pernikahan

Gambar di bawah ini adalah proporsi responden dilihat berdasarkan status


pernikahan.
Sumber : Data primer diolah, 2011

Dari total 73 orang perawat proporsi status pernikahan cukup berbeda. Mayoritas
perawat memiliki status menikah dengan jumlah 43 orang (58,9%) dan 30 orang perawat belum menikah (41,1%).

6.2.1.5 Pendidikan
Gambar di bawah ini adalah proporsi responden dilihat berdasarkan tingkat pendidikan.

Sumber : Data primer diolah, 2011

Tingkat pendidikan ditentukan berdasarkan banyaknya tahun yang telah ditempuh


responden dalam menyelesaikan pendidikan terakhir yang diluluskannya. Tingkat
pendidikan perawat dari yang terbesar adalah tamat D3 sebanyak 45 orang
(61,6%), 19 perawat berpendidikan tamat S1 (26,0%), dan 9 orang perawat
berpendidikan tamat profesi (12,3%).
6.2.1.6 Lama kerja di unit keperawatan saat ini

Gambar di bawah ini adalah proporsi responden dilihat berdasarkan lama kerja di
unit keperawatan saat ini.

Sumber : Data primer diolah, 2011

Dari total 73 orang perawat proporsi kelompok lama kerja perawat di unit
keperawatan saat ini cukup berbeda. Kelompok lama kerja lebih kecil atau sama
dengan 2 tahun berjumlah 23 orang (31.5%). Mayoritas perawat berada pada
kelompok lama kerja lebih dari 2 tahun yang berjumlah 50 orang (68.5%).
6.2.1.7 Lama kerja sejak pertama kali lulus

Gambar di bawah ini adalah proporsi responden dilihat berdasarkan lama kerja
sejak pertama kali lulus pendidikan.

Sumber : Data primer diolah, 2011

Dari total 73 orang perawat proporsi kelompok lama kerja perawat sejak lulus
pendidikan cukup berbeda. Kelompok lama kerja lebih kecil atau sama dengan 5
tahun berjumlah 25 orang (34.2%). Mayoritas perawat berada pada kelompok
lama kerja lebih dari 5 tahun yang berjumlah 48 orang (65.8%).

6.2.1.8 Jam Kerja

Gambar di bawah ini adalah proporsi responden dilihat berdasarkan jam kerja
perawat dalam seminggu.

Sumber : Data primer diolah, 2011

Hasil analisis didapatkan proporsi jam kerja perawat dalam seminggu. Dalam 73 perawat terdapat
bahwa sebagian besar perawat memiliki jam kerja lebih dari 40 jam.

6.2.1.9 Jenjang Jabatan


Gambar di bawah ini a
Sumber : Data primer diolah, 2011

Hasil analisis didapatkan proporsi jenjang jabatan perawat. Dalam 73 perawat terdapat 30 orang p
jabatan senior.

Sumber : Data primer diolah, 2011


Hasil analisis didapatkan proporsi kecukupan gaji perawat. Dari total 73 perawat,
terdapat 32 orang perawat mendapatkan gaji kurang (43,8%) dan 41 orang
mendapatkan gaji cukup (56,2%). Hal itu menunjukkan bahwa terdapat proporsi
yang cukup berbeda dalam kecukupan gaji perawat.

6.2.1.11 Pelatihan Patient Safety

Gambar di bawah ini adalah proporsi responden dilihat berdasarkan frekuensi


pelatihan patient safety pada perawat.

Sumber : Data primer diolah, 2011

Hasil analisis didapatkan proporsi pelatihan patient safety yang diikuti perawat.
Dari total 73 orang perawat sebagai responden, terdapat 13 orang yang mendapat
pelatihan patient safety kurang dari atau sama dengan 2 kali (17,8%), dan 60
perawat mengikuti pelatihan lebih dari 2 kali(82.2%). Hal itu menunjukkan bahwa
terdapat proporsi yang cukup berbeda dalam frekuensi pelatihan patient safety
yang diikuti oleh perawat.

6.2.1.12 Sosialisasi terkait mutu RS

Gambar di bawah ini adalah proporsi responden dilihat berdasarkan sosialisasi


terkait mutu RS yang diikuti perawat.
Sumber : Data primer diolah, 2011

Hasil analisis didapatkan proporsi keikutsertaan perawat terhadap sosialisasi mutu


RS. Dari total 73 orang perawat sebagai responden, terdapat 13 orang yang tidak
mengikuti sosialisasi mutu RS (17,8%), dan 60 perawat mengikuti sosialisasi
mutu RS (82.2%). Hal itu menunjukkan bahwa terdapat proporsi yang cukup
berbeda dalam keikutsertaan perawat terhadap sosialisasi mutu RS.

6.2.2 Deskripsi Responden Menurut Variabel Organisasi


6.2.2.1 Supervisi
Gambaran supervisi pada perawat instalasi rawat inap RS Swasta X dapat
dilihat pada tabel berikut.
Tabel 6.2
Distribusi Jawaban Responden pada Variabel Supervisi
Jawaban (%)
No Pernyataan
TD KD SD SSD
1 Supervisor mendengar dan mempertimbangkan
sungguh-sungguh masukan dari staf untuk 0 16,4 74,0 9,6
meningkatkan keselamatan pasien.
2 Supervisor mau mendengarkan keluhan dan
0 20,5 72,6 6,8
kesulitan stafnya.
3 Supervisor keperawatan benar-benar
mengawasi satu per satu perawat yang bekerja, 6,8 38,4 54,8 0
khususnya dalam penerapan IPSG.
4 Bila terjadi kesalahan dalam penerapan IPSG 0 11,0 73,6 16,4
akan ditindaklanjuti dan diberikan bimbingan,
teguran serta diberikan umpan balik oleh
supervisor.
5 Kegiatan monitoring yang dilakukan unit
QMR (Quality Management Representative)
1,4 21,9 61,6 15,1
RS pada unit keperawatan dilaksanakan secara
rutin sesuai jadwal yang direncanakan.
6 Hasil kegiatan monitoring dan evaluasi
0 23,2 50,7 26,0
disosialisasikan ke semua ruang rawat inap.
7 Penghargaan diberikan oleh supervisor kepada
perawat yang mampu menjalankan tugasnya
37,0 28,8 26,0 8,2
dengan baik, khususnya dalam penerapan
IPSG.
8 Adanya pertemuan rutin oleh tim supervisor
keperawatan yang membahas kasus-kasus
9,6 13,7 58,9 17,8
keperawatan, khususnya dalam penerapan
IPSG.
9 Setiap pemecahan masalah berdasarkan kasus
yang terjadi selalu dilaksanakan sehingga 1,4 20,5 57,5 20,5
kasus tidak terulang kembali.

Tabel 6.2 di atas menunjukkan pengukuran persentase variabel supervisi


pada perawat yang berjumlah 9 pertanyaan, jawaban sangat sering dilakukan pada
nomor 6 tertinggi (26%) menjawab tentang hasil kegiatan monitoring dan evaluasi
disosialisasikan ke semua ruang rawat inap. Sedangkan jumlah jawaban supervisi
terendah (0%) pada jawaban sangat sering dilakukan adalah pada nomor 3 tentang
supervisor keperawatan benar-benar mengawasi satu per satu perawat yang
bekerja, khususnya dalam penerapan IPSG.
Nilai supervisi pada perawat berkisar antara 15 – 34. Tingkat supervisi
pada perawat dikelompokkan menjadi 2 kategori yaitu tinggi dan rendah.
Distribusi tingkat supervisi pada perawat dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 6.3
Proporsi Tingkat Supervisi pada Perawat
di Instalasi Rawat Inap RS Swasta X Tahun 2011
Supervisi Jumlah Persentase
Rendah (≤ mean) 39 53,4
Tinggi (> mean) 34 46,6
TOTAL 73 100,0
Berdasarkan tabel 6.3 terlihat bahwa terdapat proporsi yang cenderung
merata dalam tingkat supervisi pada perawat. Sebagian besar perawat
mendapatkan supervisi yang rendah sebanyak 39 orang (53,4%), dibandingkan
perawat yang mendapat supervisi tinggi sebanyak 34 orang (46,6%).
Gambar di bawah ini adalah proporsi responden dilihat berdasarkan
tingkat supervisi pada perawat.

Sumber : Data primer diolah, 2011

6.2.2.2 Pengaruh Organisasi


Gambaran pengaruh organisasi pada perawat di instalasi rawat inap Swasta X dapat dilihat pada
RS tabel berikut.
Tabel 6.4
Distribusi Jawaban Responden pada Variabel Pengaruh Organisasi

Jawaban (%)
No Pernyataan
STS TS R S SS
1 Manajemen RS baru peduli terhadap
keselamatan pasien jika terjadi KTD 12,3 28,8 8,2 31,5 19,2
(Kejadian Tidak Diharapkan).
2 Struktur organisasi menyebabkan birokrasi
8,2 45,2 13,7 27,4 5,5
yang berbelit.
3 Saya seringkali merasa tidak nyaman bila
harus bekerja sama dengan staf unit lain di 12,3 60,3 19,2 8,2 0
RS ini.
4 Masalah sering terjadi saat pemindahan 1,4 61,6 21,9 13,7 1,4
pasien dari unit satu ke unit lain.
5 Kebijakan RS mendukung saya
1,4 1,4 17,8 65,8 13,7
melaksanakan pekerjaan secara optimal.
6 Ada batasan wewenang dan uraian tugas
0 4,1 17,8 68,5 9,6
yang jelas sesuai dengan struktur organisasi.
7 Unit-unit di RS bekerja sama dengan baik
untuk memberikan pelayanan yang terbaik 0 1,4 9,6 68,5 20,5
bagi pasien.
Berdasarkan tabel 6.4 dapat dilihat bahwa dari 7 pertanyaan tentang
pengaruh organisasi, sebagian besar responden menjawab sangat setuju pada
pernyataan nomor 7 (20,5%) mengenai unit-unit di RS bekerja sama dengan baik
untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi pasien. Sedangkan jawaban
pengaruh organisasi bersifat negatif yang memiliki proporsi terendah adalah
pertanyaan nomor 3 mengenai perawat yang seringkali merasa tidak nyaman bila
harus bekerja sama dengan staf unit lain di RS tersebut. Hal itu menandakan
bahwa sebagian besar perawat merasa nyaman bekerja sama dengan staf unit lain.
Skor pengaruh organisasi pada perawat berkisar antara 19 - 32. Tingkat
pengaruh organisasi pada perawat dikelompokkan menjadi 2 kategori yaitu tinggi
dan rendah. Distribusi tingkat pengaruh organisasi pada perawat dapat dilihat pada
tabel berikut.
Tabel 6.5
Proporsi Tingkat Pengaruh Organisasi pada Perawat
di Instalasi Rawat Inap RS Swasta X Tahun 2011
Pengaruh Organisasi Jumlah Persentase
Rendah (≤ mean) 31 42,5
Tinggi (> mean) 42 57,5
TOTAL 73 100,0

Berdasarkan tabel 6.5 terlihat bahwa terdapat proporsi yang cukup berbeda
dalam tingkat pengaruh organisasi pada perawat. Sebagian besar perawat
mendapatkan pengaruh organisasi yang tinggi sebanyak 42 orang (57,5%),
dibandingkan perawat yang mendapat pengaruh organisasi rendah sebanyak 31
orang (42,5%).
Gambar di bawah ini adalah proporsi responden dilihat berdasarkan
tingkat pengaruh organisasi pada perawat.
Sumber : Data primer diolah, 2011

Deskripsi Responden Menurut Variabel Psikologis


Pengetahuan
Gambaran pengetahuan pada perawat instalasi rawat inap RS Swasta X dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 6.6
Distribusi Jawaban Responden pada Variabel Pengetahuan
Jawaban
No Pernyataan
Salah Benar
1 Waktu identifikasi pasien dilakukan. 46,6 53,4
2 Yang perlu dilakukan saat menerima instruksi
90,4 9,6
hasil tes penunjang klinis
3 Prinsip pemberian obat kepada pasien 35,6 64,4
4 Yang tidak perlu di-check saat sebelum
68,5 31,5
pemberian tranfusi darah
5 Patient safety rumah sakit adalah suatu sistem
di mana rumah sakit membuat asuhan pasien
72,6 27,4
lebih aman. Yang termasuk dalam sistem
tersebut.
6 Waktu pelaksanaan cuci tangan. 5,5 94,5
7 Waktu pengkajian resiko pasien jatuh dengan
8,2 91,8
form.
8 Waktu pengkajian ulang risiko jatuh 0 100
dilakukan bila tidak ada perubahan pada
perawatan pasien.
9 Yang tidak dilakukan terhadap pasien dengan
91,8 8,2
risiko jatuh level 2.
10 Nama pasien, tanggal lahir, nomor rekam
medis dan nomor ruangan dapat dipakai untuk 97,3 2,7
identifikasi pasien.
11 Menginformasikan kondisi pasien serta
program yang telah dan akan dilakukan dari
1,4 98,6
satu shift ke shift berikutnya tidak perlu
dilakukan.
12 Mengulang kembali instruksi tersebut sudah
cukup menjamin bahwa instruksi sudah 65,8 34,2
benar-benar jelas dimengerti.
13 Antikoagulan intravena (heparin) merupakan
salah satu obat beresiko tinggi yang disimpan 6,8 93,2
terpisah dan diberi label berwarna merah.
14 Konsentrat elektrolit yang disimpan di unit
perawatan pasien dengan jelas diberi label
26,0 74,0
dan diletakkan di dekat pasien agar mudah
dijangkau.
15 Pemberian obat yang berisiko tinggi
seharusnya dilakukan dengan infusion 1,4 98,6
/
syringe pump.
16 Penggunaan sarung tanganmenyebabkan
tidak adanya keharusan perawat untuk 1,4 98,6
mencuci tangan terlebih dahulu.
17 Pengkajian ulang risiko jatuh pada pasien
yang pindah dari unit satu ke unit lainnya 0 100
wajib dilakukan.

Berdasarkan tabel 6.6 dapat dilihat bahwa dari 17 pertanyaan tentang


pengetahuan, seluruh responden menjawab benar pada pernyataan nomor 8
tentang waktu pengkajian ulang risiko jatuh dilakukan bila tidak ada perubahan
pada perawatan pasien dan nomor 17 tentang pengkajian ulang risiko jatuh pada
pasien yang pindah dari unit satu ke unit lainnya wajib dilakukan. Pada
pertanyaan nomor 10 mengenai nama pasien, tanggal lahir, nomor rekam medis
dan nomor ruangan dapat dipakai untuk identifikasi pasien, hampir seluruh
perawat menjawab salah. Hal ini membuktikan bahwa masih banyak perawat yang
kurang memahami tentang identifikasi pasien.
Nilai pengetahuan pada perawat berkisar antara 8 - 15. Tingkat
pengetahuan pada perawat dikelompokkan menjadi 2 kategori yaitu tinggi dan
rendah. Distribusi tingkat pengetahuan pada perawat dapat dilihat pada tabel
berikut.
Tabel 6.7
Proporsi Tingkat Pengetahuan pada Perawat
di Instalasi Rawat Inap RS Swasta X Tahun 2011
Pengetahuan Jumlah Persentase
Rendah (≤ mean) 33 45,2
Tinggi (> mean) 40 54,8
TOTAL 73 100,0

Berdasarkan tabel 6.7 terlihat bahwa terdapat proporsi yang cenderung


merata dalam tingkat pengetahuan perawat. Sebagian besar perawat memiliki
tingkat pengetahuan yang tinggi sebanyak 40 orang (54,8%), dibandingkan
perawat yang memiliki tingkat pengetahuan rendah sebanyak 33 orang (45,2%).
Gambar di bawah ini adalah proporsi responden dilihat berdasarkan
tingkat pengetahuan pada perawat.

Sumber : Data primer diolah, 2011


6.2.3.2 Motivasi
Gambaran motivasi pada perawat di instalasi rawat inap RS Swasta X
dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 6.8
Distribusi Jawaban Responden pada Variabel Motivasi
Jawaban (%)
No Pernyataan
STS TS R S SS
Saya akan mendukung penerapan IPSG agar
1 masyarakat lebih percaya dengan Rumah 1,4 0 9,6 38,4 50,7
Sakit tempat saya bekerja.
Saya menerapkan IPSG karena sebelumnya
2 banyak kasus patient safety yang 0 26,0 9,6 50,7 13,7
menyebabkan adanya komplain dari pasien.
Saya mendukung penerapan IPSG karena
3 6,8 16,4 15,1 49,3 12,3
mempengaruhi kesejahteraan saya.
Kondisi dan keadaan pasien tertentu
menyebabkan saya tidak melakukan
4 41,4 41,4 4,1 12,3 1,4
identifikasi pasien yang seharusnya
dilakukan.
Kegiatan read back dalam menerima
instruksi wajib dilakukan hanya pada
5 42,5 43,8 2,7 9,6 1,4
instruksi yang sifatnya penting dan
mendesak.
Saya mendukung penerapan IPSG karena
6 13,7 34,2 12,3 37,0 2,7
perawat yang lain juga mendukung IPSG.
Saya tidak perlu benar-benar memperhatikan
ketentuan IPSG karena saya sudah
7 mempunyai banyak pengalaman dalam 39,7 52,1 1,4 6,8 0
pemberian pelayanan asuhan keperawatan,
sehingga tindakan saya pasti aman.
Saya tidak terdorong menerapkan IPSG
8 karena tidak mempengaruhi perubahan pada 27,4 61,6 4,1 5,5 1,4
jenjang karir saya sebagai perawat saat ini.
Ketersediaan sarana dan prasarana yang
9 mendukung penerapan IPSG membuat saya 0 4,1 12,3 68,5 15,1
semakin giat dalam melaksanakannya.
Adanya pengawasan dari atasan
10 menyebabkan saya semakin giat dalam 5,5 30,1 17,8 41,1 5,5
menerapkan IPSG.
11 Penerapan IPSG saat pemberian asuhan 0 2,7 1,4 65,8 30,1
keperawatan menghindarkan saya dari
tuntutan terhadap resiko kerugian yang
menimpa pasien.
Dengan atau tanpa dukungan, saya tetap
12 menerapkan IPSG dalam pekerjaan sehari- 0 4,1 4,1 61,6 30,1
hari saya.

Berdasarkan tabel 6.8 dapat dilihat bahwa dari 12 pertanyaan tentang


motivasi perawat, sebagian besar responden menjawab sangat setuju pada
pernyataan nomor 1 tentang dukungan penerapan IPSG agar masyarakat lebih
percaya dengan Rumah Sakit tempatnya bekerja. Sedangkan jawaban motivasi
bersifat negatif yang memiliki proporsi terendah adalah pertanyaan nomor 7
mengenai perawat yang tidak perlu benar-benar memperhatikan ketentuan IPSG
karena sudah mempunyai banyak pengalaman dalam pemberian pelayanan asuhan
keperawatan, sehingga tindakannya pasti aman. Hal itu menandakan bahwa
perawat yang sudah berpengalaman tetap berusaha menerapkan IPSG secara
maksimal.
Skor motivasi pada perawat berkisar antara 25 - 55. Tingkat motivasi pada
perawat dikelompokkan menjadi 2 kategori yaitu tinggi dan rendah. Distribusi
tingkat motivasi pada perawat dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 6.9
Proporsi Tingkat Motivasi pada Perawat
di Instalasi Rawat Inap RS Swasta X Tahun 2011
Motivasi Jumlah Persentase
Rendah (≤ mean) 36 49,3 %
Tinggi (> mean) 37 50,7 %
TOTAL 73 100,0

Berdasarkan tabel 6.9 terlihat bahwa terdapat proporsi yang cenderung


merata dalam tingkat motivasi perawat. Perbedaan motivasi perawat antara yang
tinggi dan rendah sangat berbeda tipis. Sebagian besar perawat memiliki tingkat
motivasi yang tinggi sebanyak 37 orang (50,7%), dibandingkan perawat yang
memiliki tingkat motivasi rendah sebanyak 36 orang (49,3%).
Gambar di bawah ini adalah proporsi responden dilihat berdasarkan
tingkat motivasi pada perawat.
Sumber : Data primer diolah, 2011

6.2.4 Deskripsi Responden Menurut Perilaku Penerapan IPSG


Gambaran perilaku penerapan IPSG pada perawat di instalasi rawat inap RS Swasta X dapat dilihat pada tabel beriku
Tabel 6.10
Distribusi Jawaban Responden pada Perilaku Penerapan IPSG
Jawaban (%) Nilai =
(Rata-
Goal No Pernyataan rata
skor/nilai
max)*100

TD KD SD SSD

Saya menggunakan minimal 2 cara


1 1,4 8,2 58,9 31,5
identifikasi pada setiap pasien.
Identifikasi pasien saya lakukan saat
sebelum melakukan pemberian obat,
2 0 1,4 50,7 47,9
darah, maupun produk dari darah
lainnya.
Sebelum pemberian obat, saya sudah
mengetahui jenis obat, khasiat, efek 37,25/44 =
1 3 0 2,7 61,6 35,6
samping, kontra indikasi, dosis umum, 84,65
dan cara pemberian obat.
Saya menjelaskan kepada pasien
mengenai jenis obat, khasiat, efek
4 0 8,2 64,4 27,4
samping, kontra indikasi, dosis umum,
dan cara pemberian obat.
Identifikasi pasien saya lakukan saat
5 0 0 60,3 39,7
sebelum melakukan pengambilan darah
dan spesimen lain untuk uji klinis.
Saat pemberian transfusi darah, saya
6 melakukan double check dengan 0 0 43,8 56,2
perawat lain.
Sebelum dan sesudah transfusi darah,
7 saya melakukan cek tanda vital pada 0 0 52,1 47,9
pasien.
Setiap kondisi pasien baik sebelum
maupun sesudah tindakan, saya
8 dokumentasikan pada lembar grafik 0 0 49,3 50,7
observasi dan catatan perkembangan
terintegrasi.
Saya memperkenalkan perawat
9 pengganti kepada pasien pada saat 0 6,8 41,1 52,1
operan tugas.
Saya memberikan penjelasan tentang
10 asuhan keperawatan kepada keluarga 0 9,6 65,8 24,7
pasien.
Saya tidak mempercayakan keluarga
11 pasien untuk mengawasi kelancaran 2,7 9,6 21,9 65,8
tetesan infus.
Saya menulis instruksi yang saya terima
12 0 0 61,6 38,4
secara verbal maupun telepon.
Saya membacakan kembali instruksi
13 0 0 52,1 47,9
yang telah diterima dan ditulis tersebut.
Jika instruksi sudah saya bacakan
kembali, saya memberi tanda “read
14 0 1,4 42,5 56,2
back +” pada catatan perkembangan
16,97/20 =
2 terintegrasi.
84,86
Hasil read back tersebut ditandatangani
13,
15 oleh pemberi instruksi dalam waktu 1 x 0 52,1 34,2
7
24 jam setelah instruksi diberikan.
Jika menerima instruksi mengenai obat,
saya menulisnya di kolom khusus untuk
16 0 4,1 56,2 39,7
“instruksi obat via telepon” di halaman
terakhir dari Daftar Obat.
Saya melakukan prosedur pemberian
17 obat kepada pasien sesuai dengan SOP 0 1,4 43,8 54,8
17,05/20 =
3 yang telah ditentukan rumah sakit.
85,27
Saya melakukan verifikasi terhadap
18 0 4,1 57,5 38,4
konsentrasi obat yang diberikan kepada
pasien.
Kecepatan pemberian obat dengan
19 0 0 49,3 50,7
resiko tinggi saya monitor dengan ketat.
Penyimpanan obat yang berisiko tinggi
20 dilakukan terpisah dan diberi label 0 0 42,5 57,5
berwarna merah.
Konsentrat elektrolit yang disimpan di
unit perawatan pasien dengan jelas
21 6,8 9,6 50,7 32,9
diberi label dan disimpan dalam lemari
terkunci.
Saya melaksanakan pedoman
kebersihan tangan yang telah
22 0 1,4 56,2 42,5
dipublikasikan dan diterima secara
umum.
Sebelum dan sesudah menyentuh
23 0 1,4 41,1 57,5
pasien, saya mencuci tangan.
Sebelum dan sesudah melakukan 17,86/20 =
5
24 0 0 38,4 61,6 89,32
tindakan aseptik saya mencuci tangan.
Sebelum dan sesudah terkontaminasi
25 dengan cairan tubuh pasien saya 0 0 34,2 65,8
mencuci tangan.
Setelah menyentuh daerah sekitar pasien
26 0 1,4 35,6 63
saya mencuci tangan.
Setiap pasien yang baru masuk rawat
27 inap saya kaji dengan form pengkajian 0 4,1 38,4 57,5
pasien resiko jatuh.
Pengkajian ulang saya lakukan setiap 3
28 hari sekali jika tidak ada perubahan pada 0 1,4 46,6 52,1
pasien.
Pengkajian ulang saya lakukan jika
29 pasien mendapatkan medikasi baru yang 0 4,1 50,7 45,2 30,75/36 =
6
dapat berisiko pasien jatuh. 85,43
Pengkajian ulang saya lakukan jika
pasien pasca mendapat tindakan atau
30 0 4,1 60,3 35,6
prosedur yang mengurangi mobilitas
pasien.
Pengkajian ulang saya lakukan jika
31 tingkat kesadaran atau kondisi klinis 0 1,4 61,6 37,0
pasien berubah.
Pengkajian ulang saya lakukan jika ada
32 pasien yang baru dipindahkan ke unit 0 2,7 58,9 38,4
satu ke unit lainnya.
Tindakan terhadap pasien resiko jatuh
dilakukan berdasarkan tingkat/level
33 0 1,4 56,2 42,5
resiko jatuh hasil dari pengkajian pasien
resiko jatuh tersebut.
Saya melakukan observasi tiap 2-3 jam
34 sekali pada pasien dengan resiko jatuh 0 9,6 52,1 38,4
tinggi.
Sebelum meninggalkan pasien, saya
memastikan lingkungan pasien aman
35 (rem tempat tidur terkunci, pagar tempat 0 0 42,5 57,5
tidur terpasang, lantai tidak basah,
penerangan cukup).

Berdasarkan tabel 6.10 dapat dilihat bahwa dari pertanyaan tentang


perilaku penerapan IPSG, sebagian besar responden memiliki nilai penerapan
paling tinggi pada goal ke 5 tentang “Reduce the Risk of Health Care-Associated
Infections”, khususnya dalam hal kebersihan tangan dengan nilai 89,32 (range
nilai : 0 – 100). Sedangkan goal pada IPSG yang memiliki nilai paling rendah
dalam penerapan adalah goal 1 yaitu “Identify Patient Correctly” dengan nilai
84,65. Goal ke 4 tidak diterapkan oleh perawat di instalasi rawat inap sebab goal
yang berisi tentang “The organization develops an approach to Ensure Correct-
Site, Correct-Procedure, Correct-Patient Surgery” hanya dilakukan oleh perawat
di instalasi bedah / OT (Operating Theatre).
Nilai perilaku penerapan IPSG pada perawat berkisar antara 98 - 140.
Tingkat penerapan IPSG pada perawat dikelompokkan menjadi 2 kategori yaitu
tinggi dan rendah. Distribusi tingkat perilaku penerapan IPSG pada perawat dapat
dilihat pada tabel berikut.
Tabel 6.11
Proporsi Tingkat Perilaku Penerapan IPSG pada Perawat
di Instalasi Rawat Inap RS Swasta X Tahun 2011

Perilaku penerapan
Jumlah Persentase
IPSG
Rendah (≤ mean) 33 45,2 %
Tinggi (> mean) 40 54,8 %
TOTAL 73 100,0

nerapan IPSG pada perawat. Sebagian besar perawat memiliki tingkat perilaku penerapan IPSG yang tinggi sebanyak 40 or

Sumber : Data primer diolah, 2011

6.3 Analisis Bivariat


Variabel dependen dan independen dalam penelitian ini berbentuk data katagorik
sehingga analisis bivariat yang digunakan adalah analisis chi square dan regresi
logistik sederhana.
6.3.1 Hubungan Antara Variabel Individu dengan Perilaku Penerapan IPSG
6.3.1.1 Ward dan perilaku penerapan IPSG

Tabel 6.12
Proporsi Tingkat Perilaku Penerapan IPSG Pada Tiap Ward
di Instalasi Rawat Inap RS Swasta X Tahun 2011
Perilaku penerapan 95% CI for
IPSG P OR
Ward rendah tinggi Total OR
value
Lower Upper
n % n %
Umum 19 43.2 25 56.8 44 - 1 - -
Pediatrik/Maternal 12 54.5 10 45.5 22 0.38 0.63 0.23 1.77

Critical care 2 28.6 5 71.4 7 0.47 1.90 0.33 10.88

Total 33 40 73

Hasil analisis didapatkan proporsi tingkat perilaku penerapan IPSG pada


tiap ward berdasarkan pelayanan yang diberikan. Ward yang memiliki proporsi
pada penerapan IPSG yang cukup berbeda adalah Ward Critical Care. Pada
tingkat kepercayaan 95%, tidak ada perbedaan yang signifikan antara tingkat
perilaku penerapan IPSG dengan ward tempat perawat bekerja.

6.3.1.2 Usia dan perilaku penerapan IPSG


Tabel 6.13
Proporsi Tingkat Perilaku Penerapan IPSG Pada Kelompok Usia Perawat
di Instalasi Rawat Inap RS Swasta X Tahun 2011
Perilaku penerapan IPSG
Total OR
Usia Rendah Tinggi p value
(95%CI)
N % N % N %
< 30 tahun 23 59.0 16 41.0 39 100
3,5
> 30 tahun 10 29.4 24 70.6 34 100 0.022
(1,3 – 9,1)
Jumlah 73

Hasil analisis hubungan kelompok usia perawat dengan tingkat penerapan


IPSG diperoleh bahwa terdapat sebanyak 23 (59%) perawat yang berusia di
bawah atau sama dengan 30 tahun memiliki tingkat penerapan IPSG rendah. Di
antara perawat dengan usia lebih dari 30 tahun, terdapat 10 (29,4%) perawat yang
memiliki tingkat penerapan IPSG rendah. Pada tingkat kepercayaan 95%, ada
perbedaan proporsi tingkat penerapan IPSG pada kelompok usia perawat. Hasil
analisis diperoleh nilai OR= 3,5, artinya perawat yang berusia lebih dari 30 tahun
memiliki peluang 3,5 kali untuk memiliki tingkat perilaku penerapan IPSG tinggi
dibanding perawat yang berusia di bawah atau sama dengan 30 tahun.

6.3.1.3 Status pernikahan dan perilaku penerapan IPSG

Tabel 6.14
Proporsi Tingkat Perilaku Penerapan IPSG Pada Status Pernikahan Perawat
di Instalasi Rawat Inap RS Swasta X Tahun 2011
Perilaku penerapan IPSG
Total OR
Status menikah Rendah Tinggi p value
(95%CI)
N % N % N %
Belum menikah 20 66,7 10 33,3 30 100
4,6
Menikah 13 30,2 30 69,8 43 100 0.005
(1,7 – 12,5)
Jumlah 73

Hasil analisis hubungan status pernikahan dengan tingkat penerapan IPSG


diperoleh bahwa terdapat sebanyak 20 (66,7%) perawat yang belum menikah yang
memiliki tingkat penerapan IPSG rendah. Di antara perawat yang sudah menikah,
terdapat 13 (30,2%) perawat yang memiliki tingkat penerapan IPSG rendah. Pada
tingkat kepercayaan 95%, ada perbedaan proporsi tingkat penerapan IPSG pada
status pernikahan perawat. Hasil analisis diperoleh nilai OR= 4,6, artinya perawat
yang sudah menikah memiliki peluang 4,6 kali untuk memiliki tingkat perilaku
penerapan IPSG tinggi dibanding perawat yang belum menikah.
6.3.1.4 Pendidikan dan perilaku penerapan IPSG

Tabel 6.15
Proporsi Tingkat Perilaku Penerapan IPSG Pada Tingkat Pendidikan Perawat
di Instalasi Rawat Inap RS Swasta X Tahun 2011
Perilaku penerapan 95% CI for
IPSG P OR
Pendidikan rendah tinggi Total OR
value
Lower Upper
n % n %
D3 22 48,9 23 51,1 46 - 1 - -
S1 7 36,8 12 63,2 19 0.378 1.64 0.55 4.92
Profesi 4 44,4 5 55,6 9 0.808 1.19 0.28 5.04
Total 73

Hasil analisis didapatkan proporsi tingkat perilaku penerapan IPSG pada


tingkat pendidikan perawat. Proporsi penerapan IPSG memiliki perbedaan cukup
besar pada pendidikan S1, sedangkan pada pendidikan D3 dan profesi proporsi
penerapan IPSG cenderung merata. Pada tingkat kepercayaan 95%, tidak ada
perbedaan yang signifikan antara tingkat perilaku penerapan IPSG pada perawat
dengan pendidikan.

6.3.1.5 Lama kerja di unit saat ini dan perilaku penerapan IPSG

Tabel 6.16
Proporsi Tingkat Perilaku Penerapan IPSG Pada Lama Kerja Perawat di Unit Saat
Ini di Instalasi Rawat Inap RS Swasta X Tahun 2011
Perilaku penerapan IPSG
Lama kerja di Total OR
Rendah Tinggi p value
unit saat ini (95%CI)
N % N % N %
< 2 tahun 15 65.2 8 34.8 23 100
3,3
> 2 tahun 18 36.0 32 64.0 50 100 0.038
(1,2 – 9,4)
Jumlah 73

Hasil analisis hubungan lama kerja di unit saat ini dengan tingkat
penerapan IPSG diperoleh bahwa terdapat sebanyak 15 (65,2%) perawat yang
lama kerja di unit keperawatan saat ini kurang atau sama dengan 2 tahun yang
memiliki tingkat penerapan IPSG rendah. Di antara perawat yang lama kerjanya
lebih dari 2 tahun, terdapat 18 (36,0%) perawat yang memiliki tingkat penerapan
IPSG rendah. Pada tingkat kepercayaan 95%, ada perbedaan proporsi tingkat
penerapan IPSG dengan lama kerja perawat di unit saat ini. Hasil analisis
diperoleh nilai OR= 3,3, artinya perawat yang lama kerja di unitnya lebih dari 2
tahun memiliki peluang 3,3 kali untuk memiliki tingkat perilaku penerapan IPSG
tinggi dibanding perawat yang lama kerja di unit kurang atau sama dengan 2
tahun.

6.3.1.6 Lama kerja sejak lulus dan perilaku penerapan IPSG

Tabel 6.17

Proporsi Tingkat Perilaku Penerapan IPSG Pada Lama Kerja Perawat Sejak Lulus
di Instalasi Rawat Inap RS Swasta X Tahun 2011
Perilaku penerapan IPSG
Lama kerja sejak Total OR
Rendah Tinggi p value
lulus (95%CI)
N % N % N %
< 5 tahun 16 64.0 9 36.0 25 100
3,2
> 5 tahun 17 35.4 31 64.6 48 100 0.037
(1,2 – 8,8)
Jumlah 73

Hasil analisis hubungan kelompok lama kerja perawat sejak lulus dengan
tingkat penerapan IPSG diperoleh bahwa terdapat sebanyak 16 (64%) perawat
yang lama kerja sejak lulus kurang atau sama dengan 5 tahun yang memiliki
tingkat penerapan IPSG rendah. Di antara perawat yang lama kerjanya lebih dari
5 tahun, terdapat 17 (35,4%) perawat yang memiliki tingkat penerapan IPSG
rendah. Pada tingkat kepercayaan 95%, ada perbedaan proporsi tingkat
penerapan IPSG dengan lama kerja perawat sejak lulus. Hasil analisis diperoleh
nilai OR= 3,2, artinya perawat yang memiliki lama kerja sejak lulus lebih dari 5
tahun memiliki peluang 3,2 kali untuk memiliki tingkat perilaku penerapan IPSG
tinggi dibanding perawat yang memiliki lama kerja kurang atau sama dengan 5
tahun.
6.3.1.7 Jam kerja di RS dan perilaku penerapan IPSG

Tabel 6.18
Proporsi Tingkat Perilaku Penerapan IPSG Pada Jam Kerja Perawat
di Instalasi Rawat Inap RS Swasta X Tahun 2011
Jam kerja Perilaku penerapan IPSG
Total OR
(dalam Rendah Tinggi p value
(95%CI)
seminggu) N % N % N %
< 40 jam 7 36.8 12 63.2 19 100
0.63
> 40 jam 26 48.1 28 51.9 54 100 0.559
(0.21 – 1.84)
Jumlah 73

Hasil analisis hubungan jam kerja perawat dalam seminggu dengan tingkat
penerapan IPSG diperoleh bahwa terdapat sebanyak 7 (36,8%) perawat yang jam
kerjanya kurang dari 40 jam dalam seminggu yang memiliki tingkat penerapan
IPSG rendah. Di antara perawat yang jam kerjanya lebih dari atau sama dengan
40 jam, terdapat 26 (48,1%) perawat yang memiliki tingkat penerapan IPSG
rendah. Pada tingkat kepercayaan 95%, tidak ada perbedaan proporsi tingkat
penerapan IPSG dengan jam kerja perawat dalam seminggu.

6.3.1.8 Jenjang jabatan dan perilaku penerapan IPSG

Tabel 6.19
Proporsi Tingkat Perilaku Penerapan IPSG Pada Jenjang Jabatan Perawat
di Instalasi Rawat Inap RS Swasta X Tahun 2011
Perilaku penerapan IPSG
Total OR
Jenjang Jabatan Rendah Tinggi p value
(95%CI)
N % N % N %
Junior/Madya 19 63,3 11 36,7 30 100
3,6
Senior 14 32,6 29 67,4 43 100 0.018
(1,3 – 9,5)
Jumlah 73

Hasil analisis didapatkan proporsi tingkat perilaku penerapan IPSG pada


jenjang jabatan perawat. Proporsi penerapan IPSG memiliki perbedaan cukup
besar. Pada tingkat kepercayaan 95%, ada perbedaan proporsi tingkat penerapan
IPSG dengan jenjang jabatan perawat. Hasil analisis diperoleh nilai OR= 3,6,
artinya perawat dengan jenjang jabatan senior memiliki peluang 3,6 kali untuk
memiliki tingkat perilaku penerapan IPSG tinggi dibanding perawat junior/madya.

6.3.1.9 Gaji dan perilaku penerapan IPSG

Tabel 6.20
Proporsi Tingkat Perilaku Penerapan IPSG Pada Kecukupan Gaji
Perawat di Instalasi Rawat Inap RS Swasta X Tahun 2011
Perilaku penerapan IPSG
Kecukupan Total OR
Rendah Tinggi p value
gaji (95%CI)
N % N % N %
Kurang 16 50.0 16 50.0 32 100
1.41
Cukup 17 41.5 24 58.5 41 100 0.624
(0.56 – 3.58)
Jumlah 73

Hasil analisis hubungan kecukupan gaji perawat dengan tingkat penerapan


IPSG diperoleh bahwa terdapat sebanyak 16 (50%) perawat yang mendapat gaji
kurang memiliki tingkat penerapan IPSG rendah. Di antara perawat yang
mendapat gaji cukup, terdapat 17 (41,5%) perawat yang memiliki tingkat
penerapan IPSG rendah. Pada tingkat kepercayaan 95%, tidak ada perbedaan
proporsi tingkat penerapan IPSG pada kecukupan gaji perawat.

6.3.1.10 Frekuensi pelatihan patient safety dan perilaku penerapan IPSG

Tabel 6.21
Proporsi Tingkat Perilaku Penerapan IPSG Pada Frekuensi Pelatihan Patient
Safety di Instalasi Rawat Inap RS Swasta X Tahun 2011
Perilaku penerapan IPSG
Frekuensi Total OR
Rendah Tinggi p value
pelatihan (95%CI)
N % N % N %
< 2 pelatihan 10 76,9 3 23,1 13 100
5,4
> 2 pelatihan 23 38,3 37 61,7 43 100 0.026
(1,3 –21,5)
Jumlah 73
Hasil analisis hubungan status pernikahan dengan tingkat penerapan IPSG
diperoleh bahwa terdapat sebanyak 10 (76,9%) perawat yang mendapat pelatihan
kurang dari 3 kali yang memiliki tingkat penerapan IPSG rendah. Pada tingkat
kepercayaan 95%, ada perbedaan proporsi tingkat penerapan IPSG pada
frekuensi pelatihan. Hasil analisis diperoleh nilai OR= 5,4, artinya perawat yang
sudah mendapat pelatihan lebih dari atau sama dengan 3 kali memiliki peluang 5,4
kali untuk memiliki tingkat perilaku penerapan IPSG tinggi dibanding perawat
yang sudah mendapat pelatihan kurang dari 3 kali.

6.3.1.11 Sosialisasi mutu RS dan perilaku penerapan IPSG

Tabel 6.22
Proporsi Tingkat Perilaku Penerapan IPSG Pada Sosialisasi Terkait Mutu RS
di Instalasi Rawat Inap RS Swasta X Tahun 2011
Ikut Serta Perilaku penerapan IPSG
Total OR
dalam Rendah Tinggi p value
(95%CI)
Sosialisasi N % N % N %
Tidak 10 76.9 3 23.1 13 100
5.4
Ya 23 38.3 37 61.7 60 100 0.026
(1.3 – 21.5)
Jumlah 73

Sosialisasi terkait mutu RS yang dimaksud di sini adalah sosialisasi


terhadap pelaksanaan kegiatan akreditasi dan audit mutu internal maupun
eksternal rumah sakit. Hasil analisis hubungan sosialisasi terkait mutu RS dengan
tingkat penerapan IPSG diperoleh bahwa terdapat sebanyak 10 (76.9%) perawat
yang tidak ikut serta dalam sosialisasi terkait mutu RS memiliki tingkat penerapan
IPSG rendah. Di antara perawat yang ikut serta dalam sosialisasi, terdapat 23
(38.3%) perawat yang memiliki tingkat penerapan IPSG rendah. Pada tingkat
kepercayaan 95%, ada perbedaan proporsi tingkat penerapan IPSG pada
keikutsertaan perawat dalam sosialisasi terkait mutu RS. Hasil analisis diperoleh
nilai OR= 5,4, artinya perawat yang mengikuti sosialisasi terkait mutu RS
memiliki peluang 5,4 kali untuk memiliki tingkat perilaku penerapan IPSG tinggi
dibanding perawat yang tidak mengikuti sosialisasi tersebut.
6.3.2 Hubungan Antara Variabel Psikologis dengan Perilaku Penerapan IPSG

6.3.2.1 Pengetahuan

Tabel 6.23
Proporsi Tingkat Perilaku Penerapan IPSG Pada Tingkat Pengetahuan Perawat
di Instalasi Rawat Inap RS Swasta X Tahun 2011
Perilaku penerapan IPSG
Total OR
Pengetahuan Rendah Tinggi p value
(95%CI)
N % N % N %
Rendah 20 60.6 13 39.4 33 100
3.2
Tinggi 13 32.5 27 67.5 40 100 0.030
(1.2 – 8.3)
Jumlah 73

Hasil analisis hubungan tingkat pengetahuan perawat dengan tingkat


penerapan IPSG diperoleh bahwa terdapat sebanyak 20 (60,6%) perawat yang
berpengetahuan rendah memiliki tingkat penerapan IPSG rendah. Di antara
perawat yang berpengetahuan tinggi, terdapat 13 (32,5%) perawat yang memiliki
tingkat penerapan IPSG rendah. Pada tingkat kepercayaan 95%, ada perbedaan
proporsi tingkat penerapan IPSG pada tingkat pengetahuan perawat.

6.3.2.2 Motivasi

Tabel 6.24
Proporsi Tingkat Perilaku Penerapan IPSG Pada Tingkat Motivasi Perawat
di Instalasi Rawat Inap RS Swasta X Tahun 2011
Perilaku penerapan IPSG
Total OR
Motivasi Rendah Tinggi p value
(95%CI)
N % N % N %
Rendah 17 47.2 19 52.8 36 100
1.2
Tinggi 16 43.2 21 56.8 37 100 0.915
(0.5 – 3)
Jumlah 73

Hasil analisis hubungan tingkat motivasi perawat dengan tingkat


penerapan IPSG diperoleh bahwa terdapat sebanyak 17 (47,2%) perawat yang
bermotivasi rendah memiliki tingkat penerapan IPSG rendah. Di antara perawat
yang bermotivasi tinggi, terdapat 16 (43,2%) perawat yang memiliki tingkat
penerapan IPSG rendah. Pada tingkat kepercayaan 95%, tidak ada perbedaan
proporsi tingkat penerapan IPSG pada tingkat motivasi perawat.

6.3.3 Hubungan Antara Variabel Organisasi dengan Perilaku Penerapan IPSG

6.3.3.1 Supervisi
Tabel 6.25
Proporsi Tingkat Perilaku Penerapan IPSG Berdasarkan Tingkat Supervisi Pada
Perawat di Instalasi Rawat Inap RS Swasta X Tahun 2011
Perilaku penerapan IPSG
Total OR
Supervisi Rendah Tinggi p value
(95%CI)
N % N % N %
Rendah 18 46.2 21 53.8 39 100
1.1
Tinggi 15 44.1 19 55.9 34 100 1.000
(0.4 – 2.7)
Jumlah 73

Hasil analisis hubungan tingkat supervisi pada perawat dengan tingkat


penerapan IPSG diperoleh bahwa terdapat sebanyak 18 (46,2%) perawat yang
mendapat supervisi rendah memiliki tingkat penerapan IPSG rendah. Di antara
perawat yang mendapat supervisi tinggi, terdapat 15 (44,1%) perawat yang
memiliki tingkat penerapan IPSG rendah. Pada tingkat kepercayaan 95%, tidak
ada perbedaan proporsi tingkat penerapan IPSG pada tingkat supervisi perawat.

6.3.3.2 Pengaruh Organisasi


Tabel 6.26
Proporsi Tingkat Perilaku Penerapan IPSG Berdasarkan Pengaruh Organisasi
Pada Perawat di Instalasi Rawat Inap RS Swasta X Tahun 2011
Perilaku penerapan IPSG
Pengaruh Total OR
Rendah Tinggi p value
organisasi (95%CI)
N % N % N %
Rendah 19 61.3 12 38.7 31 100
3.2
Tinggi 14 33.3 28 66.7 42 100 0.033
(1.2 – 8.3)
Jumlah 73

Hasil analisis hubungan tingkat pengaruh organisasi pada perawat dengan


tingkat penerapan IPSG diperoleh bahwa terdapat sebanyak 19 (61,3%) perawat
yang mendapat pengaruh organisasi rendah memiliki tingkat penerapan IPSG
rendah. Di antara perawat yang mendapat pengaruh organisasi tinggi, terdapat 14
(33,3%) perawat yang memiliki tingkat penerapan IPSG rendah. Pada tingkat
kepercayaan 95%, ada perbedaan proporsi tingkat penerapan IPSG pada tingkat
pengaruh organisasi pada perawat.

6.4 Analisis Multivariat


Seleksi bivariat pada masing-masing variabel independen dengan variabel
dependen dilakukan sebelum melakukan analisis multivariat. Variabel independen
yang memiliki nilai p > 0,25 dapat masuk ke dalam pemodelan multivariat.
Berdasarkan analisis bivariat yang telah dilakukan dengan Omnibus Tests of
Model Coefficients, didapatkan nilai p pada masing-masing variabel yang
dijabarkan pada tabel 6.27 berikut ini.
Tabel 6.27 Seleksi Bivariat

Variabel Independen P value Model Multivariat


1. Ward 0.436 Tidak masuk model
2. Usia 0.011 Masuk model
3. Status pernikahan 0.002 Masuk model
4. Pendidikan 0.673 Tidak masuk model
5. Lama kerja di unit 0.019 Masuk model
6. Lama kerja sejak lulus 0.019 Masuk model
7. Jam kerja 0.392 Tidak masuk model
8. Jenjang jabatan 0.018 Masuk model
9. Kecukupan gaji 0.467 Tidak masuk model
10. Pelatihan 0,010 Masuk model
11. Sosialisasi 0.010 Masuk model
12. Pengetahuan 0.016 Masuk model
13. Motivasi 0.733 Tidak masuk model
14. Supervisi 0.862 Tidak masuk model
15. Pengaruh organisasi 0.017 Masuk model

Variabel yang memiliki p value > 0,25 tidak dimasukkan ke dalam


pemodelan multivariat. Dalam pemodelan multivariat, variabel yang memiliki
nilai p > 0,05 akan dilakukan pengeluaran dari model multivariat secara satu per
satu dengan mendahulukan variabel yang memiliki nilai p paling besar. Apabila
pengeluaran variabel tersebut menyebabkan perubahan OR yang besar (> 10%)
maka variabel tersebut tidak jadi dikeluarkan dan dimasukkan kembali ke dalam
model karena dianggap sebagai variabel confounding. Perubahan nilai OR dilihat
dari nilai koefisien B. Proses ini dilakukan secara berulang-ulang sehingga seluruh
variabel yang memiliki nilai p > 0,05 dicoba dikeluarkan dari model.
Setelah dilakukan uji confounding, selanjutnya adalah uji interaksi dengan
memperkirakan variabel independen mana saja yang mungkin akan berinteraksi
satu sama lain. Jika variabel interaksi tersebut memiliki nilai p < 0,05 maka
interaksi terhadap ke dua variabel tersebut dimasukkan ke dalam model.
Pemodelan multivariat menghasilkan bahwa variabel pengetahuan perawat
berhubungan dengan perilaku penerapan IPSG dengan variabel yang menjadi
faktor confounding yaitu umur, status pernikahan, lama kerja di unit, pelatihan
patient safety, dan pengaruh organisasi. Berdasarkan hasil uji interaksi, tidak ada
variabel independen yang memiliki hubungan interaksi satu sama lain.

Tabel 6.28
Model Terakhir Prediksi Variabel Independen Terhadap Variabel Dependen

OR 95% CI
Variabel B Sig OR
Lower Upper
Pengetahuan 2.011 0.006 7.469 1.793 31.114
Umur 0.995 0.225 2.705 0.542 13.499
Status pernikahan 1.206 0.091 3.341 0.825 13.529
Pelatihan 0.967 0.226 2.629 0.550 12.554
Pengaruh organisasi 0.949 0.113 2.584 0.799 8.353
Constant -4.590

Logit (Penerapan IPSG tinggi) = -4.590 + 0.995*umur + 1.206*nikah +


0.967*pelatihan + 2.011*pengetahuan + 0.949*pengaruh organisasi
Penelitian ini bersifat cross sectional sehingga model regresi logistik tidak
dapat digunakan, interpretasi yang dapat dilakukan hanya menjelaskan nilai OR
(Exp B) pada masing-masing variabel.
Dari analisis multivariat ternyata variabel yang berhubungan bermakna
dengan perilaku penerapan IPSG adalah variabel pengetahuan dengan nilai OR
terbesar dibanding variabel lainnya sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel
pengetahuan memiliki pengaruh paling besar terhadap penerapan IPSG dibanding
variabel lainnya. Sedangkan variabel umur, status pernikahan, pelatihan, dan
pengaruh organisasi adalah variabel konfounding.
Hasil analisis didapatkan Odds Ratio (OR) dari variabel pengetahuan
adalah 7,469, artinya perawat yang memiliki tingkat pengetahuan tinggi
berpeluang 7,469 kali memiliki tingkat perilaku penerapan IPSG tinggi dibanding
perawat yang memiliki tingkat pengetahuan rendah setelah dikontrol oleh variabel
umur, status pernikahan, pelatihan, dan pengaruh organisasi. Hal ini berarti
variabel pengetahuan memiliki pengaruh yang paling besar terhadap penerapan
IPSG.
Hasil analisis didapatkan OR dari variabel umur adalah 2.705 artinya
perawat yang berumur lebih dari 30 tahun berpeluang 2.705 kali memiliki tingkat
perilaku penerapan IPSG tinggi dibanding perawat yang berumur kurang dari atau
sama dengan 30 tahun setelah dikontrol oleh variabel pengetahuan, status
pernikahan, pelatihan, dan pengaruh organisasi.
OR dari variabel status pernikahan adalah 3.341 artinya perawat yang
sudah menikah berpeluang 3.341 kali memiliki tingkat perilaku penerapan IPSG
tinggi dibanding perawat yang belum menikah setelah dikontrol oleh variabel
pengetahuan, umur, pelatihan, dan pengaruh organisasi.
OR dari variabel pelatihan adalah 2.629 artinya perawat yang ikut serta
dalam pelatihan patient safety berpeluang 2.629 kali memiliki tingkat perilaku
penerapan IPSG tinggi dibanding perawat yang tidak ikut serta dalam pelatihan
setelah dikontrol oleh variabel pengetahuan, umur, status pernikahan, dan
pengaruh organisasi.
OR dari variabel pengaruh organisasi adalah 2.584 artinya perawat yang
mendapat pengaruh organisasi tinggi berpeluang 2.584 kali memiliki tingkat
perilaku penerapan IPSG tinggi dibanding perawat yang mendapat pengaruh
organisasi rendah setelah dikontrol oleh variabel pengetahuan, umur, status
pernikahan, dan pelatihan.
BAB VII
PEMBAHASAN

7.1 Keterbatasan Penelitian


7.1.1 Kualitas Data
Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data melalui kuesioner
yang diisi secara subyektif oleh perawat sebagai responden sehingga kejujuran
dan keterbukaan responden sangat menentukan kebenaran data yang diperoleh.
Selain itu, kejelasan dan ketelitian perawat dalam mengisi setiap butir
pertanyaan juga merupakan faktor penentu kebenaran data. Untuk mengatasi
hal tersebut, sebelum kuesioner langsung dibagikan kepada responden, terlebih
dahulu dilakukan sosialisasi kuesioner terhadap supervisor masing-masing
ward keperawatan. Kuesioner diisi terlebih dahulu oleh supervisor atau perawat
lain yang kemudian akan menjadi penanggung jawab dalam pengisian dan
pengumpulan kuesioner di ward masing-masing. Selama masa pengisian
kuesioner, responden didampingi oleh supervisor atau perawat penanggung
jawab atau bahkan peneliti sendiri. Hal tersebut untuk menghindari kesalahan
dalam pengisian kuesioner oleh responden.

7.1.2 Generalisasi Hasil Penelitian


Lokasi penelitian ini adalah rumah sakit yang memiliki karakteristik
berbeda dengan rumah sakit lainnya, khususnya ketercapaian akreditasi JCI
sehingga hasil penelitian tidak dapat digeneralisasikan pada rumah sakit lain
yang belum meraih akreditasi JCI.

7.1.3 Jenis Penelitian


Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross
sectional. Variabel independen dan dependen dalam penelitian cross sectional
diukur secara bersamaan sehingga jenis penelitian ini memiliki kelemahan
yaitu tidak dapat menggambarkan hubungan sebab akibat, tetapi hanya dapat
menggambarkan hubungan antar variabel.
7.1.4 Referensi
Penelitian yang mengkaji tentang penerapan standar JCI masih sangat
langka sehingga sangat sulit mendapatkan referensi pembanding. Untuk itu
peneliti mengerucutkan penelitian pada penerapan standar IPSG mengenai
patient safety di mana referensi terkait topik tersebut tidak terlalu sulit untuk
ditemukan meskipun jumlahnya pun masih tergolong sedikit. Oleh karena itu
dalam penelitian ini peneliti masih cukup kesulitan dalam melakukan
perbandingan secara empirik.

7.2 Pembahasan Hasil Penelitian


7.2.1 Gambaran Perilaku Penerapan IPSG

Berdasarkan hasil penelitian gambaran perilaku penerapan IPSG, perawat


yang memiliki tingkat perilaku penerapan yang tinggi sebesar 54,8% dan rendah
sebesar 45,2%. Hal itu menunjukkan bahwa terdapat proporsi yang cenderung
merata dalam tingkat penerapan IPSG pada perawat. Padahal diharapkan bahwa
proporsi tersebut memiliki perbedaan yang sangat signifikan di mana proporsi
penerapan yang tinggi jauh lebih besar dibanding penerapan yang rendah dan
bahkan mencapai 100%. Faktanya, proporsi yang ada cenderung merata sehingga
dapat disimpulkan bahwa penerapan IPSG oleh perawat memiliki tingkat yang
cukup seimbang antara tinggi dan rendah.

Namun jika dibandingkan dengan penelitian lain di beberapa rumah sakit


yang belum meraih sertifikat akreditasi JCI, tingkat penerapan patient safety yang
tinggi masih sangat minim dibandingkan yang rendah. Hal tersebut terlihat dalam
penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2010) di salah satu rumah sakit swasta yang
menyatakan bahwa 75% perawat di rumah sakit tersebut memiliki sikap
penerapan patient safety yang rendah. Selain itu juga seperti yang dinyatakan
dalam penelitian Nurhasanah (2010) dengan hasil sebanyak 66,7% perawat yang
memiliki perilaku penerapan patient safety yang rendah. Jika dibandingkan
dengan penggunaan instrumen penelitian lain, penelitian ini menggunakan
instrumen pengukuran skor perilaku berdasarkan ketentuan standar JCI yang
sangat bermutu. Jadi, jika intrumen penelitian ini digunakan pada penelitian lain
yang tidak berdasarkan JCI maka rumah sakit lain tersebut akan mendapat hasil
jauh lebih rendah lagi.

Perilaku manusia merupakan hasil dari segala pengalaman serta interaksi


manusia dengan lingkungannya. Karakteristik rumah sakit yang telah meraih
sertifikasi JCI tentu sangat berpengaruh terhadap perilaku sumber daya
manusianya, baik tenaga kesehatan maupun non kesehatan. Pada akhirnya,
perilaku tersebut akan mempengaruhi outcome berupa pelayanan kesehatan yang
lebih bermutu. Akreditasi JCI yang telah diraih akan mendukung perilaku perawat
dalam menerapkan IPSG.

Berdasarkan pembagian masing-masing goal dari standar IPSG, perawat


memiliki perilaku penerapan paling tinggi pada goal ke-5 tentang “Reduce the
Risk of Health Care-Associated Infections”, khususnya dalam hal kebersihan
tangan dengan nilai 89,32 (range 0 – 100). Mencuci tangan merupakan aktifitas
yang paling mudah untuk dilaksanakan karena fasilitasnya sudah tersedia dan
mudah dijangkau di unit keperawatan sehingga memungkinkan seluruh perawat
untuk giat dalam hal mencuci tangan. Cara transmisi dari infeksi yang paling
sering adalah melalui tangan. Di RS Swasta X telah dilakukan upaya untuk
mengurangi risiko infeksi nosokomial. Para perawat melakukan prosedur cuci
tangan maupun memelihara kebersihan tangan dengan prosedur handsrub
menggunakan cairan Glykol (hanya butuh waktu 20 – 30 detik untuk
melakukannya). Faktor yang mungkin dapat mengakibatkan perawat tidak
mencuci tangan di antaranya adalah waktu yang terlalu padat dan rasa malas.

Penerapan IPSG tertinggi ke-2 adalah goal 6 “Reduce the Risk of Patient
Harm Resulting from Falls” yang berisi tentang pengkajian pasien resiko jatuh
dengan nilai 85,43 (range 0 – 100). Jatuh merupakan salah satu penyebab cedera
pasien di rumah sakit. Salah satu poin penting yang harus diperhatikan adalah
pada pertanyaan “saya melakukan observasi tiap 2-3 jam sekali pada pasien
dengan resiko jatuh tinggi”. Hasil penelitian didapatkan bahwa 9,6% perawat
menjawab kadang dilakukan. Hal ini menandakan bahwa beberapa perawat
kadang tidak melakukan observasi setiap 2-3 jam sehingga membahayakan pasien
yang memiliki resiko jatuh tinggi.
Selanjutnya, goal dengan penerapan tertinggi ke-3 adalah goal 3 “Improve
the Safety of High-Alert Medications” dengan nilai 85,27 (range 0 – 100). Goal
tersebut berisi tentang prosedur pemberian obat yang aman. Perawat memiliki
tugas dan tanggung jawab yang paling besar saat pemberian obat sebab memiliki
resiko yang sangat tinggi. Perawat adalah mata rantai terakhir dalam proses
pemberian obat kepada pasien. Perawat yang bertanggung jawab bahwa obat itu
diberikan dan memastikan bahwa obat itu benar diminum. Jika obat yang
diberikan kepada pasien salah maka akan mengakibatkan efek yang sangat fatal,
misalnya over dosis, efek samping, komplikasi, dan bahkan kematian. Kesadaran
perawat akan hal tersebut menuntutnya untuk selalu berhati-hati dalam pemberian
dan penyimpanan obat. Penerapan goal yang cukup tinggi mengenai pemberian
obat tersebut membuktikan bahwa proses pemberian obat yang dilakukan oleh
perawat di RS Swasta X sudah memperhatikan prinsip 5 Benar dan 1
Dokumentasi (benar pasien, benar obat, benar dosis, benar cara, benar waktu,
benar dokumentasi).

Goal ke-2 pada IPSG yaitu “Improve Effective Communication” memiliki


penerapan tertinggi ke-4 setelah goal 5, 6, dan 3 atau dengan kata lain memiliki
tingkat penerapan terendah ke-2 dengan nilai 84,86 (range 0 – 100). Pada
pertanyaan “hasil read back tersebut ditandatangani oleh pemberi instruksi dalam
waktu 1 x 24 jam setelah instruksi diberikan” memiliki proporsi terbesar untuk
jarang dilakukan yaitu 13,7%. Dalam hal ini banyak faktor yang mempengaruhi,
di antaranya adalah faktor dari pemberi instruksi yang sulit ditemui. Faktor
tersebut cukup sulit untuk diintervensi karena berasal dari faktor luar perawat.
Sebagian besar perawat sudah melakukan upaya komunikasi yang efektif terhadap
instruksi yang diterima secara lisan maupun melalui telepon.

Sedangkan goal pada IPSG yang memiliki proporsi paling rendah dalam
penerapannya oleh perawat adalah goal pertama yaitu “Identify Patient Correctly”
dengan nilai 84,65 (range 0 – 100). Identifikasi pasien adalah proses pencatatan
data pasien yang benar sehingga dapat menetapkan dan menyamakan data tersebut
dengan individu yang bersangkutan. Perawat di instalasi rawat inap sebagian besar
sudah memahami pentingnya identifikasi, di antaranya dilakukan dengan minimal
2 cara identifikasi, yaitu nama lengkap dan tanggal lahir pasien atau nomor rekam
medis. Perawat selalu melakukan identifikasi pasien terlebih dahulu untuk
memperoleh keyakinan bahwa pasien yang dihadapi adalah benar-benar pasien
yang akan memperoleh pelayanan sesuai dengan berkas rekam medis (status)
yang tersedia. Pada pertanyaan “saya tidak mempercayakan keluarga pasien untuk
mengawasi kelancaran tetesan infus” mengalami proporsi paling besar untuk tidak
dilakukan, yaitu sebesar 2,7%. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perawat yang
masih mengandalkan laporan dari keluarga pasien untuk mengawasi kondisi
pasien, khususnya kelancaran tetesan infus. Situasi ini dapat membahayakan
pasien sebab terkadang ada keluarga pasien sebagai orang awam yang tidak
mengerti mengenai dunia keperawatan sehingga dibutuhkan monitoring terus
menerus oleh perawat untuk melakukan identifikasi pasien.

Goal ke 4 tidak diterapkan oleh perawat di instalasi rawat inap sebab goal
yang berisi tentang “The organization develops an approach to Ensure Correct-
Site, Correct-Procedure, Correct-Patient Surgery” hanya dilakukan oleh perawat
di instalasi bedah / OT (Operating Theatre).

7.2.2 Variabel yang Berhubungan dengan Perilaku Penerapan IPSG

7.2.2.1 Variabel Individu

a. Usia

Proporsi usia responden dalam penelitian ini cukup merata. Sebagian besar
perawat berusia < 30 tahun dengan jumlah 53,4% dan sisanya lebih dari 30 tahun.
Responden dengan rentang usia 21 – 43 tahun merupakan responden yang
digolongkan ke dalam usia produktif sehingga masih memiliki kemampuan untuk
bekerja secara optimal. Secara fisiologis, pertumbuhan dan perkembangan
seseorang dapat digambarkan dengan pertambahan umur. Dengan peningkatan
umur diharapkan terjadi pertumbuhan kemampuan motorik sesuai dengan tumbuh
kembangnya,yang identik dengan idealisme tinggi, semangat tinggi dan tenaga
yang prima.
Usia yang semakin tinggi diharapkan memiliki perilaku penerapan IPSG
yang semakin tinggi pula karena telah memiliki pengetahuan yang luas,
pengalaman yang banyak, dan pemahaman yang tinggi akan pentingnya menjaga
mutu pelayanan. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa usia mempengaruhi
perilaku penerapan IPSG. Artinya semakin besar usia perawat maka semakin
tinggi penerapan IPSG-nya. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Dewi (2010) tetapi tidak sejalan dengan penelitian Nurhasanah (2010) dan Utami
(2011). Hasil analisis didapatkan OR dari variabel umur adalah 2,7 artinya
perawat yang berumur lebih dari 30 tahun berpeluang 2,7 kali memiliki tingkat
perilaku penerapan IPSG tinggi dibanding perawat yang berumur kurang dari atau
sama dengan 30 tahun setelah dikontrol oleh variabel pengetahuan, status
pernikahan, pelatihan, dan pengaruh organisasi.

b. Status Pernikahan

Sebagian besar responden dalam penelitian ini memiliki status sudah


menikah sebanyak 58,9%. Status pernikahan memiliki hubungan yang kuat
dengan usia responden. Semakin besar usia responden, semakin besar pula
peluangnya untuk memiliki status menikah. Dengan demikian diharapkan bahwa
perawat yang sudah menikah memiliki perilaku penerapan IPSG lebih tinggi
dibanding perawat yang belum menikah. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa
status pernikahan mempengaruhi perilaku penerapan IPSG. Artinya bahwa
harapan yang telah disebutkan sebelumnya telah terbukti. Hasil analisis diperoleh
nilai OR dari variabel status pernikahan adalah 3,3 artinya perawat yang sudah
menikah berpeluang 3,3 kali memiliki tingkat perilaku penerapan IPSG tinggi
dibanding perawat yang belum menikah setelah dikontrol oleh variabel
pengetahuan, umur, pelatihan, dan pengaruh organisasi. Status pernikahan
menimbulkan adanya rasa tanggung jawab yang besar terhadap kehidupan.
Tanggung jawab tersebut menuntut perawat untuk mengusahakan pekerjaan yang
terbaik bagi diri dan keluarganya sehingga akan melakukan tugas dan fungsinya
semaksimal mungkin, termasuk penerapan IPSG dalam pekerjaan sehari-harinya.
c. Lama kerja di unit keperawatan saat ini

Perawat dengan masa kerja lebih lama cenderung memiliki pengalaman


kerja lebih banyak dibanding perawat yang baru bekerja, Lama kerja di unit
keperawatan saat ini menentukan banyaknya pengalaman perawat mengenai
patient safety yang telah atau hampir dialami. Pengalaman bekerja banyak
memberikan keahlian dan ketrampilan kerja. Hal tersebut menyebabkan perawat
dengan masa kerja lebih lama akan lebih memahami pentingnya penerapan IPSG
agar terhindar dari kejadian-kejadian tidak diharapkan yang dapat membahayakan
pasien.

Dalam penelitian ini diharapkan ada kecenderungan semakin lama perawat


yang bekerja di unit keperawatan saat ini, maka akan semakin tinggi penerapan
IPSG-nya. Sebagian besar perawat instalasi rawat inap memiliki lama kerja di unit
lebih dari 2 tahun sebanyak 68,5%. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian
besar responden sudah lama menjalankan profesinya sebagai perawat Hasil uji
statistik menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara lama kerja
perawat di unit saat ini dengan perilaku penerapan IPSG. Hasil analisis diperoleh
nilai OR= 3,3, artinya perawat yang lama kerja di unitnya lebih dari 2 tahun
memiliki peluang 3,3 kali untuk memiliki tingkat perilaku penerapan IPSG lebih
tinggi dibanding perawat yang lama kerja di unit kurang atau sama dengan 2
tahun. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Dewi (2010).

Namun hasil akhir dalam pemodelan multivariat didapatkan bahwa lama


kerja sejak di unit keperawatan saat ini dengan perilaku penerapan IPSG tidak
memiliki hubungan yang signifikan jika dilakukan interaksi secara bersama-sama
dengan variabel pengetahuan, usia, status pernikahan, pelatihan, dan pengaruh
organisasi.

d. Lama kerja sejak lulus pendidikan

Sebagian besar responden dalam penelitian ini memiliki lama kerja sejak
lulus pendidikan lebih dari 5 tahun sebanyak 65,8%. Lama bekerja ini dimulai
sejak perawat bekerja pertama kali baik di unit sebelum ia bekerja maupun di unit
tempat ia bekerja saat penelitian dilaksanakan. Sama halnya dengan lama kerja di
unit keperawatan saat ini, lama kerja sejak lulus pendidikan menentukan
banyaknya pengalaman perawat mengenai patient safety yang telah atau hampir
dialami. Dalam penelitian ini diharapkan ada kecenderungan semakin lama
perawat yang bekerja sejak lulus pendidikan, maka akan semakin tinggi penerapan
IPSG-nya. Hal tersebut juga dapat didukung oleh pengalaman perawat dalam
membandingkan kondisi tempat bekerjanya yang lama dengan tempat bekerja saat
ini. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara
lama kerja perawat sejak lulus pendidikan dengan perilaku penerapan IPSG. Hasil
analisis diperoleh nilai OR= 3,2, artinya perawat yang lama kerja sejak lulus lebih
dari 5 tahun memiliki peluang 3,2 kali untuk memiliki tingkat perilaku penerapan
IPSG lebih tinggi dibanding perawat yang lama kerja sejak lulus kurang atau sama
dengan 5 tahun.

Namun hasil akhir dalam pemodelan multivariat didapatkan bahwa lama


kerja sejak lulus pendidikan dengan perilaku penerapan IPSG tidak memiliki
hubungan yang signifikan jika dilakukan interaksi secara bersama-sama dengan
variabel pengetahuan, usia, status pernikahan, pelatihan, dan pengaruh organisasi.

e. Jenjang jabatan

Jenjang jabatan perawat memiliki hubungan yang relevan dengan lama


bekerja di unit keperawatan saat ini. Jadi, semakin tinggi jenjang jabatan perawat
maka semakin besar lama kerja perawat di unit saat ini sehingga menentukan
banyaknya pengalaman perawat mengenai patient safety yang telah atau hampir
dialami. Seorang perawat memiliki jenjang jabatan junior jika pendidikan terakhir
S1 Keperawatan dengan lama kerja 0 – 3 tahun atau D3 Keperawatan dengan
lama kerja 0 – 4 tahun, jenjang madya jika pendidikan terakhir S1 Keperawatan
dengan lama kerja 3 – 5 tahun atau D3 Keperawatan dengan lama kerja 4 – 7
tahun, dan jenjang jabatan senior jika pendidikan terakhir S1 Keperawatan dengan
lama kerja lebih dari 5 tahun atau D3 Keperawatan dengan lama kerja lebih dari 7
tahun. Dalam penelitian ini diharapkan ada kecenderungan semakin tinggi jenjang
jabatan perawat, maka akan semakin tinggi penerapan IPSG-nya. Hasil uji
statistik menunjukkan bahwa perawat dengan jenjang jabatan senior memiliki
perilaku penerapan IPSG lebih tinggi dibanding perawat junior/madya. Hasil
analisis diperoleh nilai OR= 3,6, artinya perawat dengan jenjang jabatan senior
memiliki peluang 3,6 kali untuk memiliki tingkat perilaku penerapan IPSG tinggi
dibanding perawat junior/madya. Namun hasil akhir dalam pemodelan multivariat
didapatkan bahwa jenjang jabatan perawat dengan perilaku penerapan IPSG tidak
memiliki hubungan yang signifikan jika dilakukan interaksi secara bersama-sama
dengan variabel pengetahuan, usia, status pernikahan, pelatihan, dan pengaruh
organisasi.

f. Frekuensi pelatihan patient safety

Pelatihan merupakan hal yang mutlak menjadi keharusan dan kebutuhan


bagi seorang perawat, termasuk pelatihan patient safety. Lama kerja perawat
memiliki hubungan yang relevan dengan frekuensi pelatihan patient safety yang
pernah diikuti. Semakin lama masa kerja perawat maka semakin besar frekuensi
pelatihan yang pernah diikutinya. Tujuan dari pelatihan patient safety adalah
untuk memberikan dan meningkatkan pengetahuan perawat terhadap segala aspek
yang berhubungan dengan patient safety agar dapat memberikan asuhan
keperawatan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pelatihan merupakan bagian
dari pendidikan. Pelatihan bersifat spesifik, praktis dan segera. Spesifik berarti
pelatihan berhubungan dengan bidang pekerjaan yang dilakukan. Praktis dan
segera berarti yang sudah dilatihkan dapat dipraktikkan. Hal ini dilaksanakan
untuk memberi keterampilan dan pengetahuan baru maupun untuk pelatihan
penyegaran. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan
antara frekuensi pelatihan patient safety oleh perawat dengan perilaku penerapan
IPSG. Sebagian besar perawat sudah mendapat pelatihan patient safety lebih dari
2 kali sebesar 82,2%. Hasil analisis diperoleh nilai OR dari variabel pelatihan
adalah 2,6 artinya perawat yang ikut serta dalam pelatihan patient safety
berpeluang 2,6 kali memiliki tingkat perilaku penerapan IPSG tinggi dibanding
perawat yang tidak ikut serta dalam pelatihan setelah dikontrol oleh variabel
pengetahuan, umur, status pernikahan, dan pengaruh organisasi.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis dapat disimpulkan
bahwa betapa pentingnya pelatihan patient safety bagi perawat agar mencegah
terjadinya kejadian near miss maupun adverse event dan hubungan ini memiliki
pengaruh yang sangat kuat. Hal tersebut juga didukung oleh penelitian lain yang
diungkapkan oleh Utami (2011), Dewi (2010), dan Nurhasanah (2010). Dengan
diadakannya pelatihan patient safety secara rutin diharapkan adanya peningkatan
mutu pelayanan rumah sakit secara terus menerus dan berkesinambungan.

Pada RS Swasta X tersebut, kegiatan upgrading pelatihan mengenai


patient safety tidak dilakukan berdasarkan pencapaian penerapan IPSG saat ini
sehingga materi yang diberikan terkadang tidak sesuai dengan kebutuhan perawat.
Hal tersebut menyebabkan terdapat goal tertentu pada IPSG yang memiliki
penerapan rendah menjadi semakin rendah karena tidak mendapat perhatian
khusus untuk dilakukan pelatihan. Selain itu, dalam kegiatan pelatihan tidak
dilakukan pretest dan post test sehingga perkembangan hasil pelatihan yang telah
diberikan kepada perawat tentang patient safety tidak dapat dimonitor.

g. Sosialisasi mutu RS

Sebagian besar perawat sudah pernah mendapat sosialisasi terkait mutu


RS. Kegiatan sosialisasi yang dilakukan berupa pertemuan yang diadakan di ruang
tertutup untuk melakukan pemberitahuan (sosialisasi) terhadap kegiatan audit
mutu internal, eksternal, maupun akreditasi yang dijalankan oleh unit QMR
(Quality Management Representative). Sosialisasi tersebut memaparkan tujuan
dari penyelenggaraan kegiatan, konfirmasi waktu pelaksanaan, unit-unit terkait,
dan pada akhirnya akan mengingatkan seluruh lapisan bahwa rumah sakit tersebut
benar-benar memperhatikan mutu pelayanan yang diberikan sehingga dituntut
untuk memiliki kinerja yang semakin baik.

Audit mutu internal adalah kegiatan pemeriksaan yang dilakukan oleh


rumah sakit secara sistematis dan independen untuk menentukan jika aktivitas
mutu rumah sakit dan hasilnya sesuai dengan pengaturan yang telah direncanakan
dan apakah pengaturan tersebut diimplementasikan secara efektif dan cocok untuk
mencapai tujuan. Sedangkan audit mutu eksternal dilakukan berdasarkan standar
ISO (International Standard Organization) dengan versi 9001 : 2008 yang diaudit
oleh Lembaga Sertifikasi PSB TÜV SÜD. ISO melakukan penilaian kinerja
rumah sakit dengan menggunakan standar untuk sistem mutu dibandingkan
dengan penilaian terhadap fungsi dan tujuan rumah sakit (SOP Unit QMR RS
Swasta X). Selain itu, kegiatan mutu RS juga dilakukan melalui sertifikasi
akreditasi. Survey akreditasi pada RS Swasta X dilakukan oleh 2 badan akreditasi,
yaitu akreditasi nasional oleh KARS (Komisi Akreditasi RS dan Sarana
Kesehatan Lainnya) dan akreditasi internasional oleh JCI (Joint Commission
International). KARS merupakan standar akreditasi khusus untuk rumah sakit
yang berada di bawah naungan Departemen Kesehatan RI, khususnya Direktorat
Jenderal Pelayanan Medik. Rumah sakit dituntut untuk memenuhi standar
akreditasi yang telah ditetapkan oleh KARS. Sedangkan JCI merupakan badan
akreditasi internasional, yang merupakan bagian dari Joint Commission
Accreditation of Healthcare Organization (JCAHO-USA). JCI adalah suatu
organisasi yang independent, nonprofit, dan bukan lembaga pemerintahan.

Pada RS Swasta X tersebut, kegiatan sosialisasi yang sering dilakukan


secara formal oleh Unit QMR di ruang tertutup terhadap seluruh lapisan sudah
tidak dilakukan kembali. Begitupula dengan sosialisasi secara internal bidang dan
penggunaan media sosialisasi yang sudah tidak diaktifkan kembali. Hal tersebut
memiliki peluang yang cukup besar untuk menjadi penyebab rendahnya
penerapan IPSG oleh perawat.

Hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara


frekuensi sosialisasi mutu RS yang pernah diikuti oleh perawat dengan perilaku
penerapan IPSG. Hasil analisis diperoleh nilai OR = 5,4, artinya perawat yang
sudah mengikuti sosialisasi terkait mutu RS memiliki peluang 5,4 kali untuk
memiliki tingkat perilaku penerapan IPSG lebih tinggi dibanding perawat yang
belum mengikutinya. Namun hasil akhir dalam pemodelan multivariat didapatkan
bahwa sosialisasi mutu RS dengan perilaku penerapan IPSG tidak memiliki
hubungan yang signifikan jika dilakukan interaksi secara bersama-sama dengan
variabel pengetahuan, usia, status pernikahan, pelatihan, dan pengaruh organisasi.

7.2.2.2 Variabel Psikologis

Pengetahuan merupakan kemampuan seseorang yang berada pada kawasan


kognitif yang dapat dikembangkan melalui proses pendidikan-belajar (Bloom
dalam Padmowihardjo,1994). Sebelum seseorang mengadopsi perilaku ia harus
tahu terlebih dahulu tahu apa arti dan manfaat perilaku tersebut bagi dirinya atau
bagi organisasi. Pelatihan merupakan salah satu cara yang ditempuh untuk
meningkatkan pengetahuan. Tingkat pengetahuan pada perawat dikelompokkan
menjadi 2 kategori yaitu tinggi dan rendah. Sebagian besar perawat memiliki
tingkat pengetahuan yang tinggi. Salah satu cara meningkatkan pengetahuan yang
berguna untuk memperbaiki kinerja perawat dalam mencapai hasil kerja yang
ditetapkan demi keselamatan dan kepuasan pasien dengan melakukan pelatihan
secara rutin. Hasil uji statistik dengan analisis chi square menunjukkan bahwa
tingkat pengetahuan perawat memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku
penerapan IPSG. Artinya semakin tinggi tingkat pengetahuan perawat maka
semakin tinggi pula penerapan IPSG-nya. Hasil analisis didapatkan OR dari
variabel pengetahuan adalah 7,5, artinya perawat yang memiliki tingkat
pengetahuan tinggi berpeluang 7,5 kali memiliki tingkat perilaku penerapan IPSG
tinggi dibanding perawat yang memiliki tingkat pengetahuan rendah setelah
dikontrol oleh variabel umur, status pernikahan, pelatihan, dan pengaruh
organisasi. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh
Ariyani (2009).

Berdasarkan hasil penelitian, ada jawaban beberapa perawat yang perlu


mendapatkan perhatian tentang pengetahuan yaitu ” nama pasien, tanggal lahir,
nomor rekam medis dan nomor ruangan dapat dipakai untuk identifikasi pasien”.
Sebagian responden menjawab salah pada pertanyaan tersebut sehingga
membuktikan masih rendahnya pengetahuan perawat terhadap identifikasi pasien
dan terbukti dalam hasil gambaran perilaku penerapan IPSG oleh perawat di mana
goal 1 mengenai identifikasi pasien menduduki urutan terendah dalam
penerapannya.

Hasil dalam pemodelan multivariat menyatakan bahwa pengetahuan


merupakan faktor yang paling dominan terhadap penerapan perilaku IPSG setelah
dikontrol oleh variabel umur, status pernikahan, pelatihan, dan pengaruh
organisasi sebagai faktor confounder.
7.2.2.3 Variabel Organisasi

Organisasi merupakan kelompok orang yang bekerja bersama-sama ke


arah suatu tujuan yang umum. Sebuah organisasi itu terdiri atas orang-orang yang
melakukan tugas-tugas yang berbeda yang dikoordinir untuk mencapai tujuan
organisasi tersebut (Swastha,1996). Pengaruh organisasi dalam penelitian ini
merupakan tempat perawat bekerja yang dilihat dari segi manajemen, uraian
tugas, dan antar unit.

Sebagian besar responden menjawab sangat setuju pada pertanyaan


mengenai unit-unit di RS bekerja sama dengan baik untuk memberikan pelayanan
yang terbaik bagi pasien. Sedangkan jawaban pengaruh organisasi bersifat negatif
yang memiliki proporsi terendah adalah pertanyaan mengenai perawat yang
seringkali merasa tidak nyaman bila harus bekerja sama dengan staf unit lain di
RS tersebut. Hal itu menandakan bahwa sebagian besar perawat merasa nyaman
bekerja sama dengan staf unit lain dan kerja sama antar lapisan merupakan
pengaruh yang besar terhadap kinerja perawat khususnya dalam penerapan IPSG.
Sebagian besar perawat mendapatkan pengaruh organisasi yang tinggi sebanyak
57,5%, artinya kondisi organisasi yang ada di RS Swasta X sudah cukup baik
sehingga mendukung kinerja perawat.

Hasil uji statistik dengan analisis chi square menunjukkan bahwa tingkat
pengaruh organisasi pada perawat memiliki hubungan yang signifikan dengan
perilaku penerapan IPSG. Hasil analisis diperoleh nilai OR dari variabel pengaruh
organisasi adalah 2,6 artinya perawat yang mendapat pengaruh organisasi tinggi
berpeluang 2,6 kali memiliki tingkat perilaku penerapan IPSG tinggi dibanding
perawat yang mendapat pengaruh organisasi rendah setelah dikontrol oleh
variabel pengetahuan, umur, status pernikahan, dan pelatihan. Hal ini tidak sejalan
dengan penelitian yang dilakukan Utami (2011) yang menyatakan bahwa
pengaruh pimpinan dan organisasi tidak mempengaruhi perawat dalam penerapan
patient safety.
7.2.3 Variabel yang Tidak Berhubungan dengan Perilaku Penerapan IPSG

7.2.3.1 Variabel Individu

a. Ward
Penelitian dilakukan pada masing-masing ward di instalasi rawat inap
dengan memperhatikan persamaan proporsi dalam jumlah populasi perawat tiap
ward sehingga dapat dikatakan bahwa keterwakilan sampel dalam setiap ward
sama. Analisis dalam variabel ward dilakukan berdasarkan jenis pelayanan yang
diberikan, yaitu : pelayanan pediatrik pada Ward Pinguin; pelayanan maternal
pada Ward Merpati (Ward, Labor, Nursery); pelayanan umum pada Ward Merak,
Kutilang, Cendrawasih, dan Camar; serta pelayanan Critical Care.

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan
antara tingkat perilaku penerapan IPSG dengan ward tempat perawat bekerja.
Artinya di ward manapun perawat bekerja, perilaku penerapan IPSG pada perawat
tidak akan terpengaruh terhadap tinggi rendahnya penerapan. Ini disebabkan
karena setiap perawat di masing-masing ward dituntut untuk selalu menerapkan
IPSG tanpa membeda-bedakan pasien sebagai penerima layanan kesehatan
sehingga membuktikan bahwa manajemen keperawatan yang dilaksanakan di RS
Swasta X sudah baik. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan Nurhasanah (2010)
yang menyatakan bahwa unit tempat perawat bekerja mempengaruhi perilaku
patient safety. Hal tersebut mungkin disebabkan karena terdapat perbedaan
karakteristik antara instalasi rawat inap di RS Swasta X dengan RS yang dijadikan
obyek penelitian oleh Nurhasanah.

b. Pendidikan
Semakin tinggi tingkat pendidikan akan lebih rasional dan kreatif serta
terbuka dalam menerima adanya bermacam usaha pembaharuan dan dapat
menyesuaikan diri terhadap pembaharuan. Tingkat pendidikan seseorang
berpengaruh dalam memberikan respon terhadap sesuatu yang datang dari luar
(Purwanto, 2005). Seluruh perawat di RS Swasta X telah menempuh pendidikan
minimal DIII Keperawatan karena merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi
saat recruitment staf. Ciri-ciri perawat profesional adalah lulusan pendidikan
tinggi keperawatan minimal D III Keperawatan karena mampu melaksanakan
asuhan keperawatan dengan pendekatan proses keperawatan, menaati kode etik,
mampu berkomunikasi dengan pasien dan keluarga, serta mampu memanfaatkan
sarana kesehatan yang tersedia secara berdaya guna dan berhasil guna, mampu
berperan sebagai agen pembaharu dan mengembangkan ilmu serta teknologi
keperawatan. (K. Jernigan et al, 1983).

Urutan proporsi tingkat pendidikan perawat di instalasi rawat inap RS


Swasta X dari yang paling banyak hingga sedikit adalah tamat D3 sebesar 61,6%,
tamat S1 sebesar 26%, dan berpendidikan tamat profesi sebesar 12,3%. Hal
tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan perawat maka semakin
kecil proporsinya. Diharapakan dengan semakin tingginya tingkat pendidikan
perawat maka penerapan IPSG-nya akan semakin tinggi pula karena perawat
tersebut lebih mampu melaksanakan asuhan keperawatan dengan pendekatan
proses keperawatan serta lebih menaati kode etik. Hasil uji statistik menunjukkan
bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara tingkat perilaku penerapan
IPSG dengan pendidikan perawat. Berarti perawat dengan tingkat pendidikan
apapun, perilaku penerapan IPSG-nya tidak akan terpengaruh terhadap tinggi
rendahnya penerapan. Hasil penelitian ini sejalan dengan banyak penelitian
lainnya di antaranya adalah Utami (2011), Dewi (2010), dan Nurhasanah (2010).
Dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya tingkat pendidikan memang tidak
mempengaruhi perilaku penerapan patient safety. Meskipun usia dan lama kerja
mempengaruhi perilaku penerapan, namun seseorang yang memiliki usia dan
lama kerja yang tinggi belum tentu menempuh pendidikan yang tinggi pula.

c. Jam kerja di RS dalam seminggu


Frekuensi jam kerja pada perawat di rumah sakit menyatakan tingkat
kesibukan perawat jika dibandingkan dengan kehidupan sehari-harinya.
Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) berjudul Decent Work Indonesia
diungkapkan, jumlah jam kerja pekerja Indonesia rata-rata adalah 8 jam sehari dan
5 hari dalam seminggu. Artinya pekerja di Indonesia memiliki rata-rata minimum
jam kerja 40 jam per minggu. Sama halnya dengan perawat, rata-rata jam kerja
perawat dalam seminggu adalah 40 jam. Sebagian besar perawat di RS Swasta X
memiliki jam kerja lebih dari 40 jam yaitu sebesar 74%. Hasil uji statistik
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara tingkat perilaku
penerapan IPSG dengan jam kerja perawat. Berarti perawat dengan jam kerja
berapa lama pun, perilaku penerapan IPSG-nya tidak akan terpengaruh terhadap
tinggi rendahnya penerapan.

d. Gaji
Gaji merupakan imbalan finansial yang diterima karyawan (perawat)
terhadap hasil jerih payahnya selama bekerja yang diberikan secara teratur,
biasanya bulanan. Dengan imbalan yang setara dengan kinerja, semangat dan
motivasi setiap pekerja akan lebih tinggi lagi. Variabel gaji dalam penelitian ini
dikategorikan menjadi 3 yaitu kurang, cukup, dan berlebih. Sebagian besar
perawat merasa berkecukupan dalam menerima gaji, yaitu sebesar 56% dan
sisanya merasa kurang. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan yang signifikan antara tingkat perilaku penerapan IPSG dengan tingkat
kecukupan gaji perawat. Berarti perawat dengan tingkat kecukupan gaji apapun,
perilaku penerapan IPSG-nya tidak akan terpengaruh terhadap tinggi rendahnya
penerapan. Hal ini dimungkinkan karena dalam melaksanakan fungsi perawat
dalam menjalankan asuhan keperawatan, khususnya patient safety perawat lebih
menekannkan pada pelayanan yang bermutu dan tanggung jawab yang besar,
tidak semata karena imbalan. Secara rutin perawat telah menerima gaji bulanan
yang sesuai dengan standar perawat pada umumnya sehingga proporsi perawat
yang merasa cukup dalam menerima gaji sudah cukup besar. Hasil penelitian ini
sejalan dengan Utami (2011) dan Nurhasanah (2010) yang sama-sama
menyatakan bahwa imbalan tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan
perilaku patient safety.

7.2.3.2 Variabel Psikologis

Variabel psikologis pada perawat yang tidak mempengaruhi perilaku


penerapan IPSG adalah motivasi. Motivasi merupakan bagian integral dari
hubungan dalam rangka proses pembinaan, pengembangan, dan pengarahan
sumber daya manusia dalam suatu organisasi (Sinungan,2003). Motivasi kerja
memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kinerja seseorang. Seorang perawat
dengan motivasi yang tinggi akan bekerja secara maksimal dengan memanfaatkan
kemampuan dan ketrampilannya. Diharapkan perawat yang memiliki motivasi
tinggi juga memiliki penerapan IPSG yang tinggi pula. Pada RS Swasta X
tersebut, tidak diberlakukan sistem reward and punishment terhadap prestasi yang
diraih oleh perawat dalam penerapan IPSG. Perawat dengan penerapan IPSG
rendah dan tinggi diperlakukan sama.

Proporsi tingkat motivasi perawat di RS Swasta X cenderung merata


antara tinggi dan rendah dengan proporsi tinggi lebih tinggi sebesar 1,4%. Hasil
uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara
tingkat perilaku penerapan IPSG dengan tingkat motivasi perawat. Berarti perawat
dengan tingkat motivasi apapun, perilaku penerapan IPSG-nya tidak akan
terpengaruh terhadap tinggi rendahnya penerapan. Hal ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan Ariyani (2009).

Sebagian besar responden menjawab sangat setuju pada pernyataan


tentang dukungan penerapan IPSG agar masyarakat lebih percaya dengan rumah
sakit tempatnya bekerja. Sedangkan jawaban motivasi bersifat negatif yang
memiliki proporsi terendah adalah pertanyaan mengenai perawat yang tidak perlu
benar-benar memperhatikan ketentuan IPSG karena sudah mempunyai banyak
pengalaman dalam pemberian pelayanan asuhan keperawatan, sehingga
tindakannya pasti aman. Hal itu menandakan bahwa perawat yang sudah
berpengalaman tetap berusaha menerapkan IPSG secara maksimal.

7.2.3.3 Variabel Organisasi

Variabel organisasi pada perawat yang tidak mempengaruhi perilaku


penerapan IPSG adalah supervisi. Supervisi adalah melakukan pengamatan secara
langsung dan berkala oleh atasan terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh
bawahan untuk kemudian apabila ditemukan masalah segera diberikan petunjuk
dan bimbingan atau bantuan yang bersifat langsung guna mengatasinya (Gibson,
1996).

Proporsi tingkat supervisi perawat di RS Swasta X cenderung merata


antara tinggi dan rendah dengan proporsi supervisi rendah lebih besar yaitu
53,4%. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang
signifikan antara tingkat perilaku penerapan IPSG dengan tingkat supervisi pada
perawat. Berarti perawat dengan tingkat supervisi apapun, perilaku penerapan
IPSG-nya tidak akan terpengaruh terhadap tinggi rendahnya penerapan.

Perlu diperhatikan pada pertanyaan mengenai “supervisor keperawatan


benar-benar mengawasi satu per satu perawat yang bekerja, khususnya dalam
penerapan IPSG”. Terdapat beberapa responden yang menyatakan tidak setuju
sehingga membuktikan beberapa perawat merasa bahwa supervisor kurang
melaksanakan supervisinya secara lebih mendalam lagi. Pada pertanyaan
mengenai sosialisasi hasil monitoring, sebagian besar responden menjawab sering
dilakukan. Supervisor menginformasikan kepada staf hasil monitoring yang telah
dilakukan. Bila terjadi penyimpangan, supervisor akan mendiskusikan masalah
tersebut bersama dengan pihak terkait dan hasilnya dilaporkan kepada pimpinan
sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan dan tindak lanjut.
BAB VIII
PENUTUP
8.1 Kesimpulan

Proporsi perawat yang menjadi responden dalam penelitian ini terbanyak


berasal dari ward yang memberikan pelayanan umum. Mayoritas perawat
berpendidikan lulusan D3 dengan masa kerja di unit keperawatan saat ini di atas 2
tahun, masa kerja sejak lulus di atas 5 tahun, serta memiliki jenjang jabatan
senior. Jam kerja perawat sebagian besar lebih dari 40 jam dalam seminggu
dengan gaji cukup. Pelatihan patient safety yang telah diikuti dalam 5 tahun
terakhir sebagian besar lebih dari 2 kali dan telah mengikuti sosialisasi terkait
mutu RS.

Dari total 73 orang perawat sebagai responden, terdapat : 33 orang perawat


memiliki pengetahuan rendah (45,2%) dan 40 perawat memiliki pengetahuan
tinggi (54,8%); 36 orang perawat memiliki motivasi rendah (49,3%), dan 37
perawat memiliki motivasi tinggi (50,7%); 39 orang perawat mendapat supervisi
rendah (53,4%), dan 34 perawat mendapat supervisi tinggi (46,6 %); 31 orang
perawat mendapat pengaruh organisasi rendah (42,5%), dan 42 perawat mendapat
pengaruh organisasi tinggi (57,5 %).

Hasil penelitian didapatkan gambaran perilaku penerapan IPSG pada


perawat di instalasi rawat inap RS Swasta X, perawat yang memiliki tingkat
perilaku penerapan yang tinggi sebesar 54,8% dan rendah sebesar 45,2%.
Berdasarkan pembagian masing-masing goal dari standar IPSG, perawat memiliki
perilaku penerapan paling tinggi pada goal ke-5 tentang “Reduce the Risk of
Health Care-Associated Infections”, khususnya dalam hal kebersihan tangan.
Sedangkan goal pada IPSG yang memiliki proporsi paling rendah dalam
penerapan oleh perawat adalah goal 1 yaitu “Identify Patient Correctly”.

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, variabel individu yang


memiliki hubungan signifikan dengan perilaku penerapan IPSG adalah usia, status
pernikahan, lama kerja di unit, lama kerja sejak lulus pendidikan, jenjang jabatan,
frekuensi pelatihan patient safety, dan sosialisasi terkait mutu rumah sakit.
Sedangkan variabel individu yang tidak memiliki hubungan signifikan dengan
penerapan IPSG adalah ward, pendidikan, jam kerja dalam seminggu, dan gaji.

Hasil analisis didapatkan OR dari variabel umur adalah 2,7 artinya perawat
yang berumur lebih dari 30 tahun berpeluang 2,7 kali memiliki tingkat perilaku
penerapan IPSG tinggi dibanding perawat yang berumur kurang dari atau sama
dengan 30 tahun setelah dikontrol oleh variabel pengetahuan, status pernikahan,
pelatihan, dan pengaruh organisasi. Pada variabel status pernikahan, didapatkan
hasil OR sebesar 3,3 artinya perawat yang sudah menikah berpeluang 3,3 kali
memiliki tingkat perilaku penerapan IPSG tinggi dibanding perawat yang belum
menikah setelah dikontrol oleh variabel pengetahuan, umur, pelatihan, dan
pengaruh organisasi. Pada variabel lama kerja di unit saat ini, hasil analisis
diperoleh nilai OR= 3,3, artinya perawat yang lama kerja di unitnya lebih dari 2
tahun memiliki peluang 3,3 kali untuk memiliki tingkat perilaku penerapan IPSG
lebih tinggi dibanding perawat yang lama kerja di unit kurang atau sama dengan 2
tahun. Hasil analisis diperoleh nilai OR= 3,2 pada variabel lama kerja sejak lulus,
artinya perawat yang lama kerja sejak lulus lebih dari 5 tahun memiliki peluang
3,2 kali untuk memiliki tingkat perilaku penerapan IPSG lebih tinggi dibanding
perawat yang lama kerja sejak lulus kurang atau sama dengan 5 tahun.

Pada variabel jenjang jabatan, nilai OR = 3,6, artinya perawat dengan


jenjang jabatan senior memiliki peluang 3,6 kali untuk memiliki tingkat perilaku
penerapan IPSG tinggi dibanding perawat junior/madya. Hasil analisis diperoleh
nilai OR dari variabel pelatihan adalah 2,6 artinya perawat yang ikut serta dalam
pelatihan patient safety berpeluang 2,6 kali memiliki tingkat perilaku penerapan
IPSG tinggi dibanding perawat yang tidak ikut serta dalam pelatihan setelah
dikontrol oleh variabel pengetahuan, umur, status pernikahan, dan pengaruh
organisasi. Pada variabel sosialisai mutu RS, nilai OR = 5,4, artinya perawat yang
sudah mengikuti sosialisasi terkait mutu RS memiliki peluang 5,4 kali untuk
memiliki tingkat perilaku penerapan IPSG lebih tinggi dibanding perawat yang
belum mengikutinya.

Variabel organisasi yang memiliki hubungan dengan penerapan IPSG


adalah pengaruh organisasi pada perawat dengan nilai OR yaitu 2,6 artinya
perawat yang mendapat pengaruh organisasi tinggi berpeluang 2,6 kali memiliki
tingkat perilaku penerapan IPSG tinggi dibanding perawat yang mendapat
pengaruh organisasi rendah setelah dikontrol oleh variabel pengetahuan, umur,
status pernikahan, dan pelatihan. Sedangkan variabel organisasi yang tidak
berhubungan adalah supervisi.

Pada variabel psikologis, variabel yang memiliki hubungan dengan


penerapan IPSG adalah pengetahuan dengan nilai OR yaitu 7,5 artinya perawat
yang memiliki tingkat pengetahuan tinggi berpeluang 7,5 kali memiliki tingkat
perilaku penerapan IPSG tinggi dibanding perawat yang memiliki tingkat
pengetahuan rendah setelah dikontrol oleh variabel umur, status pernikahan,
pelatihan, dan pengaruh organisasi. Sedangkan variabel yang tidak berhubungan
dengan penerapan IPSG adalah motivasi.

Berdasarkan hasil analisis multivariat, variabel yang berhubungan


bermakna dengan perilaku penerapan IPSG adalah variabel pengetahuan.
Sedangkan variabel umur, status pernikahan, pelatihan, dan pengaruh organisasi
merupakan variabel konfounding.

8.2 Saran
Adapun saran yang diberikan dalam penelitian ini adalah :
1. Melakukan peningkatan pengetahuan dan ketrampilan kinerja perawat
dengan mengadakan upgrading pelatihan secara rutin dan berkesinambungan,
khususnya pada IPSG goal ke-1. Setiap kali ada pelatihan tentang patient
safety harus dilakukan pretest dan post test agar dapat dimonitor seberapa
jauh perkembangan pengetahuan individu tentang patient safety.
2. Memberikan perhatian khusus pada perawat yang berusia muda (< 30 tahun),
khususnya yang belum menikah, misalnya dengan diberikan pengawasan dan
bimbingan langsung oleh supervisor.
3. Membuat kebijakan organisasi dengan memberlakukan sistem punish and
reward kepada perawat sesuai dengan kinerjanya, misalnya perawat yang
memiliki penerapan IPSG yang tinggi serta konsisten dalam penerapannya
diberikan reward berupa pemberian bonus, peluang promosi jabatan, dan
kesempatan belajar ke jenjang lebih tinggi lagi.
123

Daftar Pustaka

Aditama, Tjandra Yoga. 2000. Manajemen Administrasi Rumah Sakit. Jakarta :


Universitas Indonesia (UI Press). ISBN: 979-456-203-3

Anwar, Asrul. 1996. Pengantar Administrasi Kesehatan. Edisi 3. Jakarta : Bina


Rupa Aksara.

Ariyani. 2009. Analisis Pengetahuan dan Motivasi Perawat yang Mempengaruhi


Sikap Mendukung Penerapan Program Patient Safety di Instalasi
Perawatan Intensif RSUD Dr. Moewardi Surakarta Tahun 2008. Tesis.
Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro.
http://eprints.undip.ac.id/16529/1/Ariyani.pdf, diakses tanggal 23
Agustus 2011 pukul 12.30

Besral, 2011. Perhitungan Besar Sampel. Departemen Biostatistika Fakultas


Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Departeman Kesehatan RI KKP RS. 2006. Panduan Nasional Keselamatan


Pasien Rumah Sakit (Patient Safety).

Departeman Kesehatan RI KKP RS. 2008. Panduan Nasional Keselamatan


Pasien Rumah Sakit (Patient Safety) Edisi 2.

Departemen Kesehatan RI Pusat Sarana, Prasarana, dan Peralatan Kesehatan.


2006. Pedoman Teknis Sarana dan Prasarana Bangunan Instalasi
Rawat Inap (Umum).

Departemen QMR. Newsletter Update JCI@RSIB Edisi 1 (Maret – April 2010).

Departemen QMR. Newsletter Update JCI@RSIB Edisi 3 (Oktober-November


2010).

Dewi, Gusti Kumala. 2010. Hubungan Antara Pengetahuan dengan Sikap Patient
Safety Perawat Instalasi Rawat Inap di RS Bhayangkara Tingkat I
Raden Said Sukanto Tahun 2010. Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia.

Universitas Indonesia
Faktor-faktor yang mempengaruhi..., Shelly Aprilia, FKM UI, 2011
Effendy, Ferry dan Makhfudli. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas (Teori
dan Praktik dalam Keperawatan). Jakarta : Salemba Medika. ISBN :
978-979-3027-94-4

Effendy, Nasrul Drs,. 1998. Dasar-Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat.


Edisi 2. Jakarta : EGC. ISBN : 979-448-408-3

Gibson, JK, et al. 1996. Perilaku-Struktur-Proses, Jilid I Edisi Kedelapan. Adiami


N (Alih Bahasa). Jakarta : Bina Rupa Aksara.

Hafizzurachman. 2008. Manajemen Mutu RS. Depok : Fakultas Kesehatan


Masyarakat Universitas Indonesia

Hamid, A.Y.S., 2001. Peran Profesi Keperawatan Dalam Meningkatkan Tangung


Jawab Perawat Untuk Memberikan Asuhan Keperawatan Profesional
Sehubungan Dengan Undang-Undang Konsumen. 005/BS/PPNI

Hastono, Sutanto Priyo. 2006. Analisis Data. Fakultas Kesehatan Masyarakat


Universitas Indonesia.

K, Jernigan D. P, Young A. 1983. Standars Job Descriptions and Performance


Evaluation for Nursing Practice Connecticut : Pretice Hall.

John R Griffith. 1987. The Well-Managed Community Hospital. Michigan: Health


Administration Press.

Joint Commission International. 2010. Joint Commission International


Accreditation Standards for Hospitals. 4th Edition. USA. ISBN : 978-1-
59940-434-9

Joint Commission International. 2007. Meeting the International Patient Safety


Goals. ISBN: 978-1-59940-158-4

Lemeshow, S. & David W.H.Jr, 1997. Besar Sampel dalam Penelitian Kesehatan
(terjemahan). Yogyakarta : Gadjahmada University Press.

Lilipaly, Angela G., Dr. 2011. JCI Compliance Standard. Shared from JCI
Getting Starter & Practicum by QMR RSPB.
Maulana. Heri D.J. 2009. Promosi Kesehatan. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
ISBN : 978-979-448-959-8

Mulyadi, B. 1997. Akreditasi Rumah Sakit di Indonesia. Direktorat Jenderal


Pelayanan Medis. Departemen Kesehatan. Makalah Bebas.

Notoadmodjo, Soekidjo. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta :


Rineka Cipta.

Nurhasanah. 2010. Analisis Hubungan Karakteristik Individu, Organisasi, dan


Budaya dengan Perilaku Patient Safety pada Perawat di RS Tria Dipa
Jakarta Tahun 2010. Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia.

Padmowihardjo, S. 1994. Psikologi Belajar Mengajar. Modul 1 – 6. Jakarta :


Universitas Terbuka

Purwanto H. 2005. Pengantar Perilaku Manusia. EGC. Jakarta.

Robbins, Stephen P. and Mary Coulter. 2007. Manajemen. Edisi ke-8. Jakarta. PT
Indeks.

Sinungan, Muchdarsyah Drs,. 2003. Produktivitas Apa dan Bagaimana. Edisi 2.


Jakarta : Bumi Aksara. ISBN 979-526-099-5

SOP Unit QMR RS Swasta X, diakses tanggal 4 Juli 2011, pukul 10.00.

SOP Unit Keperawatan RS Swasta X, diakses tanggal 7 Juli 2011, pukul 14.00.

Sunaryo, Drs. M.Kes. 2004. Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta : Penerbit


Buku Kedokteran EGC. ISBN : 979-448-662-0

Swastha, Basu. 1996. Azas-Azas Manajemen Modern. Yogyakarta : Liberty.

Utami, Mundi Silo. 2011. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku


Patient Safety pada Perawat Unit rawat Inap RS Tugu Ibu Depok Tahun
2011. Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Willan JA. 1990. Hospital Management. London : MacMillan Education Ltd.


Wolff, Lu Verne et al. 1984. Dasar-Dasar Ilmu Keperawatan. Jakarta: PT
Gunung Agung

World Health Organization. 2005. World Alliance for Patient Safety, Global
Patient Safety Challenge 2005-2006: Clean Care is Safer Care. Geneva:
World Health Organization.

Peraturan :

Keputusan Menteri Kesehatan RI No: 983/Menkes/SK/XI/1992

Peraturan Menkes RI Nomor 340/Menkes/PER/III/2010


Lampiran 1. Struktur Organisasi RS Swasta X

President Direktur*
President Director AHI

Direktur
Konsultan Klinik* Clinical Consultant AHI
GroupAHI
Group Finance* Manager Tax* Manager
Group
AHI HR* Manager AHI Group IT* Manager
Group AHI
Purchasing* Manager AHI

KomiteManajer Manajer Pelayanan dan Penunjang Manajer


SDM Pelayan- an
Medis
Manajer Manajer
UmumPemasaran
Manajer Keperawatan
Manajer Mutu (QMR)
MedikKeuangan dan Administrasi

Komite Etik Komite Mutu Komite Perinaristi Komite K3 Komite Komite Komite Koordinator Koordinator
KPRS PPI Keperawatan IT Pengelolaan

Material
Ket : * Staff Corporate

Faktor-faktor yang mempengaruhi..., Shelly Aprilia, FKM UI, 2011


Lampiran 2. Kuesioner Uji Validitas dan Reliabilitas

KUESIONER PENELITIAN
Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Perawat dalam Penerapan IPSG
(International Patient Safety Goal) pada Akreditasi JCI (Joint Commission
International) di
Instalasi Rawat Inap RS Swasta Tahun 2011

Kode :
Ward :
Tanggal diisi : Pukul :
IDENTITAS INFORMAN
Nama
Usia Tahun
Jenis Kelamin
□ Perempuan □ Laki-Laki
Status Pernikahan
□ Menikah □ Belum Menikah □ Janda/Duda
Pendidikan Terakhir
□ Diploma III □ Master (S2)
□ S1 Ilmu Keperawatan □ Lain-lain, sebutkan
□ Ners (S1 profesi)
Masa Kerja Sejak Pertama Kali □ < 1 tahun □ 11-15 tahun
Lulus
□ 1 - 5 tahun □ 16-20 tahun
□ 6 - 10 tahun □ > 20 tahun

Masa Kerja di Unit Keperawatan □ < 1 tahun □ 11-15 tahun


RS Premier Bintaro (Ward)
□ 1 - 5 tahun □ 16-20 tahun
□ 6 - 10 tahun □ > 20 tahun

Jam kerja di RS (dalam □ < 20 jam □ 60 - 79 jam


seminggu)
□ 20 – 39 jam □ 80 – 99 jam
□ 40 – 59 jam □ > 100 jam
Jenjang jabatan □ Junior □ Madya □ Senior
Jumlah pelatihan patient safety yang saat ini telah diikuti :
1. Wajib RS
Sebutkan

Faktor-faktor yang mempengaruhi..., Shelly Aprilia, FKM UI, 2011


2. Di luar kewajiban RS
Sebutkan

PENGETAHUAN INFORMAN
A. Petunjuk pengisian :
Berilah jawaban pada pertanyaan di bawah ini dengan memberi tanda ( ) pada jawaban yang menurut
Anda benar.
Tidak menutup kemungkinan satu pertanyaan memiliki jawaban lebih dari satu.
No Pertanyaan
1 Identifikasi pasien dilakukan saat ....................
□ Pemberian □ Hendak ke toilet □ Pemberian obat □ Pasien hendak tidur
perawatan
2 Yang perlu dilakukan saat menerima instruksi hasil tes penunjang klinis adalah kecuali
.....................
□ Read back □ Tulis instruksi □ Tulis "read back +" □ Verifikasi oleh
dengan lengkap pada integrated note pemberi instruksi dalam
dengan tinta biru. waktu 2 x 24 jam.
3 Pemberian obat kepada pasien dilakukan dengan prinsip ...............
□ 7 Benar 1 □ 6 Benar 1 □ 5 Benar 1 □ 4 Benar 1
Dokumentasi Dokumentasi Dokumentasi Dokumentasi
4 Yang tidak perlu di-check saat sebelum pemberian tranfusi darah adalah ................
□ Skor nyeri □ Suhu udara □ Instruksi dokter □ Pernafasan pasien
5 Patient safety rumah sakit adalah suatu sistem di mana rumah sakit membuat asuhan
pasien lebih aman. Sistem tersebut meliputi, kecuali .................
□ Asesmen resiko □ Kemampuan □ Pelaporan dan □ Implementasi solusi
belajar dari insiden analisis insiden untuk meminimalkan
dan tindak lanjutnya timbulnya resiko
6 Cuci tangan perlu dilakukan saat, kecuali................
□ sebelum menyentuh □ setelah melakukan □ setelah menyentuh □ setelah menyentuh
pasien tindakan - tindakan daerah sekitar pasien keluarga pasien
invasive
7 Pengkajian resiko pasien jatuh dengan form dilakukan saat ...........
□ Pasien mengalami □ Angka Kejadian Tak □ Pasien masuk □ Ada instruksi dari

Faktor-faktor yang mempengaruhi..., Shelly Aprilia, FKM UI, 2011


cedera akibat jatuh Diharapkan (KTD) rawat inap dokter
meningkat
8 Bila tidak ada perubahan pada perawatan pasien, pengkajian ulang risiko jatuh dilakukan setiap
........... hari sekali.
□2 □3 □4 □5
9 Yang tidak dilakukan terhadap pasien dengan risiko jatuh level 2 adalah .......
□ Letakkan papan □ Pasang gelang □ Pasang pagar □ Observasi oleh
resiko jatuh pada berwarna merah pengaman tempat perawat setiap 5 jam
meja pasien tidur sekali.
B. Petunjuk pengisian :
Berilah jawaban pada pertanyaan di bawah ini dengan memberi tanda ( ) pada jawaban yang benar atau
salah.
No Pertanyaan Benar Salah
1 IPSG mewajibkan penggunaan gelang tangan untuk identifikasi.
2 Nama pasien, tanggal lahir, nomor rekam medis dan nomor ruangan dapat
dipakai untuk identifikasi pasien.
3 Menginformasikan kondisi pasien serta program yang telah dan akan
dilakukan dari satu shift ke shift berikutnya tidak perlu dilakukan.
4 Perawat harus menjelaskan tujuan, manfaat dan kemungkinan resiko kepada
pasien sebelum melakukan tindakan.
5 Instruksi baik secara verbal maupun telepon wajib dibacakan kembali oleh
penerima instruksi.
6 Mengulang kembali instruksi tersebut sudah cukup menjamin bahwa
instruksi sudah benar-benar jelas dimengerti.
7 Antikoagulan intravena (heparin) merupakan salah satu obat beresiko tinggi
yang disimpan terpisah dan diberi label berwarna merah.
8 Konsentrat elektrolit yang disimpan di unit perawatan pasien dengan jelas
diberi label dan diletakkan di dekat pasien agar mudah dijangkau.
9 Pemberian obat yang berisiko tinggi seharusnya dilakukan dengan infusion /
syringe pump.
10 Penggunaan sarung tangan menyebabkan tidak adanya keharusan perawat
untuk mencuci tangan terlebih dahulu.
11 Pengkajian ulang risiko jatuh pada pasien yang pindah dari unit satu ke unit
lainnya wajib dilakukan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi..., Shelly Aprilia, FKM UI, 2011


MOTIVASI INFORMAN
Petunjuk pengisian :
Berilah jawaban pertanyaan berikut sesuai dengan pendapat anda, dengan cara memberi tanda ( ) pada
kolom yang tersedia.
Pilihan jawaban Nilai 1 = Sangat tidak setuju
Nilai 2 = Tidak setuju
Nilai 3 = Ragu-ragu
Nilai 4 = Setuju
Nilai 5 = Sangat Setuju
NILAI
No VARIABEL 1 2 3 4 5
1 Keberhasilan patient safety di rumah sakit turut dirasakan sebagai
keberhasilan saya juga.
2 Saya akan mendukung penerapan IPSG agar masyarakat lebih percaya
dengan Rumah Sakit tempat saya bekerja.
3 Saya menerapkan IPSG karena sebelumnya banyak kasus patient safety
yang menyebabkan adanya komplain dari pasien.
4 Saya mendukung penerapan IPSG karena mempengaruhi kesejahteraan
saya.
5 Kondisi dan keadaan pasien tertentu menyebabkan saya tidak melakukan
identifikasi pasien yang seharusnya dilakukan.
6 Menurut saya kegiatan read back dalam menerima instruksi benar-benar
wajib dilakukan pada instruksi yang sifatnya penting dan mendesak.
7 Saya mendukung penerapan IPSG karena perawat yang lain juga
mendukung IPSG.
8 Saya tidak perlu benar-benar memperhatikan ketentuan IPSG karena saya
sudah mempunyai banyak pengalaman dalam pemberian
pelayanan asuhan keperawatan, sehingga tindakan saya dipastikan
aman.
9 Saya tidak terdorong menerapkan IPSG karena tidak mempengaruhi
perubahan pada jenjang karier saya sebagai perawat saat ini.
10 Ketersediaan sarana dan prasarana yang mendukung penerapan IPSG
membuat saya semakin giat dalam melaksanakannya.
11 Adanya pengawasan dari atasan menyebabkan saya semakin giat dalam
menerapkan IPSG.
12 Penerapan IPSG saat pemberian asuhan keperawatan menghindarkan saya

Faktor-faktor yang mempengaruhi..., Shelly Aprilia, FKM UI, 2011


dari tuntutan terhadap resiko kerugian yang menimpa pasien.
13 Dengan atau tanpa dukungan, saya tetap menerapkan IPSG dalam
pekerjaan sehari-hari saya.
14 Meskipun dalam keadaan lelah dan kurang bersemangat, saya selalu
menerapkan IPSG dalam pekerjaan sehari-hari saya.

SUPERVISI
Petunjuk pengisian :
Berilah jawaban pertanyaan berikut sesuai dengan pendapat anda, dengan cara memberi tanda ( ) pada
kolom yang tersedia.
Keterangan : TD = Tidak dilakukan
KD = Kadang dilakukan
SD = Sering dilakukan
SSD = Sangat sering dilakukan
No Pertanyaan TD KD SD SSD
1 Supervisor keperawatan melakukan kegiatan supervisi dalam penerapan
IPSG setiap hari.
2 Supervisor mau mendengarkan keluhan dan kesulitan stafnya.
3 Supervisor keperawatan benar-benar mengawasi satu per satu perawat
yang bekerja, khususnya dalam penerapan IPSG.
4 Bila terjadi kesalahan dalam penerapan IPSG akan ditindaklanjuti dan
diberikan bimbingan, teguran serta diberikan umpan balik.
5 Kegiatan monitoring yang dilakukan unit QMR (Quality Management
Representative) RS pada unit keperawatan dilaksanakan secara rutin
sesuai jadwal yang direncanakan.
6 Hasil kegiatan monitoring dan evaluasi disosialisasikan ke semua ruang
rawat inap.
7 Penghargaan diberikan oleh supervisor kepada perawat yang mampu
menjalankan tugasnya dengan baik, khususnya dalam penerapan IPSG.
8 Adanya pertemuan rutin oleh tim supervisor keperawatan yang
membahas kasus-kasus keperawatan, khususnya dalam penerapan IPSG.
9 Setiap pemecahan masalah berdasarkan kasus yang terjadi selalu
dilaksanakan sehingga kasus tidak terulang kembali.
PENGARUH ORGANISASI
Petunjuk pengisian :
Berilah jawaban pertanyaan berikut sesuai dengan pendapat anda, dengan cara memberi tanda ( ) pada

Faktor-faktor yang mempengaruhi..., Shelly Aprilia, FKM UI, 2011


kolom yang tersedia.
Pilihan jawaban Nilai 1 = Sangat tidak setuju
Nilai 2 = Tidak setuju
Nilai 3 = Ragu-ragu
Nilai 4 = Setuju
Nilai 5 = Sangat Setuju
NILAI
No VARIABEL 1 2 3 4 5
1 Manajemen RS baru peduli terhadap keselamatan pasien jika terjadi
KTD (Kejadian Tidak Diharapkan).
2 Struktur organisasi menyebabkan birokrasi yang berbelit.
3 Saya seringkali merasa tidak nyaman bila harus bekerja sama
dengan staf unit lain di RS ini.
4 Masalah sering terjadi saat pemindahan pasien dari unit satu ke unit
lain.
5 Masalah sering terjadi saat pergantian shift dari satu perawat ke
perawat lain.
6 Kebijakan RS mendukung saya melaksanakan pekerjaan secara
optimal.
7 Ada batasan wewenang dan uraian tugas yang jelas sesuai dengan
struktur organisasi.
8 Unit-unit di RS bekerja sama dengan baik untuk memberikan
pelayanan yang terbaik bagi pasien.

PERILAKU PENERAPAN IPSG


Petunjuk pengisian :
Berilah jawaban pertanyaan berikut sesuai dengan keadaan diri anda, dengan cara memberi tanda ( )
pada kolom yang tersedia.
Keterangan : TD = Tidak dilakukan
KD = Kadang dilakukan
SD = Sering dilakukan
SSD = Sangat sering dilakukan
No Pertanyaan TD KD SD SSD
1 Saya selalu menggunakan minimal 2 cara identifikasi pada setiap pasien.
2 Identifikasi pasien selalu saya lakukan saat sebelum melakukan
pemberian obat, darah, maupun produk dari darah lainnya.
3 Sebelum pemberian obat, saya selalu sudah mengetahui jenis obat,
khasiat, efek samping, kontra indikasi, dosis umum, dan cara
pemberian obat.
4 Saya selalu menjelaskan kepada pasien mengenai jenis obat, khasiat,
efek samping, kontra indikasi, dosis umum, dan cara pemberian

Faktor-faktor yang mempengaruhi..., Shelly Aprilia, FKM UI, 2011


obat.
5 Identifikasi pasien selalu saya lakukan saat sebelum melakukan
pengambilan darah dan spesimen lain untuk uji klinis.
6 Saat pemberian transfusi darah, saya selalu melakukan double
check dengan perawat lain.
7 Sebelum dan sesudah transfusi darah, saya selalu melakukan cek tanda
vital pada pasien.
8 Setiap kondisi pasien baik sebelum maupun sesudah tindakan, saya
selalu dokumentasikan pada lembar grafik observasi dan catatan
perkembangan terintegrasi.
9 Saya selalu memperkenalkan perawat pengganti kepada pasien pada saat
operan tugas.
10 Saya selalu memberikan penjelasan tentang asuhan keperawatan kepada
keluarga pasien.
11 Saya selalu mempercayakan keluarga pasien untuk mengawasi
kelancaran tetesan infus.
12 Saya selalu menulis instruksi yang saya terima secara verbal maupun
telepon.
13 Saya selalu membacakan kembali instruksi yang telah diterima dan
ditulis tersebut.
14 Jika instruksi sudah saya bacakan kembali, saya selalu memberi
tanda “read back +” pada catatan perkembangan terintegrasi.
15 Hasil read back tersebut selalu ditandatangani oleh pemberi instruksi
dalam waktu 1 x 24 jam setelah instruksi diberikan.
16 Jika menerima instruksi mengenai obat, saya selalu menulisnya di kolom
khusus untuk “instruksi obat via telepon” di halaman terakhir dari Daftar
Obat.
17 Saya selalu melakukan prosedur pemberian obat kepada pasien sesuai
dengan SOP yang telah ditentukan rumah sakit.
18 Saya selalu melakukan verifikasi terhadap konsentrasi obat yang
diberikan kepada pasien.
19 Kecepatan pemberian obat dengan resiko tinggi selalu saya monitor
dengan ketat.
20 Penyimpanan obat yang berisiko tinggi selalu dilakukan terpisah
dan diberi label berwarna merah.

Faktor-faktor yang mempengaruhi..., Shelly Aprilia, FKM UI, 2011


21 Konsentrat elektrolit yang disimpan di unit perawatan pasien
dengan jelas selalu diberi label dan disimpan dalam lemari
terkunci.
22 Saya selalu melaksanakan pedoman kebersihan tangan yang telah
dipublikasikan dan diterima secara umum.
23 Sebelum dan sesudah menyentuh pasien, saya selalu mencuci
tangan.
24 Sebelum dan sesudah melakukan tindakan aseptik saya selalu
mencuci tangan.
25 Sebelum dan sesudah terkontaminasi dengan cairan tubuh pasien
saya selalu mencuci tangan.
26 Setelah menyentuh daerah sekitar pasien saya selalu mencuci
tangan.
27 Setiap pasien yang baru masuk rawat inap saya selalu kaji dengan form
pengkajian pasien resiko jatuh.
28 Pengkajian ulang saya lakukan setiap 3 hari sekali jika tidak ada
perubahan pada pasien.
29 Pengkajian ulang selalu saya lakukan jika pasien mendapatkan
medikasi baru yang dapat berisiko pasien jatuh.
30 Pengkajian ulang selalu saya lakukan jika pasien pasca mendapat
tindakan atau prosedur yang mengurangi mobilitas pasien.
31 Pengkajian ulang selalu saya lakukan jika tingkat kesadaran atau
kondisi klinis pasien berubah.
32 Pengkajian ulang selalu saya lakukan jika ada pasien yang baru
dipindahkan ke unit satu ke unit lainnya.
33 Tindakan terhadap pasien resiko jatuh dilakukan berdasarkan
tingkat/level resiko jatuh hasil dari pengkajian pasien resiko jatuh
tersebut.
34 Saya selalu melakukan observasi tiap 2-3 jam sekali pada pasien
dengan resiko jatuh tinggi.
35 Sebelum meninggalkan pasien, saya selalu memastikan lingkungan
pasien aman (rem tempat tidur terkunci, pagar tempat tidur
terpasang, lantai tidak basah, penerangan cukup).
TERIMAKASIH 

Faktor-faktor yang mempengaruhi..., Shelly Aprilia, FKM UI, 2011


Lampiran 3. Kuesioner Akhir

KUESIONER PENELITIAN

Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Perawat dalam Penerapan IPSG (International Patient
Safety Goal) pada Akreditasi JCI (Joint Commission International) di Instalasi Rawat Inap
RS Premier Bintaro Tahun 2011

No. Kuesioner : (*diisi petugas)


Ward :
Tanggal diisi : Shift : Pukul :

IDENTITAS INFORMAN

Usia .................. Tahun

Jenis Kelamin
□ Perempuan □ Laki-Laki
Status Pernikahan
□ Menikah □ Belum Menikah □ Janda/Duda
Pendidikan Terakhir
□ Diploma III □ Master (S2)
□ S1 Ilmu Keperawatan □ Lain-lain, sebutkan
□ Ners (S1 profesi)

Lama Kerja :

1. Di Unit Keperawatan (Ward) saat ini .............. TahunBulan


2. Sejak Pertama Kali Lulus Pendidikan .............. Tahun .............. Bulan
Jam kerja di RS (dalam □ < 20 jam □ 40 – 59 jam □ > 80 jam
seminggu)
□ 20 – 39 jam □ 60 - 79 jam
Jenjang jabatan perawat □ Junior □ Madya □ Senior
Gaji/imbalan/kompensasi □ Kurang □ Cukup □ Lebih dari cukup
Pelatihan/seminar terkait □ INOK....................................kali
Patient Safety yang pernah □ Hand Hygiene........................kali
diikuti : □ Pemberian Obat......................kali
(dalam 5 tahun terakhir) □ Komunikasi SBAR.................kali

(jawaban boleh lebih dari 1) □ Lainnya, sebutkan .......................................,.....................kali

Faktor-faktor yang mempengaruhi..., Shelly Aprilia, FKM UI, 2011


Sosialisasi terkait mutu RS □ Akreditasi KARS...................kali
yang pernah diikuti : □ ISO........................................kali
(dalam 5 tahun terakhir) □ JCI..........................................kali
(jawaban boleh lebih dari 1) □ Lainnya, sebutkan .......................................,.....................kali

PENGETAHUAN INFORMAN
A. Petunjuk pengisian :
Berilah jawaban pada pertanyaan di bawah ini dengan memberi tanda ( ) pada jawaban yang benar.
Tidak menutup kemungkinan satu pertanyaan memiliki jawaban lebih dari satu atau bahkan
tidak memiliki jawaban sama sekali.
No Pertanyaan
1 Identifikasi pasien dilakukan saat ....................
□ Pemberian □ Hendak ke toilet □ Pemberian obat □ Pasien hendak tidur
perawatan
2 Yang perlu dilakukan saat menerima instruksi hasil tes penunjang klinis adalah kecuali ..................
□ Read back □ Tulis instruksi □ Tulis "read back +" □ Verifikasi oleh
dengan lengkap pada integrated note pemberi instruksi dalam
dengan tinta biru. waktu 2 x 24 jam.
3 Pemberian obat kepada pasien dilakukan dengan prinsip ......
□ 7 Benar 1 □ 6 Benar 1 □ 5 Benar 1 □ 4 Benar 1
Dokumentasi Dokumentasi Dokumentasi Dokumentasi
4 Yang tidak perlu di-check saat sebelum pemberian tranfusi darah adalah ................
□ Skor nyeri □ Suhu udara □ Instruksi dokter □ Pernafasan pasien
5 Patient safety rumah sakit adalah suatu sistem di mana rumah sakit membuat asuhan
pasien lebih aman. Sistem tersebut meliputi, kecuali .................
□ Asesmen resiko □ Kemampuan □ Pelaporan dan □ Implementasi solusi
belajar dari insiden analisis insiden untuk meminimalkan
dan tindak lanjutnya timbulnya resiko
6 Cuci tangan perlu dilakukan saat, kecuali................
□ sebelum menyentuh □ setelah melakukan □ setelah menyentuh □ setelah menyentuh
pasien tindakan invasive daerah sekitar pasien keluarga pasien
7 Pengkajian resiko pasien jatuh dengan form dilakukan saat ...........
□ Pasien mengalami □ Angka Kejadian Tak □ Pasien masuk □ Ada instruksi dari
cedera akibat jatuh Diharapkan (KTD) rawat inap dokter
meningkat
8 Bila tidak ada perubahan pada perawatan pasien, pengkajian ulang risiko jatuh dilakukan setiap

Faktor-faktor yang mempengaruhi..., Shelly Aprilia, FKM UI, 2011


........... hari sekali.
□2 □3 □4 □5
9 Yang tidak dilakukan terhadap pasien dengan risiko jatuh level 2 adalah .......
□ Letakkan papan □ Pasang gelang □ Pasang pagar □ Observasi oleh
resiko jatuh pada berwarna merah pengaman tempat perawat setiap 5 jam
meja pasien tidur sekali.
B. Petunjuk pengisian :
Berilah jawaban pada pertanyaan di bawah ini dengan memberi tanda ( ) pada kolom yang sesuai.
No Pertanyaan Benar Salah
1 Nama pasien, tanggal lahir, nomor rekam medis dan nomor ruangan dapat
dipakai untuk identifikasi pasien.
2 Menginformasikan kondisi pasien serta program yang telah dan akan
dilakukan dari satu shift ke shift berikutnya tidak perlu dilakukan.
3 Mengulang kembali instruksi tersebut sudah cukup menjamin bahwa
instruksi sudah benar-benar jelas dimengerti.
4 Antikoagulan intravena (heparin) merupakan salah satu obat beresiko tinggi
yang disimpan terpisah dan diberi label berwarna merah.
5 Konsentrat elektrolit yang disimpan di unit perawatan pasien dengan jelas
diberi label dan diletakkan di dekat pasien agar mudah dijangkau.
6 Pemberian obat yang berisiko tinggi seharusnya dilakukan dengan infusion /
syringe pump.
7 Penggunaan sarung tangan menyebabkan tidak adanya keharusan perawat
untuk mencuci tangan terlebih dahulu.
8 Pengkajian ulang risiko jatuh pada pasien yang pindah dari unit satu ke unit
lainnya wajib dilakukan.
MOTIVASI INFORMAN
Petunjuk pengisian :
Berilah jawaban pertanyaan berikut sesuai dengan pendapat anda, dengan cara memberi tanda ( ) pada
kolom yang tersedia.
Pilihan jawaban Nilai 1 = Sangat tidak setuju
Nilai 2 = Tidak setuju
Nilai 3 = Ragu-ragu
Nilai 4 = Setuju
Nilai 5 = Sangat Setuju
NILAI
No VARIABEL 1 2 3 4 5
1 Saya akan mendukung penerapan IPSG agar masyarakat lebih percaya
dengan Rumah Sakit tempat saya bekerja.
2 Saya menerapkan IPSG karena sebelumnya banyak kasus patient safety

Faktor-faktor yang mempengaruhi..., Shelly Aprilia, FKM UI, 2011


yang menyebabkan adanya komplain dari pasien.
3 Saya mendukung penerapan IPSG karena mempengaruhi kesejahteraan
saya.
4 Kondisi dan keadaan pasien tertentu menyebabkan saya tidak melakukan
identifikasi pasien yang seharusnya dilakukan.
5 Kegiatan read back dalam menerima instruksi wajib dilakukan hanya
pada instruksi yang sifatnya penting dan mendesak.
6 Saya mendukung penerapan IPSG karena perawat yang lain juga
mendukung IPSG.
7 Saya tidak perlu benar-benar memperhatikan ketentuan IPSG karena saya
sudah mempunyai banyak pengalaman dalam pemberian
pelayanan asuhan keperawatan, sehingga tindakan saya pasti aman.
8 Saya tidak terdorong menerapkan IPSG karena tidak mempengaruhi
perubahan pada jenjang karir saya sebagai perawat saat ini.
9 Ketersediaan sarana dan prasarana yang mendukung penerapan IPSG
membuat saya semakin giat dalam melaksanakannya.
10 Adanya pengawasan dari atasan menyebabkan saya semakin giat dalam
menerapkan IPSG.
11 Penerapan IPSG saat pemberian asuhan keperawatan menghindarkan saya
dari tuntutan terhadap resiko kerugian yang menimpa pasien.
12 Dengan atau tanpa dukungan, saya tetap menerapkan IPSG dalam
pekerjaan sehari-hari saya.

SUPERVISI
Petunjuk pengisian :
Berilah jawaban pertanyaan berikut sesuai dengan pendapat anda, dengan cara memberi tanda ( ) pada
kolom yang tersedia.
Keterangan : TD = Tidak dilakukan
KD = Kadang dilakukan
SD = Sering dilakukan
SSD = Sangat sering dilakukan
No Pertanyaan TD KD SD SSD
1 Supervisor mendengar dan mempertimbangkan sungguh-sungguh
masukan dari staf untuk meningkatkan keselamatan pasien.
2 Supervisor mau mendengarkan keluhan dan kesulitan stafnya.
3 Supervisor keperawatan benar-benar mengawasi satu per satu perawat
yang bekerja, khususnya dalam penerapan IPSG.
4 Bila terjadi kesalahan dalam penerapan IPSG akan ditindaklanjuti dan
diberikan bimbingan, teguran serta diberikan umpan balik oleh
supervisor.

Faktor-faktor yang mempengaruhi..., Shelly Aprilia, FKM UI, 2011


5 Kegiatan monitoring yang dilakukan unit QMR (Quality Management
Representative) RS pada unit keperawatan dilaksanakan secara rutin
sesuai jadwal yang direncanakan.
6 Hasil kegiatan monitoring dan evaluasi disosialisasikan ke semua ruang
rawat inap.
7 Penghargaan diberikan oleh supervisor kepada perawat yang mampu
menjalankan tugasnya dengan baik, khususnya dalam penerapan IPSG.
8 Adanya pertemuan rutin oleh tim supervisor keperawatan yang
membahas kasus-kasus keperawatan, khususnya dalam penerapan IPSG.
9 Setiap pemecahan masalah berdasarkan kasus yang terjadi selalu
dilaksanakan sehingga kasus tidak terulang kembali.

PENGARUH ORGANISASI
Petunjuk pengisian :
Berilah jawaban pertanyaan berikut sesuai dengan pendapat anda, dengan cara memberi tanda ( ) pada
kolom yang tersedia.
Pilihan jawaban Nilai 1 = Sangat tidak setuju
Nilai 2 = Tidak setuju
Nilai 3 = Ragu-ragu
Nilai 4 = Setuju
Nilai 5 = Sangat Setuju
NILAI
No VARIABEL 1 2 3 4 5
1 Manajemen RS baru peduli terhadap keselamatan pasien jika terjadi
KTD (Kejadian Tidak Diharapkan).
2 Struktur organisasi menyebabkan birokrasi yang berbelit.
3 Saya seringkali merasa tidak nyaman bila harus bekerja sama
dengan staf unit lain di RS ini.
4 Masalah sering terjadi saat pemindahan pasien dari unit satu ke unit
lain.
5 Kebijakan RS mendukung saya melaksanakan pekerjaan secara
optimal.
6 Ada batasan wewenang dan uraian tugas yang jelas sesuai dengan
struktur organisasi.
7 Unit-unit di RS bekerja sama dengan baik untuk memberikan
pelayanan yang terbaik bagi pasien.

Faktor-faktor yang mempengaruhi..., Shelly Aprilia, FKM UI, 2011


PERILAKU PENERAPAN IPSG
Petunjuk pengisian :
Berilah jawaban pertanyaan berikut sesuai dengan keadaan diri anda, dengan cara memberi tanda ( )
pada kolom yang tersedia.
Keterangan : TD = Tidak dilakukan
KD = Kadang dilakukan
SD = Sering dilakukan
SSD = Sangat sering dilakukan

No Pertanyaan TD KD SD SSD
1 Saya selalu menggunakan minimal 2 cara identifikasi pada setiap pasien.
2 Identifikasi pasien selalu saya lakukan saat sebelum melakukan
pemberian obat, darah, maupun produk dari darah lainnya.
3 Sebelum pemberian obat, saya selalu sudah mengetahui jenis obat,
khasiat, efek samping, kontra indikasi, dosis umum, dan cara
pemberian obat.
4 Saya selalu menjelaskan kepada pasien mengenai jenis obat, khasiat,
efek samping, kontra indikasi, dosis umum, dan cara pemberian
obat.
5 Identifikasi pasien selalu saya lakukan saat sebelum melakukan
pengambilan darah dan spesimen lain untuk uji klinis.
6 Saat pemberian transfusi darah, saya selalu melakukan double
check dengan perawat lain.
7 Sebelum dan sesudah transfusi darah, saya selalu melakukan cek tanda
vital pada pasien.
8 Setiap kondisi pasien baik sebelum maupun sesudah tindakan, saya
selalu dokumentasikan pada lembar grafik observasi dan catatan
perkembangan terintegrasi.
9 Saya selalu memperkenalkan perawat pengganti kepada pasien pada saat
operan tugas.
10 Saya selalu memberikan penjelasan tentang asuhan keperawatan kepada
keluarga pasien.
11 Saya selalu mempercayakan keluarga pasien untuk mengawasi
kelancaran tetesan infus.
12 Saya selalu menulis instruksi yang saya terima secara verbal maupun
telepon.
13 Saya selalu membacakan kembali instruksi yang telah diterima dan

Faktor-faktor yang mempengaruhi..., Shelly Aprilia, FKM UI, 2011


ditulis tersebut.
14 Jika instruksi sudah saya bacakan kembali, saya selalu memberi
tanda “read back +” pada catatan perkembangan terintegrasi.
15 Hasil read back tersebut selalu ditandatangani oleh pemberi instruksi
dalam waktu 1 x 24 jam setelah instruksi diberikan.
16 Jika menerima instruksi mengenai obat, saya selalu menulisnya di kolom
khusus untuk “instruksi obat via telepon” di halaman terakhir dari Daftar
Obat.
17 Saya selalu melakukan prosedur pemberian obat kepada pasien sesuai
dengan SOP yang telah ditentukan rumah sakit.
18 Saya selalu melakukan verifikasi terhadap konsentrasi obat yang
diberikan kepada pasien.
19 Kecepatan pemberian obat dengan resiko tinggi selalu saya monitor
dengan ketat.
20 Penyimpanan obat yang berisiko tinggi selalu dilakukan terpisah
dan diberi label berwarna merah.
21 Konsentrat elektrolit yang disimpan di unit perawatan pasien
dengan jelas selalu diberi label dan disimpan dalam lemari
terkunci.
22 Saya selalu melaksanakan pedoman kebersihan tangan yang telah
dipublikasikan dan diterima secara umum.
23 Sebelum dan sesudah menyentuh pasien, saya selalu mencuci
tangan.
24 Sebelum dan sesudah melakukan tindakan aseptik saya selalu
mencuci tangan.
25 Sebelum dan sesudah terkontaminasi dengan cairan tubuh pasien
saya selalu mencuci tangan.
26 Setelah menyentuh daerah sekitar pasien saya selalu mencuci
tangan.
27 Setiap pasien yang baru masuk rawat inap saya selalu kaji dengan form
pengkajian pasien resiko jatuh.
28 Pengkajian ulang saya lakukan setiap 3 hari sekali jika tidak ada
perubahan pada pasien.
29 Pengkajian ulang selalu saya lakukan jika pasien mendapatkan
medikasi baru yang dapat berisiko pasien jatuh.
30 Pengkajian ulang selalu saya lakukan jika pasien pasca mendapat

Faktor-faktor yang mempengaruhi..., Shelly Aprilia, FKM UI, 2011


tindakan atau prosedur yang mengurangi mobilitas pasien.
31 Pengkajian ulang selalu saya lakukan jika tingkat kesadaran atau
kondisi klinis pasien berubah.
32 Pengkajian ulang selalu saya lakukan jika ada pasien yang baru
dipindahkan ke unit satu ke unit lainnya.
33 Tindakan terhadap pasien resiko jatuh dilakukan berdasarkan
tingkat/level resiko jatuh hasil dari pengkajian pasien resiko jatuh
tersebut.
34 Saya selalu melakukan observasi tiap 2-3 jam sekali pada pasien
dengan resiko jatuh tinggi.
35 Sebelum meninggalkan pasien, saya selalu memastikan lingkungan
pasien aman (rem tempat tidur terkunci, pagar tempat tidur
terpasang, lantai tidak basah, penerangan cukup).

TERIMAKASIH 

Faktor-faktor yang mempengaruhi..., Shelly Aprilia, FKM UI, 2011


Lampiran 4. Hasil Uji Alat Ukur

UJI VALIDITAS DAN RELIABILITAS

1. PENGETAHUAN

Jawaban bersifat dikotomi (benar/salah), maka menggunakan metode Kuder Richardson


dengan rumus :
 n  s   pq 
2

r  
t

11
 n  1  2 
st 
Keterangan :
n = jumlah butir soal/pernyatan yang ada
st2 = varians skor total
p = proporsi jawaban yang benar
q = proporsi jawaban yang salah
Perhitungan menggunakan program Ms. Excel.
Didapatkan nilai r = 0,70. Artinya pertanyaan reliabel ( batas nilai r ≥ 0,6)
Terdapat beberapa pertanyaan yang memiliki jawaban benar semua dan salah semua,
sehingga pertanyaan tersebut dikeluarkan.
Berdasarkan hasil uji validitas dan reliabilitas pada variabel pengetahuan, pertanyaan yang
akan dibuang/ dikeluarkan adalah :
Pertanyaan B1 : “IPSG mewajibkan penggunaan gelang tangan untuk identifikasi. ”
Pertanyaan B4 : “Perawat harus menjelaskan tujuan, manfaat dan kemungkinan resiko kepada
pasien sebelum melakukan tindakan..”
Pertanyaan B5 : “Instruksi baik secara verbal maupun telepon wajib dibacakan kembali oleh
penerima instruksi.”

Faktor-faktor yang mempengaruhi..., Shelly Aprilia, FKM UI, 2011


No
A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8 A9 B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7 B8 B9 B10 B11 total skor (x-x bar) (x-x bar)2
responden
1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 0 0 1 1 1 1 0 1 1 1 1 15 1.25 1.5625
2 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 1 1 1 1 0 1 1 1 13 -0.75 0.5625
3 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 14 0.25 0.0625
4 1 0 1 1 1 1 1 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 15 1.25 1.5625
5 0 0 1 0 0 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 14 0.25 0.0625
6 1 0 0 1 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 1 1 0 1 1 1 13 -0.75 0.5625
7 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 1 0 1 1 1 15 1.25 1.5625
8 1 1 1 0 0 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 0 1 1 1 12 -1.75 3.0625
9 1 1 1 0 0 1 0 1 0 0 0 1 1 1 1 0 1 1 1 1 13 -0.75 0.5625
10 1 1 1 0 0 1 0 1 0 0 0 1 1 1 1 0 1 1 1 1 13 -0.75 0.5625
11 1 0 1 1 0 1 0 1 0 0 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 13 -0.75 0.5625
12 0 1 1 1 1 0 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 16 2.25 5.0625
13 1 0 1 1 0 1 1 1 0 0 1 1 1 1 0 1 1 1 1 0 14 0.25 0.0625
14 1 0 1 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 13 -0.75 0.5625
15 1 0 1 1 1 0 1 1 0 0 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 14 0.25 0.0625
16 1 0 1 0 1 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 1 0 1 0 1 12 -1.75 3.0625
17 1 0 0 1 0 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 16 2.25 5.0625
18 1 0 1 1 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 14 0.25 0.0625
19 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 0 1 1 0 1 1 14 0.25 0.0625
20 0 0 1 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 12 -1.75 3.0625
14 5 18 13 9 18 16 18 1 0 5 18 20 20 12 17 15 18 19 19 13.75 varian 1.3875

No. of respondent failing item


6 15 2 7 11 2 4 2 19 20 15 2 0 0 8 3 5 2 1
p 0.7 0.25 0.9 0.65 0.45 0.9 0.8 0.9 0.05 0 0.25 0.9 1 1 0.6 0.85 0.75 0.9 0.95
q 0.3 0.75 0.1 0.35 0.55 0.1 0.2 0.1 0.95 1 0.75 0.1 0 0 0.4 0.15 0.25 0.1 0.05
pq 0.21 0.188 0.09 0.228 0.248 0.09 0.16 0.09 0.048 0 0.188 0.09 0 0 0.24 0.128 0.188 0.09 0.048
 pq 2.32

N/(N-1)*((S2-SPQ)/S2) = 0.707

Faktor-faktor yang mempengaruhi..., Shelly Aprilia, FKM UI, 2011


2. MOTIVASI

Cronbach's
Alpha(a) N of Items
-.692 14

Scale Cronbach's
Variance if Alpha if Item
Item Deleted Deleted
keberhasilan 5.958 -.802(a)
masyarakat percaya 5.537 -.966(a)
banyak kasus 6.050 -.710(a)
kesejahteraan 7.292 -.270(a)
kondisi pasien 7.082 -.519(a)
penting dan mendesak 5.537 -.904(a)
perawat lain 5.818 -.691(a)
pengalaman 7.011 -.535(a)
jenjang karir 7.474 -.365(a)
sarana dan prasarana 7.566 -.296(a)
pengawasan 6.766 -.429(a)
tuntutan 5.671 -.777(a)
dukungan 5.355 -.908(a)
lelah 6.063 -.762(a)

Berdasarkan output di atas, nilai cronbach’s alpha = 0.692

Pertanyaan yang memiliki nilai “Cronbach's Alpha if Item Deleted” lebih dari nilai
“cronbach’s alpha”yaitu : (berdasarkan urutan paling tinggi)
1. Masyarakat percaya
2. Dukungan
3. Keberhasilan
4. Tuntutan
5. Lelah
Dan jika dilihat variasinya, maka variasi yang paling tinggi terdapat pada pertanyaan :
“lelah”. Maka dicoba dengan mengeluarkan pertanyaan tersebut.

Cronbach's
Alpha(a) N of Items
-.762 13

Scale Cronbach's
Variance if Alpha if Item
Item Deleted Deleted
keberhasilan 5.695 -.817(a)
masyarakat percaya 5.379 -.950(a)
banyak kasus 5.313 -.881(a)
kesejahteraan 5.882 -.522(a)

Faktor-faktor yang mempengaruhi..., Shelly Aprilia, FKM UI, 2011


kondisi pasien 6.934 -.493(a)
penting dan mendesak 4.747 -1.149(a)
perawat lain 4.618 -1.063(a)
pengalaman 6.853 -.511(a)
jenjang karir 7.674 -.271(a)
sarana dan prasarana 6.239 -.522(a)
pengawasan 5.945 -.567(a)
tuntutan 5.818 -.658(a)
dukungan 5.924 -.647(a)

Berdasarkan output di atas, nilai cronbach’s alpha = 0.762

Hasil yang diperoleh memiliki perubahan yang cukup signifikan (0.7620.817). Jadi
pertanyaan “lelah” dikeluarkan dari kuesioner.

Pertanyaan yang memiliki nilai “Cronbach's Alpha if Item Deleted” lebih dari nilai
“cronbach’s alpha”yaitu : (berdasarkan urutan paling tinggi)
1. Penting dan mendesak
2. Perawat lain
3. Masyarakat percaya
4. Banyak kasus
5. Keberhasilan
Dan jika dilihat variasinya, maka variasi yang paling tinggi terdapat pada pertanyaan :
“keberhasilan”. Maka dicoba dengan mengeluarkan pertanyaan tersebut.

Cronbach's
Alpha(a) N of Items
-.817 12

Scale Cronbach's
Variance if Alpha if Item
Item Deleted Deleted
masyarakat percaya 5.432 -.863(a)
banyak kasus 4.471 -1.172(a)
kesejahteraan 5.461 -.578(a)
kondisi pasien 6.829 -.462(a)
penting dan mendesak 4.379 -1.256(a)
perawat lain 4.303 -1.137(a)
pengalaman 6.484 -.545(a)
jenjang karir 7.411 -.267(a)
sarana dan prasarana 5.608 -.637(a)
pengawasan 5.208 -.730(a)
tuntutan 5.608 -.658(a)
dukungan 5.713 -.646(a)

Faktor-faktor yang mempengaruhi..., Shelly Aprilia, FKM UI, 2011


Berdasarkan output di atas, nilai cronbach’s alpha = 0.817

Hasil yang diperoleh memiliki perubahan yang cukup signifikan (0.8170.863). Jadi
pertanyaan “keberhasilan” dikeluarkan dari kuesioner.

Pertanyaan yang memiliki nilai “Cronbach's Alpha if Item Deleted” lebih dari nilai
“cronbach’s alpha”yaitu : (berdasarkan urutan paling tinggi)
1. Penting dan mendesak
2. Banyak kasus
3. Perawat lain
4. Masyarakat percaya
Dan jika dilihat variasinya, maka variasi yang paling tinggi terdapat pada pertanyaan :
“masyarakat percaya”. Maka dicoba dengan mengeluarkan pertanyaan tersebut.

Cronbach's
Alpha(a) N of Items
-.863 11

Scale Cronbach's
Variance if Alpha if Item
Item Deleted Deleted
banyak kasus 4.050 -1.350(a)
kesejahteraan 4.724 -.786(a)
kondisi pasien 6.724 -.448(a)
penting dan mendesak 4.116 -1.350(a)
perawat lain 4.092 -1.193(a)
pengalaman 6.326 -.545(a)
jenjang karir 7.253 -.260(a)
sarana dan prasarana 4.976 -.807(a)
pengawasan 4.682 -.883(a)
tuntutan 5.713 -.580(a)
dukungan 5.924 -.540(a)

Berdasarkan output di atas, nilai cronbach’s alpha = 0.863

Hasil yang diperoleh memiliki perubahan tidak terlalu signifikan(0.8630.883). Jadi


pertanyaan “masyarakat percaya” tidak dikeluarkan dari kuesioner.

Berdasarkan hasil uji validitas dan reliabilitas pada variabel motivasi, pertanyaan yang akan
dibuang/ dikeluarkan adalah :
Pertanyaan 1 : “Keberhasilan patient safety di rumah sakit turut dirasakan sebagai keberhasilan saya
juga.”

Faktor-faktor yang mempengaruhi..., Shelly Aprilia, FKM UI, 2011


Pertanyaan 14 : “Meskipun dalam keadaan lelah dan kurang bersemangat, saya selalu menerapkan
IPSG dalam pekerjaan sehari-hari saya.”

3. SUPERVISI

Cronbach's
Alpha N of Items
.818 9

Scale Cronbach's
Variance if Alpha if Item
Item Deleted Deleted
masukan 14.787 .787
keluhan 14.029 .779
mengawasi 13.842 .778
kesalahan 14.261 .782
monitoring 14.997 .772
hasil monitoring 16.411 .824
penghargaan 17.147 .858
pertemuan rutin 15.103 .791
pemecahan masalah 16.366 .810

Berdasarkan output di atas, nilai cronbach’s alpha = 0.818

Pertanyaan yang memiliki nilai “Cronbach's Alpha if Item Deleted” lebih dari nilai
“cronbach’s alpha”yaitu : (berdasarkan urutan paling tinggi)
1. Penghargaan
2. Hasil monitoring
Dan jika dilihat variasinya, maka variasi yang paling tinggi terdapat pada pertanyaan :
“penghargaan”. Maka dicoba dengan mengeluarkan pertanyaan tersebut.

Cronbach's
Alpha N of Items
.858 8

Scale Cronbach's
Variance if Alpha if Item
Item Deleted Deleted
masukan 12.905 .829
keluhan 12.116 .821
mengawasi 12.345 .832
kesalahan 12.905 .839
monitoring 13.568 .823
hasil monitoring 14.892 .876
pertemuan rutin 13.674 .844
pemecahan masalah 14.747 .859

Berdasarkan output di atas, nilai cronbach’s alpha = 0.858.

Faktor-faktor yang mempengaruhi..., Shelly Aprilia, FKM UI, 2011


Hasil yang diperoleh memiliki perubahan tidak terlalu signifikan(0.8580.876). Jadi
pertanyaan “penghargaan” tidak dikeluarkan dari kuesioner.

Berdasarkan hasil uji validitas dan reliabilitas pada variabel supervisi, tidak ada pertanyaan
yang akan dibuang/ dikeluarkan.

4. PENGARUH ORGANISASI

Cronbach's
Alpha N of Items
.655 8

Scale Cronbach's
Variance if Alpha if Item
Item Deleted Deleted
KTD 10.379 .679
struktur organisasi 9.145 .584
kerja sama dengan
staf lain 9.818 .591
pemindahan pasien 9.832 .575
kebijakan RS 8.737 .537
unit di RS 9.200 .547
batasan wewenang 12.555 .697
pergantian shift 13.208 .713

Berdasarkan output di atas, nilai cronbach’s alpha = 0.655

Pertanyaan yang memiliki nilai “Cronbach's Alpha if Item Deleted” lebih dari nilai
“cronbach’s alpha”yaitu : (berdasarkan urutan paling tinggi)
5. Pergantian shift
6. Batasan wewenang
Dan jika dilihat variasinya, maka variasi yang paling tinggi terdapat pada pertanyaan :
“pergantian shift”. Maka dicoba dengan mengeluarkan pertanyaan tersebut.

Cronbach's
Alpha N of Items
.713 7

Scale Cronbach's
Variance if Alpha if Item
Item Deleted Deleted
KTD 10.092 .728
struktur organisasi 9.063 .643
kerja sama dengan
staf lain 9.937 .659
pemindahan pasien 10.471 .670
kebijakan RS 9.103 .627

Faktor-faktor yang mempengaruhi..., Shelly Aprilia, FKM UI, 2011


unit di RS 9.418 .624
batasan wewenang 13.095 .770

Berdasarkan output di atas, nilai cronbach’s alpha = 0.713

Hasil yang diperoleh memiliki perubahan yang cukup signifikan (0.710.77). Jadi
pertanyaan “pergantian shift” dikeluarkan dari kuesioner.

Pertanyaan yang memiliki nilai “Cronbach's Alpha if Item Deleted” lebih dari nilai
“cronbach’s alpha”yaitu batasan wewenang. Maka dicoba dengan mengeluarkan pertanyaan
tersebut.

Cronbach's
Alpha N of Items
.770 6

Scale Cronbach's
Variance if Alpha if Item
Item Deleted Deleted
KTD 9.674 .795
struktur organisasi 8.976 .727
kerja sama dengan
staf lain 9.882 .740
pemindahan pasien 10.326 .745
kebijakan RS 9.042 .711
unit di RS 9.168 .695

Berdasarkan output di atas, nilai cronbach’s alpha = 0.770.

Hasil yang diperoleh memiliki perubahan tidak terlalu signifikan(0.7700.795). Jadi


pertanyaan “batasan wewenang” tidak dikeluarkan dari kuesioner.

Berdasarkan hasil uji validitas dan reliabilitas pada variabel pengaruh organisasi,
pertanyaan yang akan dibuang/ dikeluarkan adalah :
Pertanyaan 5 : “Masalah sering terjadi saat pergantian shift dari satu perawat ke perawat lain”

5. PERILAKU PENERAPAN IPSG

Cronbach's
Alpha N of Items
.973 35

Scale Cronbach's
Variance if Alpha if Item
Item Deleted Deleted
cara identifikasi 206.411 .972
identifikasi pasien 205.292 .972

Faktor-faktor yang mempengaruhi..., Shelly Aprilia, FKM UI, 2011


sebelum pemberian obat 201.208 .972
penjelasan pada pasien 204.934 .973
pengambilan darah 206.155 .972
double check 205.116 .972
tanda vital 205.221 .972
dokumentasi 205.221 .972
perawat pengganti 206.471 .972
penjelasan keluarga 197.958 .973
mempercayai keluarga 208.589 .973
menulis instruksi 204.892 .972
membacakan kembali 204.832 .972
tanda read back + 204.976 .972
tandatangan 208.366 .973
daftar obat 208.000 .973
prosedur pemberian obat 210.526 .974
verifikasi 204.892 .972
monitor obat 205.674 .972
penyimpanan obat 206.484 .972
konsentrat elektrolit 194.568 .974
kebersihan tangan 205.147 .972
menyentuh pasien 208.168 .973
tindakan aseptik 206.829 .972
terkontaminasi 211.503 .973
daerah sekitar pasien 211.958 .974
masuk rawat inap 205.355 .972
tidak ada perubahan 208.408 .973
medikasi baru 206.274 .972
pasca mendapat tindakan
207.713 .972
tingkat kesadaran berubah
206.345 .972
pasien baru pindah 203.208 .973
hasil pengkajian 202.411 .972
observasi 203.987 .973
sebelum meninggalkan
pasien 207.524 .972

Berdasarkan output di atas, nilai cronbach’s alpha = 0.973

Tidak ada pertanyaan yang memiliki nilai “Cronbach's Alpha if Item Deleted” lebih dari nilai
“cronbach’s alpha” (perbedaan tidak terlalu signifikan).

Berdasarkan hasil uji validitas dan reliabilitas pada variabel perilaku, tidak ada pertanyaan
yang akan dibuang/ dikeluarkan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi..., Shelly Aprilia, FKM UI, 2011


Lampiran 5. Hasil Analisis Multivariat

Perubahan nilai OR

Sosialisasi dikeluarkan

Variabel OR adjusted OR crude Perubahan OR


umur 3.15 3.22 2%
nikah 4.48 4.46 1%
lamakerr1 2.01 1.96 2%
lamakerr2 0.77 0.78 2%
jenjang2 1.24 1.20 3%
edukasi 3.28 3.44 5%
sos 1.10 - -
penget_kat 7.18 7.27 1%
PO_kat 2.58 2.59 0%

Kesimpulan : sosialisasi dikeluarkan dari pemodelan


Jenjang dikeluarkan

Variabel OR adjusted OR crude Perubahan OR


umur 3.15 3.36 7%
nikah 4.48 4.48 0%
lamakerr1 2.01 1.89 6%
lamakerr2 0.77 0.70 9%
jenjang2 1.24 - -
edukasi 3.28 3.50 7%
penget_kat 7.18 7.32 2%
PO_kat 2.58 2.59 0%

Kesimpulan : jenjang dikeluarkan dari pemodelan


Lama kerja sejak lulus dikeluarkan

Variabel OR adjusted OR crude Perubahan OR


umur 3.15 3.30 5%
nikah 4.48 4.35 3%
lamakerr1 2.01 2.02 0%
lamakerr2 0.77 - -
edukasi 3.28 3.42 4%
penget_kat 7.18 7.46 4%
PO_kat 2.58 2.55 1%

Kesimpulan : lamakerja2 (sejak lulus pendidikan) dikeluarkan dari pemodelan

Page 1

Faktor-faktor yang mempengaruhi..., Shelly Aprilia, FKM UI, 2011


Lama kerja di unit keperawatan dikeluarkan

Variabel OR adjusted OR crude Perubahan OR


umur 3.15 2.91 8%
nikah 4.48 4.34 3%
lamakerr1 2.01 - -
edukasi 3.28 3.29 0%
penget_kat 7.18 7.47 -4%
PO_kat 2.58 2.58 0%

Kesimpulan : lamakerja1 (di unit keperawatan saat ini) dikeluarkan dari pemodelan

Pelatihan dikeluarkan

Variabel OR adjusted OR crude Perubahan OR


umur 3.15 3.00 5%
nikah 4.48 3.83 15%
edukasi 3.28 - -
penget_kat 7.18 7.96 11%
PO_kat 2.58 2.57 0%

Kesimpulan : edukasi (pelatihan) dimasukkan kembali ke dalam pemodelan

Umur dikeluarkan

Variabel OR adjusted OR crude Perubahan OR


umur 3.15 - -
nikah 4.48 5.07 13%
edukasi 3.28 2.91 11%
penget_kat 7.18 5.25 27%
PO_kat 2.58 3.12 21%

Kesimpulan : umur dimasukkan kembali ke dalam pemodelan


Pengaruh organisasi dikeluarkan

Variabel OR adjusted OR crude Perubahan OR


umur 3.15 3.74 19%
nikah 4.48 2.95 34%
edukasi 3.28 2.61 20%
penget_kat 7.18 7.43 3%
PO_kat 2.58 - -

Kesimpulan : pengaruh organisasi dimasukkan kembali ke dalam pemodelan

Page 2

Faktor-faktor yang mempengaruhi..., Shelly Aprilia, FKM UI, 2011


Pernikahan dikeluarkan

Variabel OR adjusted OR crude Perubahan OR


umur 3.15 5.05 60%
nikah 4.48 - -
edukasi 3.28 3.19 3%
penget_kat 7.18 7.00 3%
PO_kat 2.58 2.30 11%

Kesimpulan : status pernikahan dimasukkan kembali ke dalam pemodelan

UJI INTERAKSI

Variabel interaksi P Value Keputusan


Nikah*umur 0.330 Tidak ada interaksi
Pelatihan*pengetahuan 0.817 Tidak ada interaksi

Page 3

Faktor-faktor yang mempengaruhi..., Shelly Aprilia, FKM UI, 2011

Anda mungkin juga menyukai