Anda di halaman 1dari 65

TUGAS

PERENCANAAN PEMBANGUNAN WILAYAH KEPESISIRAN DAN


PEDALAMAN

OLEH
ARBAIN
D1A118015
AGRIBISNIS-C

JURUSAN AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadiran Allah SWT atas petunjuk dan
hidayah nya lah, sehingga saya dapat menyelesaikan tugas review jurnal dengan
judul “Kajian Perubahan Spasial Garis Pantai sebagai Zonasi Tata Ruang Pesisir
(Studi Kasus Pesisir Kabupaten Kendal)” dan “Analisis Perubahan Tutupan Lahan
Pada Zonasi Pengelolaan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh Menggunakan Citra
Landsat”. ”baik dan tepat waktu.

Saya menyadarai bahwa dalam penulisan revieuw jurnal ini tidak terlepas
dari bantuan banyak pihak yang tulus memberikan kritik dan saran sehingga tugas
ini dapat terselesaikan.

Saya menyadari bahwa hasil revieuw jurnal ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu saya berharap segala bentuk saran serta masukan
bahkan kritik yang membangun dari berbagai pihak semoga hasil revieuw ini
dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Ladongi, 17 april 2021

Arbain
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………

DAFTAR ISI………………………………………………………………..

I. PENDAHULUAN………………………………………………………..

a. Permasalahan Yang Melatar Belakangi Lahirnya Zonasi Wilayah………

b. Lokasi Zonasi…………………………………………………………….

II. PEMBAHASAN…………………………………………………………

1. Jelaskan Tentang Tahapan Penyusunan Zonasi, Pembagian Wilayah,


Proses legislasi aturan zonasi, dan implementasi zonasi………………...

III. PENUTUP………………………………………………………………

KESIMPULAN…………………………………………………………….

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………
DAFTAR GAMBAR

1. Gambar No.1 Peta Citra Lokasi


Penelitian………………………………………….
2. Gambar No. 2 Diagram Alir
Penelitian………………………………………………
TATAT A
LOKA T A
VOLUME 14; NOMOR 1; FEBRUARI 2012, 1-12 L O KA
© 2012 BIRO PENERBIT PLANOLOGI UNDIP

Kajian Perubahan Spasial Garis


Pantai sebagai Zonasi Tata Ruang
Pesisir (Studi Kasus Pesisir
Kabupaten Kendal)

The Spatial Changes Of Shore Line For


Coastal Zoning Plan(Case Study Of1
Kendal District Coastal)

Tjaturahono Budi Sanjoto1, Sutrisno Anggoro2, dan Agus Hartoko2

Diterima: 17 Desember, 2011 Disetujui: 9 Februari, 2012

Abstrak: Penelitian ini bertujuan mengkaji pola perubahan spasial


pantai kabupaten kendal dari tahun 1910 hingga 2010 serta
merumuskan perencanaan pemintakatan (zoning plan) daerah
pantai berbasis pada perubahan spasial. Metode analisis yang
digunakan adalah dengan teknik overlay. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa perubahan spasial pantai kabupaten kendal
menghasilkan 5 (lima) pola perubahan garis pantai yaitu (1)
perubahan spasial garis pantai pantai dengan pola dbrasi, (2)
perubahan spasial garis pantai dengan pola akresi, (3) perubahan
spasial garis pantai dengan pola akresi kemudian mengalami
abrasi, (4) perubahan spasial garis pantai dengan pola akresi
kemudian stabil, dan (5) perubahan spasial garis pantai dengan
pola stagnan. Perubahan spasial ini juga mengubah bentuk pantai
yang semula runcing (cuspate) menjadi tumpul (lobate).
Perubahan ini mengindikasikan terjadinya perubahan tenaga
geomorfik yang semula bersifat destruktif menjadi bersifat
konstruktif. Selanjutnya dari overlay peta pola perubahan spasial
delta dengan kelas kesesuaian lahan untuk tambak, kawasan
wisata, industri, dan konservasi dihasilkan peta turunan berupa
peta zonasi pesisir kabupaten kendal.
Kata Kunci: delta, perubahan spasial, zonasi, pesisir kendal

Abstract:. The purposes of this research are to analyze the


pattern of coastal spatial changes in Kendal Regency from
1910 to 2009, and to formulate coastal area zoning plan based
on spatial changes. The Method of analysed was with overlay
technique. Research results show that the coastal spatial
changes of produced 5 (five) patterns of coastline changes: (1)
coastline spatial change with abrasion pattern, (2) coastline
spatial change with accretion pattern, (3) coastline spatial
change with accretion pattern folllowed by abrasion, (4)
coastline spatial change with accretion pattern then stable, (5)
coastline spatial change with stagnant pattern. These spatial
changes also altered the shape of Bodri Delta from Cuspate to
Lobate. These changes also indicate the alter of geomorphic
energy from being destructive to being constructive.
Additionally, the research also produced a new product in the
form of a map of Kendal District coastal layout zoning.

Key words: delta, spatial changes, zone, kendal coastal

1
Jurusan Geografi FIS Universitas Negeri Semarang

Gedung C7 Lt. 2 Kampus Unnes Sekaran Gunungpati Semarang 50229

2
Fakultas Perikanan dan
Kelautan, Universitas
Diponegoro Jl. Prof H.
Soedarto, SH – Tembalang
Semarang, 50275
Email : tjaturahono@yahoo.co.id
Kajian Perubahan Spasial Garis Pantai 3

Pendahuluan
Wilayah pesisir Kabupaten Kendal merupakan pesisir delta. Pesisir
Delta ini didukung oleh empat DAS utama berturut-turut dari Timur ke
Barat adalah DAS Blorong, DAS Bodri, DAS Damar, dan DAS Kuto.
Dari empat DAS tersebut yang paling besar dan dominan adalah DAS
Bodri. Oleh karena itu pesisir Kabupaten Kendal lebih dikenal sebagai
pesisir Delta Bodri. Perkembangan morfologi pesisir Delta Bodri
berlangsung cukup dinamis hingga saat ini. Ada beberapa lokasi yang
mengalami abrasi (seperti di pesisir Kartika Jaya) dan ada yang
mengalami akresi. Secara keseluruhan pesisir Delta Bodri Kabupaten
Kendal cenderung mengalami pertumbuhan.
Perubahan garis pantai (shore line) wilayah pesisir Kabupaten
Kendal telah dijelaskan dalam buku tulisan Bird dan Ongkosongo (1980),
bahwa selama periode waktu 1864 -1973 (109 tahun), garis pantai
wilayah pesisir mengalami pertumbuhan yang bervariasi. Dalam kurun
waktu tersebut pesisir Kabupaten Kendal mengalami perkembangan
yang cenderung bergerak ke arah Timur. Muara Sungai Bodri juga
mengalami perubahan posisinya. Semula pada tahun 1864 muara
Sungai Bodri melewati wilayah Margorejo (sebelah Barat dari muara
Sungai Bodri sekarang), kemudian pada tahun 1910 muara sungai telah
bergeser ke arah Timur dan mengalami pertumbuhan serta muaranya
bercabang. Perkembangan pesisir ini terus berlangsung hingga pada
tahun 1946 dimana arah muara Sungai Bodri telah bergeser ke arah
Utara dan Timur laut. Selanjutnya muara Sungai Bodri terus
mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1973 alur sungainya telah
bercabang dua, yang satu bermuara ke arah Utara dan Timur laut,
yang lainnya bermuara ke arah Barat laut hingga sekarang. Gambaran
tersebut menjadi petunjuk bahwa wilayah pesisir Delta Bodri mengalami
proses morfodinamika yang cukup tinggi. Di beberapa tempat semakin
meluas ke arah laut (akresi) sebagai akibat proses sedimentasi yang
cukup besar, namun di tempat lain ada wilayah pesisir yang mengalami
masalah sebaliknya yaitu abrasi, seperti misalnya di wilayah pesisir
Kartika Jaya.
Penelitian yang berkaitan dengan perubahan pesisir (coastal dynamic) sudah
banyak
dilakukan oleh beberapa peneliti di berbagai wilayah, termasuk yang
berkaitan dengan perkembangan pesisir delta. Metode yang digunakan
untuk mengetahui perubahan pesisir juga beragam, mulai dari kajian
lapangan, seperti yang dilakukan Bird dan Ongkosongo (1980),
Suprajaka (1989), Sidarto (1997) atau dengan metode penginderaan jauh
seperti yang dilakukan oleh Saptorini et al. (2001), Sutrisno et al. (2005),
dan Subagio (2007). Terkait dengan pengelolaan Delta seperti yang

JURNAL TATA LOKA; VOLUME 14; NOMOR 2; FEBRUARI 2012


Kajian Perubahan Spasial Garis Pantai 3

dilakukan oleh Simeoni dan Corinne (2008), Gamage et al. (2008) dan
Sabatier et al. (2009). Terkait dengan kesesuaian lahan wilayah pesisir
seperti yang dilakukan oleh Fauzi et al. (2009) dan Tahir et al. (2002).
Penelitian yang terkait dengan wilayah pesisir Kabupaten Kendal
juga masih sedikit dilakukan. Penelitian yang dilakukan Poedjoprajitno,
et al. (2009) mengkaji Perubahan Lingkungan Pengendapan
Hubungannya dengan Tektonik Kuarter (Studi Kasus Geologi Kuarter di
Wilayah Dataran Rendah Aluvial hingga Pantai Sepanjang Maron-
Sikucingkrajan, Kecamatan Gemuruh, Kabupaten Kendal Jawa
Tengah). Dari hasil penelitian ditemukan akumulasi pengendapan
berkaitan dengan pensesaran, yang di bagian barat sangat dipengaruhi
oleh sesar normal. Selama proses pengendapan, terekam 2 fase kegiatan
tektonik. Kedua fase kejadian tersebut adalah (1) kegiatan sesar naik
memanjang dari barat ke timur, dan (2) sesar naik yang juga berarah
barat-timur di bagian utara dan diikuti oleh sesar normal berarah hampir
utara-selatan. Kegiatan tektonik ditandai oleh mendangkalnya lereng
pengendapan. Penelitian yang dilakukan oleh Lumbanbatu (2009)
berjudul Perkembangan Dataran Pantai (Coastal Plain) Daerah Kendal
Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan hasil analisis tatanan stratigrafi
Holosen, di daerah penelitian terlihat adanya proses geologi berupa
genang laut, susut laut dan aktivitas tektonik. Peristiwa

JURNAL TATA LOKA; VOLUME 14; NOMOR 2; FEBRUARI 2012


Kajian Perubahan Spasial Garis Pantai 3

geologi tersebut diperkirakan dapat mempengaruhi perubahan arah


perkembangan dataran Pantai Kendal.
Hasil-hasil penelitian tersebut di atas, belum ada satupun yang
mengkaitkan fenomena perubahan spasial delta sebagai basis zonasi
pemanfaatan lahan wilayah pesisir. Mereka umumnya hanya terpaku
pada proses morfodinamika yang ada di tempat kejadian saja (in situ).
Oleh karena itu perencanaan zonasi pesisir berbasis perubahan spasial
pantai merupakan hal baru yang perlu diterapkan pada kabupaten dengan
pesisir yang dinamis.
Berdasarkan uraian di atas maka tujuan penelitian ini adalah untuk
: (1) Mengkaji pola perubahan spasial pantai Kabupaten Kendal dari
tahun 1910-2009. (2) Merumuskan rencana pemintakatan (zoning plan)
daerah pesisir berbasis pada perubahan spasial pantai.

JURNAL TATA LOKA; VOLUME 14; NOMOR 2; FEBRUARI 2012


Kajian Perubahan Spasial Garis Pantai 3

Gambar 1. Peta Citra Lokasi Penelitian

Metodologi
Pelaksanaan penelitian dilakukan selama bulan Januari hingga
Desember 2010, yang meliputi kegiatan kajian pustaka, penelusuran
data sekunder dan pengambilan data lapangan. Bahan penelitian yang
digunakan terdiri atas Peta Topografi skala 1: 50.000 Blad XXIC tahun
1909 yang dimosaik dengan Peta Topografi skala 1: 50.000 Blad XVIID
tahun 1910 cetakan Pemerintah Belanda dan Citra Landsat akuisi Tahun
1972, 1992, 2002, dan 2009. Pengolahan data dimulai dengan melakukan
koreksi geometrik pada peta topografi tahun 1910 dan seluruh citra
landsat yang digunakan. Koreksi geometriknya dipilih tipe polynomial
untuk menghasilkan peta dan citra yang mempunyai sistem proyeksi
seragam sehingga akan meminimalkan kesalahan pada saat kegiatan
overlay.

JURNAL TATA LOKA; VOLUME 14; NOMOR 2; FEBRUARI 2012


Kajian Perubahan Spasial Garis Pantai 3

Tabel 1. Spesifikasi Citra Landsat yang


Digunakan

No Scene ID Tgl Akuisisi Resolusi Spasial Jumlah Band


1 Anchor scene ID: Mei dan 30 x 30 m 9
L71120065_06520090605 Juni 2009
Filler scene 1 ID:
L71120065_06520090504
2 LE71120065_06520020821 21-8-2002 30 x 30 m 9
3 P120r65_5t19920716.TM- 16-7-1992 30 x 30 m 7
EartSat-
Orthocorectified
4 LM112806519722AAA03 28-9-1972 60 x 60 m 4

Sumber : Data LAPAN, Januari 2010.

Peta Pesisir Kendal Tahun 1910,


1972, 1992, 2002, dan 2009
OVERLAY
Peta Kesesuaian lahan Tambak,
Wisata Pantai, Kawasan Industri, dan
Rehabilitasi Pantai

Peta Zonasi Pesisir OVERLAY

POTENSI ZONASI

Sumber: Hasil Analisis, 2011

Gambar 2. Diagram Alir Penelitian

Base map yang digunakan adalah peta rupa bumi (RBI) skala 1:
25.000 tahun 2000. Proyeksi peta yang dipilih Universal Transverse

JURNAL TATA LOKA; VOLUME 14; NOMOR 2; FEBRUARI 2012


Kajian Perubahan Spasial Garis Pantai 3

Mercator pada zone SUTM 49, bidang datum pada WGS 1984. Hasil
koreksi geometrik pada masing-masing peta menghasilkan nilai RMS
yang bervariasi mulai dari 0,2 sampai 0,9. Untuk mengetahui perubahan
spasial garis pantai Delta Sungai Bodri digunakan metode overlay time
series data dengan software Arcview 3.2, dan untuk merumuskan
rencana zonasi pesisir digunakan model overlay bertingkat. Alur kerja
penelitian dapat dilihat pada diagram alir pada gambar 2.

Hasil Kajian

Morfodinamika Pantai Kabupaten Kendal Tahun 1910-2009

Berdasarkan peta topografi tahun 1910 Pantai Kendal merupakan


pantai delta yang masih berbentuk Cuspate (delta runcing), arah Sungai
Bodri masih menuju ke utara dan

JURNAL TATA LOKA; VOLUME 14; NOMOR 2; FEBRUARI 2012


Kajian Perubahan Spasial Garis Pantai 5

mendekati pantai arah alirannya berbelok ke barat laut. Bagian hilir


Sungai Bodri ini juga bercabang ke arah utara timur laut. Bagian hilir
Sungai Bodri berbentuk meander. Saat itu (tahun 1910) Sungai Bodri
masih merupakan sungai utama yang muaranya membentuk delta
dengan luas 22.051,198 hektar. Kemudian pada tahun 1972,
berdasarkan hasil interpretasi Citra landsat-1 tahun 1972 diperoleh
gambaran bahwa morfologi pantai Kendal sudah berkembang gemuk
cenderung membentuk Lobate (delta tumpul). Dengan demikian
diperkirakan sudah terjadi pergeseran tenaga pembentuk pesisir Kendal
yang semula lebih pada tenaga marin sekarang berganti tenaga fluvial
yang menjadi dominan.
Alur Sungai Bodri (hilir) juga mengalami pergeserán ke arah
Timur kemudian berbelok ke arah Utara sejajar dengan bekas aliran
tahun 1910. Kalau lebih dicermati, pangkal alur yang bergeser
menunjukan adanya pelurusan alur sungai terlebih dahulu ke arah utara
Timur laut. Menurut Lumbanbatu (2009) kondisi ini mengindikasikan
adanya dorongan tenaga runoff sungai yang besar, dengan volume dan
tenaga yang besar sehingga mengubah bentuk pantai yang semula
Cuspate menjadi Lobate. Dibandingkan dengan garis pantai saat tahun
1910 (pada gambar 30 disimbolkan dengan garis merah), tampak
sedimentasi banyak terjadi di sebelah timur dekat muara sungai
Bodri sehingga perkembangan wilayah delta bagian timur lebih cepat
daripada wilayah bagian barat. Luasan Delta Bodri tahun 1972 seluas
24.851 hektar. Bentuk morfologi pesisir Kendal tahun 1992 relatif
sama dengan tahun 1972, hanya di bagian timur muara Sungai Bodri
mengalami abrasi yang cukup parah sehingga secara kuantitas luasan
delta berkurang rata- rata minus 16 ha/tahun, menjadi seluas 24.533
hektar.
Bentuk morfologi pesisir Kendal tahun 2002 sedikit berbeda sama
dengan tahun 1992, di bagian timur pesisir Kendal muncul delta baru
sebagai pengendapan dari Sungai Blorong. Dari hasil perhitungan dapat
luasan pada tahun 2002, Pesisir Kendal menjadi 24.640 hektar. Bila
dibandingkan dengan luas Pesisir Kendal tahun 1992 sebesar 24.533
hektar, maka selama tahun 1992 sampai tahun 2002 (10 tahun) Pesisir
Kendal mengalami pertambahan luas 107 hektar atau rata-rata 11
hektar per tahun. Pada tahun 2009, berdasarkan hasil interpretasi citra
Landsat 7 luas delta Bodri sebesar 24.935 hektar. Bila dibandingkan
dengan luasan Delta Bodri tahun 2002 sebesar 24.640 hektar maka

JURNAL TATA LOKA; VOLUME 14; NOMOR 2; FEBRUARI 2012


Kajian Perubahan Spasial Garis Pantai 6

selama tahun 2002 sampai 2009 delta Bodri mengalami pertambahan


luas 290 ha, atau rata-rata 41 ha per tahun. Untuk mengetahui pola
perubahan spasial pantai Kendal data spasial Pesisir Kendal tahun
1910-2009 dilakukan dengan mengoverlay peta Pesisir Kendal tahun
1910-2009 dengan metode overlay time series data. Hasilnya disajikan
pada gambar di lampiran. Berdasarkan gambar tersebut di lampiran
tampak bahwa dari tahun 1910 hingga tahun 2009, proses perubahan
pantai Delta Kabupaten Kendal dapat dibedakan menjadi lima pola
yaitu (1) proses perubahan spasial pesisir delta dengan pola abrasi.
Bentuk pantainya tidak teratur, di beberapa tempat garis pantai menjorok
ke daratan dan banyak dijumpai sisa erosi pantai. (2) Proses perubahan
spasial pesisir delta dengan pola akresi. Bentuk garis pantainya
menjorok ke arah pantai dengan material didominasi lumpur. (3)
Proses perubahan spasial pesisir delta dengan pola akrebrasi yaitu
semula akresi kemudian mengalami abrasi. Bentuk pantainya menjorok
ke arah laut, namun bekas- bekas abrasi banyak dijumpai di kawasan ini.
(4) Proses perubahan spasial pesisir delta dengan pola akresi-stabil yaitu
semula akresi kemudian stabil, Bentuk pantainya lurus dengan material
lumpur berpasir. (5) Proses perubahan spasial pesisir delta dengan pola
stagnan, yaitu tidak mengalami perubahan sejak dari tahun 1910. Bentuk
garis pantai ini lurus dan didominasi material pasir.

Rencana Zonasi Tata Ruang Pesisir Kabupaten Kendal Berbasis Pola


Perubahan Delta
UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil mendefinisikan Zonasi sebagai suatu bentuk
rekayasa teknik pemanfaatan ruang

JURNAL TATA LOKA; VOLUME 14; NOMOR 2; FEBRUARI 2012


Kajian Perubahan Spasial Garis Pantai 7

melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan potensi


sumberdaya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang
berlangsung sebagai satu kesatuan dalam ekosistem pesisir.
Berdasarkan definisi zonasi tersebut maka dari hasil penelitian Pesisir
Kendal dapat dibagi menjadi lima wilayah zonasi berdasarkan atas lima
pola perubahan garis pantai Kendal. Untuk mengetahui potensi
kesesuaian pemanfaatan lahan maka Peta Zonasi tersebut ditumpang-
susunkan (overlay) dengan peta kesesuaian pemanfaatan lahan tambak,
peta kesesuaian pemanfaatan lahan wisata pantai, peta kesesuaian
pemanfaatan lahan kawasan industri, dan peta kesesuaian pemanfaatan
lahan rehablitasi pantai.
Berdasarkan hasil tumpang susun peta-peta tersebut dapat
diketahui kesesuaian pemanfaatan lahan pada setiap zona perubahan
garis pantai yang dapat dijelaskan sebagai berikut, sedangkan kriteria
kesesuaian lahan untuk tambak, wisata pantai, kawasan industri, dan
rehabilitasi pantai tersaji pada lampiran.
Zona I, yaitu wilayah pesisir dengan Pola Abrasi. Zona ini
berada di bagian timur daerah penelitian dan secara administratif berada
di Kecamatan Kaliwungu. Kondisi fisik zona I ini adalah bentuk
pantainya agak melengkung dengan material pantainya pasir
berwarna abu-abu kehitaman dan proses geomorfik yang dominan
berupa abrasi. Dari hasil overlay peta dapat diketahui bahwa wilayah
zona I sesuai (S1) untuk budidaya tambak. Parameter fisik yang
mendukung adalah kondisi adalah kondisi pH tanah yang masuk
kategori baik, curah hujannya cukup, dan ketersediaan air tawar yang
memadai. Tipe pasang surut campuran yang condong keganda,
menguntungkan kegiatan perikanan tambak karena tipe ini akan
mempengaruhi pasokan air laut ke tambak (Sanjoto, 2012). Budidaya
tambak di zona ini sudah berlangsung tahun 1910. Namun demikian
potensi abrasi yang cenderung meningkat memerlukan penanganan
rehabilitasi pantai baik secara vegetatif dengan menanam Mangrove
maupun dengan pembuatan bangunan penahan abrasi. Zona I ini juga
sesuai (S1) untuk kegiatan wisata pantai. Faktor pendukungnya
adalah pada wilayah ini terdapat pantai yang berpasir dan aksesibitasnya
tinggi, yaitu di pantai Ngebum. Berkaitan dengan peruntukan kawasan
Industri, zona I ini termasuk cukup sesuai (S2) dengan faktor
pendukungnya adalah aksesibilitasnya tinggi. Jadi zona I merupakan
wilayah yang sesuai untuk berbagai kegiatan mulai dari kegiatan
pertambakan, wisata pantai, kawasan industri, dan kawasan rehabilitasi
pantai. Zona I juga merupakan Zona Kawasan Ekonomi Khusus
(KEK) Kabupaten Kendal, sehingga perkembangan industrialisasi di

JURNAL TATA LOKA; VOLUME 14; NOMOR 2; FEBRUARI 2012


Kajian Perubahan Spasial Garis Pantai 8

daaerah ini sangat pesat, sehingga mengancam keberadaan lahan tambak.


Eksistensi tambak perlu dipertahankan dari proses industrialisasi
dan bencana abrasi pantai. Industrialisasi yang berlangsung di zona I ini
hendaknya menempati lahan tambak yang sudah tidak produktif lagi.
Kaitannya dengan bencana abrasi, perlu adanya upaya mengurangi
bahaya erosi pantai melalui pembangunan sabuk hijau pantai dengan
penanaman Mangrove. Fungsi ekosistem mangrove disamping sebagai
vegetasi pelindung pantai juga sebagai penangkap sedimen aliran air dari
tambak, sehingga perairan pantai akan menjadi lebih jernih. Kondisi ini
mendukung keberadaan kawasan wisata Pantai Ngebum yang
bersebelahan dengan lokasi tambak. Lokasi Industri yang berada di zona
I ini juga wajib mengelola limbahnya agar tidak terjadi pencemaran di
wilayah tersebut. Untuk itu pada zona I ini perlu ditata kembali
pemanfaatan lahan yang sinergis (compatible) sesuai dengan asas
ekologis.
Zona II, yaitu wilayah pesisir dengan Pola Akresi. Zona ini berada
di dua lokasi yaitu di sekitar muara Sungai Blorong dan muara Sungai
Bodri. Secara administratif zona II yang ada di sekitar muara Sungai
Blorong berada di Kecamatan Brangsong dan Kecamatan Kota Kendal,
sedangkan di sekitar muara Sungai Bodri berada di Kecamatan
Patebon. Secara fisik bentuk morfologi zona II ini berupa delta runcing.
Materialnya didominasi oleh lumpur berwarna coklat muda dan proses
geomorfik yang dominan adalah sedimentasi (akresi). Berdasarkan hasil
overlay peta dapat diketahui bahwa sebagian besar wilayah Zona II
mempunyai tingkat kesesuaian yang tinggi (S1) untuk budidaya
tambak. Faktor

JURNAL TATA LOKA; VOLUME 14; NOMOR 2; FEBRUARI 2012


Kajian Perubahan Spasial Garis Pantai 9

pendukungnya adalah ketersediaan air tawarnya cukup banyak


karena dekat dengan sungai, serta kondisi materialnya berupa lumpur
sehingga mampu menahan air lebih lama.
Untuk dikembangkan sebagai wisata pantai zona ini tidak sesuai
(S3) oleh karena banyak kendalanya diantaranya aksesibilitasnya yang
sulit dijangkau, materialnya berupa lumpur dan kualitas perairannya
keruh. Kemudian untuk dikembangkan sebagai kawasan industri maka
zona ini sebagian besar termasuk kelas S2 dan S3. Oleh karena itu
untuk dikembangkan sebagai kawasan Industri maka lokasi ini cukup
berat, namun bila dikembangkan sebaiknya merupakan industri
pergudangan dan pengolahan produk perikanan (Agromarine) dengan
resiko pencemaran yang rendah. Dalam kaitannya dengan
pengembangan kawasan rehabilitasi pantai, walaupun masuk dalam
kelas kesesuaian cukup sesuai (S2) namun zona II ini sebaiknya
dimasukan dalam kawasan pengembangan rehabilitasi pantai dengan
alokasi wilayah sepanjang pantai dengan lebar 225 meter (sesuai dengan
ketentuan batas sempadan pantai setempat.
Zona III, yaitu wilayah pesisir dengan Pola Akrebrasi (Akresi
ke Abrasi). Secara administratif zona ini berada di Kecamatan Patebon.
Kondisi fisik zona III mempunyai morfologi pantai yang tidak teratur
akibat adanya proses abrasi, materialnya berupa lumpur berpasir.
Penggunaan lahannya didominasi lahan tegalan dan tambak.
Berdasarkan hasil overlay diperoleh data bahwa wilayah zona III
mempunyai kesesuaian lahan yang bervariasi kelas S1 dan kelas S2
baik untuk tambak maupun untuk kawasan Industri. Budidaya tambak
menempati lahan bekas akresi. Faktor pendukung lahan ini untuk tambak
adalah tektur tanahnya halus, salinitas air sesuai, dan pH tanah sesuai
dengan standar baku mutu untuk tambak (Sanjoto, 2012 dan Sari, 2011).
Faktor pembatasnya adalah wilayah ini rentan terhadap abrasi. Hal ini
karena morfologi zona III ini menjorok ke arah laut sehingga potensi
energi gelombang menjadi tinggi. Dari kunjungan lapangan dapat
dijumpai bekas- bekas lahan tambak yang terkena abrasi yaitu di lokasi
pantai Kartikajaya.
Berkaitan dengan kesesuaian lahan untuk wisata pantai, zona III
termasuk kelas sesuai marjinal (S3) dan tidak sesuai (N), sedangkan
berkaitan dengan kesesuaian lahan untuk kawasan rehabilitasi pantai,
sepanjang pantai pada zona III termasuk kelas cukup sesuai (S2).
Berdasarkan uraian tersebut maka dapat diketahui bahwa Zona III
merupakan wilayah yang sesuai untuk kegiatan perikanan tambak dan
kawasan industri, namun untuk pengembangan kawasan industri
sebaiknya memperhatikan potensi lokal yaitu perikanan. Dalam

JURNAL TATA LOKA; VOLUME 14; NOMOR 2; FEBRUARI 2012


Kajian Perubahan Spasial Garis Pantai 1
0

kaitannya dengan pengembangan kawasan rehabilitasi pantai, sepanjang


pantai zonasi ini masuk dalam kelas kesesuaian cukup sesuai (S2),
namun demikian zona III ini sebaiknya tetap dimasukan dalam
kawasan pengembangan rehabilitasi pantai dengan alokasi wilayah
sepanjang pantai dengan lebar 225 meter (sesuai dengan ketentuan batas
sempadan pantai).
Zona IV, yaitu wilayah pesisir dengan Pola Akresi menjadi Stabil.
Secara administratif zona ini berada di Kecamatan Cepiring dan sebagian
Kecamatan Kangkung. Kondisi fisik pantainya mempunyai morfologi
yang lurus, dengan material lumpur berpasir, dan proses geomorfik yang
dominan adalah transportasi sedimen yang berimbang. Berdasarkan hasil
overlay peta dapat diketahui bahwa zona IV ini pada umumnya
sesuai (S1) untuk dikembangkan sebagai lahan pertambakan. Kegiatan
pertambakan sudah berlangsung tahun 1972 dengan memanfaatkan
lahan hasil akresi. Faktor pendukung budidaya tambak di zona ini
adalah ketersediaan air tawarnya sesuai, dan resiko abrasi kecil. Untuk
kawasan wisata, zona IV ini cukup sesuai (S2) oleh karena tipe
pantainya yang berpasir dan namun kualitas perairannya cukup keruh
sebagai akibat pengaruh sedimentasi dari muara Sugai Bodri. Obyek
wisata yang sudah ada di daerah ini adalah Pantai Muara Kencan.
Kemudian untuk dikembangkan sebagai kawasan Industri maka zona
ini termasuk kelas sesuai marjinal (S3), dan tidak sesuai (N). Berkaitan
dengan kawasan rehabilitasi pantai maka seluruh garis pantai pada Zona
ini termasuk kelas S2 (Cukup Sesuai) namun semakin jauh dari garis
pantai tidak sesuai untuk rehabilitasi pantai.

JURNAL TATA LOKA; VOLUME 14; NOMOR 2; FEBRUARI 2012


Kajian Perubahan Spasial Garis Pantai 1
1

1910

197 ZONAS
2 I
T
A
T
A
R
U
A
N
G
P
E
S
I
S
I
R
K
E
N
D
A
L
BERBASIS
POLA
PERUBAHA
N

JURNAL TATA LOKA; VOLUME 14; NOMOR 2; FEBRUARI 2012


Kajian Perubahan Spasial Garis Pantai 1
2

1992

2002

2009

Gambar 3 Alur Rencana Zonasi Pesisir berbasis Pola Perubahan


Pantai

JURNAL TATA LOKA; VOLUME 14; NOMOR 2; FEBRUARI 2012


Tabel 2. Matrik Kesesuaian Penggunaan Lahan yang Diperkenankan
dalam Satu Zone
Kesesuaian Penggunaan Lahan

Zonasi Kecamatan Industri


Tamba Wisata Rehabi
k litasi
Pantai
I Kaliwungu √ √ √ O
II Brangsong, Kota dan √ O O √
Kendal,
sebagian Patebon
III Patebon √ X O √
IV Cepiring dan Kangkung √ √ X √
V Kangkung, dan X √ √ X
Rowosari
Sumber: Hasil Keterangan : √ =
Analisis, 2011 Diperkenankan,

X = Tidak diperkenankan,

O = Ditentukan kasus per kasus

Zona V, yaitu wilayah pesisir dengan Pola Stagnan. Secara


administratif zona ini berada di sebagian Kecamatan Kangkung dan
Kecamatan Rowosari. Berdasarkan hasil overlay peta dapat diketahui
bahwa zona V ini pada umumnya cukup sesuai (S2) untuk
dikembangkan sebagai lahan pertambakan dengan faktor pembatas pada
ketersediaan air tawar yang terbatas dan tekstur tanahnya lempung
berpasir. Namun demikian zona V ini sesuai (S1) untuk dikembangkan
sebagai kawasan wisata, oleh karena pantainya berpasir dan kualitas
perairannya cukup jernih.
Zona V ini sudah ada kawasan wisata Pantai Sendang Sikucing
yang dikelola pemerintah dan Tempat Pelabuhan Ikan (TPI).
Keberadaan TPI ini perlu di kelola dengan baik agar limbah yang
dihasilkan tidak mencemari perairan di sekitarnya termasuk kawasan
wisata Pantai Sendang Sikucing. Namun demikian keberadaan TPI
dapat mendukung keberadaandaya tarik wisata setempat yaitu dengan
dikembangkannya wisata berlayar dan wisata kuliner.
Untuk dikembangkan sebagai Kawasan Industri maka zona ini
termasuk kelas sesuai (S1) hingga tidak sesuai (N). Berkaitan dengan
rehabilitasi pantai maka seluruh garis pantai pada zona ini termasuk
kelas marjinal untuk dikembangkan sebagai rehabilitasi pantai.

Kesimpulan
Perubahan spasial pesisir Kabupaten Kendal yang berlangsung
dari tahun 1910 hingga 2010 menghasilkan lima macam pola proses
perubahan garis pantai Kendal yaitu pola abrasi, pola akresi, pola
akrebrasi, pola akresi-stabil, dan pola stagnan. Pola perubahan garis
pantai pada pesisir Kabupaten Kendal dapat dijadikan dasar sebagai
perencanaan zonasi tata ruang pesisir. Setiap zona mempunyai
karakteristik fisik tertentu sehingga mempunyai potensi kesesuaian
pemanfaatan lahan tertentu juga. Kegiatan pemanfaatan lahan yang
berlangsung di setiap zona dan antar zona hendaknya saling
bersinergis (compatible).
Tabel 3. Matriks Kesesuaian Lahan
Budidaya Perikanan Tambak
No Kriteria Bobot Tingkat Kesesuaian

Sesua Skor Cukup Skor Sesuai Skor Tidak Skor


i (S1) Sesua Margi Sesua
i (S2) n al i (N)
(S3)
1 pH tanah 5 6,5– 4 5,5– 3 4,0– 2 < 4,0 1
7,5 dan
<6,5 <5,5 > 9,0
dan dan
>7.5– >8,0–
8,0 9,0
2 Tekstur 4 Lempu 4 Lempu 3 Liat 2 Lumpur, 1
Tanah ng liat ng berdeb Pasir
berpasi berpasi u
r r
3 Curah hujan 4 >2000 4 >1500 3 >1000 2 <1000 1
– – –
(mm/th) 2500 2000 1500 dan >
2500
4 Lereng 3 0–2% 4 >2–5% 3 >5– 2 > 15% 1
15%
5 Tipe garis 3 Stabil 4 Kurang 3 Tidak 2 Sangat 1
pantai stabil stabil tidak
stabil
6 Pantai 2 300– 4 >1000 3 >2000 2 > 4000 m 1
– –
(Jarak dari 1000 m 2000 m 4000 m
Pantai) < 300
m
7 Hidrologi 2 0–500 4 >500– 3 >1000 2 > 2000 m 1

(jarak dari m 1000 m 2000 m
sungai)
8 Penutup 1 Beluka 4 Sawah, 3 Mangr 2 Pemuki 1
r m
lahan , Kebun ove, an dan
Tegala Rawa Hutan
n, konserva
s
Tamba i
k
9 Aksesibilitas 1 Sangat 4 Lancar 3 Cukup 2 Tidak 1
lancar lancar lancar
Sumber: Pantjara et al. (2008) dengan modifikasi pada skor pembobotan
Tabel 4. Matrik Kesesuaian Lahan Kawasan
Wisata Pantai
No Kriteria Bob Tingkat Kesesuaian
ot Sesua Skor Cuku Skor Sesuai Skor Tida Skor
p Margin k
i (S1) Sesua al (S3) Sesua
i (S2) i (N)
1 Kedalaman 5 0–5 4 > 5–10 3 > 10–15 2 > 15 1
perairan/batimetr
i (m)
2 Tipe/ 5 Pantai 4 Pantai 3 Pantai 2 Pantai 1
karakteristik berpasi berpasi berpasir berlu
r m
Pantai bersih r kotor dan pur
berlumpu
r
3 Lebar pantai (m)4 > 10 4 > 5-< 3 3–5 2 <3 1
10
4 Kemiringan pantai 0–3 4 > 3–8 3 >8–15 2 > 15 1
3
(%)
5 Kekeruhan 3 < 20 4 20 3 > 20 2 > 20 1
perairan
(TSS) (mg/l)
6 Biota berbahaya 2 Tidak 4 Tidak 3 Bulu babi, 2 Ikan 1
No Kriteria Bob Tingkat Kesesuaian
ot Skor Cuku Skor Sesuai Skor Tida Skor
Sesu p Margin k
ai Sesua al Sesua
(S1) i (S3) i
(S2) (N)
ada ada Lepu pari,
Ikan
hiu
7 Ketersediaan air 2 4 1–2 3 >2–3 2 >3 1
<1
tawar(jarak/km)
8 Penutupan lahan 1 4 Semak 3 Rumput 2 Hutan 1
Kelapa,
pantai lahan beluka untuk bakau,
r
terbuka , penggem Permu
-
balaan kiman
,
Pelabu
han
Sumber: Yulius (2009) dengan modifikasi pada pemberian bobot,
kriteria TSS berdasarkan Kepmen LH no 51 tahun 2004, dan
pembentukan kategori Klas S3

Tabel. Matrik Kesesuaian Lahan Kawasan


Industri Daerah Penelitian
No Kriteria Bobot Tingkat Kesesuaian
Sesua Skor Cuku Skor Sesuai Skor Tida Skor
i p Margin k
(S1) Sesua al Sesua
i (S3) i
(S2) (N)
1 Kemiringa 3 0–8% 4 >8– 3 >15– 2 > 25% 1
15%
n lereng 25%
2 Pengguna- 4 Lahan 4 Pertania 3 Tambak 2 Hutan 1
an lahan kosong n lahan konserva
s
kering, i,
Sawah
Tegalan irigasi
teknis,
Permuki
man
3 Sumberda- 2 Tersedi 4 Tersedi 3 Tersedi 2 Langka 1
a a a
ya air besar sedang kecil air atau
dengan dengan dengan kualitasn
y
kualitas kualitas kualitas a asin
tidak agak payau
asin tidak
asin
4 Aksesibili- 1 Tinggi 4 Sedang 3 Kurang 2 Rendah 1
tas
Sumber: Sanjoto, 1996 dengan modifikasi pada pembobotan.

Tabel . Matriks Kesesuaian Lahan Kawasan


Lindung/Rehabilitasi Pantai
No Kriteria Bobot Tingkat Kesesuaian
Sangat Skor Sesuai Skor Sesuai Skor Tidak Skor
Sesuai Marjinal Sesuai
1 Jarak 4 100 m 4 >100- 3 >150- 2 >200 m 1
dari 200
dari garis pasang 150 m m dari dari
pantai tertinggi dari pasang pasang
pasang tertinggi terting
g
tertingg i
i
2 Penggun 3 Cagar 4 Hutan 3 Taman 2 Permu 1
k
aan alam Pantai, wisata iman,
lahan alami pelabu
han
3 Vegetasi1 Mangrov 4 Nipah 3 Pinus 2 Kelapa 1
e
pantai
No Kriteria Bobot Tingkat Kesesuaian
S Skor Sesuai Skor Sesuai Skor Skor
a
n Marjin Tida
g k
a al Sesua
t i

S
e
s
u
a
i

4 2Proses Geomorf 4 Abrasi 3 Akresi 2 Stabil 1


Abra
si

kuat
ologi

Sumber: Modifikasi dari Fauzi et al., (2009), yaitu pada pembobotan dan
digantikannya kriteria RTRW menjadi proses geomorfologi

Daftar Pustaka
Bird, E.C.F. dan Ongkosongo O. S. R., 1980. Environmental changes on the coasts of
Indonesia, The United Nations University. Tokyo.
Fauzi, Y., Susilo B., dan Mayasari Z. M.. 2009. Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir
Kota Bengkulu Melalui Perancangan Model Spasial dan Sistem Informasi Geografis (SIG).
Jurnal Forum Geografi, Vol. 23, No. 2: 101 – 111.
Gamage, N., dan Smakhtin V. 2009. Do River Deltas in East India Retreat? A Case of the
Krishna Delta. Journal of Geomorphology, Vol 103: 533-540.
Lumbanbatu, U.M. 2009. Perkembangan Dataran Pantai (Coastal Plain) Daerah Kendal Provinsi Jawa
Tengah.
Jurnal Sumber Daya Geologi. 19 (4): 225 - 237.
Pantjara, B., U. Aliman, dan M. Mangampa. 2008. Kesesuaian Lahan Budidaya Tambak di
Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara. Jurnal Riset Akuakultur 3 (1):
123 – 135.

Poedjoprajitno, S., Moechtar H., dan Hidayat S. 2009. Perubahan Lingkungan Pengendapan,
Hubungannya dengan Tektonik Kuarter. Jurnal Sumber Daya Geologi. 19 (2) : 107 -
116.

Sabatier, F., Samat O., Ullmann A., dan Suanez S.. 2009. Connecting large-scale coastal behaviour
with coastal management of the Rhone delta. Journal of Geomorphology Vol 107: 79 – 89.

Sanjoto, T.B. 2012. Perubahan Spasial Delta Sungai Bodri Sebagai Basis Zonasi Tata Ruang
Pesisir Kabupaten Kendal. Disertasi Doktor Manajemen Sumberdaya Pantai
UNDIP. Semarang.

Sanjoto, T.B. 1996. Penggunaan Foto Udara Dalam Evaluasi Kesesuaian Lahan Untuk
Kawasan Industri di Sub Wilayah Pembangunan I Kabupaten Kendal Jawa Tengah.
Tesis Program Pascasarjana UGM. Yogyakarta.
Saptorini, D., Vincentius P. S, dan Ongkosongo O.S.R. 2001. Coastline Change Detection
Using Remote Sensing Technique: Banten Bay Study Case. Journal of GIS, Remote
Sensing & Dynamic Modelling No.1:15 - 32

Sari, R. 2011. Strategi Implementasi Biosecurity Pada Tambak Udang Vanname


(Litopenaeus vannamei) di Kabupaten Kendal. Ringkasan Disertasi Program
Pascasarjana UNDIP. Semarang.
Sidarto. 1997. Perkembangan Pantai Tangerang, Jawa Barat ditafsir dari Potret Udara. Jurnal
Geologi dan Sumberdaya Mineral. Vol. VII No.75: 2 – 10.
Simeoni, U., dan Corinne C. 2009. A Review of the Delta Po evolution (Italy) related to
climatic changes and human impacts. Journal of Geomorphology Vol 107 : 64-71.

Subagio, H. 2007. Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Garis Pantai
Delta Porong dan Delta Rungkut - Jawa Timur 1945 – 2006. Jurnal Ilmiah Geomatika
Vol.13 No.2 :1 - 13

Suprajaka. 1989. Morfogenesis dan Pedogenesis Bentanglahan Delta Sungai Progo. Skripsi.
Fakultas Geografi UGM. Yogkarta.

Sutrisno, D. 2005, Dampak kenaikan Muka Laut Pada Pengelolaan Delta: Studi Kasus
Penggunaan Lahan Tambak di Pulau Muaraulu Delta Mahakam. Disertasi. IPB.
Bogor. Journal of Coastal and Marine Resources. Volume 4, No. 3: 1-16
UU Nomer 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Yulius. 2009. Aplikasi Sistem Informasi Geografis dalam Penentuan Kawasan Wisata Pantai
Kategori Rekreasi di Teluk Bungus, Kota Padang. Laporan Penelitian. Pusat Riset
Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati, BRKP – DKP. Jakarta

Tahir, A., Bengen D.G. dan Susilo S.B, 2002. Analisis kesesuaian lahan dan kebijakan
pemanfaatan ruang kawasan pesisir teluk Balikpapan. Jurnal Pesisir & Lautan.
Indonesia
I. PENDAHULUAN

a. Permasalahan yang melatarbelakangi lahirnya zonasi wilayah


Perubahan garis pantai (shore line) wilayah pesisir Kabupaten Kendal telah dijelaskan dalam
buku tulisan Bird dan Ongkosongo (1980), bahwa selama periode waktu 1864 -1973 (109 tahun),
garis pantai wilayah pesisir mengalami pertumbuhan yang bervariasi. Dalam kurun waktu tersebut
pesisir Kabupaten Kendal mengalami perkembangan yang cenderung bergerak ke arah Timur. Muara
Sungai Bodri juga mengalami perubahan posisinya. Semula pada tahun 1864 muara Sungai Bodri
melewati wilayah Margorejo (sebelah Barat dari muara Sungai Bodri sekarang), kemudian pada tahun
1910 muara sungai telah bergeser ke arah Timur dan mengalami pertumbuhan serta muaranya
bercabang. Perkembangan pesisir ini terus berlangsung hingga pada tahun 1946 dimana arah muara
Sungai Bodri telah bergeser ke arah Utara dan Timur laut. Selanjutnya muara Sungai Bodri terus
mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1973 alur sungainya telah bercabang dua, yang satu bermuara
ke arah Utara dan Timur laut, yang lainnya bermuara ke arah Barat laut hingga sekarang. Gambaran
tersebut menjadi petunjuk bahwa wilayah pesisir Delta Bodri mengalami proses morfodinamika yang
cukup tinggi. Di beberapa tempat semakin meluas ke arah laut (akresi) sebagai akibat proses
sedimentasi yang cukup besar, namun di tempat lain ada wilayah pesisir yang mengalami masalah
sebaliknya yaitu abrasi, seperti misalnya di wilayah pesisir Kartika
Jaya. Hasil-hasil penelitian tersebut di atas, belum ada satupun yang mengkaitkan
fenomena perubahan spasial delta sebagai basis zonasi pemanfaatan lahan wilayah pesisir. Mereka
umumnya hanya terpaku pada proses morfodinamika yang ada di tempat kejadian saja (in situ). Oleh
karena itu perencanaan zonasi pesisir berbasis perubahan spasial pantai merupakan hal baru yang
perlu diterapkan pada kabupaten dengan pesisir yang dinamis.
Berdasarkan uraian di atas maka tujuan penelitian ini adalah untuk : (1) Mengkajipola
perubahan spasial pantai Kabupaten Kendal dari tahun 1910-2009.
(2) Merumuskan rencana pemintakatan (zoning plan) daerah pesisir berbasis pada perubahan spasial
pantai.
b. lokasi zonasi
Lokasi zonasi berada Di kabupaten Kendal Provinsi jawa tengah, kita bisa melihat pada
gambar peta dan diagram alir penelitian yang ada di bawah.
Peta citra lokasi penelitian
Diagram alir penelitian
II. PEMBAHASAN

Pembagian wilayah :
Berdasarkan hasil tumpang susun peta-peta tersebut dapat diketahui kesesuaian pemanfaatan
lahan pada setiap zona perubahan garis pantai yang dapat dijelaskan sebagai berikut, sedangkan
kriteria kesesuaian lahan untuk tambak, wisata pantai, kawasan industri,dan rehabilitasi pantai tersaji
pada lampiran.
Zona I, yaitu wilayah pesisir dengan Pola Abrasi. Zona ini berada di bagian timur daerah
penelitian dan secara administratif berada di Kecamatan Kaliwungu. Kondisi fisik zona I ini adalah
bentuk pantainya agak melengkung dengan material pantainya pasir berwarna abu-abu kehitaman dan
proses geomorfik yang dominan berupa abrasi. Dari hasil overlay peta dapat diketahui bahwa wilayah
zona I sesuai (S1) untuk budidaya tambak. Zona I ini juga sesuai (S1) untuk kegiatan wisata pantai.
Faktor pendukungnya adalah pada wilayah ini terdapat pantai yang berpasir dan aksesibitasnya tinggi,
yaitu di pantai Ngebum. Berkaitan dengan peruntukan kawasan Industri, zona I ini termasuk cukup
sesuai (S2) dengan faktor pendukungnya adalah aksesibilitasnya tinggi. Jadi zona I
merupakan wilayah yang sesuai untuk berbagai kegiatan mulai dari kegiatan pertambakan,wisata
pantai, kawasan industri, dan kawasan rehabilitasi pantai. Zona I juga merupakan Zona Kawasan
Ekonomi Khusus (KEK) Kabupaten Kendal, sehingga perkembangan industrialisasi di daaerah ini
sangat pesat, sehingga mengancam keberadaan lahan tambak.
Zona II, yaitu wilayah pesisir dengan Pola Akresi. Zona ini berada di dua lokasi yaitu di
sekitar muara Sungai Blorong dan muara Sungai Bodri. Secara administratif zona II yang ada di
sekitar muara Sungai Blorong berada di Kecamatan Brangsong dan Kecamatan Kota Kendal,
sedangkan di sekitar muara Sungai Bodri berada di Kecamatan Patebon. Secara fisik bentuk
morfologi zona II ini berupa delta runcing. Materialnya didominasi oleh lumpur berwarna coklat
muda dan proses geomorfik yang dominan adalah sedimentasi (akresi). Berdasarkan hasil overlay
peta dapat diketahui bahwa sebagian besar wilayah Zona II mempunyai tingkat kesesuaian yang
tinggi (S1) untuk budidaya tambak.
Zona III, yaitu wilayah pesisir dengan Pola Akrebrasi (Akresi ke Abrasi). Secara administratif
zona ini berada di Kecamatan Patebon. Kondisi fisik zona III mempunyai morfologi pantai yang tidak
teratur akibat adanya proses abrasi, materialnya berupa lumpur berpasir. Penggunaan lahannya
didominasi lahan tegalan dan tambak. Berdasarkan hasil overlay diperoleh data bahwa wilayah zona
III mempunyai kesesuaian lahan yang bervariasi kelas S1 dan kelas S2 baik untuk tambak maupun
untuk kawasan Industri. Budidaya tambak menempati lahan bekas akresi.
Zona IV, yaitu wilayah pesisir dengan Pola Akresi menjadi Stabil. Secara administrative zona
ini berada di Kecamatan Cepiring dan sebagian Kecamatan Kangkung. Kondisi fisik pantainya
mempunyai morfologi yang lurus, dengan material lumpur berpasir, dan proses geomorfik yang
dominan adalah transportasi sedimen yang berimbang. Berdasarkan hasil overlay peta dapat diketahui
bahwa zona IV ini pada umumnya sesuai (S1) untuk dikembangkan sebagai lahan pertambakan.
Kegiatan pertambakan sudah berlangsung tahun 1972 dengan memanfaatkan lahan hasil akresi.
Faktor pendukung budidaya tambak di zona ini adalah ketersediaan air tawarnya sesuai, dan resiko
abrasi kecil.
Zona V, yaitu wilayah pesisir dengan Pola Stagnan. Secara administratif zona ini berada di
sebagian Kecamatan Kangkung dan Kecamatan Rowosari. Berdasarkan hasil overlay peta dapat
diketahui bahwa zona V ini pada umumnya cukup sesuai (S2) untuk dikembangkan sebagai lahan
pertambakan dengan faktor pembatas pada ketersediaan air tawar yang terbatas dan tekstur tanahnya
lempung berpasir. Namun demikian zona V ini sesuai (S1) untuk dikembangkan sebagai kawasan
wisata, oleh karena pantainya berpasir dan kualitas perairannya cukup jernih. Zona V ini sudah ada
kawasan wisata Pantai Sendang Sikucing yang dikelola pemerintah dan Tempat Pelabuhan Ikan
(TPI). Keberadaan TPI ini perlu di kelola dengan baik agar limbah yang dihasilkan tidak mencemari
perairan di sekitarnya termasuk kawasan wisata Pantai Sendang Sikucing. Namun demikian
keberadaan TPI dapat mendukung keberadaandaya tarik wisata setempat yaitu dengan
dikembangkannya wisata berlayar dan wisata kuliner. Untuk dikembangkan sebagai Kawasan Industri
maka zona ini termasuk kelas sesuai (S1) hingga tidak sesuai (N). Berkaitan dengan rehabilitasi
pantai maka seluruh garis pantai pada zona ini termasuk kelas marjinal untuk dikembangkan sebagai
rehabilitasi pantai.
III. KESIMPULAN
Perubahan spasial pesisir Kabupaten Kendal yang berlangsung dari tahun 1910hingga 2010
menghasilkan lima macam pola proses perubahan garis pantai Kendal yaitu pola abrasi, pola akresi,
pola akrebrasi, pola akresi-stabil, dan pola stagnan. Pola perubahan garis pantai pada pesisir
Kabupaten Kendal dapat dijadikan dasar sebagai perencanaan zonasi tata ruang pesisir. Setiap zona
mempunyai karakteristik fisik tertentu sehingga mempunyai potensi kesesuaian pemanfaatan lahan
tertentu juga. Kegiatan pemanfaatan lahan yang berlangsung di setiap zona dan antar zona hendaknya
saling bersinergis (compatible).
Dapat saya simpulkan dari hasil review jurnal zonasi yang saya lakukan saya mendapatkan
pelajaran tentang bagaimana saya bisa mengetahui perubahan garis pantai yang terjadi di wilayah
pesisir kabupaten Kendal dan dapat mengetahui bagaimana pembagian wilayah zonasi berdasarakan
hasil tumpang susun peta-peta dimana terbagi di beberapa wilayah dengan menggunakan zona-zona
yang sudah di tentukan.
Telaah aturan Rencana Zonasi Tata Ruang Pesisir Kabupaten Kendal Berbasis Pola
Perubahan Delta
UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
mendefinisikan Zonasi sebagai suatu bentuk rekayasa teknik pemanfaatan ruang melalui penetapan
batas-batas fungsional sesuai dengan potensi sumberdaya dan daya dukung serta proses-proses
ekologis yang berlangsung sebagai satu kesatuan dalam ekosistem pesisir. Berdasarkan definisi zonasi
tersebut maka dari hasil penelitian Pesisir Kendal dapat dibagi menjadi lima wilayah zonasi
berdasarkan atas lima pola perubahan garis pantai Kendal. Untuk mengetahui potensi kesesuaian
pemanfaatan lahan maka Peta Zonasi tersebut ditumpang-susunkan (overlay) dengan peta kesesuaian
pemanfaatan lahan
tambak, peta kesesuaian pemanfaatan lahan wisata pantai, peta kesesuaian pemanfaatan lahan
kawasan industri, dan peta kesesuaian pemanfaatan lahan rehablitasi pantai.
Berdasarkan bunyi pada UU Nomor 27 Tahun 2007 yang di jelaskan di atas tentang
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil mendefinisikan zonasi sebagai bentuk rekayasa
teknik namun berdasarkan dari bunyi UU tersebut pada zonasi ini telah mencapai cita-cita sesuai
dengan UU .Namun pada zonasi II belum mencapai. kita bisa lihat pada zona II dimana Untuk
dikembangkan sebagai wisata pantai, zona ini tidak sesuai (S3) oleh karena banyak kendalanya
diantaranya aksesibilitasnya yang sulit dijangkau, materialnya berupa lumpur dan kualitas
perairannya keruh. Kemudian untuk dikembangkan sebagai kawasan industri maka zona ini sebagian
besar termasuk kelas S2 dan S3.
ISSN 2337-7992 (Daring)

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN


PADA ZONASIPENGELOLAAN TAMAN
NASIONAL BUKIT TIGA PULUH
MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT
Spatial Analysis for Landcover Changes on management zonation in Bukit Tiga
Puluh National Park using Landsat Imageries

Eva Achmad, Hamzah, Albayudi, dan Priambodo


Fakultas Kehutanan, Universitas Jambi

ABSTRACT. Bukit Tiga Puluh National Park is one of the important Nature Conservation Areas
in central Sumatra because it has a variety of protected flora and fauna. The aim of this
research was to observe the rate of change of land cover in the period 2002-2016 in Bukit Tiga
Puluh National Park. The research used remote sensing methods by utilizing satellite imagery
data to generate land cover data. This study used the classification of supervised images,
where the image classes are self-defined based on field data in the form of coordinate points
marked with GPS. The study found that land cover has changed from 2002-2016, where the
area of primary forest has decreased 5.422,80 hectares or with average rate 387,34 hectares /
year, secondary forest had an increase of 103,00 hectares or with average rate of 7.35 hectares

/ year, open land increased 2,243.13 hectares or at an average rate of 160.22 hectares / year,
dryland agriculture increased 1,929.69 hectares with an average rate of 137, 83 hectares / year,
dryland farming mixed with shrubs increased 641.32 hectares or with an average rate of 45.80
hectares / year, and shrubs increased 505.66 hectares or with an average rate of 36.11
hectares / year. The results of the classification in the management zone, the core zone is
dominated by primary and secondary forests while in the jungle zone there is a closure other
than forests such as agriculture, shrubs and open land as much as 0.05%.

Keywords: Landcover; Bukit Tiga Puluh National Park; Landsat image; management zonation

ABSTRAK. Taman Nasional Bukit Tiga Puluh merupakan salah satu Kawasan
Pelestarian Alam yang penting di Sumatera bagian tengah karena memiliki ragam jenis
flora dan fauna yang dilindungi. Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk
mengamati laju perubahan tutupan lahan dalam periode 2002-2016 di Taman
Nasional Bukit Tiga Puluh. Penelitian menggunakan teknik pengindraan jauh dengan
memanfaatkan data citra satelit untuk menghasilkan data tutupan lahan. Penelitian ini
menggunakan metode klasifikasi citra terbimbing (supervised classification), dimana
kelas-kelas citra didefinisikan dengan training area berdasarkan data lapangan berupa
titik-titik groundcheck yang ditandai dengan GPS. Hasilpenelitian menunjukkan bahwa
perubahan tutupan lahan dari tahun 2002-2016 dimana hutan primer mengalami
penurunan luasan sebesar 5.422,80 ha atau dengan laju rata-rata 387,34 ha/tahun,
hutan sekunder mengalami peningkatan sebesar 103,00 ha atau dengan laju rata-
rata 7,35 ha/tahun, lahan terbuka mengalami peningkatan sebesar 2.243,13 ha atau
dengan laju rata-rata 160,22 ha/tahun, pertanian lahan kering mengalami peningkatan
sebesar 1.929,69 ha dengan laju rata-rata 137,83 ha/tahun, pertanian lahan kering
bercampur semak mengalami peningkatan sebesar 641,32 ha atau dengan laju rata-rata
45,80 ha/tahun, dan semak belukar mengalami peningkatan sebesar 505,66 ha atau
dengan laju rata-rata 36,11 ha/tahun. Hasil klasifikasi pada zona pengelolaan, zona inti
didominasi oleh hutan primer dan hutan sekunder sedangkan di zona rimba sudah ada
penutupan selain hutan seperti pertanian, semak belukar dan lahan terbuka sebesar
0.05%..
Kata kunci: Tutupan lahan; Taman Nasional Bukit Tiga Puluh; citra Landsat; zonasi
pengelolaan
Penulis untuk korespondensi: evaachmad@unja.ac.id

PENDAHULUAN penutupan lahan yang lain yang


diindikasi dengan pertambahan atau
pengurangan luasannya dan fungsinya
Perubahan tutupan lahan merupakan pada periode tertentu (Diyono, 2001).
berubahnya suatu jenis lahan ke jenis Menurut Forest Watch Indonesia (2011)
tercatat, pada tahun 2009 luas tutupan
hutan di Indonesia
pada tahun 2000 kawasan TNBT masih
sebesar 88,17 juta Ha atau sekitar terdapat hutan primer, setelah
46,33% dari luas daratan Indonesia. dibandingkan dengan tutupan lahan
Menurut Noviansyah (2000) tahun 2003 kawasan hutan primer
menyatakan, bahwa penyebab mengalami degradasi menjadi hutan
terjadinya perubahan tutupan lahan sekunder. Hasil ini menunjukkan dalam
disebabkan adanya aktivitas manusia. selang waktu tiga tahunterjadi perubahan
Perubahan yang disebabkan oleh tutupan lahan yang signifikan pada
aktivitas manusia dipengaruhi oleh kawasan TNBT. Adanya tingkat ancaman
faktor aksesibilitas, pesatnya laju berupa kegiatan illegal loging,
pertumbuhan penduduk dan jarak lokasi menyebabkan berkurangnya luasan
dari pemukiman. Hal ini mengakibatkan
perubahan tutupan lahan pada kawasan
hutan.
Taman Nasional Bukit Tiga Puluh
selanjutnya disingkat TNBT merupakan
salah satu Kawasan Pelestarian Alam
(KPA) yang penting di Sumatera bagian
tengah karena memiliki ragam jenis
flora dan fauna yang dilindungi. Taman
Nasional Bukit Tiga Puluh dibentuk
dengan SK Menteri Kehutanan
No.539/Kpts-II/1995 dan selanjutnya
ditetapkan berdasarkan SK Menteri
Kehutanan No.6407/Kpts-II/2002
Tanggal 21 Juni 2002, dengan luas
kawasan TNBT 144.223 Ha. Secara
administrasi TNBT berada pada dua
Provinsi yaitu Propinsi Riau dan
Provinsi Jambi. Luas kawasan TNBT di
Provinsi Riau berada di Kabupaten
Indragiri Hulu dengan luas 88.607.63
Ha dan Indragiri Hilir dengan luas
19.577.21 Ha serta Provinsi Jambi
Kabupaten Tanjung Jabung Barat
dengan luas 11.520.00 Ha dan
Kabupaten Tebo dengan luas 24.518.16
Ha. TNBT memiliki 6 resort wilyah kerja
dimana 4 di Provinsi Riauyang berada di
Lahai, Siambul, Talang Lakat, dan
Keritang serta 2 resort wilayah kerja di
Provinsi Jambi yang berada di Suo- Suo
dan Lubuk Mandarsah. Sebelumnya
kawasan TNBT merupakan perubahan
fungsi dari kawasan hutan lindung, yaitu
Hutan Lindung Haposipin dan kawasan
HPT di Provinsi Riau Serta Hutan
Lindung Singkati Batanghari di Provinsi
Jambi (RPJPBTNBT, 2015).
Menurut Kwartina dan Antoko
(2007) kawasan TNBT sebagian besar
merupakan hutan sekunder serta hanya
sebagian kecil dari seluruh kawasan
merupakan hutan primer. Penafsiran
dengan menggunakan citra Landsat
fenomena yang terjadi di permukaan
hutan sekunder dan luasan hutan bumi (Khalil 2009). Penelitian ini
primer yang ada di kawasan TNBT. Hal bertujuan untuk menganalisis
lain yang akan ditimbulkan dengan perubahan tutupan lahan yang terjadi di
adanya kegiatan ancaman tersebut, TNBT serta meanganalisis tutupan lahan
dikhawatirkan akan hilangnya berbagai pada zonasi pengelolaan TNBT
jenis satwa dan tumbuhan penting yang
hidupnya bergantung pada keberadaan
hutan primer dan hutan sekunder pada
hutan TNBT.
Berdasarkan dari data literatur,
kerusakan kawasan di TNBT
disebabkan dengan adanya kegiatan
seperti illegal logging, kebakaran hutan,
dan perambahan, sehingga
menyebabkan deforestasi. Deforestasi
yang terjadi di TNBT dari tahun 2013
sampai tahun 2015 seluas 981 Ha,
dimana tahun 2013 luas yang berubah
369 Ha, tahun 2014 dengan luas 469
Ha dan pada tahun 2015 seluas 143 Ha.
Bentuk kerusakan hutan tersebut
terjadi hampir di setiap daerah resort
wilayah kerja yang ada di TNBT (RPJP
BTNBT, 2015).
Cara dalam mengatasi permasalahan
yang berkaitan dengan kerusakan
hutan, dapat dilakukan dengan metode
penginderaan jauh dengan cara
memantau atau memonitoring suatu
wilayah yang akan diamati. Saat ini
penginderaan jauh telah banyak
digunakan untuk berbagai keperluan
seperti kehutanan,
pertanian, pertambangan,
kelautan, dan sebagainya.
Penginderaan jauh bertujuan untuk
memberikan informasi dari suatu
objek, areal, dan fenomena geografis
dengan menggunakan analisis data dari
sensor(Indarto dan Faisol, 2009).
Upaya mengkaji perubahan
landcover di suatu kawasan, citra
Landsat diidentifikasi dengan cara
pengklasifikasian atau
pengelompokkan kedalam kelas-kelas
seperti hutan primer, hutan sekunder,
perkebunan, semak, lahan terbuka,
pemukiman, dan badan air (Lillesand
dan Kiefer, 1990). Dalam melakukan
klasifikasi tutupan lahan dapat
dilakukan dengan menggunakan Sistem
Informasi Geografis (SIG). SIG
merupakan suatu sistem yang terdiri
dari data, perangkat keras (Hardware),
perangkat lunak (Software), dan
manusia. SIG bertujuan untuk
menyimpan, mengumpulkan, dan
menganalisa objek- objek serta
METODE PENELITIAN akurasi terendah (minimal) yang dapat diterima
adalah sebesar 85%. Reklasifikasi diperlukan jika
tingkat akurasinya kurang dari 85%, Analisis
akurasi dilakukan dengan menggunakan suatu
Pelaksanan penelitian di kawasan
confusion matrix atau matriks kesalahan (atau
TNBT dilakukan pada pertengahan
matriks kontingensi. Hasil dari klasifikasi citra
tahun 2017 dan awal 2018 di Taman
berupa data tutupan lahan. Selanjutya tutupan
Nasional Bukit Tiga Puluh, dengan luas
lahan di
wilayah 144.223ha. Bahan dan alat yang
digunakan dalam penelitian yaitu citra
Landsat 7 ETM+ tahun 2002, citra
satelit Landsat 5 tahun 2008 dan citra
satelit Landsat 8 OLI tahun 2013, dan
2016. Alat yang digunakan berupa
Global Positioning System (GPS),
kamera, alat tulis, dan seperangkat
komputer dilengkapi dengan software
ArcGGIS 10.1 serta Erdas Imagine 9.2.
Data lainnya yang digunakan peta
administrasi TNBT, peta jaringan jalan,
peta jaringan sungai, dan peta jarak
dari desa.. Citra satelit didapat dengan
cara mengunduh melalui website United
States Geological Survey (USGS) dan
juga peta administrasi TNBT diperoleh
dari Balai Taman Nsional Bukit Tiga
Puluh. Pengambilan data dilapangan
dilakukan dengan cara menandakan
lokasi yang diambil datanya dan
merekam koordinat lokasi
menggunakan GPS. Titik-titik koordinat
digunakan sebagai rujukan dalam
klasifikasi citra Landsat dengan metode
klasifikasi terbimbing (Supervised
Classification).
Tahapan pengelolaan data pada
penelitian ini diawali dengan penyiapan
data citra dengan dilakukan koreksi
geometris untuk memposisikan titik
piksel pada citra sesuai dengan titik
acuan dipermukaan bumi. Selanjutnya
dilakukan pemotongan data citra sesuai
dengan batasan kawasan penelitian.
Kemudian data citra yang sudah
dipotong dilakukan klasifikasi data citra
dengan menggunakan klasifikasi citra
terbimbing.
Pada saat klasifikasi citra diperlukan
uji akurasi, untuk mengantisipasi
kemungkinan terjadinya suatu
kesalahan dalam menentukan kelas
tutupan lahan, sehingga perlu dilakukan
uji akurasi. Tujuan uji akurasi untuk
mengkaji tingkat keakuratan hasil
klasifikasi yang telah dilakukan. Tngkat
overlay atau menyatakan bahwa penentuan training
ditumpangtindihkan dengan area dilakukan untuk mengidentifikasi
membandingkan tutupan training area yang mewakili setiap kelas
lahan tahun 2002, 2008, tutupan lahan dan mengkonstruksi
2013, dan 2016. Metode untuk suatu deskripsi numerik dari spektral
menganalisis perubahan setiap tutupan lahan. Pembuatan
tutupan lahan dalam peneltian training area didasarkan data hasil
ini adalah Post Classification pemeriksaan lapanganmdan
Change Detection dimana pengetahuan analis terhadap lokasi
dalam metode analisis studi.
dilakukan dengan Pengujian akurasi hasil klasifikasi
membandingkan perubahan dilakukan dengan tujuan untuk melihat
tutupan lahan secara tingkat keakuratan dan ketelitian dalam
kuantitatif hasil klasifikasi
setiap periode perekaman citra
yang digunakan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Klasifikasi Tutupan Lahan di


Taman Nasional Bukit Tiga
Puluh

Berdasarkan perekaman
citra Landsat, tutupan lahan
kawasan TNBT dapat
diklasifikasikan menjadi 6
kelas tutupanlahan, yaitu kelas
hutan primer, hutan sekunder,
lahan terbuka, semak belukar,
pertanian lahan kering, dan
pertanian lahan kering
bercampur dengan semak.
Klasifikasi ini disesuaikan
dengan kondisi yang ada
didalam kawasan TNBT.
Klasifikasi citra merupakan suatu kegiatanmengelompokkan piksel-piksel pada citra sehngga diperole
2013, dan 2016. pada kawasan
TNBT dengan perekaman citra
Landsat tahun Metode
klasifikasi yang digunakan
adalah klasifikasi terbimbing
(supervised).
Citra Landsat yang telah
dilakukan klasifikasi,
selanjutnya dilakukan
pengujian terhadap citra yang
telah di klasifikasi. Uji akurasi
dilakukan dengan
menggunakan matrik
kesalahan (confusion matrix)
atau matrik kontingensi yang
diperoleh dengan proses
mengelompokkan piksel
diawali pada area contoh
(training area). Menurut
Sampurno dan Thoriq (2016)
mengklasifikasi area contoh. Ketelitian piksel yang salah. Berikut tabel matrik
klasifikasi ditunjukkan oleh jumlah kesalahan dari hasil klasifikasi citra
piksel pada training area yang Landsat 8 OLI/Tirs tahun 2016 yang
terklasifikasi dengan tepat, persentase disajikan dalam Tabel 1.
banyaknya piksel dalam keseluruhan
klasifikasi serta total

Tabel 1. Pendugaan Akurasi Hasil Klasifikasi Citra Tahun 2016


Producer
Row
Data LT SB PS PK HS HP Accuracy
Total
(%)
LT 1832 8 10 0 0 1 2040 89,80
SB 1 1645 122 1 106 0 1875 87.73
PK 0 166 2580 4 39 0 2789 92.51
PS 6 3 35 364 19 0 427 85.25
HS 0 69 12 2 5722 19 5824 98.25
HP 0 0 0 0 217 840 1155 72.73
Total 1843 1891 2759 371 6105 860 14110
Ucer
99,40 86,99 93,51 98,11 93,73 97,67
Accuracy (%)
Commission Error (%) 0,60 13,01 6,49 1,89 6,27 2,33
Overall Accuracy (%) 96,44%
Kappa Accuracy (%) 95,24%

Hasil klasifikasi citra Landsat merupakan hasil klasifikasi citra


disajikan dalam bentuk peta tutupan Landsat menggunakan sofware Erdas
lahan yang digunakan untuk Imagine 9.2 dan ArcGIS 10.1 yang
mengetahui perubahan tutupan lahan disajikan dalambentuk peta tersebut.
tiap tahunya di TNBT. Berikut

(a) (b)
(c) (d)
Gambar 1. Peta tutupan lahan (a) tahun 2002, (b) 2008, (c) 2013, dan (d) 2016

Analisis Perubahan Tutupan Lahan pada kawasan TNBT. Hasil dari overlay peta
Periode 2002-2008
tutupan lahan tahun 2002 dan 2008 dengan
Hasil analisis citra Landsat 7 ETM+
mengunakan metode change detection post
tahun 2002 dan Landsat 5 TM tahun
2008, menunjukkan perubahan classification didapat perubahan tutupan lahan
tutupan lahan
secara keseluruhan yang disajikan dalam Tabel
2.

Tabel 2. Perubahan Tutupan Lahan TNBT Periode 2002-2008.


2002 2008 2002-2008
No Keterangan Luas
Luas (ha) (%) Luas (ha) (%) (%)
(ha)
1. Hutan Primer -
32.017,80 18,51 26.395,80 18,31 -3,90
5.622,00
2. Hutan
105.695 76,99 108.251,00 75,07 2.556,00 1,77
Sekunder
3. Lahan
223,28 0,16 286,44 0,20 63,16 0,04
Terbuka
4. Pertanian
2416,08 1,68 1.443,88 1,00 -972,20 -0,67
Lahan Kering
5. Pertanian
Lahan Kering
2.810,61 1,95 4.281,88 2,97 1.471,27 1,02
Bercampur
Semak
6. Semak
1.028,93 0,71 859,68 0,60 -169,25 -0,12
Belukar
7. Awan - - 1.709,56 1,19 - -
8. Bayangan
- - 963,45 0,67 - -
Awan
Total 144.191,70 100 144.191,70 100

% dari seluruh luasan TNBT. Penurunan tersebut


Pada periode 2002-2008 tutupan dimana hutan primer berubah menjadi hutan
hutan primer mengalami penurunan sekunder seluas 5.321,55 ha, menjadi lahan
sebesar -3,90 terbuka seluas 1,84 ha dan menjadi semak belukar
seluas 9,60 ha. Pada periode 2002-
2008 dimana perubahan tutupan hutan primer dipengaruhi oleh
adanya awan dan bayangan awan,
sehingga tutupan hutan primer tertutupi
oleh awan dan bayangan awan seluas
289.44 ha. Total luas perubahan tutupan
hutan primer periode 2002-2008
sebesar 5.622 ha
atau 3,90 %.
Analisis Perubahan Tutupan Lahan
dalam kawasan TNBT. Hasil dari overlay
Periode 2008-2013
peta tutupan lahan tahun 2008 dan
Analisis citra satelit Landsat 5 TM 2013 dengan mengunakan metode
tahun 2008 dan Landsat 8 OLI tahun change detection didapat perubahan
2013, menunjukkan perubahan tutupan tutupan lahan secara keselurahan yang
lahan disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Perubahan tutupan lahan di TNBT periode 2008-2013


No Keterangan 2008 2013 2008-2013
Luas (ha) (%) Luas (ha) (%) Luas (ha) (%)
1. Hutan Primer 26.395,80 18,31 26.655,20 18,49 259,40 0,18
2. Hutan Sekunder 108.251,00 75,07 109.320,00 75,82 1.069,00 0,74
3. Lahan Terbuka 286,44 0,20 678,41 67,04 391,97 0,27
4. Pertanian Lahan 1.443,88 1,00 2.961,53 2,05 1.517,65 1,05
Kering
5. Pertanian Lahan 4.281,88 2,97 3.564,63 2,47 -717,25 -0,50
Kering
Bercampur
Semak
6 Semak Belukar 859,68 0,60 1.011,93 0,70 1.52,25 0,11
7. Awan 1.709,56 1,19 - - - -
8. Bayangan Awan 963,45 0,67 - - - -
Total 144.191,70 100 144.191,70 100

peningkatan yang disebabkan beberapa


Pada periode 2008-2013 tutupan tutupan yang berubah seperti hutan
hutan primer mengalami peningkatan sekunder dengan luas 175,93 ha,
sebesar 0,18 pertanian lahan kering bercampur semak
%. Peningkatan tersebut disebabkan seluas 1.243,53 ha, lahan
karena pada citra tahun 2008
penyiaman yang dilakukan oleh citra
satelit terdapat awan dan bayangan
awan yang kemudian dilakukan overlay
dengan citra tahun 2013, maka awan
dan bayangan awan kembali menjadi
hutan primer. Hutan primer sendiri
mengalami penurunan sebesar 0,02 %
dengan luas 30,17 ha. Terjadinya
penurunan hutan primer, dimana hutan
primer berubah menjadi lahan terbuka
seluas 25,39 ha dan menjadi semak
belukar seluas 4.77 ha. Total luas
perubahan yang terjadi pada tutupan
hutan primer sebesar 30,17 ha, dengan
demikian total luas awan dan bayangan
awan yang berubah menjadi hutan
primer dikurangi dengan luas tutupan
hutan primer yang berubah, didapat
hasil perubahan dalam periode 2008-
2013 seluas259,40 ha atau 0,18 %.
Tutupan pertanian lahan kering
dalam periode 2008-2013 mengalami
terbuka seluas 43,31 ha, semak belukar
seluas 10,04 ha, awan seluas 53,13 ha.
Total luas keseluruhan tutupan yang
menjadi pertanian lahan kering sebesar
1.525,94 ha. Selama periode 2008-2013
pertanian lahan kering mengalami
perubahan menjadi hutan sekunder
dengan luas 6.44 dan menjadi lahan
terbuka sebesar 1,85 ha. Total luas
perubahan pertanian lahan kering
seluas 8,29 ha, dengan demikian total
luas keseluruhan tutupan yang menjadi
pertanian lahan kering dikurangi
dengan total luas perubahan pertanian
kering. Didapat hasil luas perubahan
pertanian lahan kering dalam periode
2008-2013 sebesar 1.517,65 ha
atau 1,05 %.
Analisis Perubahan Tutupan Lahan
Periode 2013-2016
Hasil analisis citra satelit Landsat 8
OLI tahun akuisisi 2013 dan Landsat 8
OLI 2016, diketahui menunjukkan
perubahan kelas tutupan lahan yang
terjadi di kawasan TNBT. Hasil dari
overlay peta tutupan lahan tahun 2013
dan 2016 dengan mengunakan metode
change detection didapat perubahan
tutupan lahan secara keselurahan yang
disajikan dalam Tabel 4.
Tabel 4. Perubahan tutupan lahan di TNBT periode 2013-2016
2013 2016 2013-2016
No Keterangan Luas
Luas (ha) (%) Luas (ha) (%) (%)
(ha)
1. Hutan Primer 26.655,20 18,49 26.207,80 18,176 -447,40 -0,31
Hutan -
2. 109.320,00 75,82 101.009,00 70,052 -5,76
Sekunder 8.311,00
3. Lahan Terbuka 678,41 67,04 2.356,49 1,634 1.678,08 1,16
Pertanian
4. 2.961,53 2,05 3.856,81 2,675 895,28 0,62
Lahan Kering
Pertanian
Lahan Kering
5. 3.564,63 2,47 3.305,27 2,292 -259,36 -0,18
Bercampur
Semak
6. Semak Belukar 1.011,93 0,70 1.538,49 1,067 526,56 0,37
7. Awan - - 3.490,37 2,421 - -
Bayangan
8. - - 2.427,47 1,684 - -
Awan
Total 144.191,70 100 144.191,70 100

Selama periode 2013-2016 tutupan ha. Selama periode 2013-2016 terdapat


hutan primer mengalami penurunan beberapa tutupan seperti, hutan primer
yang disebabkan berubahnya hutan seluas 4,01 ha, lahan terbuka seluas
primer menjadi hutan sekunder seluas 36,22 ha, pertanian lahan keringg seluas
4,01 ha, menjadi lahan terbuka seluas 326,93 ha, pertanian lahan kering
48,03 ha, dan menjadi semak belukar bercampur semak seluas 340,79, dan
seluas 14,11 ha. Total perubahan yang semak belukar seluas 102,34 ha yang
terjadi seluas 66,16 ha. Penurunan luas berubah menjadi hutan sekunder. Total
hutan primer juga disebabkan oleh luas keseluruhan perubahan yang
adanya awan dan bayangan awan menjadi hutan sekunder sebesar 810,29
dengan masing-masing seluas 20,17 ha ha, dengan demikian total luas
dan 361,07 ha. Total luas keseluruhan keseluruhan tutupan yang menjadihutan
yang terjadi pada hutan primer sebesar sekunder dikurangi dengan total luas
0,31 % atau 447,40 ha. perubahan hutan sekunder. Didapat
Pada periode 2013-2106 tutupan hasil luas perubahan tutupan hutan
sekunder selama periode 2013-2016
hutan sekunder mengalami penurunan.
sebesar 8.311ha atau 5,76 %.
Terjadinya penurunan disebabkan
tutupan hutan sekunder berubah Analisis Perubahan Tutupan Lahan
menjadi lahan terbuka dengan luas Periode 2002-2016
1.867,26 ha, menjadi pertanian lahan Hasil analisis citra satelit Landsat 7
kering seluas 1.135,32 ha, menjadi ETM+ akuisisi tahun 2002 dan Landsat
pertanian lahan kering bercampur 8 OLI tahun 2016, diperoleh informasi
semak seluas 366,69 ha, dan menjadi perubahan tutupan lahan yang terjadi
semak belukar seluas 256,16. Total luas pada kawasan TNBT. Hasil dari overlay
perubahan yang terjadi sebesar 3.625,43 peta tutupan lahan tahun 2002 dan
ha. Penurunan luas hutan sekunder juga 2016 dengan mengunakan metode
disebabkan adanya awan dan bayangan change detection didapat perubahan
awan dengan masing-masing luas tutupan lahan secara keselurahan yang
3.440,19 ha dan 2.056,11 ha. Total luas disajikan dalam Tabel 5.
keseluruhan perubahan hutan sekunder
seluas 9.121,73
Tabel 5. Perubahan tutupan lahan di TNBT periode 2002-2016
2002 2016 2002-2016
No Keterangan Luasan Luasan Luasan
(%) (%) (%)
(ha) (ha) (ha)
1. Hutan Primer 32.017,80 18,51 26.207,80 18,17 -5.810 -4,03
Hutan
2. 105.695 76,99 101.009,00 70,05 -4.686 -3,25
Sekunder
Lahan
3. 223,28 0,16 2.356,49 1,634 2.133,21 1,48
Terbuka
Pertanian
4. 2416,08 1,68 3.856,81 2,675 1.440,73 1,00
Lahan Kering
Pertanian
Lahan Kering
5. 2.810,61 1,95 3.305,27 2,292 494,66 0,34
Campur
Semak
Semak
6. 1.028,93 0,71 1.538,49 1,067 509,56 0,35
Belukar
7. Awan - - 3.490,37 2,421 - -
Bayangan
8. - - 2.427,47 1,684 - -
awan
Total 144.191,70 100 144.191,70 100

2002-2016 terdapat beberapa tutupan


Selama periode 2002-2016 tutupan yang berubah menjadi hutan sekunder
hutan primer mengalami penurunan seperti hutan primer seluas 4.047,30 ha,
yang disebabkan perubahan tutupan lahan terbuka seluas 27,77 ha, pertanian
hutan primer menjadi hutan sekunder lahan kering seluas 313,36 ha, pertanian
seluas 44.047,30 ha, menjadi lahan lahan kering bercampur semak
terbuka seluas 63,36 ha dan menjadi
semak belukar seluas 43,83 ha. Total
perubahan hutan primer seluas 4.154,49
ha. Perubahan terhadap hutan primer
juga dipengaruhi oleh awan dan
bayangan awan dengan masing-masing
seluas 896,20 ha dan 759,311 ha. Total
luas keseluruhan perubahan hutan
primersebesar 5.810 ha atau 4,03 %.
Tutupan hutan sekunder selama
periode 2002-2016 mengalami
penurunan luasan. Penurunan tersebut
disebabkan berubahnya hutan sekunder
menjadi lahan terbuka seluas 2.036,87
ha, menjadi pertanian lahan kering
seluas 1.355,32 ha, pertanian lahan
kering bercampur semak seluas 1.147,87
ha, dan semak belukar seluas 980,20 ha.
Total luas perubahan keseluruhan hutan
sekunder sebesar 5.520,26 ha.
Perubahan hutan sekunder disebabkan
dengan adanya awan dan bayangan
awan yang menutupi permukaan
kawasan, luas total awan dan bayangan
awan tersebut sebesar 4.254,11 ha. Total
keseluruhan perubahan hutan sekunder
seluas 9.774,37 ha. Selama periode
seluas 346,86 ha, dan semak belukar
seluas 353,54 ha. Total keseluruhan
tutupan yang berubah menjadi hutan
sekunder seluas 5.088,83 ha, dengan
demikian total tutupan yang menjadi
hutan sekunder dikurangi dengan total
perubahan hutan sekunder. Didapat
hasil perubahan hutan sekunder dalam
periode 2002-2016 sebesar 3,25 %
atau 4.686 ha.
Selama periode 2002-2016
pertanian lahan kering bercampur
semak mengalami peningkatan yang
disebabkan beberapa tutupan seperti
hutan sekunder seluas 1.147,87 ha,
lahan terbuka seluas 59,42 ha,
pertanian lahan kering seluas, 613 ha,
dan semak belukar seluas 106,06 ha
yang menjadi pertanian lahan kering
bercampur semak. Total luas
keseluruhan perubahan beberapa
tutupan yang menjadi pertanian lahan
kering bercampur semak sebesar
1.926,35 ha. Selama periode 2002-2016
pertanian lahan kering bercampur
semak mengalami perubahan menjadi
hutan sekunder seluas 346,86 ha,
menjadi lahan terbuka seluas 37,70,
menjadi pertanian lahan kering seluas
965,30 ha, dan menjadi semak belukar
seluas 74,07 ha serta terdapat kawasan
pertanian lahan kering bercampur
semak tertutupi oleh awan seluas 7,76
ha. Total luas ksesluruhan perubahan
pertanian lahan kering bercampur
semak sebesar 1.431,69 ha, dengan
demikian total luas tutupan yang
menjadi pertanian lahan kering
bercampur semak dikurangi dengan
total luas
perubahan pertanian lahan kering inti didalam kawasan TNBT dikelilingi
bercampur semak. Didapat hasil luas oleh zona rimba yang bertujuan untuk
perubahan pertanian lahan kering melindungi kawasan yang masih alami,
bercampur semak dalam periode 2002- agar tidak terganggu secara langsung
2016sebesar 494,66 atau 0,34 %. oleh msyarakat. Zona inti sendiri
Klasifikasi Tutupan Lahan Berdasarkan merupakan areal jelajah bagi satwa-
Zonasi Taman Nasional Bukit Tiga Puluh satwa yang saat ini dilindungi seperti
Hasil klasifikasi menunjukkan bahwa harimau sumatra, tapir, dan satwa liar
hutan sekunder mendominasi tipe lainnya.
tutupan lahan di kawasan TNBT. Zona inti memiliki fungsi sebagai
Menurut Kwatrina dan Antoko (2007), habitat bagi satwa-satwa liar dan sebagi
fungsi TNBT sebagai salah satu kawasan tempat penyebaran tanaman dilindungi.
konservasi penting dimana kawasan ini Hasil analisis klasifikasi citra Landsat
menjadi perwakilan dari ekosistem tahun 2016 menunjukkan zona inti
hutan hujan dataran rendah di mengalami gangguan. Kawasan yang
Sumatera terutama bagian timur, tadinya merupakan hutan primer,
dengan adanya penutupan lahan di sekarang berubah menjadi hutan
daerah ini yang didominasi oleh hutan sekunder. Terjadinya gangguan
sekunder merupakan kondisi yang terhadap zona inti tidak lepas adanya
rawan terhadap bencana secara campur tangan manusia yang
ekologis. mengambil hasil berupa kayu atau non
Kawasan TNBT terbagi dalam 6 kayu dari kawasan hutan. Hasil dari
zonasi yaitu zona inti, zona rimba, zona overlay peta tutupan lahan tahun 2016
pemanfaatan, zona tradisional, zona dengan kawasan zona inti, bahwa zona
rehabilitasi, dan zona khusus. Semua inti mengalami gangguan sebesar 303,91
zonasi tersebut ditetapkan sesuai dengan ha. Ganguan tersebut dimana kawasan
fungsi dan peran setiap zona yang zona inti menjadi bareland (lahan
didasrkan pada kondisi di dalam terbuka) dengan luas 129,70 ha,
kawasan TNBT. Kondisi seluruh zona pertanian lahan kering seluas 19,57 ha,
tersebut tidak terlepas dari adanya dan Pertanian lahan kering bercampur
gangguan dari masyarakat yang berada semak dengan luas 10,55 ha, dan
di dalam dan di luar kawasan. zona menjadi semak belukar 144,09 ha.

Tabel 6. Hasil overlay peta tutupan lahan dengan zona inti TNBT
No Keterangan Luas (ha)
1. Awan_zona inti 1.539,69
2. Bayangan awan_zona inti 1.184,83
3. Hutan primer_zona inti 20.247,90
4. Hutan sekunder_zona inti 32.313,40
5. Lahan terbuka_zona inti 129,70
6. Pertanian lahan kering_zona inti 19,57
7. Pertanian lahan kering bercampur semak _zona inti 10,55
8. Semak belukar_zona inti 144,09
Total 55.589,73

taman nasional (Achmad et. al., 2016). Hasil studi


Dari Tabel 6, dapat dilihat bahwa yang dilakukan oleh Sinaga dan Damawan (2014)
terdapat tutupan lahan bukan hutan menyatakan bahwa kegiatan-kegiatan pertanian
yang berada dalam zona inti TNBT. yangdilakukan pada zona inti tidakdiperbolehkan,
Tutupan lahan tersebut adalah lahan tetapi hasil analisis klasifikasi
terbuka, pertanian lahan kering serta
shrubs atau semak belukar. Banyak
faktor yang dapat mempengaruhi
perubahan tutupan lahan di kawan
citra satelit Landsat
menunjukkan bahwa terdapat
juga aktifitas perambahan
dengan tujuan melakukan
pertanian di lahan kering pada
zona inti. Hasil penelitian
Yusri et al. (2016) yang
dilakukan di Taman Nasional
Gunung Ceremai
menunjukkan bahwa
penyebab perambahan
disebabkan oleh faktor sosial
ekonomi berupa tingkat
pendapatan masyarakat diluar
kawasan, minimnya
pengetahuan masyarakat
terhadap fungsi kawasan
lindung serta juga dipengaruhi
oleh sikap yang ditunjukkan
oleh masyarakat terhadap yang mengambil hasil berupa kayu atau
adanya(keberadaan) kawasan non kayu dari kawasan hutan serta
Taman Nasional. membuka kawasan hutan untuk
Zona rimba sendiri memiliki fungsi dijadikan areal pertanian. Hasil dari
sebagai zona penyebaran tanaman- overlay peta tutupan lahan dengan
tanaman yang dilindungi dan areal kawasan zona rimba, bahwa kawasan
jelajah bagi satwa-satwa liar. Hasil zona rimba mengalami gangguan
klasifikasi tutupan lahan pada citra sebesar 4.013,17 ha. Ganguan tersebut
satelit Landsat tahun 2016 dimana kawasan zona rimba menjadi
menunjukkan kawasan zona rimba lahan terbuka seluas 1.805,73 ha,
mengalami perubahan. Kawasan zona menjadi pertanian lahan kering seluas
rimba didominasi oleh hutan sekunder 1.283,63 ha, berubah menjadi kelas
yang memiliki tutupan cukup rapat. tutupan lahan pertanian lahan kering
Terjadinya gangguan terhadap zona bercampur semak dengan luas 330,94
rimba tidak lepas adanya campur ha, dan menjadi semak belukar 592,87
tangan manusia ha.

Tabel 7. Hasil overlay peta tutupan lahan dengan zona rimba TNBT
No Keterangan Luas (ha)
1 Awan_zona rimba 1.887,42
2 Bayangan awan_zona rimba 1.244,61
3 Hutan primer_zona rimba 5.959,50
4 Hutan sekunder_zona rimba 62.759,50
5 Lahan terbuka_zona rimba 1.805,73
6 Pertanian lahan kering_zona rimba 1.283,63
7 Pertanian lahan kering bercampur semak_zona rimba 330,94
8 Semakbelukar_zona rimba 592,87
Total 75.864,20

Zona pemanfaatan yang ada didalam 141,67 ha. Ganguan tersebut dimana
kawasan TNBT dijadikan sebagai tempat kawasan zona pemanfaatan menjadi
wisata seperti air terjun pepunauan, lahan/areal terbuka dengan luas 43,89
bukit Tebat dan Sungai Gangsal sampai ha, menjadi pertanian lahan kering
ke Dusun Sadan. Hasil dari overlay peta seluas 2,38 ha, menjadi Pertanian lahan
tutupan lahan dengan kawasan zona kering bercampur semak seluas 20,66
pemanfaatan, bahwa kawasan zona ha, dan menjadi semak belukar 74,74 ha.
pemanfaatn mengalami gangguan
sebesar

Tabel 8. Hasil overlay peta tutupan lahan dengan zona pemanfaatan TNBT
No Keterangan Luas (ha)
1. Hutan sekunder_zona pemanfaatan 1.560,21
2. Lahan terbuka_zona pemanfaatan 43,89
3. Pertanian lahan kering_zona pemanfaatan 2,38
4. Pertanian lahan kering bercampur semak_zona pemanfaatan 20,66
5. Semak belukar_zona pemanfaatan 74,74
Total 1.701,88

yang secara tradisional dimanfaatkan


Zona tradisional merupakan kawasan oleh masyarakat asli secara turun
temurun sebelum kawasan ini
ditetapkan sebagai Taman Nasional. secara tradisional, seperti pemanfaatan
Zona ini disediakan untuk dimanfaatkan hasil hutan sebagai upaya memenuhi
masyarakat yang hidup penenuhan kebutuhan hidup harian.
Hasil dari overlay peta tutupan lahan
dengan kawasan zona tradisional, bahwa
kawasan zona tradisional mengalami
gangguan
sebesar 2.927,92 ha. Ganguan tersebut lahan kering seluas 1.653,27 ha, menjadi
dimana kawasan zona tradisonal pertanian lahan kering bercampur
menjadi areal terbuka dengan luasan semak seluas 1.138,17 ha, dan menjadi
12,51 ha, berubah menjadi tutupan semak belukar 123,97 ha.
lahan pertanian

Tabel 9. Hasil overlay peta tutupan lahan dengan zona tradisional inti TNBT
No Keterangan Luas (ha)
1 Hutan sekunder_zona tradisional 1.942,56
2 Lahan terbuka_zona tradisional 12,51
3 Pertanian lahan kering_zona tradisional 1.653,27
4 Pertanian lahan kering bercampur semak_zona tradisional 1.138,17
5 Semak belukar_zona tradisional 123,97
Total 4.870,48

Zona rehabilitasi yang ada di penanaman pohon kembali agar


kawasan TNBT merupakan kawasan mendekati kondisi alaminya. Hasil
yang telah mengalami gangguan. overlay peta tutupan lahan tahun 2016
Gangguan tersebut disebabkan dengan kawasan zona rehabilitasi,
terjadinya kebakaran hutan, bahwa kawasan ini telah beralih fungsi
perambahan, dan illegal loging. Zona dari kawasan hutan berubah menjadi
rehabilitasi ini diperuntukan untuk kawasan non-hutan dengan luasan
perbaikan kawasan dengan melakukan 1.366,12ha.
kegiatan

Tabel 10. Hasil Overlay Peta Tutupan Lahan dengan Zona Rehabilitasi TNBT
No Keterangan Luas (ha)
1. Hutan sekunder_zona rehabilitasi 1.916,15
2. Lahan terbuka_zona rehabilitasi 247,01
3. Pertanian lahan kering_zona rehabilitasi 70,34
4. Pertanian lahan kering bercampur semak_zona rehabilitasi 477,73
5. Semak belukar_zona rehabilitasi 571,05
Total 3.282,27

Zona khusus di kawasan TNBT zona khusus didominasi oleh pertanian


merupakan kawasan yang secara khusus lahan kering bercampur semak dengan
dipergunakan untuk dibangunya suatu luas 1.402,31 ha, pertanian lahan kering
sekolah yang berguna untuk menunjang seluas 827, 99 ha, lahan terbuka seluas
pendidikan masyarakat sekitar kawasan. 116,74 ha, semak belukar seluas 31,53
Hasil dari overlay peta tutupan lahan ha, dan hutan sekunder seluas 504,19
tahun 2016 dengan kawasan zona ha.
khusus, bahwa

Tabel 11. Hasil overlay peta tutupan lahan dengan zona khusus TNBT
No Keterangan Luas (ha)
1 Hutan sekunder_zona khusus 504.19
2 Lahan terbuka_zona khusus 116.74
3 Pertanian lahan kering_zona khusus 827.99
4 Pertanian lahan kering bercampur semak_zona khusus 1.402.31
5 Semak belukar_zona khusus 31.53
Total 2.882.76
Gambar 2. Peta Zonasi Taman Nasional Bukit Tiga Puluh

pertanian lahan kering bercampur semak


Perubahan tutupan lahan yang sebesar 0,34 % atau 494,66 ha, dan laju
terjadi di TNBT diupayakan agar tidak perubahan tutupan semak belukar
bertambah. Berubahnya luasan hutan sebesar 0,35 % atau 509,56 ha. Hasil
primer menjadi hutan sekunder atau klasifikasi
tutupan lahan lainnya dapat
mempengaruhi keseimbangan
ekosistem, diantaranya perubahan suhu
dan kelembaban yang menindikasikan
kondisi iklim mikro hutan (Achmad, et.
al, 2019)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan analisis klasifikasi citra


Landsat, kawasan TNBT didominasi
oleh tutupan hutan sekunder dengan
laju perubahan tutupan lahan pada
tahun 2002 sampai tahun 2016 sebesar
3,25 % atau seluas 4.686 ha. Pada
tutupan hutan primer laju peubahan
sebesar 4,03 % atau 5.810 ha. Pada
tutupan lahan terbuka laju perubahan
mengalami peningkatan sebesar 1,48 %
atau 2.133,21 ha, laju perubahan tutupan
pertanian lahan kering sebesar 1 % atau
1.440,73 ha, laju perubahan tutupan
pada zona pengelolaan, zona inti
diperoleh bahwa zona ini didominasi
oleh hutan primer dan hutan sekunder
sedangkan di zona rimba sudah ada
penutupan selain hutan seperti
pertanian, semak belukar dan lahan
terbuka sebesar 0.05%.

Saran

Untuk meningkatkan tingkat


kedetilan klasifikasi tutupn lahan,
diperlukan citra satelit dengan resolusi
spasial yang lebih baik atau tinggi
untuk mengkelaskan tutupan lahan
yamg ada di TNBT.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menyampaikan apresiasi


kepada Lembaga Penelitian dan
Pengabdian Masyarakat (LPPM)
Universitas Jambi dan Fakultas
Kehutanan Universitas Jambi atas
dukungan fasilitas dan dana skema
penelitian PNBP Tahun 2017 Fakultas
Kehutanan UNJA.
DAFTAR PUSTAKA Lillesand dan Kiefer. 1990. Penginderaan Jauh
dan Interpretasi Citra. Terjemahan dari:

Achmad, E. Nursanti, Mora, A.M. 2016. Remote Sensing and Image

Perubahan Penutupan Lahan Dan Analisis Interpretation. Yogyakarta: Gadjah Mada

Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan Di University Press.

Kawasan Taman Nasional Berbak Provinsi


Noviansyah MT. 2000. Kajian
Jambi. Prosiding Seminar Nasional Peran Penutupan Lahan Dengan
Geospasial dalam Membingkai NKRI Memanfaatkan Penginderaan Jauh
Di Wilayah Pesisir Teluk Banten.
2016. Badan Informasi Geospasial. Bogor. Skripsi. Institut Pertanian Bogor.
Indonesia: 309-321. Bogor.
Rencana Pengelolaan Jangka Panjang
Achmad, E., Hamzah, Albayudi, Bima. Balai Taman Nasional Bukit Tiga
2019. Indeks Kelembaban Taman Puluh. 2015. Taman Nasional Bikit
Nasional Bukit Tiga Puluh Tiga Puluh. Rengat.
Menggunakan Citra Satelit Landsat 8. Sampurno RM dan Thoriq A. 2016.
Prosiding Seminar Nasional Klasifikasi Tutupan Lahan
Geomatika 2018: Penggunaan dan Menggunakan Citra Landsat 8
Pengembangan Produk Informasi Operational Land Imager (OLI) di
Geospasial Mendukung Daya Saing Kabupaten Semarang. Jurnal
Nasional. Bogor. Indonesia. Teknotan. Volume X. Nomor 2.
Diyono. 2001. Kajian Kualitas November 2016.
Interpretasi Citra Gabungan Untuk Sinaga, R.P., Darmawan, A. 2014.
Mengetahui Perubahan Liputan Perubahan Tutupan Lahan Di Resort
Lahan. Tesis. Institut Teknologi Pugung Tampak Taman Nasional
Bandung. Bandung. Bukit Barisan Selatan (TNBBS).
Indarto dan Faisol A. 2009. Identifikasi Jurnal Sylva Lestari Vol. 2 No. 1.
dan Klasifikasi Perubahan (77—86)
Lahan Menggunakan Yusri, A., Basuni, S., Lilik Budi Prasetyo.
Citra Aster. Jurnal Media Teknik Sipil. 2012. Analisis Faktor Penyebab
Volume IX. Januari 2009.
Perambahan Kawasan Taman
Khalil B. 2009. Analisis Perubahan Nasional Gunung Ciremai . Media
Penutupan Lahan Di Hutan Adat Konservasi Vol. 17, No. 1 : 1 – 5
Kasepuhan Citorek Taman Nasional
Halimun Salak. Skripsi. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Kwatrina RT dan Antoko BS.
Rasionalisasi Zonasi Taman Nasional
Bukit Tiga Puluh: Penerapan Kriteria
dan Indikator Zonasi Serta Tingkat
Sensitivitas Ekologi. Jurnal Penelitian
Hutan dan Konservasi Alam. Volume
IV. No 4: 391-407. Juni 2007.
I. PENDAHULUAN

a. Permasalahan yang melatarbelakangi lahirnya zonasi wilayah


Perubahan tutupan lahan merupakan berubahnya suatu jenis lahan ke jenis
penutupan lahan yang lain yang diindikasi dengan pertambahan atau pengurangan
luasannya dan fungsinya pada periode tertentu (Diyono, 2001).
Noviansyah (2000) menyatakan, bahwa penyebab terjadinya perubahan
tutupan lahan disebabkan adanya aktivitas manusia. Perubahan yang disebabkan
oleh aktivitas manusia dipengaruhi oleh faktor aksesibilitas, pesatnya laju
pertumbuhan penduduk dan jarak lokasi dari pemukiman. Hal ini mengakibatkan
perubahan tutupan lahan pada kawasan hutan.
Taman Nasional Bukit Tiga Puluh selanjutnya disingkat TNBT merupakan
salah satu Kawasan Pelestarian Alam (KPA) yang penting di Sumatera bagian
tengah karena memiliki ragam jenis flora dan fauna yang dilindungi. Taman
Nasional Bukit Tiga Puluh dibentuk dengan SK Menteri Kehutanan No.539/Kpts-
II/1995 dan selanjutnya ditetapkan berdasarkan SK Menteri Kehutanan
No.6407/Kpts-II/2002 Tanggal 21 Juni 2002, dengan luas kawasan TNBT
144.223 Ha. Secara administrasi TNBT berada pada dua Provinsi yaitu Propinsi
Riau dan Provinsi Jambi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perubahan
tutupan lahan yang terjadi di TNBT serta meanganalisis tutupan lahan pada zonasi
pengelolaan TNBT
b. Lokasi zonasi
Di kawasan TNBT dilakukan pada pertengahan tahun 2017 dan awal 2018
di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, dengan luas wilayah 144.223 ha.
II. PEMBAHASAN
Klasifikasi Tutupan Lahan Berdasarkan Zonasi Taman Nasional Bukit Tiga
Puluh.
Kawasan TNBT terbagi dalam 6 zonasi yaitu zona inti, zona rimba, zona
pemanfaatan, zona tradisional, zona rehabilitasi, dan zona khusus. Semua zonasi
tersebut ditetapkan sesuai dengan fungsi dan peran setiap zona yang didasrkan
pada kondisi di dalam kawasan TNBT.
Zona inti memiliki fungsi sebagai habitat bagi satwa-satwa liar dan sebagi
tempat penyebaran tanaman dilindungi. Hasil analisis klasifikasi citra Landsat
tahun 2016 menunjukkan zona inti mengalami gangguan. Kawasan yang tadinya
merupakan hutan primer, sekarang berubah menjadi hutan sekunder. Terjadinya
gangguan terhadap zona inti tidak lepas adanya campur tangan manusia yang
mengambil hasil berupa kayu atau non kayu dari kawasan hutan. Hasil dari
overlay peta tutupan lahan tahun 2016 dengan kawasan zona inti, bahwa zona inti
mengalami gangguan sebesar 303,91 ha. Ganguan tersebut dimana kawasan zona
inti menjadi bareland (lahan terbuka) dengan luas 129,70 ha, pertanian lahan
kering seluas 19,57 ha, dan Pertanian lahan kering bercampur semak dengan luas
10,55 ha, dan menjadi semak belukar 144,09 ha.
Zona rimba sendiri memiliki fungsi sebagai zona penyebaran tanaman-
tanaman yang dilindungi dan areal jelajah bagi satwa-satwa liar. Hasil klasifikasi
tutupan lahan pada citra satelit Landsat tahun 2016 menunjukkan kawasan zona
rimba mengalami perubahan. Hasil dari overlay peta tutupan lahan dengan
kawasan zona rimba, bahwa kawasan zona rimba mengalami gangguan sebesar
4.013,17 ha. Ganguan tersebut dimana kawasan zona rimba menjadi lahan terbuka
seluas 1.805,73 ha, menjadi pertanian lahan kering seluas 1.283,63 ha, berubah
menjadi kelas tutupan lahan pertanian lahan kering bercampur semak dengan luas
330,94 ha, dan menjadi semak belukar 592,87 ha.
Zona pemanfaatan yang ada didalam kawasan TNBT dijadikan sebagai
tempat wisata seperti air terjun pepunauan, bukit Tebat dan Sungai Gangsal
sampai ke Dusun Sadan. Hasil dari overlay peta tutupan lahan dengan kawasan
zona pemanfaatan, bahwa kawasan zona pemanfaatn mengalami gangguan
sebesar 141,67 ha. Ganguan tersebut dimana kawasan zona pemanfaatan menjadi
lahan/areal terbuka dengan luas 43,89 ha, menjadi pertanian lahan kering seluas
2,38 ha, menjadi Pertanian lahan kering bercampur semak seluas 20,66 ha, dan
menjadi semak belukar 74,74 ha.
Zona tradisional merupakan kawasan yang secara tradisional dimanfaatkan
oleh masyarakat asli secara turun temurun sebelum kawasan ini ditetapkan
sebagai Taman Nasional. Zona ini disediakan untuk dimanfaatkan masyarakat
yang hidup secara tradisional, seperti pemanfaatan hasil hutan sebagai upaya
memenuhi penenuhan kebutuhan hidup harian. Hasil dari overlay peta tutupan
lahan dengan kawasan zona tradisional, bahwa kawasan zona tradisional
mengalami gangguan sebesar 2.927,92 ha.
Zona rehabilitasi yang ada di kawasan TNBT merupakan kawasan yang
telah mengalami gangguan. Gangguan tersebut disebabkan terjadinya kebakaran
hutan, perambahan, dan illegal loging. Zona rehabilitasi ini diperuntukan untuk
perbaikan kawasan dengan melakukan kegiatan penanaman pohon kembali agar
mendekati kondisi alaminya. Hasil overlay peta tutupan lahan tahun 2016 dengan
kawasan zona rehabilitasi, bahwa kawasan ini telah beralih fungsi dari kawasan
hutan berubah menjadi kawasan non-hutan dengan luasan 1.366,12 ha.
Zona khusus di kawasan TNBT merupakan kawasan yang secara khusus
dipergunakan untuk dibangunya suatu sekolah yang berguna untuk menunjang
pendidikan masyarakat sekitar kawasan. Hasil dari overlay peta tutupan lahan
tahun 2016 dengan kawasan zona khusus, bahwa zona khusus didominasi oleh
pertanian lahan kering bercampur semak dengan luas 1.402,31 ha, pertanian lahan
kering seluas 827, 99 ha, lahan terbuka seluas 116,74 ha, semak belukar seluas
31,53 ha, dan hutan sekunder seluas 504,19 ha
III. KESIMPULAN

Hasil klasifikasi pada zona pengelolaan, zona inti diperoleh bahwa zona
ini didominasi oleh hutan primer dan hutan sekunder sedangkan di zona rimba
sudah ada penutupan selain hutan seperti pertanian, semak belukar dan lahan
terbuka sebesar 0.05%. Untuk meningkatkan tingkat kedetailan klasifikasi
tutupnan lahan, diperlukan citra satelit dengan resolusi spasial yang lebih baik
atau tinggi untuk mengkelaskan tutupan lahan yang ada di TNBT.
Berdasarkan dari data literatur, kerusakan kawasan di TNBT disebabkan
dengan adanya kegiatan seperti illegal logging, kebakaran hutan, dan perambahan,
sehingga menyebabkan deforestasi. Deforestasi yang terjadi di TNBT dari tahun
2013 sampai tahun 2015 seluas 981 Ha, dimana tahun 2013 luas yang berubah
369 Ha, tahun 2014 dengan luas 469 Ha dan pada tahun 2015 seluas 143 Ha.
Bentuk kerusakan hutan tersebut terjadi hampir di setiap daerah resort wilayah
kerja yang ada di TNBT (RPJP BTNBT, 2015).
Cara dalam mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan kerusakan
hutan, dapat dilakukan dengan metode penginderaan jauh dengan cara memantau
atau memonitoring suatu wilayah yang akan diamati. Saat ini penginderaan jauh
telah banyak digunakan untuk berbagai keperluan seperti kehutanan, pertanian,
pertambangan, kelautan, dan sebagainya. Penginderaan jauh bertujuan untuk
memberikan informasi dari suatu objek, areal, dan fenomena geografis dengan
menggunakan analisis data dari sensor (Indarto dan Faisol, 2009).
DAFTAR PUSTAKA

Achmad Eva, Hamzah, Albayudi, dan Priambodo, 2020, “Analisis Perubahan


Tutupan Lahan Pada Zonasi Pengelolaan Taman Nasional Bukit Tiga
Puluh Menggunakan Citra Landsat”. Jurnal Hutan Tropis Volume 8
No. 2, Fakultas Kehutanan, Universitas Jambi.
Sanjoto ,Tjaturahono Budi, Sutrisno Anggoro, Agus Hartoko,2012, “Kajian
Perubahan Spasial Garis Pantai sebagai Zonasi Tata Ruang Pesisir
(Studi Kasus Pesisir Kabupaten Kendal)”: Jurnal TATA LOKA
Volume : 14 (hlm 1-12), Jl. Prof H. Soedarto, SH – Tembalang
Semarang, 50275, Biro Penerbit PLanologi UNDIP.

Anda mungkin juga menyukai