Anda di halaman 1dari 43

CASE REPORT

ANESTESI PADA PASIEN GAGAL GINJAL

Disusun oleh:

PRATAMA SATRIO WIBOWO

1865050036

Pembimbing:

dr. Erica Gilda Simanjuntak, Sp.An - KIC

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI

PERIODE 13 JULI - 25 JULI 2020

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

JAKARTA

2020
BAB I
PENDAHULUAN

Ginjal merupakan salah satu organ vital tubuh. Ginjal memiliki berbagai macam fungsi. Fungsi
utamanya adalah filtrasi plasma dan eksresi produk sisa, mempertahankan homestasis air,
osmolalitas, elektrolit dan asam basa. Ginjal mensekresi renin yang berperan pada pengaturan
tekanan darah dan keseimbangan cairan, dan juga mensekresi eritropoietin. Ginjal berperan besar
dalam eksresi berbagai macam obat-obatan.

Adanya gangguan ginjal atau penyakit ginjal mencakup spektrum yang luas dari suatu penyakit.
Hal ini berkisar dari pasien tanpa gejala dengan kreatinin serum sedikit meningkat pada pasien
dengan gagal ginjal kronis (CRF) yang merupakan yang bergantung pada terapi hemodialisa.
Spektrum yang luas membuat pengelolaan pasien dengan penyakit ginjal selama periode
perioperatif cukup penting.

Dalam makalah ini kita meninjau definisi dan klasifikasi penyakit ginjal, prevalensi penyakit
ginjal pada populasi Amerika Serikat, patofisiologi, penilaian pra operasi termasuk penyelidikan,
dan strategi risiko dalam mengurangi resiko perioperatif.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1.Definisi
Acute kidney injury (AKI) adalah masalah umum, dengan sebuah kejadian dari atas ke 5% di
semua rumah sakit pasien dan up to 8% di kritis sakit pasien. Pasca operasi AKI dapat terjadi di
1% atau lebih dari umum pasien bedah, dan sampai 30% dari pasien un- dergoing kardiotoraks
dan pembuluh darah prosedur. Perioperatif AKI sangat semakin meningkat es rawat inap biaya,
tingkat kematian, dan morbiditas perioperatif , termasuk gangguan aliran darah dan elektrolit,
kejadian kardiovaskular utama, infeksi dan sepsis, dan perdarahan gastrointestinal. Faktor risiko
praoperatif untuk AKI perioperatif termasuk penyakit ginjal yang sudah ada sebelumnya,
hipertensi, diabetes mellitus, penyakit hati, sepsis, trauma, hipovolemia, multiple myeloma, dan
usia lebih dari 55 tahun. Risiko perioperatif AKI adalah juga meningkat dengan paparan
nefrotoksik agen seperti sebagai nonsteroid antiin- obat flammatory (NSAID), agen
radiocontrast, dan antibiotik. Ketika mengatasi kelainan di ginjal fungsi, yang dokter harus
memiliki sebuah menyeluruh pemahaman dari para diferensial diagnosis dari AKI.
Sejumlah istilah dari literatur mengacu pada tahapan yang berbeda dari berbagai macam penyakit
ginjal, sebagian karena nomenclatures berbeda yang digunakan di Amerika Serikat dan Eropa.
Penting untuk memahami tahapan untuk stratifikasi risiko perioperatif . Berikut ini adalah
definisi beberapa dari literatur:
 Renal Impairment: Blood urea nitrogen (BUN) atau kadar kreatinin serum meningkat >
50% sebelum menjalani pengobatan, untuk tingkat> 30 mg / dL atau 1,5 mg / dL
 Chronic Kidney Disease (CKD): Ditandai dengan adanya tanda kerusakan ginjal, seperti
proteinuria (rasio> 30 mg albumin 1 g kreatinin pada tes urin), atau filtrasi glomerulus
rate menurun (GFR) selama ≥ 3 bulan (GFR <60 mL/minute-1/1.73 m-2)
 Gagal ginjal akut (GGA): Penurunan fungsi ginjal tiba-tiba yang mengakibatkan retensi
nitrogen (urea dan kreatinin) dan produk limbah nonnitrogenous (untuk memenuhi syarat
untuk dimasukkan dalam kategori ini pasien harus memiliki output urin <0,5 mL/kg-1 /
jam-1) (2)
 Gagal ginjal kronis: GFR <15 mL/minute-1/1.73 m-2, biasanya disertai dengan tanda dan
gejala uremia, atau dibutuhkan untuk memulai terapi transplantasi ginjal untuk
pengelolaan komplikasi GFR yang menurun
 Stadium akhir penyakit ginjal (ESRD): Kehilangan fungsi ginjal selama> 3 bulan

Acute kidney injury

Prerenal Intrinsic renal Postrenal

Absolute decrease in Obstruction of collecting


effective blood volume system or extrarenal drainage
Hemorrhage Bladder-outlet obstruction
Volume depletion Bilateral ureteral obstruction
Relative decrease in
blood volume (ineffective
arterial volume)
Congestive heart failure Vascular Acute Acute tubular
Decompensated liver glomerulonephritis necrosis
Vasculitis,
cirrhosis Postinfectious
malignant
hypertension glomeronephritis disease
Arterial occlusion or
caused by antibody to
stenosis of renal artery
glomerular basement
Hemodynamic form membrane
NSAIDs
ACE inhibitor or Acute
angiotensin-II interstitial
receptor antagonists in Ischemic nephritisNephrotoxic
renal-artery stenosis or
congesitve heart failure
• Drug-
associated
Exogenous Endogenous
Antibiotics (gentamicin) Intratubular pigments (hemoglobinuria,
Radio contrast agents myoglobinuria)
Cisplatin Intratubular proteins (myeloma)
Intratubular crystals (uric acid, oxalate)

FIGURE 301 Differential diagnosis of acute kidney injury. ACE, angiotensin-converting enzyme; NSAID, nonsteroidal antiinflammatory
drug. (Reproduced, with permission, from Lameire N, Van Biesen W, Vanholder R: Acute renal failure. Lancet 2005;29:417.)
2.2.Prevalensi
Lebih dari 20 juta orang dewasa di Amerika Serikat menderita CKD, dengan jutaan lebih
memiliki resiko. Seperti kejadian hipertensi (bertanggung jawab untuk 27%) dan diabetes
(bertanggung jawab atas 45,5% dari ESRD), demikian juga prevalensi CKD. AS populasi pasien
hemodialisis meningkat 3% menjadi 5% per tahun. Skrining berbasis populasi untuk
mengidentifikasi individu dengan GFR yang rendah masih kontroversial . Skrining target dari
mereka dengan hipertensi atau diabetes saat ini diterima dalam praktek klinik. Berdasarkan
populasi skrining, terbatas pada mereka dengan hipertensi, diabetes, atau usia> 55 tahun, secara
potensial dapat mengidentifikasi 93,2% (95% confidence interval [CI], 92,4% sampai 94%)
pasien dengan CKD (GFR <60 mL / minute-1/1.73 m-2) . Dalam studi Norwegia berbasis sama,
20% dari individu dengan estimasi GFR <30 mL/minute-1/1.73 m-2 berkembang ke ESRD lebih
dari 8 tahun masa tindak lanjut, dibandingkan dengan 1% sampai 2% dari mereka dengan GFR
30 sampai 60 mL/minute-1/1.73 m-2.

Table 8.1. Stages of chronic kidney disease and prevalence of renal disease in the U.S.
population (1988–1998)

Stage Definition U.S. Prevalence


1 GFR ≥90 mL/min-1/1.73 m-2 with evidence of kidney damagea 5.9 million
2 GFR = 60–89 mL/min-1/1.73 m-2 with evidence of kidney 5.3 million
damagea
3 GFR = 30–59 mL/min-1/1.73 m-2 7.6 million
4 GFR = 15–29 mL/min-1/1.73 m-2 0.4 million
5 GFR <15 mL/min-1/1.73 m-2 or dialysis dependent 0.3 million
GFR, glomerular filtration rate.
a
Kidney damage defined as pathologic abnormalities or markers of damage, including
abnormalities of blood or urine tests or imaging studies.
Adapted from Palevsky MP. Perioperative management of patients with chronic kidney
disease or ESRD. Best Pract Res Clin Anesthesiol. 2004;18:129–144; and from National
Kidney Foundation, K/DOQI Clinical practice guidelines for chronic kidney disease:
evaluation, classification and stratification. Am J Kidney Dis. 2002;39(2 suppl 1):S19.

a. Chronic Kidney Disease


Secara keseluruhan tingkat mortalitas perioperatif pada pasien dengan CKD berkisar dari 1%
menjadi 4%. Pada pasien yang menjalani operasi jantung, tingkat kematian diperkirakan lebih
besar (10% sampai 20%). Mortalitas pada pasien hemodialisa bergantung setelah operasi
penggantian katup darurat dilaporkan menjadi 57%. Penyebab umum kematian pada kelompok
ini termasuk sepsis, perdarahan, gagal jantung kongestif (CHF), hipotensi, dan hiperkalemia.

b. Acute Renal Failure


ARF menyulitkan 2% sampai 5% dari seluruh penerimaan rawat inap. Tabel 8.2
menguraikan penyebab ARF di rumah sakit dan kematian yang terkait. Pasien sakit kritis,
5% sampai 20% mengalami episode GGA selama perjalanan penyakitnya. GGA terjadi
pada sekitar 19% pasien dengan sepsis moderat, 23% dari mereka dengan sepsis berat,
dan 51% dari mereka dengan syok septik ketika kultur darah positif
Table 8.2. Causes of hospital-acquired acute renal failure: Associated frequency and
mortality

Cause FrequencyMortality
Decreased renal perfusion 39% 13.6%
Medications 16% 15%
Radiographic contrast media 11% 14%
Surgery 9% 2.8%
Sepsis 6.5% 76%
Post–liver transplant <5% 28.6%
Post–heart transplant <5% 35%
Obstruction <5% 28.6%
Hepatorenal syndrome <1% 71.4%
Rhabdomyolysis, artifact, glomerulonephritis, nephrectomy, atheroemboli, <1%  
hypercalcemia, unknown
Adapted from Nash OK, Hafeez A, Hou S. Hospital-acquired renal insufficiency. Am J
Kidney Dis. 2002;3:930–936.
2.3.Patofisiologi

Pada orang dewasa sehat, aliran darah ginjal (RBF) adalah sekitar 1,2-1,3 L/minute-1 darah atau
20% dari cardiac output . Darah memasuki arteriola aferen dan proporsi plasma disaring di
membran basal glomerulus dan ke dalam tubulus proksimal untuk reabsorpsi dan sekresi.
Komponen disaring dari plasma disebut sebagai filtrat glomerular. GFR pada pria 70-kg rata-rata
adalah 125 mL/minute-1 atau sekitar 10% dari RBF tersebut. Hampir semua (99%) dari filtrat ini
biasanya diserap kembali. Dalam waktu 24-jam, ginjal menyaring sejumlah cairan sama dengan
empat kali total body water (TBW) atau 60 kali volume plasma.

Pembentukan fraksi filtrasi glomerulus yang memadai (GFR / RBF) tergantung pada RBF dan
integritas glomerulus, termasuk kapiler dan membran basal. RBF adalah autoregulasi antara
tekanan arteri rata-rata 60 dan 150 mm Hg. Autoregulasi dicegah dengan obat yang
melumpuhkan otot polos. Autoregulasi terjadi pada tingkat arteriola aferen, di mana oksida nitrat
(NO) menengahi respon otot polos untuk peregangan. Pada tekanan perfusi rendah, angiotensin
II mengkonstriksi arteriole eferen, dengan demikian mempertahankan tekanan filtrasi melewati
membran glomerulus. Obat yang mengganggu mediator ini termasuk obat anti-inflammatory
drugs (NSAID), siklooksigenase 2 (COX-2) inhibitor, angiotensin-converting enzyme (ACE)
inhibitor, dan antagonis reseptor angiotensin II. Obat ini dapat memicu gagal ginjal selama
hipoperfusi. Banyak pasien dengan penyakit ginjal yang sudah ada yang hadir untuk operasi akan
mengambil inhibitor ACE. ACE inhibitor sekarang pengobatan lini pertama untuk pencegahan
diabetes nefropati pada pasien diabetes. Mereka juga memberikan manfaat besar pada pasien
tanpa diabetes tapi dengan insufisiensi ginjal (CKD stadium 4, pengurangan 43% pada kejadian
ESRD dan kematian pada 3,4 tahun masa tindak lanjut)

Di bawah ini hal-hal yang dapat mempertahankan homeostasis ginjal:

• Renin angiotensin-aldosteron

• Angiotensin II

• hormon antidiuretik (ADH)

• Atrial natriuretik peptida

• Prostaglandin E2 dan I2 dan kinins

Ginjal excretes produk akhir dari metabolisme (urea dan asam), mempertahankan nutrisi (asam
amino dan glukosa), dan mempertahankan volume dan komposisi cairan tubuh. Gangguan
fungsi-fungsi ini dapat bermanifestasi sebagai berikut:

• sindrom nefrotik
• Asam-basa gangguan

• Gangguan homeostasis kalium

• Gangguan homeostasis natrium

Ginjal melakukan sejumlah fungsi sekunder bersama dengan fungsi utamanya untuk buangan air
produk akhir metabolisme. Di antara fungsi sekunder adalah sebagai berikut:

• Produksi erythropoietin

• Konversi vitamin D menjadi bentuk aktifnya

• Konservasi kalsium melalui aktivitas hormon paratiroid (PTH)

• Peptida dan protein hormon metabolisme (misalnya, metabolisme insulin)

Sindrom nefrotik

Sindrom nefrotik ditandai dengan hilangnya protein berat urin, hipoalbuminemia, dan edema.
Hiperkolesterolemia hampir selalu ada. Protein kehilangan urin ≥ 3 sampai 5 gram sehari
menyebabkan hipoalbuminemia. Kerusakan struktural pada membran basal glomerulus
menyebabkan peningkatan ukuran pori yang memungkinkan bagian dari molekul besar.
Penyebab umum termasuk diabetes dan glomerulosklerosis glomerulopathy membranous.

Gangguan Asam-Base

PH arteri normal dipertahankan antara 7,38 dan 7,42. Diet dewasa normal sehari-hari
mengandung lebih dari 70 sampai 100 mmol asam. Asam ini adalah buffered oleh protein
intraseluler seperti komponen hemoglobin dan jaringan seperti kalsium karbonat dan fosfat
kalsium dalam tulang. Paling penting dari semua adalah bikarbonat-asam karbonat penyangga
pasangan yang dihasilkan oleh hidrasi karbon dioksida (CO2):karbonat anhydrase Acidemia
merangsang peningkatan ventilasi untuk menghilangkan CO2, yang membatasi penurunan pH.
Ginjal menghasilkan kembali bikarbonat (HCO3-) digunakan dalam proses buffering. Ginjal
excretes ion H + dan menyerap kembali kemudian disaring HCO3-ion, menjaga plasma HCO3-
sekitar 25 mEq/L-1. Kegagalan mekanisme ini merupakan penyebab umum dari asidosis
metabolik, terutama di ARF. Asidosis tubulus ginjal (tipe 1 sampai 4) mengacu pada sekelompok
langka penyakit genetik dimana kemampuan tubulus ginjal untuk menjaga keseimbangan asam-
basa terganggu.

Gangguan Homeostasis Kalium

Hiperkalemia (K +> 4,9 mEq/L-1) disebabkan oleh ekskresi berkurang karena kerusakan tubulus
ginjal . Kombinasi ACE inhibitor dengan diuretik hemat K+(sekarang banyak digunakan dalam
pengobatan CHF) pada pasien dengan gangguan ginjal ringan dapat hiperkalemia endapan.
NSAID, yang mengganggu produksi prostanoid, dapat menekan produksi renin, menghasilkan
kadar aldosteron menurun dan jadi mengurangi ekskresi K +. Hiperkalemia berat menghasilkan
elektrokardiogram (EKG) perubahan termasuk T-gelombang elevasi dan dapat menyebabkan
kematian mendadak akibat penangkapan asystolic. Hiperkalemia menyebabkan
hyperpolarization membran sel, menyebabkan rangsangan menurun, hipotensi, bradikardia, dan
ada detak jantung akhirnya. Kelemahan otot kadang menjadi satu-satunya gejala.

Hipokalemia (K + <3,3 mEq/L-1) atau K + rugi melalui ginjal disebabkan oleh diuretik, kelebihan
mineralokortikoid, atau asidosis tubulus ginjal. Hipokalemia juga hasil dari cepat ion H + gerakan
ke dalam ruang ekstraselular dengan K + untuk H + penukar ion melintasi membran sel. Koreksi
asidosis dengan cepat hiperventilasi atau pemberian natrium bikarbonat (NaHCO3) dapat memicu
hipokalemia. Perubahan EKG termasuk gelombang T yang datar, ST-segmen depresi, PR
berkepanjangan dan interval QT, dan aritmia atrium dan ventrikel.

Gangguan Homeostasis Sodium

Volume intravaskular yang dilestarikan oleh aksi ADH dan aldosteron. Hipovolemia hasil dalam
rilis ADH dan stimulasi sistem renin-angiotensin-aldosteron. ADH dilepaskan oleh kelenjar
hipofisis posterior dalam menanggapi osmolalitas meningkat atau penurunan volume
ekstraseluler dan meningkatkan permeabilitas duktus mengumpulkan air. Aldosteron merupakan
mineralokortikoid dirilis oleh korteks adrenal dalam respon terhadap angiotensin II. Aldosteron
bekerja pada tubulus distal untuk meningkatkan reabsorpsi natrium (Na +) dalam pertukaran
untuk K + dan H +.

Hipernatremia (Na +> 144 mEq/L-1) adalah yang paling umum akibat dari defisit TBW bukan
tubuh total + Na berlebih.
+
Hiponatremia (Na <134 mEq/L-1) ini paling sering disebabkan oleh kelebihan TBW bukan
defisit + total tubuh Na. Dalam ARF dari nekrosis tubular akut (ATN), kegagalan untuk
+
menyerap kembali Na (terutama fungsi dari tubulus proksimal berbelit-belit) dapat
mengakibatkan berlebihan ekskresi Na + (> 40 mEq/L-1) dalam urin.

2.4. Etiologi Gagal Ginjal Kronis

Penyebab CRF dapat dibagi menjadi lima kategori:

• kongenital dan diwarisi penyebab

• Penyakit glomerular primer dan sekunder

• Vascular penyakit

• Tubulointerstitial penyakit

• Obstruksi saluran kemih

Table 8.3. Causes of chronic renal failure


Congenital and inherited disease
Polycystic kidney disease
Alport syndrome
Congenital hypoplasia
Glomerular disease
Primary:
  Glomerulonephritides
Secondary:
  Systemic lupus vasculitis
  Diabetic glomerulosclerosis
  Amyloidosis
Vascular disease
Arteriosclerosis
Microscopic polyarteritis
Systemic lupus
Systemic sclerosis with renal involvement
Tubulointerstitial disease
Tubulointerstitial nephritis
Reflux nephropathy
Tuberculosis
Schistosomiasis
Urinary tract obstruction
Urinary calculi
Prostate disease
Retroperitoneal fibrosis
Pelvic mass
Diabetes yang disertai hipertensi tidak terkontrol sekitar 70% kasus CRF. Nefropati diabetes
disebabkan oleh perubahan struktural ginjal. Pada nefropati terbuka, terdapat semua
kompartemen ginjal, glomeruli, tubuli, pembuluh darah extraglomerular, dan kelainan
interstitium. Pada hipertensi esensial salah satu manifestasi ginjal paling awal adalah
pengurangan RBF total. Hal ini diduga bahwa RBF berkurang mengarah pada penurunan
tekanan dan aliran dalam sirkulasi postglomerular. Penurunan ini dapat menyebabkan rentan
terhadap peningkatan reabsorpsi Na +, yang selanjutnya meningkatkan tekanan darah sistemik .
Hipertensi maligna disertai oleh perubahan patologis dan gangguan dalam fungsi ginjal. RBF
dan GFR yang sangat berkurang; pembuluh darah ginjal mungkin tidak lagi respon dengan
vasodilator.

Penyakit ginjal polikistik memiliki warisan dominan autosomal dalam 90% kasus dan
merupakan akuntansi gangguan yang paling umum diwariskan tubular untuk 10% dari ESRD di
Amerika Serikat.

Manifestasi Extrarenal termasuk aneurisma intrakranial pada 10% pasien dan prolaps katup
mitral pada 25%

2.5.Etiologi Gagal Ginjal Akut

GGA dapat terjadi langsung atau mempersulit CKD. Kategorisasi GGA prerenal ,renal, dan
postrenal, dokter untuk mengadopsi pendekatan yang sistematis untuk pasien dengan ARF
(Gambar 8.1). Penyebab prerenal sering dapat dengan cepat diperbaiki. Sejumlah tes sederhana
membedakan prerenal akibat penyebab lain.

Para BUN-kreatinin (Cr) rasio dapat dihitung. Sebuah rasio> 20 nikmat penyebab prerenal,
sedangkan rasio 10 sampai 20 terjadi dengan gagal ginjal atau postrenal. Perhitungan ekskresi
fraksional natrium (FEnA) berguna.

PCr /U Cr
F E Na =
P Na /U Na

(PCR, plasma kreatinin; UCR, kreatinin urin; PNA, plasma natrium; Una, natrium urin)

Sebuah FEnA <1% dikaitkan dengan penyebab prerenal dari GGA. Sebuah FEnA> 1% paling
sering disebabkan dengan ATN tetapi dapat terlihat pada penurunan volume (10% dari waktu)
atau deplesi volume dengan terapi diuretik yang sedang berlangsung .

Pada GGA prerenal, koreksi hipovolemia dan hipotensi adalah satu-satunya alat perlindungan
ginjal. Diuretic furosemide yang loop kurang bermanfaat dalam mencegah atau mengobati ARF .
Jika pasien tetap oliguria (urin <0,5 mL/kg-1/hour-1) meskipun normovolemia dan mean arterial
pressure yang adekuat, langkah berikutnya adalah untuk membedakan antara penyebab patologi
dan obstruktif intrinsik. USG saluran ginjal diindikasikan untuk mengidentifikasi perubahan
(ginjal membesar atau melebar ureter) yang merupakan hasil dari obstruksi. Penyebab obstruksi
kalkuli meliputi ureter, pembekuan darah, fibrosis retroperitoneal, tumor mengompresi, dan
obstruksi kandung kemih outlet. Pengobatan ditujukan untuk dekompresi sistem arus keluar dan
mungkin memerlukan nefrostomi, stenting ureter, atau kateterisasi sederhana.

Bila penyebab ARF tidak jelas, maka penyakit ginjal intrinsik seperti nefritis interstisial alergi,
glomerulonefritis akut, dan vaskulitis harus dipertimbangkan. Penyebab yang jarang dari ARF
memerlukan penilaian spesialis (diagnosis sering dibuat setelah biopsi) dan pengobatan agresif.

Pengukuran klinis

Pada individu sehat GFR tetap konstan sebagai hasil dari mekanisme pengaturan intrarenal. GFR
menurun cedera ginjal berikut atau penurunan RBF. Secara tradisional, penurunan terkait usia
pada GFR telah dianggap "normal". Penurunan GFR, bagaimanapun, adalah prediktor
independen dari hasil buruk pada populasi lanjut usia .

Pengukuran atau perkiraan GFR (eGFR) diperlukan untuk menentukan fungsi ginjal. Bersihan
kreatinin (berdasarkan anggapan bahwa produksi kreatinin adalah konstan) adalah tanda
pengganti dari GFR. Generasi kreatinin sebanding dengan massa otot dan umumnya lebih besar
pada pria dibandingkan pada wanita. Individu keturunan Afrika biasanya memiliki konsentrasi
kreatinin serum lebih besar dibanding ras-ras lain. Kondisi pasca operasi (misalnya, hemodilusi
intravaskular, massa otot variabel, dan perubahan tingkat metabolisme) menyulitkan interpretasi
pengukuran kreatinin serum . GFR dapat dikurangi 50% sampai 70% tanpa perubahan kreatinin
serum. Penentuan klasik GFR memerlukan pengumpulan urin 24-jam. Bersihan kreatinin
(mL/minute-1) (CC) diperkirakan dengan rumus berikut:

CC = U × V/P × 100

• U = urinary creatinine concentration (mmol/L-1)

• V = urine volume (mL)

• P = plasma creatinine concentration (mmol/L-1)

Jika koleksi 24-jam tidak layak, GFR dapat diperkirakan dari kreatinin serum, dengan
menggunakan persamaan dari Modifikasi Diet di Renal (MDRD) study:

2.6.Tinjauan Preanesthesia

Bagian ini menguraikan faktor penting anestesi harus mempertimbangkan sebelum operasi pada
pasien dengan penyakit ginjal.

Tahap awal gagal ginjal sering tanpa gejala sama sekali meskipun akumulasi metabolit limbah.
Gejala umum ketika BUN melebihi 40 mmol/L-1. Gejala ini meliputi:

• Malaise, kehilangan energi

• Insomnia
• Pruritus

• Mual dan muntah

• Gejala anemia

Table 8.4. Urine and serum diagnostic indices for differential diagnosis between prerenal
and renal azotemia

Measure Prerenal Renal


Renal blood flow (mL/min-1) Reduced Reduced/normal
Urine output (mL/kg/hr-1) <0.5  
Creatinine clearance (mL/min-1) Reduced Reduced
Urine-specific gravity >1.020 <1.010
Urine osmolality (mOsm/kg) >500 <350
Urine/plasma osmolality >1.3 <1.1
Urine sodium (mEq/L) <20 >40
Urine/plasma urea >8 <3
Urine/plasma creatinine >40 <20
Fractional excretion of sodium (FENa)a <1% >2%

2.7.Evaluasi Fungsi Ginjal

 Taksiran akurat pada fungsi ginjal tergantung pada determinasi laboratorium. Gangguan
renal (renal impairment) bisa mengarah pada disfungsi glomerulus, fungsi tubulus atau
obstruksi traktus urinarius.
 Karena abnormalitas fungsi glomerulus disebabkan adanya gangguan yang hebat dan
dapat dideteksi, tes laboratorium yang dapat digunakan adalah yang berhubungan dengan
GFR (glomerular filtration rate).

Penilaian klinis akurat dari fungsi ginjal adalah bergantung pada laboratorium


seperti kreatinin klirens (Tabel 2). Dua sistem untuk klasifikasi AKI sangat membantu dalam
mendefinisikan dan menentukan tingkat disfungsi ginjal; ini adalah kriteria Kualitas RIFLE
Dialisis Inisiatif Akut (Gambar 1) dan sistem pementasan Jaringan Cedera Ginjal Akut
(AKIN) (Tabel 3).  Banyak penelitian saat ini sedang mengevaluasi biomarker plasma dan
urin yang terkait dengan AKI, seperti cystatin C, lipo-kalin terkait-neutrofil gelatinase,
interleukin-18, dan molekul-1 cedera ginjal.  Sangat mungkin bahwa biomarker akan
memainkan peran penting dalam waktu dekat untuk diagnosis, pementasan, dan penilaian
prognostik AKI.

TABEL 2 Tingkat keparahan cedera ginjal sesuai dengan fungsi glomerulus.

reatinine clearance (mL / mnt)

Normal 100–120
Cadangan ginjal menurun 60–100
Ggn ginjal ringan 40–60
Ggn ginjal sedang 25–40
Gagal ginjal  25
Penyakit ginjal stadium  10
akhir 1
Istilah ini berlaku untuk pasien dengan gagal ginjal kronis.

GFR criteria Urine output criteria

Increased SCreat  1.5 UO 0.5 mL/kg/h


Risk
or GFR decrease 25% 6h
High
sensitivity
InjuryIncreased SCreat  2 UO 0.5 mL/kg/h
or GFR decrease 50%
 12 h

Increased SCreat  3
GFR decrease 75% UO 0.3 mL/kg/h
Failure or SCreat 4 mg/dL 24 h or Anuria 
12 h
specificity
Persistent ARF  complete loss
Loss of kidney function >4 w

End-Stage Renal Disease


ESRD (>3 mo)

Oli
gur
ia

FIGURE 1 RIFLE criteria for acute kidney injury.ARF, acute renal failure; GFR, glomerular filtration rate; SCreat, serum creatinine concentration;
UO, urine output. (Reproduced, with permission, from Bellomo R, Ronco C, Kellum JA, et al: Acute renal failure— definition, outcome measures,
animal models, fluid therapy and information technology needs: The Second International Consensus Conference of the Acute Dialysis Quality
Initiative (ADQI) Group. Crit Care 2004;8:R204.)

TABLE 3 Acute kidney injury network (AKIN) staging system for acute kidney injury.
Taha Kriteria Kreatinin serum Kriteria Keluaran Urin
p
1 Meningkatkan di serum kreatinin dari  0,3 mg / Kurang dari 0,5 mL / kg / jam
dL (  26,4  mol / L) atau meningkatkan ke selama lebih dari 6 jam

 150–200% (1,5 hingga 2 kali lipat) dari baseline


2 Peningkatan kreatinin serum  200-300% (  2- menjadi Kurang dari 0,5 mL / kg /
3 kali lipat) dari awal jam selama lebih dari 12 jam
3 Meningkatkan dalam serum kreatinin untuk  300% (  3Kurang dari 0,3 mL / kg /
kali lipat) dari dasar (atau kreatinin serum dari  4.0 mg / jam selama 24 jam atau anuria
dL [  354  mol / selama 12 jam

L] dengan sebuah akut peningkatan dari pada setidaknya

0,5 mg / dL [44  mol / L])

a. BUN (Blood Urea Nitrogen)


Sumber utama urea dari tubuh adalah hati. Pada saat katabolisme protein, amonia diproduksi dari
deaminasi asam-asam amino. Konversi hati ke urea mencegah pembentukan dari toksik amonia :

2NH3 + CO2 H2N – CO – NH2 + H2O


BUN adalah berhubungan langsung dengan katabolisme protein dan berhubungan terbalik
dengan GF. Hasilnya, BUN bukanlah indikator yang bisa digunakan untuk perhitungan GFR
kecuali katabolisme protein normal dan konstan. Lebih lagi, 40%-50% dari filtrat secara normal
di reabsorpsi secara pasif oleh tubulus renal; hipovolemi meningkatkan fraksi ini (bawah)
Konsentrasui BUN normal adalah 10 – 20 mg/dl. Nilai yang lebih rendah bisa didapati pada
starvasi dengan penyakit hati. Peningkatan biasanya disebabkan oleh berkurangnya GFR atau
meningkatnya katabolisme protein. Selanjutnya mungkin berlanjut pada status katabolisme tinggi
(trauma atau sepsis), degradasi darah baik pada traktus digestif atau hepatoma besar, atau diet
tinggi protein. Konsentrasi BUN yang lebih besar dari 50 mg/dl biasanya berhubungan dengan
renal impairment.

b. Serum Kreatinin

 Kreatinin adalah produk dari metabolisme otot yang tanpa enzim dikonversi ke kreatinin.
Produksi kreatinin pada sebagian besar orang adalah relatif konstan dan berhubungan
dengan massa otot.
 Konsentrasi kreatinin serum berhubungan langsung dengan massa otot tubuh tapi
berkebalikan dengan GF. Oleh karena massa otot tubuh biasanya konstan, pengukuran
kreatinin serum biasanya berdasarkan indeks GFR. Makan daging dalam jumlah besar,
terapi simetidin, peningkatan asetoasetat (seperti pada ketoasidosis) meningkatkan
pengukuran pada kreatinin serum tanpa perubahan di GFR.
 GFR menurun dengan meningkatnya umur pada sebagian besar orang (5% per dekade
setelah umur 20 tahun), tapi karena massa otot juga menurun, kreatinin serum tetap relatif
normal; produksi kreatinin bisa menurun sampai 10 mg/kg. Pada pasien yang tua,
peningkatan kecil dari kreatinin serum bisa menunjukkan perubahan besar pada GFR.
Menggunakan usia dan berat badan (dalam kg), GFR bisa diperkirakan dengan formula /
rumus untuk pria.

                                                                             [( 140 – umur ) x BB]


                                                             CrCl =   -------------------------------------
                                                                              72 x kreatinin plasma
      
Untuk wanita, persamaan tadi dikali dengan 0,85 untuk mengkompensasi perbedaan kecil
pada massa otot.

c. BUN Rasio kreatinin

 Aliran yang rendah dari tubulus ginjal membantu reabsorpsi urea namun tidak
mempunyai efek pada ketetapan kreatinin. Sebagai hasil, rasio BUN terhadap kreatinin
serum meningkat diatas 10:1. Penurunan aliran tubulus bisa disebabkan oleh penurunan
perfusi ginjal atau obstruksi traktus urinari. BUN : kreatinin rasio lebih dari 15:1 dapat
dilihat pada kekurangan volume dan pada edema dengan gangguan yang berhubungan
dengan berkurangnya aliran tubular (seperti pada gagal jantung, sirosis, nefrotik
sindrome) dan juga pada obstruksi uropati.
 Peningkatan katabolisme protein bisa meningkatkan rasio ini.

d. Creatinin Clearance
 Pengukuran CrCl adalah metode yang paling akurat untuk perkiraan klinis fungsi ginjal secara
keseluruhan CrCl < 25 mL/min indikasi dari gagal ginjal. Penyakit ginjal progresif
meningkatkan sekresi kreatif di tubulus proksimal.  Akibatnya, dengan menurunnya fungsi
ginjal, kreatinin semakin progresif menaksir GFR yang sebenarnya.  Selain itu, GFR relative
dapat terjadi terus-menerus dengan diabetes insipidus.  Glikosuria adalah hasil dari ambang batas
rendah untuk glukosa (biasanya 180 mg / dL) atau hiperglikemia.  Proteinuria yang dideteksi
dengan uri rutin pada awal perjalanan nalisis penyakit ginjal harus dievaluasi dengan
pengumpulan urin 24 jam.  Ekskresi protein urin lebih besar dari 150 mg / hari adalah
signifikan.  Peningkatan level tekanan bilirubin.  Oleh karena itu penting untuk mencari dalam
urin yang terlihat dengan obstruksi bilier.  Analisis mikroskopis dari sedimen urin mendeteksi
adanya sel darah merah atau putih, bakteri, gips, dan kristal. Sel merah mungkin disebabkan oleh
hiperfiltrasi kompensasi pada nefron yang tersisa dan peningkatan filtrasi glomerulus, tanda-
tanda lain dari kerusakan ginjal.  fungsinya seperti hipertensi, proteinuria, atau kelainan lain pada
sedimen urin.
e. Urinalisis

 Selanjutnya urinalisis adalah tes rutin yang paling biasa dilakukan untuk evaluasi fungsi
ginjal. Urinalisis bisa membantu untuk identifikasi beberapa gangguan pada disfungsi
tubulus ginjal maupun beberapa gangguan nonrenal. Urinalisis rutin termasuk pH, berat
jenis (BJ), deteksi dan kuantitas glukosa, protein, bilirubin dan pemeriksaan mikroskopik
terhadap sedimen urin.
 pH urin membantu bila pH arteri diketahui. Bila pH urin lebih dari 7,0 pada sistemik
asidosis memberi kesan asidosis tubulus renal.
 BJ (berat jenis) berhubungan dengan osmolalitas urin 1,010 biasanya berhubungan
dengan 290 mOsm/kg. BJ lebih dari 1,018 setelah puasa 1 malam merupakan indikasi
adekuatnya kemampuan ginjal dalam mengkonsentrasi. BJ yang lebih rendah
memperlihatkan hiperosmolality dari plasma yang konsisten dengan diabetes insipidus.
 Glikosuria adalah hasil  dari ambang batas bawah glukosa pada tubulus rendah ( normal
180 mg/dl) atau hiperglikemia.
 Proteinuri dideteksi dengan urinalisis rutin yang seharusnya dievaluasi pada
pengumpulan urin 24 jam. Ekskresi protein urin lebih dari 150 mg/dl adalah signifikan.
 Peningkatan level bilirubin pada urin terlihat pada obstruksi biliari.
 Analisa mikroskopik pada sedimen urin bisa mendeteksi adanya  sel darah merah atau sel
darah putih, bakteri, cast, dan kristal.Sel darah merah mungkin mengindikasikan
perdarahan akibat tumor, batu, infeksi, koagulopati atau trauma.
 Sel putih dan bakteria biasanya berhubungan dengan infeksi. Proses penyakit pada level
nefron membentuk  tubular cast.
 Kristal mungkin mengindikasikan abnormalitas pada asam oksalat, asam urat atau
metabolisme kistin.

2.8. Perubahan Fungsi Ginjal dan Efeknya Terhadap Agen-Agen Anestesi


Banyak obat-obatan sebagian tergantung pada ekskresi renal untuk eliminasi. Sehingga modifikasi
dosis harus dilakukan untuk mencegah akumulasi obat atau metabolik aktif.

 Efek sistemik azotemia bisa menyebabkan potensiasi kerja farmakologikal dari agen-
agen ini. Observasi terakhir  bisa disebabkan menurunnya ikatan protein dengan obat,
penetrasi ke otak lebih besar oleh karena perubahan pada blood brain barrier, atau efek
sinergis dengan toxin yang tertahan pada gagal ginjal.
a. Agen Intravena

Propofol & Etomidate


 Farmakokinetik propofol danetomidate minimal dipengaruhi oleh fungsi ginjal. Mengurangi
pengikatan protein etomidate pada pasien dengan hipoalbuminemia dapat meningkatkan efek
farmakologis. Dalam studi lainpaaien yang diobati dengan propofol memiliki ketahanan hidup
ICU yang lebih baik daripada pasien yang diobati dengan benzodiazepine.

Barbiturat

 Sering terjadi peningkatan sensitivitas terhadap barbiturat selama induksi. Mekanismenya


dengan peningkatan barbiturat bebas yang bersirkulasi karena ikatan dengan protein yang
berkurang.
 Asidosis menyebabkan agen ini lebih cepat masuknya ke otak dengan meningkatkan
fraksi non ion pada obat.

Ketamin

 Farmakokinetik ketamin berubah sedikit karena penyakit ginjal. Beberapa metabolik


yang aktif di hati tergantung pada ekskresi ginjal dan bisa terjadi potensial akumulasi
pada gagal ginjal. Hipertensi sekunder akibat efek ketamin bisa tidak diinginkan pada
pasien-pasien hipertensi ginjal.

Benzodiazepin

 Benzodiazepin menyebabkan metabolisme hati dan konjugasi karena eliminasi di urin.


Karena banyak yang terikat kuat dengan protein, peningkatan sensitivitas bisa terlihat
pada pasien-pasien hipoalbuminemia.
 Diazepam seharusnya digunakan berhati-hati pada gangguan ginjal karena potensi
akumulasi metabolit aktifnya.

Opioid

 Opioid (morfin, meperidin, fentanil, sufentanil dan alfentanil) di inaktifasi oleh hati,
beberapa metabolitnya nantinya diekskresi di urin. Farmakokinetik remifentanil tidak
terpengaruh oleh fungsi ginjal karena hidrolisis ester yang cepat di dalam darah.
 Kecuali morfin dan meferidin, Akumulasi morfin (morfin-6-glucuronide) dan metabolit
meperidine pernah dilaporkan memperpanjang depresi pernafasan pada beberapa pasien
dengan gagal ginjal. Peningkatan level normeperidine, metabolit meperidine,
dihubungkan dengan kejang-kejang.
 Agonis-antagonis opioid (butorphanol nalbuphine dan buprenorphine) tidak terpengaruh
oleh gagal ginjal.

Agen-Agen Antikolinergik

 Atropin dan glycopyrolate dalam dosis premedikasi, biasanya aman karena lebih dari
50% dari obat-obat ini dan metabolit aktifnya di ekskresi normal di urin, potensi
akumulasi terjadi bila dosis diulang.
 Scopolamine kurang tergantung pada ekskresi ginjal, tapi efek sistem syaraf pusat bisa
dipertinggi oleh azotemia.

Phenothiazines, H2 Blockers Dan Agen-Agen Yang Berhubungan.

 Phenothiazines, seperti promethazine bisa terjadi berpotensiasi dari depresi pusat oleh
azotemia. Kerja antiemetiknya bisa berguna untuk penanganan  mual preoperatif.
Droperidol sebagian bergantung pada ekskresi ginjal. Akumulasi bisa dilihat pada dosis
besar pada pasien-pasien dengan gangguan ginjal, biasanya droperidol digunakan pada
dosis kecil (< 2,5 mg)
 Semua H2 reseptor bloker sangat tergantung pada ekskresi ginjal. Metoclopramide
sebagian diekskresinya tidak berubah di urin dan akan diakumulasikan juga pada gagal
ginjal.

b.Agen-agen Inhalasi
Agen-agen volatile

 Agen anastetik volatile hampir ideal untuk pasien dengan disfungsi ginjal karena tidak
tergantungnya pada eliminasi ginjal, kemampuan untuk mengkontrol tekanan darah dan
biasanya mempunyai efek langsung minimal pada aliran darah ginjal.
 Percepatan induksi dan timbulnya bisa dilihat pada anemis berat (Hb <5 g/dL) dengan
GGK; observasi ini bisa dijelaskan oleh turunnya blood gas portion coefficient atau
kurangnya MAC.
 Enflurane dan sevoflurane (dengan aliran gas <2 L/min) tidak disarankan untuk pasien-
pasien dengan penyakit ginjal pada prosedur lama karena potensi akumulasi fluoride.

Nitrous Oxide

 Banyak klinisi tidak menggunakan atau membatasi penggunaan NO2 sampai 50% dengan
tujuan untuk meningkatkan penggunaan O2 arteri pada keadaan anemia.

c. Pelumpuh Otot
Succinyl choline
 SC bisa digunakan secara aman pada gagal ginjal, dengan konsentrasi serum kalium kurang
dari 5 mEq/L pada saat induksi. Bila K serum lebih tinggi, pelumpuh otot nondepol sebaiknya
digunakan.

Cisatracurium, atracurium & Mivacurium


 Mivacurium tergantung pada eliminasi ginjal secara minimal. Cisatracurium & atracurium
didegradasi di plasma oleh eliminasi hidrolisis ester enzymatik & nonenzymatik hofman. Agen-
agen ini mungkin merupakan obat pilihan untuk pelumpuh otot pada pasien-pasien dengan gagal
ginjal.

Vecuronium & Rucoronium


 Eliminasi dari vecuronium secara primer ada di hati, tapi lebih dari 20% dari obat dieliminasi
dalam urine.
 Efek dari dosis besar vecuronium (> 0,1 mg/kg) hanya memanjang sedikit pada pasien renal
insufisiensi. Perpanjangan kerja pada penyakit ginjal berat pernah dilaporkan.

Curare
 Eliminasi dari curare tergantung baik pada  ginjal maupun ekskresi empedu; 40-60% dosis
curare secara normal dieksresi di dalam urin. Dosis lebih rendah dan perpanjangan interval
pemberian dosis diperlukan untuk rumatan agar pelumpuh otot optimal

Pancuronium
 Obat-obat ini tergantung terutama pada ekskresi ginjal (60-90%). Walaupun pancuronium di
meta- bolisme di hati menjadi metabolik intermediate yang kurang aktif, eliminasi paruh
waktunya masih tergantung pada ekskresi ginjal (60-80%). Fungsi neuromuscular harus
dimonitor ketat jika obat-obat ini digunakan pada fungsi ginjal abnormal.

Metocurine, Gallamine & Decamethonium


 Obat-obat ini hampir sepenuhnya tergantung pada ekskresi ginjal untuk eliminasi dan harus
dihindari peng gunaannya dari pasien dengan gangguan fungsi ginjal.

Obat-obat Reversal
 Ekskresi ginjal adalah rute utama eliminasi bagi edrophonium, neostigmine & pyridostigmine.
Waktu pa ruh dari obat-obat ini pada pasien dengan gangguan gagal ginjal memanjang
setidaknya sama dengan pelumpuh otot sebelumnya diatas. 

2.9. Anestesi Pada Pasien dengan Gagal Ginjal Pertimbangan Pre Operasi
a. Gagal Ginjal Akut

 Gagal ginjal akut adalah penurunan fungsi ginjal secara cepat yang menghasilkan
penumpukan dari sampah nitrogen (azotemia). Zat ini sebagian besar bersifat racun,
dihasilkan oleh metabolisme protein dan asam amino. Termasuk urea, senyawa guanidine
(termasuk creatin dan creatinin), asam urat, asam amino alifatik, berbagai jenis peptida
dan metabolisme dari asam amino aromatik.
 Azotemia dapat dibagi menjadi beberapa tipe berdasarkan penyebabnya yaitu prerenal,
renal, dan postrenal.

  Penyebab oliguria
Pre renal Renal Post Renal
Hypovolemia Hypoxia Bladder neck
Hypotension From pre renal causes obstruction
Poor cardiac output Renal vein thrombosis Blocked drainage
Renal Nephrotoxins system system
Pre existing renal Amphotericin Pelvis surgery
damage Chemotherapeutic Prostatic
Renal vascular agents enlargement
disease NSAIDS Raised intra-
Renal Contrast media abdominalpressure
vasoconstriction (beware Renal or in Renal or ureteric
Sepsis diabetes and multiple Calculi
myeloma) Clots
Tissue injury Necrotic papillae
Haemoglobinuria Haemoglobinuria
Myoglobinuria
Uric Acid (tumour
lysis)
Inflammatory
nephritides
Glomerulonephritis
Interstitial nephritis
Polyarteritis
Myeloma

 Azotemia renal dan postrenal bersifat reversible pada tahap inisial namun jika dibiarkan
terus menerus akan menyebabkan azotemia renal. Kebanyakan pasien dewasa dengan
gagal ginjal akan terjadi oliguria.
 Pasien yang nonoliguri (yaitu pasien dengan urin output  >400mL/hari) terus menerus
membentuk urin yang secara kualitatif miskin, pada pasien ini cenderung memiliki
pemeliharaan yang cukup baik dari GFR. Walaupun filtrasi glomerulus dan fungsi
tubulus terganggu, kelainannya untuk cenderung buruk lebih sedikit pada gagal ginjal
nonoliguri.
 Pembahasan mengenai gagal ginjal akut bervariasi, namun pada tipe oliguria bertahan
sampai 2 minggu dan diikuti oleh fase diuretik yang ditandai dengan adanya peningkatan
yang progresif pada urin output. Fase diuretik ini sering menghasilkan sangat banyaknya
urin output dan biasanya tidak ditemui pada gagal ginjal yang non oligurik. Fungsi urinari
semakin baik dalam beberapa minggu namun bisa tetap bertahan tidak kembali normal
sampai 1 tahun.

b. Gagal Ginjal Kronis

 Sindroma ini dikarakteristikkan oleh adanya penurunan fungsi ginjal yang progresif dan
irreversibel dalam waktu 3-6 bulan. Penyebab utamanya adalah hipertensi nefrosklerosis,
diabetik nefropati, glomerulonefritis kronis, dan penyakit ginjal polikistik.
 Manifestasi penuh dari sindrom ini sering dikenal dengan uremia yang akan terlihat
setelah GFR menurun dibawah 25 mL/menit. Pasien dengan klirens dibawah 10
mL/menit (sering disebut dengan end stage renal disease) akan bergantung kepada
dialisis untuk bertahan sampai dilakukan transplantasi. Dialisis dapat berbentuk
intermittent hemodialysis melalui arteriovenous fistula atau dialisis terus menerus melalui
kateter yang diimplantasikan.

Manisfestasi of Uremia

Neurological  Cardiovascular 
  Peripheral neuropathy   Fluid overload
  Autonomic neuropathy   Congestive heart failure
  Muscle twitching   Hypertension
  Encephalopathy   Pericarditis
    Asterixis   Arrhythmia
    Myoclonus   Conduction blocks
    Lethargy   Vascular calcification
    Confusion   Accelerated atherosclerosis
    Seizures Metabolic 
    Coma   Metabolic acidosis
Pulmonary    Hyperkalemia
  Hyperventilation   Hyponatremia
  Interstitial edema   Hypermagnesemia
  Alveolar edema   Hyperphosphatemia
  Pleural effusion   Hypocalcemia
Gastrointestinal    Hyperuricemia
  Anorexia   Hypoalbuminemia
  Nausea and vomiting Hematological 
  Delayed gastric emptying   Anemia
  Hyperacidity   Platelet dysfunction
  Mucosal ulcerations   Leukocyte dysfunction
  Hemorrhage Skin 
  Adynamic ileus   Hyperpigmentation
Endocrine    Ecchymosis
  Glucose intolerance   Pruritus
  Secondary hyperparathyroidism Skeletal 
  Hypertriglyceridemia   Osteodystrophy
  Periarticular calcification
 Efek yang meluas dari uremia biasanya dapat dikontrol dengan dialisis. Banyak pasien
yang menjalani dialisis setiap hari dengan normal dan mungkin tidak terjadi
discoloration yang terkait dengan end stage renal disease dan dialisis.
 Mayoritas pasien di dialisis 3 kali perminggu. Sayangnya, semakin lama biasanya
komplikasi uremia sukar disembuhkan. Lebih lagi, beberapa komplikasi berhubungan
langsung dengan proses dialisis tersebut.
 Hipotensi, neutropenia, hipoksemia, sindroma disequilibrium bersifat sementara dan
hilang beberapa jam setelah dialisis. Beberapa faktor yang menyebabkan hipotensi
selama dialisis termasuk efek vasodilatasi dari larutan asetat dialisat, neuropati otonom
dan pergerakan yang cepat dari cairan. Interaksi antara sel darah putih dengan membran
derivat dialisis cellophane akan mengakibatkan neutropenia dan leukocyte-mediated
pulmonary disfunction menyebabkan hipoksemia. Sindroma disequilibrium
dikarakteristikkan oleh gejala neurologis sementara yang berhubungan dengan penurunan
dengan cepat osmolaritas ekstraselular dari osmolaritas intraselular.

Manifestasi dari Gagal Ginjal


A.   Metabolik

 Pasien dengan gagal ginjal dapat berkembang dengan abnormalitas dari metabolik yang
multipel termasuk hiperkalemia, hiperphospatemia, hipokalemia, hipermagnesemia,
hiperuricemia, dan hipoalbuminemia.
 Retensi air dan natrium akan mengakibatkan pemburukan dari hiponatremia dan cairan
ekstra seluler yang berlebihan.
 Kegagalan untuk mengekskresikan produksi asam yang non folatil mengakibatkan
asidosis metabolik dengan anion gap yang tinggi.
 Hipernatremia dan hipokalemia adalah komplikasi yang jarang.
 Hiperkalemia adalah abnormalitas yang paling mematikan karena memiliki efek pada
jantung. Hal ini biasanya ditemukan pada pasien dengan kreatinin klirens < 5 mL/menit,
namun dapat berkembang secara cepat pada pasien dengan klirens yang lebih tinggi oleh
karena dengan masukan kalium yang besar (trauma, hemolisis, infeksi atau konsumsi
kalium).
 Hipermagnesia biasanya ringan kecuali masukan magnesium meningkat (umumnya dari
antasida yang mengandung magnesium).
 Hipokalsemia terjadi dengan sebab yang tidak diketahui. Mekanisme yang diakibatkan
oleh deposit kalsium ke tulang secara sekunder oleh karena hiperphospatemia, resistensi
dari hormon paratiroid dan penurunan absorbsi usus halus secara sekunder menurunkan
sintesa renal dari 1,25-dihidroksi kolekalsiferol.Gejala dari hipokalsemia jarang
berkembang kecuali pasien dalam kondisi alkalosis. 
 Pasien dengan gagal ginjal juga secara cepat kehilangan protein jaringan sehingga
menyebabkan hipoalbuminemia. Anoreksia, restriksi protein dan dialisis (terutama
dialisis peritonium) juga berperan.  

B.   Hematologik

 Anemia biasanya muncul jika kreatinin klirens dibawah 30 ml/menit. Konsentrasi


hemoglobin umumnya 6-8 gram/dl. Penurunan produksi eritropoetin menurunkan
produksi sel darah merah, dan menurunkan pertahanan sel. Faktor tambahan termasuk
perdarahan saluran cerna, hemodilusi, dan penekanan sumsum tulang dari infeksi
sebelumnya. Walaupun dengan transfusi, konsentrasi hemoglobin meningkat sampai 9
gram/dl sangat sulit untuk dipertahankan. Pemberian eritropoetin biasanya dapat
mengoreksi anemia. Peningkatan  dari 2,3-difosfogliserat bertanggung jawab dalam
penurunan kapasitas pembawa oksigen. 2,3-DPG memfasilitasi pelepasan oksigen dari
hemoglobin. Asidosis metabolik juga mengakibatkan pergeseran ke kanan pada kurva
oksigen-hemoglobin dissosiasi.
 Fungsi platelet dan sel darah putih terganggu pada pasien dengan gagal ginjal. Secara
klinis, hal ini dimanifestasikan sebagai pemanjangan waktu perdarahan dan gampang
terkena infeksi. Pada pasien dengan penurunan aktivitas platelet faktor III, dan juga
penurunan ikatan dan agregrasi platelet. Pasien yang dihemodialisa juga memiliki efek
sisa antikoagulan dari heparin.     
C.   Kardiovaskuler

 Cardiac Output dapat meningkat pada gagal ginjal untuk menjaga oksigen delivery pada
penurunan kapasitas pembawa oksigen.
 Retensi natrium dan abnormalitas pada sistem renin angiotensin berakibat pada hipertensi
sistemik arteri. Left ventrikuler hipertropi umum dijumpai pada gagal ginjal kronis.
Cairan ekstraseluler yang berlebihan oleh karena retensi natrium bersamaan dengan
peningkatan kebutuhan yang terganggu oleh karena anemia dan hipertensi
mengakibatkan pasien gagal jantung dan edema pulmonum. Peningkatan permeabilitas
dari membran kapiler alveoli dapat menjadi faktor predisposisi.
 Blok konduksi sering ditemukan mungkin diakibatkan oleh deposit kalsium dari sistem
konduksi.
 Aritmia sering ditemukan dan mungkin berhubungan pada kelainan metabolik.
 Perikarditis uremia dapat ditemukan pada beberapa pasien, pasien bisa asimptomatis ,
yang ditandai dengan adanya nyeri dada atau terbentuknya tamponade jantung.
 Pasien dengan gagal ginjal kronis juga dikarakteristikan dengan peningkatan pembuluh
darah perifer dan penyakit arteri koroner.
 Depresi volume intravaskuler dapat muncul pada fase diuretik pada gagal ginjal akut jika
replacement cairan tidak adekuat. Hipovolemi juga muncul jika terlalu banyak cairan
yang terlalu banyak dikeluarkan ketika dialisis.

D.  Pulmonary

 Tanpa dialisis atau terapi bikarbonat, pasien bergantung pada peningkatan ventilasi
permenit untuk mengkompensasikan asidosis metabolik.
 Cairan ekstravaskular pulmonum biasanya meningkat dalam bentuk interstitial edema,
mengakibatkan perluasan gradien alveolar ke arterial oksigen yang menyebabkan
terjadinya hipoksemia. Peningkatan permeabilitas dari kapiler alveolar pada beberapa
pasien menyebabkan edema paru walaupun dengan tekanan kapiler paru yang normal,
karakteristik pada foto toraks menyerupai ”butterfly wings”.

E.   Endokrin
 Toleransi glukosa yang abnormal ditandai dengan adanya gagal ginjal akut dari resistensi
perifer pada insulin, pasien mempunyai glukosa dalam darah dengan jumlah besar dan
jarang menggunakannya.
 Hiperparatiroidisme yang sekunder pada pasien dengan gagal ginjal kronis dapat
mengakibatkan penyakit tulang metabolik, yang dapat menyebabkan fraktur.
 Kelainan metabolisme lemak sering mengakibatkan hipertrigliseridemia dan
kemungkinan berperan dalam atherosklerosis.
 Peningkatan dari tingkat protein dan polipeptida yang biasanya segera didegradasikan di
ginjal sering terlihat, hal ini berhubungan dengan hormon para- tiroid, insulin, glukagon,
growth hormon, luteinizing hormone, dan prolaktin.

F.  Gastrointestinal

 Anoreksia, nausea, vomiting dan ileus adinamik umumnya berhubungan dengan


azotemia.
 Hipersekresi dari asam lambung meningkatkan insiden dari tukak peptik dan perdarahan
saluran pencernaan, yang muncul pada 10-30% dari pasien.
 Penundaan pengosongan lambung secara sekunder pada neuropati autonom dapat
mencetuskan adanya aspirasi perioperatif.
 Pasien dengan gagal ginjal kronis juga memiliki koinsiden terhadap virus hepatitis (tipe B
dan C), sering diikuti oleh disfungsi hepatik.

G.  Neurologis

 Tubuh kurus, letargi, confussion, kejang, dan koma adalah manifestasi dari uremik
encephalopathy. Gejala pada umumnya berhubungan dengan derajat azotemia.
 Neuropati autonom dan perifer umumnya dijumpai pada pasien dengan gagal ginjal
kronis. Neuropati perifer bersifat sensoris dan melibatkan ekstremitas distal bagian
bawah.

2.10.Evaluasi Preoperatif
Gagal ginjalnya berhubungan dengan komplikasi post operatif atau trauma. Pasien dengan gagal
ginjal akut juga mempercepat pemecahan protein. Manajemen perioperatif yang optimal
tergantung dari dialisis preoperatif. Hemodialisis lebih efektif dari pada peritoneal dialisis dan
dapat dilakukan melalui internal jugular yang temporer, dialisis dengan kateter subklavia atau
femoral. Kebutuhan dialisis pada pasien nonoligurik dapat disesuaikan dengan kebutuhan
individual.

      Indikasi Untuk Dialisis


Overload Cairan
Hiperkalemi
Asidosis Berat
Enselopaty Metabolik
Perikarditis
Koogulopati
Refraktory Gastrointestinal Symtom
Toksisitas Obat

 Pasien dengan gagal ginjal kronis semua manifestasi yang reversibel dari uremia harus
dikontrol. Dialisis pre operatif pada hari pembedahan atau hari sebelumnya dibutuhkan.
 Evaluasi fisik dan laboratorium harus di fokuskan pada fungsi jantung dan pernafasan.
Tanda–tanda kelebihan cairan atau hipovolemia harus dapat diketahui. Kekurangan
volume intravaskuler sering disebabkan oleh dialisis yang berlebihan. Perbandingan berat
pasien sebelum dan sesudah dialisis mungkin membantu.
 Data hemodinamik, jika tersedia dan foto dada sangat bermakna dalam kesan klinis.
 Analisa gas darah juga berguna dalam mendeteksi hipoksemia dan mengevaluasi status
asam-basa pada pasien dengan keluhan sesak nafas.
 EKG harus diperiksa secara hati-hati sebagai tanda-tanda dari hiperkalimia atau
hipokalimia seperti pada iskemia, blok konduksi, dan ventrikular hipertropi.
 Echocardiography sangat bermakna  dalam mengevaluasi fungsi jantung pada pasien
dibawah prosedur pembedahan mayor karena hal ini dapat mengevaluasi ejeksi fraksi
dari ventrikel, seperti halnya mendeteksi dan kuantitatif hipertropi, pergerakan abnormal
pembuluh darah, dan cairan perikard adanya gesekan bisa tidak terdengar pada auskultasi
pada pasien dengan efusi perikard.
 Transfusi pre operatif sel darah merah harusnya diberikan pada pasien dengan anemia
berat (hemoglobin <6-7 g/dL) atau ketika kehilangan darah sewaktu operasi diperkirakan.
 Waktu perdarahan dan pembekuan dianjurkan, khususnya jika ada pertimbangan regional
anestesi. Serum elektrolit, BUN, dan pengukuran kreatinin dapat menentukan
keadekuatan dialisis.
 Pengukuran glukosa dibutuhkan dalam mengevaluasi kebutuhan potensial untuk terapi
insulin perioperatif.
 Perlambatan pengosongan lambung akibat sekunder dari neuropati otonom pada beberapa
pasien bisa mempengaruhi pasien-pasien GGK untuk terjadinya aspirasi pada perioperatif
 Terapi obat preoperatif diberikan secara hati-hati pada obat yang dieliminasi di ginjal.
Penyesuaian dosis dan pengukuran kadar darah (jika memungkinkan) dibutuhkan untuk
mencegah toksisitas obat.

2.11. Obat yang berpotensial berakumulasi secara signifikan pada pasien dengan gangguan
ginjal

 Muscle relaxants : Metocurine, Gallamine, Decamethonium, Pancuronium, Pipecurium,


Doxacurium, Alcuronium
 Anticholinergics  : Atropine, Glycopyrrolate
 Metoclopramide
 H2 reseptor antagonists  : Cimetidine, Ranitidine
 Digitalis
 Diuretics
 Calcium Channel antagonis : Nifedipine, Diltiazem
 β – Adrenergic blockers  : Propanolol, Nadolol, Pindolol, Atenolol
 Anti Hipertensi : Clonidine, Methyldopa, Captporil, Enalapril, Lisinopril, Hydralazine,
Nitroprusside (Thiocyanate)
 Antiarrhytmics : Procainamide, Disopyramide, Bretylium, Tocainide, Encainide
(Genetically determined)
 Bronchodilators : Terbutalline
 Psychiatric  : Lithium
 Antibiotics : Penicillins, Cephalosporin, Aminoglycosid, Tetracycline, Vancomycin
 Anticonvulsants : Carbamazepine, Ethosuximide, Primidone

Premedikasi

 Pada pasien yang relatif stabil dan sadar dapat diberikan pengurangan dosis dari opioid
atau benzodiazepin.
 Profilaksis untuk aspirasi diberikan H2 blocker diindikasikan pada pasien mual, muntah
atau perdarahan saluran cerna.
 Metoclopramide, 10 mg secara oral atau tetes lambat intra vena juga berguna dalam
mempercepat pengosongan lambung, mencegah mual dan menurunkan resiko aspirasi.
 Pengobatan preoperatif terutama obat anti hipertensi harus dilanjutkan sampai pada saat
pembedahan.

Pertimbangan Intraoperatif
Monitoring

 Prosedur pembedahan membutuhkan perhatian pada kondisi medis secara menyeluruh.


Karena bahaya dari adanya oklusi, tekanan darah sebaiknya tidak diukur dari cuff pada
lengan dengan fistula arteriovena.
 Intra-arterial, vena sentral, dan arteri paru membutuhkan perhatian, terutama pada pasien
dibawah prosedur dengan pergeseran cairan yang luas, volume intravaskuler sering sulit
disesuaikan hanya dari tanda klinis.
 Monitoring tekanan darah intra-arteri secara langsung diindikasikan pada pasien yang
hipertensinya tidak terkontrol.
 Monitoring invasif yang agresif diindikasikan khususnya pada pasien diabetes dengan
penyakit ginjal berat yang sedang menjalani pembedahan mayor, pasien jenis ini
mungkin memiliki tingkat morbiditas 10 kali lebih banyak pada pasien diabetes tanpa
penyakit ginjal. Yang terakhir ini menunjukkan insiden yang tinggi pada komplikasi
kardiovaskular pada grup pertama.

Induksi

 Pasien dengan mual, muntah atau perdarahan saluran cerna harus menjalani induksi cepat
dengan tekanan krikoid.
 Dosis dari zat induksi harus dikurangi untuk pasien yang sangat sakit. Thiopental 2-3
mg/kg atau propofol 1-2 mg/kg sering digunakan. Etomidate, 0,2-0,4 mg/kg dapat
dipertimbangkan pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil.
 Opioid, beta-bloker (esmolol), atau lidokain bisa digunakan untuk mengurangi respon
hipertensi pada intubasi.
 Succinylcholine, 1,5 mg/kg, bisa digunakan untuk intubasi endotrakeal jika kadar kalium
darah kurang dari 5 meq/L. Rocuronium (0,6mg/kg),cisatracurium (0,15 mg/kg),
atracurium (0,4 mg/kg) atau mivacurium (0,15 mg/kg) dapat digunakan untuk
mengintubasi pasien dengan hiperkalemia. Atracurium pada dosis ini umumnya
mengakibatkan pelepasan histamin. Vecuronium, 0,1 mg/kg tepat digunakan sebagai
alternatif, namun efeknya harus diperhatikan.

Perawatan Anestesi

 Tehnik pemeliharaan yang ideal harus dapat mengkontrol hipertensi dengan efek minimal
pada cardiac output, karena peningkatan cardiac output merupakan kompensasi yang
prinsipil dalam mekanisme anemia.
 Anestesi volatil, nitrous oxide, fentanyl, sufentanil, alfentanil, dan morfin dianggap
sebagai agen pemeliharaan yang memuaskan.
 Isoflurane dan desflurane merupakan zat yang mudah menguap pilihan karena mereka
memiliki efek yang sedikit pada cardiac output.
 Nitrous oxide harus digunakan secara hati-hati pada pasien dengan fungsi ventrikel yang
lemah dan jangan digunakan pada pasien dengan konsentrasi hemoglobin yang sangat
rendah (< 7g/dL) untuk pemberian 100% oksigen.
 Meperidine bukan pilihan yang bagus oleh karena akumulasi dari normeperidine. Morfin
boleh digunakan, namun efek kelanjutannya perlu diperhatikan.
 Ventilasi terkontrol adalah metode teraman pada pasien dengan gagal ginjal. Ventilasi
spontan dibawah pengaruh anestesi yang tidak mencukupi  dapat menyebabkan asidosis
respiratorik yang mungkin mengeksaserbasi acidemia yang telah ada, yang dapat
menyebabkan depresi pernafasan yang berat dan peningkatan konsentrasi kalium di darah
yang berbahaya. Alkalosis respiratorik dapat merusak karena mengeser kurva disosiasi
hemoglobin ke kiri, dan mengeksaserbasi hipokalemia yang telah ada, dan menurunkan
aliran darah otak.

Terapi Cairan

 Operasi superfisial melibatkan trauma jaringan yang minimal memerlukan penggantian


cairan dengan 5 % dekstrosa dalam air. Prosedur ini berhubungan dengan kehilangan
cairan yang banyak atau pergeseran yang membutuhkan kristalloid yang isotonik, koloid,
atau keduanya.
 Ringer laktat sebaiknya dihindari pada pasien hiperkalemia yang membutuhkan banyak
cairan, karena kandungan kalium (4 meq/L), normal saline dapat digunakan. Cairan bebas
glukosa digunakan karena intoleransi glukosa yang berhubungan dengan uremia.
 Kehilangan darah diganti dengan packed red blood cells.

2.12. Anestesi Pada Pasien dengan Gangguang Ginjal Ringan sampai Sedang
Pertimbangan Preoperatif
 Ginjal biasanya menunjukkan fungsi yang besar. GFR,  yang dapat diketahui dengan
kreatinin klirens, dapat menurun dari 120 ke 60 mL/ menit tanpa adanya perubahan klinis
pada fungsi ginjal. Walaupun pada pasien dengan kreatinin klirens 40 -60 mL/menit
umumnya asimtomatik. Pasien ini hanya memiliki gangguan ginjal ringan namun harus
dipertimbangkan sebagai gangguan ginjal.
 Ketika kreatinin klirens mencapai 25 – 40 mL/menit gangguan ginjal sedang dan pasien
bisa disebut memiliki renal insufisiensi. Azotemia yang signifikan selalu muncul, dan
hipertensi maupun anemia secara ibersamaan. Manajemen anestesi yang tepat pada
pasien ini sama pentingnya pada pasien gagal ginjal yang berat. Yang terakhir ini
terutama selama prosedur yang berkaitan dengan insiden yang relatif tinggi dari gagal
ginjal postoperatif,  seperti pembedahan konstruktif dari jantung dan aorta.
 Kehilangan volume intravaskular, sepsis, obstruktif jaundice, kecelakaan, injeksi kontras
dan aminoglikosid, angiotensin converting enzim inhibitor, atau obat-obat terapi seperti
NSAID sebagai resiko utama pada perburukan akut pada fungsi ginjal.
 Hipovolemia muncul khususnya sebagai faktor yang penting pada gagal ginjal akut
postoperatif. Penekanan manajemen pada pasien ini adalah pencegahan, karena angka
kematian dari gagal ginjal post operatif sebesar   50%–60%.
 Peningkatan resiko perioperatif berhubungan dengan kombinasi penyakit ginjal lanjut
dan diabetes.
 Profilaksis untuk gagal ginjal dengan cairan diuresis efektif dan diindikasikan pada
pasien dengan resiko tinggi, rekonstruksi aorta mayor, dan kemungkinan prosedur
pembedahan lainnya.
 Mannitol (0,5 g/kg) sering digunakan dan diberikan sebagai perioritas pada induksi.
 Cairan intravena diberikan untuk mencegah kehilangan intra vaskular. Infus intravena
dengan fenoldopam atau dopamin dosis rendah memberikan peningkatan aliran darah
ginjal melalui aktivasi dari vasodilator reseptor dopamin pada pembuluh darah ginjal.
 Loop diuretik juga dibutuhkan untuk menjaga pengeluaran urin dan mencegah kelebihan
cairan.

Pertimbangan Intraoperatif
Monitoring
 Monitor standard yang digunakan untuk prosedur termasuk kehilangan cairan yang
minimal. Untuk operasi yang banyak kehilangan cairan atau darah, pemantauan urin
output dan volume intravaskular sangat penting.
 Walaupun dengan urin output yang cukup tidak memastikan fungsi ginjal baik, namun
selalu diusahakan pencapaian urin output lebih besar dari 0,5 mL/kgBB/jam.
 Pemantauan tekanan intra arterial juga dilakukan jika terjadi perubahan tekanan darah
yang cepat, misalnya pada pasien dengan hipertensi tidak terkontrol atau sedang dalam
pengobatan yang berhubungan dengan perubahan yang mendadak pada preload maupun
afterload jantung.

Induksi

 Pemilihan zat induksi tidak sepenting dalam memastikan volume intravaskular yang
cukup terlebih dahulu. Anestesi induksi pada pasien dengan Renal Insuffisiensi biasanya
menghasilkan hipotensi jika terjadi hipovolemia. Kecuali jika diberikan vasopressor,
hipotensi biasanya muncul setelah intubasi atau rangsangan pembedahan. Perfusi ginjal,
yang dipengaruhi oleh hipovolemia semakin buruk  sebagai hasil pertama adalah
hipotensi dan kemudian secara simpatis atau farmakologis diperantarai oleh
vasokonstriksi ginjal. Jika berlanjut, penurunan perfusi ginjal pengakibatkan kerusakan
ginjal postoperatif. Hidrasi preoperatif biasanya digunakan untuk mencegah hal ini.

Pemeliharaan Anestesi

 Semua zat pemeliharaan dapat diberikan kecuali Methoxyflurane dan Sevoflurane. Walau
enflurane bisa digunakan secara aman pada prosedur singkat, namun lebih baik dihindari
pada pasien dengan insuffisiensi ginjal karena masih ada pilihan obat lain yang
memuaskan. Pemburukan fungsi ginjal selama periode ini dapat menghasilkan efek
hemodinamik lebih lanjut dari pembedahan (perdarahan) atau anestesi (depresi jantung
atau hipotensi).
 Efek hormon tidak langsung (aktifasi simpatoadrenal atau sekresi ADH), atau ventilasi
tekanan positif. Efek ini biasanya reversibel ketika diberikan cairan intravena yang cukup
untuk mempertahankan volume intravaskuler yang normal atau meluas.
 Pemberian utama dari vasopresor α – adrenergik (phenyleprine dan norepineprine) juga
dapat mengganggu. Dosis kecil intermitten atau infus singkat mungkin bisa berguna
untuk mempertahankan aliran darah ginjal sebelum pemberian yang lain (seperti
transfusi) dapat mengatasi hipotensi. Jika mean tekanan darah arteri, cardiac output dan
cairan intravaskuler cukup, infus dopamin dosis rendah (2-5 mikrogram/kg/menit) dapat
diberikan dengan batasan urin output untuk mempertahankan aliran darah ginjal dan
fungsi ginjal.”Dosis dopamin untuk ginjal”telah juga dapat menunjukkan setidaknya
sebagian membalikkan vasokonstriksi arteri ginjal selama infus dengan vasopresor α–
adrenergik (norepinephrine). Fenoldopam juga mempunyai efek yang sama.

Anestesi Umum

 Anestesi Volatile
Selain itu, sevofluran dapat merusak fungsi ginjal; ion fluorida anorganik yang dihasilkan dari
deflorasinya dan produksi senyawa A dari reaksi dengan penyerap karbon dioksida telah
dikaitkan dengan nefrotoksisitas.
 Anestesi Intravena
Dalam studi lain, pasien yang diobati dengan propofol memiliki ketahanan hidup ICU
yang lebih baik daripada pasien yang diobati dengan benzodiazepine.
 Anestesi Regional
Kemampuan Bupivacaine untuk mengurangi kerusakan sel menunjukkan bahwa ia mungkin
memiliki beberapa efek perlindungan terhadap gagal ginjal. beberapa penelitian telah
menemukan bahwa analgesia epidural (EDA) mengurangi kejadian gagal ginjal akut.

Efek anestesi pada fungsi ginjal

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa pemberian beberapa jenis anestesi selama
operasi, serta tekanan bedah itu sendiri, dapat mempengaruhi fungsi ginjal. Efek tidak langsung
lebih jelas daripada efek langsung. Namun, penelitian lain menunjukkan bahwa beberapa obat
anestesi menginduksi efek antiinflamasi, anti nekrotik, dan anti apoptosis yang melindungi
terhadap AKI.

Terapi Cairan
 Seperti ditinjau di atas, pemberian cairan yang tepat adalah penting dalam mengelola
pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Kekhawatiran overload cairan dibenarkan, tetapi
masalah jarang dijumpai pada pasien dengan output urin normal jika pedoman pemberian
cairan rasional dan pemantauan yang tepat digunakan. Konsekuensi buruk dari kelebihan
cairan yang berlebihan yaitu, kongesti paru atau edema jauh lebih mudah diobati daripada
AKI dan gagal ginjal.

BAB III

LAPORAN KASUS

1. Identitas Pasien
 Nama : Ny. A
 Umur : 62 tahun
 Jenis Kelamin : Perempuan
 Alamat : Cawang
 Suku : Jawa
 Agama : Islam

2. Anamnesis
Seorang wanita berusia 62 tahun dikonsulkan ke Bagian Anestesia dengan keluhan
benjolan yang semakin membesar, terasa nyeri dan berdarah di dekat pergelangan tangan
kiri dengan riwayat operasi pintasan arteri vena untuk akses hemodialisis saat satu bulan
sebelumnya, untuk evakuasi hematoma dan juga ligasi arteri radialis sinistra. Pasien
tersebut mempunyai riwayat hipertensi yang dikontrol memakai obat amlodipin 1x10 mg
per oral serta riwayat diabetes melitus yang dikontrol dengan insulin kerja pendek dengan
dosis 6–0–8 unit secara subkutan. Pasien telah menjalani hemodialisis 6 kali yang
dilakukan teratur 2 kali seminggu.

3. Pemeriksaan Fisik
 Keadaan umum : Tampak sakit sedang
 Kesadaran : Composmentis
 GCS : E4 M6 V5 Total : 15
 Tekanan darah : 150/80 mmHg
 Nadi : 92x/menit, teraba kuat, isi cukup
 RR : 18x/menit,
 Suhu peraksila : 36,5 C
 Berat badan : 50 kg
 Tinggi badan : 160 cm
 Kepala : Normocephali,
 Mata : Conjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
 Hidung : Bentuk simetris, pernapasan cuping hidung (-/-)
 Mulut : Sianosis per oral (-/-)
 Tenggorokan : Tonsil T0/T0, faring hiperemi (-)
 Leher : Tiroid (tidak ada keluhan), KGB (tidak ada pembesaran)
 Cor :
- I : iktus kordis tidak terlihat
- P : Iktus kordis teraba di 2 jari lateral linea mid clavicula sinistra ICS 5
- P : Batas jantung kanan linea parasternalis dextra ICS 5
Batas jantung kiri 2 jari lateral linea mid clavicula sinistra ICS 6
Pinggan jantung linea parasternalis sinistra ICS 2
- A : S1 S2 mur-mur (-) gallop (-)
 Thorax :
- I : datar simetris di kedua lapang paru
- P : fremitus taktil dan vocal simetris
- P : sonor di seluruh lapang paru
- A : Bising napas vesikuler , rhonki basah halus (-/-), wheezing (-/-)
 Abdomen :
- I : Permukaan cembung, warna sama dengan kulit sekitar
- A : BU (+) 4 x/ menit
- P : Defans muscular (-), nyeri tekan (-)
- P : NT (-), NL (-)
 Ekstremitas :
- Atas : Edema (-/-)
- Bawah : Edema (-/-), Akral hangat, CRT <2 detik

 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Penunjang Hasil


Hematologi Hemoglobin 10,3 g/dl

  Hematokrit 31 %

  Leukosit 17.300 / mm3

  Trombosit 282.000 / mm 3

 Hemostatis PT 13 detik

  INR 1,09 detik

  APTT 31,3 detik

Kimia Klinik Ureum 156 g/dl

Kreatinin 3,4 g/dl

Glukosa darah 212 g/dl


sewaktu
HBA1C 6,49 %

Pemeriksaan Penunjang Hasil

Elektrolit  Natrium (Na) 132 mEq/L

  Kalium (K) 3,8 mEq/L

 Kesimpulan
Seorang perempuan usia 62 tahun dengan pseudoaneurisma pada pergelangan tangan kiri
akibat pintasan arteri vena untuk akses hemodialisis dilakukan evakuasi hematoma dan
ligasi arteri radialis sinistra dalam anestesi blok aksilar di RS.

DAFTAR PUSTAKA
 GE Morgan, MS Mikail. Anesthesia for Patien with Renal Disease,. Clinical
Anesthesiology. Lange Medical Books / Mc Graw-Hill, 4th ed. New York; 2006. p: 742-
754
 GE Morgan, MS Mikail. Anesthesia for Patien with Renal Disease,. Clinical
Anesthesiology. Lange Medical Books / Mc Graw-Hill, 4th ed. New York; 2013. p: 654-
666
 Mahon Padraig, Shorten George D. Renal Disease. Preoperative Assesment and
Management. The Lippincot Williams and Wilkins, 2nd Edition. 2007.p : 197 – 219
 Motayagheni.N.etc. A Review of Anesthetic Effect on Renal Function: Potential Organ
Protection. American Journal Of Nephrology. 2017

Anda mungkin juga menyukai