Anda di halaman 1dari 20

SENGKETA DALAM ASURANSI SYARIAH

Makalah ini dibuat guna memenuhi mata kuliah Asuransi Syariah

Dosen Pengampu: Endang Sriani, S.H.I., M.H.

Disusun oleh:

1. Indra Akbar Muhamad (33020170132)


2. Nasrul (33020180027)
3. Hanif Alwi Maulana (33020180143)
4. Cindy Nurmala Sari (33020180001)

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARI’AH

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA

TAHUN AKADEMIK 2020/2021

i
ii
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan karunianya. Kami juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
memberikan bantuan serta dukungan sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat waktu.

Demikian tugas ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum
Jaminan yang berjudul “ Sengketa Dalam Asuransi Syari’ah’’. Dalam penyusunan makalah
ini masih terdapat kekurangan, kami mengharapkan kritik serta saran agar kami bisa
memperbaiki untuk tugas yang akan datang. Dan kami juga mohon maaf jika banyak terjadi
kesalahan maupun kekurangan dalam penyusunan makalah ini baik yang disengaja maupun
tidak disengaja. Karena kami yakin kesempurnaaan hanyalah milik Allah SWT semata.

Kami sampaikan terimakasih kepada semua pihak yang berperan dalam


penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT meridhoi segala usaha
kita, Aamiin.

Salatiga, 12 Mei 2021

Penyusun

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...................................................................................................................................i

KATA PENGANTAR................................................................................................................................ii

DAFTAR ISI..............................................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang...............................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................................................1
C. Tujuan............................................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Sengketa dalam Ekonomi Syariah ..............................................................................3


B. Lembaga yang Berwenang dalam Sengketa Ekonomi Syariah .................................. 6
C. Metode Penyelesaian Sengketa .....................................................................................................8

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan..................................................................................................................................14
B. Saran............................................................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................................15

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sengketa terjadi bisa dikarenakan adanya perbedaan antara pihak yang satu
dengan lain dalam hal menafsirkan semua hal, dapat dikarenakan pihak yang satu atau
lainnya tidak mematuhi apa yang telah disepakati bersama dalam sebuah perjanjian
sebagian atau seluruh dari isi perjanjian itu, perjanjian secara umum yang berlaku dan
terjadi dalam masyarakat yang menyangkut perjanjian antar individu, antar lembaga,
antar individu, dan lembaga dan selanjutnya juga antar individu dengan lembaga
keuangan misalnya asuransi syariah.
Sengketa menurut kamus bahasa Indonesia adalah sesuatu yang menyebabkan
perbedaan pendapat, pertengkaran, perbantahan, pertikaian, perselisihan. Menurut
hukum, sengketa hukum terjadi apabila terdapat salah satu dari dua orang atau lebih
yang saling mengikat diri keperdataannya terhadap apa yang diperjanjikan. Tentu
banyak jenis sengketa itu tapi yang akan dibahas pada penulisan ini adalah sengketa
Ekonomi Syariah.
Pada dasarnya tidak seorang pun menghendaki terjadinya sengketa dengan
orang lain. Tetapi dalam hubungan bisnis atau suatu perjanjian, masing-masing pihak
harus mengantisipasi kemungkinan timbulnya sengketa yang dapat terjadi setiap saat
di kemudian hari.
Untuk menyelesaikan sengketa, pada umumnya terdapat beberapa cara yang
dapat dipilih. Cara-cara yang dimaksud seperti arbitrase, negosiasi, dan pengadilan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian sengketa dalam Ekonomi Syariah?
2. Apa saja lembaga yang berwenang dalam penyelesaian sengketa Ekonomi
Syariah?
3. Bagaimanakah metode penyelesaian sengketa dalam Asuransi Syariah?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian sengketa dalam Ekonomi Syariah
2. Untuk mengetahui lembaga yang berwenang dalam penyelesaian sengketa
Ekonomi Syariah

1
3. Untuk mengetahui metode/cara penyelesaian sengketa dalam Asuransi
Syariah.
4.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Sengketa Ekonomi Syariah

Menurut kamus bahasa Indonesia adalah sesuatu yang menyebabkan


perbedaan pendapat,pertengkaran, perbantahan, pertikaian, perselisihan. Menurut
hukum, sengketa hukum terjadi apabila terdapat salah satu dari dua orang atau lebih
yang saling mengikat diri keperdataannya terhadap apa yang diperjanjikan. Tentu
banyak jenis sengketa itu tapi yang akan dibahas pada penulisan ini adalah sengketa
Ekonomi Syariah.
Sengketa dalam bahasa Inggris disebut disebut pertentangan atau konflik yang
terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan
atau kepentingan yang sama atas objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat
hukum antara satu dengan yang lain
Sengketa dapat terjadi pada siapa saja dan dimana saja. Sengketa dapat
bersifat publik maupun bersifat keperdataan dan dapat terjadi baik dalam lingkup
lokal, nasional maupun internasional. Sengketa dapat terjadi antara individu dengan
individu, antara individu dengan kelompok, antara kelompok dengan kelompok,
antara perusahaan dengan perusahaan, antara perusahaan dengan negara, antara
negara satu dengan yang lainnya, dan sebagainya.
Dasar dari sebuah ekonomi adalah merupakan kegiatan yang tidak
terlepas dari harta dan benda. Dikatakan kegiatan ekonomi apabila ada sebuah
transaksi ekonomi antara satu pihak dengan pihak yang lain, yang terkadang transaksi
tersebut menimbulkan sebuah sengketa. Sengketa dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah segala sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat, pertikaian
1
atau perbantahan. Dalam Kamus Inggris kata sengketa, perselisihan, pertentangan
sama dengan conflict atau dispute. Oleh karena itu kata lain dari sengketa adalah
konflik, secara bahasa kedua kata tersebut mengandung arti suatu peristiwa yang
menggambarkan tentang adanya perbedaan atau benturan kepentingan antara dua
pihak atau lebih. Konflik adalah keadaan dimana apabila dua pihak atau lebih
dihadapkan pada perbedaan kepentingan berkembang menjadi sebuah sengketa
(wanprestasi) apabila pihak yang merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak puas
1
Juhaya S Pradja, Ekonomi Syariah (Bogor: Pustaka Setia, 2012).

3
atau keprihatinannya, baik secara langsung kepada pihak yang dianggap sebagai
penyebab kerugian atau kepada pihak lain. 2
Ekonomi syariah telah disebutkan dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
Pasal 1 ayat 1. Dengan demikian sengketa ekonomi syariah adalah merupakan suatu
pertentangan antara satu pihak atau lebih pelaku kegiatan ekonomi, dimana kegiatan
ekonomi tersebut berlandaskan pada prinsip-prinsip syariah dan ajaran hukum
ekonomi syariah yang ditimbulkan oleh adanya perbedaan pendapat tentang suatu hal
yang dapat mengakibatkan adanya sanksi hukum terhadap salah satu pihak yang
bersangkutan. Dan terjadinya suatu sengketa tersebut karena salah satu pihak
melakukan wanprestasi dan atau melakukan perbuatan malawan hukum sehingga
dapat menimbulkan kerugian pada pihak yang lain. Wanprestasi adalah kelalaian
pihak debitor dalam memenuhi prestasi yang telah ditentukan dalam perjanjian .3
Adapun prosedur penyelesaian sengketa ekonomi syariah di Pengadilan
Agama adalah sebagai berikut :
1. Subyek Hukum dalam Sengketa Ekonomi Syariah Subjek hukum adalah setiap
pihak sebagai pendukung hak dan kewajiban dengan kata lain, setiap pihak
mempunyai hak dan kewajiban. Dari definisi tersebut dapat dikatakan bahwa
subjek hukum adalah pelaku hukum. Jadi yang dimaksud subjek hukum dalam
bahasan ini adalah para pelaku hukum yang terkait dengan proses sengketa
perbankan syariah. Para pelaku hukum yang terlibat dalam sengketa
perbankan syariah adalah pihak-pihak yang melakukan tindakan hukum, yaitu
berupa perjanjian (akad) syariah dan kemudian pihak-pihak tersebut menjadi
terikat dengan hasil tindakannya tersebut. Pihak tersebut bisa perseorangan
maupun berupa lembaga. Pada dasarnya subjek hukum yang ada dalam
perbankan syariah tidak mengatur tentang spesifikasi atau kriteria
beragamanya, akan tetapi hanya mengatur mengenai dasar operasionalnya,
yaitu dengan prinsip syariah. Sehingga dapat dikatakan bahwa setiap orang
atau badan hukum boleh melakukan akad perbankan syariah sesuai dengan
kehendak atau keinginan atau kesepakatan, baik dia beragama Islam ataupun
non muslim. Seseorang atau badan hukum yang melakukan kgiatan perbankan
syariah dengan sendirinya ia menyatakan menundukkan diri dengan usaha dan
kegiatan perbankan syariah yang menggunakan prinsip syariah. Oleh karena

2
Muh Nasikhin, Perbankan Syariah Dan Sistem Penyelesaian Sengketanya, (Kuala Tunggal: Fatawa, 2010).
3
Aqimuddin Eka An, Solusi Bila Terjerat Kasus Bisnis, (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2010), hlm. 75

4
itu ketika terjadi sengketa, baik orang atau badan hukum tersebut tidak
beragama Islam, akan tetapi telah menundukkan diri dengan hukum Islam,
maupun mereka yang secara formil telah beragama Islam, maka orang atau
badan hukum tersebut termasuk dalam kategori yang dimaksud dalam Pasal 2
dan Pasal 49 UUPA dan mereka dapat mencari keadilan dan menyelesaikan
sengketa melalui Pengadilan Agama. Untuk menyelesaikan sengketanya,
secara personal dapat langsung atau mererka dapat mewakilkan kepada kuasa
hukum atau kuasa insidentil mererka.

2. Tata Cara Pengajuan terhadap Sengketa Ekonomi Syariah di Pengadilan


Agama. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 2016 memberikan dua
kemungkinan penanganan perkara ekonomi syariah cara sederhana dan cara
biasa. Penanganan perkara ekonomi syariah dengan cara sederhana mengacu
kepada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Tata Cara
Gugatan Sederhana atau biasa dikenal dengan istilah small claims court.
Sementara itu, penanganan perkara ekonomi syariah dengan cara biasa tetap
mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun
ketentuan-ketentuan penanganan perkara ekonomi syariah cara sederhana,
diantaranya : Nilai gugatan materil paling banyak Rp. 200 juta; para pihak
berdomisili di wilayah hukum yang sama; penggugat dan tergugat tidak boleh
lebih dari satu; alamat tergugat harus diketahui; pendaftaran perkara
menggunakan blanko gugatan; pengajuan bukti-bukti harus bersamaan dengan
pendaftaran perkara; penunjukan hakim dan panitera sidang paling lama 2
hari; hakim tunggal; adanya pemeriksan pendahuluan; tidak ada mediasi;
penggugat dan tergugat wajib hadir tanpa didampingi kuasa hukum; gugatan
dinyatakan gugur apabila penggugat pada sidang pertama tidak hadir tanpa
alasan yang sah; dalam proses pemeriksaan hanya ada gugatan dan jawaban;
waktu penyelesaian perkara 25 hari sejak sidang pertama; penyampaian
putusan paling lambat 2 hari setelah putusan diucapkan; tidak ada upaya
banding maupun kasasi, yang ada 14 Nasikhin, Perbankan Syariah dan Sistem
Penyelesaian Sengketanya. 143 6 upaya hukum pegajuan keberatan yang
diajukan 7 hari setelah putusan diucapkan atau setelah pemberitahuan putusan.
Kewenangan relatif atau untuk menentukan Pengadilan Agama mana yang
berwenang menangani sengketa perbankan syariah yang terjadi tersebut dapat
5
digunakan dua cara. Pertama, gugatan tersebut dapat diajukan ke Pengadilan
Agama yang mewilayahi tempat tinggal atau kediaman penggugat, atau
Kedua, gugatan tersebut dapat diajukan ke Pengadilan agama yang
mewilayahi tempat tinggal atau tempat kediaman tergugat. Jika tergugatnya
lebih dari satu orang atau beberapa orang tergugat, maka gugatan dapat
diajukan ke pengadilan Agama tempat tinggal tergugat yang berutang utama.4
B. Lembaga yang berwenang dalam sengketa Ekonomi Syariah
Pasal Ekonomi Syariah merupakan Kewenangan Absolut Pengadilan Agama.
Walaupun dalam peraturan-peraturan yang diterbitkan oleh OJK serta Fatwa DSN-
MUI tidak mengatur secara tegas peran Pengadilan Agama sebagai lembaga litigasi
yang berwenang menyelesaikan sengketa asuransi syariah. Tetapi dalam ketentuan
Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 7
tahun 1989 tentang peradilan Agama yang telah diubah untuk kedua kalinya menjadi
Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 telah memberikan kewenangan mutlak terhadap
Pengadilan Agama dalam penyelesaiaan perkara/ sengketa ekonomi syariah termasuk
didalamnya perkara asuransi syariah. Terlebih dengan dihapuskannya pilihan
penyelesaian sengketa ekonomi syariah melalui Pengadilan Negeri/Pengadilan Umum
dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan syariah sebagai salah
satu lembaga yang mampu menangani perkara ekonomi syariah. Penghapusan
Pengadilan Negeri/Pengadilan Umum dalam pilihan penyelesaian sengketa ekonomi
syariah ini diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU-X/2012.
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa jika suatu Undang-Undang
memberikan kesempatan untuk memilih menggunakan fasilitas negara (lembaga
peradilan) sedangkan ayat lain telah menentukan peradilan mana yang berwenang dan
harus dipakai, maka dengan adanya kebebasan memilih tersebut akan menimbulkan
berbagai penafsiran sehingga akan timbul ketidakpastian hukum. Ketidakpastian
hukum ini tentunya bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28D yang telah secara
tegas mengatur bahwa Undang-Undang harus menjamin adanya kepastian hukum dan
keadilan. Adanya opsi atau pilihan penyelesaian sengketa choice of forum
dikhawatirkan akan menimbulkan tumpang tindih kewenangan untuk mengadili
antara Pengadilan Agama dan Pengadilan Umum/ Pengadilan Negeri.
Dengan pertimbangan tersebut maka tidak perlu diragukan lagi bahwa
Pengadilan Agama Merupakan satu-satunya lembaga peradilan yang mempunyai
4
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm. 57

6
kewenangan absolut atas perkara/ sengketa ekonomi syariah. Pengadilan Agama
merupakan satu-satunya lembaga litigasi yang berwenang dalam menyelesaikan
sengketa ekonomi syariah, termasuk pada bidang perasuransian syariah.
Untuk menunjang kewenangan baru Pengadilan Agama dalam menyelesaikan
sengketa ekonomi syariah tersebut Makhamah Agung menerbitkan Peraturan
Mahkamah Agung (perma) No. 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah (KHES) sebagai hukum materil dalam bidang hukum ekonomi syariah pada
tahun 2008.5 Selain KHES, Fatwa DSN-MUI pun dapat menjadi rujukan hakim
dalam menangani snegketa ekonomi syariah.
Pada tahun 2016 lalu, Mahkamah Agung baru saja mengeluarkan Peraturan
Mahkamah Agung RI No. 14 Tahunn 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa
Ekonomi Syariah pada tanggal 22 Desember 2016. Perma ini mengatur hukum acara
sengketa ekonomi syariah yang brtujuan untuk melengkapi Perma No. 2 Tahun 2008
tentang KHES sebagai bentuk dari dukungan Mahkamah Agung dalam
mengimplementasikan Pasal 49 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan
Agama. 6
Berbeda dengan Perma No. 2 tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian
Gugatan Sederhana yang tidak memasukan sengketa ekonomi syariah sebagai bagian
dari salah satu bentuk gugatan sederhana. Dalam Perma No. 14 Tahun 2016 tentang
Tata Cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah ini sengketa ekonomi syariah
dapat diajukan dengan gugatan sederhana (small claim court). Dalam perma ini pun
keberadaan arbitrase syariah dipertegas, serta kewenangan pengadilan agama dalam
menangani perkara ekonomi syariah dalam hal melaksanakan putusan arbitrase
syariah dan pembatalannya. Termasuk pula kewenangan Pengadilan Agama untuk
mengeksekusi hak tanggungan dan fidusia yang menggunakan akad syariah. Selain itu
dalam perma ini juga diatur mengenai hakim yang mampu menangani sengketa
ekonomi syariah, yakni hakim khusus yang memiliki sertifikasi Hakim Ekonomi
Syariah. Sertifikasi Hakim Ekonomi Syariah ini didasarkan pada Perma No. 5 Tahun
2016 tentang Sertifikasi Hakim Ekonomi Syariah.
C. Metode penyelesaian sengketa dalam Asuransi Syariah

5
Mardani, Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia, Cet.1 (Bandung: Refika Aditama, 2011), hlm. 88
6
“Sepanjang Tahun 2016, MA Terbitkan 14 Perma Dan 4 SEMA,” http://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id,
Diakses Tanggal 27 Juli 2017.

7
Pada prinsipnya penegakan hukum hanya dilakukan oleh kekuasaan
kehakiman (judicial Power) yang secara konstitusional lazim disebut badan yudikatif
(Pasal 24 UUD 1945). Dengan demikian, maka yang berwenang memeriksa dan
mengadili sengketa hanya badan peradilan yang bernaung di bawah kekuasaan
kehakiman yang berpuncak di Mahkamah Agung. Pasal 2 UU No. 14 Tahun 1970
secara tegas menyatakan bahwa yang berwenang dan berfungsi melaksanakan
peradilan hanya badan-badan peradilan yang dibentuk berdasarkan undang-undang.
Di luar itu tidak dibenarkan karena tidak memenuhi syarat formal dan official serta
bertentangan dengan prinsip under the authority of law. Namun berdasarkan Pasal
1851,1855,1858 KUHP, Penjelasan Pasal 3 UU No. 14 Tahun 1970 serta UU No. 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka terbuka
kemungkinan para pihak menyelesaikan sengketa dengan menggunakan lembaga
selain pengadilan (non litigasi), seperti arbitrase atau perdamaian (islah).7
1. Penyelesaian sengketa asuransi syariah melalui jalur non litigasi
Di Indonesia, penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi diatur
dalam satu pasal, yakni Pasal 6 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa.
a. Perdamaian (Sulhu) atau sistem ADR (AlternativeDispute Resolution)
Langkah pertama yang perlu diupayakan ketika hendak
menyelesaikan perselisihan, ialah melalui cara damai. Untuk mencapai
hakekat perdamaian, prinsip utama yang perlu dikedepankan adalah
kesadaran para pihak untuk kembali kepada Allah (Al-Qur’an) dan
RosulNya (Al-Sunnah) dalam menyelesaikan segala persoalan.
Landasan hukum penyelesaian sengketa secara damai tertuang
dalam Pasal 1338 KUHPer bahwa perjanjian yang dibuat sesuai
undang-undang akan berlaku sebagai undang-undang bagi yang
membuatnya, artinya bahwa setiap orang bebas membuat perjanjian,
menentukan klausul perjanjian hingga penyelesaian sengketa jika di
kemudian hari dapat terjadi sepanjang tidak bertentangan dengan
Undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Selain itu pula
dalam Undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan

7
Karnaen Perwataatmaja, dkk., Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm.
288. 4 A. Rahmat Rosyadi, Arbitrase dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2002), hlm. 43.

8
Kehakiman menjelaskan bahwa sangat memungkinkan proses
penyelesaian sengketa secara damai sepanjang para pihak
menghendaki. Dengan landasan hukum tersebut, beberapa pihak
memilih sistem damai dalam penyelesaian sengketa syariah.
Penyelesaian sengketa bisnis melalui lembaga peradilan dinilai kurang
efektif oleh para pelaku bisnis, karena:
1) Penyelesaian perkara yang yang lambat dan membuang waktu
2) Biaya perkara mahal;
3) Peradilan tidak responsif dengan kepentingan umum;
4) Putusan pengadilan tidak menyelesaikan sengketa.
5) Kemampuan Hakim bersifat generalis
6) Putusan kalah menang 8
Mardani mengemukakan keuntungan penyelesaian sengketa
secara damai antara lain: kesukarelaan dalam berproses, prosedur
cepat, hemat waktu, hemat biaya, win-win solution serta terpelihara
hubungan baik antarpihak yang bersengketa. Basuki Rekso Wibowo
mengemukakan bahwa paradigma beracara dipengadilan telah
mengalami pergeseran yang begitu memprihatikan. Idealisme
berperkara untuk menegakkan keadilan yang substansial, telah
bergeser menjadi pergulatan kekuatan dan kesempatan untuk saling
mengalahkan (to be the winner, not the losser). 9
Dengan demikian, penyelesaian sengketa secara non litigasi
jauh lebih menguntungkan dari penyelesaian sengketa melalui lembaga
peradilan. Penyelesaian sengketa secara non litigasi juga akan
memberikan manfaat bagi badan peradilan karena mecegah
penumpukan perkara.
Upaya damai tersebut biasanya ditempuh melalui musyawarah
(syuura) untuk mencapai mufakat di antara para pihak yang berselisih.
Dengan musyawarah yang mengedepankan prinsip- prinsip syari’at,
diharapkan apa yang menjadi persoalan para pihak dapat diselesaikan.
b. Arbitrase Syari’ah (Tahkim)
8
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan
Putusan Pengadilan, (Cet. X; Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 236.
9
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, (Cet. I; Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm. 309.

9
Arbitrase Syari’ah (Tahkim) Arbitrase adalah cara penyelesaian
suatu sengketa perdata di luar pengadilan, yang didasarkan pada
perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa. Menurut Steven H. Gifts bahwa arbitrase (Tahkim) adalah
Submission of controversies, by agreement of the parties thereto, to
person chosen by themselves for determination.. (Suatu pengajuan
sengketa, berdasarkan perjanjian antara para pihak, kepada orang-
orang yang dipilih sendiri oleh mereka untuk mendapatkan suatu
keputusan). Saat ini telah ada lembaga khusus Badan Arbitrase Syariah
Nasional/Basyarnas) yang diharapkan mampu menyelesaikan segala
bentuk sengketa muamalat dan perdata yang muncul dikalangan umat
muslim. Badan Arbitrase Syariah (Basyarnas) sebagai alternatif
penyelesaian sengketa di Lembaga keuangan Syariah mempunyai
tujuan:
1) Memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa-
sengketa muamalat/ perdata yang timbul dalam bidang
perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain.
2) Menerima permintaan yang diajukan, oleh para pihak dalam
suatu perjanjian, tanpa adanya suatu sengketa untuk
memberikan suatu pendapat yang mengikat mengenai suatu
persoalan berkenaan dengan perjanjian tersebut. 10

Untuk menyelesaikan perkara/ perselisihan secara damai dalam


hal keperdataan, selain dapat dicapai melalui inisiatif sendiri dari para
pihak, juga dapat dicapai melalui keterlibatan pihak ketiga sebagai
wasit (mediator). Upaya ini biasanya akan ditempuh apabila para pihak
yang berperkara itu sendiri ternyata tidak mampu mencapai
kesepakatan damai.
Institusi formal yang khusus dibentuk untuk menangani
perselisihan/ sengketa disebut arbitrase, yaitu cara penyelesaian
sengketa perdata di luar peradilan yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

10
Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama ,Ibid, hlm. 69.

10
Mekanisme penyelesaian sengketa ekonomi syariah, selain ADR dan
arbitrase (lembaga Basyarnas) dapat pula melalui jalur peradilan
agama (Litigasi), yaitu melalui Lembaga Peradilan Agama
sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 49 Undang-Undang No. 50 Tahun
2009 tentang Peradilan Agama.

2. Penyelesaian sengketa syariah melalui jalur litigasi


Mengenai badan peradilan mana yang berwenang menyelesaikan
perselisihan jika terjadi sengketa asuransi syariah memang sempat menjadi
perdebatan di berbagai kalangan. Apakah menjadi kewenangan Pengadilan
Umum atau Pengadilan Agama karena memang belum ada undang-undang
yang secara tegas mengatur hal tersebut, sehingga masing-masing mencari
landasan hukum yang tepat.
Dengan diamandemennya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, maka perdebatan mengenai siapa yang berwenang untuk
menyelesaikan sengketa asuransi syariah sudah terjawab.
Amandemen Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 memberikan
wewenang kekuasaan Peradilan Agama bertambah luas, yang semula
sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989
hanya bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :
a) perkawinan, b) kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan
hukum Islam, dan c) wakaf dan shadaqah.
Dengan adanya amandemen Undang-Undang tersebut, maka ruang
lingkup tugas dan wewenang Peradilan Agama diperluas. Berdasarkan Pasal
49 huruf (i) UU No. 3 Tahun 2006 Pengadilan Agama bertugas dan
berwenang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara ditingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang ekonomi
syariah yang meliputi: a) bank syariah, b) lembaga keuangan mikro syariah, c)
asuransi syariah, d) reasuransi syariah, e) reksa dana syariah, f) obligasi
syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, g) sekuritas syariah,
h) pembiayaan syariah, i) pegadaian syariah, j) dana pensiun lembaga
11
keuangan syariah, dan k) bisnis syariah.14 Dalam penjelasan Pasal tersebut
antara lain dinyatakan:

“Yang dimaksud dengan “antara orang-orang yang beragama Islam” adalah


termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri
dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi
kewenangan Pengadilan Agama sesuai ketentuan pasal ini.”

Sebagai konsekuensi kewenangan dan kekuasaan Pengadilan Agama


sesuai dengan pasal 49 khususnya dalam memeriksa, memutuskan dan
menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama
Islam dibidang ekonomi syariah sehingga diperlukan kesiapan dalam TIGA
aspek :11
1) Aspek hukum materiil. Bahwa belum semua bidang Pengadilan Agama
sebagaimana ditentukan dalam pasal 49 memiliki hukum materiil yang
berbentuk peraturan perundang-undangan. Yang sudah mendapat
pengaturan yang jelas dan lengkap hanya perbankan syariah yang
mendasarkan pada Undang-undang Perbankan dan Undang-undang
Bank Indonesia, serta berbagai peraturan Bank Indonesia.
Lembaga Keuangan Mikro Syariah, Asuransi Syariah,
Pegadaian Syariah, Reksa Dana Syariah dan lainnya sebagaimana
dalam penjelasan pasal 49 Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 belum
memiliki payung hukum berupa peraturan perundang-undangan
tersendiri.
2) Aspek hukum sumber daya manusia. Hakim Pengadilan Agama yang
akan menangani perkara niaga syariah sebagai kewenangan baru di
lingkungan Peradilan Agama perlu meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan. Hakim yang bertugas di Pengadilan Agama seyogyanya
mampu mempraktikkan ketentuan pasal 16 Undang-undang Nomor 4
tahun 2004, yaitu bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.

11
Wahiduddin Adams, 2006, Peran dan kesiapan PA dalam penyelesaian sengketa niaga syari’ah dan legislasi
nasional yang diselenggarakan Badan Pembinaan Hukum Nasional.

12
3) Aspek sarana dan prasarana. Salah satu sarana dan prasarana yang
diperlukan untuk mendukung peningkatan kinerja pengadilan Agama
dalam menangani perkara dan sengketa ekonomi syariah adalah
tersediannya perpustakaan di lingkungan peradilan.
Untuk itu diperlukan persiapan untuk menyongsong berlakunya
Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Kesiapan
Pengadilan Agama dalam rangka menghadapi perluasan kewenangan yang
dimilikinya meliputi :12
a) Penyiapan sumber daya manusia untuk melaksanakan kewenangan
barunya;
b) Penyiapan anggaran yang memadai untuk pelaksanaan diklat,
pengadaan buku-buku menyangkut ekonomi syariah dan lain-lain;
c) Menyiapkan konsep pendidikan dan pelatihan yang efektif bagi para
hakim, yang di Indonesia terdapat sekitar tigaribu orang;
d) Tersedianya calon hakim dari sarjana syariah yang siap pakai dimana
pada setiap rekuitmen calon hakim;
e) Orientasi dengan pakar ekonomi pada umumnya dan ekonomi syariah
pada khususnya
f) Orientasi dengan praktisi perbankan, terutama perbankan syariah.
Hal-hal tersebut di atas merupakan persyaratan yang harus dipenuhi,
agar pelaksanaan tugas dan kewenangan yang diberikan Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2006 yang merupakan kewenangan strategis dapat
dilaksanakan dengan optimal oleh Pengadilan Agama.
Mengingat segala kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh lembaga
peradilan, oleh sebagian kalangan Peradilan Agama dipandang oleh sebagian
kalangan sebagai lembaga pilihan terbaik. Penambahan kewenangan Peradilan
Agama di bidang ekonomi syariah sebagaimana amanat UU No. 3 Tahun 2006
adalah suatu bentuk kepercayaan terbesar terhadap lembaga peradilan yang
secara politis sejak zaman kolonial Belanda selalu didiskreditkan dan
didiskriminasikan. Momentum ini hendaknya dipandang sebagai amanah yang
harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, karena ini adalah pertaruhan bagi
citra Peradilan Agama itu sendiri.

12
Cik Hasan basri, Peradilan Agama, hlm. 225.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sengketa menurut kamus bahasa Indonesia adalah sesuatu yang menyebabkan
perbedaan pendapat, pertengkaran, perbantahan, pertikaian, perselisihan. Menurut
hukum, sengketa hukum terjadi apabila terdapat salah satu dari dua orang atau lebih
yang saling mengikat diri keperdataannya terhadap apa yang diperjanjikan. Tentu
banyak jenis sengketa itu tapi yang akan dibahas pada penulisan ini adalah sengketa
Ekonomi Syariah.
Pada dasarnya tidak seorang pun menghendaki terjadinya sengketa dengan
orang lain. Tetapi dalam hubungan bisnis atau suatu perjanjian, masing-masing pihak
harus mengantisipasi kemungkinan timbulnya sengketa yang dapat terjadi setiap saat
di kemudian hari.
Untuk menyelesaikan sengketa, pada umumnya terdapat beberapa cara yang
dapat dipilih. Cara-cara yang dimaksud seperti arbitrase, negosiasi, dan pengadilan.
B. Saran
Demikian makalah dari kami, semoga bermanfaat bagi para pembaca. Kami
menyadari di dalam makalah ini masih terdapat kekurangan, hal ini dikarenakan
kurangnya sumber bacaan dan keterbatasan pemakalah. Oleh karena itu, kami sebagai
pemakalah berharap kritik dan saran yang bisa menjadikan perbaikan makalah
selanjutnya.

14
DAFTAR PUSTAKA

Pradja, Juhaya S. 2012. Ekonomi Syariah. Bandung: Pustaka Setia

Nasikhin, Muh. 2010. Perbankan Syariah Dan Sistem Penyelesaian Sengketanya,


Kuala Tunggal: Fatawa.

Eka, Aqimuddin. 2010. Solusi Bila Terjerat Kasus Bisnis, Jakarta: Raih Asa Sukses.

Harahap, Yahya. 2004.Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika.

Mardani. 2011. Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia, Cet.1 .Bandung: Refika


Aditama.

Perwataatmaja,Karnaen, dkk. 2005. Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta:


Prenada Media,), hlm. 288. 4 A. Rosyadi, Rahmat. 2002. Arbitrase dalam Perspektif Islam
dan Hukum Positif, (Bandung: Citra Aditya Bakti.

Harahap, Yahya. 2010. Hukum Acara Perdata: tentang Gugatan, Persidangan,


Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Cet. X; Jakarta: Sinar Grafika.

Yudha, Agus, Hernoko. 2011.Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak


Komersial. Cet. I; Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Basri, Cik Hasan. 1997. Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.

“Sepanjang Tahun 2016, MA Terbitkan 14 Perma Dan 4 SEMA,”


http://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id, Diakses Tanggal 27 Juli 2017.

15
16

Anda mungkin juga menyukai