Anda di halaman 1dari 25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Klasifikasi Tumbuhan

1. Tanaman Pacar Air (Impatiens balsamina L.)

Klasifikasi tanaman pacar air (Impatiens balsamina L.) adalah:

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Ericales

Famili : Balsaminaceae

Genus : Impatiens

Spesies : Impatiens balsamina L. (Fatimah, 2012).


Gambar 1. Bunga Pacar air

(Sumber:http://www.tanobat.com)

2. Morfologi Tumbuhan

Pacar air (Impatiens balsamica L.) berasal dari Asia Selatan dan Asia

Tenggara, namunada juga yang menyebutkan dari India. Tanaman ini

diperkenalkan di Amerika pada abad ke-19. Warna bunga dari tanaman pacar air

beragam diantaranya berwarna merah muda, merah, putih, oranye, peach, atau

salem. Tinggi tanaman pacar air mencapai 30-80 cm. Habitat dari tanaman pacar

air yaitu pada daerah beriklim semi tropikal, namun tidak dapat hidup pada daerah

yang kering dan gersang (Dalimartha, 2005).

2. Kandungan Kimia

Pacar air mengandung beberapa senyawa metabolit sekunder yaitu kumarin,

flavonoid, kuinon, saponin dan steroid ( Adfa, 2008). Senyawa kuinon, kumarin,

dan flovonoid yang terkandung dalam tanaman pacar air dapat digunakan untuk

mengendalikan Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus. Penelitian lain yang

dilakukan oleh Hotmauli (2010) pada jamur Candida albicans menyatakan bahwa
daun pacar cina mengandung bahan aktif antifungal yaitu senyawa saponin yang

larut dalam alkohol. Mekanismne kerja saponin sebagai antifungal yaitu merusak

membran sel sehingga menyebabkan kebocoran sel yang akhirnya memacu

terjadinya kematian sel.

B. Kulit

1. Pengertian Kulit

Kulit merupakan selimut yang menutupi permukaan tubuh dan mempunyai

fungsi utama sebagai pelindung dari berbagai macam gangguan dan rangsangan

luar. Fungsi perlindungan ini terjadi melalui sejumlah mekanisme biologis, seperti

pembentukan lapisan tanduk secara terus–menerus (keratinisasi dan pelepasan sel-

sel yang sudah mati), respirasi dan pengaturan suhu tubuh, serta pembentukan

pigmen untuk melindungi kulit dari bahaya sinar ultraviolet matahari. Selain itu

kulit juga berfungsi sebagai peraba, perasa serta pertahanan terhadap tekanan dan

infeksi dari luar (Azhara, 2011).

2. Anatomi Kulit

Kulit merupakan pembungkus elastis yang dapat melindungi tubuh dari

pengaruh lingkungan. Kulit juga merupakan alat tubuh yang terberat dan terluas

ukurannya, yaitu 1,5% dari berat tubuh dan luasnya 1,5-1,75 m2, rata-rata tebal
kulit 1-2 mm. Paling tebal (16 mm) terdapat ditelapak tangan dan kaki, sedangkan

paling tipis (1,5 mm) terdapat di penis (Harahap, 2000).

Berikut akan dijelaskan pembagian kulit secara histopatologik (Djuanda,

2007) :

1. Epidermis (lapisan tanduk), terdiri dari 5 lapis :

a. Stratum korneum, merupakan lapisan paling luar yang terdiri dari

kumpulan sel-sel yang telah mati dan terus menerus diganti oleh sel

yang baru. Lapisan ini menebal di telapak tangan dan kaki sedangkan

menipis di kelopak mata.

b. Stratum lusidum, terdapat dibawah lapisan stratum korneum yang

terdiri dari protein dan lemak, berwarna transparan dan tampak jelas

di telapak kaki dan tangan.

c. Stratum granulosum, terdiri dari sel-sel yang memipih dengan

sitoplasma berwarna gelap karena keratohialin.adanya granula ini

menunjukan bahwa sel-sel mulai mati.


d. Stratum spinosum, terdiri dari sel-sel polygonal yang makin ke atas

makin pipih. Diantara stratum spinosum terdapat jembatan antar sel

dan sel Langerhans.

e. Stratum basal, terdiri dari satu lapis sel silindris dengan sumbu

panjang tegak lurus dan selalu membelah diri. Lapisan ini merupakan

impermeable membrane terhadap bahan kumia yang larut dalam air.

Lapisan ini mengandung sel-sel malanosit. Pada orang normal,

perjalanan sel dari stratum basal sampai ke stratum korneum lamanya

40–56 hari.

2. Dermis

Lapisan dermis terdapat dibawah epidermis, yang membuat kulit lebih

tebal dan elastis karena terdiri dari kumpulan jaringan fibrosa dan elastis. Lapisan

ini terdiri dari 2 lapis, yaitu :

a. Stratum papilare yang menonjol masuk ke dalam lapisan bawah

epidermis, mangandung kapiler dan ujung-ujung syaraf sensori.

b. Stratum retilukare yang berhubungan dengan subkutis, mengandung

kelenjar keringat dan sebasea. Kelenjar sebasea seluruhnya bermuara

di folikel rambut.

3. Subkutis

Terdiri dari jaringan longgar dan mengandung banyak kelenjar keringat

dan sel-sel lemak.


3. Fungsi Kulit

Menurut Harahap (2000), Kulit mempunyai fungsi bermacam-macam

untuk menyesuaikan tubuh dengan lingkungan. Fungsi kulit adalah sebagai

berikut:

a. Pelindung

Jaringan tanduk sel epidermis paling luar membatasi masuknya benda-

benda dari luar dan keluarnya cairan berlebihan dari dalam tubuh. Melanin yang

memberi warna pada kulit dari akibat buruk sinar ultra violet.

b. Pengatur Suhu

Di waktu suhu dingin peredaran di kulit berkurang guna mempertahankan

suhu badan. Pada waktu suhu panas, peredaran darah di kulit meningkat dan

terjadi penguapan keringat dari kelenjar keringat, sehingga suhu tubuh dapat

dijaga tidak terlalu panas.

c. Penyerapan

Kulit dapat menyerap bahan tertentu seperti gas dan zat larut dalam lemak

lebih mudah masuk kedalam kulit dan masuk ke peredaran darah, karena dapat

bercampur dengan lemak yang menutupi permukaan kulit masuknya zat-zat

tersebut melalui folikel rambut dan hanya sekali yang melalui muara kelenjar

keringat.

d. Indera Perasa
Indera perasa di kulit karena rangsangan terhadap sensoris dalam kulit.

Fungsi indera perasa yang utama adalah merasakan nyeri, perabaan, panas dan

dingin.

C. Jerawat

1. Definisi jerawat

Acne vulgaris(AV) adalah penyakit peradangan menahun unit pilosebasea,

dengan gambaran klinis biasanya polimorfik yang terdiri atas berbagai kelainan

kulit berupa: komedo, papul, pustul, nodul, dan jaringan parut. Penderita biasanya

mengeluh akibat erupsi kulit pada pada tempat-tempat predileksi, yakni muka,

bahu, leher, dada, punggung bagian atas dan lengan bagian atas oleh karena

kelenjar sebasea pada daerah yang aktif (Kabau, 2012).

2. Penyebab Jerawat
Menurut Penilitian Kabau S pada tahun (2012), penyebab pasti timbulnya

AV sampai saat ini belum diketahui secara jelas. Tetapi sudah pasti disebabkan

oleh multifaktorial, baik yang berasal dari luar (eksogen) maupun dari dalam

(endogen) :

a. Genetik

Akne kemungkinan besar merupakan penyakit genetik dimana pada

penderita terdapat peningkatan respon unit pilosebaseus terhadap kadar normal

androgen dalam darah. Menurut sebuah penelitian, adanya gen tertentu (CYP17-

34C/C homozigot Chinese men) dalam sel tubuh manusia, meningkatkan

terjadinya akne (Bauman, 2009).

b. Faktor Hormonal

Pada 60–70% wanita lesi akne menjadi lebih aktif kurang lebih satu

minggu sebelum haid oleh karena hormon progesteron. Estrogen dalam kadar

tertentu dapat menekan pertumbuhan akne karena menurunkan kadar

gonadotropin yang berasal dari kelenjar hipofisis. Hormon Gonadotropin

mempunyai efek menurunkan produksi sebum. Progesteron dalam jumlah

fisiologis tidak mempunyai efek terhadap efektifitas terhadap kelenjar lemak .

Produksi sebum tetap selama siklus menstruasi, akan tetapi kadang progesteron

menyebabkan akne pre-menstrual (Nguyen et al, 2007).

c. Makanan (Diet)
Terdapat makanan tertentu yang memperberat AV. makanan tersebut

antara lain adalah makanan tinggi lemak (gorengan, kacang, susu, keju, dan

sejenisnya), makanan tinggi karbohidrat (makanan manis, coklat, dll), alkohol,

makanan pedas, dan makanan tinggi yodium (garam). Lemak dalam makanan

dapat mempertinggi kadar komposisi sebum (Legiawati, 2010).

d. Faktor Kosmetik

Kosmetika dapat menyebabkan akne seperti bedak dasar (foundation),

pelembab (moisturiser), krem penahan sinar matahari (sunscreen) dan krem

malam, jika mengandung bahan-bahan komedogenik. Bahan-bahan komedogenik

seperti lanolin, petrolatum, minyak atsiri dan bahan kimia murni (asam oleik, butil

stearat, lauril alkohol, bahan pewarna (D&C) biasanya terdapat pada krim-krim

wajah. Untuk jenis bedak yang sering menyebabkan akne adalah bedak padat

(compact powder) (Magin et al, 2006).

e. Faktor Infeksi dan Trauma

Peradangan dan infeksi di folikel pilosebasea terjadi karena adanya

peningkatan jumlah dan aktivitas flora folikel yang terdiri dari Propionilbacterium

Acnes, Corynebacterium Acnes, Pityrosporum ovale dan Staphylococcus

epidermidis. Bakteri-bakteri ini berperan dalam proses kemotaksis inflamasi dan

pembentukan enzim lipolitik yang mengubah fraksi lipid sebum.

Propionilbacterium Acnes berperan dalam iritasi epitel folikel dan mempermudah

terjadinya akne. Selain itu, adanya trauma fisik berupa gesekan maupun tekanan

dapat juga merangsang timbulnya akne vulgaris . Keadaan tersebut dikenal


sebagai akne mekanika, dimana faktor mekanika tersebut dapat berupa Gesekan,

tekanan, peregangan, garukan, dan cubitan pada kulit (Nelson et al, 2008).

f. Kondisi Kulit

Kondisi kulit juga berpengaruh terhadap akne vulgaris. Ada empat jenis

kulit wajah, yaitu :

a) Kulit normal, ciri-cirinya: kulit tampak segar, sehat, bercahaya, berpori

halus, tidak berjerawat, tidak berpigmen, tidak berkomedo, tidak bernoda,

elastisitas baik.

b) Kulit berminyak, ciri-cirinya: mengkilat, tebal, kasar, berpigmen, berpori

besar.

c) Kulit kering, ciri-cirinya: Pori-pori tidak terlihat, kencang, keriput,

berpigmen.

d) Kulit Kombinasi, ciri-cirinya: dahi, hidung, dagu berminyak, sedangkan

pipi normal/kering atau sebaliknya.

e) Jenis kulit berhubungan dengan akne adalah kulit berminyak. Kulit

berminyak dan kotor oleh debu, polusi udara, maupun sel-sel kulit yang

mati yang tidak dilepaskan dapat menyebabkan penyumbatan pada saluran

kelenjar sebasea dan dapat menimbulkan akne (Purwaningdyah, 2013).

g) Faktor Pekerjaan

Penderita akne juga banyak ditemukan pada karyawan-karyawan pabrik

dimana mereka selalu terpajan bahanbahan kimia seperti oli dan debu-debu

logam. Akne ini biasa disebut “Occupational Acne” (Sukanto, 2005).


3. Jenis jerawat

Terdapat 4 jenis jerawat menurut Basuki (2003), yaitu:

a. Jerawat Juvenil

Jerawat semacam ini muncul saat masa puber. Biasanya menyerang remaja usia

14-20 tahun. Penyebabnya adalah masalah hormonal yang belum stabil dalam

memproduksi sebum. Kulit wajah dengan jerawat tipe juvenil dapat diatasi

dengan sabun wajah dengan pH seimbang atau sabun bayi transculent.

b. Jerawat Vulgaris

Jerawat ini berbentuk komedo yang terdapat banyak pada kulit berminyak.

Perawatan jerawat semacam ini dilakukan dengan penguapan hingga kulit cukup

kenyal dan lembab. Kemudian jerawat dapat diambil dengan sendok una dan

diolesi dengan krim jerawat. Biarkan semalaman lalu dibilas ketika kesokan

harinya.

c. Jerawat Rosacea

Biasanya terjadi pada wanita berusia 30-50 tahun. Kulit yang memiliki penyakit

jerawat tipe ini perlu mendapatkan perawatan medis kedokter. Jerawat mula-mula

akan tampak kemerahan yang dapat menjadi radang hingga menimbulkan sisik

dilipatan hidung. Perawatan kulit yang terkena jerawat tipe ini biasanya dengan

penguapan, kompres air panas, atau penyinaran dengan lampu infra merah agar

jerawat menjadi cepat kering.

d. Jerawat Nitrosica
Jerawat jenis ini termasuk dengan yang paling berbahaya karena akan

menimbulkan luka atau bopeng. Tahap yang terjadi sudah termasuk tahap akhir

yang memerlukan penanganan khusus dari dokter kulit.

Tahap terjadinya jerawat:

a. Penumpukan sel kulit mati

b. Tumpukan sel kulit mati terinfeksi bakteri

c. Mulai muncul jerawat yang masih kecil

d. Jerawat mulai membesar dan bewarna kemerahan (popules), bila muncul

nanah (pus), jerawat disebut pastules

e. Bila mengandung nanah, lemak, dan cairan-cairan lain berarti jerawat

sudah berada pada kondisi parah (cyst)

f. Bila cyst tidak terawat, akan muncul scar/bopeng, karena rusaknya


jaringan kolagen sampai lapisan dermis. Bopeng tidak dapat diperbaiki secara
maksimal. Yang mungkin dapat dilakukan hanyalah mempertebal lapisan kulit
sedikit demi sedikit dengan produk yang mengandung asam glikolat (Basuki,
2003).

4. Pengobatan Jerawat

Pengobatan akne dibagi menjadi secara medik dan non medik. Secara

medik terdiri dari :

a) Pengobatan topikal Pengobatan topikal dilakukan untuk mencegah

pembentukan komedo, menekan peradangan, dan mempercepat penyembuhan

lesi. Obat topikal terdiri atas: bahan iritan yang dapat mengelupas kulit;

antibiotika topikal yang dapat mengurangi jumlah mikroba dalam folikel akne

vulgaris seperti Eritromycin dan Clindamycin anti peradangan topikal dan lainnya
seperti asam laktat 10% yang untuk menghambat pertumbuhan jasad renik.

Benzoil Peroksida memiliki efek anti bakterial yang poten .Retinoid topikal akan

menormalkan proses keratinasi epitel folikuler, sehingga dapat mengurangi

komedo dan menghambat terbentuknya lesi baru (Harper, 2007).

b) Pengobatan sistemik Pengobatan sistemik ditujukan terutama untuk

menekan pertumbuhan jasad renik di samping juga mengurangi reaksi radang,

menekan produksi sebum, dan mempengaruhi perkembangan hormonal.

Golongan obat sistemik terdiri atas: anti bakteri sistemik; obat hormonal untuk

menekan produksi androgen dan secara kompetitif menduduki reseptor organ

target di kelenjar sebasea; vitamin A dan retinoid oral sebagai antikeratinisasi; dan

obat lainnya seperti anti inflamasi non steroid (Gabrielli, 2012).

Secara Non Medik yaitu:

Nasehat untuk memberitahu penderita mengenai seluk beluk akne

vulgaris. perawatan wajah, perawatan kulit kepala dan rambut, kosmetika, diet,

emosi dan faktor psikosomatik (Nguyen et al, 2007).

D. Bakteri Staphylococcus aureus

1. Morfologi dan Sifat

Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif anggota famili

Micrococcaceae berbentuk bulat, bergerombol seperti susunan buah anggur

koloni berwarna abu-abu hingga kuning tua, koagulase positif dan sifatnya

sebagai bakteri komensal dalam tubuh manusia yang jumlahnya berimbang

dengan flora normal lain. Staphylococcus aureus pada manusia diantaranya

ditemukan pada hidung, kulit, tenggorok dan lain-lain (Syahrurachman et al.,


1994). Bakteri ini dapat menyebabkan bermacam-macam infeksi seperti

pneumonia, meningitis, empiema, endokarditis, jerawat, pioderma atau impetigo

(Brooks et al., 2005).

Klasifikasi Bakteri Staphylococcus aureus menurut Syahrurachman

(1994):

Kerajaan : Eubacteria

Divisi : Firmicutes

Bangsa : Eubacteruales

Suku : Micrococcaceae

Marga : Staphylococcus

Jenis : Staphylococcus aureus

2. Pengobatan

Pengobatan terhadap infeksi Staphylococcus aureus biasanya

menggunakan berbagai jenis antibiotik seperti tetrasiklin, vankomisin atau

penisilin resisten β-laktamase. Perbedaan jenis obat yang diberikan

dipertimbangkan dari angka resistensi bakteri terhadap suatu antibiotik. Antibiotik

yang biasa digunakan dalam penelitian adalah tetrasiklin, oxacillin, gentamicin,

eritromicin, kloramfenikol dan trimetroprim- sulfametoxazole (Endang Sri

Lestari, 2009).
E. Krim

1. Definisi krim

Krim merupakan sediaan setengah padat berupa emulsi kental yang mengandung

tidak kurang dari 60% air, dimaksudkan untuk pemakaian luar (M.Anief, 1987).

Sedangkan menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, krim adalah sediaan semi

solid yang mengandung satu atau lebih bahan obat yang terlarut atau terdispersi

dalam bahan dasar yang sesuai.

2. Tipe krim

Menurut Collet dan Aulton (1990), perbandingan antara jumlah air dan minyak

dalam sediaan krim akan memperngaruhi tipe krim yang dihasilkan, maka krim

dibagi menjadi dua tipe, yaitu:

a. Tipe air dalam minyak (A/M), jika bahan pembawa nya minyak

b. Tipe minyak dalam air (M/A), jika bahan pembawa nya air

Sifat krim yang dihasilkan dari tipe minyak dalam air (M/A) adalah mudah

dicuci, tidak lengket, dan tidak tahan lama pada daerah yang dioleskan. Untuk tipe

krim air dalam minyak (A/M), pemakaian dimaksudkan agar krim dapat bertahan

lama pada kulit, karena krim yang dihasilkan adalah krim yang lengket dan susah

dicuci. Tipe krim yang akan dipilih dalam formula ini adalah tipe minyak dalam

air (M/A) karena krim tipe ini mengandung kadar air yang lebih tinggi sehingga

apabila dioleskan di kulit maka air akan menguap dan memberi rasa dingin.
3. Formulasi Krim

a. Zat aktif

Zat aktif merupakan bahan atau zat yang mempunyai efek tertentu dan

merupakan komponen utama dalam suatu formula.

b. Bahan pengemulsi

Bahan pengemulsi digunakan dalam krim untuk menstabilkan sediaan. Bahan

pengemulsi bekerja dengan cara mengurangi tegangan antar permukaan dan

mencegah pecahnya emulsi. Bahan pengemulsi umumnya tidak bewarna, tidak

berasa, dan tidak berbau, tidak toksik dan tidak mengiritasi, serta membentuk

sistem emulsi yang baik pada konsentrasi rendah (Collet dan Aulton, 1990).

Umumnya zat pengemulsi berupa surfaktan anionik, kationik, atau non-ionik

(Anief, 2000).

Pemilihan surfaktan didasarkan pada jenis dan sifat krim yang diinginkan. Untuk

tipe krim minyak dalam air (M/A), surfaktan yang digunakan biasanya

trietanolamin stearat, golongan sorbitan, polisorbat, propilenglikol, dan sabun.

Sedangkan untuk tipe air dalam minyak (A/M) digunakan lanolin, setil alkohol,

setacium, dan emulgide (FORNAS, 1978)

c. Bahan pembawa

Bahan pembawa krim terdiri dari air dan minyak. Banyaknya penggunaan

keduanya tergantung tipe krim yang ingin dibuat (Idson dsn Lazarus, 1994).

d. Bahan pelembut
Bahan pelembut pembantu konsistensi krim lebih halus dan lembut. Stearil

alkohol, setil alkohol, paraffin dan isopropil miristat biasa digunakan sebagai

pelembut (emolien) dan juga sebagai pembantu emulsi (Idson dan Lazarus, 1994)

e. Bahan pengawet

Bahan pengawet yang digunakan harus dapat mencegah kontaminasi dan

kerusakan oleh bakteri. Kriteria umum bahan pengawet adalah toksisitas rendah,

stabil dalam poemanasan dan penyimpanan, dapat bercampur secara kimia,

mempunyai aktivitas terhadap mikroorganisme seperti fungi, ragi, dan bakteri

yang merupakan kontaminan umum (Collet dan Aulton, 1990). Zat pengawet

yang sering digunakan adalah metil paraben (nipagin) 0,12%-0,18% dan propil

paraben (nipasol) 0,02%-0,05% (M.Anief, 1997).Sedangkan menurut Wade dan

Weller (1994), penggunaan metil paraben dan propil paraben dapat

dikombinasikan dengan konsentrasi 0,18% metil paraben dan 0,02% propil

paraben.

f. Bahan pelembab

Bahan pelembab dapat mencegah krim menjadi kering, mencegah pembentukan

kerak bila krim dikemas dalam botol dan juga memperbaiki konsistensi dan mutu

terhapusnya krim jika digunakan pada kulit. Pelembab yang umum digunakan

adalah gliserin, propilenglikol, sorbitol 70%, dan polietilenglikol (Idson dan

Lazarus, 1994).

g. Bahan antioksidan

Antioksidan ditambahkan pada sediaan krim untuk mencegah kerusakan

akibat oksidasi. Sistem oksidasi ditentukan oleh komponen-komponen formulasi


dan pemilihan antioksidan tergantung pada beberapa faktor seperti toksisitas,

iritasi, potensi, tercampurkan bau, perubahan warna dan kestabilan (Idson dan

Lazarus, 1994). Konsentrasi antioksidan biasa digunakan berkisar 0,001%-0,1%.

Contoh antioksidan yang sering digunakan dalam sediaan farmasi antara lain α-

tokoferol, alkil galat, BHA (butylated hidroxyasinole), dan BHT (butylated

hydroksitoluen) (Rieger, 1994).

4. Cara pembuatan krim

Cara pembuatan krim dibagi tiga, yaitu:

a. Fase minyak dilelehkan diatas waterbath, bagian yang larut air dicampur

dengan air panas kemudian kedua bagian tersebut digerus dalam lumpang panas

sampai terbentuk massak krim

b. Fase minyak dan fase air dipanaskan perlahan sampai membentuk suatu

larutan sabun, kemudian gerus dalam lumpang panas sampai terbentuk krim. Cara

tersebut dilakukan dalam pembuatan krim dengan kadar fase minyak yang tinggi

c. Bahan yang larut air ditambahkan 30% dan bahan fase minyak dilelehkan

bersama, kemudian tambahkan air panas dengan jumlah yang sama, gerus

homogen. Kemudian tambahkan sisa fase minyak hingga menyatu, dan terakhir

fase air. Cara ini digunakan dalam pembuatan krim dengan minyak dari tumbuhan

(King, 1984).

5. Contoh formula krim jerawat

Formulasi standar krim anti jerawat (Michael and Ash, 1997)

R/ Stearid Acid 20,0%


Mineral oil 2,0%

Arlacel 60 1,5%

Tween 60 3,5%

Sorbitol 20%

Water 53%

Formulasi krim anti jerawat Abbasi, dkk (2010) (Formula III):

R/ Asam stearat 22,2%

Setil alkohol 1,5%

Triethanolamin 0,67%

Isopropil miristate 1,5%

Methyl paraben 0,02%


Benzoyl peroxide 8,0%

Paraffin cair 1,90%

Vitamin E 0,56%

Aq. Dest 63,65%

Zat aktif q.s

Pewangi q.s

6. Stabilitas fisik krim

Stabilitas fisik krim dapat rusak terutama pada sistem campurannya yang

disebabkan penambahan salah satu fase secara berlebihan atau pecampuran dua

tipe krim jika zat pengemulsi nya tidak tersatukan (Farmakope Indonesia ed III,

1979). Kualitas, sifat reologi, dan stabilitas krim dipengaruhi oleh beberapa

variabel yang meliputi temperatur untuk membentuk emulsi, perbandingan fase

luar dan fase dalam pada pembentukan emulsi. Perubahan suhu dan penambahan

komposisi salah satu fase secara berlebihan akan membuat krim menjadi rusak

(Idson dan Lazzarus, 1994). Sistem emulsi yang tidak stabil ditandai dengan

berpisahnya kedua fase (creaming), pecahnya emulsi, serta inversi fase. Hal ini

disebabkan oleh penambahan zat pengemulsi yang tidak cocok, penambahan

elektrolit, perubahan pH selama penyimpanan, pengaruh fisika (suhu yang panas

atau dingin dan kerja dari mikroba). Krim yang tidak stabil juga dapat dilihat dari

perubahan warna serta bau (Collet dan Aulton, 1990).

7. Daya tahan krim


Pembuatan krim yang tidak disertai dengan persiapan umum akan

mempunyai daya tahan yang singkat kecuali diyakini bebas dari mikroorganisme.

Krim yang mengandung air sebaiknya cepat digunakan dan tidak digunakan lebih

dari 2 minggu setelah dibuka. Maka dari itu kemasan produk yang asli harus

mempunyai tanggal kadularsa dan asumsi penyimpanan yang cepat (Collent dan

Aulton, 1990).

F. Preformulasi Dalam Krim

1. Ekstrak etanol bunga pacar air (Impatiens balsamina L.)

Ekstrak etanol yang akan digunakan adalah ekstrak etanol bunga pacar air

(Impatiens balsamina L.). Pembuatannya dengan cara bunga yang sudah

dibersihkan dan dikeringkan di maserasi menggunakan etanol. Setelah itu cairan

yang telah mengandung ekstrak bunga pacar air (Impatiens balsamina L.)

dikentalkan dengan menggunakan rotary evaporator. Ekstrak etanol bunga pacar

air (Impatiens balsamina L.) yang akan digunakan dalam formula berkadar 20%.

Ekstrak kental bunga pacar air (Impatiens balsamina L.) mengandung antosianin

saponin yang berkhasiat sebagai antibakteri dan menghambat pertumbuhan

bakteri penyebab jerawat yaitu Staphylococcus aureus.

2. Asam stearat

Merupakan serbuk bewarna putih sampai kuning pucat, sedikit mengkilap.

Pada sediaan farmasi topikal, asam stearat berfungsi sebagai pengemulsi bersama

TEA. Konsentrasi asam stearat yang digunakan dalam krim berkisar 1-20%

Mudah larut dalam benzene, karbon tetraklorida, kloroform, dan eter. Larut
dalam ethanol, heksan, dan propilenglikol, praktis tidak larut dalam air (Wade dan

Waller, 1994).

3. Triethanolamin

Merupakan cairan bening tidak bewarna sampai kuning pucat, sedikit

berbau amonia dan memiliki pH 10,5 Larut dalam etanol 95%, metanol, dan air.

Triethanolamin dalam sediaan topikal digunakan sebagai pembentuk emulsi.

Umumnya bebas dari efek iritasi pada kulit. Konsentrasi yang digunakan 2-4%

dari banyaknya asam lemak. Tidak dapat bereaksi dengan senyawa golongan amin

dan hidroksi (Wade dan Waller, 1994). Digunakan sebagai bahan pengemulsi

dengan konsentrasi 0,5%-3%, menambah kebasaan, dan sebagai humektan (Rowe,

dkk., 2009).

4. Setil alkohol

Setil alkohol berbentuk seperti lilin, bewarna putih keras, sedikit berbau,

dan lunak. Berfungsi sebagai emollient atau pembentuk emulsi dalam krim dan

dapat menyerap air sehingga membantu menjaga stabilitas krim, memperbaiki

tekstur, dan menjaga konsistensi. Pada tipe krim minyak dalam air (M/A) , setil

alkohol menjaga stabilitas krim dengan cara dikombinasikan bersama pengemulsi

yang larut dalam air. Sebagai pengemulsi, konsentrasi setil alkohol yang umum

digunakan adalah 2-5% (Wade dan Waller, 1994). Setil alkohol tidak larut dalam

air, larut dalam etanol, dan dalam eter, kelarutan bertambah dengan naiknya suhu,

pH stabil setil alkohol 6-6,5. Semakin besar konsentrasi setil alkohol yang

digunakan, maka akan terbentuk emulsi yang semakin tebal dan padat yang

memungkinkan terjadinya granulasi (Wilkinson dan Moore, 1982).


5. Isopropil miristat

Merupakan cairan tidak bewarna, tidak berbau dan tidak berasa. Isopropil

miristat biasanya tidak bercampur dengan zat yang beroksidasi kuat, digunakan

sebagai pelembut dalam sediaan krim dengan konsentrasi yang digunakan 1-10%.

Larut dalam aseton, kloroform, ethanol, etil asetat, lemak, alkohol lemak. Praktis

tidak larut dalam gliserin, propilenglikol, dan air (Wade dan Weller, 1994).

6. Metil paraben

Merupakan kristal putih dan tidak berbau. Larut dalam etanol, gliserin, air.

Digunakan sebagai antimikroba dalam sediaan topikal dan pada konsentrasi 0,02-

0,3% (M.Anief, 1997). Dalam sediaan krim, metil paraben dapat dikombinasikan

dengan propil paraben dengan konsentrasi 0,18% untuk metil paraben dan 0,02%

untuk propil paraben (Wade dan Wallet, 1994).

7. Paraffin liquidum

Cairan kental, transparan, tidak berfluorensi, tidak bewarna, hampir tidak

berbau dan hampir tidak memiliki rasa. Paraffin cair biasa digunakan sebagai

pelembut dalam sediaan krim. Paraffin cair tidak dapat bereaksi dengan kelompok

oksidasi kuat (Wade dan Wallet, 1994).

8. Oleum rosae

Oleum rosae merupakan minyak yang disuling dari tumbuhan mawar

(Rossa sinensis). Minyak mawar biasa digunakan sebagai corigen odoris atau

pewangi pada sediaan topikal maupun kosmetik.

H. Rangkuman Preformulasi
Fase minyak dan fase air masing-masing dilebur pada suhu 70°-80°C,

kemudian dicampurkan dengan cara fase cair dimasukan sedikit demi sedikit

kedalam fase minyak pada suhu yang dipertahankan dan digerus homogen.

Setelah fase air dan fase minyak dicampur kemudian ditambahkan ekstrak etanol

bunga pacar air (Impatiens balsamina L.) dengan pH ±5,5-7 maka diperkirakan

pH krim yang didapat dapat memenuhi syarat .Fase minyak terdiri dari asam

stearat sebagai pembentuk massa, paraffin cair sebagai pelembut, isopropil

miristat sebagai pelembut, setil alkohol sebagai basis krim, dan propil paraben

sebagai pengawet. Fase air terdiri dari Triethanolamin sebagai pengemulsi, metil

paraben sebagai pengawet, dan aquadest yang dilebur bersama.

Zat aktif yang digunakan dalam formulasi krim ini adalah ekstrak etanol

bunga pacar air (Impatiens balsamina L.). Ekstrak ini terbukti mengandung

antibakteri dan mampu menghambat pertumbuhan bakteri yang menginfeksi

jerawat. Pada penelitian ini, penulis menggunakan formula Abbasi dkk (2010)

sebagai formula acuan. Hal ini membuat penulis berkeinginan membuat formula

krim dimana komposisi ekstrak divariasikan dengan variasi 1,35%, 1,55%, dan

1,75%. Dengan adanya varisi ini, diharapkan ekstrak dapat tetap stabil dalam

formula sehingga didapatkan formula krim yang baik dan memenuhi syarat.

J. Hipotesis

Ho : Ekstrak etanol bunga pacar air (Impatiens balsamina L.)


tidak dapat diformulasikan dalam sediaan krim yang stabil

dan memenuhi syarat.

Hi : Ekstrak etanol bunga pacar air (Impatiens balsamina L.)

dapat diformulasikan dalam sediaan krim yang stabil dan

memenuhi syarat.

Anda mungkin juga menyukai