Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tumbuhan Pandan Wangi (Pandanus amarilyfolius Roxb)

Gambar 1.Tanaman pandan wangi (Pandanus amarilyfolius Roxb) (Aisyah, 2015).

2.1.1 Klasifikasi

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta

Classis : Monocotyledonae

Ordo : Pandanales

Familia : Pandanaceae

Genus : Pandanus

Species : Pandanus amaryllifolius, Roxb.

7
2.1.2 Morfologi

Pandan wangi adalah jenis tanaman monokotil dari famili Pandanaceae.

Daunnya merupakan komponen penting dalam tradisi masakan Indonesia dan

negara-negara Asia Tenggara lainnya. Di beberapa daerah, tanaman ini dikenal

dengan berbagai nama antara lain: Pandan Rampe, Pandan Wangi (Jawa); Seuke

Bangu, Pandan Jau, Pandan Bebau, Pandan Rempai (Sumatera); Pondang,

Pondan, Ponda, Pondago (Sulawesi); Kelamoni, Haomoni, Kekermoni, Ormon

Foni, Pondak, Pondaki, Pudaka (Maluku); Pandan Arrum (Bali), Bonak (Nusa

Tenggara). Pandanus umumnya merupakan pohon atau semak yang tegak, tinggi

3–7 meter, bercabang, kadang-kadang batang berduri dengan akar tunjang sekitar

pangkal batang. Daun umumnya besar, panjang 1–3 m, lebar 8–12cm; ujung daun

segitiga lancip-lancip tepi daun dan ibu tulang daun bagian bawah berduri, tekstur

daun berlilin, berwarna hijau muda–hijau tua. Buah letaknya terminal atau lateral,

soliter atau berbentuk bulir atau malai yang besar.

2.1.3 Penyeberan daun pandan wangi

Tanaman pandan wangi dapat dengan mudah dijumpai di daerah tropis dan

banyak ditanam di halaman, di kebun, di pekarangan rumah maupun tumbuh

secara liar di tepi-tepi selokan yang teduh. Selain itu, tumbuhan ini dapat tumbuh

liar ditepi sungai, rawa, dan tempat-tempat lain yang tanahnya agak lembab dan

dapat tumbuh subur dari daerah pantai sampai di daerah dengan ketinggian 500

meter dpl (di bawah permukaan laut)

8
2.1.4 Kandungan Daun Pandan Wangi

Beberapa senyawa kimia yang terkandung dalam pandan wangi

diantaranya alkaloid, saponin, flavonoid, tanin, polifenol, dan zat warna. Menurut

(Agustiningsih,.dkk, 2010) menyatakan kadar flavonoid total daun ekstrak daun

pandan 9,94% dan kadar fenolik total 47,87%

a. Alkaloid

Alkaloid adalah suatu golongan senyawa organik yang terbanyak

ditemukan di

alam. Hampir seluruh alkaloid berasal dari tumbuh-tumbuhan dan tersebar

luas dalam berbagai jenis tumbuhan tingkat tinggi. Sebagian besar alkaloid

terdapat pada tumbuhan dikotil sedangkan untuk tumbuhan monokotil dan

pteridofita mengandung alkaloid dengan kadar yang sedikit. Pada pandan wangi,

terdapat kandungan senyawa alkaloid tipe piperidine, yaitu pandamarine,

pandamarilectones, dengan struktur pyrroline (Aisyah, 2015).

b. Saponin

Saponin adalah suatu glikosida alamiah yang terikat dengan steroid atau

triterpena. Saponin mempunyai aktifitas farmakologi yang cukup luas diantaranya

immunomodulator, antitumor, antiinflamasi, antivirus, antijamur, dapat

membunuh kerang-kerangan, hipoglikemik, dan efek hipokolesterol. Saponin

mempunyai sifat bermacam-macam, yaitu memiliki rasa manis atau pahit, dapat

membentuk buih (Aisyah, 2015).

9
c. Flavonoid

Flavonoid merupakan senyawa golongan fenolik. Senyawa fenol dapat

mengikat protein. Keberadaan flavonoid pada daun tanaman dipengaruhi oleh

proses fotosintesis sehingga daun muda belum terlalu banyak mengandung

flavonoid. Flavonoid dikenal sebagai salah satu substansi antioksidan yang sangat

kuat sehingga dapat menghilangkan efek merusak yang terjadi pada oksigen

dalam tubuh manusia. Senyawa ini terdiri dari lebih dari 15 atom karbon yang

sebagian besar dapat ditemukan dalam kandungan tumbuhan. Saat ini lebih dari

6.000 senyawa berbeda masuk ke dalam golongan flavonoid (Aisyah, 2015).

d. Tanin

Tanin merupakan senyawa metabolit sekunder yang sering ditemukan

pada tanaman. Tanin merupakan astrigen, polifenol, memiliki rasa pahit, dapat

mengikat dan mengendapkan protein serta larut dalam air (terutama air panas).

Umumnya tanin digunakan untuk pengobatan penyakit kulit dan sebagai

antibakteri, tetapi tanin juga banyak diaplikasikan untuk pengobatan diare,

hemostatik (menghentikan pendarahan) dan wasir. Tanin terdapat luas pada

tumbuhan berpembuluh, dalam angiospermae terdapat khusus di jaringan kayu.

Tanin dapat bereaksi dengan protein membentuk kopolimer yang kuat dan tidak

larut dalam air. Dalam industri, tanin adalah senyawa yang berasal dari tumbuhan,

yang mampu mengubah kulit hewan yang mentah menjadi kulit siap pakai karena

kemampuannya menyambung silang protein. Tanin mempunyai mekanisme

mempresipitasi protein bakteri sehingga terjadi inaktivasi enzim yang diproduksi

10
bakteri dan menginaktivasi protein transport dinding sel bakteri sehingga merusak

dinding sel bakteri Secara fisika, tanin memiliki sifat antara lain akan membentuk

koloid jika dilarutkan ke dalam air, memiliki rasa asam dan sepat, jika dicampur

dengan alkaloid dan gelatin akan terjadi endapan, tidak dapat mengkristal, dan

dapat mengendapkan protein dari larutannya dan bersenyawa dengan protein

tersebut sehingga tidak dipengaruhi oleh enzim proteolitik (Aisyah, 2015).

2.2 Metode ekstraksi

2.2.1 Pengertian ekstrasi

Ekstraksi merupakan proses pemisahan bahan campurannya dengan

menggunakan pelarut. Ekstrak adalah sediaan yang diperoleh dengan cara

ekstraksi tanaman obat dengan ukuran partikel tetentu dan menggunakan medium

pengekstraksi (menstrum) yang tertentu pula . Menurut Voigt (1995) pada

dasarnya terdapat dua prosedur untuk membuat sediaan obat tumbuhan, salah

satunya dengan cara ekstraksi. Cara ekstraksi yaitu bahan segar yang telah

dikeringkan dan dihaluskan, diprosesdengan suatu cairan pengekstraksi. Jenis

ekstraksi yang digunakan tergantung dari kelarutan bahan yang terkandung dalam

tanaman serta stabilitasnya. Ekstraksi yang tepat tergantung pada tekstur dan

kandungan air bahan tumbuhan yang diekstraksi dan pada jenis senyawa yang

diisolasi. Proses ekstraksi merupakan proses penarikan zat pokok yang diinginkan

dari bahan mentah obat dengan menggunakan pelarut yang dipilih dengan zat

yang diinginkan larut (Voigt, 1995). Kandungan kimia dari suatu tanaman yang

berkhasiat obat umumnya mempunyai sifat kepolaran yang berbeda-beda,

11
sehingga perlu untuk memisahkan secara selektif menjadi kelompok-kelompok

tertentu. Serbuk simplisia diekstraksi berturut-turut dengan pelarut yang berbeda

polarisnya (Sylvia,W., 2011).

2.2.2 Jenis-jenis ekstraksi

a.Cara dingin

1). Maserasi

Maserasi adalah proses penyarian simplisia menggunakan pelarut dengan

perendaman dan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur

ruangan (kamar). Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam

rongga sel yang mengandung zat aktif yang akan larut, karena adanya perbedaan

kosentrasi larutan zat aktif didalam sel dan diluar sel maka larutan terpekat

didesak keluar. Proses ini berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi

antara larutan didalam dan diluar sel. Cairan penyari yang digunakan dapat berupa

air, etanol, metanol, etanol-air atau pelarut lainnya. Remaserasi berarti dilakukan

penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan

seterusnya. Remaserasi berarti dilakukan penambahan pelarut setelah dilakukan

penyaringan maserat pertama, dan seterusnya. Keuntungan cara penyarian dengan

maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana yang

mudah diusahakan.

12
2).Perkolasi

Perkolasi adalah cara penyarian yang dilakukan dengan mengalirkan

cairan penyari melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi. Proses perkolasi

terdiri dari tahapan pengembang bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi

sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh

ekstrak (perkolat).

b.Cara panas

1). Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur tititk didihnya,

selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan

adanya pendingin balik

2). Sokletasi

Sokletasi adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang pada

umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dan

dan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

3). Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada

temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum

dilakukan pada temperatur 40-500 C.

4). Dekok

Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama dan temperatur sampai

titik didih air, yakni 30 menit pada suhu 90-1000 C.

13
2.3 Bakteri Staphyloccocus aureus dan Pseudomonas aeruginosa

2.3.1 Staphyloccocus aureus

Gambar 2. Staphyloccocus aureus

a.Klasifikasi Ilmiah

Domain :Bacteria

Kingdom :Eubacteria

Divisi :Firmicutes

Class :Cocci

Ordo :Bacillales

Family :Staphylococcaceae

Genus :Staphylococcus

Spesies :S.aureus

14
b.Morfologi

Staphylococcus aureus adalah bakteri gram-positif yang bersifat aerob dan

anaerobik fakultatif, muncul sebagai cluster seperti anggur. Bakteri ini tidak

bergerak, tidak berspora, mampu membentuk kapsul dan berbentuk kokus.

Ukurannya kira-kira 1μm. Koloni bakteri ini bewarna kuning keemasan, sering

dengan hemolisis, ketika ditanam pada madia agar darah

2.3.2 Pseudomonas aeuruginosa

Gambar 3. Pseudomonas aeruginosa

a.Klasifikasi

Kerajaan :Bacteria

Divisi :Protophyta

Kelas :Schizomycetes

Bangsa :Pseudomonadales

15
Suku :Pseudomonadaceae

Marga :Pseudomonas

Jenis :Pseudomonas aeruginosa

b.Morfologi

Pseudomonas aeruginosa merupakan bakteri gram negatif yang berbentuk btaang,

motil dan umumnya memiliki flagel, bakteri ini juga memiliki ukuran sekitar 0,6

× 2 mm. Bakteri ini dapat muncul dalam bentuk tunggal, berpasangan atau

kadang-kadang dalam bentuk rantai pendek (Jawetz, E. 2008).

2.4 Pengukuran aktivitas antibakteri

Pengukuran aktivitas antibakteri dapat dilakukan dengan metode dilusi

(pengenceran) atau dengan metode difusi.

2.4.1 Metode dilusi

Metode ini menggunakan antimikroba dengan konsentrasi yang berbeda-beda

dimasukkan pada media cair. Media tersebut langsung diinokulasikan dengan

bakteri dan diinkubasi. Tujuan dari percobaan ini adalah menentukan konsentrasi

terkecil suatu zat antibakteri dapat menghambat pertumbuhan atau membunuh

bakteri uji. Metode dilusi agar membutuhkan waktu lama dalam pengerjaannya

sehingga jarang digunakan (Jawetz, dkk.,2001).

16
2.4.2 Metode difusi

Metode yang paling sering digunakan adalah metode difusi agar dengan

menggunakan cakram kertas, cakram kaca, pencetak lubang. Prinsip metode ini

adalah mengukur zona hambatan pertumbuhan bakteri yang terjadi akibat difusi

zat yang bersifat sebagai antibakteri di dalam media padat melalui pencadang.

Daerah hambatan pertumbuhan bakteri adalah daerah jernih di sekitar cakram.

Luas daerah hambatan berbanding lurus dengan aktivitas antibakteri, semakin

kuat daya aktivitas antibakterinya maka semakin luas daerah hambatnya. Metode

ini dipengaruhi oleh banyak faktor fisik dan kimia, misalnya: pH, suhu, zat

inhibitor, sifat dari media dan kemampuan difusi, ukuran molekul dan stabilitas

dari bahan obat (Jawetz, dkk., 2001).

2.5 Pertumbuhan bakteri

Pertumbuhan pada bakteri dapat diartikan sebagai penambahan jumlah sel bakteri.

Pada dasarnya terdapat empat fase pertumbuhan bakteri ketika ditumbuhkan pada

batch culture, yaitu sebagai berikut:

2.5.1 Fase Lag (fase adaptasi)

Fase ini sel beradaptasi dengan mensintesis enzim baru yang sesuai

dengan medium serta pemulihan terhadap metabolit yang bersifat toksik. Pada

fase ini tidak dijumpai penambahan jumlah sel, namun terdapat penambahan

volume sel. Lama fase ini dapat ditentukan oleh umur inokulan dan medium yang

17
digunakan. Pembentukan enzim-enzim baru diinduksi oleh substrat baru

(Sylvia,W., 2011).

2.5.2 Fase Log

Setelah sel memperoleh kondisi ideal maka sel melakukan pembelahan.

Sel melakukan konsumsi nutrient dan proses fisiologis lainnya sehingga

dihasilkan beberapa senyawa yang diekskresikan oleh sel bakteri, yaitu etanol,

asam laktat dan asam organik lainnya, asam lemak, asam amino dan lainnya. Di

fase ini perbanyakan sel meningkat sampai jumlah tertentu Kecepatan pembelahan

bersifat spesifik pada masingmasing bakteri. Dalam fase eksponensial, jumlah sel,

protein dan masa kering meningkat dengan kecepatan sama, kesediaan substrat

berkurang, kerapatan sel bertambah dan produk-produk metabolisme tertimbun

(Sylvia,W., 2011).

2.5.3 Fase Stationer

Pada fase ini sel berjuang terhadap kondisi ketersediaan nutrient yang

makin menipis, akumulasi metabolit toksik (misalnya: alkohol, asam, basa),

penurunan kadar oksigen serta penurunan kadar air, sehingga menghasilkan

antibiotik dan antioksidan (Sylvia,W., 2011).

2.5.4 Fase Kematian

Penyebab utama kematian bakteri adalah autolisis sel dan penurunan

energi seluler. Ada bakteri yang mampu bertahan hingga puluhan tahun dengan

mengubah sel menjadi spora. Namun ada pula bakteri yang tidak mampu bertahan

selama itu (Sylvia,W., 2011).

18
2.6 Aktivitas Anti Bakteri dan Efeknya

Antibakteri adalah senyawa yang digunakan untuk mengendalikan

pertumbuhan bakteri yang bersifat merugikan. Pengendalian pertumbuhan

mikroorganisme bertujuan untuk mencegah penyebaran penyakit dan infeksi,

membasmi mikrobia pada inang yang terinfeksi, dan mencegah pembusukan serta

perusakan bahan oleh mikrobia. Antimikrobia meliputi golongan antibakteri,

antimikotik, dan antiviral

2.6.1 Efek antimikroba

berdasarkan sifat toksisitas selektifnya, senyawa antimikrobia mempunyai

3 macam efek terhadap pertumbuhan mikrobia yaitu :

a. Bakteriostatik memberikan efek dengan cara menghambat pertumbuhan

tetapi tidak membunuh. Senyawa bakterostatik seringkali menghambat sintesis

protein atau mengikat ribosom. Hal ini ditunjukkan dengan penambahan

antimikrobia pada kultur mikrobia yang berada pada fase logaritmik. Setelah

penambahan zat antimikrobia pada fase logaritmik didapatkan jumlah sel total

maupun jumlah sel hidup adalah tetap.

b. Bakteriosidal memberikan efek dengan cara membunuh sel tetapi tidak

terjadi lisis sel atau pecah sel. Hal ini ditunjukkan dengan penambahan

antimikrobia pada kultur mikrobia yang berada pada fase logaritmik. Setelah

penambahan zat antimikrobia pada fase logaritmik didapatkan jumlah sel total

tetap sedangkan jumlah sel hidup menurun.

19
c. Bakteriolitik menyebabkan sel menjadi lisis atau pecah sel sehingga

jumlah sel berkurang atau terjadi kekeruhan setelah penambahan antimikrobia.

Hal ini ditunjukkan dengan penambahan antimikrobia pada kultur mikrobia yang

berada pada fase logaritmik. Setelah penambahan zat antimikrobia pada fase

logaritmik, jumlah sel total maupun jumlah sel hidup menurun.

2.6.2 Mekanisme penghambatan antibakteri:

a. Penghambatan sintesis dinding sel bakteri

Langkah pertamakerjanya berupa pengikatan pada reseptor sel. Kemudian

dilanjutkan dengan reaksi transpeptidase dan sintesis peptidoglikan terhambat.

Mekanisme diakhiri dengan pembuangan atau penghentian aktivitas penghambat

enzim autolisis pada dinding sel. Contoh antibakteri dengan mekanisme kerja

diatas adalah penicilin, sefalosporin, vankomisin, basitrasin, sikloserin, dan

ampisilin.

b.Merusak membran sel bakteri

Sitoplasma semua sel hidup dibatasi oleh membran sel yang bekerja

sebagai penghalang dengan permeabilitas selektif, melakukan fugsi pengangkutan

aktif sehingga dapat mengendalikan susunan sel. Bila integritas fungsi selaput

sitoplasma terganggu misalnya oleh zat bersifat surfaktan permeabilitas dinding

sel akan berubah atau bahkan menjadi rusak, sehingga komponen penting, seperti

protein, asam nukleat, nukleotida, dan lain-lain keluar dari sel dan sel berangsur-

20
angsur mati. Amfoterisin, kolistin, poimiksin, imidazol, dan polien menunjukkan

mekanisme kerja tersebut.

c. Penghambatan sintesis protein bakteri

Senyawa penghambat akan berikatan dengan enzim atau salah satu

komponen yang berperan dalam tahapan sintesis, sehingga akhirnya reaksi akan

terhenti karena tidak ada substrat yang direaksikan dan protein tidak dapat

terbentuk. Kloramfenikol, eritromisin, linkomisin, tetrasiklin, dan aminoglikosida

bersifat menghambat sintesis protein sel bakteri.

d. Penghambatan sintesis asam nukleat

Antibakteri dapat mengganggu proses replikasi dan transkripsi sehingga

pertumbuhan dan pembelahan sel bakteri terhambat. Pada umumnya

antibakteri dapat menghambat sintesis asam nukleat dengan dua cara:

1).interaksi dengan benang heliks ganda DNA sehingga replikasi dan transkripsi

terganggu.

2). kombinasi dengan polimerase yang terlibat dalam biosintesis DNA atau RNA.

21
2.7 Jerawat

2.7.1 Definisi jerawat

Jerawat merupakan kelainan folikel umum yang mengenai folikel polisebasea

(folikel rambut) yang rentan dan paling sering ditemukan di daerah muka, leher

serta badan bagian atas.

Menurut Dewi (2009) ada 3 tipe jerawat yang sering dijumpai. Tipe yang

pertama adalah komedo. Komedo adalah pori-pori yang tersumbat, bisa terbuka

atau tertutup. Komedo yang terbuka disebut sebagai blackhead, terlihat seperti

pori-pori yang membesar dan menghitam. Berwarna hitam sebenarnya bukan

kotoran tetapi merupakan penyumbat pori yang berubah warna karena teroksidasi

dengan udara. Komedo yang tertutup atau whiteheads, biasanya memiliki kulit

yang tumbuh di atas pori-pori yang tersumbat maka terlihat seperti tonjolan putih

kecil-kecil di bawah kulit. Jerawat jenis ini disebabkan sel-sel kulit mati dan

kelenjar minyak yang berlebihan pada kulit (Dewi, 2009).

Tipe yang kedua adalah Jerawat biasa atau klasik. Jenis jerawat klasik ini

mudah dikenal yaitu terdapat tonjolan kecil berwarna pink atau kemerahan. Hal

ini terjadi karena pori-pori yang tersumbat terinfeksi dengan bakteri yang terdapat

di permukaan kulit, kuas make-up, dan jari tangan. Stress, hormon, dan udara

yang lembab dapat memperbesar kemungkinan infeksi jerawat karena

menyebabkan kulit memproduksi minyak yang merupakan tempat

berkembangbiaknya bakteri. Pengobatan pada tipe ini dapat diatasi dengan

menghambat pertumbuhan bakteri penyebab jerawat dengan suatu zat antibakteri

misalnya benzoil peroksida, tetrasiklin, dll (Dewi, 2009).

22
Tipe yang ketiga adalah Cystic Acne (Jerawat Batu atau Jerawat Jagung).

Biasanya jerawat ini besar dengan tonjolan-tonjolan yang meradang hebat dan

berkumpul di seluruh wajah. Penderita jerawat ini dikarenakan faktor genetik

yang memiliki banyak kelenjar minyak sehingga pertumbuhan sel-sel kulit tidak

normal dan tidak dapat mengalami regenerasi secepat kulit normal (Dewi, 2009).

2.7.2 Penyebab jerawat

Beberapa faktor yang mempengaruhi timbulnya jerawat:

a. Genetik

Beberapa peneliti menunjukkan bahwa faktor genetik berperan terhadap

timbulnya acne. Diduga faktor genetik berperan dalam menentukan gambaran

klinis, penyebaran lesi dan lamanya penyakit. Dalam suatu penelitian

menunjukkan 82% penderita acne mempunyai salah satu atau kedua orang tua

dengan riwayat acne. (Nugroho,.A R., 2013)

b. Faktor hormon / endokrin

Timbulnya jerawat dapat dipengaruhi oleh faktor hormonal. Adapun hormon yang

berperan adalah dehidrotestoteron yang dapat merangsang sekresi kelenjar

sebasea dan menyebabkan hiperkornifikasi dari duktus pilosebaseus. (Nugroho,.A

R., 2013)

23
c. Faktor Makanan

Peranan makanan pada timbulnya jerawat masih kontroversial.Beberapa penulis

berpendapat bahwa makanan tertentu merupakan faktor pemicu pada acne. Jenis

makanan yang sering dihubungkan dengan acne antara lain makanan tinggi lemak

(goreng – gorengan, kacang – kacangan, susu, keju), makanan tinggi karbohidrat

(makananmanis, coklat), makanan beryodida tinggi (garam yodida, kerang) dan

pedas. (Nugroho,.A R., 2013)

d. Faktor Iklim, Lingkungan/Pekerjaan

Telah diketahui meningkatnya hidrasi stratum korneum dapat mencetuskan

timbulnya acne dan memperhebat keadaan klinis acne pada orang - orang tertentu

bila lingkungan panas dan lembab.18 Efek ini berhubungan / berkontak dengan

panas, oli, atau zat kimia tertentu dapat mengakibatkan timbulnya AV yaitu

“Occupational Acne”. Jerawat lebih sering didapat di daerah industri atau

pertambangan dari pada di pedesaan. Demikian juga efek sinar UV terhadap

jerawat. Pajanan berlebihan sinar UV memperburuk keadaan klinis jerawat.

(Nugroho,.A R., 2013)

e. Faktor Psikis

Stres emosi diduga dapat menyebabkan timbulnya akne dan mungkin dapat

meningkatkan produksi androgen dalam tubuh. (Nugroho,.A R., 2013)

24
f. Faktor Kosmetik

Beberapa kosmetik yang mengandung bahan seperti lanolin, petrolatum, asam

oleat dan butil stearat seringkali bersifat komedogenik. (Nugroho,.A R., 2013)

g. Faktor Trauma

Faktor gesekan, tekanan dan garukan dapat merangsang timbulnya acne.

(Nugroho,.A R., 2013)

h. Faktor Infeksi

jerawat dapat disebabkan oleh aktivitas bakteri seperti Propinium acne,

Staphylococcus epidermidis, dan Staphylococcus auerus. Staphylococcus

epidermidis tumbuh cepat pada kondisi kulit yang anerob yaitu pada saat pori-pori

kulit tersumbat akibat adanya produksi kelenjar minyak yang berlebih. Bakteri ini

juga dapat mensintesis enzim lipase yang dapat mengubah triasigliserol pada

kelenjar minyak menjadi asam lemak bebas yang memacu terjadinya infeksi pada

kulit. Infeksi ini membuat jerawat makin bertambah parah dan berwana

kemerahan(Nugroho,.A R., 2013)

2.7.3 Patogenesis

Belum dijumpai kesepakatan tentang etiologi akne vulgaris, tetapi banyak

peneliti sependapat bahwa patogenesis acne vulgaris adalah multifaktorial.

Berdasarkan hipotesis ada 4 faktor yang berhubungan dengan terjadinya

acne vulgaris, yaitu :

25
a. Meningkatnya produksi sebum

b. Hiperkeratinisasi dari duktus pilosebaseous

c. Proliferasi mikrobial

d. Adanya proses inflamasi (Nugroho,.A R., 2013)

2.7.4 Pengobatan Jerawat

Pengobatan jerawat dapat dilakukan dengan cara memberikan obat-obat topikal,

obat sistemik, bedah kulit, atau kombinasi cara-cara tersebut

a.Pengobatan Topikal

Pengobatan topikal dilakukan untuk mencegah pembentukkan komedo, menekan

peradangan dan mempercepat penyembuhan lesi. Topikal retinoid sebagai

comedolytic dan anti inflamasi banyak digunakan, seperti adapalene, tazarotene,

dan tretinoin. Benzoyl peroxide sebagai bakterisidal juga sering dikombinasikan

dengan antibiotik. (Nugroho,.A R., 2013)

Obat topikal terdiri atas :

1). Bahan iritan yang dapat mengelupas kulit (peeling), misalnya sulfur (4-

8 %) , resorsinol (1-5%), asam salisilat (2-5%),dan lain-lain. Efek samping obat

iritan dapat dikurangi dengan pengunaan yang dimulai dari konsentrasi yang

rendah.

26
2). Antibiotika topikal yang dapat mengurangi jumlah mikroba dalam

folikel misalnya tetrasiklin 1%, eritromisin 1%, damisin fosfat 1%.

3). Antiperadangan topikal, salep atau krim kortikosteroid, kekuatan

ringan atau sedang misalnya nikotinamide 4% , zinc

4). lainnya, misalnya etil laktat 10% untuk menghambat pertumbuhan

jasad renik

b Pengobatan Sistemik

Pengobatan sistemik ditujukan terutama untuk menekan aktifitas jasad renik

disamping dapat juga mengurangi reaksi radang, menekan produksi sebum, dan

mempengaruhi keseimbangan hormonal. Antibiotik sistemik seperti tetrasiklin,

eritromisin, doksisiklin, dan trimetroprim efektif untuk melawan bakteri penyebab

jerawat. Obat hormonal untuk menekan produksi androgen dan secara kompetitif

menduduki reseptor organ target di kelenjar sebasea, misalnya estrogen atau

antiandrogen siproteron asetat. Pengobatan ini ditujukan untuk penderita wanita

dewasa yang gagal dengan pengobatan lain. Kortikosteroid sistemik seperti

prednisone dan deksametason diberikan untuk menekan peradangan dan menekan

sekresi kelenjar adrenal. Retinoid oral atau derivatnya seperti isotretinoin

menghambat produksi sebum. Obat ini merupakan pilihan untuk akne

nodulokistik yang tidak sembuh dengan pengobatan lain.Obat lain seperti

antiinflamasi nonsteroid ibuprofen, dapson, dan seng sulfat juga dapat digunakan.

(Nugroho,.A R., 2013)

27
2.8.Clindamycin

2.8.1 Pengertian Clindamycin

Clindamycin adalah senyawa semi sintetis dari derivat antibiotik

lincomycin. Clindamycin memiliki efek lipofilik yang lebih besar karena unsur

chlorine yang dimilikinya. Hal ini membuat penetrasi clindamycin ke dalam sel

bakteri lebih baik daripada lincomycin.

2.8.2 Farmakokinetik

Clindamycin hidroklorid 2% yang dioleskan akan diabsorbsi 10%

perkutan atau rata – rata 2mg/hari pada pasien yang diolesi wajahnya, atau

sampai 20 mg/hari bila dioleskan juga pada dada dan punggung.34 Namun

demikian, kadar serum belum dapat ditunjukkan. Clindamycin fosfat sukar

diabsorbsi perkutan, tetapi dengan menggunakan pemeriksaan yang sensitif dalam

mendeteksi obat dalam serum, ternyata didapatkan kadar obat sangat rendah

2.8.3 Farmakodinamik

a.Mekanisme kerja

Mekanisme efek antimikroba clindamycin adalah mengikat 50 S subunit

ribosome bakteri dan menghambat sintesa protein. Dalam sebuah review topikal

antibiotik, clindamycin menunjukkan tiga mekanisme kerja yaitu :

1). Menurunkan prosentase asam lemak bebas

2). Memiliki efek antiinflamasi

3). Menurunkan jumlah propionibacteria

28
Secara spesifik antiinflamasi yang dimiliki clindamycin terdiri dari

menghambat pertumbuhan, sintesa protein,produksi lipase, produksi folikular

asam lemak bebas, dan molekul kemotaksis leukosit pada P.acnes.

b.Aktivitas Mikroba

Clindamycin efektif terhadap sebagian besar bakteri aerob gram positif

seperti strain Streptococcus, Staphylococcus, Enterococcus, Bacilus antracis dan

Corynebacteriumdiphtarie tetapi pada umumnya agak resisten terhadap bakteri

gram negatif seperti Enterobacteriaceae, Neisseria gonorrhoeae, N. Meningitidis

dan Haemophilus influenzae. Di lain pihak, clindamycin sangat efektif terhadap

bakteri anaerob gram positif seperti Eubacterium, Proponibacterium, Peptococcus,

Peptostreptococcus, Clostridium perfringens dan Cl. Tetani dan juga efektif

terhadap beberapa bakteri aerob negatif seperti Fusobacterium sp dan Bacteriodes

sp termasuk B.fragilis.

Target aksi clindamycin dalam terapi acne vulgaris adalah P. Acnes,

bakteri gram positif, dan bakteri anaerob berbentuk batang.

2.8.4 Resistansi

Resistansi terhadap clindamycin terjadi bermacam - macam, salah satu

yang paling sering karena perubahan “binding site” bakteri.36 Resistansi

propionibacteria terhadap clindamycin meningkat pada penderita acne. Suatu

penelitian yang dikerjakan selama sepuluh tahun dimulai pada tahun 1991 oleh

Coates et al42, memeriksa resistansi propionibacteria pada 4.274 pasien acne.

Resistensi terhadap erythromycin, clindamycin dan tetracycline ditemukan.

Seperti yang telah diduga, resistansi antibiotik meningkat dari 34,5% pada tahun

29
1991 menjadi 55,5% pada tahun 2000. Walau demikian, strain bakteri yang

resisten terhadap clindamycin masih lebih sedikit daripada daripada strain bakteri

yang resisten terhadap erithromycin.

2.9 Sediaan Gel

2.9.1 Pengertian Gel

Gel, kadang kadang disebut jeli, merupakan sistem semi padat terdiri dari

suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang

besar, terpenetrasi oleh suatu cairan. Jika massa gel terdiri dari jaringan partikel

kecil yang terpisah, gel digolongkan ebagai sistem 2 fase ( misalnya Gel

Alumununium Hidroksida). Dalam sistem 2 fase, jika ukuran partikel dari fase

terdispersi relatif besar, massa gel kadang kadang dunyatakan sebagai magma

(misalnya Magma Bentonit).

Gel fase tunggal terdiri dari makromolekul organik yang tersebar erba

sama dalam suatu cairan sedemikian hingga tidak terlihat adanya ikatan antara

molekul makro yang terdispersi. Gel fase tunggal dapat dibuat dari makromolekul

sintetik (misalnya Karbomer) atau dari gom alam (misalnya Tragakan). Sediaan

tragakan disebut juga musilago. Gel dapat digunakan untuk obat yang diberikan

secara topikal atau dimasukkan ke dalam lubang tubuh (FI V, 2014 )

30
2.9.2 Dasar Gel yang sering digunakan

a.Dasar gel hidrofobik

Dasar gel hidrofobik umumnya terdiri dari partikel-partikel anorganik, bila

ditambahkan ke dalam fase pendispersi, hanya sedikit sekali interaksi antara

kedua fase. Berbeda dengan bahan hidrofilik, bahan hidrofobik tidak secara

spontan menyebar, tetapi harus dirangsang dengan prosedur yang khusus

(Sofwan,A ,G., 2011).

b.Dasar gel hidrofilik

Dasar gel hidrofilik umumnya terdiri dari molekul-molekul organik yang

besar dan dapat dilarutkan atau disatukan dengan molekul dari fase pendispersi.

Istilah hidrofilik berarti suka pada pelarut. Umumnya daya tarik menarik pada

pelarut dari bahan-bahan hidrofilik kebalikan dari tidak adanya daya tarik menarik

dari bahan hidrofobik. Sistem koloid hidrofilik biasanya lebih mudah untuk dibuat

dan memiliki stabilitas yang lebih besar (Ansel, 1989). Gel hidrofilik umummnya

mengandung komponen bahan pengembang, air, humektan dan bahan pengawet

(Sofwan,A ,G., 2011).

2.9.3 Uraian bahan

a.HPMC

Hidroksi propil metilselulose (HPMC) merupakan turunan dari metilselulosa yang

memiliki ciri-ciri serbuk atau butiran putih, tidak memiliki bau dan rasa. Sangat

sukar larut dalam eter, etanol atau aseton. Dapat mudah larut dalam air panas dan

akan segera menggumpal dan membentuk koloid. Mampu menjaga penguapan air

31
sehingga secara luas banyak digunakan dalam aplikasi produk kosmetik dan

aplikasi lainnya

Gambar 4.Rumus bangun HPMC (Sofwan,A.,G., 2011).

HPMC digunakan sebagai agen pengemulsi, agen pengsuspensi, dan

sebagai agen penstabil pada sediaan topikal seperti gel dan salep. Sebagai koloid

pelindung yaitu dapat mencegah tetesan air dan partikel dari penggabungan atau

aglomerasi, sehingga menghambat pembentukan sedimen (Sofwan,A.,G., 2011).

b.Propilenglikol

Propilen glikol banyak digunakan sebagai pelarut dan pembawa dalam

pembuatan sediaan farmasi dan kosmetik, khususnya untuk zat-zat yang yang

tidak stabil atau tidak dapat larut dalam air. Propilen gilkol adalah cairan bening,

tidak berwarna, kental, dan hampir tidak berbau. Memiliki rasa manis sedikit

tajam menyerupai gliserol. Dalam kondisi biasa, propilen glikol stabil dalam

wadah yang tertutup baik dan juga merupakan suatu zat kimia yang stabil bila

dicampur dengan gliserin, air, atau alkohol. Propilen glikol juga digunakan

sebagai penghambat pertumbuhan jamur. Data klinis telah menunjukkan reaksi

32
iritasi kulit pada pemakaian propilen glikol dibawah 10% dan dermatitis dibawah

2% (Sofwan,A.,G., 2011).

Gambar 5.Rumus bangun propilenglikol (Sofwan,A.,G., 2011).

c.Asam Benzoat

Asam benzoat merupakan bahan pengawet luas penggunaannya bisa

digunakan untuk sediaan semi solid. Batas Penggunaan asam benzoat sebgai

pengawet 0.1-0.2 % (BPOM, 2014).

Gambar 6.Rumus Bangun Asam Benzoat (Wati,I ,W., 2012)

33

Anda mungkin juga menyukai