Anda di halaman 1dari 26

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tanaman Kenikir (Cosmos caudatus Kunth.)

1. Klasifikasi tanaman

Klasifikasi secara lengkap tanaman kenikir sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Super Divisi : Spermatophyta

Divisi : Magnoliophyta

Class : Magnoliopsida

Sub Class : Asteridae

Ordo : Asterales

Famili : Asteraceae

Genus : Cosmos

Spesies : Cosmos caudatus Kunth. (Judd et al. 1999 ; Simpson 2006)

Gambar 1. Cosmos caudatus Kunth. (Blanco 2009)


2. Nama daerah

Tanaman daun kenikir (Cosmos caudatus Kunth.) memiliki beberapa nama

daerah yaitu Ulam raja (Melayu), Kenikir (Jawa Tengah), Kembang tahi ayam

(Bangka), Cosmos (Inggris), Turay-turay (Filipina), Estrella de Mar (Spanyol),

Khamhae (Thailand) (Hariana 2008 ; Kays 2011).

3. Deskripsi tanaman

Tumbuhan ini termasuk tumbuhan herbal semusim dengan tinggi antara 0,5

- 1,5 m. Batang tegak, beralur, dan mempunyai banyak percabangan serta berwarna

hijau terang keunguan. Daunnya lembut dan tajam. Ketika malam hari, biasanya

daun melipat untuk menutup kuncup terminal. Daun majemuk berbentuk lanset

dengan ujung yang meruncing dan berwarna hijau dengan tepi daun bergerigi.

Bunga dari tumbuhan ini ditemukan soliter atau berkumpul dalam kelompok

(majemuk) pada satu tangkai. Bunga majemuk mempunyai tangkai bunga

berbentuk seperti cawan berwarna kuning. Setiap di bagian bawah bunga terdapat

daun pembalut berwarna hijau berbentuk seperti lonceng. Buahnya keras, berbentuk

jarum dan ujungnya berambut. Biji keras, kecil, berbentuk jarum dengan panjang

1 cm serta berwarna hitam (Hassan 2006).

4. Khasiat tanaman

Daun kenikir (Cosmos caudatus Kunth.) banyak dikonsumsi masyarakat

sebagai sayuran. Secara tradisional daun ini juga digunakan sebagai obat penambah

nafsu makan, lemah lambung, penguat tulang, pengobatan infeksi kuman penyebab

penyakit dan pengusir serangga (Hariana 2013).


5. Kandungan kimia

Tanaman kenikir mengandung flavonoid, saponin, alkaloid dan tanin (Rasdi

dkk 2010). Akarnya mengandung hidroksieugenol dan koniferil alkohol (Fuzzati et

al. 1995). Kandungan flavonoid dalam 100 mg daun kenikir menurut Batari (2007)

sebesar 52,18 mg. Sedangkan kadar saponin menurut Balitnak Ciawi sebesar 2,2%

berat kering.

Kandungan antibakteri yang dimiliki oleh daun kenikir (Cosmos caudatus

Kunth.) adalah flavonoid, saponin, alkaloid dan tanin :

5.1. Flavonoid. Flavonoid merupakan golongan polifenol sehingga

memiliki sifat kimia fenol, yaitu bersifat agak asam sehingga dapat larut dalam

basa. Flavonoid juga memiliki sejumlah gugus hidroksil sehingga pada umumnya

larut dalam pelarut polar seperti etanol, metanol, butabol, aseton, air dan

sebagainya. Flavonoid berfungsi sebagai antibakteri dengan cara membentuk

senyawa kompleks terhadap protein ekstraseluler yang mengganggu integritas

membran sel bakteri (Dewanti & Wahyudi 2011).

5.2. Saponin. Saponin adalah senyawa aktif permukaan yang kuat,

menimbulkan busa jika dikocok dalam air. Saponin biasa dikenal sebagai senyawa

non-volatile dan sangat larut dalam air dingin maupun panas. Saponin merupakan

senyawa antibakteri karena memiliki kemampuan dalam menghambat fungsi

membran sel sehingga merusak permeabilitas membran yang mengakibatkan

dinding sel rusak atau hancur (Chapagain & Wiesman 2005). Saponin bersifat

spermisida, antimikroba, antiperadangan dan memiliki aktivitas sitotoksik (Tjay

dan Rahardja 2002).


5.3. Alkaloid. Alkaloid didapat dari sebagian besar tanaman berbunga

(magnoliopsida). Alkaloid dilaporkan memiliki antimikroba spektrum luas,

antiradikal, antioksidan, antiplasmodial, antikanker dan antimutagenik. Alkaloid

merupakan salah satu komponen aktif lain dalam daun kenikir yang mempunyai

sifat antimikroba yang mempengaruhi aktivitas fisiologi. Mekanisme alkaloid

sebagai antibakteri dengan cara menganggu komponen penyusun peptidoglikan

pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan

menyebabkan kematian sel tersebut (Juliantina et al. 2008).

5.4. Tanin. Tanin merupakan salah satu senyawa metabolit sekuder yang

terdapat pada tanaman dan disintesis oleh tanaman. Tanin tergolong senyawa

polifenol yang karakteristiknya dan membentuk senyawa kompleks. Tanin larut

dalam pelarut organik polar namun tidak larut dalam pelarut organik non polar

(Jayanegara et al. 2008). Tanin terletak di dalam tumbuhan terpisah dari protein dan

enzim sitoplasma, tetapi bila jaringan rusak dapat terjadi reaksi penyamakan. Tanin

merupakan senyawa fenol berfungsi untuk menghambat pertumbuhan bakteri

dengan memunculkan denaturasi protein dan menurunkan tegangan permukaan

(Sudirman 2014).

B. Simplisia

1. Pengertian simplisia

Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang

belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dikatakan lain, berupa

bahan yang telah dikeringkan. Simplisia dibedakan simplisia nabati, simplisia


hewani dan simplisia pelikan (mineral). Simplisia nabati adalah simplisia yang

berupa tumbuhan utuh, bagian tumbuhan atau eksudat tumbuhan. Eksudat

tumbuhan ialah isi sel yang secara spontan keluar dari tumbuhan atau isi sel yang

dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya, atau senyawa nabati lainnya yang

dengan cara tertentu dipisahkan dari tumbuhannya dan belum berupa senyawa

kimia murni. Simplisia hewani adalah simplisia yang berupa hewan utuh, bagian

hewan atau zat-zat berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa zat kimia

murni. Simplisia pelikan (mineral) adalah simplisia yang belum berupa zat kimia

murni. Simplisia harus memenuhi persyaratan minimal untuk menjamin

keseragaman senyawa aktif, keamanan maupun kegunaannya. Faktor yang

mempengaruhi yaitu bahan baku simplisia, proses pembuatan simplisia termasuk

cara penyimpanan bahan baku simplisia dan cara pengepakan (Depkes 2000).

2. Pencucian dan pengeringan

Pencucian dilakukan untuk memisahkan kotoran atau bahan asing lainnya

dari bahan simplisia. Pencucian dilakukan dengan air bersih. Bahan simplisia yang

mengandung zat yang mudah larut dalam air, pencucian agar dilakukan dalam

waktu yang secepat mungkin (Prastowo 2013).

Tujuan pengeringan adalah untuk mendapatkan simplisia yang tidak mudah

rusak, sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama. Penurunan mutu atau

perusakan simplisia dapat dicegah dengan mengurangi kadar air dan menghentikan

reaksi enzimatik. Reaksi enzimatik tidak akan berlangsung bila kadar air dalam

simplisia kurang dari 10%. Proses pengeringan sudah dapat menghentikan proses
enzimatik dalam sel bila kadar airnya dapat mencapai kurang dari 10% (Prastowo

2013).

Menurut Pramono (2005) jika kadar air dalam bahan masih tinggi dapat

memicu enzim melakukan aktivitasnya mengubah kandungan kimia yang ada

dalam bahan menjadi produk lain yang mungkin tidak lagi memliki efek

farmakologi seperti senyawa aslinya. Hal ini tidak akan terjadi jika bahan yang telah

dipanen segera dikeringkan sehingga kadar airnya rendah. Beberapa enzim perusak

kandungan kimia yang telah lama dikenal antara lain hidrolase, oksidase dan

polimerase.

C. Metode Penyarian

1. Ekstraksi

Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi

senyawa aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai,

kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang

tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan

(Depkes 2000).

Ekstrak tumbuhan obat yang dibuat dari simplisia nabati dapat dipandang

sebagai bahan awal, bahan antara atau bahan produk jadi. Ekstrak sebagai bahan

awal dianalogkan dengan komoditi bahan baku obat yang dengan teknologi

fitofarmasi diproses menjadi produk jadi. Ekstrak sebagai bahan antara berarti

masih menjadi bahan yang dapat diproses lagi menjadi fraksi-fraksi, isolat senyawa

tunggal atau sebagai campuran dengan ekstrak lain. Ekstrak sebagai produk jadi
berarti ekstrak yang berada dalam sediaan obat jadi siap digunakan oleh penderita

(Depkes 2000).

2. Maserasi

Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan

pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur

ruangan (kamar). Prinsip metode ini adalah pencapaian konsentrasi pada

keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinue

(terus-menerus). Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut

setelah dilakukan penyarian maserat pertama, dan seterusnya (Depkes 2000).

Maserasi dapat dilakukan dengan cara memasukkan 10 bagian simplisia

dengan derajat halus yang cocok, dimasukkan dalam bejana lalu dituangi dengan

75 bagian cairan penyari, ditutup dan dibiarkan selama 5 hari terlindung dari cahaya

sambil berulang-ulang diaduk, sari kemudian diencerkan dan ampas diperas.

Ampas dicuci dengan cairan penyari secukupnya hingga diperoleh 100 bagian.

Keuntungan metode maserasi adalah alat yang digunakan sederhana, murah dan

mudah dilakukan (Depkes 2000).

3. Fraksinasi

Fraksinasi adalah prosedur pemisahan yang bertujuan memisahkan

golongan utama kandungan yang satu golongan utama yang lain, merupakan suatu

pemisahan senyawa berdasarkan perbedaan kepolaran dalam suatu tanaman.

Pemisahan jumlah dan jenisnya menjadi fraksi yang berbeda, mula-mula ekstrak

kental difraksinasi berturut-turut dengan larutan penyari yang berbeda-beda

polaritasnya. Pelarut secara selektif akan memisahkan kelompok kandungan kimia


tersebut, mula-mula disari dengan pelarut non polar, kemudian disari pelarut kurang

polar, dan yang terakhir disari dengan pelarut polar (Harbone 2006).

4. Cairan penyari untuk ekstraksi

Pemilihan larutan penyari juga harus memenuhi kriteria yaitu murah dan

mudah diperoleh, stabil secara kimia dan fisika, bereaksi netral, selektif yaitu

menarik zat berkhasiat yang dikehendaki dan tidak mempengaruhi zat berkhasiat.

Cairan penyari atau pelarut ada tiga macam yaitu pelarut polar, semi polar dan non

polar, contohnya cairan penyari etanol, n-heksana, etil asetat dan air.

4.1. Etanol 70%. Etanol 70% merupakan larutan serba guna yang baik

untuk ekstraksi pendahuluan agar diperoleh hasil yang baik, penyarian biasanya

digunakan campuran antara etanol dan air. Etanol 70% dipertimbangkan sebagai

penyari karena lebih efektif dalam menghasilkan jumlah bahan yang optimal dan

bahan yang diperlukan hanya sedikit yang turut ke dalam pengekstraksi.

Keuntungan etanol 70% antara lain tidak beracun, absorbsinya baik, sulit ditumbuhi

mikroorganisme, efektif dalam menghasilkan jumlah bahan aktif yang optimal

dimana bahan pengotor hanya dalam skala kecil ikut dalam cairan pengekstraksi,

dapat bercampur dengan air pada segala perbandingan dan dapat melarutkan

alkaloid basa, minyak menguap, glikosida, kurkumin, kumarin, antrakinon,

flavonoid,steroid, damar, klorofil, tanin dan saponin (List 2000).

4.2. n-heksana. n-heksana merupakan pelarut non polar berupa cairan yang

jernih, tidak berwarna, dapat bercampur dengan etanol, mudah menguap, mudah

terbakar dan mempunyai bau seperti eter lemah atau bau seperti petrolium, praktis

tidak larut dalam air, larut dalam etanol. n-heksana dapat melarutkan senyawa-
senyawa non polar antara lain minyak atsiri, terpenoid, triterpenoid, sterol, lemak,

dan asam lemak, alkaloid, karotenoid, klorofil dan resin (Depkes 2005).

4.3. Etil asetat. Etil asetat merupakan pelarut semi polar, mudah terbakar

dan menguap, maka penyimpanannya dalam wadah tertutup rapat dan terhindar dari

panas. Etil asetat merupakan suatu cairan jernih, tidak berwarna, bau khas seperti

buah, larut dalam 15 bagian air, dapat bercampur dalam eter, etanol dan kloroform.

Senyawa yang larut dalam pelarut ini adalah flavonoid, alkaloid dan polifenol

(Harbone 2006).

4.4. Air. Air adalah pelarut yang sangat polar digunakan untuk menyari

senyawa-senyawa organik polar sehinga cocok digunakan untuk pelarut polar

dalam proses fraksinasi. Pemekatan yang dapat dilakukan dengan diuapkan dengan

tangas air menggunakan penangas air. Pelarut air dipilih karena air dapat

melarutkan garam alkaloid, minyak menguap, glikosida, tanin, gula, gom, pati,

protein, lender, enzim, lilin, lemak, pektin, zat warna asam organik. Kekurangan

menggunakan air adalah zat aktif yang tersari juga zat lain yang tidak diperlukan

atau bahkan dapat menggunakan proses pembuatan sari seperti gom, pati, protein,

lemak, enzim, lender, dan lain-lain. Air juga merupakan tempat tumbuh bagi

kuman, kapang, dan khamir. Air dapat melarutkan garam, alkaloid, tanin, gula,

gom, pati, protein, lender, enzim, zat warna dan asam organik (Depkes 2005).

D. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan salah satu metode pemisahan

dan alat uji senyawa kimia secara kualitatif dan kuantitatif. Senyawa yang diuji
dapat berupa senywa tunggal maupun campuran dari produk pabrik, hasil sintesis,

isolasi dari hewan percobaan, maupun dari tanaman dan mikroorganisme.

Kromatografi lapis tipis merupakan metode yang mudah penggunaanya, murah dan

selektif walaupun sekarang telah dikembangkan (Soemarno 2001).

Beberapa petunjuk dalam memilih dan mengoptimasi fase gerak yaitu,

pertama fase gerak harus mempunyai kemurnian yang sangat tinggi karena KLT

merupakan teknik yang sensitif. Kedua, daya elusi fase gerak harus diatur

sedemikian rupa sehingga harga Rf terletak antara 0,2 - 0,8 untuk memaksimalkan

pemisahan. Ketiga, untuk pemisahan dengan menggunakan fase diam polar seperti

silika gel, polaritas fase gerak akan menentukan kecepatan migrasi solut yang

berarti juga menentukan nilai Rf. Penambahan pelarut yang bersifat sedikit polar

seperti dietil eter kedalam pelarut non polar seperti metil benzenakan meningkatkan

harga Rf secara signifikan. Keempat, solut-solut ionik dan solut-solut polar lebih

baik digunakan campuran pelarut sebagai fase geraknya, seperti campuran air

dalam metanol dengan perbandingan tertentu. Penambahan sedikit asam etanoat

atau amonia masing-masing akan meningkatkan solut-solut yang bersifat basa dan

asam (Akhyar 2010).

Nilai Rf (Reterdation factor) merupakan parameter karakteristik

kromatografi lapis tipis. Nilai Rf ini didefinisikan sebagai pembanding antara jarak

yang ditempuh senyawa dengan jarak yang ditempuh pelarut pengembang.

jarak yang ditempuh senyawa


Rf =
jarak yang ditempuh pelarut pengembang

Faktor yang dapat mempengaruhi nilai Rf adalah struktur kimia dari

senyawa yang dipisahkan, sifat dari penyerap (adsorben) dan derajat aktifitasnya,
pelarut sebagai fase gerak dan derajat kemurniannya, kejenuhan dari uap dalam

chamber dan jumlah cuplikan yang digunakan (Akhyar 2010).

E. Tinjauan Salmonella typhi

1. Sistematika

Sistematika secara lengkap bakteri Salmonella typhi sebagai berikut :

Kingdom : Bacteria

Filum : Proteobacteria

Ordo : Gamma Proteobacteria

Class : Enterobacteriales

Family : Enterobacteriaceae

Genus : Salmonella

Spesies : Salmonella typhi (Jawetz et al. 2005).

2. Morfologi

Salmonella merupakan bakteri Gram negatif berbentuk batang bergerak

yang khas memfermentasi glukosa dan manosa tanpa membentuk gas tetapi tidak

memfermentasi laktosa dan sukrosa. Salmonella menghasilkan H2S (Jawetz et al.

2005). Isolat Salmonella pada media SSA pada suhu 37o C maka koloni akan

tampak cembung, transparan, bercak hitam di bagian pusat (Nugraha 2012). Bakteri

Salmonella akan mati pada suhu 60o C selama 15 20 menit melalui pasteurisasi,

pendidihan dan khlorinasi (Depkes 2006).


3. Patogenitas dan gejala klinik

Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi menyebabkan infeksi pada

manusia. Sebagian besar bakteri ini bersifat reservoir pada manusia dan patogen

pada hewan. Salmonella masuk melalui mulut bersama makanan dan minuman

yang terkontaminasi. Dosis infeksi penyebab penyakit pada manusia dalam

menimbulkan infeksi klinik sekitar 103 - 108 sel/mL. Faktor inang juga

mempengaruhi jumlah bakteri di dalam tubuh, diantaranya keasaman lambung,

flora normal usus, dan daya tahan usus setempat. Infeksi yang terjadi pada manusia

akibat bakteri Salmonella adalah deman enterik (Demam Tifoid), bakterimia,

enterokolitis (Jawetz et al. 2005).

Salmonella menghasilkan endotoksin yang merupakan kompleks

lipopolisakarida. Kompleks ini dianggap berperan penting pada patogenesis demam

tifoid. Endotoksin bersifat pirogenik serta meningkatkan reaksi peradangan di

tempat bakteri Salmonella berkembang biak. Infeksi terjadi ketika Salmonella

melalui lambung dan mencapai usus dan invasi ke jaringan limfosit yang

merupakan tempat predileksi untuk berkembang biak. Melalui saluran limfe

mesentrik bakteri masuk aliran darah sistemik (bakterimia) pada fase ini disebut

sebagai fase inkubasi terjadi pada 7 14 hari. Setelah itu terjadi hiperpelasia

kemudian nekrosis dan selanjutnya ulserasi hingga membentuk ulkus. Infeksi

terjadi pada organ yang lain diantaranya tulang, usus, paru, ginjal, jantung, empedu

dan organ lain. Bakteri dapat tinggal dalam empedu sehingga bersifat sebagai

penderita karier akibat penyembuhan tidak sempurna (Depkes 2006).


F. Antibakteri

1. Definisi antibakteri

Antibakteri adalah obat atau senyawa kimia yang digunakan untuk

membasmi bakteri, khususnya bakteri yang bersifat merugikan manusia. Beberapa

istilah yang digunakan untuk menjelaskan proses pembunuhan bakteri yaitu

germisid, bakterisida, bakteriostatik, antiseptik, desinfektan. Zat antibakteri dapat

bersifat bakterisidal (membunuh bakteri), bakteriostatik (menghambat

pertumbuhan bakteri), dan germisidal (menghambat germinasi spora bakteri).

Kemampuan suatu zat antimikroba dalam menghambat pertumbuhan bakteri

dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya: 1) konsentrasi zat antimikroba, 2)

jenis, jumlah, umur, dan keadaan mikroba, 3) suhu, 4) waktu, dan 5) sifat-sifat

kimia dan fisik makanan termasuk kadar air, pH, jenis dan jumlah komponen

didalamnya (Agustrina 2011).

Ruang lingkup bakteri yang dapat dipengaruhi oleh zat antibakteri disebut

dengan spektrum antibakteri. Berdasarkan spektrum aksinya, zat antibakteri dibagi

menjadi 3, yaitu : 1) Spektrum luas, zat antibakteri dikatakan berspektrum luas

apabila zat tersebut efektif melawan prokariot, baik membunuh atau menghambat

bakteri Gram positif dan Gram negatif dalam ruang lingkup yang luas. 2) Spektrum

sempit, zat antibakteri yang efektif melawan sebagian bakteri Gram positif atau

Gram negatif. 3) Spektrum terbatas, zat antibakteri yang efektif melawan suatu

spesies bakteri tertentu (Agustrina 2011).

2. Mekanisme kerja zat antibakteri

Mekanisme kerja dari senyawa antibakteri diantaranya yaitu menghambat

sintesis dinding sel bakteri, mengganggu permeabilitas membran sel bakteri,


mengganggu metabolisme mikroba, menghambat sintesis atau merusak asam

nukleat sel bakteri dan menghambat sintesis protein sel bakteri (Jawetz et al. 2005).

2.1. Menghambat sintesis dinding sel bakteri. Pada umumnya dinding

sel bakteri terdiri atas polipeptidoglikan yaitu suatu komplek polimer mukopeptida

(glikopeptida). Struktur dinding sel dapat rusak dengan cara menghambat

pembentukannya atau mengubah setelah terbentuk. Kerusakan dinding sel bakteri

akan menyebabkan terjadinya lisis.

2.2. Mengganggu permeabilitas membran sel bakteri. Sitoplasma semua

sel hidup dibatasi oleh selaput yang disebut membran sel yang mempunyai

permeabilitas selektif, membran ini tersusun atas fosfolipid dan protein. Membran

sel berfungsi untuk mengatur keluar masuknya zat antar sel dengan lingkungan luar,

melakukan pengangkutan zat-zat yang diperlukan aktif dan mengendalikan susunan

dalam diri sel. Proses pengangkutan zat-zat yang diperlukan baik kedalam maupun

keluar sel dimungkinkan karena di dalam membran sel terdapat enzim protein untuk

mensintesis peptidoglikan komponen membran luar. Dengan rusaknya dinding sel,

bakteri secara otomatis akan berpengaruh pada membran sitoplasma, beberapa

bahan antimikroba seperti fenol, kresol, detergen dan beberapa antibiotik dapat

menyebabkan kerusakan pada membran sel, bahan-bahan ini akan menyerang dan

merusak membran sel sehingga fungsi semi permeabilitas membran mengalami

kerusakan. Kerusakan pada membran sel ini akan mengakibatkan terhambatnya sel

atau matinya sel.

2.3. Mengganggu metabolisme mikroba. Mikroba membutuhkan asam

folat untuk kelangsungan hidupnya, bakteri patogen harus mensintesis sendiri asam
folat dari Para Amino Benzoic Acid (PABA) untuk kebutuhan hidupnya.

Antimikroba bila bersaing dengan PABA dalam pembentukan asam folat, maka

terbentuk analog asam folat non fungsional sehingga kebutuhan akan asam folat

tidak terpenuhi dan bisa menyebabkan bakteri mati. Contoh antibakteri yang

bekerja menghambat metabolisme sel bakteri adalah sulfonamida dan trimetoprim.

2.4. Menghambat sintesis atau merusak asam nukleat sel bakteri.

Antibakteri yang memiliki mekanisme kerja ini pada umumnya bersifat toksik

kurang selektif, karena antibakteri ini bersifat sitotoksik yang masih dapat diterima

sebagai antibakteri. Antibakteri yang termasuk dalam golongan ini antara lain asam

nalidiksat dan golongan kuinolon.

2.5. Menghambat sintesis protein sel bakteri. bakteri perlu mensintesis

berbagai protein untuk kelangsungan hidupnya. Sintesis protein berlangsung di

ribosom dengan bantuan mRNA dan tRNA. Salah satu kerja antibakteri adalah

menyebabkan kode pada mRNA salah dibaca oleh tRNA pada waktu sintesis

protein yang abnormal dan fungsional bagi sel mikroba. Antibakteri yang termasuk

dalam golongan ini yaitu aktinomisin, rifampisin, streptomisin, tetrasiklin,

kloramfenikol, eritromisin, klindamisin, dan gentamisin.

3. Media uji antibakteri

Uji senyawa antibakteri adalah untuk mengetahui apakah suatu senyawa uji

dapat menghambat pertumbuhan bakteri dengan mengukur respon pertumbuhan

populasi mikroorganisme terhadap agen antibakteri. Obat yang digunakan untuk

membasmi bakteri penyebab infeksi pada manusia harus memiliki sifat toksisitas
selektif setinggi mungkin, bersifat sangat toksik untuk bakteri, tetapi relatif tidak

toksik untuk hospes (Pratiwi 2008).

3.1. Metode difusi. Metode ini dapat dilakukan dengan menggunakan

cakram (disk) ketas saring, sumuran atau silinder tidak beralas. Metode dengan

sumuran atau silinder, dilakukan dengan memasukkan larutan uji dengan

konsentrasi tertentu ke dalam sumuran. Metode cakram kertas saring berisi

sejumlah obat yang ditempatkan pada permukaan medium padat, medium sebelum

digunakan diolesi bakteri uji. Diameter zona hambat sekitar cakram yang digunakan

untuk mengukur kekuatan hambat obat. Metode difusi agar dipengaruhi oleh faktor

fisika, kimia, aktor antar obat dan organisme (Jawetz et al. 2001).

3.2. Metode dilusi. Metode ini dilakukan untuk menentukan konsentrasi

penghambat terkecil dan juga untuk menetapkan konsentrasi bakterisidal terkecil

dari suatu senyawa antimikroba (Tortora et al. 2007).

Metode ini menggunakan antimikroba dengan kadar yang menurun secara

bertahap pada media cair maupun padat. Media diinokulasikan terhadap bakteri uji,

selanjutnya diinkubasi dan diamati konsentrasi antimikroba yang mampu

menghambat pertumbuhan atau membunuh bakteri uji. Keuntungan metode dilusi

yaitu lebih teliti, untuk mengetahui Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM), lebih

mudah dan praktis serta memungkinkan adanya hasil kualitatif yang menunjukkan

jumlah obat tertentu yang diperlukan untuk menghambat atau membunuh

organisme yang di uji (Jawetz et al. 2007).


4. Media uji

Pembiakan mikroba dalam laboraturium memerlukan medium yang berisi

zat hara serta lingkungan pertumbuhan yangs esuai dengan mikroorganisme. Zat

hara yang digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhan, sintesis sel,

keperluan energi dalam metabolisme dan pergerakan. Lazimnya medium biakan

berisi air, sumber energi, zat hara sebagai sumber karbon, nitrogen,sulfur, fosfat,

oksigen, hidrogen serta unsur-unsur sekelumit. Faktor pertumbuhan berupa asam

amino, vitamin atau nukleotida dapat pula ditambahkan ke dalam bahan dasar

medium (Waluyo 2004).

Konsistensi media dapat dibuat bermacam-macam berdasarkan pada

keperluannya. Terdapat tiga bentuk media yaitu media cair, padat, dan setengah

padat. Medai cair (liquid media) dapat digunakan pembiakan organisme dalam

jumlah besar, fermentasi dan berbagai uji. Media padat (solid media) digunakan

untuk mengamati bentuk dan morfologi koloni serta mengisolasi biakan murni.

Media setengah padat (semisolid media) digunakan untuk menguji ada atau

tidaknya motilitas dan kemampuan fermentasi (Sriyanti dan Wijayani 2008).

5. Sterilisasi

Hampir semua media pada tindakan yang dilakukan dalam diagnose

mikrobiologis, sterilitas sangat diutamakan baik alat-alat yang dipakai maupun

medianya. Alat atau bahan dikatakan steril bila bahan atau alat tersebut bebas dari

mikroba, baik dalam bentuk vegetatif maupun bentuk spora. Tindakan untuk

membebaskan alat atau media dari jasad renik disebut dengan sterilisasi. Terdapat

berbagai cara sterilisasi yang dikenal dan pemilihan cara sterilisasi tergantung
daribahan atau alat yang akan disterilisasi. Cara sterilisasi tersebut adalah dengan

pemanasan, filtrasi, penyinaran dengan menggunakan sinar gelombang pendek

(radiasi) atau dengan cara khemis (Widyarto 2009).

Cara sterilisasi yang umum dilakukan meliputi sterilisasi secara fisik yaitu

pemanasan basah dan kering, penggunaan sinar bergelombang pendek seperti sinar-

X, sinar , sinar gamma dan sinar UV.Sterilisasi secara kimia yaitu penggunaan

desinfektan, larutan alkohol, larutan formalin. Sterilisasi secara mekanik yaitu

penggunaan saringan atau filter untuk bahan yang akan mengalami perubahan atau

penguraian akibat pemanasan tinggi atau tekanan tinggi (Dalimarta 2008).

6. Kontrol pembanding

Antibiotik yang digunakan sebagai pembanding pada penelitian ini adalah

ciprofloxacin. Ciprofloxacin merupakan antibiotik golongan fluoroquinolone yang

bersifat bakterisidal, berspektrum luas dan efektif terhadap beberapa bakteri Gram

positif dan Gram negatif yang patogenik. Bakteri Gram negatif patogenik yang

sensitif terhadap siprofloksasin antara lain Salmonella typhi, Enterobacteriaceae,

Pseudomonas aeruginosa dan spesies Haemophilus. Ciprofloxacin memiliki kerja

dengan menghambat DNA-girase pada organisme yang sensitif, menghambat

relaksasi superkoloid DNA dan memicu kerusakan untai gandai DNA pada

mikroorganisme (Maddix 2012).

Ciprofloxacin merupakan terapi yang efektif untuk demam tifoid yang

disebabkan isolat tidak resisten terhadap golongan fluoroquinolone dengan angka

kesembuhan klinis sebesar 98%, waktu penurunan demam 4 hari, dan angka

kekambuhan dan fecal karier kurang dari 2%. Fluoroquinolone memiliki penetrasi
ke jaringan yang sangat baik, dapat membunuh Salmonella typhi intraseluler di

dalam monosit / makrofag, serta mencapai kadar yang tinggi dalam kandung

empedu dibandingkan antibiotik lain (Nelwan 2012).

G. Landasan Teori

Demam tifoid adalah demam yang disebabkan oleh bakteri gram negatif

Salmonella typhi yang hanya ditemukan pada manusia, menyerang baik pada anak

- anak ataupun dewasa segala usia, serta dipengaruhi ras maupun gender. Gejala

yang ditimbulkan berupa gejala ringan sampai berat, seperti demam, sakit perut,

leukositosis, sembelit, pembesaran limfa, dan diare. Penderita dapat kehilangan

nafsu makan, ruam pada wajah, dan bintik-bintik merah (Radji & Biomed 2010).

Demam tifoid dapat dicegah dan biasanya dapat diobati dengan antibiotik

(Ochiai et al 2008). Pemberian antibiotik empiris yang tepat pada pasien demam

tifoid sangat penting, untuk mencegah komplikasi dan untuk menguragi kematian.

Kloramfenikol, ampisillin, dan kotrimoksazol merupakan antibiotik klinik pertama

yang telah dipakai selama puluhan tahun sampai timbulnya resistensi yang disebut

Multidrug Resistant Salmonella Typhi (MDRST) (Sidabutar et al 2010).

Tanaman kenikir mengandung flavonoid, saponin, alkaloid dan tanin (Rasdi

dkk, 2010). Senyawa flavonoid berfungsi sebagai antibakteri dengan cara

membentuk senyawa kompleks terhadap protein ekstraseluler yang mengganggu

integritas membran sel bakteri (Dewanti & Wahyudi 2011). Saponin merupakan

senyawa antibakteri karena memiliki kemampuan dalam menghambat fungsi

membran sel sehingga merusak permeabilitas membran yang mengakibatkan


dinding sel rusak atau hancur (Chapagain & Wiesman 2005). Mekanisme alkaloid

sebagai antibakteri dengan cara menganggu komponen penyusun peptidoglikan

pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan

menyebabkan kematian sel tersebut. (Juliantina et al. 2008). Tanin merupakan

senyawa fenol berfungsi untuk menghambat pertumbuhan bakteri dengan

memunculkan denaturasi protein dan menurunkan tegangan permukaan (Sudirman

2014).

Metode ekstraksi yang digunakan adalah metode maserasi dan dilanjutkan

dengan fraksinasi. Metode maserasi dapat dilakukan dengan cara memasukkan 10

bagian simplisia dengan derajat halus yang cocok, dimasukkan dalam bejana lalu

dituangi dengan 75 bagian cairan penyari, ditutup dan dibiarkan selama 5 hari

terlindung dari cahaya sambil berulang - ulang diaduk, sari kemudian diencerkan

dan ampas diperas. Ampas dicuci dengan cairan penyari secukupnya hingga

diperoleh 100 bagian (Depkes 2000). Fraksinansi adalah prosedur pemisahan yang

bertujuan memisahkan kandungan golongan utama yang satu dengan golongan

utama yang lain berdasarkan perbedaan kepolaran dalam suatu tanaman. Pemisahan

jumlah dan jenisnya menjadi fraksi yang berbeda, mula-mula ekstrak kental

difraksinasi berturut - turut dengan larutan penyari yang berbeda - beda polaritasnya

(Harbone 2006).

Pelarut yang digunakan dalam penelitian ini adalah etanol 70%, n-heksan, etil

asetat dan air. Etanol 70% adalah bahan pelarut dengan campuran etanol dengan air.

Keuntungan etanol 70% antara lain tidak beracun, absorbsinya baik, sulit ditumbuhi

mikroorganisme, efektif dalam menghasilkan jumlah bahan aktif yang optimal


dimana bahan pengotor hanya dalam skala kecil ikut dalam cairan pengekstraksi,

dapat bercampur dengan air pada segala perbandingan dan dapat melarutkan

alkaloid basa, minyak menguap, glikosida, kurkumin, kumarin, antrakinon,

flavonoid,steroid, damar, klorofil, tanin dan saponin (List 2000). n-heksana dapat

melarutkan senyawa-senyawa non polar antara lain minyak atsiri, terpenoid,

triterpenoid, sterol, lemak, dan asam lemak, alkaloid, karotenoid, klorofil dan resin

(Depkes 2005). Etil asetat merupakan suatu cairan jernih, tidak berwarna, bau khas

seperti buah, larut dalam 15 bagian air, dapat bercampur dalam eter, etanol dan

kloroform. Senyawa yang larut dalam pelarut ini adalah flavonoid, alkaloid dan

polifenol (Harbone 2006). Air adalah pelarut yang sangat polar digunakan untuk

menyari senyawa-senyawa organik polar sehinga cocok digunakan untuk pelarut

polar dalam proses fraksinasi. Air dapat melarutkan garam, alkaloid, tanin, gula,

gom, pati, protein, lender, enzim, zat warna dan asam organik (Depkes 2005).

Penelitian dari (Putri 2010) menyatakan bahwa ekstrak daun kenikir

(Cosmos caudatus Kunth.) mempunyai aktivitas sebagai antibakteri. Variasi

konsentrasi yang digunakan adalah 10 mg/ml, 15 mg/ml, 20 mg/ml, 25 mg/ml dan

30 mg/ml. Konsentrasi 30 mg/ml merupakan dosis yang paling efektif sebagai

antibakteri terhadap Salmonella typhi ATCC ATCC 13311 dengan zona hambat

24,2 0,8 mm.

Pengukuran aktivitas antibakteri dilakukan dengan metode dilusi.

Keuntungan metode dilusi yaitu lebih teliti, untuk mengetahui Konsentrasi Bunuh

Minimum (KBM), lebih mudah dan praktis serta memungkinkan adanya hasil
kualitatif yang menunjukkan jumlah obat tertentu yang diperlukan untuk

menghambat atau membunuh organisme yang di uji (Jawetz et al. 2007).

H. Hipotesis

Berdasarkan landasan teori, maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut :

Pertama, hasil ekstrak etanol, fraksi n-heksan, fraksi etil asetat dan fraksi air

daun kenikir mempunyai aktivitas antibakteri terhadap Salmonella typhi ATCC

13311.

Kedua, dapat menentukan nilai KBM (Konsentrasi Bunuh Minimum)

ekstrak etanol, fraksi n-heksan, fraksi etil asetat dan fraksi air dari daun kenikir

terhadap Salmonella typhi ATCC 13311.

Ketiga, fraksi etil asetat dari ekstrak daun kenikir (Cosmos caudatus

Kunth.), mempunyai pengaruh antibakteri yang lebih efektif terhadap bakteri uji

Salmonella typhi ATCC 13311.


DAFTAR PUSTAKA

Agustrina G. 2011. Potensi Propolis Lebah Madu Apis Mellifera Spp Sebagai Bahan
Antibakteri. Departemen Biokimia Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan
Alam Institut Pertanian Bogor: 1-2, 5-7.
Akhyar. 2010. Uji Daya Hambat dan Analisis KLT Bioautografi Ekstrak Akar dan Daun
Buah Bakau (Rhizophora stylosa Griff.) terhadap Vibrio harveyi,[skripsi]
Universitas Hasanudin, Makasar.
Alamsyah, N. A. 2006. Takhlukkan Penyakit dengan Teh Hijau. Jakarta : Penerbit
Agrimedia Pustaka.
Batari, R. 2007. Identifikasi Senyawa Flavonoid Pada Sayuran Indigenous Jawa Barat.
Naskah Skripsi-S1. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Blanco, J.A. and Upton, D., 2009, Codeigniter 1.7, Packt Publishing, Birmingham.
Chapagain, B.P., dan Wiesman, Z., (2005), Larvicidal Activity of the Fruit Mesocarp
Extract of Balanites aegyptiaca and its Saponin Fractions against Aedes aegypti,
Dengue Bulletin , 29.
Dalimartha S. 2008. Ensiklopedia Tanaman Obat Indonesia. Jakarta: Penebar Swadaya.
hlm 431-432.
Depkes RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta :
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. hlm 3-11.
Depkes RI. 2005. Materia Medika Indonesia. Jilid III. Jakarta : Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. hlm 301-304.
Dewanti, S., Wahyudi, M.T., 2011, Antibacteri Activity of Bay Leaf Infuse (Folia
Syzygium polyanthum WIGHT) to Escherichia coli IN VITRO, J. Med Planta, 1 (4):
78-81.
Fuzzati, N., Sutarjadi, Dyatmiko, W., Rahman, A., and Hostettmann, K., 1995,
Phenylpropane derivatives from roots of Cosmos caudatus, Phytochemistry, vol.
39:2, 409-412.
Harborne J.B, 2006. Metode Fitokimia Penuntunan dan Cara Modern Menganalisa
Tumbuhan, Edisi III, Penerbit ITB, Bandung.
Harborne J.B, 2006. Metode Fitokimia Penuntunan dan Cara Modern Menganalisa
Tumbuhan, Edisi III, Penerbit ITB, Bandung.
Hariana, A. 2008. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya. Cetakan Kelima. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Hariana, A. 2013. 262 Tumbuhan Obat dan Khasiatnya. Cetakan pertama. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Hassan, WE 2006, Healing herbs of Malaysia Kuala Lumpur: Federal Land,
Development Agency.
Hayati E. K., Jannah A., dan Mukhlisoh W., 2010, Pengaruh Ekstrak Tunggal dan
Gabungan Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi Linn) Terhadap Efektivitas
Antibakteri Secara In Vitro, Kimia, UIN Malang, Malang.
Jawetz, E., Melnick.,J.L., Adelberg, E.A., 2005, Mikrobiologi Untuk Profesi Kesehatan,
Diterjemahkan Oleh Bonang G., Edisi XXIV, ECG., Penerbit Universitas
Indonesia, Jakarta.
Jawetz, E., Melnick.,J.L., Adelberg, E.A., 2007, Mikrobiologi Untuk Profesi Kesehatan,
Diterjemahkan Oleh Bonang G., Edisi XXV, ECG., Penerbit Universitas Indonesia,
Jakarta.

Jawetz, et al. 2001. Mikrobiologi Kedokteran. Surabaya: Salemba Medical.


Jayanegara, A; Sofyan A. 2008. Penentuan aktivitas biologis Tanin beberapa Hijauan
secara In vitro menggunakan Hohenheim Gas Test dengan Polietilenglikos secara
Determinan. Jurnal Media Peternakan. 31: 44-52.
Judd, Campbell, Kellogg, and Stevens, 1999. Plant Systematics. USA: Sinauer Associates
Inc.
Juliantina F., Dewa A. C. M., Bunga N., Titis N., Endrawati T. B., 2008. Manfaat Sirih
Merah (Piper crocatum) Sebagai Agen Anti Bakterial terhadap Bakteri Gram Positif
dan Gram Negatif. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Indonesia. 60:58-62.
Katzung, B. G., 2004, Farmakologi: Dasar dan Klinik, Edisi Pertama, 170, Jakarta,
Salemba Medika.
Kays, S.J. 2011. Postharvest Physiology of Perishable Plant Product. Van Nostrand
Reinhold. New York.
List P. H., P. C.Schmidt. 2000. Phytopharmaceuticals Technology. Alih bahasa David
Ellaby. Florida: CRC Press. Hal. 67. 71. 73. 107-111.

Nugraha, A., I. B. N. Swacita, dan K. P. G. Tono. 2012. Deteksi Bakteri Salmonella sppdan
Pengujian Kualitas Telur Ayam Buras. Indonesia Medicus Veterinus 2012 1(3) :
320 329.
Ochiai LR. 2008. A Study of Typhoid Fever in Five Asian Countries: Disease Burden and
Implications for Controls. Bulletin of the World Health Organization.
Peterson, L.R., 2005, Squeezing The Antibiotic Balloon: The Impact of Antimicrobial
Classes on Emerging Resistance, Evanston Northwestern Healthcare, The Feinberg
School of Medicine at North western University, USA.
Praeparandi. 2006. Card System Analisa Kimia Farmasi Kualitatif. Bandung : Seksi Diktat
Stenhl. Hlm 9.
Pramono, S. 2005. Penanganan Pasca Panen dan Pengaruhnya terhadap Efek Terapi Obat
Alami. Dlm Seminar Nasional Tumbuhan Obat Indonesia XXVIII. Balai Penelitian
Tanaman Rempah & Obat Bogor. 15 16 September 2006.
Prastowo, Eko Andri. 2013. Standarisasi Simplisia. Surabaya : Universitas Airlangga.
Pratiwi S. I., 2008. Mikrobiologi Farmasi. Penerbit Erlangga: Jakarta. hlm 203-205.
Putri, Dayu Nirwana. 2010. Uji Aktifitas Antibakteri Ekstrak Metanol Daun Kenikir
(Cosmos caudatus Kunth.) terhadap bakteri Salmonella typhi. Journal of
Biodiversitas. Volume 8.

Radji dan Biomed.2010. Buku Ajar Mikrobiologi Panduan Mahasiswa Farmasi dan
Kedokteran. Jakarta: ECG. hlm 130-136.

Rasdi NHM, Samah OA, Sule A & Ahmed QU, 2010. Antimicrobial Studies of Cosmos
caudatus Kunth. (Compositae). Journal of Medicinal Plants Research, 4(8): 669-
673.

Sidabutar, S., & Satari, H.I., 2010, Pilihan Terapi Empiris Demam Tifoid pada Anak,
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UI, Jakarta, 11, 6, 434-9.

Simpson, M.G. 2006. Plant Systematics. USA: Elsevier Academic Press.

Soemarno, 2001, Kromatografi Teori Dasar, Fakultas Farmasi UGM, Yogyakarta.


Sriyanti, D. P. dan A Wijayani. 2008. Teknik Kultur Jaringan. Yogyakarta: Kanisius.

Sudirman, S., 2014, Aktivitas Antioksidan dan Komponen Bioaktif Kangkung Air (Ipomoea
aquatica Forsk.), Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Bogor, (Skripsi).
Suriawiria U. 2005. Mikrobiologi Dasar. Jakarta : Papas Sinar Sinanti. hlm 47.

Tjay TH, Rahardja K. 2002. Obat-Obat Penting. Edisi Kelima. Jakarta : PT. Elex Media
Komputindo.
Tortora, G.J., Derrickson, B., 2012. Principles of Anatomy and Physiology. 13th ed. USA:
John Wiley & Sons.
Waluyo L. 2008. Teknik dan Metode Dasar dalam Mikrobiologi. Universitas
Muhammadiyah Malang Press. Malang.
Widyarto. 2009. Skripsi. Uji Aktivitas Antibakteri Minyak Atsiri Daun Jeruk Keprok
(Citrus nobilis Lour) Terhadap Staphylococcus aureus Dan Escherichia coli.
Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Anda mungkin juga menyukai