Anda di halaman 1dari 10

4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Umum Tanaman Malaka


2.1.1. Klasifikasi Malaka

Gambar 2.1 Tanaman Malaka (Phyllanthus emblica L.)


Adapun klasifikasi dari tumbuhan malaka (Phyllanthus emblica L.)
sebagai berikut :
Kingdom : Plantae – Tumbuhan
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Malpighialeat
Famili : Phyllanthae
Genus : Phyllanthus
Species : Phyllanthus emblica L. (Sangh, E. 2011).
Sinonim nama daerah dan nama asing
Sinonim : Malaka
Nama Daerah : Balaka ( Minangkabau)
Malaka (Sunda dan Betawi)
Kemloka (Jawa)
Malakah (Madura)
Nama Asing : Amlaf (Arab)
Amaliki (Ayurveda)
Emblic, Mybalan Tree (Inggris)

2.1.2. Deskripsi Malaka


Pohon meranggas, tinggi mencapai 25 m (umumnya 7,5 m) dengan
garis tengah batang 35 cm. Kulit batang tipis dan halus, abu, dengan
banyak kuncup-kuncup tunas ranting. Daun berderet dua pada tepi-tepi
ranting dan mereduksi pada cabang utama. Anak daun lonjong menyempit,
pangkal agak menjantung dan miring, ujung bertusuk, agak duduk, lokos.
Bunga fasikulus pada sumbu daun, uniseksual, bunga jantan sangat banyak
pada bagian pangkal ranting muda, bunga betina soliter dan memanjang
5

pada ranting. Buah bulat, hijau muda dan berubah kuning jika masak,
mengandung 2 biji. Biji berbentuk segitiga dan berwarna coklat (Holthoon,
2011).
2.1.3. Habitat Malaka
Habitat malaka umumnya tumbuh di daerah yang terbuka terutama
di padang rumput, hutan belukar. Di Jawa, pohon ini dapat ditemukan
tumbuh di hutan jati. Di Semenanjung Malaysia tumbuh di hutan dataran
rendah. Pohon malaka dapat tumbuh mulai dari daerah dekat pantai sampai
pada ketinggian 1500 mdpl dan toleran terhadap tanah alkalin. Pohon ini
tahan api (tidak mudah terbakar) dan merupakan pohon pionir/tumbuh
pertama setelah terjadi kebakaran hutan ( Holthoon,2011).
2.1.4. Kandungan Kimia
Daun malaka diketahui mengandung senyawa metabolit sekunder
diantaranya senyawa tanin, kuersetin, asam galat, flavonoid, pektin,
saponin dan buahnya mengandung vitamin C juga mengandung berbagai
senyawa polifenol, selain itu daun, akar kayu kaya akan tanin, dimana
memiliki kandungan asam elagik dan lupeol (Kim et al., 2005; Arora et al.,
2003).
2.1.5. Manfaat dan Kegunaan Malaka
Manfaat tumbuhan buah yang masak dapat dimakan tetapi rasanya
asam dan kelat. Biasanya buah malaka dibuat manisan, sirup dan jeli.
Sedang buah mudanya digunakan sebagai bahan pewarna. Demikian pula
kulit batang, daun dan rantingnya juga merupakan bahan pewarna.
Kayunya tahan terhadap air dan dapat digunakan sebagai bahan bangunan
dan bagus juga untuk dibuat arang. Di samping itu buah, daun, kulit batang
dan akarnya sering pula digunakan untuk bahan obat-obatan lokal
(Holthoon, 2011).
Di Negara India tumbuhan malaka telah digunakan sebagai
tumbuhan berharga untuk obat-obatan, seperti obat cuci perut. Buah hijau
yang dibuat menjadi acar untuk mempertahankan dan merangsang nafsu
makan. Sebagai antibakteri, antijamur, antidiare dan antivirus. Penelitian
medis yang telah dilakukan, buah malaka memiliki sifat antivirus dan
berfungsi sebagai antibakteri dan antijamur.

2.2. Tinjauan Farmakologi


6

2.2.1. Sitotoksik
Syarat yang harus dipenuhi sebelum memanfaatkan suatu tanaman
sebagai bahan baku obat, untuk sediaan obat herbal terstandar dan
fitofarmaka adalah uji sitotoksik. Salah satunya adalah uji pendahuluan
sitotoksik metode BSLT dengan menggunakan larva udang. Metode BSLT
merupakan suatu pengujian ketoksikan dan merupakan uji aktivitas biologi
pendahuluan yang dapat digunakan untuk pengujian ekstrak, fraksi, atau
senyawa murni dengan menggunakan Artemia salina Ekstrak dinyatakan
toksik karena mempunyai efek sitotoksik apabila memiliki nilai LC50 lebih
kecil dari 1000 μg/ml. Sedangkan senyawa murni dikatakan toksik karena
mempunyai efek sitotoksik apabila nilai LC50 lebih kecil dari 30μg/ml
(BPOM, 2000; Meyer et al., 1982).
Toksisitas berasal dari bahasa latin toxicum yang berarti racun.
Istilah toksik dapat diartikan berbahaya bagi makhluk hidup. Suatu racun
atau senyawa toksik adalah senyawa kimia yang dapat menimbulkan efek
kerusakan pada organisme hidup. Akibat kerusakan tersebut dapat terjadi
perubahan struktur komponen atau fungsi yang mengakibatkan sakit atau
bahkan kematian. Suatu prinsip yang penting adalah bahwa suatu senyawa
kimia dapat bersifat toksik bila diberikan pada dosis dan penyebaran
tertentu (Gossel dan Bricker, 1990).
Uji toksisitas merupakan uji hayati yang berguna untuk
menentukan tingkat toksisitas dari suatu zat atau bahan pencemar. Suatu
senyawa kimia dikatakan bersifat racun akut jika senyawa tersebut dapat
menimbulkan efek racun dalam jangka waktu singkat, dalam hal ini 24
jam sedangkan jika senyawa tersebut baru menimbulkan efek dalam
jangka waktu yang panjang, disebut racun kronis (karena kontak yang
berulang-ulang walaupun dalam jumlah yang sedikit). LC50 (median Lethal
Concentration) yaitu konsentrasi yang menyebabkan kematian sebanyak
50% dari organisme uji yang dapat diestimasi dengan grafik dan
perhitungan pada suatu waktu pengamatan tertentu (Dhahiyat dan
Djuangsih, 1997).
7

Dengan adanya kenyataan bahwa beberapa zat kimia akan


menimbulkan kematian dalam dosis microgram maka zat kimia seperti itu
biasanya dianggap sangat toksik (beracun). Penggolongan toksisitas
didasarkan atas besarnya jumlah zat kimia yang diperlukan untuk
menimbulkan bahaya.

Tabel 2.1 Klasifikasi Tingkat Toksisitas Berdasarkan Nilai LC50

Konsentrasi membunuh 50% larva Kategori


Sangat tinggi 1-10 µg/mL
Sedang 10-100 µg/mL
Rendah 100-1000 µg/mL
2.3. Metode Ekstraksi
Ekstraksi adalah proses penarikan komponen atau zat aktif suatu simplisia
dengan menggunakan pelarut tertentu. Di samping itu, ekstraksi merupakan
proses penarikan senyawa kimia dari suatu bahan dengan metode yang sesuai.
Prinsip ekstraksi adalah melarutkan senyawa polar dalam pelarut polar dan
senyawa non polar dalam pelarut non polar (Agoes, 2007).
Metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor seperti sifat dari
bahan obat, daya penyesuaian dengan tiap macam metode ekstraksi dan
kepentingan dalam memperoleh ekstrak yang sempurna atau mendekati sempurna.
Ada beberapa metode ekstraksi yaitu maserasi, perkolasi, refluks, soxhlet, digesti,
infundasi, dan dekoktasi (Ditjen POM, 2000).
2.3.1. Ekstraksi Cara Dingin
A. Maserasi
Maserasi merupakan proses pengekstrakan simplisia dengan
menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau
pengadukan pada temperatur kamar. Keuntungan cara penyarian
dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan
sederhana. Kerugian cara maserasi adalah pengerjaan yang lama dan
penyariannya kurang sempurna. Pada penyarian dengan cara maserasi,
perlu dilakukan pengadukan untuk meratakan konsentrasi larutan di
luar butir serbuk simplisia (Ditjen POM, 2000).
B. Perkolasi
8

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai


sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses
terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap
perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus
sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan
(Ditjen POM, 2000).
2.3.2. Ekstraksi Cara Panas
A. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya
selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan
dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan
proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk
proses ekstraksi sempurna (Ditjen POM, 2000).
B. Sokhlet
Metode soxhlet adalah ekstraksi cara panas, yang dalam prosesnya
menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan
dengan alat khusus (alat soxhlet), sehingga terjadi ekstraksi
berkesinambungan dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan
adanya pendingin balik (Ditjen POM, 2000).
C. Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik dengan pengadukan kontinyu pada
temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara
umum dilakukan pada temperatur 40-50°C (Ditjen POM, 2000).
D. Infus
Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air
(bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur
terukur 96-98 °C) selama 15 menit (Ditjen POM, 2000).
E. Dekok
Dekok adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas
air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur
sampai titik didih air, yakni 30 menit pada suhu 90-100 oC (Ditjen
POM, 2000).

2.4. Brine Shrimp Lethality Test


9

Brine Shimp Lethality Test (BSLT) merupakan salah satu metode untuk
menguji bahan – bahan yang bersifat sitotoksik dalam ekstrak tanaman aktif
(Meyer, 1982; McLaughlin, 1990). Metode uji sitotoksik ini sering digunakan
untuk penapisan awal terhadap senyawa aktif yang terkandung dalam suatu
ekstrak. Keuntungan metode BSLT adalah waktu pelaksanaan cepat, tidak
memerlukan perawatan khusus, tidak memerlukan serum hewan, hasil uji
berkolerasi baik dengan beberapa metode uji toksisitas (meyer,1982; McLaughlin,
1990). Sifat sitotoksik diketahui berdasarkan jumlah kematian larva. Suatu ekstrak
dinyatakan bersifat toksik terhadap Artemia salina apabila mempunyai harga LC50
(konsentrasi mematikan 50% larva udang) kurang dari 1000 µg/mL setelah waktu
kontak selama 24 jam. Prinsip metode BSLT ini adalah mencari hubungan antara
konsentrasi ekstrak, atau komponen murni dengan kematian larva Artemia salina
(nauplii) (Meyer, 1982; McLaughlin, 1990)
Metode ini digunakan dalam usaha mengisolasi senyawa toksik dari
ekstrak. Pertama kali metode ini dipergunakan untuk menentukan keberadaan
residu insektisida seperti DDT, parathion, dieldrin dan menentukan potensi
senyawa anestesi. Uji sitotoksik menggunakan metode BSLT sering dianalogikan
dengan kemampuan suatu bahan obat yang memiliki efek anti kanker. Metode ini
disarankan untuk digunakan pada skrining senyawa bioaktif bahan alam karena
menunjukan adanya kolerasi dengan metode sitotoksik in vitro yang lainnya.
Prinsip metode BSLT adalah sifat toksik senyawa bioaktif dari tanaman
pada dosis tinggi. Senyawa yang memiliki bioaktivitas selalu toksik pada dosis
tinggi. Maka secara sederhana dapat diartikan bahwa efek toksik adalah efek
farmakologi pada dosis tinggi. Dari pengertian tersebut, maka kematian hewan
sederhana seperti larva Artemia salina secara in vitro dapat digunakan sebagai
suatu alat pemantauan yang tepat untuk proses skrining dan fraksinasi pada
penelitian bioaktif baru dari sumber alam. Prinsip dari uji BSLT ini adalah
mencari hubungan antara konsentrasi ekstrak, fraksi ekstrak, atau komponen
murni dengan kematian Artemia salina (Meyer, 1982).

2.5. Larva Udang (Artemia Salina Leach)


10

Artemia salina atau sering disebut Brine shrimp adalah sejenis udang
primitif yang sudah dikenal cukup lama dan oleh Linnaeus pada tahun 1778 yang
diberi nama Cancer salinus, kemudian oleh Leach diubah menjadi Artemia salina
pada tahun 1819. Artemia salina hewan ini hidup planktonik di perairan yang
berkadar garam tinggi. Suhu yang berkisar antara 25-30 0C, oksigen terlarut
sekitar 3 mg/L, dan pH antara 7,3–8,4. Sebagai plankton, Artemia salina tidak
dapat mempertahankan diri terhadap musuhnya, karena tidak mempunyai cara
maupun alat untuk mempertahankan diri. Satu-satunya kondisi yang
menguntungkan dari alam adalah lingkungan hidup yang berkadar garam tinggi,
karena pada kondisi tersebut pemangsa pada umumnya sudah tidak dapat hidup
lagi. Artemia salina Leach merupakan salah satu komponen penyusun ekosistem
laut yang keberadaan sangat penting untuk perputaran energi dalam rantai
makanan, selain itu Artemia salina juga dapat digunakan dalam uji laboratorium
untuk mendeteksi toksisitas suatu senyawa dari ekstrak tumbuhan (Kanwar, 2007;
Mudjiman, 1995).

Gambar 2.2. Artemia salina Leach, bentuk nauplii


2.5.1. Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Philum : Arthropoda
Kelas : Crustacea
Sub kelas : Branchiopoda
Ordo : Anostraca
Famili : Artemiidae
Genus : Artemia
11

Spesies : Artemia salina Leach.


(Emslie, 2003; Mudjiman, 1995; Sambali, 1990).
2.5.2. Morfologi
Artemia salina diperdagangkan dalam bentuk telur istirahat yang
dinamakan kista. Kista ini merupakan bentuk bulatan-bulatan kecil kelabu
kecoklatan dengan diameter berkisar 200-300 µm. Kista berkualitas baik
apabila diinkubasi dalam air berkadar garam 5-70 mg/L akan menetes
sekitar 18-24 jam. Artemia salina yang baru menetas disebut nauplii,
berwarna orange, berbentuk bulat lonjong dengan panjang sekitar 400 µm,
lebar 170 µm dan berat 0,002 mg. Nauplii mengalami perkembangan dan
perubahan morfologis dengan 15 kali pergantian kulit sehingga menjadi
dewasa. Pada setiap pergantian kulit disebut instar (Meyer, 1982;
McLaughlin, 1990).
Ada beberapa tahap penetesan Artemia Salina yaitu tahap hidrasi,
tahap pecah cangkung atau tahap pengeluaran,. Tahap hidrasi terjadi
penyerapan air sehingga kista yang dilewatkan dalam bentuk kering
tersebut akan menjadi bulat dan aktif bermetabolisme. Tahap selanjutnya
adalah tahap pecah cangkung dan disusul dengan tahap paying yang terjadi
beberapa saat sebelum nauplii keluar dari cangkang (Meyer, 1982;
McLaughlin, 1990). Artemia salina dewasa biasanya berukuran panjang 1-
2 cm yang ditandai adanya tangkai mata yang jelas terlihat pada kedua sisi
bagian kepala antena sebagai alat sensor, saluran pencernaan yang terlihat
jelas dan 11 pasang thorakopoda. Pada Artenia salina jantan, antena
berubah menjadi alat penjepit, sepasang penis terdapat pada bagian
belakang tubuh, sedangkan pada Artenia salina betina antena mengalami
penyusutan. Sepasang induk telur atau ovum terdapat dikedua sisi saluran
pencernaan, dibelakang thorakopoda. (Meyer, 1982; McLaughlin, 1990).
2.5.3. Lingkungan Hidup
Artemia salina hidup planktonik di perairan berkadar garam tinggi
15-30 mg/L, suhu yang di kehendaki berkisar 25 oC-30 oC, oksigen terlarut
sekitar 3 mg/L dan pH antara 7.3-8.4. Artemia salina tidak dapat
mempertahankan diri dari pemangsa karena tidak mempunyai alat atau
cara membela diri, salah satu cara untuk menghindarkan diri dari
pemangsa adalah dengan berpindah ke kondisi alam yang lingkungan
12

hidup berkadar garam tinggi. Pada umumnya pemangsa tidak dapat hidup
lagi pada kondisi itu (Meyer, 1982; McLaughlin, 1990). Makanan Artemia
salina terdiri atas genggang renik, bakteri cendawan. Dalam pemeliharaan
makanan yang diberikan adalah katul padi, tepung terigu, tepung kedelai
dan ragi (Meyer, 1982; McLaughlin, 1990).
2.5.4. Penetasan Telur Artemia Salina
Telur yang siap menetas berwarna coklat keabu-abuan. Untuk
media penetasan dapat digunakan air laut biasa (kadar garam ±30 mg/L).
Tapi untuk hasil penetasan yang lebih baik, kita perlu menggunakan air
yang berkadar garam 5 mg/L. Ini dapat dibuat dengan mengencerkan air
laut dengan air tawar. Sebelum diteteskan telur-telur tersebut dicuci
terlebih dahulu, yakni dengan merendam dengan air tawar selama 1 jam,
baru kemudian dimasukan dalam wadah penetesan. Suhu air yang baik
selama proses penetasan adalah antara 25–30oC. Sedangkan kadar
oksigennya harus lebih dari 3 mg/L. Untuk merangsang proses
penetasannya perlu disinari dengan lampu yang dipasang disamping
wadah. Dalam waktu 24-36 jam setelah pemasukan telur, biasanya telur-
telur tersebut sudah menetas menjadi Artemia salina yang disebut nauplii
(Meyer, 1982; McLaughlin, 1990).
2.5.5. Perkembangan Hidup
Perkembangbiakannya yaitu jenis biseksual dan partenogenesis.
Keduannya dapat terjadi ovovivipar atau ovipar. Pada ovovivipar keluar
dari induknya sudah berupa anak yang dinamakan nauplii, sedangkan pada
ovipar anak yang keluar dari induknya berupa telur, bercangkang tebal
dinamakan siste. Perkembangbiakan jenis biseksual harus melalui proses
perkawinan antara induk jantan dan induk betina. Pada jenis
partenogenesis tidak ada perkawinan karena memang tidak ada jantannya,
jadi betina akan beranak dengan sendirinya tanpa perkawinan (Meyer,
1982; McLaughlin, 1990).
Siklus hidup Artemia salina Leach. Dapat dilihat pada Gambar 2.3
berikut
13

Gambar 2.3 Siklus hidup Artemia salina L. (Vos et.al., 1980)

2.5.6. Penggunaan Artemia Salina dalam Penelitian


Suatu metode uji hayati yang tepat dan murah untuk skrining
dalam menetukan toksisitas suatu ekstrak tanaman aktif dengan
menggunakan hewan uji Artemia salina sebelumnya telah digunakan
dalam bermacam-macam uji hayati seperti uji peptisisda, polutan,
mikotoksin, anestesik, komponen seperti morfin, karsigonik dan
ketoksikan dalam air laut. Uji dengan organisme ini sesuai untuk aktifitas
farmakologi dalam ekstrak tanaman bersifat toksik. Penelitian
menggunakan Artemia salina telah digunakan oleh Universitas purdue di
Lafayette. Namun demikian hubungan yang signifikan dari sampel yang
bersifat toksik terhadap larva Artemia salina dapat digunakan uji toksisitas
(Meyer, 1982; McLaughlin, 1990).

Anda mungkin juga menyukai