BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
pada ranting. Buah bulat, hijau muda dan berubah kuning jika masak,
mengandung 2 biji. Biji berbentuk segitiga dan berwarna coklat (Holthoon,
2011).
2.1.3. Habitat Malaka
Habitat malaka umumnya tumbuh di daerah yang terbuka terutama
di padang rumput, hutan belukar. Di Jawa, pohon ini dapat ditemukan
tumbuh di hutan jati. Di Semenanjung Malaysia tumbuh di hutan dataran
rendah. Pohon malaka dapat tumbuh mulai dari daerah dekat pantai sampai
pada ketinggian 1500 mdpl dan toleran terhadap tanah alkalin. Pohon ini
tahan api (tidak mudah terbakar) dan merupakan pohon pionir/tumbuh
pertama setelah terjadi kebakaran hutan ( Holthoon,2011).
2.1.4. Kandungan Kimia
Daun malaka diketahui mengandung senyawa metabolit sekunder
diantaranya senyawa tanin, kuersetin, asam galat, flavonoid, pektin,
saponin dan buahnya mengandung vitamin C juga mengandung berbagai
senyawa polifenol, selain itu daun, akar kayu kaya akan tanin, dimana
memiliki kandungan asam elagik dan lupeol (Kim et al., 2005; Arora et al.,
2003).
2.1.5. Manfaat dan Kegunaan Malaka
Manfaat tumbuhan buah yang masak dapat dimakan tetapi rasanya
asam dan kelat. Biasanya buah malaka dibuat manisan, sirup dan jeli.
Sedang buah mudanya digunakan sebagai bahan pewarna. Demikian pula
kulit batang, daun dan rantingnya juga merupakan bahan pewarna.
Kayunya tahan terhadap air dan dapat digunakan sebagai bahan bangunan
dan bagus juga untuk dibuat arang. Di samping itu buah, daun, kulit batang
dan akarnya sering pula digunakan untuk bahan obat-obatan lokal
(Holthoon, 2011).
Di Negara India tumbuhan malaka telah digunakan sebagai
tumbuhan berharga untuk obat-obatan, seperti obat cuci perut. Buah hijau
yang dibuat menjadi acar untuk mempertahankan dan merangsang nafsu
makan. Sebagai antibakteri, antijamur, antidiare dan antivirus. Penelitian
medis yang telah dilakukan, buah malaka memiliki sifat antivirus dan
berfungsi sebagai antibakteri dan antijamur.
2.2.1. Sitotoksik
Syarat yang harus dipenuhi sebelum memanfaatkan suatu tanaman
sebagai bahan baku obat, untuk sediaan obat herbal terstandar dan
fitofarmaka adalah uji sitotoksik. Salah satunya adalah uji pendahuluan
sitotoksik metode BSLT dengan menggunakan larva udang. Metode BSLT
merupakan suatu pengujian ketoksikan dan merupakan uji aktivitas biologi
pendahuluan yang dapat digunakan untuk pengujian ekstrak, fraksi, atau
senyawa murni dengan menggunakan Artemia salina Ekstrak dinyatakan
toksik karena mempunyai efek sitotoksik apabila memiliki nilai LC50 lebih
kecil dari 1000 μg/ml. Sedangkan senyawa murni dikatakan toksik karena
mempunyai efek sitotoksik apabila nilai LC50 lebih kecil dari 30μg/ml
(BPOM, 2000; Meyer et al., 1982).
Toksisitas berasal dari bahasa latin toxicum yang berarti racun.
Istilah toksik dapat diartikan berbahaya bagi makhluk hidup. Suatu racun
atau senyawa toksik adalah senyawa kimia yang dapat menimbulkan efek
kerusakan pada organisme hidup. Akibat kerusakan tersebut dapat terjadi
perubahan struktur komponen atau fungsi yang mengakibatkan sakit atau
bahkan kematian. Suatu prinsip yang penting adalah bahwa suatu senyawa
kimia dapat bersifat toksik bila diberikan pada dosis dan penyebaran
tertentu (Gossel dan Bricker, 1990).
Uji toksisitas merupakan uji hayati yang berguna untuk
menentukan tingkat toksisitas dari suatu zat atau bahan pencemar. Suatu
senyawa kimia dikatakan bersifat racun akut jika senyawa tersebut dapat
menimbulkan efek racun dalam jangka waktu singkat, dalam hal ini 24
jam sedangkan jika senyawa tersebut baru menimbulkan efek dalam
jangka waktu yang panjang, disebut racun kronis (karena kontak yang
berulang-ulang walaupun dalam jumlah yang sedikit). LC50 (median Lethal
Concentration) yaitu konsentrasi yang menyebabkan kematian sebanyak
50% dari organisme uji yang dapat diestimasi dengan grafik dan
perhitungan pada suatu waktu pengamatan tertentu (Dhahiyat dan
Djuangsih, 1997).
7
Brine Shimp Lethality Test (BSLT) merupakan salah satu metode untuk
menguji bahan – bahan yang bersifat sitotoksik dalam ekstrak tanaman aktif
(Meyer, 1982; McLaughlin, 1990). Metode uji sitotoksik ini sering digunakan
untuk penapisan awal terhadap senyawa aktif yang terkandung dalam suatu
ekstrak. Keuntungan metode BSLT adalah waktu pelaksanaan cepat, tidak
memerlukan perawatan khusus, tidak memerlukan serum hewan, hasil uji
berkolerasi baik dengan beberapa metode uji toksisitas (meyer,1982; McLaughlin,
1990). Sifat sitotoksik diketahui berdasarkan jumlah kematian larva. Suatu ekstrak
dinyatakan bersifat toksik terhadap Artemia salina apabila mempunyai harga LC50
(konsentrasi mematikan 50% larva udang) kurang dari 1000 µg/mL setelah waktu
kontak selama 24 jam. Prinsip metode BSLT ini adalah mencari hubungan antara
konsentrasi ekstrak, atau komponen murni dengan kematian larva Artemia salina
(nauplii) (Meyer, 1982; McLaughlin, 1990)
Metode ini digunakan dalam usaha mengisolasi senyawa toksik dari
ekstrak. Pertama kali metode ini dipergunakan untuk menentukan keberadaan
residu insektisida seperti DDT, parathion, dieldrin dan menentukan potensi
senyawa anestesi. Uji sitotoksik menggunakan metode BSLT sering dianalogikan
dengan kemampuan suatu bahan obat yang memiliki efek anti kanker. Metode ini
disarankan untuk digunakan pada skrining senyawa bioaktif bahan alam karena
menunjukan adanya kolerasi dengan metode sitotoksik in vitro yang lainnya.
Prinsip metode BSLT adalah sifat toksik senyawa bioaktif dari tanaman
pada dosis tinggi. Senyawa yang memiliki bioaktivitas selalu toksik pada dosis
tinggi. Maka secara sederhana dapat diartikan bahwa efek toksik adalah efek
farmakologi pada dosis tinggi. Dari pengertian tersebut, maka kematian hewan
sederhana seperti larva Artemia salina secara in vitro dapat digunakan sebagai
suatu alat pemantauan yang tepat untuk proses skrining dan fraksinasi pada
penelitian bioaktif baru dari sumber alam. Prinsip dari uji BSLT ini adalah
mencari hubungan antara konsentrasi ekstrak, fraksi ekstrak, atau komponen
murni dengan kematian Artemia salina (Meyer, 1982).
Artemia salina atau sering disebut Brine shrimp adalah sejenis udang
primitif yang sudah dikenal cukup lama dan oleh Linnaeus pada tahun 1778 yang
diberi nama Cancer salinus, kemudian oleh Leach diubah menjadi Artemia salina
pada tahun 1819. Artemia salina hewan ini hidup planktonik di perairan yang
berkadar garam tinggi. Suhu yang berkisar antara 25-30 0C, oksigen terlarut
sekitar 3 mg/L, dan pH antara 7,3–8,4. Sebagai plankton, Artemia salina tidak
dapat mempertahankan diri terhadap musuhnya, karena tidak mempunyai cara
maupun alat untuk mempertahankan diri. Satu-satunya kondisi yang
menguntungkan dari alam adalah lingkungan hidup yang berkadar garam tinggi,
karena pada kondisi tersebut pemangsa pada umumnya sudah tidak dapat hidup
lagi. Artemia salina Leach merupakan salah satu komponen penyusun ekosistem
laut yang keberadaan sangat penting untuk perputaran energi dalam rantai
makanan, selain itu Artemia salina juga dapat digunakan dalam uji laboratorium
untuk mendeteksi toksisitas suatu senyawa dari ekstrak tumbuhan (Kanwar, 2007;
Mudjiman, 1995).
hidup berkadar garam tinggi. Pada umumnya pemangsa tidak dapat hidup
lagi pada kondisi itu (Meyer, 1982; McLaughlin, 1990). Makanan Artemia
salina terdiri atas genggang renik, bakteri cendawan. Dalam pemeliharaan
makanan yang diberikan adalah katul padi, tepung terigu, tepung kedelai
dan ragi (Meyer, 1982; McLaughlin, 1990).
2.5.4. Penetasan Telur Artemia Salina
Telur yang siap menetas berwarna coklat keabu-abuan. Untuk
media penetasan dapat digunakan air laut biasa (kadar garam ±30 mg/L).
Tapi untuk hasil penetasan yang lebih baik, kita perlu menggunakan air
yang berkadar garam 5 mg/L. Ini dapat dibuat dengan mengencerkan air
laut dengan air tawar. Sebelum diteteskan telur-telur tersebut dicuci
terlebih dahulu, yakni dengan merendam dengan air tawar selama 1 jam,
baru kemudian dimasukan dalam wadah penetesan. Suhu air yang baik
selama proses penetasan adalah antara 25–30oC. Sedangkan kadar
oksigennya harus lebih dari 3 mg/L. Untuk merangsang proses
penetasannya perlu disinari dengan lampu yang dipasang disamping
wadah. Dalam waktu 24-36 jam setelah pemasukan telur, biasanya telur-
telur tersebut sudah menetas menjadi Artemia salina yang disebut nauplii
(Meyer, 1982; McLaughlin, 1990).
2.5.5. Perkembangan Hidup
Perkembangbiakannya yaitu jenis biseksual dan partenogenesis.
Keduannya dapat terjadi ovovivipar atau ovipar. Pada ovovivipar keluar
dari induknya sudah berupa anak yang dinamakan nauplii, sedangkan pada
ovipar anak yang keluar dari induknya berupa telur, bercangkang tebal
dinamakan siste. Perkembangbiakan jenis biseksual harus melalui proses
perkawinan antara induk jantan dan induk betina. Pada jenis
partenogenesis tidak ada perkawinan karena memang tidak ada jantannya,
jadi betina akan beranak dengan sendirinya tanpa perkawinan (Meyer,
1982; McLaughlin, 1990).
Siklus hidup Artemia salina Leach. Dapat dilihat pada Gambar 2.3
berikut
13