Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN PRAKTEK FARMAKOTERAPI

INFEKSI, KANKER, DAN GANGGUAN NUTRISI


(DEA61074)
SEMESTER GANJIL

DISUSUN OLEH KELOMPOK B2


ANGGOTA:
Andrea Kristia Viany (175070501111016)
Aprilia Kharismawati (175070500111026)
Fadilah Maulana Irham Ashari (175070500111006)
Fidela Febri Arisanti (175070500111010)
Hanif Syafa’atur Rahman (175070501111018)
Hilmi Eka Prasetyo (175070500111022)
Kevin Diagonsa Anandhy (175070501111014)
Maula Michelia Champaka Putri (175070501111006)
Nonik Nuriyah Herman (175070501111002)
Nur Sayid Rahmat Tio (175070500111034)
Tantia Eka Wahyuni (165070500111021)
Tiara Rahma Amelinda (175070507111002)
Noer Hanani (155070501111008)

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI


JURUSAN FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
TA 2020/2021
HIV / AIDS
I. DEFINISI
HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan virus patogen yang menyerang
sistem imun manusia, terutama sel darah putih di dalam tubuh (limfosit) yang mengakibatkan
turunnya kekebalan tubuh manusia. Pasien yang dalam darahnya terdapat virus HIV dapat
tampak sehat dan belum tentu membutuhkan pengobatan. Meskipun demikian, orang
tersebut dapat menularkan virusnya kepada orang lain bila melakukan hubungan seks
berisiko dan berbagi penggunaan alat suntik dengan orang lain (Gunawan, et al., 2017).
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan sekumpulan gejala
penyakit yang timbul karen kondisi immunosupresif yang disebabkan oleh infeksi HIV.
Penurunan kekebalan tubuh pada seseorang menyebabkan berbagai infeksi oportunistik,
neoplasma sekunder, serta manifestasi neurologis tertentu akibat infeksi HIV. Selain itu
pasien juga beresiko terkena penyakit seperti TBC, kandidiasis, berbagai radang pada kulit,
paru, saluran penernaan, otak dan kanker (Gunawan, et al., 2017).

II. EPIDEMIOLOGI
Pada tahun 2010-2012 jumlah kasus baru HIV positif di Indonesia cukup stabil. Namun
pada tahun 2013 dan 2014 kembali mengalami peningkatan secara signifikan. Pada tahun
2010 jumlah kasus baru HIV positif sebesar 21.591 kasus kemudian meningkat secara
signifikan pada tahun 2014 yaitu sebesar 32.711 kasus baru. Peningkatan jumlah kasus baru
AIDS selalu terjadi setiap tahunnya, hingga puncaknya pada tahun 2013 tercatat 10.163
kasus kemudian terjadi penurunan jumlah kasus baru pada tahun 2014 yaitu sebesar 5.494
kasus dengan jumlah kumulatif kasus AIDS sampai dengan akhir 2014 sebesar 65.790 kasus
(Nuzzilah & Sukendra, 2017).
Negara Indonesia pada tahun 2018 memiliki 640.000 orang hidup dengan HIV. Insiden
HIV per 1000 orang yang tidak terinfeksi yaitu jumlah infeksi HIV baru di antara populasi
yang tidak terinfeksi selama satu tahun, di antara semua orang dari segala usia adalah 0,17.
Prevalensi HIV,persentase orang yang hidup dengan HIV, di antara orang dewasa (15-49
tahun) adalah 0,4%. Tercatat sebanyak 46.000 orang baru terinfeksi HIV dan 38.000 orang
meninggal karena penyakit terkait AIDS. Jumlah kematian terkait AIDS telah meningkat
60% sejak 2010, dari 24.000 kematian menjadi 38.000 kematian. Namun, jumlah infeksi HIV
baru menurun dari 63.000 menjadi 46.000 pada periode yang sama (UNAIDS, 2020).

III. ETIOLOGI
Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) disebabkan oleh Human
Immunodeficiency Virus (HIV). HIV adalah virus sitopatik yang diklasifikasikan dalam
famili Retroviridae, subfamili Lentivirinae, genus Lentivirus. HIV termasuk virus
Ribonucleic Acid (RNA) dengan berat molekul 9,7 kb (kilobases). Strukturnya terdiri dari
lapisan luar atau envelop yang terdiri atas glikoprotein gp120 yang melekat pada glikoprotein
gp4. Dibagian dalamnya terdapat lapisan kedua yang terdiri dari protein p17. Setelah itu
terdapat inti HIV yang dibentuk oleh protein p24. Didalam inti terdapat komponen penting
berupa dua buah rantai RNA dan enzim reverse transcriptase. Bagian envelope yang terdiri
atas glikoprotein, ternyata mempunyai peran yang penting pada terjadinya infeksi oleh
karena mempunyai afinitas yang tinggi terhadap reseptor spesifik CD4 dari sel Host. Molekul
RNA dikelilingi oleh kapsid berlapis dua dan suatu membran selubung yang mengandung
protein (Kayser et al, 2005).
Jenis virus RNA dalam proses replikasinya harus membuat sebuah salinan Deoxyribo
Nucleic Acid (DNA) dari RNA yang ada di dalam virus. Gen DNA tersebut yang
memungkinkan virus untuk bereplikasi. Seperti halnya virus yang lain, HIV hanya dapat
bereplikasi di dalam sel induk. Di dalam inti virus juga terdapat enzim-enzim yang digunakan
untuk membuat salinan RNA, yang diperlukan untuk replikasi HIV yakni antara lain: reverse
transcriptase, integrase, dan protease. RNA diliputi oleh kapsul berbentuk kerucut terdiri
atas sekitar 2000 kopi p24 protein virus. Dikenal dua tipe HIV yaitu HIV -1 yang ditemukan
pada tahun 198327 dan HIV-2 yang ditemukan pada tahun 1986 pada pasien AIDS di Afrika
Barat.28 Epidemi HIV secara global terutama disebabkan oleh HIV-1, sedangkan HIV-2
tidak terlalu luas penyebarannya, hanya terdapat di Afrika Barat dan beberapa negara Eropa
yang mempunyai hubungan erat dengan Afrika Barat (Lan, 2005).
HIV-1 dan HIV-2 mempunyai struktur yang hampir sama tetapi mempunyai perbedaan
struktur genom. HIV-1 punya gen vpu tapi tidak punya vpx , sedangkan HIV-2 sebaliknya.
Perbedaan struktur genom ini walaupun sedikit, diperkirakan mempunyai peranan dalam
menentukan patogenitas dan perbedaan perjalanan penyakit diantara kedua tipe HIV. Karena
HIV-1 yang lebih sering ditemukan, maka penelitian – penelitian klinis dan laboratoris lebih
sering sering dilakukan terhadap HIV-1. Jumlah limfosit T penting untuk menentukan
progresifitas penyakit infeksi HIV ke AIDS. Sel T yang terinfeksi tidak akan berfungsi lagi
dan akhirnya mati. Infeksi HIV ditandai dengan adanya penurunan drastis sel T dari darah
tepi (Lan, 2005).

IV. PATOFISIOLOGI
Virus masuk ke dalam tubuh melalui perantara darah, semen, dan sekret vagina.
Sebagian besar (75%) penularan terjadi melalui hubungan seksual, baik secara heteroseksual
maupun homoseksual. Sedangkan penularan non-seksual terjadi melalui transfusi darah,
pemakaian jarum suntik bersama, atau secara vertikal dari ibu positif HIV kepada bayinya
baik saat hamil, melahirkan, atau saat laktasi (Merati, 2008).
Human Immunodeficiency Virus (HIV) cenderung untuk menyerang jenis sel tertentu,
terutama limfosit T4 (CD4) yang memegang peranan penting dalam mengatur dan
mempertahankan sistem kekebalan tubuh. Selain limfosit T4, virus juga dapat menginfeksi
sel monosit, makrofag, dan langerhans pada kulit, sel dendritik folikuler pada kelenjar limfe,
sel makrofag pada alveoli paru, sel retina, sel serviks uteri, serta sel mikroglia otak. Virus
yang masuk ke dalam limfosit T4 selanjutnya mengadakan replikasi sehingga akhirnya
menjadi banyak dan akhirnya menghancurkan sel limfosit itu sendiri (Duarsa, 2009).
HIV tergolong retrovirus yang mempunyai materi generik RNA. Bilamana virus
masuk ke dalam tubuh penderita (sel hospes), maka RNA virus diubah menjadi
deoxyribonucleic acid (DNA) oleh enzim reverse transcryptase yang dimiliki oleh HIV.
DNA pro-virus tersebut selanjutnya diintegrasikan ke dalam sel hospes dan selanjutnya
diprogramkan untuk membentuk gen virus (Harrington and Swanstrom, 2008).
Proses infeksi dimulai dengan pengikatan (attachment and binding) gp120 dengan
molekul reseptor pada pemukaan sel target (kemokin CCR5/CXCR4 pada CD4) (Harrington
and Swanstrom, 2008). Selanjutnya inti virus masuk ke dalam sel dan terjadi fusi membran
sel dengan envelope virus. RNA virus mengalami transkripsi balik menjadi DNA oleh enzim
RTase, disebut complimentary DNA (DNA untai tunggal), berlanjut menjadi DNA untai
ganda (double stranded DNA/dsDNA), kemudian dsDNA dibawa ke inti sel. Di inti sel akan
terjadi integrasi dsDNA virus dengan kromosom DNA sel, dengan dimediasi oleh enzim
integrase. DNA integrasi akan mencetak mRNA dengan bantuan enzim polymerase.
Selanjutnya mRNA akan ditranslasi menjadi komponen virus baru di dalam sitoplasma sel
yang terinfeksi virus. Komponen-komponen virus akan ditransportasi ke membran plasma
dan disinilah akan terjadi perakitan menjadi virus HIV baru yang masih immature, budding
dan selanjutnya mengalami proteolisis oleh protease menjadi virus HIV matur (Merati,
2008).
Human Immunodeficiency Virus juga mempunyai sejumlah gen yang dapat mengatur
replikasi maupun pertumbuhan virus yang baru. Salah satu gen tersebut ialah tat yang dapat
mempercepat replikasi virus sedemikian hebatnya sehingga terjadi penghancuran limfosit T4
secara besar-besaran yang akhirnya menyebabkan sistem kekebalan tubuh menjadi lumpuh.
Kelumpuhan sistem kekebalan tubuh ini mengakibatkan timbulnya berbagai infeksi
oportunistik dan keganasan yang merupakan gejala-gejala klinis AIDS (Duarsa, 2009).

Gambar 1. Patogenesis HIV dan beberapa target obat ARV (Maartens et al., 2014)
V. TERAPI NON-FARMAKOLOGI
Program penanggulangan AIDS di Indonesia mempunyai 4 pilar, yang semuanya
menuju pada paradigma Zero new infection, Zero AIDS-related death dan Zero
Discrimination. Empat pilar tersebut adalah (Kemenkes RI, 2011):

1. Pencegahan (prevention); yang meliputi pencegahan penularan HIV melalui


transmisi seksual dan alat suntik, pencegahan di lembaga pemasyarakatan dan
rumah tahanan, pencegahan HIV dari ibu ke bayi (Prevention Mother to Child
Transmission, PMTCT), pencegahan di kalangan pelanggan penjaja seks, dan lain-
lain.
2. Perawatan, dukungan dan pengobatan (PDP); yang meliputi penguatan dan
pengembangan layanan kesehatan, pencegahan dan pengobatan infeksi
oportunistik, pengobatan antiretroviral dan dukungan serta pendidikan dan
pelatihan bagi ODHA. Program PDP terutama ditujukan untuk menurunkan angka
kesakitan dan rawat inap, angka kematian yang berhubungan dengan AIDS, dan
meningkatkan kualitas hidup orang terinfeksi HIV (berbagai stadium). Pencapaian
tujuan tersebut dapat dilakukan antara lain dengan pemberian terapi antiretroviral
(ARV).
3. Mitigasi dampak berupa dukungan psikososio-ekonomi.
4. Penciptaan lingkungan yang kondusif (creating enabling environment) yang
meliputi program peningkatan lingkungan yang kondusif adalah dengan penguatan
kelembagaan dan manajemen, manajemen program serta penyelarasan kebijakan
dan lain-lain.

Terapi non – farmakologi terdiri dari pencegahan penularan HIV. Ini melibatkan 5 P’s
yaitu Partners, Prevention of Pregnancy, Protection of Sexual transmitted diseases, Practices,
Past history of sexual transmitted disease. Metode yang sering digunakan adalah
menggalakan orang menggunakan alat kontrasepsi. Antara kontrasepsi yang sering
digunakan adalah kondom. Selain itu, menyarankan agar penderita untuk abstinen dan jika
sudah berkawin, menyarankan penderita dan pasangannya agar tidak berhubungan seks
dengan orang lain. Untuk pencegahan transmisi secara vertical, proses kelahiran haruslah
dilakukan secara pembedahan yaitu caesarean. Penyusuan bayi oleh ibu yang menderita juga
harus dielakkan (Kemenkes RI, 2006).

VI. TERAPI FARMAKOLOGI


Terapi antiretroviral (ARV) Merupakan obat yang bekerja dengan menghambat
replikasi Human Immunodeficiency Virus (HIV). Terapi dengan ARV adalah strategi yang
secara klinis paling berhasil hingga saat ini. Tujuan terapi dengan ARV adalah menekan
replikasi HIV secara maksimum, meningkatkan limfosit CD4 dan memperbaiki kualitas
hidup penderita yang pada gilirannya akan dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas.
Ada tiga golongan utama ARV yaitu : (Kemenkes RI, 2011).

a. Penghambat masuknya virus kedalam sel bekerja dengan cara berikatan dengan
subunit GP41 selunumg glikoprotein virus sehingga fusi virus ke target sel dihambat.
Satu-satunya obat penghambat fusi ini adalah enfuvirtid. Dosis 90 mg 2 kali sehari
pemberian secara subkutan
b. Penghambat reverse transriptase enzyme (RTI)
 Analog nukleosida/nukleotida (NRTI/NtRTI)
NRTI diubah secara intraseluler dalam 3 tahap penambahan 3 gugus fosfat dan
selanjutnya berkompetisi dengan natural nukleotida menghambat RT sehingga
perubahan RNA menjadi DNA terhambat. Selain itu NRTI juga menghentikan
pemanjangan DNA. Memiliki efek samping laktat asidosis dan hepatotoksik.
pemanjangan DNA. Memiliki efek samping laktat asidosis dan hepatotoksik.
- Analog thymin : zidovudin (ZDV/AZT) dan stavudin (d4T) ZDV, AZT
Dosis : 300 mg p.o tiap 12 jam dengan atau tanpa makan.
Perhatian : monitor hematokrit, leukosit, tes fungsi ginjal.
- Analog cytosine : lamivudin (3TC) dan zalcitabin (ddC)
Dosis : 150 mg p.o tiap 12 jam atau 300 mg p.o sekali sehari <50 kg ; 2
mg/kg p.o tiap 12 jam dengan atau tanpa makanan.
- Analog adenine : didanosine (ddI)
Bentuk sediaan tablet salut enteric yang dapat diberikan sebagai dosis
tunggal.
Dosis :>60 kg, 400 mg p.o sekali sehari
Dosis :<60 kg, 250 mg p.o sekali sehari
- Analog guanine : abacavir (ABC)
Dosis : 300 mg tiap 12 jam dengan atau tanpa makanan, atau 600 mg
sekali sehari.
- Analog nukleotida analog adenosine monofosfat : tenofovir
Dosis : 245 mg p.o sekali sehari dengan atau tanpa makanan.
 Non-Nukleosida (NNRTI)
Bekerjanya tidak melalui tahapan fosforilasi intraseluler tetapi berikatan
langsung dengan reseptor pada RT dan tidak berkompetisi dengan nukleotida
natural. Aktivitas antiviral terhadap HIV-2 tidak kuat. Memiliki efek samping
hepatotoksisitas dan rash.
- Nevirapin (NVP)
Dosis : 200 mg p.o sekali sehari 14 hari, lalu 200 mg dengan atau tanpa
makanan.
Dilakukan pemberian 200 mg dosis tunggal untuk 2 minggu
pertamamengurangi kemungkinan alergi, periksa fungsi hati tiap 2 minggu
untuk 2 bulan pertama, selanjutnya tiap bulan untuk 3 bulan berikutnya.
- Efavirenz (EFV)
Dosis : 600 mg p.o sekali sehari dengan atau tanpa makanan.
c. Penghambat enzim protease (PI)
Protease inhibitor berikatan secara reversible dengan enzim protease yang mengkatalisa
pembentukan protein yang dibutuhkan untuk proses akhir pematangan virus. Akibatnya
virus yang terbentuk tidak masuk dan tidak mampu menginfeksi sel lain
d. Octreotide
Octreotide menghambat sekresi pada usus dan memiliki efek yang terkait dosis
pada motilitas usus. Dalam dosis rendah (50 mcg sc) memiliki efek merangsang
motilitas, sedangkan pada dosis yang lebih tinggi (misalnya, 100-250 mcg sc) memiliki
efek menghambat motilitas usus. Octreotide dosis tinggi digunakan untuk pengobatan
diare yang disebabkan karena sindrom vagotomy atau dumping serta untuk diare yang
disebabkan oleh short bowel syndrome atau AIDS ( Katzung, 2012). Sehingga diberikan
dosis octreotide yaitu 500 mcg subkutan tiap 8 jam (Zacharof, 2001).
 Anjuran Pemilihan Obat ARV Lini Pertama

Paduan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk lini pertama adalah:

Mulailah terapi antiretroviral dengan salah satu dari paduan di bawah ini:

Paduan Lini Pertama yang direkomendasikan pada orang dewasa yang belum pernah
mendapat terapi ARV (treatment-naïve)
VII. KASUS PRAKTEK FARMAKOTERAPI

Tn. W, usia 27 tahun, menikah 1,5 tahun, belum memiliki keturunan, pendidikan sarjana,
pekerjaan wiraswasta, alamat Bunul Malang. Pasien tinggal dirumah orang tua dan istri.
Tidak pernah olah raga rutin. Pasien tidak terbiasa makan pagi. Pasien terbiasa minum kopi
2 cangkir/hari, merokok 1 – 2 pak/hari, mengunakan alkohol dan narkotika suntik jenis putau
dengan frekuensi 1 – 2 x/minggu. Pasien mengatakan bahwa ia juga dulu pernah melakukan
seks bebas dengan pekerja seks komersial dan dengan beberapa pasangan terdahulu sebelum
menikah. Selama sakit di rumah, pasien tidak bekerja, tidak mampu melakukan aktifitas
diluar rumah. Kebiasaan merokok, alkohol, narkotika dan kegiatan seks sudah tidak
dilakukan lagi. Di rumah sakit pasien bedrest. Saat MRS, pasien lemas seluruh badan
selama 3 hari, pasien tidak mau makan karena mual dan muntah, batuk-batuk dan demam
naik turun. Dada terasa sakit sewaktu batuk tetapi tidak sesak. 1 hari sebelum MRS pasien
mengalami penurunan kesadaran, seperti mengantuk, sulit berkomunikasi, ngompol dan
diare ± 10 x/hari, mengeluh pusing dan pingsan sepulang pengobatan alternatif kemudian
pasien langsung dibawa ke IGD RSSA oleh ayah dan istrinya. Berat badan turun drastis,
keluarga tidak tahu berapa kg penurunan berat badannya tetapi saat ini pasien sangat kurus.
Saat MRS, pemeriksaan VS menunjukkan tekanan darah 110/80 mmHg, nadi 80 x/menit,
frekuensi napas 20x/menit, suhu 37.9 oC, demam, pasien tampak mual, nyeri kepala
berdenyut. Status neurologis GCS 325, pupil bulat isokor Ø 3/3 mm rcl +/+ rctl +/+, kaku
kuduk ada, lasag <70/<70, kernig <135/<135, Nervus karnial parese N VII sinistra sentral,
otonom inkontinensia uri, motorik kesan hemiparase, reflek fisiologis ++/++, reflek
patologis +/+ sensorik belum dapat dinilai. Hasil pemeriksaan sehari setelah MRS diperoleh
data VS tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 100 x/menit, frekuensi napas 28 x/menit, suhu
38,5 oC, status generalis pada kepala dbn, mata konjunktiva pucat, sklera ikterik, leher tidak
terdapat pembesaran kelenjar getah bening, telinga dbn, hidung dbn, tenggorok dbn, terdapat
plak putih tersebar dalam rongga mulut, jantung dbn, paru vesikuler, ronchi +/+, wheezing -
/-, abdomen lemas, terdapat nyeri tekan, bising usus dbn, ekstremitas hemiparese dan tidak
terdapat odema, kulit pada daerah tertekan tampak terjadi erupsi terutama pada sakrum
terdapat erupsi epidermis sekitar 5x5 cm. Status neurologis GCS 345, pupil isokor Ø 4 mm
rcl +/+ rctl +/+, kaku kuduk tidak ada, lasag <70/<70, kernig <135/<135, Nervus karnial
parese N VII sinistra sentral, otonom inkontinensia uri, terpasang kateter, motorik
hemiparase, reflek fisiologis ++/++, reflek patologis +/+ sensorik belum dapat dinilai.
Aktifitas bedrest, miring kiri-kanan dibantu, ROM terbatas/pasif, gambaran diri, ideal diri,
harga diri, peran diri, identitas diri tidak dapat dinilai, psikologis tidak dapat dinilai. Pasien
didiagnosis mengalami AIDS komplikasi infeksi setelah diketahui T Helper (CD4+) =
45/uL. CT-scan kepala diperoleh hasil sugestif toxoplasmosis dengan
ventrikulomegali.
Terapi:
Selama dirawat pasien mendapatkan O2 2 ltr/mnt, terpasang NGT untuk memasukkan cairan
dan nutrisi cair, nystatin 2-3 tetes 3 x/hari, New Diatab 3 x 2 tablet yang dihaluskan. Pasien
direncanakan mendapatkan terapi antiretroviral (ARV) berupa Nevirapin 200 mg,
Lamivudin 150 mg dan Stavudin 30 mg. Selain itu pasien juga direncanakan mendapat
antibiotik streptomisin, etambutol, dan klindamisin.

TUGAS!
Buatlah analisis menggunakan metode SOAP!
 SUBJEKTIF
1. Pasien lemas seluruh badan selama 3 hari
Sistem kekebalan tubuh yang mulai mengalami penurunan akan membuat penderita
penyakit ini akan merasakan sering lelah dan lesu. Maka dari itu, kelelahan yang sering
terjadi tanpa sebab juga sering menjadi indikasi awal munculnya HIV (Djoerban, 2009).
2. Pasien tidak mau makan karena mual dan muntah
Sekitar 30-60% pengidap penyakit ini sering mengalami gejala ini. Karena ini sering
muncul sebagai tahap awal seseorang terinfeksi virus ini
3. Batuk, dada terasa sakit saat batuk namun tidak sesak
Batuk yang dialami pasien HIV adalah batuk kering yang menimbulkan rasa sakit di
tenggorokan, namun belum diketahui jenis batuk yang dialami pasien berdahak atau kering.
Batuk sendiri merupakan gejala umum yang dialami pada fase pertengahan hingga akhir
HIV sebagai reaksi infeksi opurtunistik pada paru-paru, dapat berupa infeksi pneumonia
atau tuberkulosis (Djoerban, 2009).
4. Penurunan kesadaran (seperti mengantuk), sulit berkomunikasi, ngompol dan diare
± 10 x/hari, mengeluh pusing dan pingsan sepulang pengobatan alternatifTerdapat
gejala mayor dan minor pada pasien HIV/AIDS dimana penurunan kesadaran seperti
mengantuk, sulit berkomunikasi, mengompol dan diare ± 10 x/hari serta pusing dan pingsan
yang dialami pasien merupakan contoh gejala mayor yang dialami ODHA.

Tabel 1. Gejala mayor dan minor pada HIV/AIDS (Nasronudin, 2007)


5. Diare Pasien
Diare yang dialami px dikarenakan sistem kekebalan tubuh px yang menurun (dilihat dari
adanya penurunan CD4+ yaitu 45 sel/uL). Sehingga menyebabkan px mengalami infeksi
bakteri oportunistik. Risiko infeksi opportunistik terjadi apabila kadar CD4+ < 200 sel/uL.
Berdasarkan literature mengenai resiko infeksi oportunistik didasarkan pada jumlah CD4+,
CD4+ dengan jumlah <50 sel/uL maka kemungkinan penyebab diare pada px ini adalah
karena Mycobacterium avium complex dan Cytomegalovirus (Chakraborty, 2010). 
diare akibat flora normal karena flora normal menjadi infeksi oportunistik.
6. BB turun drastis
Penurunan berat bedan merupakan salah satu gejala utama pada pasien HIV. Penurunan
berat badan selama infeksi HIV terutama disebabkan oleh berkurangnya asupan makanan
akibat berkurangnya nafsu makan. berkurangnya nafsu makan ini dapat disebabkan adanya
luka pada mulut dan rasa mual. Selain itu, perubahan metabolisme dan kejadian diare yang
tinggi dapat menurunkan asupan serta penyerapan nutrisi yang berujung pada malnutrisi
sehingga berat badan berkurang.
7. Demam, mual dan kepala berdenyut
 Kondisi mual disebabkan karena asam lambung pasien yang meningkat karena terdapat
riwayat tidak terbiasa sarapan dan sering mengkonsumsi kopi tiap harinya. Terlebih nafsu
makan pasien saat ini rendah sehingga terjadi peningkatan produksi asam lambung
 Kepala berdenyut dapat disebabkan karena rendahnya asupan makan pasien sehingga
menyebabkan kebutuhan nutrisi sel-sel di otak tidak terpenuhi dan menyebabkan kepala
terasa berdenyut.

 OBJEKTIF
No 1 hari setelah Nilai
Parameter Saat MRS Keterangan
. MRS Normal

1. Tekanan 110/80 120/80 mmHg <120/8 Tekanan sistol pasien saat


darah mmHg 0 pertama kali MRS cenderung
mmHg menurun dan kembali normal
setelah 1 hari MRS. Namun
penurunan tekanan sistol pada
pasien tidak drastis dan masih
masuk dalam kondisi normal
sehingga pasien tidak
mengalami masalah pada
tekanan darah (AHA, 2017).

2. Nadi 80x/menit 100x/menit 60-100 Denyut nadi pasien cenderung


bpm meningkat setelah 1 hari MRS,
namun masih dalam batas
normal. Hal ini menunjukkan
tidak ada gangguan pada ritme
jantung pasien (AHA, 2017).

3. Respirator 20x/menit 28x/menit 12-20 Pasien mengalami


y Rate rpm peningkatan laju pernapasan
(RR) hingga di atas batas normal
(tadipnea). Hal tersebut
menandakan bahwa pasien
mengalami sesak napas. Sesak
napas merupakan gejala yang
sering ditemukan pada pasien
AIDS yang disebabkan oleh
kemungkinan adanya penyakit
paru dan infeksi oportunistik,
seperti pneumocystitis carnii
(PCP) atau tuberkulosis paru
(TB) (Airlangga &
Aminuddin, 2018).

4. Suhu tubuh 37,9oC 38,5oC 36,1- Tingginya suhu tubuh pasien


37,2oC dalam hal ini merupakan
reaksi tubuh terhadap infeksi
virus oleh HIV (Human
Immune Virus). Suhu tubuh
yang tinggi menandakan
adanya respon imun untuk
melawan HIV. Namun dalam
fase AIDS, jumlah virion
dalam tubuh pasien terus
meningkat sedangkan respon
imun semakin tertekan
sehingga pasien terus
mengalami peningkatan suhu
tubuh (Linda dkk, 2009).

5. GCS 325 345 456 GCS (Glasgow Coma Scale)


merupakan skala neurologi
yang dapat digunakan untuk
menilai tingkat kesadaran
pasien. Terdapat 3 komponen
yang dinilai dalam skala ini
yaitu mata, verbal, dan
motorik.

Respon Mata

(4): Mampu membuka mata


spontan

(3): Respon terhadap


rangsangan suara

(2): Respon terhadap


rangsangan nyeri/tekanan

(1): Tidak ada respon


(menutup mata terhadap
semua rangsangan yang
diberikan)

Respon Verbal

(5): Orientasi baik

(4): Bingung (orientasi tidak


baik tapi komunikasi jelas)

(3): Bisa membentuk kata


tetapi tidak mampu
mengucapkan kalimat

(2): Mengeluarkan suara yang


tidak berarti

(1): Tidak ada suara


Respon Motorik

(6): Menuruti perintah

(5): Dapat melokalisir


rangsang setempat

(4): Fleksi normal (menolak


rangsang nyeri pada anggota
gerak)

(3): Fleksi tidak normal


(menjauhi rangsang nyeri)

(2): Ekstensi spontan

(1): Tidak ada respon gerakan


sama sekali

(Jain & Iverson, 2020)

Berdasarkan GCS, dapat


diketahui pasien mengalami
penurunan kesadaran. Namun
setelah 1 hari MRS, pasien
mengalami peningkatan
kesadaran yang ditandai
dengan peningkatan respon
verbal.

6. Pupil isokor Ø 3/3 isokor Ø 4 mm Isokor o Inspeksi pupil


mm rcl +/+ rcl +/+ rctl +/+ dengan menunjukkan bahwa pupil
rctl +/+ d= 2-4 mata pada pasien normal
mm dan memiliki ukuran yang
dalam sama besar baik ketika
keadaan MRS maupun setelah 1
normal hari MRS sehingga tidak
terdapat gangguan saraf
RCL +
pengelihatan (Bahar &
RCTL
Wuysang, 2015).
+
o Berdasarkan literatur,
ukuran diameter pupil
orang dewasa dalam
keadaan normal yaitu 2
hingga 4 mm sehingga
dapat diketahui bahwa
pasien memiliki diameter
pupil yang normal baik
ketika MRS dan setelah 1
hari MRS (Spector, 1990).

o RCL merupakan refleks


pupil yang langsung
terpapar cahaya sedangkan
RCTL merupakan refleks
pupil mata yang tidak
terpapar cahaya, ketika
pupil mata sebelahnya
dikenai cahaya. Hasil
positif pada mata kanan
dan kiri pasien
menunjukkan bahwa pupil
pasien mengecil ketika uji
RCL dan RCTL sehingga
pupil pasien dalam kondisi
normal (Bahar &
Wuysang, 2015).

7. Kaku Ada Tidak ada Tidak Ketika MRS, pasien


kuduk ada mengalami positif kaku kuduk
yang menunjukkan adanya
kekauan dan tahanan pada
pergerakan fleksi kepala
disertai rasa nyeri dan spasme
otot. Dagu pasien juga tidak
dapat disentuhkan ke dada
serta didapatkan juga tahanan
pada hiperekstensi dan rotasi
kepala. Namun setelah 1 hari
MRS, kondisi leher pasien
mengalami perbaikan dan
tidak mengalami kaku duduk
(Tursinawati dkk, 2015)

8. Laseque <70/<70 <70/<70 >70 Uji Laseque dilakukan dengan


cara pasien berbaring dengan
kedua tungkai diluruskan
(diekstensikan) kemudian
mengangkat tungkai sambil
mempertahankkan lutut tetap
lurus tanpa merasakan nyeri
dan tahanan hingga sudut 70o.

Tes Lasegue
Berdasarkan uji laseque,
diketahui bahwa pasien sudah
merasakan nyeri yang
menjalar dari pantat hingga ke
tungkai (sesuai dengan
inervasi nervus ischiadicus)
sebelum mencapai sudut 70o
(<70o) sehingga uji laseque
pada pasien positif (Bahar &
Wuysang, 2014).

9. Kernig <135/<135 <135/<135 >135 Pemeriksaan tanda kernig


dilakukan dengan cara pasien
berbaring terlentang dan
dilakukan fleksi pada sendi
panggul kemudian ekstensi
tungkai bawah pada sendi
lutut hingga membuat sudut
135o atau lebih tanpa rasa
nyeri.

Tes Kernig

Berdasarkan pemeriksaan
kernig pasien ketika MRS dan
setelah 1 hari MRS, diketahui
bahwa ekstensi sendi lutut
pasien tidak mencapai sudut
135o (<135o) yang
menunjukkan bahwa kaki
tidak dapat diekstensikann
sempurna dan disertai sapsme
otot paha yang biasanya
diikuti rasa nyeri sehingga
tanda kernig pada pasien
bernilai positif (Tursinawati
dkk, 2015).

10. Nervus parese N VII parese N VII Normal Pada pemeriksaan saraf
karnial sinistra sinistra sentral kranial pasien didapatkan
sentral adanya paresis nervus VII
sinistra sentral yang berarti
bahwa pasien mengalami
kelumpuhan nervus fasialis
bagian tengah hingga kiri area
wajah sehingga menyebabkan
wajah pasien tidak simetris
(Hafsari dkk, 2018).
Lemahnya syaraf fasialis
bagian tengah-kiri
menyebabkan lemahnya
kemampuan menelan pasien.
sehingga pasien
membutuhkan terapi nutrisi
tambahan.

11. Otonom Inkontinensi Inkontinensia Normal Terdapat permasalahan pada


a urine urine saraf otonom pasien sehingga
fungsi viseral tubuh terganggu
yang salah satunya
menyebabkan inkontinensia
urine. Inkontinensia urine
merupakan keluarnya urin
yang tidak terkendali sehingga
pasien diberikan pemasangan
kateter untuk membantu
mengosongkan kandung
kemih (Martin & Frey, 2005).

12. Motorik Hemiparase Hemiparase Normal Kondisi motorik pasien


mengalami hemiparase yaitu
melemahnya separuh bagian
badan (Aulina dkk, 2016).
Gangguan saraf yang dialami
oleh pasien disebabkan karena
adanya infeksi dari HIV
(Human Immune Virus).

13. Reflek ++/++ ++/++ + Terdapat respon terhadap


fisiologis refleks regang otot dan
abdominalis yaitu adanya
kontraksi otot pada pasien
(Bahar & Wuysang, 2014).

14. Reflek +/+ +/+ + Reflek patologis meliputi


patologis pemeriksaan refleks hoffmann
(respon jari terhadap goresan),
refleks tromner (respon jari
telunjuk terhadap colekan),
dan refleks babinski (respon
telapak kaki dengan goresan).
Hasil positif menandakan
bahwa reflek patologis normal
(Bahar & Wuysang, 2014).

15. Mata pucat merah Tanda-tanda yang secara


konjungtiv konvensional digunakan
a dalam diagnosis fisik anemia
adalah pucat pada
konjungtiva, bantalan kuku,
wajah, telapak tangan, dan
lipatan telapak tangan. Dari
hal tersebut, hanya pucat
konjungtiva, bantalan kuku,
dan telapak tangan yang dapat
digunakan pada pasien dari
semua ras. Bukti saat ini
menunjukkan bahwa pucat
konjungtiva mungkin
merupakan indikator yang
lebih akurat dari ada atau
tidaknya anemia daripada
pucat pada telapak tangan atau
alas kuku. Paleness, atau juga
disebut pale complexion atau
pallor, adalah kecerahan
warna kulit yang tidak biasa
dibandingkan dengan corak
normal Anda. Hal ini bisa
disebabkan oleh berkurangnya
aliran darah dan oksigen atau
oleh penurunan jumlah sel
darah merah (Bunn, 2000).
16. Sklera + - Ikterik/Ikterus adalah suatu
Ikterik kondisi medis yang ditandai
dengan menguningnya kulit
dan bagian putih pada bola
mata. Ikterus terjadi ketika ada
kadar bilirubin yang
berlebihan yang dihasilkan
oleh hati ketika mengeluarkan
bilirubin tersebut dari dalam
darah atau ketika terjadi
kerusakan hati yang mencegah
pembuangan bilirubin dari
dalam darah, kerusakan hati
dapat diperparah dengan
adanya infeksi opurtunistik
dari HIV/AIDS. Infeksi virus
hepatitis C (HCV) dan virus
hepatitis B (HBV) umum
terjadi pada pasien dengan
infeksi human
immunodeficiency virus
(HIV) karena jalur penularan
virus yang sama. Penyakit hati
akibat infeksi HBV dan HCV
kronis menjadi penyebab
utama kematian di antara
orang dengan infeksi HIV di
seluruh dunia, dan risiko
kematian terkait penyakit hati
berbanding terbalik dengan
jumlah CD4 (Salmon-Ceron,
2005).

17. Candidiasi Plak putih - Pada pasien HIV-positif, baik


s tersebar di kolonisasi dan penyakit di
rongga mulut rongga mulut dan permukaan
mukosa lainnya adalah umum,
terutama dengan C. albicans,
dengan kecepatan yang
meningkat seiring dengan
perkembangan penyakit.
Perubahan yang disebabkan
HIV seperti penurunan kadar
IgA saliva, kerusakan mukosa
Sel CD4, perubahan sekresi
sitokin dan pergeseran ke
ekspresi sitokin Th2 dalam air
liur kemungkinan
berkontribusi pada kolonisasi
dan penyakit Candida
(Challacombe, 2002).

18. Ronchi +/+ -/- Suara tambahan yang


dihasilkan oleh aliran udara
melalui saluran nafas yang
berisi eksudat, atau akibat
saluran nafas yang menyempit
atau oleh edema saluran nafas
yang biasa disebut dengan
suara mendengkur.
19. Abdomen Lemas, nyeri normal Abdomen lemas dan nyeri saat
tekan ditekan pada setelah MRS
dapat disebabkan adanya
reaksi infeksi opurtunistik dari
HIV/AIDS yang menyerang
saluran pencernaan.

20. Ekstremita Hemiperes, normal Hemiparesis merupakan


s edema (-) kelemahan pada satu sisi
tubuh pada daerah
ekstremitas.

21. Kulit erupsi terutama Berat badan pasien yang turun


daerah pada sakrum drastis menyebabkan
tertekan terdapat erupsi timbulnya erupsi pada kulit
epidermis daerah sakrum.
sekitar 5x5 cm

22. Aktivitas bedrest, miring Aktivitas terbatas dari pasien


bedrest kiri-kanan disebabkan karena kondisi
dibantu kesadaran yang belum
sepenuhnya pulih, ditambah
lagi dengan status nutrisi
pasien yang tidak sepenuhnya
telah tercukupi menyebabkan
pasien menjadi lemas dan
membutuhkan bantuan untuk
beraktivitas.

23. CD4+ 45/uL 500- Nilai CD4+ dibawah nilai


1500/u normal menandakan turun
L atau hilangnya sistem imunitas
seluler. Pada kasus ini
menurunnya CD4+
disebabkan adanya HIV yang
secara selektif menginfeksi sel
yang berperan dalam
pembentukan antibodi pada
sistem kekebalan tubuh yaitu
sel limfosit T4.

24. CT Scan sugestif - Toksoplasmosis 


toxoplasmosis Penyebab ensefalitis lokal
dengan pada penderita AIDS
ventrikulomegal adalah reaktivasi
i Toxoplasma gondii, yang
sebelumnya merupakan
infeksi laten. Gejala dapat
berupa sakit kepala dan
panas, sampai kejang dan
koma. Jarang ditemukan
toksoplasmosis di luar otak
- Temuan radiologi kedua
terbanyak yang ditemukan
pada pasien infeksi CMV
kongenital adalah
ventrikulomegali dengan
angka kejadian sebanyak
45%
- Ventrikulomegali
merupakan temuan
radiologi dengan
gambaran berupa dilatasi
atau pelebaran yang
abnormal dari struktur
ventrikel. Diagnosis
ventrikulomegali
ditegakkan jika ditemukan
lebar ventrikel lateral
melebihi 10 milimeter.
Kondisi ini dapat
ditemukan unilateral
maupun bilateral.
25. Diagnosis AIDS Penyakit AIDS merupakan
AIDS Komplikasi sindrome yang disebabkan
Infeksi oleh retrovirus yang
menyerang sistem kekebalan
atau pertahanan tubuh.
Dengan rusaknya sistem
kekebalan tubuh maka orang
yang terinfeksi mudah
diserang penyakit-penyakit
lain. Diagnosa AIDS
ditegakkan apabila kadar
CD4+ < 200/μL.
Berdasarkan klasifikasi
HIV/AIDS sesuai tanda dan
gejala yang dialami pasien,
tergolong dalam kelasifikasi
kelas C dan tingkat III.
AIDS komplikasi infeksi
setelah diketahui T Helper
(CD4+) = 45/uL.
 ASSESMENT
- Drug Related Problem

Jenis DRP Masalah Penyelesaian


Pemberian N-asetilsistein sebagai
Batuk
mukolitik
Pemberian sistenol (PCT 500 mg +
asetilsistein 200 mg) prn. Sistenol
adalah obat yang digunakan sebagai
penurun demam yang disertai batuk
pada gejala influenza. Sistenol
Belum mengandung paracetamol, obat yang
Demam
diterapi memiliki aktivitas sebagai
antipyretic sekaligus analgetic,
dikombinasikan dengan
acetylcysteine, obat yang bisa
digunakan untuk mengurangi
viskositas dahak.
Pemberian Normal Saline sebagai
Diare
resusitasi cairan
Interaksi bersifat sedang,
penggunaan bersamaan akan
menyebabkan efektivitas
klindamicin menurun.
Klindamisin dan Klinadamisin tidak sesuai dengan
attapulgite pasien ini untuk terapi
toksoplasmosis, maka klindamisin
Berinteraksi diganti dengan pirimetamin dan
sulfadiazine. Sehingga tidak ada
interaksi obat yang terjadi.
Interaksi bersifat sedang,
penggunaan bersamaan akan
Ethambutol dan stavudin menyebabkan terjadinya
kerusakan syaraf. Maka dilakukan
pemantauan kondisi syaraf pasien
Menimbulkan Nevirapin (golongan
Menyebabkan hepatotoksik
efek samping NNRTI)
Terapi ARV yang sesuai adalah
Terapi tidak
Stavudin Zidovudin + Lamivudine +
tepat
Efavirenz
Zidovudin juga sudah dicover BPJS,
sehingga dapat meringankan beban
pasien yang sudah tidak bekerja
(Kemenkes, 2011).
Terapi ARV yang sesuai adalah
Nevirapin Zidovudin + Lamivudine +
Efavirenz (Kemenkes, 2011).
Pasien mengelami batuk, Dilakukan dengan radiography
Penegakan maka ditegakkan
diagnosis diagnosisnya antara TB
atau pneumonia

 PLAN
Nama Obat Keterangan

NGT METO: Monitoring kebutuhan kalori pasien per


harinya

New diatab Diganti dengan Octreotide menghambat sekresi


pada usus dan memiliki efek yang terkait dosis pada
motilitas usus. Dalam dosis rendah (50 mcg sc)
memiliki efek merangsang motilitas, sedangkan
pada dosis yang lebih tinggi (misalnya, 100-250 mcg
sc) memiliki efek menghambat motilitas usus.
Octreotide dosis tinggi digunakan untuk pengobatan
diare yang disebabkan karena sindrom vagotomy
atau dumping serta untuk diare yang disebabkan
oleh short bowel syndrome atau AIDS ( Katzung,
2012).

Sehingga diberikan dosis octreotide yaitu 500 mcg


subkutan tiap 8 jam (Zacharof, 2001).

METO: frekuensi diare


MESO: rasa tidak nyaman pada abdominal,
bradikardi sinus

Nevirapine → dapat Diganti dengan Efavirenz, dikarenakan obat ini


menyebabkan diare dan tidak mempunyai efek hepatotoksik, serta efavirenz
hepatotoksik merupakan terapi pilihan setelah nevirapine.

Dosis Efavirenz: 600 mg diberikan single dose 24


jam pada malam hari.

METO: kenaikan jumlah CD4

MESO: pengingkatan kadar kolesterol total

Stavudine → Mempunyai Diganti dengan Zidovudine yang dengan dosis 250


efek samping neuropati - 300 mg setiap 12 jam
perifer, lipodistrofi dan laktat
METO: kenaikan jumlah CD4
asidosis
MESO: sakit kepala, malaise, ansietas

Streptomisin dan Etambutol Dihentikan terlebih dahulu karena pasien tidak


merupakan antibiotic untuk mengalami TBC dan perlu dilakukan kultur
penyakit TBC sebelum penggunaan antibiotic ini

Batuk → Pasien mengeluhkan Pemberian terapi codein untuk mengatasi batuknya


batuk-batuk, serta saat batuk dan mengatasi nyeri dadanya saat batuk.
dadanya terasa nyeri
Indikasi penggunaan codeine atau kodein antara lain
untuk meredakan nyeri ringan hingga sedang pada
pasien dewasa dan batuk kering disertai nyeri pada
dewasa pada dosis terapeutik minimal yang aman
(BNF, 2015).

Dosis : 15-30 mg 3-4 kali sehari.


METO: gejala batuk dan nyeri dada

MESO: konstipasi, mengantuk

Demam → Kondisi pasien Pemberian sistenol (PCT 500 mg + asetilsistein 200


yaitu demam naik turun mg) prn. Sistenol adalah obat yang digunakan
sebagai penurun demam yang disertai batuk pada
gejala influenza. Sistenol mengandung paracetamol,
obat yang memiliki aktivitas sebagai antipyretic
sekaligus analgetic, dikombinasikan dengan
acetylcysteine, obat yang bisa digunakan untuk
mengurangi viskositas dahak

METO: suhu tubuh, gejala influenza

MESO: mengantuk, pusing

Klindamisin dan Attapulgit Klindamisin diganti dengan pirimetamin dan


→ Penggunaan bersamaan sulfadiazine. Sehingga tidak ada interaksi obat yang
akan menyebabkan efektivitas terjadi.
klindamicin menurun
Toxoplasmic merupakan salah satu komplikasi yang
(drugs.com). Serta
umum pada AIDS. Terapi pilihan adalah
Klinadamisin tidak sesuai
pirimetamin dan Sulfadiazin yang diberikan dalam
dengan pasien ini untuk terapi
beberapa minggu (PIONAS, 2015).
toksoplasmosis
Dosis normal obat ini adalah 50-75mg
pirimetamin dan 2-4g sulfadiazin per hari.

Kedua obat ini mengganggu ketersediaan vitamin B


dan dapat mengakibatkan anemia. Orang dengan
tokso biasanya memakai kalsium folinat (semacam
vitamin B) untuk mencegah anemia. Kombinasi
obat ini sangat efektif terhadap tokso. Lebih dari
80% orang menunjukkan perbaikan dalam 2-3
minggu.

METO: gejala toksoplasmosis

MESO: anemia aplastik, kram abdominal, sakit


kepala

 MONITORING
1. Dilakukan monitoring CD4 tiap 6 bulan sekali untuk menilai kefektivan dari
pemberian antiretroviral yang sudah didapatkan oleh pasien tersebut
2. Monitoring status nutrisi dan kondisi pasien untuk menilai keefektivan
pemberian NGT sebagai nutrisi enteral untuk pasien.
3. Monitoring fungsi hepar karena pasien mendapat pengobatan antiretroviral
jangka panjang sehingga ditakutkan akan berpengaruh pada hati pasien. perlu
pengecekan SGOT/SGPT pada pasien.
4. Apabila pasien mengalami anemia dapat dilakukan cek CBC sehingga dapat
ditetapkan terapi yang tepat untuk diberikan ke pasien
5. Monitoring semua gejala pasien
6. Monitoring data laboratorium pasien
7. Monitoring kondisi psikologi pasien, karena biasanya pasien mengalami
gangguan psikologi berupa depresi karena tidak sanggup untuk menerima bahwa
pasien mengalami HIV/AIDS sehingga pendampingan sangat perlu dilakukan
oleh keluarga ataupun tenaga kesehatan yang lain.
8. Dapat diberikan edukasi kepada pasien untuk selalu patuhan dalam
mengonsumsi obat,
9. Menghentikan kebiasaan penggunaan narkotika, perilaku seks bebas,rokok dan
alkohol.
10. Diedukasikan kepada istri pasien untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut
karena dapat juga berpotensi untuk tertular infeksi HIV.
DAFTAR PUSTAKA

AHA. 2017. High bood pressure clinical practice guideline for the orevention,detection,evalution.
A report of the Amerika college of cardiologt. America : J Am Coll Cardiol.
Airlangga, M. P., dan Aminuddin, M. 2018. Laporan Kasus Pasien AIDS dengan Efusi Perikard
Masif. Jurnal Kardiologi Muhammadiyah Vol. 14 No. 1: hal 25-31.
Aulina, S., dkk. 2016. Modul Lemah separuh Badan. Makassar: Universitas Hasanuddin Press.
Bahar, A., dan Wuysang, D. 2014. Pemeriksaan Neurologik Lainnya. Makassar: Universitas
Hasanuddin Press.
Bahar, A., dan Wuysang, D. 2015. Pemeriksaan Fungsi Saraf Kranial Bagian I. Makassar:
Universitas Hasanuddin Press.
British National Formulary. 2015. BNF 70. London: Joint Formulary Committee.
Bunn HF. 2000. Anemia : Harrison's Principles of Internal Medicine. In: Isselbacher KT, et al.,
editors. 13th ed. New York, NY: McGraw-Hill; 1994. p. 313
Chackraborty, S., C. Papageorgiou, FP Sebastian. 2010. Diseases, infection dynamics, and
development. Journal of Monetary Economics. 57(7), 859-872
Challacombe SJ, Sweet SP. 2002. Oral mucosal immunity and HIV infection: current status. Oral
Dis. 8 Suppl 2:55-62.
Djoerban Z, Djauzi. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta : Pusat Penerbit
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
Duarsa, N. W. 2009. Infeksi HIV dan AIDS. Dalam: Daili, S. F., Makes, W. I. B., Zubier, F., editor.
Infeksi Menular Seksual. Edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; hal. 146-159.
Gunawan, Y. T., Prasetyowati, I., & Ririanty, M. (2017). Hubungan Karakteristik ODHA Dengan
Kejadian Loss To Follow Up Terapi ARV Di Kabupaten Jember. IKESMA, 12(1).
Hafsari, D., dkk. 2018. Hemiplegia Sinistra dan Paresis Nervus VII dan XII Et Causa Stroke Non
Hemoragik. Majority Vol. 7, No. 3: hal. 163-167.
Harrington, P. R. and Swanstrom, R. 2008. The Biology of HIV, SIV, and Other Lentiviruses. In:
Holmes, K. K., Sparling, P. F., Stamm, W. E., Piot, P., Wasserheit, J. N., Corey, L., Cohen,
M. S., Watts, D. H., Eds. Sexually Transmitted Diseases. 4th Ed. New York: McGraw-
Hill; 5(20): 323-341.
Jain, S., and Iverson, L. M. Glasgow Coma Scale. [Updated 2020 Jun 23]. In: StatPearls
Publishing.
Katzung, Bertram G., Masters, Susan B., Trevor, Anthony J. 2012. Basic & Clinical
Pharmacology 12th edition. USA : The McGraw Hill Companies.
Kayser et al. 2005. Medical Microbiology. New York. Thieme Stutgart
Kementrian Kesehatan RI. 2011. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi
Antiretroviral pada Orang Dewasa. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan. Jakarta.
Koda-kimble, 2009, Applied Therapeutics The Clinical Use of Drugs, 9th Ed, Lippincott Williams
& Wilkins, Philadelphia
Lan, V. M., 2005. Virus Imunodefisensi Manusia (HIV) dan Sindrom Imunodefisiensi Didapat
(AIDS). In: Price, S. A., Wilson, L. M., ed. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit volume 1 Eds 6. Jakarta: EGC. 224-242.
Linda, A., Sawitri, Safitri, Y. E., Hinda, D. 2009. Viral Load pada Infeksi HIV. Berkala Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin. No. 21: hal. 31-38.
Maartens, G., Celum, C., and Lewin, S. R. 2014. HIV Infection: Epidemiology, Pathogenesis,
Treatment, and Prevention. The Lancet, 384(9939): 258-271.
Merati, K. T. P. 2008. HIV sebagai Penyebab AIDS. Dalam: Buku Disertasi Subtipe HIV-1 di
Beberapa Daerah di Indonesia dan Perannya sebagai Petunjuk Dinamika Epidemi HIV;
hal. 14-16.
Nasronudin. 2014. HIV & AID : pendekatan biologi molekuler, klinis, dan sosial. Surabaya :
Airlangga University Press
Nuzzilah, N. A., & Sukendra, D. M. (2017). Analisis Pengetahuan dan Sikap Narapidana Kasus
Narkoba Terhadap Perilaku Berisiko Penularan HIV/AIDS. JHE (Journal of Health
Education), 2(1), 11-19.
PIONAS. 2015. Antitoksoplasma (Online) http://pionas.pom.go.id/ioni/bab-5-infeksi/55-infeksi-
protozoa/557-antitoksoplasmadiakses pada tanggal 27 Oktober 2020, pukul 21.30 WIB.
Salmon-Ceron D, Lewden C, Morlat P, et al. 2005. Liver disease as a major cause of death among
HIV infected patients: role of hepatitis C and B viruses and alcohol. J Hepatol. 42:799–
805.
Spector RH. The Pupils. In: Walker HK, Hall WD, Hurst JW, editors. 1990. Clinical Methods:
The History, Physical, and Laboratory Examinations. 3rd edition. Boston: Butterworths;
Chapter 58.
Tursinawati, dkk. 2015. Buku ajar Sistem Saraf. Semarang: Universitas Muhammadiyah Press.
UNAIDS. 2020. Overview in Indonesia. available at:
https://www.unaids.org/en/regionscountries/countries/indonesia#:~:text=HIV%20inciden
ce%20per%201000%20uninfected,were%20newly%20infected%20with%20HIV.
Accessed date: 28 October 2020 at 06.31 PM.
Zacharof, A.K. 2001. AIDS-Related diarrhea-pathogenesis, evaluation, and treatment. Annals of
Gastroenterology. 14(1) : 22-26.

Anda mungkin juga menyukai