Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN KASUS KepadaYth :

Dipresentasikan pada :
Hari/tanggal :
Jam :

HERPES ZOSTER THORAKALIS DEKSTRA


PADA PASIEN DENGAN SARKOMA FEMUR
DEKSTRA

Oleh:
I Gde Nengah Adhilaksman Sunyamurthi Wirawan

Pembimbing:
dr. Ni Md. Dwi Puspawati, Sp.KK

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I


BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA/RSUP
SANGLAH DENPASAR
2016
PENDAHULUAN

Herpes zoster (HZ), yang disebut juga shingles, adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh reaktivasi dari infeksi laten virus varicella-zoster (VVZ).
Shingles berasal dari Bahasa Latin “cingulum” yang artinya girdle atau korset,
karena manifestasi HZ sesuai dermatomal, sedangkan zoster berasal dari Bahasa
2
Yunani kuno yang berarti ikat pinggang pejuang Yunani.
Angka kejadian herpes zoster meningkat seiring dengan bertambahnya
usia akibat penurunan imunitas selular. Pada kelompok individu dengan usia 85
tahun, 50% akan mengalami herpes zoster. Sedangkan pada kelompok individu
dengan usia 45 tahun, insidensnya kurang dari 1 per 1000 orang. Studi di Eropa
dan Amerika Utara menunjukkan angka kejadian HZ sebesar 1,5-3 per 1000
orang/tahun (semua usia) dan 6-8 per 1000 orang/tahun (usia > 60 tahun), serta 8-
1,3
12 per 1000 orang/ tahun (usia > 80 tahun). Berdasarkan data di poliklinik Kulit
dan Kelamin Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar pada tahun 2015
terdapat 99 kasus herpes zoster baru dari total 2953 kunjungan pasien baru atau
5
sebanyak 3,3%.
Mekanisme reaktivasi VVZ belum diketahui pasti, namun dikatakan
proses ini berhubungan dengan penurunan imunitas seluler spesifik terhadap
VVZ. Pasien dengan imunokompromais memiliki resiko 20 hingga 100 kali lebih
besar untuk menderita herpes zoster dibandingkan pasien dengan imunokompeten
pada usia yang sama. Kondisi-kondisi imunosupresif yang berhubungan dengan
resiko HZ yang tinggi, antara lain infeksi human immunodeficiency virus (HIV),
transplantasi sumsum tulang, leukimia dan limfoma, penggunaan kemoterapi
1
kanker, dan penggunaan kortikosteroid.
Diagnosis HZ ditegakkan secara klinis, namun pada tahap awal
(prodormal) seringkali menyerupai penyakit lainnya. Pemeriksaan penunjang
dapat membantu penegakkan diagnosis HZ pada kasus yang atipikal mulai dari
pemeriksaan Tzanck hingga Polymerase Chain Reaction (PCR) ataupun Direct
Fluorescent Antibody (DFA). Penatalaksanaan HZ berupa terapi anti viral, terapi
1,6
topikal, anti inflamasi serta analgesik.

1
Berikut dilaporkan kasus herpes zoster thorakalis dekstra pada pasien
dengan sarcoma femur dekstra. Kasus ini dilaporkan untuk memberikan
pemahaman tentang manifestasi klinis, cara diagnosis dan penanganan yang tepat
pada penderita herpes zoster pada kanker.

KASUS

Seorang laki-laki, 53 tahun, suku Sasak, warga negara Indonesia, dengan


nomer rekam medis 15.04.86.31 datang ke dikonsulkan dari bagian bagian bedah
onkologi RSUP Sanglah Denpasar pada tanggal 9 April 2016 dengan keluhan
utama muncul bintil berair pada dada sebelah kanan sampai ke punggung. Bintil
berair muncul sejak 8 hari yang lalu. Awalnya hanya tampak sedikit dan disertai
kemerahan pada kulit. Kemudian bintil berair tersebut semakin lama semakin
banyak dan menyebar disekelilingnya. Pasien mengeluh nyeri dan panas seperti
terbakar di daerah dada dan punggung sejak 3 hari sebelumnya. Pasien mengalami
demam naik turun sejak sehari sebelum muncul lesi. Pasien juga mengeluh sedikit
gatal pada daerah lesi.
Riwayat penyakit serupa sebelumnya disangkal oleh pasien. Riwayat
penyakit cacar air dialami pasien pada saat anak-anak, tetapi pasien tidak ingat
pada saat usia berapa. Keluhan sama pada keluarga atau tetangga pasien
disangkal. Riwayat mengoleskan minyak dan obat tradisional disangkal oleh
pasien. Pasien pernah memberikan bedak bayi pada lesi 2 hari yang lalu, tetapi
tidak ada perubahan pada keluhan pasien. Pasien memiliki riwayat alergi obat
berupa asam mefenamat dan amoksisilin. Pasien memiliki keluhan benjolan pada
paha kanan sejak 2 tahun yang lalu yang didiagnosa sebagai sarkoma femur
dekstra oleh bagian bedah onkologi dan telah diberikan kemoterapi yang pertama
pada tanggal 17 maret 2016.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,
kesadaran compos mentis. Tekanan darah 120/70 mmHg. Nadi 80 kali/menit,
0
frekuensi nafas 20 kali/menit, suhu aksila 37,1 C dan visual analog scale (VAS)
2. Status generalis didapatkan kepala normocephali, pada kedua mata tidak

2
didapatkan adanya tanda-tanda anemia dan ikterus, serta tidak terdapat hiperemia
pada konjungtiva. Pemeriksaan telinga, hidung dan tenggorokan tidak ditemukan
adanya kelainan, tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah bening regional.
Pemeriksaaan jantung didapatkan suara jantung (S1 dan S2) tunggal, regular,
tidak terdapat murmur. Suara nafas vesikuler, tidak ditemukan adanya ronkhi
ataupun wheezing. Pemeriksaan abdomen didapatkan bising usus dalam batas
normal, tidak terdapat distensi abdomen, hepar dan lien tidak teraba. Pada
pemeriksaan ekstremitas teraba hangat, tidak ditemukan edema.
Status dermatologi, lokasi pada dada kanan sampai punggung setinggi
thorakal 3-4, didapatkan vesikel bergerombol multipel, batas tegas, bentuk bulat-
oval, ukuran 0,3-0,5 cm, konfluen membentuk geografika dengan ukuran 2x5cm –
4x7cm berdinding tegang berisi cairan serious, dengan dasar kulit eritema, pada
beberapa tempat tampak erosi multipel, batas tegas, bentuk geografika, ukuran
0,5x1-2x3 cm. (Gambar 1-3).
Pemeriksaan Tzanck dari dasar vesikel didapatkan adanya multinucleated
giant cells. Pemeriksaan darah lengkap pada tanggal 3 April 2016 didapatkan
hemoglobin 10,9 g/dL (13.5-17.5g/dL); hematokrit 34,4% (41-53%); leukosit 10,4
3 3
x10 /µL (4,1-11x10 ); neutrofil 6,35/µL (2,5-7,5); limfosit 1,58/µL (1-4); monosit
1,02/µL (0,1-1,2); eosinofil 1,41/µL (0-0,5); basofil 0,01/µL (0-0,1); trombosit
3 3
268 x10 /µL (140-440 x10 ). Pemeriksaan gula darah sewaktu didapatkan 90
mg/dL (70-140), pemeriksaan fungsi ginjal didapatkan BUN 13 mg/dL (8–23);
kreatinin 0,79 mg/dL (0,7–1,2).
Diagnosis pasien adalah Herpes zoster thorakalis dekstra setinggi
dermatom T3-T4. Penatalaksanaan pada pasien adalah asiklovir 800mg 5 kali
sehari peroral (selama 7 hari), parasetamol tablet 500mg setiap 8 jam peroral
(kalau perlu), krim gentamisin 0,1% setiap 12 jam topikal pada daerah erosi, dan
KIE (komunikasi, edukasi, informasi).
Bagian bedah onkologi mendiagnosis penderita dengan sarkoma femur
dekstra. Penatalaksaan pada pasien diberikan perawatan luka, vitamin B1 B6 B12
setiap 24 jam peroral, dan rencana pemberian kemoterapi ke-2 bila kondisi pasien
stabil.

3
Gambar 1. Gambar 2.

Gambar 3.

PENGAMATAN LANJUTAN I : 12 APRIL 2016 (HARI KE-4)

Dari anamnesis bintil berair pada perut dan punggung kiri mulai
mengering, tidak terdapat bintil baru, nyeri berkurang, lesi dirasakan gatal,
demam tidak ada, makan dan minum baik.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak baik, kesadaran
composmentis. Tekanan darah 120/80 mmHg. Nadi 80 kali/menit, frekuensi nafas
0
20 kali/menit, suhu aksila 36,8 C dan visual analog scale (VAS) 1. Pada status
generalis dalam batas normal.
Status dermatologi, lokasi pada dada kanan sampai punggung setinggi
thorakal 3-4, didapatkan vesikel bergerombol multipel, batas tegas, bentuk bulat-
oval, ukuran 0,3-0,5 cm, konfluen membentuk geografika dengan ukuran 2x5cm –
4x7cm berdinding tegang berisi cairan serious, dengan dasar kulit eritema, pada
beberapa tempat tampak erosi multipel, batas tegas, bentuk geografika, ukuran
0,5x1,5-2,5x4 cm, Diantara gerombolan vesikel terdapat kulit normal. (Gambar 4-
6).

4
Diagnosis pasien adalah Herpes zoster thorakalis dekstra T3-T4 membaik
(hari ke-4). Terapi yag diberikan pada pasien adalah asiklovir 800mg 5 kali sehari
peroral (dilanjutkan hingga 7 hari), parasetamol tablet 500mg setiap 8 jam peroral
(kalau perlu), krim gentamisin 0,1% setiap 12 jam pada daerah erosi, vitamin B1
B6 B12 setiap 24 jam peroral, mebhidrolin napadisilat 50mg setiap 12 jam peroral
(kalau gatal), dan KIE (komunikasi, edukasi, informasi).

Gambar 4. Gambar 5.

Gambar 6.

PENGAMATAN LANJUTAN II : 16 APRIL 2016 (HARI KE-8)

Dari anamnesis tidak terdapat bintil baru dan lesi mulai mengering, tidak ada
demam dan nyeri, gatal sudah berkurang, demam, makan dan minum baik.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak baik, kesadaran
composmentis. Tekanan darah 120/80 mmHg. Nadi 80 kali/menit, frekuensi nafas
0
20 kali/menit, suhu aksila 36,5 C. Pada status generalis dalam batas normal.
Status dermatologi, lokasi pada dada kanan sampai punggung sesuai
dermatomal setinggi regio thorakal 3 dan 4, didapatkan erosi multipel, batas
tegas,

5
bentuk geografika, ukuran 0,5x1-2x3 cm, diatas kulit eritema. Tampak krusta
coklat kehitaman pada beberapa tempat (Gambar 7-9).
Diagnosis pasien adalah Herpes zoster thorakalis dekstra T3-T4 membaik
(hari ke-8). Terapi yag diberikan pada pasien adalah parasetamol tablet 500mg
setiap 8 jam peroral (kalau perlu), krim gentamisin 0,1% setiap 12 jam pada lesi
erosi atau mengering, vitamin B1 B6 B12 setiap 24 jam peroral, mebhidrolin
napadisilat 50mg setiap 12 jam peroral (kalau gatal), dan KIE (komunikasi,
edukasi, informasi).

Gambar 7. Gambar 8.

Gambar 9.

PEMBAHASAN

Penyakit yang disebabkan oleh reaktivasi virus varicella zoster (VVZ)


disebut dengan herpes zoster. Infeksi ini dapat terjadi sporadik sepanjang tahun.
Epidemiologi angka kejadian HZ sebesar 1,5-3 per 1000 orang per tahun pada
1,3
semua usia dan meningkat seiring bertambahnya usia. Selama perjalanan
penyakit varisela, virus varicella zoster dari lesi kulit dan mukosa menuju ke

6
ujung saraf sensoris dan ganglion sensoris. Virus membentuk infeksi laten yang
7,8
menetap sepanjang hidup di ganglia dan suatu saat dapat mengalami reaktivasi.
Kondisi reaktivasi menyebabkan virus bereplikasi dan menyebabkan
peradangan ganglion sensoris. Virus menyebar ke sumsum tulang belakang dan
batang otak, dari saraf sensoris menuju kulit dan menimbulkan erupsi vesikuler
yang khas. Daerah dengan lesi varisela terbanyak, diperkirakan merupakan area
dengan virus terbanyak yang mengalami keadaan laten sehingga area tersebut
1,6
berisiko menjadi lesi herpes zoster. Seseorang yang menderita herpes zoster
dapat menularkan ke orang lain dan bermanifestasi sebagai varisela, namun belum
ada bukti akurat bahwa herpes zoster ditularkan dari seseorang yang menderita
10
varisela.
Mekanisme yang mendasari reaktivasi VVZ laten masih belum diketahui
dengan pasti, namun dihubungkan dengan kondisi imunosupresi, stress emosional,
radiasi pada medulla spinalis, tumor pada ganglion dorsalis atau struktur di
11
sekitarnya, trauma lokal, manipulasi bedah pada tulang belakang, sinusitis.
Apabila imunitas seluler yang spesifik terhadap VVZ ini menurun hingga di
bawah level kritis tertentu, sistem imun tidak akan mampu lagi menahan
12,13
reaktivasi virus sehingga kemudian menimbulkan gejala klinis.
Manifestasi klinis herpes zoster berupa nyeri pada daerah yang terkena,
dan dapat disertai gejala prodromal berupa demam ringan, nyeri kepala atau
malaise (1-5 hari). Nyeri dapat terjadi pada satu atau beberapa hari sebelum
timbulnya erupsi kulit. Nyeri dapat dirasakan terus-menerus atau hilang timbul,
8,13,14
seperti ditusuk, ataupun panas seperti terbakar. Karakteristik lesi kulit
adalah unilateral, pada area yang diinervasi satu ganglion sensoris. Lesi kulit
berupa vesikel berkelompok diatas kulit eritema. Vesikel baru terbentuk dalam 12
sampai 24 jam dan berubah menjadi pustul pada hari ketiga yang akan mengering
dan terbentuk krusta dalam waktu 7-10 hari. Krusta dapat menetap selama 2
14
sampai 3 minggu.
Pendekatan diagnosis HZ berdasarkan anamnesis yang cermat, manifestasi
pada kulit, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis yang penting ditanyakan
adalah detail keluhan berdasarkan urutan waktu, mulai gejala prodromal hingga

7
timbulnya lesi kulit. Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan antara lain
pemeriksaan histopatologi dan pemeriksaan sediaan hapus Tzanck. Pemeriksaan
histopatologi dapat ditemukan celah intraepidermal, akantolisis, degenerasi
nuklear, edema dan vaskulitis pada dermis, serta dapat dijumpai raksasa berinti
banyak (multinucleated giant cell). dengan perubahan inti yang khas. Pada
sediaan hapus Tzanck dengan pemeriksaan Giemsa ditemukan multinucleated
giant cell. Tetapi kedua pemeriksaan ini tidak dapat membedakan antara varisela
1,8
dengan herpes zoster.
Sarkoma adalah kelompok tumor yang secara umum menyerang jaringan
tubuh bagian dalam (mesoderm), namun dapat juga menyerang jaringan tubuh
bagian luar (eksoderm). Sarkoma dibedakan menjadi 2 kelompok utama, yaitu
sarkoma tulang dan sarkoma jaringan lunak. Bila dibandingkan dengan sarkoma
jaringan lunak, sarkoma tulang lebih jarang dilaporkan. Gejala sarkoma tulang
bervariasi tergantung pada ukuran dan lokasi tumor. Tulang yang sering diserang
adalah tulang-tulang besar, seperti humerus, femur, dan tibia. Nyeri adalah
keluhan yang paling sering dilaporkan. Bila tumor tumbuh disekitar sendi,
biasanya menyebabkan bengkak dan kelemahan pada sendi. Gejala lain yang
dapat ditemukan adalah penurunan berat badan, kurang nafsu makan, atau
anemia. Sarkoma sering menyebabkan penurunan imunitas pasien, sehingga
mudah diserang penyakit-penyakit lain, misalnya infeksi jamur, bakteri, ataupun
16
reaktivasi virus seperti herpes zoster.
Herpes zoster lebih sering ditemukan pada pasien yang
imunokompromais. Kondisi imunokompromais yang dikatakan berisiko tinggi
menderita herpes zoster meliputi infeksi HIV, pasien dengan transplantasi
sumsum tulang, leukemia, limfoma, penggunaan obat-obatan kemoterapi, dan
1
penggunaan kortikosteroid jangka panjang. Herpes zoster juga dapat terjadi pada
individu yang sehat terutama pada individu usia lanjut. Individu usia lanjut yang
imunokompeten memiliki risiko menderita herpes zoster yang lebih tinggi bila
15
dibandingkan dengan individu usia muda. Pasien memiliki keluhan benjolan
pada paha kanan sejak 2 tahun yang lalu yang didiagnosa sebagai sarkoma femur
dekstra oleh bagian bedah onkologi dan telah diberikan kemoterapi yang pertama

8
pada tanggal 17 maret 2016, tetapi pemberian kemoterapi yang ke-2 ditunda
karena kondisi herpes zoster yang dideritanya.
Diagnosis pasien adalah Herpes zoster thorakalis dekstra setinggi dermatom
T3-T4 berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis yang khas. Keluhan utama pasien
adalah muncul bintil berair pada dada sebelah kanan sampai ke punggung. Bintil
berair muncul sejak 8 hari yang lalu. Awalnya hanya tampak sedikit dan disertai
kemerahan pada kulit. Kemudian bintil berair tersebut semakin lama semakin banyak
dan menyebar disekelilingnya. Pasien mengeluh nyeri dan panas seperti terbakar di
daerah dada dan punggung sejak 3 hari sebelumnya. Pasien mengalami demam naik
turun sejak sehari sebelum muncul lesi. Pasien juga mengeluh sedikit gatal pada
daerah lesi. Pasien pernah terkena cacar air saat anak-anak. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan lokasi lesi pada dada kanan sampai punggung setinggi thorakal 3-4,
didapatkan vesikel bergerombol multipel, batas tegas, bentuk bulat-oval, ukuran 0,3-
0,5 cm, konfluen membentuk geografika dengan ukuran 2x5cm – 4x7cm berdinding
tegang berisi cairan serious, dengan dasar kulit eritema, pada beberapa tempat tampak
erosi multipel, batas tegas, bentuk geografika, ukuran 0,5x1-2x3 cm. Hasil
pemeriksaan penunjang hapusan Tzank dari dasar vesikel didapatkan gambaran
multinucleated giant cell.
Komplikasi HZ secara umum (tidak bergantung pada area reaktivasi VVZ)
1
yaitu post herpetic neuralgia (PHN) dan superinfeksi bakteri.
Tujuan terapi herpes zoster adalah mempercepat proses penyembuhan,
membatasi tingkat keparahan dan durasi lesi kulit, mengurangi nyeri akut maupun
kronis, serta meminimalkan komplikasi yang mungkin muncul. Penyakit herpes
1
zoster merupakan self-limiting dan umumnya penyembuhannya sempurna.
Penatalaksanaan herpes zoster adalah terapi antiviral asiklovir tablet 800
mg, 5 kali sehari peroral selama 7 hari, atau valasiklovir tablet 1 gram, 3 kali
sehari peroral selama 7 hari, atau famsiklovir tablet 500 mg, 3 kali sehari peroral
selama 7 hari. Valasiklovir dan famsiklovir memiliki efikasi yang lebih tinggi jika
1
dibandingkan asiklovir sebagai terapi herpes zoster. Terapi antivirus bertujuan
untuk mengurangi durasi viral-shedding, pembentukan lesi baru, keparahan nyeri
dan mempercepat penyembuhan. Efektivitas terapi antivirus masih belum

9
1
dibuktikan jika diberikan lebih dari 72 jam setelah lesi muncul. Apabila masih
terjadi pembentukan vesikel baru walaupun lebih dari 72 jam pertama, terapi
asiklovir sebaiknya tetap diberikan. Terapi diberikan selama 10-14 hari atau dapat
diteruskan hingga semua lesi sembuh, semua vesikel sudah menjadi krusta, dan
8
tidak ada pembentukan lesi baru.
Terapi tambahan pada herpes zoster meliputi analgesik dan terapi topikal.
Analgesik diperlukan untuk menurunkan tingkat keparahan nyeri. Analgesik lini
pertama berupa Parasetamol 500-1000 mg tiap 4-6 jam (maksimal 4 gram/hari)
untuk mengatasi nyeri akut ringan (skala nyeri 1-3). Efek analgesik dicapai pada
dosis 600-1000mg per kali pemberian. Golongan opioid (oxycodone) dan
antikonvulsan (gabapentin dosis tunggal 900mg) diberikan bila nyeri akut sedang-
4
berat. Terapi topikal merupakan terapi penunjang pada herpes zoster, yang
bergantung pada stadium penyakit. Pada lesi vesikel diberikan bedak, dan pada
lesi erosi dapat diberikan antibiotik topikal sebagai terapi terhadap infeksi
1, 14
sekunder.
Penatalaksanaan pada pasien adalah asiklovir 800mg setiap 4 jam peroral
(selama 7 hari), parasetamol tablet 500mg setiap 8 jam peroral (kalau perlu),
vitamin B1 B6 B12 setiap 24 jam peroral, krim gentamisin 0,1% setiap 12 jam
topikal pada daerah erosi, dan KIE (komunikasi, edukasi, informasi).
Kasus ini memiliki prognosis dubius, kondisi lesi dan keluhan pasien yang
membaik setelah pemberian terapi, tetapi mengingat pasien menderita sarkoma
femur dekstra dan masih dalam pemberian kemoterapi, kemungkinan herpes
zoster muncul lagi masih ada.

SIMPULAN
Telah dilaporkan sebuah kasus herpes zoster thorakalis dekstra setinggi
dermatom T3-T4 pada seorang pria berusia 53 tahun yang menderita sarkoma
femur dekstra. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis (bintil berair pada
dada sebelah kanan sampai ke punggung, nyeri dan panas seperti terbakar,
demam, pernah terkena cacar air saat anak-anak), pemeriksaan fisik (gambaran

10
klinis berupa vesikel bergerombol di atas kulit yang eritema distribusi sesuai
dengan dermatom yang dipersarafi oleh thorakal 3 dan thorakal 4) dan
pemeriksaan penunjang hapusan Tzanck dari dasar vesikel didapatkan gambaran
multinucleated giant cell.
Penatalaksanaan pada kasus ini adalah asiklovir 800mg setiap 4 jam
peroral (selama 7 hari), analgesik berupa parasetamol tablet 500mg setiap 8 jam
peroral (kalau perlu), vitamin B1 B6 B12 setiap 24 jam peroral, krim gentamisin
0,1% setiap 12 jam topikal pada daerah erosi, dan KIE (komunikasi, edukasi,
informasi). Prognosis adalah dubius.

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Schmader KE, Oxman MN. Varicella and Herpes Zoster. Fitzpatrick’s


th
Dermatology in General Medicine. 8 ed. New York: McGraw Hill; 2012.
p.2392-2400.
2. Deshmukh R, Raut A, Sonone S, Pawar Sachin, Bharude N, Umarkar A,
Laddha G, Shimpi R. Herpes Zoster: A Fatal Viral Disease: A
Comprehensive Review. IJPCBS. 2012; 2(2):138-145.
3. Kawai K, Gebremeskel BG, Acosta CJ. Systematic Review of Incidence
and Complications of Herpes Zoster: Towards a Global Perspective. BMJ
Open. 2014;4:e004833
4. Wehrhahn, M.C., Herpes Zoster: Epidemiology, Clinical Features,
Treatment and Prevention. Available at: www.australianprescriber.com.
Aust Prescr 2012; 35: 143-7.
5. Buku Register Kunjungan Poliklinik Kulit dan Kelamin Rumah Sakit
Umum Pusat Sanglah Denpasar 2015.
6. Cohen JI. Herpes Zoster. N Engl J Med. 2013; 369:255-63.
7. James, W.D., Berger , T.G., Elson, D.M. Viral Diseases. In: Andrew’s
th
diseases of the skin clinical dermatology, 10 edition. Canada: Elsevier;
2000. p. 376-84.
8. Gnann, J.W., Whitley, R.J. Herpes Zoster. N. Engl. J. Med; 2002: 347(5):
340-6.
9. Anonim. Varicella: Epidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable
th
Disease. The Pink Book: course Textbook. 12 ed. 2012. Available from:
www.cdc.gov
10. Anonim. Shingles (Herpes Zoster). Greenbook chapter 28a. 2014:1-15.
Available from:
www.gov.uk/goverment/uploads/system/uploads/attachment_data/fila/357
155/Green_Book_Chapter_28a_v0_5.pdf
11. Jacoeb Tjut, N.A. Herpes zoster pada pasien imunokompoten. Dalam:
Daili, S.F., Makes, W.I.B. Infeksi Virus Herpes. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2002. Hal 190-9.
12. Dworkin, R.H., Johnson, R.W., Brever J., Gnaann, J.W., Bevin, M.J.
Reccomendations for the Management of Herpes Zoster. CID. 2007;
44(1): 1-21.
13. Singh, B.S, and Scholand, S.J. Herpes Zoster: a clinical review. J. Infect
Di Antimicrob Agents. 2011; 28 (3): 211-21.
14. Sterling, J.C. Virus Infections. In: Burns, T., Breathnach, S., Cox, N.,
th
Griffiths, C. Editors. Rook’s textbook of dermatology, 8 edition. United
Kingdom: Willey-Blackwell Ltd; 2010. p. 3314-36.
15. Chyen LH., Wee CM. Disseminated Cutaneous Zoster can Occur on
Healthy Individual: a Case Series. The Singapore Family Physician.
2011;374:52-4.
16. Anonim. Bone Sarcoma and Subtype. Sarcoma Alliance. 2016. Available
from: http://sarcomaalliance.org

12

Anda mungkin juga menyukai