Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM FITOKIMIA PERCOBAAN IV

EKSTRAKSI DAN IDENTIFIKASI ALKALOIDA KOFEINA


DARI DAUN TEH

Oleh:
Ririn Apriani Gustiar 2020212147

Yustina 2020212202
 Amelia Said 2020212209
Ida Ayu Agara 2020212210

Kelas B
Kelompok 13
Tanggal praktikum: 26 September 2021

LABORATORIUM PRAKTIKUM FITOKIMIA


FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS PANCASILA
JAKARTA
2021
I. Judul Percobaan
Ekstraksi/ Isolasi Dan Idntifikasi Senyawa Alkaloida Kofeina Dari Daun Teh
II. Teori Dasar
Salah satu tumbuhan yang dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia pada umumnya
sebagai pereda dahaga dan banyak dikonsumsi adalah teh. Aromanya yang harum serta rasanya
yang khas menjadi salah satu daya tarik sendiri bagi masyarakat untuk mengkonsumsinya.
Daun dari tumbuhan ini yang diolah oleh banyak perusahaan-perusahaan sebagai produk
minuman mereka .Seperti yang telah beberapa orang ketahui bahwa daun teh ini memiliki
kandungan kafein yang dilihat dari segi psikologis dapat memberikan efek ketagihan, sehingga
hal inilah yang menjadikan minuman yang berbahan teh ini disukai banyak kalangan.
Meskipun kafein aman dikonsumsi, zat ini dapat menimbulkan reaksi yang tidak dikehendaki
seperti insomnia, gelisah,merangsang, delirium, takikardia, ekstrasistole, pernapasan
meningkat, tremor otot, dan diuresis (Misra H et al, 2008). Maka dari itu perlu dilakukan
pengurangan kadar kafein dalam teh agar aman untuk dikonsumsi setiap saat. Namun teh ini
pula memiliki kandungan alkaloid yang membuatnya sebelum diolah dengan penambahan
pemanis memberikan rasa pahit. Oleh karena itu pada praktikum ini akan dilakukan suatu uji
alkaloid dan ekstraksi kafein serta uji kromatografi untuk menganalisis kandungan yang ada di
teh.
Kafein itu sendiri adalah sejenis senyawa alkaloid yang termasuk golongan
metilxanthine (1,3,7-trimethylxantine). Dalam segi struktur kafein terbangun dari system
cincin purin, yang banyak ditemukan dalam asam nukleat atau DNA kita. Kafein memiliki
cukup banyak kandungannya dalam teh yakni 30-75 mg/cangkir, selain itu daun teh juga
mengandung tannin dan sejumlah kecil klorofil.
Teh (Camellia sinensis) yang masuk dalam famili Theaceae diyakini mempunyai
manfaat kesehatan, yakni memiliki khasiat sebagai antiinflamasi, anti oksidasi, anti alergi,
dan anti obesitas. Beberapa penelitian melaporkan bahwa senyawa aktif yang terdapat pada
teh juga dapat mencegah berbagai penyakit, seperti mengurangi kadar kolesterol dan
mencegah penyakit jantung berpotensi sebagai antioksidan, dan dapat menjadi salah satu
alternatif dalam menangani penyakit infeksi bakteri (Martono dan Setiyono, 2014). Teh
mengandung beberapa senyawa metabolit sekunder terutama bagian daun. Kandungan
kimia daun teh sangat bervariasi tergantung pada musim, kondisi tanah, perlakuan kultur
teknis, umur daun, dan banyaknya sinar matahari yang diterima (Pusat Penelitian Teh dan
Kina [PPTK], 2008). Berdasarkan proses pengolahnya terdapat beberapa jenis teh salah
satunya teh hitam. Teh hitam adalah jenis teh yang dibuat melalui proses pelayuan,
penggilingan, oksimatis dan pengeringan. Teh hitam memiliki kandungan kafein yang
lebih tinggi dibandingkan teh hijau (Rohdiana, 2015). Keberadaan alkaloid biasanya
sebagai garam organik dalam tumbuhan dalam bentuk senyawa padat berbentuk kristal dan
kebanyakan berwarna. Pada daun atau buah segar biasanya keberadaan memberikan rasa
pahit (Simbala, 2009). Kafein merupakan alkaloid putih dengan rumus senyawa kimia
C8H10N4O2, dan rumus bangun 1,3,7-trimethylxanthine (Isnindar et al.,2016).
a. Alkaloid
Alkaloid adalah senyawa nitrogen yang terjadi pada tanaman. Kebanyakan dari
mereka aktif secara optik, dan hampir semuanya bersifat dasar. Karenanya, mereka sangat
sering berasal dari garam dengan asam nabati seperti quinic atau cec meconic. beberapa
alkaloid terdapat dalam tanaman dalam kombinasi dengan gula (solanin), sementara yang
lain muncul sebagai asam amida (piperin) atau ester (kokain, atropin). Ada beberapa
pengecualian untuk pernyataan umum ini sehingga, risinin dan colhicine adalah senyawa
yang hampir netral. Beberapa alkaloid adalah lempeng kuaterner sedangkan yang lain
merupakan oksida amina tersier dan karenanya tidak basa.
Alkaloid indol, bufotenin, ditemukan tidak hanya pada tanaman (piptadenia
pergrina) tetapi juga pada katak (bufo vulgaris) dan jamur (amanita nappa). Secara umum,
ada senyawa nitrogen yang ditemukan dalam jamur atau mikroorganisme lain juga harus
dianggap sebagai alkaloid, tetapi ini bukan kebiasaan. Senyawa lain seperti itu adalah
gliotoxin (jamur trichoderma viride), pyocyanine (bakteri pseudomonas aeruginosa), dan
eritromisin (strain streptomyces).
Alkaloid yang ditemukan dalam biji, akar, dan kulit tanaman diisolasi dengan
ekstraksi dengan asam encer (hidroklorik, sulfur, asetat) atau alkohol. Jika mereka hadir
sebagai garam, mereka dibebaskan dengan pengobatan dengan kalsium hidroksida sebelum
ekstraksi. alkaloid individu biasanya dipisahkan dari campuran yang sangat kompleks di
mana mereka terjadi dengan metode kromatografi.
Kebanyakan alkaloid adalah senyawa kristalin yang tidak berwarna; beberapa, misalnya.,
coiine, nikotin, dan hygrine, adalah cairan, dan beberapa berwarna, misalnya., berberin
yang berwarna kuning. banyak alakaloid memiliki rasa pahit dan cukup banyak dari mereka
memiliki sifat kuratif. misalnya, morfin memiliki aksi narkotika, reseperin adalah obat
penenang, atropin memiliki aksi antispasmodik, cocine adalah anestesi lokal, dan
stryehnine adalah stimulan saraf.
Fungsi alkaloid pada tumbuhan masih menjadi masalah kontroversi; mereka dianggap
sebagai hasil metabolisme tanaman, sebagai bahan cadangan untuk sintesis protein, sebagai
zat pelindung yang menghambat serangan hewan atau serangga, sebagai stimulan atau
pengatur tanaman yang mirip dengan hormon, atau hanya sebagai produk detoksikasi.
b. Ekstraksi
Ekstraksi adalah proses pemisahana senyawa dari matriks atau simplisia dengan
menggunakan pelarut yang sesuai. Peran ekstraksi dalam analisis fitokimia sangat penting
karena sejak tahap awal hingga kahir menggunakan proses ekstraksi, termasuk fraksinasi
dan kemurnian. Ada beberapa istilah yang banyak digunakan dalam ekstraksi antara lain
ekstraktan (yakni, pelarut yang digunakan untuk ekstraksi), rafinat (yakni, larutan senyawa
atau bahan yang akan diekstraksi), dan linarut (yakni, senyawa atau zat yang diinginkan
terlarut dalam rafinat). Metode ekstraksi yang akan digunakan tergantung pada jenis, sifat
fisik, dan sifat kimia kandungan senyawa yang akan diekstraksi. Pelarut yang digunakan
tergantung pada polaritas senyawa yang akan disari, mulai dari yang bersifat non polar
hingga polar, sering disebut sebagai ekstraksi bertingkat. Pelarut yang digunakan dimulai
dengan heksana, petroleum eter, lalu selanjutnya kloroform atau diklometana, diikuti
dengan alkohol, methanol, dan terakhir, apabila diperlukan digunakan air. (Analisis
Fitokimia, hal. 10)
Tujuan dari ekstraksi ini adalah memisahkan senyawa dari campurannya atau
simplisia. Ada berbgai cara ekstraksi yang telah diketahui masing – masing cara tersebut
memiliki kelebihan dan kekurangannya. Pemilihan metode dilakukan dengan
memperhatikan antara lain sifat senyawa, pelarut yang digunakan, dan alat yang tersedia.
Struktur untuk setiap senyawa, suhu, dan tekanan merupakan faktor yang perlu
diperhatikan dalam melakukan ekstraksi. Alkohol merupakan salah satu pelarut yang
paling banyak digunakan untuk menyari secara total. Metode yang akan digunakan pada
praktikum ini adalah Soxhletasi (Analisis Fitokimia Hal. 11)
Gambar 1. Alat Soxhletasi

Soxhletasi adalah cara ekstraksi menggunakan pelarut organik pada suhu didih
dengan alat soxhlet. Pada soxhletasi, simplisia dan ekstrak berada pada labu berbeda.
Pemanasan mengakibatkan pelarut menguap, dan uap masuk dalam labu pendingin. Hasil
kondensasi jatuh bagian simplisia sehingga ekstraksi berlansung terus – menerus.
c. Kromatografi Lapis Tipis

Gambar 2. Kromtografi Lapis Tipis


Pemisahan terjadi pada kromatografi lapis tipis (KT) berdasarkan pada adsorpsi partisi atau
kombinasi kedua efek, tergantugn apda jenis lempeng, fase diam, dan fase gerak yang
digunakan. Pada umumnya KLT lebih banyak digunakan untuk tujuan identifikasi karena
cara ini sederhana dan mudah, serta memberikan pilihan fase gerak yang lebih beragam.
Manfaat lain dari KLT adalah untuk analisis kuantitatif dan isolasi skala preparatif.
Lempeng kaca atau alumunium digunakan sebagai penunjang fase diam. Fase gerak akan
merayap sepanjang fase diam dan terbentuklah kromatogram. Ini dikenal juga sebagai
kromatografi kolom terbuka. Metode ini sederhana, cepat dalam pemisahan dan sensitif.
Fase diam yang umum dipakai adalah silika gel yang ditambah dengan kalsium sulfat guna
menambah daya lekat fase diam. Fase diam lain yang dapat digunakan adalah selulosa,
poliamida, alumina, sefades, dan celite. Fase gerak dapat menggunakan monokomponen
atau multikomponen, tetapi sebaiknya tidak lebih dari 4 jenis. Pemilihan fase gerak
berdasarkan pada jenis dan polaritas senyawa – senyawa yang akan dipisahkan. Semua
teknik yang digunakan untuk kromatografi kertas dapat dipakai pada KLT. Resolusi KLT
jauh lebih tinggi daripada kromatografi kertas, karena laju difusi yang sangat kecil pada
lapisan fase gerak. Zat – zat berwarna dapat terlihat langsung, tetapi dapat juga digunakan
pereaksi penyemprot untuk melihat warna bercak yang timbul. Jumlah sampel bahan uji
yang dapat dideteksi pada KLT lebih sedikit (0,01 – 10 µg).
Kromatogram pada KLT merupakan bercak – bercak yang terpisah setelah visualisasi
dengan atau tanpa pereaksi deteksi (penyemprot) pada sinar tampak atau ultraviolet pada
panjang gelombang 254 nm dan 366 nm. Jarak rambat senyawa pada kromatogram
dinyatakan dengan nilai Rf (retardtion fator) atau hRf (hundred retardation factor). Nilai
Rf diperoleh dengan mengukur jarak rambat senyawa dari titik awal hingga pusat bercak
dibagi dengan jarak rambat fase gerak hingga garis depan.
Nilai Rf yang diperoleh selalu berupa pecahan dan akan lebih mudah bila bilangan Rf
dikalikan 100 yang dinyatakan sebagai hRf Kromatografi lapis tipis dapat digunakan
untuk pemeriksaan identitas kemurnian senyawa obat, pemeriksaan simplisia tanaman dan
hewan, pemeriksaan komposisi dan komponen aktif sediaan obat menurut label deklarasi,
dan untuk penentuan kuantitatif masing – masing senyawa aktif campuran senyawa obat.
❖ Uraian Tanaman
Gambar 3. Tanaman daun teh

Teh (Camellia sinensis) adalah minuman yang mengandung kafein, sebuah infusi yang
dibuat dengan cara menyeduh daun, pucuk daun, atau tangkai daun yang dikeringkan dari
tanaman Camellia sinensis dengan air panas. Teh yang berasal dari tanaman teh dibagi
menjadi 4 kelompok, yaitu teh hitam, teh hijau, teh putih dan teh olong. Seiring dengan
perkembangan ilmu pangan yang semakin maju, khasiat minum teh pun makin banyak
diketahui pengaruhnya terhadap kesehatan.
❖ Klasifikasi Tanaman
Klasifikasi ilmiah teh (Camellia sinensis)
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Ericales
Family : Theaceae
Genus : Camellia
Spesies : Camellia sinensis
❖ Manfaat Tanaman
Teh hijau merupakan jenis teh yang paling populer di Cina dan Jepang dan juga
dianggap sebagai teh yang paling bermanfaat bagi kesehatan, terutama karena
khasiatnya melawan kanker. Teh ini diperoleh dari pucuk daun teh segar yang
mengalami pemanasan dengan uap air pada suhu tinggi. Teh ini dapat bermanfaat
sebagai pelangsing tubuh.
Kandungan senyawa kimia dalam daun teh dapat digolongkan menjadi 4 kelompok
besar yaitu golongan fenol, golongan bukan fenol, golongan aromatis dan enzim.
Keempat kelompok tersebut bersama-sama mendukung terjadinya sifat baik pada
teh, apabila pengendaliannya selama pengolahan dapat dilakukan dengan tepat.
Sifat menyegarkan seduhan daun teh berasal dari senyawa alkaloid yang
dikandungnya, dengan kisaran 3-4% dari berat kering daun. Alkaloid utama dalam
daun teh adalah senyawa kafein, theobromin, dan theofilin. Senyawa kafein
dipandang sebagai bahan yang menentukan kualitas teh. Selama pengolahan teh,
kafein tidak mengalami penguraian, tetapi kafein akan bereaksi dengan katekin
membentuk senyawa yang menentukan nilai kesegaran (briskness) dari seduhan
teh.
III. Metode Prcobaan
A. Alat
• Seperangkat alat ekstraktor soxhlet ( volume 250 ml )
• Kertas saring
• Corong
• Kompor listrik dan panic almunium
• Penangas air
• Batang pengaduk
• Cawan penguap 50 ml
B. Bahan
• Serbuk simplisia daun teh
• Etanol 96 %
• Asam sulfat 10 %
• Magnesium Oksida ( MgO)
• Natrium Hidroksida 5 %
• Kloroform
• HCl
• Metanol
• Ammonia
• Iodin
• Aquadest
A. Cara Kerja
1. Timbang lebih kurang 50 gram serbuk simplisia, masukkan ke dalam alat
ekstraktor soxhlet yang bagian dalamnya dilapisi kertas saring
2. Tambahkan 400 ml etanol 96 % melalui mulut soxhlet, yang sebelumnya sudah
terpasang tegak lurus, sehingga terjadi pengaliran kedalam labu pemanas
(cukup dengan 2 kali sirkulasi), bila perlu dapat ditambahkan etanol 96 % lagi
secukupnya.
3. Lakukan soxhletasi selama 2,5 jam, kemudian hasil soxhletasi dinginkan
sebentar dan saring dengan kertas saring (terpasang dengan corong).
4. Uapkan larutan ekstrak dengan vakum rotavapor sampai konsistensi kental (±
20 – 30 ml), hasilnya pindahkan kedalam gelas piala volume 500 ml
5. Tambahkan 25 gram Mg O sambil di aduk dengan batang pengaduk,
Tambahkan 200 ml aquadest panas sambil diaduk, didihkan selama 10 menit
dan disaring dalam keadaan panas – panas dengan corong Buchner dan bilas
penyaring Buchner dengan 50 ml aquadesr panas.
6. Filtrat yang diperoleh kumpulkan dan ditempatkan dalam gelas piala,
tambahkan 25 ml asam sulfat 5 % sambil diaduk, larutan filtrat dipanaskan lagi
diatas penangas air selama 10 menit, larutan disaring panas kembali, filtrat yang
diperoleh didinginkan.
7. Larutan filtrat tersebut netralkan dengan Ammonia pekat (NH 4OH) yang
ditambahkan tetes demi tetes sampai pH netral ( pH = 6-7)
8. Larutan yang sudah dinetralkan pindahkan kedalam corong pisah (volume 500
ml), lalu diekstraksi sebanyak 5 kali dengan 25 ml kloroform, hasil ekstrak
kloroform dikumpulkan dan diuapkan dengan vakum rotavapor sampai menjadi
kira – kira ± 10 ml dan tambahkan 15 ml etanol 96 %, dipindahkan ke gelas
piala kecil, tutup dengan kertas almunium foil yang dilubangi beberapa buah
lubang, didiamkan dalam lemari pendingin / es ( bukan di dalam frezzer )
selama semalam ( 24 jam ).
9. Kristal kofeina yang timbul dipisahkan dengan disaring dengan kertas saring
dan dikeringkan diatas kaca arloji dalam oven pada suhu 400C.
IV. Hasil Percobaan
❖ Ekstraksi
Serbuk daun C. sinensis yang digunakan sebanyak 600 gram dengan bobot
rendemen ekstrak 134 gram (22,3%) dengan warna ekstrak merah gelap kecoklatan.
❖ Skrining Fitokimia
Hasil skrinning fitokimia menggunakan reagen Dragendoff yaitu terbentuknya
endapan berwarna jingga, pada reagen Wagner terbentuknya endapan coklat muda
dan pada reagen Mayer tidak ada endapan yang terbentuk.
❖ Ekstraksi Cair-cair
Ekstraksi kafein menggunakan metode ekstraksi cair-cair menghasilkan 2 fase
yaitu fase etil asetat dan fase air. Lapisan etil asetat berada pada bagian atas
sedangkan lapisan air berada pada bagian bawah.
❖ KLT Hasil Fraksinasi
Pengamatan spot yang dihasilkan menggunakan metode KLT pada 4 sampel
penotolan menghasilkan data Rf pada pengamatan UV 254 nm yaitu pada penotolan
1 menghasilkan 1 spot dengan Rf 0,57, pada penotolan 2 menghasilkan 3 spot
dengan Rf 0,57, 0,83, dan 0,96, pada penotolan 3 menghasilkan 2 spot dengan Rf
0,57 dan 0,83, dan pada penotolan 4 menghasilkan 1 spot dengan Rf 0,57.
Sedangkan pengamatan UV 366 nm pada penotolan 1 tidak menghasilkan spot,
penotolan 2, 3 dan 4 menghasilkan 1 spot dengan Rf 0,83.
❖ Kristalisasi Sublimasi

Kristalisasi kafein menggunakan metode sublimasi mendapatkan kristal sebanyak


3,18 gram atau 0,53% dengan warna putih, bentuk kristal jarum, dan bau khas
aromatik.
❖ KLT Dua Dimensi

Pengamatan pada elusi pertama KLT dua dimensi menghasilkan 1 spot dengan Rf
0,75 dan pada elusi kedua menghasilkan 1 spot dengan Rf 0,3125.
V. Pembahasan (Tulis tangan)
VI. Kesimpulan (Tulis tangan)

VII.Daftar Pustaka

1. Alpiani, V. Ekstraksi dan Isolasi Kafein Dari Daun Teh Serta Uji Alkaloid. Bandung: ITB
Bandung. 2014.
2. Hanani, E. Analisis Fitokimia. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2016. Hal 10-11 & 20.
3. Ikan, R. Natural Products a Laboratory Guid. London: AP Press. 2002. Hal. 178.
4. Kementrian Kesehatan Indonesia. Farmakope Herbal Indonesia Edisi I. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Hal.14.
5. Sitrait, M. Penuntun Fitokimia dalam Farmasi. Bandung: Penerbit ITB Bandung. 2004.
Hal. 60-64.
6. Stahl, E. Analsis Obat Secara Kromatograf dan Mikroskopi. Bandung: Penerbit ITB
Bandung. 1985. Hal. 207-208.

Anda mungkin juga menyukai