FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PANCASILA
JAKARTA
2021
PROPOSAL PRAKTIKUM
I. JUDUL PERCOBAAN
“Sediaan Injeksi Oxytocic dalam Vial”
II. PENDAHULUAN
Sediaan injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi, atau suspensi atau
serbuk yang halus dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan,
yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan kedalam kulit atau melalui kulit atau
selaput lender (Lukas, 2006).
Secara umum wadah untuk sediaan injeksi dibagi menjadi dua macam antara lain:
Dosis tunggal (single dose) dan dosis ganda (Multiple doses). Wadah dosis tunggal
adalah suatu wadah yang kedap udara yang mempertahankan jumlah obat steril yang
dimaksudkan untuk pemberian parenteral sebagai dosis tunggal, dan bila dibuka
tidak dapat ditutup rapat kembali dengan jaminan tetap steril. Sedangkan wadah
dosis ganda adalah wadah yang memungkinkan pengambilan isinya perbagian
berturut- turut tanpa terjadi perubahan kekuatan, kualitas atau kemurnian bagian
yang tertinggal (Ansel, 2005). United State Pharmacopeia (USP) mempersyaratkan
vial dosis ganda untuk injeksi diberikan batas penggunaan 28 hari setelah
penggunaan pertama kali kecuali label produk (dalam bungkusnya) menyatakan
sebaliknya. Produk obat yang akan dibuat dalam penelitian ini harus mempunyai
kemampuan untuk bertahan dalam bentuk spesifikasi yang ditetapkan sepanjang
waktu penyimpanan dan penggunaan untuk menjamin identitas, kekuatan, kualitas,
kemurnian produk, dan terutama sterilitas produk (Debaun, 2008).
Penggunaan vial dosis ganda harus memperhatikan hal berikut yaitu mematuhi
teknik aseptik yang ketat saat penggunaan vial, menggunakan jarum steril baru dan
alat suntik steril baru untuk setiap penggunaannya, melepas semua alat akses vial,
menyimpan vial di tempat yang bersih dan terlindung menurut petunjuk pabrik
(misalnya, pada suhu ruang atau lemari pendingin) dan memastikan vial yang
sterilitasnya terganggu untuk segera dibuang (Dolan, et al., 2010).
Selain itu, karena pengambilannya dilakukan secara berulang, maka sediaan
injeksi dosis ganda diharuskan mengandung zat pengawet antimikroba
(antimicrobial preservative) untuk menjaga stabilitas sediaan. Efektivitas dari
1
pengawet itu sendiri umumnya dipengaruhi oleh dua hal yaitu konsentrasi dari
pengawet dan jumlah mikroorganisme yang mengontaminasi. Contoh pengawet
yang lazim digunakan dalam formulasi sediaan parenteral adalah Benzil alkohol 1%
- 2%, klorobutanol 0,2% - 0,5%, dan klorokresol 0,1% - 0,2% (Agoes, 2009).
Salah satu sediaan injeksi dosis ganda yang dikemas dalam wadah vial yang
beredar di pasaran adalah Injeksi oksitosin yang mengandung hormon polipeptida
yang dibuat dengan sintesis atau diperoleh dari globus posterior kelenjar pituitaria
hewan peliharaan sehat yang biasa dimakan. Adapun Rute pemberian untuk injeksi
oksitosin dapat melalui intravena (IV) dan intramuskular (IM), namun pemberian IM
tidak disarankan karena efeknya tidak dapat diprediksikan dan sulit untuk dikontrol.
(Ansel, 2005).
Pada praktikum ini akan dibuat sediaan injeksi oksitosin dosis ganda dengan
menggunakan kemasan vial yang berkhasiat sebagai agen uteronik yang dapat
memperkuat kontraksi uterus dengan menggunakan pengawet Benzalkonium
Klorida. Digunakan Benzalkonium Klorida 0,01% b/v dikarenakan Benzalkonium
Klorida dapat bertindak sebagai antibakteri dan antifungi, serta aktivitas
antimikrobanya dapat bersifat bakteriosida dan bakteriostatistika (Rowe, 2006).
Wadah yang digunakan dalam injeksi ini adalah vial yaitu botol injeksi kecil berupa
wadah takaran ganda dan ditutup dengan tutup dengan penututp karet yang
diletakkan pada leher botol dengan sebuah kapsul tudung yang terbuat dari logam
ringan.
2
III. DATA PREFORMULASI
A. PREFORMULASI
ZAT AKTIF
PREFORMULASI
1. Oxytocin
3
▪ Wadah dan Penyimpanan: Dalam wadah tertutup rapat,
sebaiknya dan kaca Tipe I, dalam lemari pendingin. (anonim,
2020).
▪ Sterilisasi: Filtrasi membran (Injectable drug, Hal. 1268)
▪ Khasiat: Merangsang Kontraksi Rahim (Martindle 36, hal
2015)
▪ Dosis: dosis awal 0,001- 0,004 unit/ menit, dimulai minimal
6 jam setelah pemberian prostalglandin vagina, dosis
ditingkatkan dengan interval minimal 30 menit hingga
maksimal 3-4 jika kontraksi terjadi setiap 10 menit (0,01
unit/ menit sering memadai) hingga maks 0,02 unit/ menit.
Jika kontraksi teratur tidak terbentuk setelah total 5 unit,
hentikan upaya induksi (dapat diulangi hari berikutnya
mulai lagi pada 0,001- 0,004 unit/ menit) (BNF 80)
▪ Cara Penggunaan : Injeksi secara intravena (DI 88 hal. 2084)
ZAT TAMBAHAN
PREFORMULASI
1. Ammonium asetat
4
▪ Stabilitas: stabil dalam suhu ruang 25°C, bila meningkat
suhunya maka pH-nya meningkat. (FI Ed V, Hal.1698)
▪ Wadah dan Penyimpanan: dalam wadah tertutup rapat
(FI Ed V, Hal.1698)
▪ Khasiat: larutan dapar (Handbook on injectable Drugs
Hal.1268)
▪ Konsentrasi: 7,7% b/v (FI III, Hal.643)
2. Chlorbutanol
5
polihidroksietilmetakrilat, yang telah digunakan dalam lensa
kontak lunak. tingkat lebih rendah, karboksimetilselulosa
dan polisorbat 80 mengurangi aktivitas antimikroba dengan
penyerapan atau pembentukan kompleks. (Hope, Ed.6, Hal:
166-167)
▪ Wadah dan Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat,
pada suhu 8º - 15º. (FI Ed.VI, Hal: 928)
▪ Khasiat: Antibakteri (Hope, Ed.6, Hal: 166-167)
B. FARMAKOLOGI
1. Farmakodinamik: oksitosin merangsang frekuensi dan kekuatan kontraksi
otot polos uterus. Efek ini tergantung pada konsentrasi estrogen. Pada
konsentrasi estrogen yang rendah efek oksitosin terhadap uterus juga
berkurang. Uterus imatur kurang peka terhadap oksitosin. Pada percobaan in
vitro, progesteron dapat mengantagonisasi efek perangsangan oksitosin.
Namun pengaruh ini sulit diperlihatkan pada uterus wania hamil. Progestin
digunakan secara luas di klinik untuk mengurangi aktivitas uterus pada kasus
abortus habituais meskipun efektivitasnya tidak jelas. Pada kehamilan
trimester I dan II aktivitas motorik uterus sangat rendah, dan aktivitas ini
secara spontan akan meningkat dengan cepat pada trimester III dan
mencapao puncaknya pada saat persalinan. Respon uterus terhadap oksitosin
sejalan dengan peningkatan aktivitas motoriknya. Oktisosin dapat memulai
atau meningkatkan ritme kontaksi uterus pada setiap saat, namun pada
kehamila muda diperlukan dosis yang tinggi. Pembagian infus oksitosin, perlu
disertai pengamatan yang sungguh- sunguh terhadap frekuensi, lama dan
kekuatas kontraksi uterus. (Farmakologi dan Terapi edisi 5)
2. Farmakokinetika: oksitosin mengalami destruksi enzimatik di saluran
cerna, tetapi cepat diserap dari mukosa membran bila diberikan secara
intranasal. Ini dimetabolisme oleh hati dan ginjal dengan waktu paruh plasma
hanya dalam beberapa menit. (Martindale 38th ed, 2009)
3. Indikasi: oxytocin digunakan untuk induksi partus aterm dan mempercepat
persalinan ada kasus- kasus tertentu. Untuk mengontrol perdarahan dan
atoni uteri pasca persalinan, merangsang kontraksi uterus setelah operasi
6
caesar maupun operasi uterus lain. Sebagai induksi abortus terapeutik, uji
oksitosin, dan menghilangkan pembengkakan payudara. (Farmakologi dan
Terapi ed 5)
4. Interaksi Obat: Oksitosin dapat meningkatkan efek vasopresor dari
simpatomimetik. Beberapa anestesi inhalasi, seperti: sebagai siklopropana
atau halotan, dapat meningkatkan hipotensi efek oksitosin dan mengurangi
efek oksitosinnya; aritmia jantung dapat terjadi. Prostaglandin dan oksitosin
dapat mempotensiasi efek satu sama lain di rahim; informasi produk
berlisensi Inggris untuk oksitosin menyatakan bahwa itu tidak boleh dimulai
selama 6 jam setelah penggunaan prostaglandin vagina. (Martindale 36th ed)
5. Kontraindikasi: Kontraksi uterus hipertonik; obstruksi mekanik pada jalan
lahir; gawat janin; setiap keadaan yang tidak memungkinkan persalinan per
vagina (mis:CPD); lemah (inertia) uterus dengan resistensi oksitosin;
preeklamsia berat atau terhadap sistem kardiovaskular. (PIONAS).
6. Efek samping: spasme uterus (dapat terjadi pada dosis rendah);
hiperstimulasi uterus (dapat menyebabkan gawat janin, kerusakan jaringan
lunak atau ruptur uterus); keracunan cairan dan hiponatremia (biasanya pada
dosis besar dengan infus banyak); mual, muntah, aritmia; reaksi anafilaksis;
ruam kulit; ablasio plasenta; emboli amnion. (PIONAS).
IV. FORMULA
A. FORMULA RUJUKAN
Injeksi Oksitosina (FORNAS Hal. 225)
• Oxytocinum 10 UI
• Aqua pro injection ad 1 ml
B. RANCANGAN FORMULA
7
Tiap 1 mL mengandung
Oxytocinum 10 UI
Chlorbutanol 0,5 %
Dapar Asetat pH 3,5 qs
8
V. Perhitungan dan Penimbangan
a. Perhitungan
Rumus: {(n x v) + (10%-30%) x v} ml
Keterangan:
n = jumlah vial yang akan dibuat
v = vol. Injeksi tiap vial (ml)
= 5,3 mL
Dibuat 5 buah vial @ 5 ml
= 26,5 mL + 7,95 mL
= 34,45 mL ~ 50 mL
1. Oksitosin
Total Oksitosin = 1 UI ~ 2 - 2,2 μg Oksitosin
10 𝑈𝐼
= x 2,2 μg
1
= 22 μg
50 𝑚𝐿
= x 22 μg
1 𝑚𝐿
Pengenceran Oksitosin
- Ditimbang 11 mg Oksitosin lalu dilarutkan dalam 10 mL aqua p.i.
(larutan A)
- Kemudian diambil 1 mL larutan A
9
Perhitungan :
3. Chlorbutanol
Chlorbutanol = 0,5 % x 50 mL
= 0,25 gram
b. Penimbangan
Bahan Teori
Oksitosin Diambil 1 mL dari Larutan A (11 mg add 10 mL)
Chlorbutanol 0,25 gram
10
13. Kertas saring
14. Timbangan analitik autoklaf
15. Karet pipet
16. Autoklaf
B. BAHAN
1. Oxytocinum 10 UI
2. Dapar Asetat pH 3,5
3. Chlorbutanol 0,5%
4. Aqua Pro Injeksi
11
7 Batang pengaduk Direndam dalam alkohol Farmakope Indonesia V
selama 1 jam hal. 18
8 Pinset Direndam dalam alkohol Farmakope Indonesia V
selama 1 jam hal. 18
9 Penjepit besi Direndam dalam alkohol Farmakope Indonesia V
selama 1 jam hal. 18
10 Spatula Direndam dalam alkohol Farmakope Indonesia V
selama 1 jam hal. 18
11 Vial Di Autoklaf selama 15 Farmakope Indonesia V
menit dengan suhu 121o C hal. 1662
12
9. Dicampur M1 dengan M2 dan ditambahkan dapar asetat sampai volume akhir 50
mL
10. Dilakukan pengecekan pH awal larutan.
11. Dilakukan penyaringan dengan kertas saring untuk menyaring partikel yang
tidak larut.
12. Dilakukan penyaringan kembali dengan filter membran 0,22 μm untuk menyaring
bakteri.
13. Dilakukan uji evaluasi IPC (in process control)
14. Dimasukkan larutan kedalam vial kemudian ditutup dengan karet dan kap
alumunium.
15. Dilakukan uji evaluasi QC (quality control)
16. Dimasukan kedalam kemasan, kemudian diberi etiket dan brosur.
IX. EVALUASI
A. In Process Control (IPC)
1. Uji kejernihan (Teori dan Praktek Farmasi Industri hal. 1356)
Syarat: Semua wadah diperiksa secara visual dan tiap partikel yang terlihat
dibuang dari wadah, batas 50 partikel 10 ųm dan lebih besar 5 partikel ≥ 25
ųm/mL.
13
Cara Kerja : Harga pH diukur dengan alat potensiometrik (pH meter) yang
sesuai, yang telah dibakukan sebagaimana mestinya, yang mampu mengukur
harga pH sampai 0,002 unit pH menggunakan elektroda indicator yang
peka terhadap aktivitas ion hydrogen, elektroda kaca, dan elektroda pembanding
yang sesuai seperti electrode kalomel atau electrode perak-perak klorida; atau
menggunakan pH universal, teteskan sampel pada pita indikator pH kemudian
diamkan sesaat dan lihat warna yang dihasilkan kemuadian tentukan pH
berdasarkan warna.
Cara Kerja:
a. Pilih 1 atau lebih wadah, baik volume 10 mL atau lebih, 3 wadah atau lebih bila
volume lebih dari 3 mL dan kurang dari 10 mL, atau 5 wadah atau lebih bila
volume 3 mL atau kurang.
b. Ambil isi tiap wadah dengan alat suntik hipodemik kering berukuran tidak
lebih dari 3 kali volume, yang diukur dan dilengkapi dengan jarum suntik no.21,
panjang tidak kurang dari 2,5 cm.
c. Keluarkan gelembung udara dari dalam jarum suntik dan alat suntik,
pindahkan isi dalam alat suntik tanpa mengosongkan bagian jarum kedalam
gelas ukur kering volume tertentu yang telah dibakukan sehingga volume yang
diukur memenuhi sekurang-kurangnya 40% volume dari kapasitas tertera/
garis-garis petunjuk volume yang ditampung, bukan yang dituang.
Syarat: Volume tidak kurang dari volume yang tertera pada wadah bila diuji satu
persatu atau bila wadah volume 1 ml dan 2 ml, tidak kurang dari jumlah volume
wadah yang tertera pada etiket bila isi digabung.
Proses sterilisasi yang tepat perlu dimonitor (in production control) karena inilah
yang menentukan steril atau tidaknya suatu sediaan.
14
Volume tertentu spesimen tambah volume tertentu media uji inkubasi selama
tidak kurang dari 14 hari, kemudian amati pertumbuhan secara visual sesering
mungkin, sekurang-kurangnya pada. Membran dibilas dengan larutan pepton
0,1%. Membran dipotong menjadi ½ bagian (jika hanya 1) lalu membran
dimasukkan ke dalam:
Syarat: Steril
Cara Kerja: Pemeriksaan visual terhadap suatu wadah produk biasanya dilakukan
oleh seseorang yang memeriksa wadah bersih dari luar di bawah penerangan
cahaya yang baik, terhalang terhadap refleksi ke dalam matanya, dan berlatar
belakang hitam dan putih, dengan rangkaian isi dijalankan dengan suatu aksi
memutar.
Syarat: Semua wadah diperiksa secara visual dan bahan tiap partikel yang terlihat
dibuat. Batas 50 partikel 10 μm dan lebih besar, serta lima partikel lebih besar
atau sama dengan 20 μm/ml.
Cara Kerja: Pilih satu atau lebih wadah, bila volume 10 ml atau lebih, 3 wadah atau
lebih bila volume lebih dari 3 ml dan kurang dari 10 ml, atau 5 wadah atau lebih
bila volume 3 ml atau kurang. Ambil isi tiap wadah dengan alat suntik hipodermik
kering berukuran tidak lebih dari 3 kali volume yang akan diukur dan dilengkapi
dengan jarum suntik nomor 21, panjang tidak kurang dari 2,5 cm. Keluarkan
gelembung udara dari dalam jarum dan alat suntik dan pindahkan isi dalam alat
suntik, tanpa mengosongkan bagian jarum, ke dalam gelas ukur kering volume
tertentu yang telah dibakukan sehingga volume yang diukur memenuhi sekurang-
kurangnya 40% volume dari kapasitas tertera (garis-garis penunjuk volume gelas
ukur menunjuk volume yang ditampung, bukan yang dituang).
15
Syarat: Volume tidak kurang dari volume yang tertera pada wadah bila diuji satu
persatu atau bila wadah volume 1 ml dan 2 ml, tidak kurang dari jumlah volume
wadah yang tertera pada etiket bila isi digabung.
Lakukan seperti tertera pada Penetapan kadar dalam Oksitosin, kecuali pada
Larutan uji menggunakan injeksi yang tidak diencerkan dan biarkan selama tidak
kurang dari 25 menit antar penyuntikan. Hitung potensi oksitosin,
C43H66N12O12S2, dalam unit Oksitosin FI per mL injeks yang digunakan, dengan
rumus:
rU dan rS berturut-turut adalah nilai rata-rata dari respons puncak Larutan uji dan
Larutan baku;
Cara Kerja: Pengujian dapat dilakukan penetapan dengan cara Kromatografi cair
kinerja tinggi seperti tertera pada Kromatografi
Syarat : Tiap mL injeksi oksitosin mempunyai aktivitas oksitosik tidak kurang dari
90,0% dan tidak lebih dari 110,0% dari jumlah unit oksitosin FI yang tertera pada
etiket.
X. RANCANGAN KEMASAN
• Kemasan primer
16
Keterangan No. Batch: A021108
A= Tahun produksi 2021, angka terakhir diganti dengan abjad (0=A, 1=B, dst).
21= tahun produksi 2021, disingkat menjadi 21 dan dibalik.
108= tanggal dan bulan diproduksi.
• Kemasan sekunder
17
• Brosur/Leaflet
18
19
XI. DAFTAR PUSTAKA
1. Agoes. Sediaan Farmasi Steril Seri Farmasi Industri 4. Bandung. ITB. 2009
2. Anief, M. Formulasi Obat Topikal dengan Dasar Penyakit Kulit, 31-41,
Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. 1997
3. Anief M. Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. 2007
4. Anonim. Erpha Allergil. Diakses dari www.erlimpex.com pada 23 Juni 2021
17:27.
5. Anonim. Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia; 1979.
6. Anonim. Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakrta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 1995.
7. Anonim. Farmakope Indonesia. Edisi V. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia; 2014.
8. Anonim. Farmakope Indonesia. Edisi VI. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia; 2020.
9. Ansel, H.C. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi keempat. diterjemahkan
oleh Farida Ibrahim, Asmanizar, Iis Aisyah Jakarta: UI Press. 2005
10. Carr ME, Engebretsen KM, Ho B, Anderson CP. "Tetrahydrozoline (Visine®)
konsentrasi dalam serum dan urin selama terapi dosis okular: langkah
pertama yang diperlukan dalam menentukan overdosis". Toksikologi
Klinis . 49 (9): 810–4. Clin Toxicol (Phila) . Epub. 2011.
11. Debaun. Transmission of infectins with Multidose Vials. Infection Control
Resource. 2008: Volume 3: Hal; 1.
12. Dolan, S.A. et al., AJIC Special Article APIC Position Paper: Safe Injection,
Infution, and Vial Practices in Health Care: Washington DC. 2010 pp:
168- 170.
13. Drugbank.com. 2010, Tetryzoline. Diakses pada 7 September 2021, dari
https://go.drugbank.com/drugs/DB06764
14. Drugs.com. 2021. Tetrahydrozoline opthalmic Disease Interactions. Diakses
pada 7 september 2021 dari https://www.drugs.com/disease-
interactions/tetrahydrozoline-ophthalmic.html
15. Lachman et all. Teori dan Praktek Industri. Jakarta: UI- Press; 2008.
16. Lucas. Formulasi Steril. Yogyakarta. Penerbit Andi. 2006.
20
17. Rowe, Raymond, et al. Handbook of Pharmaceutical Excipients. Sixth Edition.
London: Pharmaceutical Press and American Pharmacists Assosiation;
2009.
18. Sinko, P. J. Martin Farmasi Fisika dan Ilmu Farmasetika. Edisi 5. diterjemahkan
oleh Tim Alih Bahasa Sekolah Farmasi ITB. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2011.
19. Sweetman, Sean C., and P. S. Blake. Martindale The Complete Drug Reference.
Edisi 36. USA: Pharmaceutical Press; 2009.
20. Syamsuni. 2006, Farmasetika Dasar Dan Hitungan Farmasi. Jakarta. 29 – 31.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2006
21. The United State Pharmacopeial Convention. The United States Pharmacopeia
(USP)30th Edition. Rockville : The United State Pharmacopeial
Convention. 2006.
22. Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja. Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan
dan Efek-Efek Sampingnya. Edisi Ketujuh. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo Gramedia; 2007.
23. National Center for Biotechnology Information . PubChem. Rockvile. USA.
2021. Diakses pada 20 September 2021 dari
https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/compound/Oxytocin
24. Psat Informasi obat Nasional, BPOM RI 2015. Diakses pada 21 September
2021 dari http://pionas.pom.go.id/cari/konten/amonium%20asetat
21
LAMPIRAN
22
Gambar 3. konta indikasi dan efek samping Oxytocin
23
Gambar 4. Air pro injeksi (FI Edisi VI, halaman 71)
24
Gambar 5. Oksitosin (Farmakope Indonesia ed V hal 1318)
25
Gambar 7. OTT Air (Handbook of Excipients 6th Edition, hal: 768)
26